BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Transportasi bukanlah tujuan akhir (ends) melainkan turunan dari kebutuhan lain (derived demand) karena adanya sistem kegiatan yang berlangsung pada suatu sistem jaringan serta dipengaruhi oleh sistem kelembagaan (Kusbiantoro, 1996 dalam Angkeara (1997) dan Yuliana (2003)). Dinamika perkotaan biasanya mengakibatkan semakin tingginya harga lahan di pusat-pusat kegiatan. Salah satu ciri perkembangan kota adalah semakin langkanya rumah yang terjangkau di pusat kota sehingga pemukiman semakin bergeser ke pinggiran kota (suburbanisasi) yang kemudian menjadi kota-kota satelit di sekitar kota utama. Perkembangan kota menumbuhkan kebutuhan akan perjalanan yang lebih tinggi baik dari sisi jarak tempuh maupun volume perjalanannya. Kurangnya lahan untuk jaringan jalan1 dikombinasikan dengan pertumbuhan motorisasi yang cepat telah menimbulkan kemacetan lalu lintas di banyak kota di dunia, termasuk di negara berkembang. Dengan keterbatasan kapasitas keuangan, pembangunan jalan baru dalam prakteknya tidak akan pernah bisa mengimbangi kebutuhan sehingga membangun jalan baru bukan solusi satu-satunya terhadap fenomena kemacetan di perkotaan2.
1
2
Rasio luas jaringan jalan terhadap luas wilayah di Kota Bandung sekitar 2,7%. DKI Jakarta memiliki rasio sekitar 4% sementara kota-kota besar di Amerika Serikat berkisar 20%-26% (Sucipto, 2006). Studi terhadap 35 kota di 50 negara oleh Ingram dan Liu (2000) dengan data sampai tahun 1980, menunjukkan bahwa di negara berkembang rasio panjang jalan terhadap luas wilayah adalah 4,3 sementara pada negara maju mencapai 10,7. Apabila dibandingkan terhadap penduduk maka untuk negara berkembang rasio tersebut adalah 0,4 sementara negara maju 4,1. Rasio tersebut kemungkinan besar belum mengalami perubahan yang signifikan dewasa ini Penelitian yang dilakukan oleh Mark Hansen dari Universitas California Berkeley menunjukkan bahwa pembangunan 1 mil jalan baru akan membangkitkan lalu lintas baru (induced demand) 0,9 mil perjalanan. Peneliti lainnya Anthony Downs menyatakan bahwa jalan baru akan mengakibatkan konvergensi tiga hal yaitu spasial, waktu dan moda. Fenomena lingkaran setan (vicious circle) problem transportasi perkotaan ini diuraikan secara ringkas oleh Susantono
1
Dengan keterbatasan ruang, dan keuangan, efisiensi ruang menjadi alasan utama bagi perlunya dikembangkan moda transportasi umum di wilayah perkotaan dikarenakan dapat mengangkut lebih banyak penumpang dengan sumber daya yang lebih sedikit. Angkutan umum dipercaya memiliki kemampuan untuk mengurangi tingkat kemacetan, polusi udara dan konsumsi energi. Sistem angkutan umum yang baik akan mengurangi kebutuhan dan keinginan untuk mempunyai kendaraan pribadi dan selanjutnya berdampak pada berkurangnya jumlah perjalanan bermesin motor (Susantono et.al, 2004). Biaya angkutan yang ditanggung bersama menjadikan angkutan umum lebih efisien dari sisi biaya dan efisien dalam penggunaan ruang jalan (Warpani, 2002). Kenyataan yang terjadi adalah angkutan umum gagal memenuhi harapan tersebut. Cox (2003) mengatakan bahwa angkutan umum di dunia cenderung ditinggalkan oleh penggunanya. Data dari tahun 1980 sampai 2000 menunjukkan bahwa pangsa pasar (market share) angkutan umum dunia menurun rata-rata 14% per dekade. Untuk kasus Inggris Raya, White (1995) menyampaikan bahwa angkutan umum mengalami perubahan pangsa pasar dari semi monopoli di penghujung 1940-an menjadi mengecil pada penghujung 1990-an. Peningkatan kendaraan pribadi adalah penyebab utama dari penurunan tersebut sebab jumlah angkutan umum relatif stabil. Cox (2003) menyebut dua aspek yang menjadikan kendaraan pribadi lebih diminati dari angkutan umum yaitu demografis dan psikologis. Aspek demografis berkaitan dengan perkembangan keruangan kota yang mengakibatkan tujuan perjalanan semakin menyebar yang memperlemah dukungan koridor angkutan umum terhadap pilihan dan kemudahan mobilitas. Aspek psikologis berkaitan dengan perilaku dimana mobil pribadi dianggap lebih dari sekadar pertimbangan rasional kebutuhan melainkan juga sebagai simbol kebebasan dan kemakmuran. Gejala penyusutan peran angkutan umum dalam sistem transportasi perkotaan dapat mengancam sistem ekonomi perkotaan. Pertumbuhan kepemilikan dan
