BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Disabilitas intelektual (DI) yang dahulu disebut juga dengan retardasi mental, adalah suatu keadaan dimana adanya keterbatasan kemampuan seseorang untuk belajar pada tingkat dan fungsi yang diharapkan dalam kehidupan. Tingkatan dari DI bervariasi pada kebanyakan anak-anak, mulai dari sangat ringan sampai masalah berat. Anak dengan DI mempunyai kesulitan untuk memberitahukan keinginan dan kebutuhannya dan memenuhi kebutuhannya sendiri, anak belajar dan berkembang lebih lambat dari anak seusianya dan membutuhkan waktu lama untuk belajar bicara, berjalan, memakai baju, atau makan tanpa bantuan dan mereka akan kesulitan dalam belajar disekolah. Hal ini akan berpengaruh tidak hanya terhadap penderita disabilitas tetapi juga melibatkan keluarga dan lingkungan.1 DI bisa disebabkan karena berbagai faktor seperti kelainan genetik, faktor herediter, kongenital ataupun masalah-masalah saat perkembangan. Masalah saat perkembangan salah satunya bisa disebabkan oleh cedera, penyakit, atau masalah pada otak.1 Kompleksitas masalah pada pasien ini membutuhkan penanganan yang multidisipliner dan komprehensif, melibatkan sub bagian nefrologi anak, tumbuh kembang anak, neurologi anak, psikolog, rehabilitasi medik, bagian telinga hidung dan tenggorokan, bagian mata, bagian gigi dan mulut, guru, pekerja sosial dan yang paling penting adalah keikutsertaan dari orang tua. Peran serta orang tua pada penangan pasien ini adalah vital, penerimaan orang tua terhadap anak dengan DI akan mempengaruhi prognosis dari pasien ini. Orang tua yang sudah diberi pengertian dan menerima kondisi anak akan membantu perbaikan dari kondisi DI, sebaliknya jika ada penolakan dan orang tua mengharapkan anaknya “normal” bisa menyebabkan kondisi anak lebih memburuk, depresi, dan akan mempengaruhi orang tua dan keluarga lainnya bila hasil yang diharapkan tidak sesuai. 2 Selain itu kondisi DI, epilepsi dan SN membutuhkan pengobatan jangka lama, kontinyu, taat pada protokol pengobatan, pengawasan terhadap kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh penyakit utama yang bisa menyebabkan rasa frustasi pada orang tua. Pada kondisi ini dibutuhkan edukasi dan pendampingan yang baik dari bagian medis dan psikolog. Kompleksitas masalah pada pasien ini menjadi alasan peneliti untuk mengambil kasus dan dijadikan longitudinal case. Diharapkan dengan diikutsertakannya pasien dalam longitudinal case, permasalahan yang kompleks tadi bisa ditatalaksana dengan baik. Hal-hal 1
yang bisa diintervensi bisa dilakukan sedini mungkin dan diharapkan hasil yang lebih baik. Peneliti juga ikut mendampingi orang tua dalam mengawasi kondisi pasien, memberikan edukasi langsung kepada orang tua bila terjadi kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh penyakitnya.
I.2. Deskripsi Kasus Singkat Tabel 1. Identitas Pasien Nama
: NH
Nama ayah : Tn T
Umur/Tanggal lahir : 11/01/2008
Umur
: 37tahun
Jenis Kelamin
: laki laki
Pendidikan : SMP
Alamat
: Jl. Gatotsubroto,Cilacap
Pekerjaan : Swasta
Masuk RS
: 19/12/2013
Nama ibu : Ny LH
No CM
: 1562597
Umur
Tanggal diperiksa
: 19/12/2013
Pendidikan : SMP
Usia saat ini
: 6 tahun
Pekerjaan : IRT
: 42
Sejak Januari 2011 anak didiagnosis sebagai SN oleh dokter spesialis anak di RSUD Cilacap berdasarkan adanya riwayat bengkak, pemeriksaan urinalisis didapatkan protein urin +3, dan hiperkolesterolemia, kolesterol >200, saat itu anak mendapat terapi steroid sesuai protokol SN sampai fase alternating selama 2 bulan, orang tua tidak tahu dosis yang diberikan karena obat yang diberikan dalam bentuk puyer. Setelah selesai pengobatan, SN remisi. Maret 2011 SN relaps, anak tampak bengkak lagi, diperiksa urinalisis proteinuria +2, dan dimulai diterapi SN lagi. Protokol dimulai dari awal dengan full dose sampai alternating dose selama 2 bulan. Orang tua menghentikan sendiri pengobatan karena dianggap tidak membaik, dan membawa anak ke pengobatan alternatif selama dua bulan dengan memberikan
