BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Gua merupakan lubang alami bawah tanah yang dapat dimasuki oleh manusia (Union International de Speleologie, dalam Stasiun Nol, 2005: 1). Setiap gua memiliki ciri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut dapat dilihat dari morfologi gua, faktor hidrologi, dan sejarah gua tersebut. Hal tersebut membuat manusia tertarik untuk melakukan penelusuran. Kegiatan penelusuran gua semakin marak di Indonesia (Suryono, 2013). Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh penggiat alam, tetapi juga oleh wisatawan. Hal ini terkait dibukanya obyek-obyek wisata penelusuran gua. Setiap penelusuran gua mempunyai resiko walaupun dengan bentuk gua yang sederhana dan aman, bahkan dilakukan oleh ahli penelusuran gua. Selain ancaman dari dalam gua, para pelaku penelusuran gua juga dihadapkan pada ancaman dari daerah permukaan. Ancaman tersebut adalah faktor hidrologi dari daerah permukaan. Hal ini disebabkan pada proses pembentukan gua sangat tergantung pada aktifitas hidrologi. Banjir kiriman dari sungai yang mengalir dapat mengancam jiwa bagi para caveman. Pada musim hujan beberapa tahun yang lalu terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh hal tersebut. Beberapa kecelakaan tersebut memakan korban baik wisatawan maupun penggiat alam, yaitu : 1.
Banjir di Gua Seplawan, Kulonprogo, 30 Desember 2012, 2 orang penggiat alam terjebak, selamat.
2.
Banjir di Gua Sriti, Kabupaten Gunung Kidul, 2 Maret 2013, 6 orang wisatawan terjebak, selamat.
3.
Banjir di Gua Kiskendo, Kendal, Jawa Tengah, 10 Maret 2013, 2 orang penggiat alam tewas.
4.
Banjir di Gua Serpeng 2, Kabupaten Gunung Kidul, 19 Maret 2013, 3 orang penggiat alam tewas (Suryono, 2013).
1
Beberapa peristiwa kecelakaan tersebut harus menjadi perhatian mengingat potensi kecelakaan akan terus ada. Oleh sebab itu, harus ada early warning system sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Early warning system tersebut akan meningkatkan rasa keamanan dan kenyamanan bagi pengunjung. Salah satu contohnya adalah dengan memasang papan duga muka air pada lorong masuk gua. Setiap gua perlu dipasang papan duga muka air untuk memberikan informasi ketinggian muka air. Informasi tersebut dijadikan salah satu pertimbangan untuk memperbolehkan pengunjung melakukan penelusuran gua. Papan duga tinggi muka air maksimum tersebut dapat dibuat berdasarkan informasi beda tinggi permukaan gua. Informasi tersebut dapat diperoleh dari data pemetaan situasi dan pengukuran penampang gua. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemetaan situasi dan pengukuran penampang gua agar dapat dibuat papan duga ketinggian muka air gua. Lokasi yang dijadikan obyek kegiatan adalah gua Sriti. Gua Sriti merupakan gua wisata dengan ketersediaan air yang cukup banyak. Ketersediaan air tersebut menyebabkan proses pertumbuhan stalaktit dan stalagtit akan terus terjadi. Selain itu, kandungan oksigen di dalam gua pun menjadi banyak. Akan tetapi, keadaan tersebut berdampak pada potensi banjir saat musim penghujan. Oleh sebab itu, gua Sriti memerlukan early warning system untuk mengurangi potensi kecelakaan saat banjir datang. I.2. Lingkup Kegiatan Ruang lingkup dari kegiatan ini, yaitu : 1.
Obyek kegiatan ini adalah gua Sriti yang terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2.
Kegiatan ini meliputi pemetaan gua, pengukuran penampang memanjang dan melintang gua, pembagian zona gua, penentuan daerah jebakan, dan pembuatan papan duga muka air tertinggi untuk penelusuran gua.
3.
