1
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut Provinsi Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung barat laut pulau Sumatera dan memiliki koordinat 01˚58’37,2”- 06˚04’33,6” Lintang Utara dan 94˚57’57,6”- 98˚17’13,2” Bujur Timur dengan ibukota Banda Aceh. Provinsi Aceh memiliki luas 58.375,63 km2 yang terdiri dari 5 kota, 18 kabupaten, 276 kecamatan, 731 mukim, dan 6.424 desa. Provinsi Aceh berada di atas pertemuan 2 lempeng yaitu lempeng Eurasia dan Indo - Australia sehingga termasuk dalam wilayah yang rawan gempa bumi karena tingginya
aktivitas
tumbukan
lempeng
tersebut
(Sumber
:
http://www.acehprov.go.id). Gempa bumi yang terjadi pada tahun 2004 di Provinsi Aceh dengan kekuatan 7,9 Skala Richter telah menimbulkan gelombang tsunami dan menelan banyak korban jiwa serta kerugian yang tidak sedikit. Gempa bumi pada tahun 2013 di Provinsi Aceh berkekuatan 6,2 Skala Richter dan menimbulkan dampak
yang
cukup
besar
di
kabupaten
Bener
Meriah
(Sumber:http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/07/130703_aceh_ge mpa_benermeriah). Hal ini dikarenakan gempa bumi merupakan bencana yang tidak dapat diperkirakan waktunya sehingga banyak korban dan kerugian. Kejadian tersebut memberikan gambaran bahwa penanggulangan bencana perlu dilakukan untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi akibat suatu bencana. Pengertian bencana terdapat pada Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 1, bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana yang dibahas dalam hal ini adalah bencana alam yang pengertiannya ada di Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 2, bencana 1
2
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Wilayah Provinsi Aceh telah memenuhi kedua pasal yang telah disebutkan sehingga diperlukan adanya media untuk menginformasikan wilayah yang termasuk dalam wilayah terdampak bencana alam berupa gempa bumi sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan bencana.(Sumber : Perka BNPB Nomor 2 tahun 2012) Media informasi yang akan digunakan dalam upaya penanggulangan bencana gempa bumi ini adalah peta risiko bencana. Penyusunan peta risiko bencana diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Peta risiko bencana tersusun dari peta bahaya, peta kerentanan, dan peta kapasitas. Ketiga peta penyusun tersebut diperlukan karena bahaya, kerentanan, dan kapasitas merupakan penyusun risiko bencana. Peta bahaya disusun untuk memberikan informasi lokasi yang memiliki tingkat bahaya rendah, sedang, dan tinggi. Peta kerentanan diperlukan untuk mengetahui gambaran kondisi infrastruktur bangunan dan penduduk yang rentan memiliki dampak kerugian yang besar akibat bencana gempa bumi. Peta kapasitas disusun agar diketahui informasi mengenai kemampuan wilayah yang memiliki resiko terdampak bencana gempa bumi untuk mengurangi dampak bencana. Penyusunan peta tersebut menggunakan Sistem Informasi Geografis atau SIG, karena SIG dapat mengelola data spasial maupun non spasial. Kedua data tersebut diolah menggunakan software QGIS sehingga menghasilkan media informasi berupa peta risiko bencana gempa bumi Provinsi Aceh. Penggunaan software QGIS karena software tersebut merupakan software open source yang bersifat terbuka dan dapat dikembangkan sehingga mendukung pekerjaan pemetaan yang diperlukan oleh instansi teknis dan lembaga yang bergerak dalam bidang penanggulangan bencana gempa bumi. Skripsi ini menghasilkan peta risiko bencana gempa bumi di Provinsi Aceh menggunakan software QGIS dengan mengikuti Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012.
3
I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dalam skripsi ini adalah menyajikan peta risiko bencana gempa bumi Provinsi Aceh dengan cara melakukan penilaian atau skoring indikator bencana gempa bumi dan overlay atau tumpang susun antara peta bahaya, peta kerentanan, dan peta kapasitas menggunakan software QGIS. Penyusunan peta risiko bencana mengikuti kaidah dan ketentuan dari Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
I.3. Tujuan Tujuan dari kegiatan aplikatif ini adalah untuk menghasilkan peta risiko bencana gempa bumi di Provinsi Aceh menggunakan software QGIS dalam upaya untuk memberikan informasi lokasi yang memiliki risiko bencana gempa bumi di Provinsi Aceh.
