1
BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Perkembangan teknologi pengolahan data fotogrametri semakin pesat. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil pengolahan data fotogrametri khususnya data foto udara yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan. Salah satu produk hasil olahan data foto udara adalah data Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan informasi ketinggian suatu wilayah dipermukaan bumi yang disimpan dalam format digital berupa bentuk raster berbasis pixel atau vektor yang berbasis poligon (Trisakti, 2010). Secara umum, DEM merepresentasikan bentuk topografi permukaan bumi dengan titik-titik 3D yang disimpan secara digital. Selain data foto udara, DEM juga dapat diperoleh dari teknik data LiDAR. Terdapat beberapa metode dalam fotogrametri untuk pengolahan data foto udara agar menghasilkan DEM yaitu dengan cara stereomathing dan stereoplotting. Stereoplotting
adalah metode pengumpulan data vektor yang memiliki nilai
ketinggian (z) yang dapat dilakukan dengan cara otomatis atau interaktif. Stereoplotting interaktif dilakukan dengan cara digitasi 3D pada foto udara stereo. Diperlukan nilai Exterior Orientation Parameter (EOP) agar dapat dilakukan stereoplotting. Nilai EOP dapat diperoleh dengan dua cara yaitu melalui tahapan Aerial Triangulation (AT) dan melalui tahapan Relative Orientation (RO). Nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan AT memerlukan software Bundle AdjustmenI seperti PCI Geomatic, Inpho dan sebagainya. Ada kemudahan tersendiri jika melakukan pembuatan DEM dengan tahapan AT yaitu nilai Exterior Orientation Parameter (EOP) dapat diperoleh tanpa melakukan tahapan Relative Orientation (RO). Nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan AT merupakan
hasil model
perhitungan Bundel Adjustment. Sedangkan nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan RO harus melalui beberapa proses yaitu interior orientation, relative
2
orientatio dan absolute orientation. Software yang digunakan untuk melakukan proses RO salah satunya adalah software DAT/EM Summit Evolution. Selain untuk menghasilkan nilai EOP, software DAT/EM Summit Evolution merupakan salah satu software yang digunakan untuk menghasilkan DEM dengan cara stereoplotting. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keakuratan DEM hasil stereoplotting pada foto udara.
I.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting foto udara format medium melalui tahapan Relative Orientation?
I.3.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting foto udara format medium melalui tahapan Relative Orientation.
I.4.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah pembuatan DEM dengan cara stereoplotting dan nilai EOP yang diperoleh dari tahapan Relative Orientation cocok digunakan pada daerah sempit dan memanjang dengn titik kontrol minimum.
I.5.
Batasan Masalah
Dalam penelitian ini ditetapkan beberapa batasan yang berkaitan mengenai obyek, metode serta software yang digunakan. Beberapa batasan tersebut antaranya: 1. Lokasi proyek berada di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada sekitaran Lembah dengan dengan kondisi topografi yang bervariasi.
3
2. Titik kontrol horizontal yang digunakan diperoleh dari data orthofoto sedangkan titik kontrol vertikal diperoleh dari data DEM hasil klasifikasi data LiDAR. 3. DEM yang dihasilkan dari teknologi LiDAR digunakan sebagai data pembanding yang dianggap benar dalam perhitungan akurasi DEM hasil stereoplotting interaktif dengan asumsi titik sampel terdekat.
I.6.