Pemetaan gua Sriti menggunakan alat Total Station SOUTH NTS-352.
4.
Upaya mengurangi resiko kecelakaan akibat bajir diimplementasikan dengan pemasangan papan duga muka air di gua Sriti.
5.
Penentuan ketinggian muka air maksimum berdasarkan hasil pemetaan dan gambaran profil memanjang dan melintang gua Sriti.
2
6.
Pembagian zona di gua Sriti berdasarkan keberadaan lubang-lubang akses keluar-masuk gua.
7.
Daerah fokus pada kegiatan aplikatif ini adalah zona II gua Sriti, yaitu antara lubang masuk pengunjung dan lubang evakuasi.
8.
Papan duga muka air tertinggi hanya berlaku pada zona II gua Sriti.
9.
Tubuh manusia diasumsikan setinggi 180 cm. I.3. Tujuan Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah :
1.
Menyediakan peta situasi dan peta profil memanjang dan melintang gua Sriti untuk menentukan batas muka air.
2.
Terpasangnya papan duga batas muka air untuk antisipasi banjir di zona II gua Sriti. I.4. Manfaat Manfaat dari hasil kegiatan ini, antara lain :
1.
Pengunjung dapat mengetahui tingkat keamanan gua Sriti, khususnya zona II gua Sriti, melalui papan tinggi muka air.
2.
Pengunjung dapat melakukan penelusuran gua Sriti dengan rasa aman dan nyaman.
3.
Memperkecil resiko kecelakaan akibat banjir yang mungkin terjadi di gua Sriti. I.5. Landasan Teori
I.5.1. Pemetaan Situasi Gua Peta situasi merupakan gambaran spasial keberadaan wilayah atau lokasi suatu kegiatan, yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki, 1999). Informasi yang terdapat pada peta ini antara lain posisi (x, y, z) dan bentuk berbagai obyek seperti jalan, sungai, jembatan, batas wilayah, pemukiman, dan obyek lain yang mewakili gambaran kondisi wilayah tersebut. Pada pemetaan situasi dilakukan pengukuran kerangka kontrol horisontal (KKH), kerangka kontrol vertikal (KKV), dan detil situasi. Kerangka kontrol horisontal merupakan titik-titik ikat pemetaan yang memuat koordinat posisi horisontal (x, y). Kerangka kontrol vertikal merupakan titik-titik ikat yang memuat
3
koordinat posisi vertikal (z). Detil situasi merupakan titik-titik kenampakan situasi yang diukur. Peta situasi juga memuat gambaran topografi yang ditunjukkan dalam bentuk garis kontur. Garis kontur merupakan garis hubung antar titik dengan ketinggian yang sama (Basuki, 2011). Garis kontur memperlihatkan bentuk topografi permukaan bumi. Garis kontur yang terdapat pada peta situasi memiliki interval kontur tertentu. Interval kontur merupakan selisih tinggi antara dua garis kontur yang berurutan. Garis kontur memiliki interval sebesar 1/2000 x skala (dalam meter). Misalnya, jika skala peta 1:1000, maka besar interval kontur = 1/2000 x 1000 = 0,5 meter. Pemetaan gua dilakukan untuk mengetahui bentuk dan ukuran bagian-bagian gua, ruang dan dinding gua (Aguilera dkk, 2009). Pemetaan gua dapat dilakukan dengan teknik konvensional maupun digital. Pemetaan gua secara konvensional dilakukan dengan menggunakan kompas dan pita ukur. Kompas untuk mengukur arah dan pita ukur untuk mengukur jarak. Akan tetapi, pemetaan gua secara konvensional tersebut belum dapat menyajikan peta gua yang akurat, termasuk representasi tiga dimensinya. Selain cara konvensional tersebut, pemetaan gua dapat dilakukan dengan peralatan modern yang serba digital. Cara atau metode tersebut adalah metode topografi, fotogrametri jarak dekat, dan terrestrial laser scanner. I.5.1.1. Metode topografi. Pemetaan gua dengan metode ini adalah dengan mengukur sudut, jarak, dan beda tinggi (Aguilera dkk, 2009). Peralatan yang digunakan adalah teodolit atau Total Station. Penggunaan Total Station dalam pemetaan gua ini menggunakan bantuan reflektor sebagai obyek yang diukur. Akan tetapi, sekarang ini dapat dilakukan pemetaan tanpa menggunakan relektor (reflektorless) atau dengan sinar laser. Bentuk gua yang kompleks membuat para cave surveyor tidak hanya berpatokan pada data hasil ukuran Total Station, tetapi juga data pendukung lainnya seperti sketsa maupun cross section sederhana. Hal ini menyebabkan pengukuran gua dilakukan dengan metode tambahan yaitu pengukuran dengan kompas, klinometer, dan pita ukur. Gambar I.1 menunjukkan contoh hasil pemetaan gua menggunakan metode topografi.
