BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang
Satelit penginderaan jauh telah mengalami perkembangan dari satelit resolusi rendah seperti citra Landsat 7 ETM+ (30 meter) hingga satelit resolusi tinggi seperti citra QuickBird (0,6 meter). Satelit resolusi tinggi melakukan proses perekaman permukaan bumi untuk menghasilkan data citra resolusi tinggi yang menggambarkan kenampakan objek permukaan bumi secara detail. Citra resolusi tinggi dapat memberikan informasi spasial permukaan bumi secara detail serta memberikan informasi sumber daya alam dan lingkungan untuk keperluan inventarisasi. Citra resolusi tinggi dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang aplikasi antara lain di bidang pertahanan dan keamanan nasional,
transportasi
udara
dan laut,
pertambangan, infrastruktur, pemetaan, pengelolaan bencana, pertanian, kehutanan dan pemantauan lingkungan, rekayasa, konstruksi, dan deteksi perubahan lahan. Salah satu pemanfaatan citra resolusi tinggi adalah untuk pembuatan peta penggunaan lahan dengan menggunakan proses klasifikasi dan interpretasi secara visual. Interpretasi dan klasifikasi secara visual pada citra resolusi tinggi dapat menghasilkan akurasi klasifikasi yang baik (Sudaryanto, 2013). Interpretasi visual memiliki keunggulan dalam melakukan klasifikasi pada citra yang terdapat intensitas gangguan seperti adanya awan yang menutupi objek pada citra. Interpretasi visual juga memiliki keunggulan dalam mengidentifikasi objek-objek yang berbeda tetapi memiliki tampilan yang sama. Interpretasi dan klasifikasi secara visual memiliki kelemahan terkait efisiensi waktu dan tenaga untuk melakukan klasifikasi pada citra satelit sehingga klasifikasi dapat dilakukan secara otomatis untuk mempercepat proses klasifikasi pada citra. Salah satu cara klasifikasi citra secara otomatis adalah dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel. Klasifikasi berbasis piksel (pixel based classification) merupakan metode klasifikasi dengan melakukan pengolahan nilai spektral pada setiap piksel citra sehingga membentuk suatu objek (Devi dan Krishna, 2012). Klasifikasi berbasis piksel tergantung nilai spektral pada setiap piksel tunggal 1
2
citra. Klasifikasi berbasis piksel dilakukan proses pemisahan kelas berdasarkan nilai spektral pada pemilihan training sampel (training area) seperti metode supervised maximum likelihood. Klasifikasi berbasis piksel menghasilkan suatu bentuk objek berdasarkan pada pengelompokan nilai spektral yang homogen. Metode ini hanya mengekstrak informasi spektral dari citra saja tanpa memperhitungkan informasi spasial. Kurang tepat dalam melakukan pemilihan training sampel dapat menghasilkan klasifikasi yang kurang optimal sehingga menghasilkan akurasi klasifikasi kurang baik (Marin dkk., 2014). Klasifikasi citra secara otomatis dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis piksel kurang efektif digunakan untuk melakukan klasifikasi pada citra resolusi tinggi karena citra resolusi tinggi memiliki kedetailan objek beraneka ragam (heterogen). Pengolahan citra resolusi tinggi menggunakan klasifikasi berbasis piksel akan menimbulkan interval kelas yang sangat besar (Kux dan Pinho, 2006). Kelemahan metode klasifikasi berbasis piksel dalam melakukan pengolahan citra resolusi tinggi dapat diatasi dengan menggunakan metode klasifikasi berbasis objek. Klasifikasi berbasis objek memiliki keunggulan dalam melakukan klasifikasi pada citra resolusi tinggi. Pengolahan citra resolusi tinggi menggunakan metode klasifikasi berbasis objek dengan mempertimbangkan informasi spektral, spasial, dan tekstur objek (Antunes dkk., 2003). Metode klasifikasi berbasis objek menggunakan proses segmentasi citra dengan memperhitungkan informasi spektral dan spasial untuk membentuk suatu objek (Erawanta dkk., 2009). Segmentasi merupakan pengolahan citra secara otomatis untuk membentuk suatu objek pada citra dengan mempertimbangkan informasi spektral, spasial dan tekstur (Hay dkk., 2005). Segmentasi dilakukan dengan cara mendefinisikan piksel yang homogen ke segmen citra berdasarkan nilai spektral. Salah satu metode segmentasi menggunakan pendekatan DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan mempertimbangkan beberapa informasi seperti bentuk, ukuran dan deliniasi tepi objek pada citra yang sesuai dengan bentuk objek sebenarnya di lapangan (Kaur dan Aayushi, 2014). Segmentasi telah dikembangkan
3
dengan menggabungkan sifat spektral dan tekstur dari objek serta ukuran yang berbeda pada berbagai objek (Gamanya dkk., 2007). Klasifikasi berbasis objek menggunakan citra QuickBird pernah dilakukan penelitian mengenai tingkat akurasi hasil klasifikasi vegetasi di hutan alam Yunani Utara. Klasifikasi vegetasi tersebut menghasilkan akurasi klasifikasi sebesar 80% (Mallinis dkk., 2008). Klasifikasi berbasis objek menggunakan citra resolusi tinggi dapat menghasilkan akurasi yang baik. Klasifikasi berbasis objek untuk pengolahan citra resolusi tinggi dapat menghasilkan akurasi yang baik dan efisiensi waktu (Chadha dan Satam, 2013). Klasifikasi berbasis objek pada citra resolusi tinggi dapat menghasilkan peta-peta aktual sebagai peta dasar untuk perencanaan dan pengelolaan kota. Peta aktual memiliki manfaat untuk mendukung keperluan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi penggunaan tanah. Peta penggunaan tanah dapat memberikan kemudahan dalam melakukan pengawasan penggunaan tanah pada suatu daerah. Semakin pesat pertumbuhan penduduk dan pembangunan akan berpengaruh cukup besar terhadap perubahan
tatanan lingkungan berupa
menurunnya kualitas lingkungan, degradasi lingkungan/kerusakan lingkungan serta berkurangnya sumber daya alam maupun perubahan tata guna lahan (Sukojo dan Susilowati, 2003). Laju pengembangan usaha perumahan di Kabupaten Sleman adalah ±1.500 rumah per tahun, yang sebagian besar terletak di Kecamatan Ngaglik ( Arifin dan Zaenal, 2007). Pembangunan pemukiman mengakibatkan perubahan penggunaan tanah dari tegalan/sawah menjadi pemukiman. Perubahan penggunaan tanah akan berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ruang seperti pemukiman, pelayanan perdagangan maupun pelayanan masyarakat. Kantor Pertanahan adalah instansi pemerintah yang berwenang untuk melakukan pembuatan peta penggunaan tanah. Kantor pertanahan dituntut melakukan pembaruan peta penggunaan tanah dalam format digital berdasarkan PMNA/KBPN No.1 Tahun 1997 dan Pedoman Pemetaan Tematik, Direktorat Tematik, BPN. Tujuan disusunnya Peraturan Mentri Negara
4
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1997 dan Pedoman Pemetaan Tematik, Direktorat Tematik, Badan Petanahan Nasional adalah: 1. Terwujudnya suatu sistem pemetaan penggunaan tanah yang mampu mendukung tercapainya tertib administrasi pertanahan, tertib hukum pertanahan, tertib penggunaan tanah, tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup. 2. Terwujudnya suatu Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Badan Pertanahan Nasional yang merupakan bagian utama dari Sistem Informasi Manajemen Pertanahan yang dapat mendukung kebijakan pertanahan nasional dan pelayanan di bidang pertanahan. 