BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Limbah pelumas bekas yang jumlahnya semakin meningkat seiring dengan perkembangan industri dan transportasi merupakan salah satu masalah serius. Pelumas bekas ini jika dibiarkan begitu saja menjadi sumber pencemaran tanah, air dan udara karena mengandung senyawa-senyawa berbahaya seperti logam-logam berat seperti Cu, Si, Al, Fe, Cr, Pb dan Ni (Diphare dan Muzenda, 2013),
senyawa-senyawa
terklorinasi
(trikloroetana,
trikloroetilen,
dan
perkloroetilen), dan hetero atom poli aromatik (benzo pirena, benzo antresen, piren, naftalen). Selain itu struktur kimia pelumas bekas telah banyak mengalami perubahan, sehingga pemanfaatan kembali dan regenerasi pelumas bekas merupakan hal yang sangat sulit dan hampir tidak dapat dilakukan (Trisunaryanti dkk., 2008; Singhatbhandhu dan Tezuka, 2010). Oleh karena itu, diperlukan metode pengolahan limbah pelumas bekas yang lebih tepat untuk mencegah pencemaran lingkungan. Teknik direct upgrade merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh pelumas bekas. Pada metode ini, pelumas bekas dikonversi menjadi fraksi bahan bakar melalui perengkahan termal atau perengkahan katalitik (Emam dan Shoaib, 2012; Khowatimy dkk., 2014). Pada metode perengkahan termal, hidrokarbon rantai panjang yang terkandung dalam pelumas bekas dipecah menjadi hidrokarbon rantai pendek melalui termolisis pada temperatur tinggi. Pada metode ini terkadang diikuti pembentukan produk samping seperti kokas, sejumlah gas, dan nafta dengan kualitas yang rendah akibat overcracking (Permscubscul dkk., 2006). Produk samping ini dapat diminimalisir dengan penambahan katalis pada proses perengkahan sehingga produk target lebih banyak dihasilkan. Metode ini
1
2
dianggap lebih tepat karena selain mencegah pencemaran lingkungan, juga dapat menghasilkan sumber energi alternatif. Katalis bimetal CoMo telah dilaporkan oleh beberapa peneliti mempunyai aktivitas katalitik yang baik terhadap proses hidrodesulfurisasi maupun reaksi hidrorengkah (Egorova dan Prins, 2004; Hussain dkk., 2006; Boukoberine dan Hamada, 2011; Soghrati dkk., 2012; Sriningsih dkk., 2014). Namun logam ini jika digunakan secara langsung sebagai katalis pada temperatur reaksi yang tinggi sering mengalami aglomerasi dan sintering. Akibatnya, interaksi yang terjadi antara umpan dengan situs aktif sangat kecil. Oleh karena itu, katalis perlu diembankan pada suatu pengemban yang mempunyai luas permukaan besar agar bidang kontak antara umpan dan situs aktif katalis menjadi lebih besar. Salah satu pengemban katalis yang telah banyak digunakan adalah karbon mesopori yang disintesis dari berbagai sumber karbon seperti sukrosa (Ryoo dkk., 1999), furfuril alkohol (Lu dkk., 2004), garam litium dari asam aromatik (Kamegawa dkk., 2005), dihidroksinaftalen (Vigón dkk., 2012), dan sumber karbon lain yang harganya mahal. Sebagai alternatif, karbon mesopori dapat disintesis dari gelatin. Gelatin merupakan salah satu molekul organik, yang mudah diperoleh dari berbagai sumber kolagen, bersifat biodegradable dan mempunyai kandungan karbon yang tinggi, hingga 50% (Ulfa dkk., 2014; Olejniczak dkk., 2015; Trisunaryanti dkk., 2016). Kandungan logam dalam katalis merupakan faktor penting yang menentukan aktivitas dan selektivitas katalis. Soghrati dkk. (2012) melaporkan bahwa kandungan CoMo sebanyak 10% dalam monolith berhasil meningkatkan aktivitas katalis secara signifikan. Ramos dkk. (2015) melaporkan bahwa katalis dengan kandungan logam 20% (b/b) dalam katalis CoMo/SBA-15 mempunyai aktivitas katalitik yang lebih tinggi dibandingkan dengan katalis dengan kandungan logam yang lebih rendah. Namun untuk diterapkan pada bidang industri, katalis dengan kandungan logam yang banyak ini dianggap kurang ekonomis. Sriningsih dkk. (2014) mengembankan logam CoMo pada zeolit alam
3