4
Gambar I.1. Contoh peta gua dengan metode topografi I.5.1.2. Metode fotogrametri jarak dekat. Pengukuran dapat dilakukan melalui foto dengan koreksi radiometrik dan geometrik. Sebuah model tiga dimensi dapat dibuat langsung melalui foto terkoreksi tersebut dengan bantuan komputer. Akuisisi data foto ini menjadi alternatif yang paling murah, terutama untuk tujuan yang kualitatif dan sederhana. Akan tetapi, metode ini jarang dilakukan karena bentuk morfologi dan geometri gua yang kompleks (Aguilera dkk, 2009). I.5.1.3. Metode laser scanning. Teknologi survei dengan Terrestrial Laser Scanner (TLS) ini menjadi yang paling efektif untuk melakukan pemetaan gua secara akurat
(Aguilera
dkk,
2009).
Berdasarkan
teknologi
laser,
sistem
TLS
memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara akurat dalam waktu yang singkat. Pengukuran menggunakan TLS ini menghasilkan data point cloud. Teknologi laser ini melakukan pengukuran menggunakan prinsip beda fase dan waktu. Selain itu, TLS ini menggunakan kamera CCD yang dapat melakukan pengukuran jarak dengan prinsip triangulasi. Data hasil pengukuran menggunakan teknologi terrestrial laser scanner ini dapat diolah dan menghasilkan model tiga dimensi gua. Model tiga dimensi yang
5
dihasilkan pun akurat dan smooth seperti pada kenyataannya. Gambar I.2 merupakan contoh model tiga dimensi gua.
Gambar I.2. Contoh model tiga dimensi bagian gua I.5.2. Grade dan Kelas Pemetaan Gua Pemetaan gua memiliki variasi akurasi. Akurasi tersebut tergantung pada teknik dan alat yang digunakan. Secara umum, akurasi survei terbagi dalam tiga golongan, yaitu : a. Sketsa, hasil survei yang dibuat tanpa menggunakan alat ukur. Tingkat akurasi sangat rendah. b. Survei kasar, diselesaikan dalam waktu singkat atau kondisi lorong sangat menyulitkan. Pengukuran dilakukan dalam kondisi yang tidak ideal atau dengan alat yang memiliki akurasi rendah.
6
c. Survei akurat, dilakukan dengan alat ukur akurasi cukup tinggi dan dengan prosedur pengukuran yang detail dan akurat (Ellis, 1976 b, hlm.2). Survei akurat tersebut diperjelas pada pembagian grade pemetaan gua sebagaimana yang termuat dalam buku Stasiun Nol (Laksmana, 2005). Grade yang dikeluarkan British Cave Research Association (BCRA) bagi pengukuran centerline adalah sebagai berikut (Tabel I.1): Grade
Tabel I.1. Pembagian Grade pengukuran gua. Keterangan
Grade 1
Survei dengan akurasi rendah, tidak ada pengukuran.