Tinjauan Pustaka
Pranadita (2013) membuat Digital Elevation Model (DEM) melalui tahapan Triangulasi Udara dengan lokasi sebagian kawasan kampus Universitas Gadjah Mada yang relatif landai. Software yang digunakan adalah PCI Geomatics untuk menghasilkan nilai EOP, DAT/EM Summit Evolution untuk melakukan stereoplotting interaktif dan ArcGIS untuk ekstraksi DEM dan kontur. Analisis ketelitian DEM menggunakan 113 buah titik cek kemudian diperoleh nilai rata-rata beda tinggi sebesar 0,876 meter dan nilai simpangan baku sebesar 0,628 meter. Sudiyatmoko (1999) membuat DEM dari sepasang foto udara format kecil yang bertampalan di daerah Madiun dengan skala 1:15000. Pengolahannya menggunakan software NOOBEED untuk menghasilkan DEM dan titik kontrol tanah diperoleh dari peta garis skala 1:1000 dari BPN yang dibuat pada tahun 1989. DEM yang terbentuk dibandingkan dengan peta skala 1:1000, terdapat selisih rata-rata arah x sebesar 5.96 meter, selisih rata-rata arah y sebesar 8.02 meter dan selisih rata-rata arah z sebesar 2.21 meter. DEM yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk pembuatan peta skala 1:50.000 atau lebih kecil. Fatmaryanti (2007)
melakukan kajian penelitian planimetris dengan
menggunakan data foto udara format kecil dan data citra satelit Quickbird. Foto udara dan citra satelit diolah menggunakan software ER Mapper. Analisis ketelitian dilakukan dengan mengukur jarak pada foto udara, pengukuran jarak dilapangan dan pengukuran jarak pada citra satelit Quickbird kemudian dilakukan proses uji statistik. Dari hasil uji statistik ketelitian planimetris pada foto udara format kecil dan citra
4
satelit Quickbird disimpulkan bahwa foto udara format kecil memiliki ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra Quickbird. Dengan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kajian akurasi posisi Digital Elevation Model (DEM) untuk kawasan yang memiliki bentuk topografi yang bervariasi. Dalam penelitian ini, dibuat DEM kawasan Lembah kampus Universitas Gadjah Mada dari 4 buah foto udara format medium. Software yang digunakan adalah DAT/EM Summit Evolutions untuk menghasilkan nilai EOP dan melakukan stereoplotting interaktif. Analisis ketelitian DEM dilakukan dengan membandingkan data DEM hasil stereoplotting interaktif dengan data DEM LiDAR sehingga diperoleh selisih beda tinggi maksimum, selisih beda tinggi minimum, selisih beda tinggi rata-rata dan standar deviasi.
Kemudian menghitung nilai ketelitian maksimum dari DEM hasil
stereoplotting interaktif dengan ketelitian pengali 1 piksel atau 6.8 mikron.
I.7.
Landasan Teori
I.7.1. Geometri Foto Udara Format Medium Fotogrametri merupakan ilmu dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan atau memperoleh informasi spasial dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan cara memotret objek tersebut kemudian memproses hasil pemotretan. Objek yang dipetakan biasanya berupa sungai, perkebunan, perumahan dan lain sebagainya sehingga untuk memotret objek tersebut dilakukan dari pesawat atau sering disebut dengan pemotretan udara (Soeta’at, 2011). Peralatan utama yang diperlukan untuk melakukan pemotretan udara diantaranya: a.
Kamera atau sering disebut dengan sensor terbagi menjadi 2 macam yaitu sensor analog dan sensor digital. Sensor analog menggunakan detector film untuk merekam data, sedangkan sendor digital merekam data menggunakan
5
CCD (Charge Coupled Device) atau CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Macam-macam format sensor kamera dibagi menjadi
3
macam yaitu small format dengan sensor diensi 24mm x 36mm, medium format dengan sensor dimensi 60mm x 60mm dan large format dengan sensor dimensi 230mm x230mm (Soeta’at,2011). Informasi kamera yang digunakan dalam pengolahan data foto udara meliputi sensor size, sensor dimension, image size, ISO peed range, dan focus. Sensor size merupakan ukuran sensor dalam satuan piksel sedangkan sensor dimensions adalah ukuran sensor dalam satuan milimeter. Sensor dimensions ini yang menentukan jenis format foto. Salah satu unsur sensor kamera adalah resolusi spasial sensor atau resolusi spasial kamera. Resolusi spasial kamera adalah ukuran dari sebuah piksel dalam mikron sedangkan ukuran satu piksel pada objek yang dipotret disebut dengan Grounn Sampling Distance (GSD). Soeta’at (2011) menyatakan besarnya nilai GSD dapat dihitung menggunakan rumus (1.1) GSD Skala
b.