3. Terwujudnya standarisasi peta-peta penggunaan tanah yang berlaku secara nasional sehingga peta-peta tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Skema klasifikasi berdasarkan PMNA/KBPN No.1 Tahun 1997 merupakan skema untuk menghasilkan peta penggunaan tanah dengan skala besar. Peta penggunaan tanah dengan skala besar dapat dibuat menggunakan citra resolusi tinggi. Pemanfaatan citra resolusi tinggi dengan menggunakan klasifikasi berbasis objek dapat menghasilkan peta penggunaan tanah dengan skala besar. Kelebihan metode klasifikasi berbasis objek untuk melakukan proses pengolahan citra resolusi tinggi menarik perhatian peneliti. Metode klasifikasi berbasis objek perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat akurasi jika menggunakan citra resolusi tinggi. I.2
Rumusan Permasalahan
Kantor Pertanahan merupakan instansi pemerintah yang berwenang untuk melakukan pembaruan peta penggunaan tanah format digital dengan skala besar. Pembuatan peta penggunaan tanah dengan skala besar dapat menggunakan citra resolusi tinggi. Klasifikasi berbasis objek memiliki keunggulan dalam melakukan klasifikasi pada citra resolusi tinggi. Klasifikasi berbasis objek dapat digunakan sebagai alternatif melakukan klasifikasi pada citra resolusi tinggi akan tetapi perlu dilakukan pengujian mengenai tingkat akurasi terhadap 2 jenis citra yang tergolong citra resolusi tinggi agar dapat digunakan untuk pembuatan peta penggunaan tanah.
5
I.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka pertanyaan penelitian ini adalah “bagaimana tingkat akurasi klasifikasi berbasis objek terhadap 2 jenis citra yang tergolong citra resolusi tinggi?”. I.4
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan tingkat akurasi klasifikasi berbasis objek dengan menggunakan 2 jenis citra yang tergolong citra resolusi tinggi. I.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Tersedianya peta penggunaan tanah di Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta menurut skema klasifikasi PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1997 untuk keperluan perencanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan penggunaan tanah. 2. Hasil akurasi dari klasifikasi berbasis objek dapat dijadikan alternatif untuk pembuatan peta penggunaan tanah dengan menggunakan citra resolusi tinggi. I.6
Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian dalam penelitian ini mencakup beberapa hal: 1. Citra yang digunakan adalah Citra QuickBird dan Citra SPOT 5. 2. Studi area yang digunakan adalah Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. 3. Skema klasifikasi menurut PMNA/KBPN No. 1 Tahun 1997. 4. Klasifikasi berbasis objek menggunakan metode segmentasi. I.7
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai klasifikasi citra sudah pernah dilakukan sebelumnya, menggunakan citra resolusi tinggi dengan proses klasifikasi dan interpretasi visual. Penelitian tersebut melakukan pembuatan peta penggunaan lahan dari hasil klasifikasi dan interpretasi visual menggunakan citra QuickBird. Hasil klasifikasi dan interpretasi visual menggunakan citra QuickBird menghasilkan ketelitian sebesar 90,02%. Penelitian tersebut menggunakan metode klasifikasi dan interpretasi visual
6