madu. Menurut orang tua saat itu keadaan anak tampak membaik. Bulan
Oktober 2011 anak tampak bengkak lagi, buang air kecil berkurang, dari hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan protein +4, anak diterapi dengan steroid
full dose lagi di RSUD
Cilacap. Bulan November 2011 dimulai alternating dose. Tanggal 12 Desember 2012 anak mengeluhkan sakit kepala di bagian kanan, anak muntah sampai tiga kali, menurut orang tua muntah terkesan menyemprot, mata anak tiba-tiba melirik kekanan dan dibawa oleh orang tua ke IGD RSUD Cilacap. Di RSUD Cilacap anak sempat kejang 2 kali, dengan kesan fokal pada tangan dan kaki kiri selama kurang lebih 2 menit, kejang berhenti dengan diazepam rektal. Anak tidak sadar dan dari pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan darah 2
150/120, karena tidak ada perbaikan saat dirawat di RSUD Cilacap, orang tua minta dirujuk ke RSUP Dr Sardjito. Tanggal 17 Desember 2011 anak dirujuk dari RSUD Cilacap dengan diagnosis penurunan kesadaran karena ensefalopati hipertensi. Di RSUP Dr Sardjito anak dirawat bersama oleh sub bagian nefrologi dan neurologi anak, dilakukan work up untuk tatalaksana SN dan hipertensi ensefalopati, dilakukan pelacakan ke organ target, dari sub bagian neurologi dicurigai dengan ensefalopati hipertensi dilakukan work up dengan pemeriksaan computed tomography scan (CT scan) dan electroencephagraphy (EEG). Dari konsul bagian mata ditemukan adanya retinopati hipertensi. Hasil pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran edema serebri dan mikrosefali. EEG menunjukkan abnormal epileptiform fokal di fronto central kiri. Dari sub bagian neurologi anak didiagnosis edema serebri dan epilepsi, diberikan terapi manitol, karbamazepin dan pirasetam. Tanggal 17 Januari 2012 keadaan anak membaik, anak dipulangkan. Dilakukan pelacakan pada organ
target hipertensi, 30 Januari 2012 dilakukan pemeriksaan
brain
evoked response auditory (BERA) didapatkan hasil telinga kanan 60db, telinga kiri 60db dan tidak mendapatkan terapi saat itu. Tanggal 16 Februari 2012 diperiksakan ke bagian mata dan didapatkan hasil retinopati hipertensi membaik.
Gambar 1. Gambaran edema serebri dan brain iskemi pada lobus frontal dextra serta temporoparietal bilateral
3
Gambar 2. Ct angiografi pada pasien
Tanggal 3 September 2012 (usia 4 tahun 7 bulan) anak dibawa ke poli tumbuh kembang anak RSUP Dr Sardjito karena perilakunya yang sangat hiperaktif dan suka memukul-mukul barang. Berdasarkan pemeriksaan sesuai dengan kriteria diagnostic and statistical manual of mental disorder IV di poliklinik tumbuh kembang RSUP Dr Sardjito, disimpulkan anak mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH). Saat itu anak mendapatkan terapi stimulan berupa metilfenidat dengan dosis 2,5 mg pagi dan 2,5 mg sore dan menjalani terapi perilaku dengan bimbingan dari psikologi anak. Bulan Maret 2013 (usia 5 tahun 2 bulan) anak kontrol ke poliklinik tumbuh kembang anak dan dilakukan evaluasi, anak sudah bisa tahan duduk lebih lama, bisa diminta latihan memasukkan benda ke dalam wadah meski harus dibantu, jika diberi peringatan tatap muka anak bisa mengikuti. Bisa mengatakan keinginan secara non verbal. Terapi perilaku dilanjutkan, anak kontrol setelah 2 bulan. Bulan Agustus 2013 SN relaps (SN terakhir remisi pada bulan Februari 2012), ditemukan udem palpebra dan pretibial, hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan protein +3, anak mendapatkan terapi prednison full dose sampai remisi dan dilanjutkan dengan prednison alternating dose. Evaluasi EEG menunjukkan abnormal hipofungsi fokal di hemisfer kiri dan frontocentral kiri disertai gambaran epileptiform yang kurang tipikal, brain mapping menguatkan gambaran tersebut. Dapat sesuai dengan klinis kejang fokal. Anak dikonsultasikan ke bagian tumbuh kembang dievaluasi BERA telinga kiri 45db dan telinga kanan 45db, kesan membaik dari BERA sebelumnya.