Grade 2
Survei dengan sketsa dan beberapa pengukuran jika diperlukan. Survei magnetic kasar. Sudut vertikal dan horisontal diukur
Grade 3
dengan akurasi hingga ±2,5º. Jarak diukur dengan akurasi hingga ±50 cm. Kesalahan posisi stasiun kurang dari 50 cm.
Grade 4
Survei yang tidak memenuhi persyaratan grade 5, tetapi lebih akurat dari grade 3. Survei magnetik. Akurasi sudut horisontal dan vertikal mencapai
Grade 5
±1º, jarak diukur dan dicatat hingga stasiun sentimeter terdekat dan posisi stasiun ditentukan hingga kurang dari 10 cm, kesalahan posisi stasiun kurang dari 10 cm.
Grade 6
Survei magnetik yang lebih akurat dari grade 5.
Grade X
Survei yang dilakukan dengan teodolit atau Total Station.
Selain terbagi ke dalam beberapa grade, BCRA juga membuat sistem klasifikasi (Laksmana, 2005). Klasifikasi tersebut dibagi berdasarkan akurasi detail penampang lorong di sepanjang jalur pemetaan. Unsur pengukuran detail penampang lorong meliputi jarak dari stasiun ke atap lorong, dinding kiri lorong, dan dinding kanan lorong. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut (Tabel I.2) :
7
Tabel I.2. Klasifikasi BCRA mengenai pencatatan detil lorong gua Kelas Keterangan A
Seluruh detil lorong digambar berdasarkan ingatan
B
Detil lorong diperkirakan dan dicatat di dalam gua
C
Detil lorong diukur hanya di titik-titik stasiun survei.
D
Detil lorong diukur di setiap titik stasiun survei dan beberapa lokasi lorong lainnya yang dianggap perlu.
I.5.3. Sistem Survei Pemetaan Gua Sistem survei terbagi menjadi dua, yaitu sistem Top to Bottom dan sistem Bottom to Top (Laksmana, 2005). Perbedaannya terdapat pada arah perjalanan surveinya (Gambar I.3), yaitu: 1. Top to bottom (Gambar I.3(a)), sistem ini dilakukan dengan cara memetakan gua dari mulut gua menuju dalam gua. Sistem ini paling banyak digunakan pada survei pemetaan gua. 2. Bottom to top (Gambar I.3(b)), sistem ini dilakukan dengan cara memetakan gua dari dalam menuju mulut gua. Tim survei harus mempertimbangkan waktu yang diperlukan agar selesai sampai mulut gua. Jika pemetaan terhenti sebelum mulut gua, maka peta yang dihasilkan tidak akan dapat tergambar secara sempurna.
(a)
8
(b) Gambar I.3. Top to bottom (a) dan bottom to top (b) I.5.4. Metode Survei Pemetaan Gua Metode survei mengatur urutan posisi stationer dan shooter (Laksmana, 2005). Stationer adalah anggota tim yang bertugas sebagai sasaran bidik. Shooter adalah anggota tim yang bertugas membidik sasaran. Metode-metode survei yang dapat digunakan, yaitu forward moving, leapfrog, backsight, dan fore and backsight. I.5.4.1. Metode forward moving, disebut juga metode maju. Hal ini disebabkan shooter selalu berada di belakang, sedangkan stationer selalu berada di depan. Usai melakukan pembacaan alat ukur, shooter berpindah ke posisi stationer (titik B) (Gambar I.4). Setelah titik stasiun ditempati oleh shooter (titik B), stationer bergerak ke depan untuk menentukan titik berikutnya (titik C), dan demikian seterusnya (Laksmana, 2005).