= Angka skala * resolusi spasial = fokus kamera(f) / tinggi terbang (h)
(1.1) (1.2)
Wahana yang digunakan untuk melakukan pemotretan udara diantaranya balon udara, pesawat tanpa awak atau UAV, pesawat Ultra Light atau disebut gantole bermesin, pesawat terbang komersial dsb.
c.
GPS dan IMU merupakan alat pendukung pemotretan yang dipasang pada pasawat bersamaan dengan kamera. GPS dan IMU digunakan untuk menentukan parameter Exterior Orientation berupa koordinat posisi principal point (X, Y, Z) dan rotasi (omega, phi, kappa). Pada saat pemotretan sumbu kamera diusahakan tegak untuk menghasilkan
foto udara tegak. Namun pada kenyataannya kondisi sumbu kamera yang benarbenar vertikal tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, sumbu kamera yang mendekati vertikal dapat disebut dengan foto udara tegak(Ferdian,2011).
6
d a
c b f
H A
B
C
D
Gambar I.1. Geometri foto udara tegak (Ferdian,2011) Keterangan gambar: f
= Panjang fokus kamera
H
= Tinggi terbang diatas permukaan tanah
a, b, c, d = Ukuran CCD A,B,C,D = Luas area yang dipotret Untuk membuat model dari data foto udara dalam satu strip penerbangan harus memenuhi syarat threelap yaitu terdapat minimal tiga buah foto dalam satu strip yang saling bertampalan pada area yang akan dimodelkan dengan pertampalan sebesar 60% baik pertampalan ke depan ataupun pertampalan kebelakang. Tujuan dari overlap 60% adalah agar objek yang terdapat pada wilayah penelitian dapat dimodelkan atau tidak terdapat gap pada saat pembuatan model.
7
Gambar I.2. Pertampalan trilap pada satu strip (a) dan terdapat gap akibat syarat tidak terpenuhi (b)(Pranadita, 2013) Pertampalan antar foto A, B dan C dapat dilihat pada gambar I.2. Gambar I.2.a merupakan ilustrasi pertampalan foto udara yang memenuhi syarat threelap dengan pertampalan sekitar 60% yang dapat menghasilkan model pada bagian overlap (bagian diarsir pada gambar I.2.a).Sedangkan gambar I.2.b merupakan ilustrasi pertampalan foto udara yang tidak memenuhi syarat threelap atau pertampalan antar foto kurang dari 60% sehingga terjadi gap atau dapat disebut dengan adanya wilayah yang tidak termodelkan seperti wilayah x pada gambar I.2.b. (Pranadita, 2013). Tinggi terbang wahana yang digunakan untuk melakukan pemotretan udara berpengaruh pada cakupan area yang dipotret. Semakin tinggi terbang wahana maka cakupan area yang terpotret akan semakin luas dengan tinggkat kedetilan objek kurang. Namun sebaliknya semakn rendah wahana terbang maka cakupan wilayah yang terpotret semakin sempit dengan tingkat kedetilan objek yang terpotret semakin detil. Selain itu tinggi terbang suatu wahana mempengaruhi skala foto yang dihasikan. I.7.2
Sistem Koordinat dalam Fotogrametri
I.7.2.1. Sistem koordinat piksel dan foto Kamera digital menerapkan sistem koordinat piksel pada sensor digitalnya(CCD) dimana suatu koordinat dinyatakan dengan baris dan kolom dengan origin terletak (0,0) terletak di pojok kiri atas. Sistem koordinat foto
8
menerapkan sistem koordinat 2 dimensi (x,y) dengan origin terletak pada pusat foto. y
x
Gambar. I.3. Hubungan sistem koordinat piksel dan sistem koordinat foto I.7.2.2. Sistem koordinat foto dan model Sistem koordinat model menerapkan sistem koordinat 3 dimensi (x, y, z) dengan sistem tangan kanan. Sumbu x positif mengarah ke arah jalur terbang sedangkan sumbu z positif mengarah ke atas. Hubungan sistem koordinat foto dan sistem koordinat model dapat dilihat pada gambar I.4 (Setiawan, 2006).