I.4. Manfaat Manfaat dari peta risiko bencana gempa bumi yang dihasilkan yaitu untuk membantu pemerintah dan masyarakat dan mengurangi risiko bencana gempa bumi serta meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh gempa bumi di Provinsi Aceh.
I.5.Landasan Teori I.5.1.Gempa Bumi Pengertian gempa bumi menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, gempa bumi merupakan pergeseran tiba – tiba dari lapisan tanah yang berada di bawah permukaan bumi akibat energi dari pergerakan batuan penyusun bumi. Pergeseran batuan yang bergerak tiba – tiba akan melepaskan energi stress dalam bentuk getaran. Getaran tersebut merambat ke seluruh bagian bumi yang dapat mengakibatkan kerusakan bangunan dan korban jiwa. Getaran yang terjadi juga dapat memicu tanah longsor, kerusakan tanah dan pemukiman di sekitarnya. Intensitas gempa bumi pada suatu wilayah tergantung dari jarak wilayah ke sumber
4
gempa bumi, kondisi geologi, dan besarnya magnitude atau kekuatan gempa bumi. Tingkat ancaman gempa bumi berdasarkan pada jalur patahan, keberadaan sungai, dan tingkat kerusakan infrastruktur sedangkan potensi gempa bumi berdasarkan jarak dari lokasi patahan dan adanya sungai besar akibat patahan. Teori lempeng tektonik yang dinyatakan oleh ahli geofisika Inggris yaitu Mc Kenzie dan Robert Parker (1967) menyebutkan bahwa permukaan bumi terbagi dalam beberapa lempeng tektonik. Lempeng tektonik merupakan kerak bumi yang berupa segmen keras dan terapung di atas astenosfer cair dan panas sehingga lempeng tektonik bebas bergerak. Wilayah yang merupakan wilayah perbatasan lempeng dengan keadaan tektonik aktif dapat mengakibatkan terbentuknya dataran tinggi atau perbukitan, gunung berapi dan gempa bumi. Teori lempeng yang dikemukakan ini adalah gabungan dari Teori Pergerakan Benua ( Continental Drift ) dan Pemekaran Dasar Samudra ( Sea Floor Spreading ). Peristiwa gempa bumi menimbulkan gerakan tanah pada wilayah yang memiliki lempeng tektonik aktif. Pengertian dari gerakan tanah adalah proses perpindahan masa tanah atau batuan dengan arah tegak, mendatar, miring dari kedudukan semula karena pengaruh gravitasi, arus air, dan beban (Pedoman Penataan Ruang Permen PU no. 22/ PRT/M/2007). Variabel fisik yang mempengaruhi tingkat kerentanan gerakan tanah adalah topografi dan geologi. Gerakan tanah terjadi karena adanya perubahan yang diakibatkan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal berupa aktivitas manusia, gerakan bumi seperti gempa bumi dan erupsi gunung berapi, dan faktor iklim berupa peningkatan intensitas curah hujan. Faktor internal berupa kondisi tanah dan kondisi geologi yang berubah atau mencari kesetimbangan baru. Sutikno (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa parameter gerakan tanah yaitu kemiringan lereng, litologi, stratigrafi, struktur geologi, iklim, gempa bumi, penggunaan lahan, dan aktivitas manusia. Struktur geologi seperti sesar berkaitan langsung dengan kekuatan batuan dan menjadi zona yang berpotensi mengalami gerakan tanah. Steward dan Hancock (1994) menyatakan bahwa morfotektonik merupakan pengetahuan tentang hubungan struktur geologi dengan bentuk lahan. Indikator pergerakan tektonik atau tektonik aktif ditunjukkan pada bentuk lahan tektonik berupa topografi.