9
Gambar I.4. Metode forward moving (Laksmana, 2005) I.5.4.2. Metode leapfrog, disebut juga metode katak melompat (Laksmana, 2005). Pada metode ini, setelah shooter melakukan pengukuran, bergerak maju (menuju titik C) mendahului stationer yang masih tetap berada pada tempat semula (titik B). Setelah menentukan titik stasiun berikutnya (titik C), shooter kembali membidik ke arah stationer (titik B) untuk melakukan pengukuran. Setelah pengukuran pada stasiun tersebut selesai, stationer bergerak maju (menuju titik D) mendahului shooter, demikian seterusnya (Gambar I.5). Selama pengukuran, shooter dan stationer harus selalu berhadapan. Metode ini hanya dapat dipraktikkan pada lorong gua yang tidak terlalu sempit dimana kedua orang tersebut dapat saling mendahului. Pada metode leapfrog ini, perlu diperhatikan dalam pembacaan alat pengukuran (klinometer dan kompas). Hal ini disebabkan hasil pembacaan alat tersebut juga akan menunjukkan arah yang berlawanan. Oleh sebab itu, dalam pencatatannya harus diberikan tanda khusus pada angka hasil pengukuran yang arahnya berlawanan.
10
Metode ini merupakan metode survei yang lebih teliti jika dibandingkan metode forward moving. Hal ini disebabkan oleh kesalahan akibat pergeseran titik dapat dikurangi (Laksmana, 2005).
Gambar I.5. Metode leapfrog (Laksmana, 2005) I.5.4.3. Backsight, pembacaan instrumen pengukuran dilakukan dari stasiun yang berada di depan (titik B) terhadap stasiun yang ada dibelakangnya (titik A) (Laksmana, 2005). Setelah dilakukan pengukuran, stationer berpindah menuju titik B dan shooter menuju titik C untuk melakukan pengukuran selanjutnya (Gambar I.6). Metode ini digunakan ketika tim survei menggunakan alat topofil yang sudah dilengkapi dengan kompas dan klinometer. Metode ini jarang sekali digunakan.
11
Gambar I.6. Metode backsight (Laksmana, 2005) Topofil merupakan alat ukur jarak (Gambar I.7). Pada prinsipnya, alat ini mempunyai fungsi yang sama dengan pita ukur. Alat ini ditambahkan dengan kompas di dalamnya. Topofil bekerja atas dasar roda yang berputar menggerakkan revolution counter dalam satuan sentimeter. Berputarnya roda tersebut karena benang yang dililitkan pada roda yang ditarik untuk pengukuran antar stasiun.
Gambar I.7. Topofil I.5.4.4. Fore and backsight, shooter melakukan pembacaan pada stasiun baik yang berada di depan maupun di belakangnya (Laksmana, 2005). Backsight merupakan stasiun yang berada di belakang, sedangkan foresight merupakan stasiun yang berada di depan. Garis berwarna biru pada Gambar I.8 merupakan garis arah pengukuran backsight, sedangkan garis merah merupakan garis arah pengukuran
12
foresight. Metode ini menghasilkan peta gua dengan tingkat akurasi maksimal. Contoh penggunaan metode ini adalah pengukuran menggunakan teodolit.
Gambar I.8. Metode fore and backsight (Laksmana, 2005) I.5.5. Pengukuran Menggunakan Total Station Total Station merupakan teodolit digital yang dapat mengukur jarak dan sudut (horisontal dan vertikal) secara elektronis. Alat ini dilengkapi chip memory sehingga data pengukurannya dapat tersimpan secara langsung. Data tersebut dapat diunduh untuk diolah secara komputerisasi. Pengukuran menggunakan Total Station menghasilkan nilai koordinat berupa x, y, dan z. Nilai koordinat tersebut merupakan hasil hitungan yang dilakukan oleh Total Station menggunakan konsep trigonometri. Nilai x dan y dihasilkan dari perhitungan data ukuran azimuth (α) dan jarak (d) sesuai Gambar I.9, sedangkan nilai z dihasilkan dari perhitungan beda tinggi secara trigonometri.