(xj’, yj’,zj’) Oj By Bz
(xi’, yi’,zi’) oi F1
Bx
j (xj, yj)
F2
P (xp, yp)
i (xi, yi)
a (xa, ya, za)
Gambar I.4. Geometri hubungan sistem koordinat foto dan model
Keterangan gambar: Xa , Ya , Za
= koordinat titik dalam sistem koordinat model
Xi , Yi
= koordinat titik i dalam sistem koordinat foto
9
Xj , Yj
= koordinat titik j dalam sistem koordinat foto
Xp , Yp
= principal point dalam sistem koordinat foto
xi’, yi’,zi’
= koordinat pusat lensa foto kiri
xj’, yj’,zj’
= koordinat pusat lensa foto kanan
Bx , By , Bz
= komponen basis
F
= fokus kamera
Hubungan sistem koordinat foto dan sistem koordinat model biasa disebut dengan kondisi koplanar. I.7.2.3. Sistem koordinat model dan tanah Sistem koordinat tanah menerapkan sistem kordinat 3 dimensi dengan mengacu pada sistem proyeksi tertentu. Di Indonesia, UTM (Universal Transverse Mercator) merupakan sistem proyeksi yang biasa digunakan (Soeta’at,2011). Ada hubungan antara sistem koordinat model dengan sistem koordinat tanah yang dinyatakan dalam bentuk geometri seperti pada gambar I.5. O(xo ,Yo , Zo ) m
Z
Ym Am
Xm
Zo
Yt Zt
At Xo Yo Xt
Gambar I.5. Geometri hubungan sistem koordinat model dan S.K. tanah (Slama,1980) Keterangan gambar: O (Xo , Yo , Zo)
= koordinat pusat lensa foto
10
I.7.3
Xm , Ym , Zm
= sumbu kartesi dalam sistem koordinat model
Xt , Yt , Zt
= sumbu kartesi dalam sistem koordinat tanah
At
= titik A dalam sistem koordinat tanah
Am
= titik A dalam sistem koordinat model
Kalibrasi kamera Kalibrasi kamera dilakukan untuk menentukan sejumlah nilai konstanta yang
biasa disebut unsur interior orientation antara lain: a. Panjang fokus terkalibrasi (konstanta kamera) yaitu panjang fokus yang dapat menghasilkan distribusi radial lensa rata-rata secara menyeluruh. b. Distorsi lensa Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik citra pada foto dari posisi yang sebenarnya dan menyebabkan ketelitian pengukuran kurang baik namun distorsi lensa tidak akan mempengaruhi ketajaman foto yang dihasilkan (Ferdian, 2011). Distorsi lensa diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu 1. Distorsi radial Distorsi radial merupakan aberasi lensa yang menyebabkan sinar datang yang masuk melaui lensa kamera mengalami deviasi setelah melewati titik pusat proyeksi lensa. Penyebab terjadinya deviasi adalah ketidaksempurnaan komposisi pada lensa. 2. Distorsi tangensial Distorsi tangensial merupakan pergeseran vertikal maupun rotasi pada elemen lensa yang mengakibatkan adanya pergeseran geometrik foto. c.
Posisi titik utama yaitu titik hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif pada bidang foto yang dinyatakan dengan x dan y dalam sistem koordinat fidusial(Wolf,1993).
