BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada
pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan yang sangat sering terjadi pada batas lempeng inilah yang seringkali menimbulkan gempabumi berkekuatan besar dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Gempabumi yang terjadi di Indonesia, empat diantaranya merupakan gempabumi terbesar setelah tahun 1990 yang tercatat oleh USGS (United States Geological Survey), yaitu gempabumi Aceh pada 26 Desember 2004 berkekuatan Mw 9,1 yang menimbulkan tsunami, gempabumi Nias pada 28 Maret 2005 berkekuatan Mw 8,6, gempabumi Aceh pada 11 April 2012 berkekuatan Mw 8,6, dan gempabumi Bengkulu pada 12 September 2007 berkekuatan Mw 8,5. Gempabumi dengan kekuatan besar tersebut terjadi di Pulau Sumatera, salah satu pulau yang memiliki seismisitas paling aktif di Indonesia. Seismisitas Sumatera erat hubungannya dengan kondisi tektonik Sumatera. Kondisi tektonik tersebut dipengaruhi oleh aktivitas subduksi Lempeng Samudra Indo-Australia terhadap Lempeng Benua Eurasia. Kenampakan peristiwa tektonik ini dapat dilihat pada punggungan busur luar (outer arc ridge) yang berupa lipatan dan patahan aktif, punggungan busur dalam (inner arc ridge) atau dikenal sebagai sistem patahan Sumatera (Sumatera Fault Sistem), serta Sesar Sumatera (megathrust). Gempabumi dengan magnitudo kecil dan menengah lebih sering terjadi dibandingkan dengan gempabumi berkekuatan besar. Gempabumi dengan magnitudo besar jarang terjadi karena sedikitnya kejadian gempabumi (M>7) yang dapat diamati di dalam data sejarah perekaman gempabumi. Data yang digunakan untuk menyatakan hal tersebut adalah data hasil perekaman gempabumi, yang sudah dimulai pada awal masehi (Biagi, 2010).
1
2
Penelitian tentang gempabumi yang telah dilakukan pada umumnya mengambil studi kasus gempabumi berkekuatan besar. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan jumlah data gempabumi yang tersedia, gempabumi berkekuatan besar sangat jarang terjadi, sedangkan gempabumi dengan skala menengah ataupun kecil sangat sering terjadi. Fakta menarik tersebut mendorong peneliti untuk melakukan riset kegempaan menggunakan studi kasus gempabumi berskala menengah, diharapkan dengan ketersediaan data yang cukup akan mampu mendukung analisis penelitian dengan lebih baik. Hal yang terus dikembangkan oleh beberapa peneliti adalah penelitian tentang prediksi gempabumi. Parameter prediksi gempabumi adalah lokasi, besar kekuatan gempabumi (magnitudo) dan waktu terjadinya gempabumi. Prediksi jangka panjang telah dilakukan dengan pemetaan geologi, tantanganya adalah melakukan prediksi jangka pendek dengan mengetahui secara tepat, dimana gempabumi akan terjadi, berapa besar kekuatannya dan kapan gempabumi tersebut terjadi. Beberapa peneliti meyakini bahwa gempabumi diawali dengan perubahan pada beberapa parameter fisika, yaitu perubahan kepadatan, kandungan air, kandungan elektron, sifat kemagnetan, sifat radio aktif dan lain sebagainya. Hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya fenomena tersebut adalah adanya akumulasi energi regangan menyebabkan tingkat tegangan (stress) yang mendekati batas maksimum tegangan kerak bumi. Akumulasi regangan (strain) di sekitar pusat gempabumi menyebabkan perubahan fisis yang teramati sebagai tanda awal (prekursor) gempabumi. Berdasarkan perubahan sifat fisis tersebut, banyak parameter geofisika yang sudah dikembangkan untuk penelitian yang berhubungan dengan gempabumi, diantaranya metode seismik dengan perbandingan kecepatan gelombang seismik, elektromagnetik, dan magnetik. Pada penelitian ini digunakan parameter magnetik untuk menganalisis prekursor gempabumi, metode ini lebih mudah untuk dianalisis dan lebih banyak diterapkan pada penelitian-penelitian prekursor selama lima tahun terakhir, sehingga diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
3