13
Gambar I.9. Konsep perhitungan koordinat Secara matematis, nilai x dan y dapat dihitungan menggunakan persamaan berikut ini: ................................................................... (I.1) .................................................................. (I.2) sehingga, ............................................................................. (I.3) ............................................................................. (I.4) I.5.6. Pengukuran Beda Tinggi Menggunakan Total Station Beda tinggi antara dua titik A dan B merupakan jarak antara dua bidang nivo yang melalui titik A dan B (Wongsotjitro, 1980). Pada umumnya, bidang nivo merupakan bidang lengkung, tetapi bila jarak antara titik A dan B kecil, maka kedua bidang nivo yang melalui titik A dan B dapat dianggap sebagai bidang datar. Beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga metode, yaitu metode barometris, trigonometris, dan metode sipat datar. Ketiga cara tersebut memiliki tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Metode sipat datar adalah cara pengukuran dengan tingkat ketelitian paling tinggi, sedangkan cara barometris adalah cara yang paling tidak teliti. Pengukuran beda tinggi pada Total Station menggunakan prinsip trigonometri. Pengukuran beda tinggi secara trigonometrik merupakan suatu proses penentuan
14
beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut vertikal dan jarak (Basuki, 2011). Sudut vertikal dan jarak dapat terukur menggunakan Total Station. Gambar I.10 merupakan ilustrasi pengukuran beda tinggi menggunakan metode trigonometrik. Total Station didirikan di atas titik A dengan tinggi instrumen sebesar hi dan reflektor didirikan di atas titik B dengan tinggi sebesar ht. Hasil ukuran Total Station berupa jarak miring (sd) dan nilai zenith (h).
ht
sd
vd
h B hd Δh
hi A Gambar I.10. Beda tinggi secara trigonometrik
Beda tinggi (Δh) antara titik A dan B dapat ditentukan dengan persamaan berikut ini : .................................................................... (I.5) dengan, ........................................................................... (I.6) I.5.7. Penampang (section) Penampang merupakan irisan gambaran topografi dengan ukuran jarak dan beda tinggi antar titik. Gambar penampang ini sering digunakan untuk menghitung volume pada survei rute seperti jalan raya, sungai, jalan kereta api, dan lain-lain (Wolf, 2007). Informasi beda tinggi dan jarak antar titik pada penampang dapat digunakan untuk menentukan nilai kemiringan (gradient) jalan, sungai, dan lain-lain. Pengukuran penampang dilakukan pada titik-titik sepanjang poligon dengan jarak antar titik sebesar 10-50 meter dan atau mengikuti pola topografi tanah. Komponen yang diukur adalah jarak antar titik dan beda tinggi antar titik. Gambar I.11 merupakan rute jalan yang akan ditentukan penampangnya. Hasil dari pengukuran penampang adalah gambar penampang memanjang dan melintang. 15
Gambar I.11. Rute jalan I.5.7.1. Penampang memanjang (long section), merupakan irisan gambaran topografi sepanjang centerline. Penampang memanjang menggambarkan bentukan topografi tanah antar titik sepanjang rute jalan, sungai, dan lain-lain. Jarak antar titik yang diukur 10-50 meter dan atau mengikuti pola topografi tanah.
Gambar I.12. Penampang memanjang jalan Gambar I.12 di atas menunjukkan contoh gambar penampang memanjang jalan. Garis warna biru menunjukkan penampang jalan yang sudah ada (existing), sedangkan garis warna merah menunjukkan garis kemiringan (gradient) jalan. Dari gambar tersebut dapat dilihat secara visual gambaran tinggi rendahnya jalan dan juga nilai ketinggian masing-masing titik. Pada pekerjaan rekayasa dan tambang, penampang tersebut digunakan untuk menghitung volume tanah. Pekerjaan yang sering dilakukan adalah perhitungan volume galian dan timbunan dan perhitungan volume cadangan bahan galian tambang. I.5.7.2. Penampang melintang (cross section), merupakan irisan gambaran topografi kanan dan kiri yang memotong tegak lurus centerline. Pada gambar I.13, garis yang melewati titik A, B, dan C adalah centerline, sedangkan titik-titik 1,2,3, dan 4 merupakan titik yang diukur sebagai penampang melintang. Penampang
16
melintang digunakan untuk mengetahui gambaran perbedaan elevasi di bagian kiri dan kanan jalur centerline.