4
Tanggal 19 Desember 2013 SN relaps yang ke-empat, ditemukan edema palpebra, asites, anak datang dengan keluhan bengkak di pipi disertai nyeri gigi. Anak didiagnosis dengan SN relaps sering dan mulai diterapi dengan protokol SN relaps sering, steroid full dose, captopril 2x6,25 (0,3mg/kg/hari), kalk 1x500, amoxicilin 3x300mg (50mg/kg/hari), citikolin 2x160, piracetam 3x400mg (15mg/kg/hari), karbamazepin 2x140 (10-20mg/kg/hari) mg dan dikonsultasikan ke bagian gigi. Anak pulang rawat tanggal 24 Desember 2013, hasil evaluasi EEG: hipofungsi fokal dengan epileptiform fokal (dibandingkan eeg lama ditemukan penurunan amplitudo epileptiform). Kontrol ke poli nefrologi tanggal 31 Desember 2013 dan mulai terapi prednison alternating dose, captopril 2x6,25, kalk 1x500, citikolin 2x160, piracetam 3x300mg, carbamazepin 2x140mg. 80th
75th
72th
37 th
65th
42 th
6 th
Gambar 3. Pedigree Riwayat kehamilan dan persalinan, selama hamil ibu kontrol rutin ke bidan, mendapat vitamin dan tablet tambah darah, saat usia kehamilan 7 bulan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi di dokter kebidanan dengan hasil dikatakan baik. Usia kehamilan 9 bulan ibu diare, diberi obat antidiare oleh bidan, ibu mengkonsumsi jamu rutin, tidak ada keluhan lain. Anak lahir dari ibu G2P1A0 usia kehamilan dikatakan cukup bulan, secara spontan ditolong oleh bidan, saat lahir anak langsung menangis kuat, berat badan lahir 2800gr panjang badan lahir 47cm. Kontrol post natal rutin di puskesmas, mekonium dan buang air kecil dalam 24jam pertama, tidak ada keluhan kuning, asfiksia dan kejang. Imunisasi teratur sesuai dengan jadwal di puskesmas. Kesimpulan riwayat antenatal, natal, dan post natal baik.
5
Riwayat tumbuh kembang: anak merupakan anak kedua dari dua bersaudara, riwayat tumbuh kembang anak sebelum terkena hipertensi ensefalopati sesuai dengan usia. Setelah terjadi hipertensi ensefalopati anak mengalami regresi perkembangan. Kesan ada keterlambatan di semua aspek perkembangan anak. Riwayat imunisasi anak diberikan sesuai PPI, hepatitis B diberikan 4x saat lahir,2,3,4 bulan, BCG 1x saat usia 1bulan, Polio 4x saat usia 0,2,3,4 bulan, DPT diberikan 3x saat usia 2,3,4 bulan, campak diberikan satu kali saat usia 9 bulan. Anak tinggal dengan kedua orang tua dan saudara, rumah ukuran 12x10m, atap genting, sumber air sumur dengan pompa mesin, ayah bekerja sebagai montir di bengkel milik sendiri, ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga, penghasilan keluarga sekitar 1,5-2 juta perbulan, kesan ekonomi menengah kebawah, sosial baik. Pada hari pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik, nadi 98x/menit, respirasi 28kali/menit, suhu 36.7oC, tekanan darah 100/70mmhg. Anak tampak hiperaktif, tidak mau duduk tenang, dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan edema palpebra, edema pretibial, efusi pleura maupun ascites, pemeriksaan neurologis dalam batas normal. Pada saat pemeriksaan di poliklinik tumbuh kembang, kesan terdapat defisit pada fungsi intelektual anak, yakni defisit pada kemampuan akademik (tidak mampu menulis, membaca, aritmatika) defisit pada eksperimental learning, termasuk defisit pada memahami waktu dan uang tetapi tidak bisa dilakukan pemeriksaan IQ. Dari pemeriksaan Vineland Adaptive behavior Scales-II didapatkan hasil gangguan fungsi adaptif (kemampuan adaptif anak seperti usia satu tahun), kemudian anak di diagnosis dengan DI dan dilakukan pemeriksaan komorbid DI. Dari pemeriksaan conners scale dan childhood autism rating scale (CARS) didapatkan hasil conners scale mengarah ke GPPH dan hasil CARS tidak mengarah ke autis. Berdasarkan kategori DSM V anak masuk dalam kategori DI berat dengan komorbid GPPH.