et.al, (2004) dalam 1-2-3 Langkah, Referensi Ringkas bagi Proses Advokasi Penyelenggaraan Transportasi, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), www.mti-its.or.id
2
pemakaian kendaraan pribadi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jaringan jalan yang ada membuat kapasitas jalan tidak mampu lagi menampung semua kebutuhan pergerakan dengan lancar. Semakin berkembangnya kemacetan lalu lintas di perkotaan adalah salah satu simptom yang menunjukkan adanya tambahan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat praktek manajemen transportasi yang tidak tanggap terhadap peningkatan kebutuhan. Sucipto (2006) mengutarakan bahwa kegagalan peran angkutan umum di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan publik yang lebih berpihak kepada kendaraan pribadi melalui pembangunan jalan layang (fly over), under pass dan jalan
tol
sementara
terhadap
angkutan
umum
pemerintah
hanya
mengatur/mengelola tarif. Sutomo (2006) melihat bahwa pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat dikombinasikan dengan kualitas layanan angkutan umum yang cenderung memburuk dan citra jelek yang melekat mengakibatkan terjadinya perpindahan pengguna angkutan umum ke kendaraan pribadi dan ini merupakan pilihan yang rasional bagi masyarakat. Untuk dapat menarik pengguna, angkutan umum harus menempatkan diri sesuai dengan keinginan konsumen. Pengguna akan beralih ke angkutan umum hanya apabila angkutan umum dapat memberikan layanan sebagaimana kendaraan pribadi atau bahkan lebih baik. Konsumen angkutan pada dasarnya, menurut Cox (1996), membeli mobilitas (purchasing mobility) apapun bentuk teknologinya untuk melakukan pergerakan dari satu titik ke titik lain dengan cepat (quickly) dan nyaman (conveniently). Otoritas pengelola angkutan perkotaan karenanya harus menempatkan tujuan perencanaannya untuk mengembangkan kebijakan mobilitas (mobility policy) yang mencakup standar minimum untuk akses geografis (dekat dan mudah dijangkau), frekuensi layanan dan waktu tempuh. Sutomo (2006) mengutarakan bahwa terjadinya penurunan jumlah penumpang angkutan umum di perkotaan salah satu akar permasalahannya adalah karena ketiadaan standar layanan sehingga layanan diterjemahkan secara subyektif tanpa upaya untuk mendorong perbaikannya. Masalah yang nampak kemudian adalah fenomena
3
kejar setoran, ngetem sembarang tempat sehingga mutu (frekwensi, waktu tempuh dan kenyamanan) layanan sangat rendah. Evaluasi layanan angkutan umum yang hanya didasarkan pada jumlah kendaraan yang beroperasi dan sebaran rutenya (quantity licensing), sebagaimana dominan dilakukan di negara berkembang, telah ditinggalkan di negara-negara maju karena tidak mampu mendorong tercapainya mutu pelayanan yang baik (Sutomo, 2006). I.2. Identifikasi Masalah Angkutan umum sering dianggap menjadi penyebab masalah kemacetan di perkotaan dengan perilaku disiplin berlalu-lintas yang rendah, dan tidak memperhatikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang. Keadaan ini sebenarnya didasari oleh keinginan operator untuk menutupi biaya operasional dari keuntungan (mengejar target setoran). Pada angkutan umum perkotaan yang dikelola oleh swasta3, ini menggambarkan bahwa pengusaha angkutan dalam melaksanakan usahanya hanya atas dasar maksimalisasi keuntungan sekalipun berdampak menurunkan kualitas layanan (kenyamanan dan keselamatan penumpang cenderung terabaikan). Kecenderungan peningkatan penggunaan kendaraan pribadi dapat menurunkan pendapatan angkot, tapi kondisi ini ternyata tidak diikuti oleh pengurangan jumlah angkot yang beroperasi. Eriawan (1992) mencatat bahwa pada tahun 1992 terdapat 4.372 angkot di Kota Bandung yang melayani 40 rute tapi dewasa ini jumlah angkot di Kota Bandung sebanyak 5.521 buah yang melayani 38 trayek (Dishub Kota Bandung, 2007). Studi Master Plan Angkutan Umum yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Bandung Tahun 2004 menjelaskan bahwa ijin trayek yang melekat pada kendaraan ditambah dengan kebijakan zero growth menjadikan pemilik kendaraan 3
Di Kota Bandung dikenal sebagai angkot, dan merupakan angkutan umum mayoritas (97%) yang meliputi kendaraan non bis yaitu Sudako (Suzuki dan Daihatsu) dengan kapasitas 12 orang dan Kijang dengan kapasitas 14 orang yang semuanya dioperasikan oleh perorangan (swasta)
4