dengan pendekatan photomorphic sehingga menghasilkan akurasi yang akurat (Sudaryanto, 2013). Pembuatan peta penggunaan lahan menggunakan proses interpretasi dan klasifikasi visual memiliki kelemahan jika cakupan area pada citra sangat luas sehingga klasifikasi dapat dilakukan secara otomatis. Klasifikasi citra secara otomatis dengan melakukan pemisahan kelas berdasarkan nilai piksel seperti supervised maximum likelihood kurang efektif digunakan pada citra resolusi tinggi karena citra resolusi tinggi memiliki variasi objek yang sangat heterogen. Penelitian mengenai klasifikasi secara otomatis terus berkembang sehingga terciptanya suatu metode klasifikasi berbasis objek. Klasifikasi berbasis objek dilakukan dengan cara pengelompokan piksel berdasarkan kesamaan nilai spektral serta berdasarkan spasial dan tekstur objek pada citra. Pengolahan citra resolusi tinggi menggunakan klasifikasi berbasis objek mempertimbangkan informasi spektral, tekstur dan spasial dari objek (Blaschke, 2004). Klasifikasi berbasis objek mengalami perkembangan sehingga ditemukan metode segmentasi dengan pendekatan DAS (daerah aliran sungai). Metode segmentasi dengan pendekatan DAS dilakukan untuk menghindari hasil segmentasi yang berlebihan dan menghasilkan bentuk objek sesuai dengan objek di permukaan bumi. Segmentasi merupakan pendeteksian garis tepi dari objek pada citra sehingga membentuk suatu objek tertentu (Belaid dan Mourou, 2009). Penelitian mengenai klasifikasi berbasis objek untuk mengatasi masalah hasil segmentasi yang berlebihan sudah pernah dilakukan oleh Salman. Segmentasi dilakukan dengan cara mendeteksi garis tepi yang tidak saling berpotongan antar objek dan hasil akhir membentuk poligon tertutup seperti bentuk objek sebenarnya di lapangan (Salman, 2006). Klasifikasi berbasis objek sudah pernah dilakukan penelitian untuk meningkatkan akurasi hasil klasifikasi penggunaan lahan dan tutupan lahan di Slovenia (Kanjir dkk., 2010). Klasifikasi tersebut berfokus pada permasalahan utama yaitu mengurangi efek negatif bayangan dari objek pada citra sehingga mengacaukan deliniasi garis tepi dalam membentuk suatu objek. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara memperhitungkan bayangan objek yang tergambarkan pada citra untuk meningkatkan akurasi klasifikasi (Kanjir dkk., 2010).
7
Beberapa hal yang mempengaruhi hasil dari klasifikasi berbasis objek yaitu jenis citra yang digunakan untuk melakukan klasifikasi dan range nilai spektral pada tiap kelas dalam membentuk suatu objek. Hal-hal yang mempengaruhi hasil klasifikasi berbasis objek dapat dilakukan identifikasi hasil segmentasi agar optimal dengan melakukan analisis lebih lanjut (Zhu dan Chen, 2009). Klasifikasi berbasis objek menggunakan pendekatan DAS dilakukan dengan cara melebarkan range interval kelas pada segmentasi citra sehingga menghasilkan bentuk objek yang sesuai dengan kondisi di lapangan. I.8 I.8.1
Landasan Teori
Citra Digital Citra didefinisikan sebagai suatu fungsi intensitas cahaya dua dimensi f(x,y)
dimana x dan y menunjukkan koordinat spasial dan nilai f pada suatu titik (x,y) sebanding dengan tingkat kecerahan (gray level) dari citra di titik tersebut. Citra digital adalah citra dengan f(x,y) yang nilainya didigitalisasikan (dibuat diskrit) baik dalam koordinat spasialnya maupun tingkat kecerahannya. Objek pada citra merupakan hasil perekaman cahaya yang direfleksikan dari sebuah objek di permukaan bumi seperti Gambar I.1. Sumber Energi
Citra Digital Sensor
Citra di dalam sensor Gambar I.1. Proses perekaman citra digital (Gonzalez, 2002)
8
Citra digital merupakan suatu matrik yang terdiri dari baris dan kolom dimana setiap pasang indeks baris dan kolom menyatakan suatu titik pada citra. Nilai matrik bernilai integer yang menyatakan nilai kecerahan dari titik tersebut. Titik-titik tersebut dinamakan sebagai elemen citra atau piksel (Gonzalez, 2002). Nilai koordinat titik asal adalah (x, y) = (0, 0) dan nilai koordinat berikutnya sepanjang baris pertama dari gambar yang direpresentasikan sebagai (x, y) = (0, 1), seperti yang ditunjukan pada Gambar I.2.