Gambar I.13. Arah potongan penampang melintang Gambar I.14 merupakan contoh penampang melintang. Pada gambar tersebut ditunjukkan permukaan jalan di bagian kanan dan kiri sehingga dapat diketahui perbedaan elevasi di bagian kanan dan kiri jalan. Menurut fungsi dan cara pengukurannya, penampang memanjang dan melintang adalah sama.
Gambar I.14. Penampang melintang I.5.8. Alat Ukur Permukaan Air Alat ukur permukaan air sungai dipasang pada tempat yang memungkinkan pengamatan seluruh keadaan permukaan air, dari batas terendah sampai batas tertinggi (Sosrodarsono, 1976). Tempat-tempat yang harus dihindari untuk pemasangan alat ukur permukaan air adalah sebagai berikut : - tempat dengan tekanan dan kecepatan aliran yang tinggi untuk menghindari kesalahan pengukuran air yang tinggi dan kerusakan alat yang - tempat yang terdapat aliran air tanah.
17
Adapun jenis-jenis alat ukur permukaan air, antara lain jenis pembacaan langsung, pelampung, sumur pengamatan, dan sebagainya. I.5.8.1. Pembacaan langsung, dilakukan menggunakan alat ukur ketinggian permukaan air. Alat tersebut dipasang pada tiang atau ditanam di sungai untuk dilakukan pengamatan seperti pada gambar I.15. Alat ini biasanya terbuat dari kayu atau baja yang dienamel dengan pembagian ukuran 1 sampai 2 cm. Salah satu contohnya ialah dengan papan duga atau rambu ukur. Pembacaan muka air saat terendah sampai tertinggi biasanya tidak dapat dilakukan dengan hanya satu alat ukur. Oleh sebab itu, perlu ditanam lebih dari 1 alat ukur untuk bisa mencapai Muka Air Tertinggi (MAT) dan Muka Air Terendah (MAR).
Gambar I.15. Alat ukur tinggi muka air jenis pembacaan langsung I.5.8.2. Pelampung, alat jenis pembacaan langsung memerlukan orang sebagai pengamat. Akibatnya, pengukuran yang kontinu tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, pengukuran perlu dilakukan dengan alat otomatis. Salah satu contohnya adalah jenis pelampung.
18
Gambar I.16. Alat ukur permukaan air jenis pelampung Pelampung diletakkan di permukaan air. Naik turunnya pelampung tercatat pada kertas pencatat oleh pena pencatat yang secara otomatis merubah gerak naik turun menjadi gerak putaran sudut (Gambar I.16). Kertas pencatat tersebut diputar dengan kecepatan tetap oleh jam sehingga pembacaan permukaan air dapat dilakukan setiap waktu. I.5.8.3. Sumur pengamatan, pelampung alat ukur permukaan air tersebut harus dilindungi terhadap gelombang dan aliran air. Oleh sebab itu, dibuatkan sumur yang dapat memuat pelampung (Gambar I.17).
Gambar I.17. Alat ukur permukaan air jenis sumur pengamatan Sumur dan sungai dihubungkan melalui sebuah pipa. Ukuran pipa tersebut tidak boleh terlalu besar ataupun terlalu kecil. Jika pipa tersebut terlalu besar, maka perubahan-perubahan yang kecil dari permukaan air sungai seperti gelombang akan tercatat sehingga pembacaan permukaan air akan menjadi sulit. Jika terlalu kecil, pipa dapat tersumbat.