Penelitian prekursor gempabumi yang pernah dilakukan menggunakan parameter magnetik untuk mengamati gempabumi Aceh (Mw 9,0) tahun 2004 dan gempabumi Nias tahun 2005 (Mw 8,7), telah dilakukan pada tahun 2008 (Saroso dkk., 2009). Penelitian tersebut dilakukan dengan mengamati perubahan sinyal ULF (Ultra Low Frequency). Karakteristik prekursor gempabumi yang berhubungan dengan emisi ULF medan magnet bumi (Ultra Low Frequency, f < 1 Hz), dianggap paling potensial untuk studi prekursor gempabumi jangka pendek (Hirano dan Hattori, 2011, Kopytenko dkk., 1999, Hayakawa dkk., 1996, Hattori dkk., 2004, Hattori dkk., 2006). Variasi medan magnet bumi yang dapat dikategorikan sebagai prekursor gempabumi pada sinyal ULF diketahui dengan menggunakan metode polarization power ratio (Yumoto dkk., 2009). Rasio komponen horizontal dan vertikal di korelasikan dengan DST index (Disturbance Solar Time) untuk melihat apakah variasi medan magnet yang terjadi disebabkan oleh gempabumi atau akibat aktivitas matahari. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa adanya kenaikan medan magnet sebelum terjadinya gempabumi. Pada studi kasus gempabumi yang lain (Gunawan, 2012), yaitu pada gempabumi Padang tahun 2009, dengan kekuatan Mw 7,6 dan gempabumi Mentawai tahun 2010, dengan kekuatan Mw 7,8 , masing-masing berjarak 141 km dan 358 km dari KTB (Kotabang, Sumatera). Metode yang dilakukan adalah menganalisis data magnet bumi menggunakan periode 10-45 detik yang berasosiasi dengan gangguan magnet bumi eksternal dan hubungannya dengan prekursor gempabumi. Untuk memantau gangguan eksternal, digunakan indeks magnet bumi, yaitu indekss DST, polarisasi power rasio komponen vertikal dan horizontal (Z/H) dibandingkan dengan stasiun referensi DAV (Davao Filipina) dan DAW (Darwin, Autralia) yang merupakan jaringan MAGDAS untuk mewakili variasi medan magnet bumi di ekuator. Hasilnya diperoleh karakteristik dan lamanya perubahan dari sinyal prekursor untuk kedua gempabumi tersebut. Parameter magnetik yang diamati pada penelitian-penelitian tersebut bersifat lokal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan dkk. (2012),
4
menunjukkan perbedaan rentang waktu terjadinya perubahan medan magnet bumi pada gempabumi dengan kekuatan yang berbeda dan pada jarak yang berbeda. Jarak yang dimaksud adalah perbedaan lokasi antara titik sumber gempa di permukaan
(episenter)
dengan
stasiun
pengamatan
geomagnetik.
Dapat
disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa terdapat hubungan antara jarak dan besar kekuatan gempabumi, yang berkaitan dengan prekursor gempabumi dengan menggunakan parameter geomagnetik. Penelitian terbaru menyatakan persamaan empiris adanya hubungan antara jarak (stasiun ke episenter) dengan besar magnitudo (Hattori dkk., 2006). Pada tahun 2014-2015, gempabumi yang terjadi di Pulau Sumatera, yang terdeteksi oleh stasiun seismik BMKG berada pada rentang magnitudo 1-6. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa analisis prekursor akan baik dilakukan pada rentang magnitudo menengah hingga tinggi (M>5), (Hattori, 2012; Hirano, 2010; Takla, 2012). Stasiun geomagnetik MAGDAS BMKG yang berada di Pulau Sumatera, diantaranya adalah Stasiun Gunung Sitoli (Pulau Nias, Sumatera Utara), Stasiun Liwa (Lampung), Stasiun Sicincin (Sumatera Barat). Stasiun pemantauan medan magnet bumi tersebut mulai digunakan tahun 2013, dan banyak mengalami kendala pada saat awal pemasangan. Data rekaman variasi medan magnet bumi baru dapat terekam jelas pada tahun 2014. Mengacu pada kondisi stasiun, kekuatan gempa, dan penelitian sebelumnya (Hattori, 2006), penelitian ini akan dilakukan dengan memperhitungkan jarak, magnitudo, data dan kondisi stasiun pemantauan medan magnet bumi BMKG untuk menentukan lokasi dan gempabumi yang akan dianalisis lebih lanjut. I.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah metode monitoring magnetik dapat digunakan untuk menunjukkan perubahan nilai medan magnet bumi yang berhubungan dengan kejadian gempabumi Lampung tanggal 7 dan 31 Maret 2014?