Gambar I.2. Representasi koordinat pada citra digital (Gonzalez, 2002) Citra digital merupakan suatu bentuk matrik yang terdiri dari baris dan kolom pada setiap elemen array matrik, sering disebut dengan elemen citra atau piksel. Sebuah citra digital dapat ditulis sebagai matrik seperti pada rumus 1 (Gonzalez, 2002):
…………….. (1)
9
I.8.2
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang
obyek suatu daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh oleh perangkat yang tidak bersentuhan dengan objek atau fenomena yang diselidiki (Lillesand, dkk., 2004). Penginderaan jauh paling sederhana adalah seseorang melakukan proses membaca tulisan pada buku hingga mendapatkan informasi yang ada pada tulisan tersebut (Lillesand, dkk., 2004). Proses dasar penginderaan jauh terdiri dari akuisisi data dan analisis data seperti Gambar I.3.
Gambar I.3. Dasar penginderaan jauh (sumber: Lillesand, dkk., 2004) Gambar 1.3 menggambarkan proses umum dalam penginderaan jauh. Dua proses dasar yang terlibat adalah akuisisi data dan analisis data. Elemen-elemen dari proses akuisisi data adalah sumber energi (a), media atmosfer sebagai perantara energi (b), interaksi energi dengan objek permukaan bumi (c), transmisi energi melalui atmosfer (d), wahana sensor adalah pesawat ruang angkasa (e), pengolahan data sensor menjadi bentuk gambar digital (f), proses analisis data melibatkan pemeriksaan data menggunakan berbagai tampilan dan interpretasi perangkat untuk menganalisis data yang tergambar serta komputer untuk menganalisis data sensor digital (g).
10
I.8.2.1
Resolusi Citra Satelit
Resolusi citra satelit sangat penting dipahami oleh pengguna citra untuk mengetahui data yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Kondisi dan kualitas pada citra dapat dilihat berdasarkan informasi resolusi seperti resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi temporal dan resolusi radiometrik. Resolusi yang terdapat pada citra satelit memiliki karakteristik yang dihasilkan oleh sistem sensor pada satelit (Smith, 2012). A. Resolusi Spasial Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil suatu objek di permukaan bumi yang dapat terekam oleh sensor satelit. Pengguna data citra satelit perlu memahami mengenai resolusi spasial pada saat proses pengolahan data citra satelit. Citra resolusi tinggi merupakan suatu citra yang menyajikan data dan informasi objek di permukaan bumi secara detail. Resolusi spasial yang baik dapat disebut sebagai resolusi tinggi atau halus, sedangkan resolusi spasial yang kurang baik disebut resolusi kasar atau rendah (Smith, 2012) seperti Gambar I.4.
Gambar I.4. Representasi resolusi spasial pada citra (González dkk., 2013)
11
Gambar I.4 menunjukkan urutan dimana resolusi spasial yang berbeda pada satu jenis citra. Citra yang memiliki resolusi rendah memperlihatkan kenampakan objek tidak jelas dibandingkan dengan resolusi yang lebih tinggi. Citra dengan resolusi spasial 0,5x0,5 meter akan menampilkan visual yang baik karena memiliki resolusi spasial tinggi dibandingkan citra dengan resolusi spasial 20x20 meter. B. Resolusi Spektral Resolusi spektral merupakan kemampuan sensor dalam memisahkan objek pada beberapa kisaran panjang gelombang. Kemampuan tersebut dapat digunakan untuk membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektral yang merupakan dimensi dan jumlah panjang gelombang yang dapat direkam oleh sensor (Smith, 2012). Resolusi spektral berhubungan erat dengan jumlah band dan panjang gelombang pada tiap band tersebut. C. Resolusi Radiometrik Resolusi radiometrik merupakan ukuran sensitifitas sensor dalam mencatat berbagai variasi pantulan objek kedalam sebuah kode digital number yang dinyatakan dalam satuan bit (Smith, 2012). Citra dengan resolusi radiometrik yang lebih tinggi memberikan variasi tingkat kecerahan lebih tinggi dibandingkan dengan citra yang memiliki resolusi radiometrik lebih rendah (Smith, 2012). Semakin besar bit coding maka akan semakin tinggi resolusi radiometriknya. Perhitunganya adalah pada rentang digital number pada pixel yaitu 4 bit = 24 yaitu 16.