11
Pusat lensa fokus y p c
x
a
Gambar I.6. Geometri penyimpangan titik utama (Soeta’at,2011) Keterangan gambar: c
= center of collimation
p
= principal point
a
= titik a dalam sistem koordinat foto
x, y
= sumbu koordinat dalam sistem koordinat foto
Dari bentuk geometri penyimpangan titik utama pada gambar I.6 diperoleh persamaan I.3 dan I.4. xa’ = xa - xp
(I.3)
ya’ = ya - yp
(I.4)
r2 = xa’2 + ya’2 3
(I.5) 5
7
dr = k1.r + k2.r + k3.r
(I.6)
xa” = x + x.dr/r + p1(r2 + 2x2) + 2p2 xy
(I.7)
ya” = y + y.dr/r + p2(r2 + 2x2) + 2p1 xy
(I.8)
Keterangan rumus : xa , ya
= koordinat titik a dalam sistem koordinat foto
xp , yp
= offset titik utama
r
= jarak dari titik a ke titik p
dr
= distorsi
xa” , ya”
= koordinat titik a terkoreksi kalibrasi kamera
12
I.7.4
k1, k2, k3
= parameter koreksi distorsi radial
p1, p2
= koefisien distorsi decentering
Interior Orientation (IO) Proses interior orientation dilakukan untuk merekonstruksi berkas arah sinar
yang diproyeksikan agar sama dengan arah-arah sinar dalam kamera pada saat pemotretan atau sama dengan geometri foto aslinya (Suharsana,1997). Dalam fotogrametri digital, tujuan dari proses interior orientation
adalah untuk
mentransformasi sistem koordinat pixel (kolom dan baris) dengan origin terletak dipojok kiri atas menjadi sistem koordinat foto (x,y) dengan origin terletak dipusat foto. Y
(0,0)
(0,0)
(a) Sistem koordinat piksel
X
(b) sistem koordinat foto
Gambar. I.7. (a) Sistem koordinat piksel, (b) Sistem koordinat foto
Unsur-unsur yang diperlukan untuk proses interior orientation diantaranya panjang fokus kamera, ukuran negatif film atau CCD pada kamera digital. Model matematis yang dapat digunakan untuk proses orientasi dalam yaitu transformasi Affine 2D (Sudiyatmoko,2004): [
]=*
+[
]+[
]
Keterangan rumus: Xp , Yp
= koordinat titik dalam sistem koordinat piksel
Xf , Yf
= koordinat titik dalam sistem koordinat foto
a, b, c, d, Cx , Cy
= parameter transformasi
(I.9)
13
Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan metode kuadrat terkecil dengan syarat koordinat kedua sistem telah diketahui. I.7.5
Relative Orientation (RO) Relative Orientation adalah penempatan sepasang foto udara agar foto udara
tersebut persis seperti pada saat pemotretan (Soeta’at, 2011). Setiap titik pada model merupakan perpotongan kedua arah berkas sinar dari sepasang foto. Apabila perpotongan berkas sinar dari sepasang foto tepat pada objek, maka model akan nampak 3 dimensi seperti miniatur model topografi. Pada saat pembuatan model tidak semua perpotongan berkas sinar jatuh pada objek dipermukaan bumi atau biasa disebut dengan adanya paralaks, untuk itu perlu dilakukan pembetulan posisi perpotongan berkas sinar agar tepat pada objek dipermukaan bumi. Pembetulan tersebut dapat dilakukan dengan menghilangkan atau meniadakan paralaks. Tujuan utama dari proses Relative Orientation ini adalah membuat model dari sepasang foto stereo dengan menentukan Tie Point pada masing masing foto. Pada proses ini dilakukan juga transformasi sistem koordinat dari sistem koordinat foto ke sistem koordinat model. Pada gambar I.8. terdapat tiga vektor yaitu Ai, Aj dan B. (xi’, yi’,zi’) oi
(xj’, yj’,zj’) Oj
B j (xj, yj)
P (xp, yp)
i (xi, yi) Ai
Aj
a (xa, ya, za)
Gambar I.8. kondisi koplanar (Slama,1980) Slama (1980) menyatakan hubungan vektor Ai , Aj dan B menjadi persamaan koplanar (1.10).