5
2. Bagaimana karakterisik perubahan nilai medan magnet bumi yang terjadi sebelum gempabumi Lampung pada tanggal 7 dan 31 Maret 2014? I.3
Batasan Masalah Pada penelitian ini terdapat beberapa batasan masalah sebagai berikut: 1. Data yang digunakan adalah data medan magnet bumi yang diukur menggunakan alat magnetometer digital LEMI-08, mencatat dan menampilkan data multikomponen (X, Y, Z, dan F) setiap satu detik. X dan Y merupakan komponen horizontal medan magnet bumi. Z merupakan komponen vertikal medan magnet bumi. F merupakan komponen total medan magnet bumi. 2. Stasiun geomagnetik yang digunakan adalah Stasiun MAGDAS, yaitu stasiun LWA, Lampung (Stasiun Utama) dan SCN Sicincin, Sumatera Selatan (Stasiun Pembanding). 3. Data pengukuran nilai medan magnet bumi yang digunakan adalah data pada Bulan Februari hingga Maret 2014. 4. Gempabumi yang dianalisis adalah gempabumi yang terjadi di Lampung pada tanggal 7 dan 31 Maret 2014 yang dipilih menggunakan persamaan Hattori dkk., (2006) yaitu 0,025 R ≤ M – 4,5, dengan R merupakan jarak antara episenter dengan stasiun pengamat, M merupakan magnitudo lokal gempabumi.
I.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui hubungan perubahan nilai medan magnet bumi terhadap kejadian gempabumi Lampung pada tanggal 7 dan 31 Maret 2014, berdasarkan penelitian Hattori dkk. (2006). 2. Mengetahui karakterisik perubahan nilai medan magnet bumi yang terjadi sebelum gempabumi Lampung pada tanggal 7 dan 31 Maret 2014.
6
3. Memberikan kajian terhadap kekurangan dan kelebihan studi dengan menggunakan data monitoring magnetik. I.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, adapun manfaat yang
dapat diberikan: 1. Memberikan sebuah kajian tentang perubahan nilai medan magnet bumi terhadap gempabumi yang diterapkan pada gempabumi dengan magnitudo menengah, di Pulau Sumatera. 2. Memberikan pertimbangan bagi peneliti maupun instansi pemerintah untuk mengkaji gempabumi dengan skala menengah yang lebih sering terjadi di Indonesia, khususnya sebagai upaya peningkatan kemampuan prediksi gempabumi. 3. Sebagai bahan kajian oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan sistem prediksi gempabumi dan mitigasi yang terintegrasi. I.6
Daerah Penelitian Daerah penelitian terletak di Pulau Sumatera, tepatnya berada pada 4,65°
Lintang Selatan, 103,78° Bujur Timur dan 4,97° Lintang Selatan, 103,95° Bujur Timur. Wilayah penelitian tersebut berdasarkan titik gempabumi yang diamati pada penelitian ini, yaitu gempabumi Lampung tanggal 7 Maret dan 31 Maret 2014. Gempabumi tersebut dipilih dari gempabumi dengan magnitudo sedang hingga kuat yang terajadi di Pulau Sumatera dan memenuhi persamaan Hattori dkk. (2006). Persamaan tersebut menunjukkan hubungan jarak episenter gempabumi terhadap stasiun pengamat dan magnitudo gempabumi. Semakin besar magnitudo gempabumi, maka semakin jauh pula daerah yang dimungkinan masih terkena efek gempabumi tersebut. Berdasarkan data lokasi stasiun geomagnetik milik BMKG, dipilih stasiun LWA dan SCN pada penelitian ini, karena stasiun ini memiliki hasil pengukuran yang lengkap dan di sekitarnya terdapat kejadian gempabumi yang memenuhi persaaan Hattori dkk. (2006). Jarak titik lokasi terjadinya gempabumi 7 Maret 2014
7
dengan stasiun geomagnetik LWA (5° LS 104° BT) adalah 51 km, stasiun geomagnetik SCN (0,5° LS 100° BT) adalah 300 km. Jarak titik lokasi terjadinya gempabumi 7 Maret 2014 dengan stasiun geomagnetik LWA adalah 13 km, dan stasiun geomagnetik SCN adalah 350 km. Gambar I.1 menunjukkan lokasi stasiun geomagnetik dan lokasi terjadinya gempabumi tanggal 7 dan 31 Maret 2014. Titik gempabumi yang terjadi berada di sekitar stasiun LWA, kasus gempabumi pertama (7 Maret 2014) berjarak 43 km dan pada gempabumi 31 Maret 2014 berjarak 3,5 km dari stasiun LWA.
Gambar I.1
Daerah Penelitian, kotak hitam menunjukkan lokasi stasiun monitoring magnetik MAGDAS di Pulau Sumatera, lingkaran berwarna ungu menunjukkan lokasi gempabumi yang menjadi studi kasus penelitian, di dalam lingkaran ungu terdapat lingkaran kuning yang menunjukkan episenter gempabumi tanggal 7 Maret 2014 dan lingkaran merah yang menunjukkan episenter gempabumi tanggal 31 Maret 2014.