12
Gambar I.5. Representasi resolusi radiometrik (Campbell dan Wynne, 2011) Gambar I.5 menunjukan kenampakan citra yang berubah akibat perubahan resolusi radiometrik dari 8 bit (256 tingkat kecerahan) ke 1 bit (2 tingkat kecerahan). Tampilan citra pada 1 bit akan mengalami perubahan secara visual karena mengalami penurunan resolusi radiometrik. Citra dengan resolusi radiometrik 8 bit memperlihatkan kenampakan objek dengan jelas dibandingkan citra yang memiliki resolusi radiometrik 1 bit. D. Resolusi Temporal Resolusi temporal merupakan interval waktu yang diperlukan sensor untuk melakukan proses perekaman ulang di permukaan bumi untuk daerah yang sama (Gao, 2009). Perubahan kondisi permukaan bumi dapat dikenali dengan pengulangan perekaman citra pada daerah yang sama tetapi berbeda waktu perekamannya. Interval waktu sistem sensor untuk melakukan proses perekaman ulang di permukaan bumi sehingga memisahkan citra berturut-turut sesuai dengan waktu perekamannya sering disebut dengan resolusi temporal (Smith, 2012).
13
(a)
(b)
Gambar I.6. Resolusi temporal pada citra satelit (Khomarudin dkk., 2014) Gambar I.6 menunjukkan 2 citra IKONOS pada tanggal 26 Desember 2004 dengan waktu perekaman yang berbeda untuk pemantauan dampak tsunami di Aceh. Gambar (a) merupakan perekaman citra IKONOS sebelum terjadi bencana tsunami sedangkan Gambar (b) merupakan perekaman citra setelah terjadi bencana tsunami. Waktu perekaman citra yang berbeda dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan permukaan bumi pada suatu wilayah. Gambar I.6 memperlihatkan dampak hasil dari bencana tsunami di Aceh dari 2 waktu perekaman citra yang berbeda. I.8.2.2
Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi
Satelit penginderaan jauh resolusi tinggi mempunyai kemampuan sensor yang dapat memperoleh data resolusi tinggi. Data resolusi tinggi terdiri dari 2 (dua) tingkat kemampuan sensor, yaitu kemampuan sensor memperoleh data citra resolusi sangat tinggi yaitu lebih kecil dari 1 meter (Satellite Imaging Corporation, 2014), dan lebih kecil dari 5 meter (Bakara, 2014). Perkembangan citra multispektral resolusi tinggi dari satelit dan sensor udara (misalnya IKONOS dari GeoEye Inc. dan QuickBird dari Digital Globe Inc.) telah secara signifikan mengubah tingkat kecanggihan dalam pengolahan citra digital. Teknik tradisional untuk pengolahan citra berdasarkan
14
analisis tiap piksel mungkin tidak berhasil pada citra resolusi tinggi karena kedetailan yang dihasilkan dari citra resolusi tinggi (Im dkk., 2008). A. Citra QuickBird Satelit optis QuickBird diluncurkan pada 18 Oktober 2001 di pangkalan angkatan udara Vandenberg, California, USA. Satelit QuickBird merupakan satelit yang baik untuk memperoleh data lingkungan seperti analisis perubahan iklim, penggunaan lahan, pertanian dan kehutanan. Kemampuan satelit QuickBird dapat juga diterapkan untuk berbagai industri termasuk eksplorasi dan produksi minyak bumi dan gas alam, teknik dan konstruksi serta studi lingkungan.