yang sebenarnya tidak laik jalan tetap berupaya mengoperasikan kendaraannya untuk dapat tetap memegang ijin trayek. Sulitnya memperoleh ijin trayek telah menjadikan kepemilikan ijin trayek sebagai suatu komoditi yang dapat diperjualbelikan dengan harga yang dapat mencapai 50% dari harga kendaraan dan harga tersebut semakin hari semakin tinggi. Pada wilayah perkotaan yang mengalami kemacetan, tingkat pendapatan angkot dari operasi sehari-hari kemungkinan berkurang sebagai akibat penambahan waktu tempuh, yang berarti juga penambahan konsumsi bahan bakar, sehingga secara rasional ruas-ruas jalan atau daerah tersebut semestinya dihindari sepanjang sistem dan kondisi jaringan jalan masih memungkinkan4. Tapi pada sisi lain daerah di perkotaan yang mengalami kemacetan biasanya merupakan pusat-pusat kegiatan masyarakat sehingga kebutuhan akan pergerakan juga tinggi. Masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan melakukan aktifitas pada daerah semacam itu merupakan potensi tangkapan penumpang bagi angkutan umum, termasuk angkot, sehingga apabila memungkinkan angkot akan berusaha melintas untuk meningkatkan pendapatannya sepanjang ketentuan yang berlaku, misalnya ketentuan trayek yang diatur oleh pemerintah kota, memungkinkannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka terdapat beberapa kemungkinan respon pengemudi angkot terhadap potensi jumlah penumpang dan kemacetan yang akan menentukan kinerja finansialnya dan juga akan mempengaruhi tingkat layanan kepada masyarakat. Pertama, angkutan umum akan melakukan penyesuaian pola dan jarak pergerakan sehingga akan terdapat variasi pola dan jarak pergerakan aktual angkutan umum yang tidak mesti selalu sama dengan pola menurut ijin trayek. Kedua, jumlah angkutan umum yang beroperasi di jalan akan bervariasi menurut waktu dan ruas tertentu karena terdapat angkot yang tidak beroperasi 4
Kondisi stabil akan tercapai manakala pengemudi tidak dapat lagi memperbaiki waktu tempuhnya dengan berpindah jalur. Kondisi ini dikenal sebagai kondisi keseimbangan pengguna (user equilibrium, UE). UE mengasumsikan bahwa pengendara memiliki informasi penuh tentang semua karakteristik pada semua alternatif jalur, sementara dalam kenyataannya informasi tersebut tidak selalu tersedia sehingga pengemudi mengambil keputusan hanya atas dasar kemungkinn. Kondisi keseimbangan yang terjadi dengan karakteristik demikian disebut kondisi keseimbangan pengguna stokastik (stochastic user-equilibrium, SUE). Uraian rinci mekanisme dalam konteks transportasi perkotaan ini diberikan oleh, misalnya, Sheffi (1985)
5
pada saat-saat tertentu. Ketiga, kemacetan lalu lintas menimbulkan tambahan biaya dan waktu dalam pergerakan yang akan membuat usaha layanan angkot menjadi tidak efisien. Kendaraan pribadi (mobil atau sepeda motor), bagaimanapun, menjanjikan mobilitas yang lebih fleksibel sehingga layanan angkutan umum yang buruk dapat menjadi dorongan penggunaan kendaraan pribadi. Kinerja dan tingkat layanan angkutan umum karenanya merupakan hal yang harus menjadi perhatian pengelola transportasi kota dalam upaya menekan dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi yang tidak efisien. Selama angkutan umum tidak bisa memberi layanan yang sama atau lebih baik dibanding kendaraan pribadi maka perannya akan semakin menyusut dan akhirnya ditinggalkan. I.3. Tujuan, Lingkup dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji pola pengoperasian angkutan umum perkotaan ditinjau dari perspektif perilaku pengemudi dalam menjalani rute layanan angkutan umum sehari-harinya.
I.3.2 Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada pada kajian pola operasi sehari-hari angkutan umum pada rute angkot Cicaheum – Ciroyom Kota Bandung. Pilihan kajian pada rute Cicaheum – Ciroyom didasarkan pada pertimbangan bahwa rute tersebut melintasi beberapa pusat kegiatan kota dari bagian Timur menuju bagian Barat Kota Bandung dan sebaliknya. Cicaheum di bagian Timur merupakan salah satu terminal dengan fungsi regional di Kota Bandung yang melayani kendaraan antar kota antar propinsi tujuan ke arah timur. Trayek tersebut melintasi beberapa pusat kegiatan kota, di antaranya Jl. Surapati, Jl Dipati Ukur serta Jl Cihampelas yang merupakan salah satu sentra perdagangan tekstil dan juga ikon wisata belanja Kota Bandung serta RS Hasan Sadikin.