14
(̅̅̅
̅̅̅) ̅
(1.10)
Dari gambar (1.2) vektor ̅ , ̅ dan ̅ dapat ditulis persamaan (1.11), (1.12) dan (1.13). ̅̅̅
(
)̅
(
) ̅
(
)̅
(1.11)
̅̅̅
(
)̅
(
) ̅
(
)̅
(1.12)
̅
(
)̅
) ̅
(
(
)̅
(1.13)
Menentukan nilai ̅ dan ̅ dapat dihitung menggunakan persamaan transformasi proyektif (1.14). (
(
)
(
)
(
))
(1.6)
(
(
)
(
)
(
))
(1.6)
(
(
)
(
)
(
))
(1.6)
(
,.....,
(
)
(
(
)
))
(1.14)
(
(
)
(
)
(
))
(1.6)
(
(
)
(
)
(
))
(1.6)
merupakan fungsi dari sudut rotasi ω , ϕ dan κ pada foto i dan foto j.
adalah principal point dalam sistem koordinat foto, image point dalam sistem koordinat foto i , dalam sistem koordinat foto j,
adalah koordinat
adalah koordinat image point
adalah faktor skala pada foto i dan
adalah faktor
skala pada foto j. Misalkan: (
)
(
)
(
)
(1.15)
(
)
(
)
(
)
(1.15)
(
)
(
)
(
)
(1.9)
15
(
)
(
(
) (
)
( )
(
) (
( )
) )
(
(1.9) (1.15)
)
(1.7)
Persamaan transformasi proyektif (1.14) disubstitusikan dengan persamaan (1.15) sehingga dapat ditulis seperti persamaan (1.16) (1.10) (1.10) (1.16) (1.10) (1.10) (1.10) Substitusikan persamaan (1.16) ke persamaan (1.11) dan (1.12) sehingga diperoleh bentuk persamaan (1.17) ̅̅̅ ̅̅̅ ̅
̅
̅ ̅
̅ ̅
(1.17) (1.18)
Apabila persamaan (1.13), (1.17) dan (1.18) dibentuk matriks sesuai dengan persamaan koplanar (1.10) akan menjadi bentuk matriks (1.19)
|
|=0
(1.19)
16
I.7.6
Absolute Orientation (AO) Orientasi Absolut merupakan proses pengikatan sistem koordinat model ke
sistem koordinat tanah (Soeta’at, 2011). Terdapat 7 parameter yang dicari yaitu : faktor skala (λ), tiga sudut rotasi omega (ω), phi (φ), kappa (κ) dan koordinat yang menunjukan posisi kamera (X0, Y0, Z0). Secara analitis, orientasi absolut ialah melakukan transformasi tiga dimensi dari sistem koordinat model ke sistem koordinat tanah. Slama (1980) menyatakan hubungan antara sistem koordinat model dan sistem koordinat tanah dapat dimodelkan dalam persamaan transformasi proyektif 3D (1.20) Xj – X0 = λ [
]
(1.14)
Yj – Y0 = λ [
]
(1.20)
Zj – Z0 = λ [
]
(1.14)
atau dapat ditulis seperti persamaan (1.21)
(
)
(
)
( )
(1.21)
Matriks rotasi (R) berisi tiga elemen rotasi omega (ω), phi (φ), kappa (κ). R=[
]
Keterangan rumus : Xj, Yj, Zj
: koordinat dalam sistem koordinat tanah
X0, Y0, Z0
: parameter translasi
λ
: faktor skala
xj, yj, zj
: koordinat dalam sistem koordinat model
m11
= cos ø cos κ
(1.22)
17
m12
= sin ω sin ø cos κ + cos ω sin κ
m13
= - cos ω sin ø cos κ + sin ω sin κ
m21
= - cos ø sin κ
m22
= - sin ω sin ø sin κ + cos ω cos k
m23
= cos ω sin ø sin κ + sin ω cos κ
m31
= sin ø
m32
= -sin ω cos ø
m33
= cos ω cos ø
I.7.7. Paralaks Paralaks stereoskopis merupakan perbedaan posisi bayangan sebuah titik pada dua foto yang bertampalan karena perubahan posisi kamera (Zorn, 1984 dalam Pranadita, 2013). Besarnya nilai paralaks akan berpengaruh pada proses penentuan ketinggian suatu objek diatas permukaan bumi. Untuk memperoleh nilai ketinggian objek yang baik diusahakan besarnya nilai paralaks-X dan paralaks-Y sama dengan nol atau mendekati nol.