Gambar I.7. Satelit QuickBird (Sumber: Digital Globe, 2004) Gambar I.7 memperlihatkan gambaran satelit QuickBird. Satelit QuickBird memiliki dua macam sensor yaitu sensor panchromatic (hitam dan putih) dengan resolusi spasial 0,6 m (2-foot) dan sensor multispectral (berwarna) dengan resolusi spasial 2,44 m (8-foot). Tingginya resolusi spasial pada citra ini memberikan keuntungan untuk berbagai aplikasi, terutama untuk kebutuhan ketelitian yang tinggi pada skala area yang kecil sebagai contoh adalah pemetaan secara detail dan perencanaan tata kota. Satelit ini mempunyai orbit polar sunsynchronus, yaitu orbitnya akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit QuickBird melewati tempat yang sama
15
untuk satu putaran kisaran 1 hingga 3 hari, ini merupakan kemajuan yang sangat hebat dibandingkan dengan berbagai macam satelit yang diluncurkan tahun 1980-an dan 1990-an. Periode orbit dari satelit ini adalah 93,4 menit dengan sudut inklinasi 980 dan ketinggiannya 450 km di atas permukaan bumi. Minimum area yang terliput oleh citra satelit QuickBird adalah 8 x 8 km2. Karakteristik resolusi spektral dari satelit QuickBird dapat dilihat pada Tabel I.1. Tabel I.1. Resolusi spektral pada citra QuickBird Multispektral 630-690 (Band Merah)
Pankromatik 445-900
Panjang gelombang (nm) 520-600 (Band Hijau) 450-520 (Band Biru) 760–900 (Band Inframerah Dekat)
B. Citra SPOT 5 SPOT merupakan sistem satelit observasi bumi secara optis dengan resolusi tinggi dan dioperasikan di luar angkasa. SPOT merupakan singkatan dari Satellite Pour l’Observtion de la Terre dijalankan oleh Spot Image yang terletak di Perancis. Sistem ini dibentuk olen CNES (Biro Luar Angkasa milik Prancis) pada tahun 1978 (Satellite Imaging Corporation, 2016). Sistem satelit observasi SPOT 5 berhasil diluncurkan oleh Ariane 4 dari Guaina Space Centre di Kouro pada tanggal 3 hingga 4 Mei 2002 dengan tujuan untuk memastikan kelanjutan pelayanan terhadap kebutuhan informasi pencitraan dan untuk meningkatkan kualitas data pada citra melalui tindakan antisipatif terhadap kebutuhan pasar. Citra satelit SPOT 5 memberikan kemajuan yang sangat besar dalam memberikan solusi citra dengan biaya yang lebih murah. Resolusi pada sistem satelit observasi ini meningkat hingga 5 meter dan 2,5 meter serta sudut pandang yang lebar (wide imagin swath), dimana mencakup 60 x 60 km atau 60 x 120 km dalam instrumen mode kembar. Citra SPOT 5 memberikan perpaduan yang ideal antara resolusi yang tinggi dan juga jarak pandang yang luas.
16
SPOT 5 dilengkapi dengan 2 buah instrumen geometrik yang memiliki resolusi spasial tinggi. High Resolution Geometric (HRG) pada SPOT 5 menghasilkan citra resolusi tinggi dengan 2 mode, yaitu resolusi spasial kisaran 2,5 hingga 5 meter pada citra pankromatik, dan resolusi spasial kisaran 10 meter pada citra multispektral. SPOT 5 juga memiliki instrumen pencitraan HRS (High Resolution Stereoscopic) yaitu kemampuan untuk menangkap citra stereopair secara serentak. Instrumen ini dioperasikan dalam mode pankromatik, sehingga memiliki resolusi spasial tinggi dengan 2 kamera yang ditempatkan pada bagian depan dan belakang satelit. Kemampuan instrumen HRS ini sangat menguntungkan karena dapat melakukan perekaman pada area yang luas dalam satu perekaman. Citra stereo SPOT 5 dapat digunakan dalam berbagai aplikasi 3D terrain modeling dan Computer Environments seperti Flight Simulator Databases, Pipeline Corridors, dan Mobile Phone Network Planning. Orbit SPOT adalah orbit polar, circular, sun syncrhonous dan berfase. Sudut inklinasi dari bidang orbitalnya dikombinasikan dengan rotasi bumi di seputaran poros kutub sehingga satelit SPOT 5 dapat merekam permukaan bumi yang sama dalam 26 hari. Orbit pada SPOT 5 memiliki ketingggian 832 km di atas permukaan air laut dengan inklinasi 98,7o. SPOT 5 menggunakan beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Memiliki orbit circular , polar, sun synchronous, dan berfase. 2. Instrumen medan pandang (FOV) dengan lebar petak 60 x 2 km sepanjang lintasan satelit. 3. Memiliki kemampuan pandang lateral (bercabang) dan oblique (miring), dengan sudut ± 27o terhadap bidang vertikal. Citra satelit SPOT 5 baik digunakan untuk keperluan pembuatan peta dengan skala sedang (1:25 000 dan 1: 10 000), perencanaan desa dan kota, eksplorasi minyak dan gas, dan manajemen bencana alam. Karakteristik resolusi spektral SPOT 5 dapat dilihat pada Tabel I.2.