6
I.3.3. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya gambaran pola operasi angkutan umum sehari-hari pada wilayah perkotaan yang mengalami fenomena pertumbuhan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi yang tinggi. Perilaku pengemudi yang merupakan respon terhadap kondisi lingkungan akan memberikan
tambahan
informasi
bagi
pengambil
kebijakan
dalam
mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi angkutan umum perkotaan untuk kemudian merumuskan langkah agar angkutan umum dapat tetap menjadi alternatif bagi pergerakan penduduk kota. Gambaran empiris pola operasi angkutan umum sehari-hari juga dapat menjadi tambahan informasi bagi pemerintah kota dalam melihat akar permasalahan penurunan kualitas layanan angkutan umum perkotaan. Penelitian juga diharapkan memberi gambaran tingkat kebutuhan penduduk akan layanan angkutan umum sebagai langkah awal dalam upaya mengganti moda angkot yang dewasa ini beroperasi dengan kendaraan yang berukuran lebih besar dan disubsidi pemerintah. I.3.3. Sasaran Penelitian Sasaran yang diharapkan dari penelitian adalah teridentifikasinya faktor-faktor dominan yang menentukan dalam pembentukan pola pergerakan angkot baik menurut ruang maupun menurut waktu yang kemudian membentuk kualitas layanan optimal yang bisa diberikan dari sisi operator terutama pengemudi. Secara rinci, sasaran penelitian adalah : 1. Gambaran permintaan dan penyediaan akan layanan angkutan umum perkotaan 2. Gambaran kinerja angkutan umum yang beroperasi dewasa ini 3. Kualitas layanan angkutan umum
7
I.4. Kerangka Pemikiran Penyediaan sarana angkutan umum, menurut Cox (1996), ditujukan untuk pertama melayani kebutuhan sosial (to serve a social need) dengan memfasilitasi pergerakan bagi mereka yang kurang beruntung (misalnya keterbatasan pendapatan untuk memiliki kendaraan pribadi) dan kedua melayani kebutuhan lingkungan (to serve an environmental need) dengan menyediakan alternatif dibanding kendaraan pribadi dan karenanya akan mengurangi kemacetan lalu lintas, polusi udara dan konsumsi energi. Di negara berkembang kebutuhan akan layanan pergerakan belum sepenuhnya dapat disediakan oleh pemerintah sehingga memberi peluang kepada swasta untuk bergerak dalam usaha penyediaan jasa angkutan umum perkotaan. Dibanding layanan yang diberikan langsung oleh pemerintah, layanan yang diberikan oleh swasta tidak bisa melepaskan diri dari orientasi untuk mengejar keuntungan bahkan perhitungan untung-rugi merupakan faktor yang dominan dalam penyediaan layanan ini. Tidak adanya subsidi dari pemerintah membuat risiko usaha sepenuhnya menjadi tanggungan operator. Pada sisi lain ijin trayek yang berlaku hanya bersifat kebolehan bagi angkot untuk melintas pada jalur/lintasan yang ditentukan dan tidak ada sanksi bagi angkot seandainya tidak beroperasi sama sekali atau beroperasi hanya pada saat dan keadaan tertentu saja. Kinerja angkutan umum dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang kepentingan yaitu pemerintah, pengguna dan penyedia jasa. Bagi pemerintah kinerja yang dibutuhkan adalah layanan angkutan bagi kebutuhan pergerakan yang dapat mencakup semua lapisan masyarakat dari dan menuju semua zona/titik dalam batasan wilayah administratif. Kinerja tersebut memiliki perspektif efektifitas. Bagi penyedia jasa, kinerja yang penting adalah efisiensi yaitu rasio biaya terhadap pendapatan yang feasible bagi keberlanjutan usaha. Sementara bagi (calon) penumpang kinerja angkutan umum adalah ketersediaan layanan angkutan yang dapat diandalkan baik frekuensi maupun kapasitas untuk dapat melakukan mobilitas.