5
I.5.2.Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau SIG merupakan sistem informasi yang mengelola data yang berisi informasi spasial dan memiliki kemampuan membangun, menyimpan, mengelola, dan menampilkan informasi yang bereferensi keruangan atau data geospasial untuk mendukung kegiatan pengambilan keputusan dalam pengelolaan wilayah. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, mengumpulkan, mengintegrasikan, memeriksa, menyimpan, mengelola, memanipulasi, menganalis, menampilkan, dan menghasilkan keluaran (output) data dan informasi bereferensi geografis, menurut Aronoff (1989). SIG adalah sistem yang memiliki empat kemampuan menangani data yaitu masukan data, manajemen data, analisis data, dan keluaran. SIG memiliki fungsi analisis spasial (keruangan) dan fungsi atribut (basisdata atribut). Fungsi analisis spasial berupa klasifikasi (reclassify), jaringan (network), tumpang tindih (overlay), buffering, analisis 3 dimensi (3D analysis), dan pengolahan citra digital (digital image processing). Kelebihan sistem informasi geografis dalam analisis spasial adalah : 1. Analisis proximity. Analisis geografis berdasarkan jarak antar layer. Analisis ini menggunakan proses buffering yaitu membangun lapisan pendukung di sekitar layer dalam jarak tertentu untuk menentukan dekatnya hubungan antar sifat bagian yang ada. 2. Analisis overlay. Integrasi data dari lapisan layer yang berbeda. Analisis ini menggunakan lebih dari satu layer untuk digabung secara fisik. Contoh spatial join yaitu integrasi antara data tanah, lereng dan vegetasi atau kepemilikan lahan dengan nilai taksiran pajak bumi. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan dan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan satu kenampakan dari koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek misalnya berupa lokasi kota. Garis merupakan sekumpulan titik-
6
titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontur, sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang, seperti batas daerah, batas penggunaan lahan, dan pulau. Analisis spasial yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan mengoverlaykan dua peta yang kemudian menghasilkan peta baru berupa peta hasil analisis. Overlay peta menggabungkan data spasial dan data atribut dari dua atau lebih masukan. Overlay raster dapat dilakukan dengan perbandingan nilai pada sel, penggabungan maupun operasi matematika. Metode overlay menggunakan prinsip aljabar Boolean yang berkaitan dengan penggunaan operator hubungan AND, OR, NOT, dan XOR. Tipe fitur masukan yang digunakan dalam overlay adalah : 1. Titik dengan poligon menghasilkan ftur keluaran berupa titik. 2. Garis dengan poligon menghasilkan fitur keluaran berupa garis. 3. Poligon dengan poligon menghasilkan fitur keluaran berupa poligon. Overlay dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu : 1. Union, operasi ini digunakan untuk membuat coverage baru yang berasal dari overlay dua coverage. Hasil operasi union berupa polygon kombinasi atau gabungan dan atribut dari kedua coverage yang digabungkan.
Gambar I.1. Union 2. Irisan atau intersect, operasi irisan menggunakan dua himpunan fitur coverage yang dioverlaykan. Hasil dari operasi ini adalah bagian fitur yang berisi dua masukan tersebut dan berupa irisan coverage.
Gambar I.2. Intersect
7
3. Identiti, operasi yang digunakan untuk membuat satu coverage baru dari overlay dua himpunan fitur. Operasi ini menghasilkan bagian identitas fitur coverage yang meliputi coverage sebagai masukan.
Gambar I.3. Identiti
Salah satu aplikasi yang dapat digunakan dalam pekerjaan Sistem Informasi Geografis adalah Quantum GIS. Quantum GIS merupakan software aplikasi Sistem Informasi Geografis yang bersifat terbuka (open source) dan dapat dijalankan pada sistem operasi MacOS, Linux, Unix, dan Windows. Quantum GIS menggunakan plugins dan fitur inti untuk melakukan visualisasi pemetaan. Pengguna dapat menggabungkan berbagai data yang dimiliki untuk dianalisa, diedit, maupun dikelola sesuai keinginan karena Quantum GIS menyediakan semua fungsionalitas dan fitur yang dibutuhkan. Quantum GIS mendukung data dengan format vektor, raster, dan database (PostGIS dan Oracle) selain itu didukung oleh pustaka OGR library, digital elevation models, landsat imagery, dan aerial photography. Tampilan Quantum GIS memudahkan pengguna dalam pembuatan peta dan memanfaatkan tools seperti overview panel, spatial bookmarks, vector diagram overlay and layering dalam menjelajahi data spasial. Peta yang dihasilkan dapat ditambahkan dengan label hak cipta, menambahkan balok skala (scale bar) maupun directional arrow untuk kemudahan membaca peta.