I.3. Tujuan Pemantauan Tujuan pemantauan pasien DI adalah optimalisasi fungsi adaptif pasien. Pada pasien ini dengan DI berat diharapkan anak mampu dan mandiri dalam melakukan kegiatan merawat diri sendiri (mandi, buang air, makan dan memakai pakaian). Melakukan intervensi berupa terapi perilaku untuk optimalisasi kemampuan adaptif pasien dan mengurangi komorbid GPPH. Edukasi pada orang tua tentang kondisi DI berat pada pasien dan target dari intervensi yang dilakukan, sehingga orang tua menerima kondisi pasien.
6
Pada kondisi epilepsi dilakukan pemantauan kejang pada anak, dengan target anak bebas kejang dan bisa dilakukan penurunan dosis obat sampai dihentikan pengobatan. Pemantauan kepatuhan pengobatan, dosis terapi dan efek samping OAE. Memantau relaps pada SN, baik klinis dan urinalisis dan kondisi hipertensi yang menyertai pada pasien ini. Pemantauan kepatuhan konsumsi steroid dan efek samping steroid termasuk sindrom cushing dan infeksi sekunder. Evaluasi pertumbuhan dan status gizi pada anak. Pasien DI mempunyai risiko tinggi untuk mempunyai masalah berat badan lebih. Dilakukan intervensi berupa pengaturan diet sesuai dengan RDA dengan perhitungan dengan berat badan ideal. Dilakukan konsultasi ke ahli gizi untuk pengaturan makan dan pemberian daftar jenis makanan pengganti untuk orang tua. Kondisi DI, epilepsi dan SN akan mempengaruhi banyak aspek dari kehidupan anak, dan bisa berdampak panjang sampai anak dewasa. Dengan pemantauan dan intervensi yang baik, dan berkesinambungan serta kerjasama antara berbagai pihak yang terkait diharapkan kualitas hidup anak lebih baik sampai usia dewasanya.
I.4. Manfaat 1.
Manfaat pada pasien Pasien ini mempunyai kondisi penyakit yang kompleks, berupa DI dengan komorbid
GPPH, adanya sindrom nefrotik dan epilepsi, diharapkan dengan diikutsertakannya pasien dalam longitudinal case, masalah kompleks ini bisa ditatalaksana dengan baik oleh tim yang terdiri dari peneliti, residen dan supervisor bagian tumbuh kembang, neurologi, nefrologi, termasuk psikologi anak, terapis, ahli gizi sehingga pemantauan bisa dilakukan dengan baik dan optima. Dilakukan evaluasi berkala dari terapi yang diberikan (termasuk terapi perilaku, okupasi, terapi wicara serta farmakologi), pencegahan relaps dari sindrom nefrotik dan epilepsi dengan intervensi faktor-faktor yang bisa mencetuskan kejadian relaps. Dengan tatalaksana yang optimal diharapkan pasien mempunyai kualitas hidup yang baik, kemandirian di masa depan, dan kehidupan sosial yang baik.
2. Manfaat pada keluarga Membantu keluarga untuk memahami dan menerima kondisi anak. Memberikan edukasi kepada orang tua cara pemantauan anak dengan kondisi DI, mengajak orang tua untuk partisipasi aktif dalam terapi perilaku anak yang diadopsi didalam rumah. Orang tua
7
diberikan buku harian untuk mencatat perilaku anak, gejala-gejala relaps pada sindrom nefrotik, atau berulangnya kejang pada anak.
3. Manfaat bagi peserta Program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Peserta PPDS memperoleh pengetahuan tentang penyakit DI, sindrom nefrotik, epilepsi mulai dari penegakan diagnosis sampai dengan penanganan secara komprehensif. Peserta PPDS memahami prognosis dan komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada anak, sehingga dapat merencanakan dan memberikan penanganan yang berkesinambungan dan menyeluruh. Peserta PPDS dapat memberikan edukasi mengenai penyakit DI, sindrom nefrotik, epilepsi dari segi klinis dan epidemiologis.
4.
Manfaat pada rumah sakit Dengan penatalaksanaan DI, sindrom nefrotik, epilepsi yang menyeluruh dan
berkesinambungan dan melibatkan bagian-bagian yang terkait, mutu pelayanan kesehatan rumah sakit akan meningkat.
8