8
Karakteristik angkutan umum perkotaan di negara berkembang adalah sifatnya yang cenderung informal dengan perikatan antara pengemudi dan pemilik kendaraan menggunakan bentuk sewa-menyewa dan bukan hubungan kerja karyawan-atasan dengan tugas, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang jelas. Pemenuhan kewajiban sewa-menyewa merupakan satu-satunya penghubung antara pemilik kendaraan, sebagai pihak yang menyewakan, dan pengemudi sebagai pihak yang menyewa. Sebagai pihak yang akan mengoperasikan angkot secara langsung, dalam upaya meningkatkan produktifitas maka pengemudi akan berusaha menekan input dan secara bersamaan memaksimalkan output. Input bagi pengemudi yang dominan adalah bahan bakar yang berhubungan langsung sementara output ditentukan oleh jumlah penumpang yang diangkut. Kondisi lingkungan memberi batasan bagi pengemudi dalam upaya maksimalisasi keuntungan, dimungkinkan terjadinya perubahan dari waktu ke waktu, sementara bagi pemilik kendaraan besaran harga sewa-menyewa yang sifatnya tetap untuk jangka waktu tertentu melindungi pemilik dari risiko kerugian. Perspektif kinerja angkutan umum yang dikelola swasta karenanya tidak selalu berhubungan dengan tingkat layanan yang lebih baik. Kinerja bagi operator adalah produktifitas yang berarti pendapatan yang lebih tinggi dari biaya operasional. Mobilitas dan aksesibilitas, sebagai tujuan dari layanan angkutan umum perkotaan, yang bervariasi menurut ruang dan waktu menjadi tergantung pada kalkulasi untung-rugi pengemudi dan pemilik angkot. Tingkat layanan angkot yang rendah akan memberi dorongan bagi masyarakat untuk lebih memilih angkutan pribadi karena memberi kepastian dari sisi aksesibilitas dan mobilitas. Waktu tempuh yang bertambah akibat banyaknya titik kemacetan dan tundaan sepanjang perjalanan pada dasarnya berlaku bagi semua moda yang melintas sehingga apabila kepastian akses dan mobilitas tidak dapat dijamin oleh angkutan umum maka dapat dikatakan efektifitas fungsi angkot untuk memberi jasa pelayanan pergerakan menurun.
9
Secara skematis kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagaimana pada Gambar I.1 di bawah.
Manajemen transportasi
Tata Guna Lahan
Infrastruktur
Ketentuan trayek
Jaringan Jalan
1
Pusat-pusat kegiatan
3
2 Lintasan (ruas dan waktu)
4 Jumlah penumpang
Kemacetan lalu lintas
5
6 Pendapatan
Biaya operasional
8
7 tidak
Pendapatan > biaya
9 ya Pola Operasional Angkot
10 Gambar I.1 Kerangka Pemikiran Gambar I.1 di atas menjelaskan bahwa lintasan pergerakan angkot, yang akan membentuk pola pergerakan, merupakan hasil keputusan pengemudi yang mengkombinasikan antara tiga hal yaitu manajemen transportasi yang berlaku, sistem infrastruktur dan tata guna lahan. Salah satu penerapan manajemen transportasi perkotaan adalah pengaturan trayek bagi angkutan umum (Kotak 1 pada Gambar I.1). Ketentuan trayek merupakan dasar legalitas bagi angkot untuk beroperasi selain sebagai lisensi yang akan 10
membatasi jumlah angkot sejenis pada rute yang sama. Bagi pengelola transportasi perkotaan, ijin trayek merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengendalikan keseimbangan antara supply dan demand jumlah angkutan umum yang beroperasi. Kotak 2 mewakili sistem jaringan infrastruktur yang memberi angkutan umum fasilitas dan juga sebagai batasan ruang secara fisik sebagai salah satu kondisi lingkungan operasional. Termasuk dalam kategori ini juga adalah kinerja jaringan jalan yang ada misalnya keseimbangan antara kapasitas jaringan jalan dengan jumlah kendaraan yang melintas. Jumlah kendaraan yang melewati kapasitas akan menghasilkan kemacetan lalu lintas yang mengurangi keinginan pengemudi kendaraan untuk melintasinya. Kotak 1 dan Kotak 2 merupakan gambaran dari penyediaan (provision) angkutan. Sebagai kegiatan yang merupakan turunan dari kegiatan lain, maka salah