8
Gambar I.4. Tampilan software Quantum GIS
I.5.3.Peta Risiko Bencana Pengertian risiko bencana menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 tahun 2012 adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko bencana juga memiliki pengertian berupa interaksi antara bahaya dengan tingkat kerentanan suatu daerah sedangkan peta risiko bencana adalah gambaran tingkat risiko bencana suatu daerah secara spasial dan non spasial berdasarkan Kajian Risiko Bencana suatu daerah. Ancaman bahaya dari alam bersifat tetap karena merupakan bagian dari perubahan permukaan bumi. Kemampuan menghadapi ancaman bahaya akan meningkat jika tingkat kerentanan dikurangi. Peta risiko bencana dibutuhkan untuk mengetahui ancaman bahaya yang ada, tingkat kerentanan, dan kemampuan pada suatu wilayah. Peta risiko bencana merupakan penggabungan dari peta ancaman, peta kerentanan, dan peta kapasitas. Masing – masing peta didapatkan dari indeks yang dihitung dari data – data dan metode perhitungan tersendiri. Metode perhitungan dan data masing – masing indeks berbeda untuk setiap ancaman. Kajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang
9
melanda. Potensi dampak negatif yang timbul dihitung berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak negatif dilihat dari potensi jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan. Analisis risiko dapat dilakukan menggunakan beberapa metode yang salah satunya adalah metode VCA (Vulnerability Capacity Analysis). Metode penghitungan untuk memperoleh skor risiko ditunjukkan oleh rumus berikut. Risiko = Bahaya * ( Kerentanan/ Kapasitas )..........................I.1 Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara bahaya, kerentanan, dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Pendekatan tersebut memperlihatkan bahwa tingkat risiko bencana tergantung pada tingkat bahaya kawasan, tingkat kerentanan kawasan yang terancam, dan tingkat kapasitas kawasan yang terancam. Nilai risiko ditentukan oleh nilai rentan dan kuatnya kapasitas suatu masyarakat dalam suatu wilayah pada saat terjadinya bahaya. Tingkat risiko bencana ditentukan dengan pembobotan dan nilai indeks sesuai dengan indikator untuk analisis risiko. Pendekatan yang telah dituliskan sebelumnya akan berisi nilai indeks sehingga perlu dilakukan konversi. HDI (Human Development Index) dari UNDP, menyatakan bahwa penggunaan indeks dalam analisis dikonversi ke skor 0 hingga 1 dengan skor 0 sebagai skor minimum dan skor 1 sebagai skor maksimum (Peraturan Kepala BNPB No 02 tahun 2012). Visualisasi dari komponen bahaya, kapasitas, dan kerentanan melalui pemetaan. Ketiga komponen tersebut digambarkan dalam bentuk peta risiko bencana. Pemetaan bahaya menggunakan data spasial sedangkan untuk pemetaan kerentanan dan kapasitas menggunakan data atribut atau tabular. Gambaran wilayah rawan bencana ini berupa peta dan melalui peta risiko bencana akan diperoleh tindakan dalam mengurangi risiko bencana. Proses penyusunan peta risiko bencana berdasarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 tahun 2012 ditunjukkan oleh gambar I.2.
10
Gambar I.2. Penyusunan Peta Risiko Bencana (Sumber : Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 tahun 2012) Komponen bahaya memiliki pengertian bahwa bahaya merupakan situasi atau kondisi suatu masyarakat dalam wilayah tertentu yang memiliki potensi menimbulkan korban. Korban dapat berupa manusia, kerugian harta, dan kerusakan lingkungan. Bahaya termasuk dalam komponen risiko bencana. Bahaya dibedakan menjadi lima, menurut UN-ISDR (United Nations - International Strategy for Disaster Reduction) yaitu : 1. Bahaya dalam aspek geologi, berupa gempabumi, tsunami, gunungapi, longsor 2. Bahaya dalam aspek hidrometerologi, berupa banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang.