sebanyak 1% (b/b) dari berat zeolit. Namun aktivitas katalitik katalis yang dihasilkan masih rendah disebabkan rendahnya keasaman katalis. Menurut Trisunaryanti dkk. (2013), aktivitas katalis meningkat dengan meningkatnya jumlah logam dalam katalis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan katalis dengan keasaman yang tinggi namun tetap bersifat ekonomis agar dapat diterapkan dalam bidang industri. Efek sinergi antara dua atau lebih logam yang dikombinasikan untuk reaksi katalisis telah banyak dilakukan (Soghrati dkk., 2012; Sriningsih dkk., 2014; Le dkk., 2016; Fan dkk., 2007). Namun Belum banyak peneliti yang meneliti perbandingan yang tepat antara logam katalis dan logam promotor sehingga fenomena ini menarik untuk diteliti untuk mendapatkan katalis dengan aktivitas dan selektivitas tertinggi. Kondisi reaksi hidrorengkah adalah faktor penting yang mempengaruhi aktivitas katalitik untuk menghasilkan konversi produk cair dan selektivitas terhadap jenis produknya. Temperatur reaksi hidrorengkah berperan terhadap distribusi produk dan selektivitas katalis terhadap jenis senyawa (Ahmadi dkk., 2016; Le dkk., 2016). Temperatur yang terlalu tinggi cenderung menghasilkan lebih banyak gas. Sebaliknya temperatur yang terlalu rendah tidak memberikan energi yang cukup pada umpan untuk berdifusi dari fasa cair ke fasa gas menuju permukaan katalis. Akibatnya hanya sebagian umpan yang berinteraksi dengan situs aktif katalis dan terkonversi menjadi produk. Jumlah situs aktif katalis juga mempunyai peran penting dalam suatu reaksi hidrorengkah. Agar dihasilkan produk target, maka antara umpan dan situs aktif katalis harus terjadi kontak. Jika umpan terlalu banyak maka kemungkinan tidak semua umpan akan berinteraksi dengan situs aktif katalis sehingga hanya sebagian umpan yang dikonversi menjadi senyawa target. Hal tersebut telah dibuktikan Witanto dkk. (2011) yang melakukan perengkahan fraksi aspalten dari aspal Buton. Sebaliknya jika umpan terlalu sedikit dan situs aktif banyak, maka reaksi
4
hidrorengkah dianggap kurang efisien/ekonomis. Hal ini merupakan salah satu fenomena menarik/ kebaruan dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang di atas, pada penelitian ini dilakukan sintesis karbon mesopori menggunakan gelatin tulang sapi sebagai sumber karbon dan SBA-15 sebagai cetakan pori. Untuk dapat digunakan sebagai katalis, maka pada karbon mesopori diembankan logam CoMo sebanyak 2% dari berat karbon mesopori dengan variasi rasio berat Co/Mo 1:1 dan 2:1, masing-masing diberi label CoMo/KMG1 dan CoMo/KMG2. Karakter material karbon seperti keteraturan pori, bentuk pori dan morfologinya dipelajari menggunakan TEM dan SEM, sedangkan gugus fungsi pada permukaan material dianalisis menggunakan FTIR. Luas permukaan spesifik, volume, dan diameter pori material masing-masing dihitung menggunakan persamaan Brunauer–Emmett–Teller (BET), Barrett- Joyner-Halenda (BJH), dan isotermal adsorpsi/desorpsi gas nitrogen. Selanjutnya aktivitas dan selektivitas katalitik katalis pelajari melalui hidrorengkah pelumas bekas menjadi fraksi bensin dan solar dengan variasi temperatur (450, 475, dan 500 oC), dan rasio berat katalis/pelumas bekas (1/50, 1/100, 1/200/, 1/300, dan 1/400). I.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mensintesis karbon mesopori menggunakan gelatin tulang sapi sebagai sumber karbon dan SBA-15 sebagai cetakan pori. 2. Mempelajari pengaruh pengembanan logam CoMo terhadap keasaman dan luas permukaan katalis. 3. Mempelajari pengaruh rasio berat Co/Mo terhadap aktivitas katalis dalam hidrorengkah pelumas bekas menghasilkan produk cair. 4. Menentukan temperatur dan rasio berat katalis/pelumas optimum yang menghasilkan fraksi bensin dengan konversi tertinggi.
5
I.3 Manfaat Penelitian penelitian ini memberikan kontribusi positif dalam rangka usaha mengurangi
polusi
pencemaran
pelumas
bekas
dan
sebagai
solusi
mendapatkan sumber energi alternatif (bahan bakar minyak). Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi pemanfaatan limbah tulang sapi sebagai salah satu prekursor dalam mensintesis material pengemban katalis.