satu faktor penting dalam transportasi adalah pemahaman akan tingkat kebutuhan (demand). Tingkat kebutuhan secara tidak langsung akan tergambar dari tata guna lahan (Kotak 3). Perbedaan guna lahan akan menghasilkan jumlah dan jenis kebutuhan akan angkutan yang juga berbeda. Pusat kegiatan yang memusat akan menghasilkan tujuan perjalanan yang juga memusat. Pada wilayah dengan guna lahan yang beragam maka tujuan perjalanan akan juga beragam misalnya wilayah pendidikan, wilayah perkantoran atau wilayah perdagangan. Perjalanan dengan tujuan bekerja atau pendidikan memiliki pola, baik ruang (spatial) maupun waktu (temporal), yang berbeda dengan perjalanan tujuan belanja atau wisata misalnya. Sebagai respon terhadap ketiga hal di atas (Kotak 1,2 dan 3) maka operasional angkot akan membentuk lintasan pergerakan yang mengkombinasikan ketiga faktor tersebut (Kotak 4). Pola lintasan ini tidak bersifat statis karena merupakan hasil keputusan pengemudi waktu demi waktu sehingga bersifat dinamis. Faktor utama yang menjadi penyebab adalah upaya maksimalisasi pendapatan pengemudi. Jumlah penumpang yang tinggi (Kotak 5) dan dengan tingkat kemacetan yang rendah (Kotak 6) akan menguntungkan sehingga merupakan kondisi ideal bagi pengemudi. Sebaliknya jumlah penumpang yang rendah
11
ditambah kemacetan yang tinggi akan mengurangi pendapatan pengemudi. Pilihan lintasan ini dibatasi oleh ketentuan trayek dan juga sistem jaringan jalan (Kotak 1 dan 2). Dari kondisi jumlah penumpang yang ada maka pengemudi akan memperoleh tingkat pendapatan tertentu (Kotak 7). Pada sisi lain pusat-pusat kegiatan juga merupakan bentuk pemusatan waktu dan arah perjalanan sehingga terdapat kemungkinan bahwa kapasitas jaringan jalan akan tercapai atau bahkan terlewati. Kecenderungan terjadinya ketidakseimbangan ini tergambar dari terjadinya tundaan dalam perjalanan ataupun kemacetan lalu lintas (Kotak 6). Tundaan atau kemacetan menimbulkan tambahan biaya baik dari sisi finansial maupun dari sisi waktu (Kotak 8) yang merupakan beban dalam operasional angkot. Keputusan waktu ke waktu pengemudi angkot dihipotesa adalah akan didasarkan pada pembandingan antara biaya riel yang dikeluarkan dalam operasional terhadap tingkat pendapatan (Kotak 9). Apabila pendapatan lebih rendah dari biaya maka pengemudi akan merubah lintasannya baik menurut ruang (melintasi ruas-ruas tertentu saja) ataupun menurut waktu (beroperasi hanya pada saat-saat tertentu). Apabila biaya seimbang atau sama dengan pendapatan maka pengemudi tidak memperoleh keuntungan yang merupakan porsi pengemudi sebagai jumlah yang akan dibawa pulang (take home pay). Pada kondisi pendapatan dan biaya oerasional yang seimbang maka pemilik kendaraan telah diuntungkan dari perolehan sewa kendaraan yang tidak tergantung dari kondisi riel yang dihadapi oleh pengemudi di lapangan. Pola yang terjadi di lapangan adalah pengemudi berupaya agar target setoran ini tercapai secepatnya sehingga kelebihan perolehan dibandingkan target setoran (marjin keuntungan), dengan memperhitungkan biaya operasional di lapangan, akan merupakan bagian sepenuhnya pengemudi. Dampak dari maksimalisasi keuntungan adalah terbentuknya pola operasional angkot yang sebenarnya di lapangan (Kotak 10) yang tidak mesti selalu sama dengan ketentuan dalam ijin trayek. Fenomena pemotongan rute, ngetem ataupun
12
menaik-turunkan penumpang secara sembarangan adalah gambaran dari upaya maksimalisasi keuntungan ini. Kategori angkutan umum sebagai moda yang memiliki rute dan jadwal yang tetap (fixed route and schedule) pada kondisi operasional semacam ini menjadi tidak terlalu tepat karena terdapatnya variasi panjang lintasan maupun waktu pergerakan. Dampak lebih jauhnya adalah tingkat keandalan layanan angkot dan efektifitas kebijakan trayek sebagai penyedia layanan angkutan umum di perkotaan.