11
3. Bahaya dalam aspek biologi, berupa wabah penyakit, hama dan penyakit tanaman 4. Bahaya dalam aspek teknologi, berupa kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi. 5. Bahaya dalam aspek lingkungan, berupa kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah. (Sumber : Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007) Karakteristik bahaya ada 5, yaitu : 1. Frekuensi, seberapa sering terjadi suatu bencana. 2. Intensitas, diukur dari kekuatan dan kecepatan secara kualitatif atau kuantitatif. 3. Dampak, pengukuran besarnya akibat terhadap kehidupan. 4. Keluasan, luas daerah yang terkena bahaya. 5. Komponen uluran waktu, rentang waktu dari peringatan gejala awal hingga terjadi dan lamanya proses bencana berlangsung. Peta bahaya merupakan gambaran wilayah yang menyatakan kondisi yang memiliki bahaya tertentu. Peta bahaya menunjukkan tingkat bahaya pada suatu daerah tertentu. Beberapa parameter digunakan dalam pemetaan bahaya dan masing – masing parameter memiliki skor yang menentukan nilai bahaya rendah, sedang atau tinggi. Komponen kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Kemampuan masyarakat untuk mencegah terjadinya dampak bahaya dipengaruhi oleh kondisi fisik, sosial, dan sikap. Kerentanan dapat dibagi dalam kerentanan sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Indikator dalam analisa kerentanan adalah informasi keterpaparan. Komposisi paparan berupa data kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen untuk melakukan analisa kerentanan yang ditunjukkan oleh gambar I.3.
12
Gambar I.3. Analisa Kerentanan (Sumber : Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 tahun 2012) Bencana gempa bumi memiliki tiga komponen atau indikator bahaya yang dipakai untuk menentukan nilai kerentanan yaitu komponen kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan fisik. Komponen kerentanan sosial terdiri dari kepadatan penduduk dan kelompok rentan. Kerentanan sosial menunjukkan kondisi soial dalam menghadapi ancaman atau bahaya. Indikator untuk kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk dan kelompok rentan. Kelompok rentan terbagi menjadi empat komponen yaitu rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Skor kerentanan sosial diperoleh dari 60% skor kepadatan penduduk dan 40% skor rasio kelompok rentan. Kerentanan fisik merupakan gambaran kondisi fisik atau infrastruktur yang rawan terhadap bahaya tertentu. Komponen yang digunakan adalah kepadatan rumah (permanen, semi – permanen, dan non – permanen), ketersediaan bangunan atau fasilitas umum, dan ketersediaan fasilitas kritis. Komponen kerentanan fisik terdiri dari rumah, fasilitas umum, dan fasilitas kritis. Indeks kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik, dan lingkungan. Komponen dihitung berdasarkan jenis ancaman. Penghitungan komponen kerugian juga menghasilkan potensi kerugian daerah dalam satuan rupiah. Komponen tersebut ditampilkan dalam tabel I.1.
13
Tabel I.1. Indikator kerentanan Kelas Indeks Komponen/ Indikator Rendah Sedang Tinggi Fisik dalam Rupiah (30%) Rp 400 juta > 800 1 Rumah < 400 juta 800 juta juta
Bobot Total
Sumber data
40%
2
Fasilitas Umum
< 500 juta
Rp 500 juta 1M
>1M
30%
3
Fasilitas Kritis
< 500 juta
Rp 500 juta 1M
>1M
30%
Podes
Sosial Budaya (40%) 1
Kepadatan Penduduk
< 500 jiwa/ km2
500 - 1000 jiwa/ km2
> 1000 jiwa/ km2
60%
2
Rasio jenis kelamin
< 20%
20% - 40%
> 40%
10%
3
Rasio kemiskinan
< 20%
20% - 40%
> 40%
10%
20% - 40%
> 40%
10%
20% - 40%
> 40%
10%
< 50 juta
50 juta - 200 juta
> 200 juta
< 100 juta
100 juta - 300 juta
> 300 juta
Rasio < 20% orang cacat Rasio 5 kelompok < 20% umur Ekonomi dalam Rupiah (30%) 4
Luas lahan 1 produktif
Kontribusi 2 PDRB per sektor
Podes
60%
Landuse, Kabupaten/ Kecamatan dalam angka
40%
Laporan sektor, Kabupaten dalam angka
(Sumber : Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 tahun 2012)
Tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana karena bencana baru akan terjadi bila "bahaya" terjadi pada "kondisi yang rentan", dikutip dari pernyataan Awotona (1997) yang menyatakan ".... Natural disaster are the interaction between natural hazard and vulnerable condition".