19
I.5.9. Level/Kategori Bahaya pada Tubuh Manusia Resiko kecelakaan di dalam gua (tenggelam) yang disebabkan banjir dapat dikurangi dengan pemasangan early warning system dengan mempertimbangkan bentuk dan karakteristik gua serta bentuk dan karakteristik penelusur gua (manusia). Survei gua mendapatkan informasi bentuk dan karakteristik gua, sedangkan bentuk dan karakteristik manusia didapat dengan cara menganalisis sistem pernafasan dan antropometri manusia. I.5.9.1. Sistem respirasi, sistem respirasi atau sistem pernafasan mencakup semua proses pertukaran gas pada makhluk hidup, yaitu menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida (Kemendikbud, 2014). Organ-organ pernafasan pada manusia berupa hidung, mulut, tenggorokan, dan paru-paru. Bernafas terdiri dua fase yakni fase inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah proses masuknya oksigen ke dalam tubuh. Ekspirasi merupakan proses keluarnya karbondioksida dari dalam tubuh. Menurut mekanismenya, jenis pernafasan manusia dibagi menjadi dua, yaitu pernafasan dada dan pernafasan perut. Pada pernafasan dada, inspirasi terjadi jika otot antar tulang rusuk berkontraksi sehingga tulang rusuk dan dada terangkat (Kemendikbud, 2014). Konstraksi tersebut mengakibatkan rongga dada membesar, paru-paru mengembang, dan penurunan tekanan udara di dalam paru-paru. Ekspirasi terjadi jika otot antar tulang rusuk berelaksasi sehingga tulang-tulang rusuk dan dada turun kembali pada kedudukan semula. Relaksasi tersebut mengakibatkan rongga dada mengecil, volume paru-paru berkurang, dan peningkatan tekanan udara di dalam paru-paru, kemudian udara yang kaya karbondioksida terdorong keluar tubuh melalui hidung. Pada pernafasan perut, inspirasi terjadi jika otot diafragma berkontraksi sehingga
letaknya
sedikit
mendatar
(Kemendikbud,
2014).
Keadaan
ini
mengkibatkan rongga perut turun ke bawah, rongga dada membesar, paru-paru mengambang, dan tekanan udara di dalam paru-paru mengecil. Kondisi tersebut mengakibatkan udara yang kaya oksigen masuk kedalam tubuh. Ekspirasi terjadi jika otot diafragma berelaksasi sehingga letaknya kembali pada kedudukan semula. Kondisi ini mengakibatkan rongga perut kembali ke posisi semula, rongga dada mengecil, volume paru-paru berkurang, dan tekanan udara di dalam paru-paru
20
membesar. Inspirasi pada pernafasan perut menggunakan mulut sebagai jalan masuk oksigen. I.5.9.2. Antropometri, merupakan pengukuran dimensi tubuh manusia dan karakteristik fisik tertentu dari tubuh manusia seperti berat, volume, pusat gravitasi, sifat-sifat inersia segmen tubuh, dan kekuatan kelompok otot (Purnomo, 2013). Ukuran dimensi tubuh manusia perlu diketahui agar dapat dibuat rancangan peralatan kerja yang aman dan nyaman. Tingkat kenyamanan peralatan tergantung dengan kesesuaian antara dimensi peralatan dengan dimensi tubuh pengguna. Oleh sebab itu, perancangan peralatan yang digunakan harus ergonomis. Ergonomis artinya dimensi peralatan harus selaras dengan dimensi tubuh pengguna. Dimensi tubuh manusia berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut, yaitu umur, jenis kelamin, ras/etnik, jenis pekerjaan/profesi, lingkungan daerah dan sebagainya. Contoh, orang Amerika memiliki dimensi tubuh yang berbeda dengan orang Indonesia. Perbedaan dimensi tubuh tersebut dapat disimpulkan secara umum dan ideal menggunakan angka perbandingan M/m = 1,618 seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.18.
Gambar I.18. Perbandingan dimensi segmen tubuh manusia
21