I.5. Metodologi Penelitian 1.5.1 Bentuk Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif survey yaitu penelitian yang, menurut Kerlinger (1996) dalam Riduwan (2006), dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis. 1.5.2 Variabel penelitian Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kinerja operasional angkot yang terdiri dari kinerja finansial dan efisiensi biaya yang diukur pada tingkat pengemudi. Atribut variabel kinerja finansial adalah perbandingan penerimaan terhadap pengeluaran, biaya operasi untuk setiap penumpang yang diangkut dan biaya operasi untuk setiap satuan jarak yang ditempuh. Atribut variabel efisiensi adalah total biaya operasional terhadap total pendapatan untuk setiap satuan jarak tempuh ataupun setiap satuan waktu (Yu, 1982 dalam Khisty dan Lall, 2003). 1.5.3. Kerangka Analisa Kinerja angkutan dapat diukur dalam beberapa dimensi namun ukuran kinerja jangka panjang yang utama adalah produktifitas yaitu menghasilkan lebih banyak output dibanding dengan input yang dikonsumsi. Peningkatan produktifitas dapat 13
dihasilkan melalui beberapa cara, di antaranya dengan menekan inefisiensi dalam penggunaan teknologi yang ada, perbaikan teknologi dan kemampuan atau karena adanya perbedaan dalam lingkungan operasional yang mempengaruhi baik input maupun output (Waters II, W.G dalam Hensher dan Button (ed), 2005 hal 355360). Kinerja finansial adalah pendapatan per hari dibagi biaya untuk operasi setiap harinya (Wibowo, 1994). Input dalam penyediaan layanan angkutan terdiri dari finansial dan sumber daya (misalnya tenaga kerja, peralatan, material dan infrastruktur) sehingga kategori umum dalam pengukuran kinerja angkutan umum didasarkan pada kedua jenis input ini. Kategori finansial dalam penilaian kinerja mencakup ukuran biaya, pendapatan dan keseimbangan antara keduanya. Ukuran kinerja berdasarkan kategori tersebut misalnya total biaya operasi, total pendapatan dan perbandingan antara biaya dengan pendapatan. Ukuran kinerja berdasarkan kategori sumber daya misalnya total pekerja, kapasitas sistem, konsumsi energi dan jarak tempuh (Hodge dan Orrell, 1995). Output merupakan pernyatan jumlah layanan misalnya jumlah armada, frekuensi, kapasitas kendaraan dan lain-lain (Feilding, 1987 dalam Eriawan, 1992). Output dibedakan antara indikator sediaan murni (pure supply), misalnya jumlah kendaraan atau jumlah tempat duduk, dan ukuran yang menggambarkan tingkat kebutuhan layanan misalnya jumlah penumpang (De Borger, 2002). Sebagai akibat dari jumlah muatan yang diangkut, kualitas layanan yang disediakanpun akan berubah-ubah sehingga penilaian kualitas layanan harus dilihat sebagai sesuatu yang dinamis (Sussmann, 2000). Menurut Friedrich (2006), untuk mengukur kualitas layanan angkutan umum juga harus dilihat pada 2 (dua) tingkat yang berbeda yaitu pada unit angkutan umum langsung (single public transport items) dan pada keseluruhan perjalanan (entire journeys). Pada tingkatan yang pertama, pengukuran dilakukan pada unit yang dipilih, misalnya pada rute tertentu atau moda tertentu, sementara yang terakhir mengukur pada keseluruhan rangkaian perjalanan penumpang mulai dari titik asal (origin) sampai
14
titik tujuan (destination) yang memungkinkan juga mencakup pergantian moda atau rute. Penilaian kinerja dan kualitas layanan dalam penelitian ini dipisahkan lagi pada tingkatan pengemudi (sopir) dibanding menganggap bahwa pengemudi dan pemilik merupakan satu kesatuan sebagaimana dikaji dalam banyak literatur mengenai angkutan umum perkotaan. Pengemudi angkot pada dasarnya bukan karyawan langsung dari operator (perusahaan atau pemilik kendaraan). Sistem sewa-menyewa yang berlaku dalam operasional angkot sehari-hari memperjelas pemisahan ini dimana pemilik dan pengemudi memiliki tingkat sasaran yang berbeda sekalipun memiliki tujuan sama untuk memaksimalkan keuntungan. 1.5.4 Tahapan penelitian Secara singkat tahapan dalam penelitian ini adalah: a.
Pengumpulan data, dilakukan sesuai dengan jenis data yang akan digunakan
b.
Analisa statistik untuk mengetahui gambaran hubungan antara variabelvariabel yang diteliti
c.