Kerentanan adalah hasil kerentanan
sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan dengan faktor pembobotan yang berbeda
14
untuk masing – masing jenis ancaman yang berbeda. Skor kerentanan untuk bencana gempa bumi dinyatakan dalam penjumlahan dari 40 % skor kerentanan sosial, 30 % skor kerentanan ekonomi, dan 30 % skor kerentanan fisik. Komponen kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan tindakan pengurangan tingkat ancaman dan tingkat kerugian akibat bencana. Peta kapasitas merupakan gambaran wilayah yang memiliki kapasitas yang dapat mengurangi risiko bencana.
I.5.4. Kartografi Kartografi diartikan sebagai penyampaian informasi geospasial dalam bentuk peta (Kraak dan Ormeling, 2007). Unsur – unsur yang termasuk dalam definisi peta adalah informasi geospasial, penyajian grafis, skala, dan simbol. Pengertian kartografi yang lain menyebutkan bahwa kartografi adalah ilmu yang mempelajari peta, diawali dengan pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, pemberian simbol atau simbolisasi, penggambaran, analisa peta, dan interpretasi peta (Prihandito, 1989). Pengertian peta menurut ICA ( International Cartography Association ) adalah gambaran konvensional yang dibuat dengan menggambarkan elemen – elemen yang ada di permukaan bumi dan gejala yang ada hubungannya dengan elemen – elemen tersebut. Peta memiliki beberapa fungsi diantaranya menunjukkan posisi, ukuran, bentuk, dan
mengumpulkan dan serta menyeleksi data dari suatu daerah dan
disajikan dalam bentuk peta sesuai simbol untuk mewakili data tersebut. Peta dibuat untuk tujuan komunikasi informasi ruang, menyimpan informasi, membantu suatu pekerjaan, membantu desain atau rancangan, dan analisis data spasial (Prihandito, 1989). Simbol dalam kartografi terdiri dari elemen grafis dan variabel grafis. Elemen grafis berupa simbol titik, simbol garis, dan simbol luasan. Simbol titik pada data raster mewakili data luasan berbentuk grid yang memiliki nilai. Elemen grafis tersebut dikombinasikan dengan variabel grafis untuk memberikan simbol data kualitatif maupun kuantitatif. Perbedaan simbol yang hanya dianggap sebagai perbedaan kualitatif memerlukan persepsi memiliki nilai yang sama. Perbedaan dalam tingkatan akan terlihat saat satu warna jauh lebih gelap daripada yang lain.