Foto 2
Foto 1
Ground A
Gambar I.9.
Kondisi paralaks mendekati nol
Pada gambar I.9. dapat dilihat perpotongan sinar yang jatuh tepat pada permukaan objek A menunjukan sebuah kondisi ideal dimana objek A tidak mengalami pergeseran topografi.
18
Kondisi pada gambar
I.10 menunjukan kondisi yang tidak ideal
mengakibatkan bayangan sinar tidak jatuh tepat pada permukaan obyek. Selisih pergeseran ini disebut sebagai beda paralaks dan dieliminir dengan memperbanyak Tie Point dan penentuan TP yang lebih teliti.
Foto 2
Foto 1
X-paralaks Ground Y-paralaks
Gambar I.10. Kondisi yang menunjukan terjadi kesalahan paralaks-X dan Y
Besarnya paralaks suatu titik (p)dapat dihitung dengan cara mengurangkan koordinat titik pada foto kiri dengan koordinat titik pada foto kanan. Sedangkan menghitung tinggi suatu titik (h) dapat dihitung dengan menggunakan rumus I.24. p
= X – X’
(I.23)
h
=H–( )
(I.24)
Keterangan rumus: p
= besarnya nilai paralaks suatu titik
X, X’ = koordinat suatu titik pada foto kiri dan foto kanan h
= tinggi suatu titik
H
= tinggi terbang pesawat diatas permukaan laut rata-rata
B
= basis foto
f
= fokus kamera
19
B
O2
O1
f
Foto 2
Foto 1 A2
A1
B2
B1
HB
A ΔhA
B
Ground
Gambar I.11. Geometri beda tinggi dan beda paralaks
Persamaan I.25 dibuat berdasarkan geometri beda tinggi dan beda paralaks pada gambar I.11. ΔhA
=
(I.25) = PXA – PXB
PXA = XA1 – XA2 PXB = XB1 – XB2 Keterangan rumus : HB
= tinggi terbang pesawat diatas permukaan tanah
B
= basis foto
ΔhA
= beda tinggi 2 titik
ΔPXA = beda paralaks 2 titik PXA
= paralaks titik A
PXB
= paralaks titik B
20
I.7.8. Stereoplotting Stereoplotting merupakan metode pengumpulan data untuk mempereroleh data vektor yang memiliki nilai ketinggian dengan cara digitasi titik pada foto stereo. Pembentukkan model dengan menggunakan dua buah foto stereo dapat digambarkan seperti pada gambar I.12. Secara umum plotting dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, plotting interaktif dan plotting otomatis. Plotting interaktif merupakan proses plotting yang dilakukan dengan cara menentukan sendiri titik-titik obyek yang akan dilakukan digitasi pada ruang tiga dimensi. Posisi titik dapat ditentukan dengan mengatur posisi x,y kursor plotter serta ketinggian dari kursor plotter.