Interpretasi terhadap keluaran statistik dan penarikan kesimpulan
Pengumpulan data, dilakukan sesuai dengan jenis data yang akan digunakan yaitu: - untuk data sediaan (supply data) berupa ijin, karakteristik trayek dan jumlah armada yang terdaftar, tata guna lahan, data sosiodemografi menggunakan data sekunder yang bersumber dari terbitan atau yang dikeluarkan oleh institusi yang berwenang seperti Dinas Perhubungan, BPS, Dinas Tata Kota, Kepolisian, dan Bappeda Kota Bandung - untuk data kebutuhan (demand data) berupa interval layanan angkot, waktu tempuh untuk setiap siklus trayek, lintasan pergerakan dan karakteristik operasional lainnya menggunakan survey primer yaitu dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan di sepanjang lintasan yang menjadi bagian dari trayek yang dikaji dan wawancara dengan pengemudi angkot yang beroperasi
15
Survey primer yang dilakukan meliputi traffic counting surveys dan on board surveys. Pada traffic counting surveys pengamatan dilakukan pada lima titik yang tercakup dalam lintasan trayek, yaitu pada Jl Pahlawan, Dipati Ukur, Jl Eyckman, Jl Pajajaran dan Jl Arjuna, dengan pencatatan pada jumlah angkot yang melintas pada interval waktu setiap 30 menit. On board surveys berguna untuk mendapatkan informasi mengenai situasi yang terjadi selama pergerakan setiap angkot yang diteliti. Survey ini juga mencakup wawancara dengan pengemudi selain dengan melakukan pengisian blangko atas setiap situasi yang dihadapi dalam perjalanan. Ruas jalan yang dijadikan lokasi pengamatan adalah ruas-ruas jalan sepanjang ketentuan trayek dengan mempertimbangkan titik-titik dimana angkot memiliki peluang untuk berbalik arah (berputar dan memotong rute) tanpa meneruskan dan menyelesaikan lintasan trayek secara penuh. Untuk mendapatkan gambaran preferensi pengemudi terhadap kondisi kemacetan maupun tangkapan penumpang dilakukan dengan wawancara terhadap pengemudi angkot. Jumlah sampel yang diwawancara dihitung berdasarkan jumlah populasi angkot pada trayek Cicaheum – Ciroyom, yaitu sebanyak 206 angkot terdaftar, dan dengan tingkat kesalahan 10% dengan persamaan berikut :
n= Dimana
N 1 + N (e) 2 n N e
= = =
jumlah sampel jumlah populasi error
sehingga jumlah sampel yang diambil secara acak (random sampling) dari populasi pengemudi angkot trayek Cicaheum-Ciroyom adalah 206 1 + 206(0.1) 2 n = 67 n=
16
Kajian tentang preferensi penumpang terhadap layanan angkutan umum di Kota Bandung, angkot dan bis kota DAMRI, yang pernah dilakukan antara lain oleh Yuliana (2003) dengan jumlah responden 100 orang (derajat error 10%) sementara Juwono dan Kubota (2007) menggunakan sampel sejumlah 1000 responden. Dalam penelitian ini responden penumpang diambil sebanyak 100 (seratus) orang. Pelaksanaan survey mempertimbangkan hari dan jam sibuk. Berdasarkan Muchsan (1989) yang dikutip oleh Angkeara (1997) dan Yuliana (2003) sebagian besar tujuan pergerakan di Kota Bandung adalah untuk bekerja, belanja dan sekolah. Pergerakan dengan tujuan bekerja umumnya terjadi antara jam 07.0009.00, jam 12.00-14.00 dan 16.00-17.00, pergerakan untuk tujuan belanja pada umumnya dilakukan antara jam 09.00 – 11.00 dan pergerakan untuk tujuan sekolah pada umumnya dilakukan antara jam 07.00-08.00 dan 12.00-14.00. Survey primer dilakukan selama satu minggu dengan mengambil hari-hari yang dianggap dapat mewakili kemungkinan terjadinya perubahan pola pergerakan angkot yaitu Senin, Jum’at dan Minggu. I.6. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan penelitian ini dibagi dalam 5 (lima) tahap yaitu : BAB I Pendahuluan Bab ini merupakan uraian mengenai latar belakang studi, identifikasi permasalahan, tujuan dan manfaat studi, lingkup studi dan metode pendekatan yang digunakan
BAB II Tinjauan Pustaka Bab ini menguraikan tinjauan terhadap sejumlah literatur yang mengkaji sistem transportasi dalam kegiatan di perkotaan, peran angkutan umum perkotaan,
17
kondisi lingkungan penyediaan jasa transportasi perkotaan dan praktek penyediaan jasa angkutan umum. BAB III Perkembangan Kota dan Karakteristik Angkutan Umum Kota Bandung Bab ini menguraikan perkembangan fisik Kota Bandung, perkembangan dan pertumbuhan penduduk, sistem penyediaan dan pengelolaan angkutan umum dan perkembangannya dan kebijakan pemerintah kota dalam menangani transportsai perkotaan BAB IV Pola Operasional Angkot Cicaheum-Ciroyom Bab ini menguraikan kondisi supply dan demand layanan angkutan umum, pola operator dalam memaksimalkan tingkat utilitas dari input layanan angkutan yang diberikan dan mekanisme operator (pengemudi) dalam menyeimbangkan kebutuhan dan penyediaan layanan. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi Bab ini merupakan kesimpulan dari uraian dan kajian pada bab-bab sebelumnya, rekomendasi terkait hasil kesimpulan. Bab ini juga mengungkapkan kelemahankelemahan yang ada dalam studi.
18