15
Simbol dalam peta yang dapat dimengerti oleh pengguna peta merupakan hasil dari komunikasi kartografi. Rancangan simbol atau variabel tampak dibuat secara benar sesuai aturan dalam kartografi (Riyadi, 1994). Variabel tampak ditampilkan sebagai informasi dalam kartografi berfungsi dalam pembentukan simbol (Riyadi, 1994), yaitu : 1. Posisi (X,Y), untuk memberikan informasi lokasi yang terdapat di dalam peta. 2. Bentuk, untuk membedakan antara simbol yang satu dengan simbol yang lain. 3. Orientasi, sebagai arah dari suatu simbol pada peta untuk membedakan dengan simbol yang lain. 4. Warna, merupakan variabel yang sering digunakan sebagai simbol karena perbedaan antara satu simbol dengan simbol yang lain dapat terlihat jelas. 5. Tekstur, penggunaan variabel ini lebih baik digunkaan dalam variasi gambar elemen dengan nilai tetap. 6. Value atau nilai, menunjukkan besarnya derajat keabuan (gray scale) dari putih ke hitam. 7. Ukuran, berupa besaran untuk menunjukkan variasi besaran simbol yang digunakan dalam peta. Variabel tampak yang telah disebutkan harus memiliki sifat pemahaman agar dapat dipahami oleh pengguna secara cepat dan tepat. Sifat pemahaman dari variabel tampak ada 4 yang ditampilkan dalam tabel I.2. Tabel I.2. Sifat pemahaman variabel tampak Sifat pemahaman Asosiatif Selektif Order Kuantitatif
Posisi
Perspektif
Garis perspektif
Warna
Tekstur
Shading
Ukuran
+ -
+ 0 -
+ 0 -
+ ++ -
0 + 0 -
+ ++ -
+ + ++
(Sumber : Riyadi, 1994) Keterangan : ++ : sangat kuat + : kuat 0 : cukup : jelek
16
Sifat pemahaman asosiatif adalah tidak terdapat satu pun simbol yang terlihat lebih penting dibandingkan dengan simbol yang lain meskipun bentuk simbol tersebut berbeda. Sifat pemahaman selektif yaitu simbol dapat dibedakan dengan cepat karena masing – masing simbol disusun oleh variabel yang dikelompokkan secara berbeda. Sifat pemahaman order adalah semua simbol dapat dibedakan secara spontan karena variabel ditempatkan pada tingkatan yang jelas sedangkan pemahaman kuantitatif adalah jika semua simbol dibedakan sesuai dengan variabel yang dipisahkan oleh jumlah yang jelas. Sifat dasar dari informasi meliputi : 1. Informasi kualitatif, yaitu mengenai perbedaan ciri atau sifat dari sesuatu. 2. Informasi order, yaitu mengenai tingkatan yang jelas dan tidak ditentukan oleh jumlah. 3. Informasi kuantitatif, yaitu mengenai jumlah yang pasti. Ketiga sifat dasar informasi tersebut memiliki karakteristik masing – masing dan sebagai contoh ditampilkan dalam tabel I.3. Data
Tabel I.3. Contoh sifat pemahaman Jenis simbol Variabel tampak
Jalan
garis
bentuk, warna
Kota
titik
bentuk, warna
Sungai
garis
bentuk, warna
Batas administrasi
garis
bentuk, warna
Wilayah pertanian
area
bentuk, warna
Wilayah hutan
area
bentuk, warna
Simbol pada peta
Penggunaan warna berkaitan dengan simbol kartografi yang mewakili unsur – unsur dalam peta. Fungsi dari penggunaan warna adalah untuk memperlihatkan detil lebih banyak, mengembangkan desain dan penyajian, serta menimbulkan reaksi psikologi bagi pengguna peta. Perbedaan warna dapat dilihat dalam beberapa aspek yaitu warna, kepekatan warna atau proporsi cahaya yang direfleksikannya, dan kecerahan. Persepsi warna memiliki aspek psikologis, aspek fisiologis, dan aspek subyektif. Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 tahun 2012 menyebutkan bahwa data grid dalam aplikasi SIG ditampilkan dengan menentukan rentang nilai warna dan berbeda untuk masing – masing peta yaitu peta bahaya, peta kerentanan, peta
17
kapasitas, dan peta risiko. Data pada proses pembuatan peta risiko, bahaya, kerentanan, dan kapasitas dapat ditampilkan menggunakan teknik koroplet. Peta tematik ini menggunakan simbol berupa area berwarna yang ditampilkan secara proporsional sesuai variasi nilai yang terdapat pada peta. Data kualitatif atau nominal dan kuantitatif yang memiliki sifat ordinal maupun interval dapat dipetakan menggunakan peta koroplet. Pengklasifikasian data pada pemetaan risiko dapat berupa : 1. Selang sama (equal interval), yaitu membagi data dalam kelompok sesuai rentang nilai yang sama antar kelas. 2. Kuantil (quantile), yaitu membagi data dalam kelompok dengan jumlah anggota tiap kelas sama. 3. Natural breaks, yaitu membagi kelas mengikuti distribusi datanya atau meminimalkan variasi dalam satu kelas dan memaksimalkan variasi antar kelas.