Foto 2
Basis foto
Foto 1
Ground A(XA, YA, ZA)
Gambar I.12. Hubungan antara foto stereo dengan posisi obyek di lapangan
I.7.9. DEM (Digital Elevation Model) DEM merupakan informasi ketinggian suatu wilayah dipermukaan bumi yang disimpan dalam format digital berupa bentuk raster berbasis pixel atau vektor yang berbasis poligon (Trisakti, 2010). DEM berasal dari 3 sumber yakni: a. Survei lapangan atau teristris b. Metode Fotogrametri c. Peta Topografi Beberapa kegunaan DEM antara lain (Andaru,2005 dalam Riswanto,2013):
21
a. Civil engineering : peta 3D sebagai sumber pemetaan dan perencanaan infrastruktur, cut and fill, survei alignment (pipa, rel, jalan dan kanal), planning route, analysis terrain. b. Earth Sciences : untuk memonitoring penurunan muka tanah dan erosi, pemodelan, analisis serta interpretasi dari morfologi tanah, pemetaan geologi, dan lain sebagainya. c. Planning and resources management : site location, sebagai pendukung pada proses klasifikasi citra dan koreksi geometrik. d. Surveys and Photogrametry : digunakan untuk pembuatan kontur, memproduksi orthofoto, pemetaan topografi dan lain sebagainya.
I.7.10. Evaluasi ketelitian Akurasi vertikal hasil stereoplotting foto udara dapat diperoleh dengan membandingkan nilai elevasi koordinat titik uji hasil stereoplotting dengan elevasi teknologi LiDAR. Ketelitian DEM dilihat dari besarnya nilai standar deviasi. menghitung nilai rata-rata selisih tinggi antara titik cek pada DEM LiDAR dan DEM hasil stereoplotting pada foto udara menggunakan rumus (1.26). Kemudian hitung nilai varian menggunakan persamaan (1.27) untuk menentukan nilai standar deviasi. Standar deviasi dapat dihitung dengan mengakarkan nilai varian seperti rumus (1.28). ̅
=
∑
(1.26)
∑(̅
√ Keterangan rumus : ̅
= rata-rata beda tinggi = varian
∑(̅
)
(1.27) )
(1.28)
22
= standar deviasi = titik sampel ke-i ∑
= jumlah beda tinggi data sampel
n
= jumlah data sampel
Nilai ketelitian tinggi maksimal DEM hasil stereoplotting foto udara dapat dihitung dengan rumus (1.29). Rumus (I.30) dan (I.31) digunakan untuk menghitung ketelitian maksimal koordinat x dan y pada DEM. Sz = angka skala * ( ) * Sp
(1.29)
Sx = ( ) Sp
(I.30)
Sy = ( ) Sp
(I.31)
Keterangan rumus : Sx , Sy, Sz
= ketelitian maksimal koordinat x, y, z pada DEM
Sp
= ketelitian pengali
b
= basis foto
h
= tinggi terbang pesawat saat memotret
Rata-rata beda tinggi (̅) adalah hasil bagi jumlah selisih tinggi titik cek (∑
)dengan jumlah titik sampel (n). Nilai varian (
)merupakan jumlah dari
kuadrat nilai rata-rata dikurangi besarnya nilai data ke-i (∑(̅ dibagi dengan jumlah data dikurangi satu (
) ) kemudian
). Sedangkan standar deviasi
( )merupakan akar dari varian. Sz merupakan nilai ketelitian tinggi maksimal DEM
23
dengan ketelitian pengali (Sp) sebesar 1 piksel. Basis foto adalah jarak titik pusat foto kiri dan foto kanan.
I.8.
Hipotesis
Data DEM yang dihasilkan dari teknik stereplotting interaktif yang melalui tahapan Relative Orientation akan memiliki nilai standar deviasi ( ) pada titik sampel lebih kecil dari nilai ketelitian maksimal rata-rata (Sz) yaitu 0,456m.