17
Tabel I.2. Resolusi spektral pada citra SPOT 5 Multispektral 500 – 590 (Band Hijau)
Pankromatik 480 – 710
Panjang gelombang (nm) 610 – 680 (Band Merah) 780 – 890 (Band Inframerah Dekat) 1580 – 1750 (Band Gelombang Pendek Inframerah)
Gambar I.8. Citra SPOT 5 (sumber: Satellite Imaging Corporation, 2016) I.8.3
Koreksi Citra Satelit Sensor satelit pada saat melakukan perekaman permukaan bumi dapat memiliki
kesalahan geometri dan nilai-nilai kecerahan yang terukur dari setiap piksel. Kesalahan tersebut dihasilkan oleh sensor yang digunakan untuk merekam data karena radiasi matahari dan pengaruh atmosfer (Richards, 2006). Koreksi citra satelit merupakan sebuah tahapan pengolahan citra satelit untuk meminimalisasi kesalahankesalahan yang terdapat pada citra. Kesalahan yang dapat dikoreksi yaitu koreksi kesalahan mendasar dari data citra satelit, sering disebut preprocessing. Koreksi citra satelit bertujuan untuk membuat citra memiliki informasi akurat secara geometrik dan radiometrik. Koreksi radiometrik merupakan proses pengolahan citra untuk membuat nilai spektral citra seperti kondisi sebenarnya di permukaan bumi. Kesalahan-kesalahan
18
radiometrik terjadi pada saat melakukan perekaman karena efek atmosfer sebagai transmisi radiasi pada saat melakukan perjalanan dari sumber energi ke sensor dan efek sensor (Richards, 2006). Koreksi radiometrik diperlukan karena dua alasan yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek. Setiap objek pada citra satelit memiliki tingkat kecerahan yang berbeda sesuai dengan kemampuan sensor dalam merekam pantulan energi dari objek di permukaan bumi. Tingkat kecerahan pada citra dapat digambarkan menggunakan bentuk histogram. Bentuk histogram dapat dilihat berdasarkan tiga parameter yaitu rentang nilai spektral pada citra, nilai spektral terendah (Lmin) dan nilai spektral tertinggi (Lmax). Nilai spektral pada citra biasanya memiliki format 8 bit dengan 256 tingkat kecerahan. Lmin adalah nilai spektral pada citra dengan nilai digital terendah (biasanya bernilai 0) sedangkan Lmax adalah nilai spektral pada citra dengan nilai digital tertinggi (biasanya bernilai 255) (Levin, 1999). Citra satelit menggambarkan kondisi sebenarnya di permukaan bumi jika bit coding atau rentang nilai piksel terlemah adalah 0 atau 1. Citra memiliki bit coding tidak 0 berarti telah terpengaruh oleh gangguan atmosfer yang sering disebut offset. Koreksi dilakukan dengan mengurangi nilai bit coding terendah tersebut dengan besar nilai offset-nya. Metode yang dapat digunakan untuk koreksi radiometrik adalah penyesuaian histogram, penyesuaian regresi, metode kalibrasi bayangan (Danoedoro, 2012). Koreksi radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan penyesuaian histogram. Metode penyesuaian histogram dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki kesalahan nilai pantul objek direkam oleh sensor sehingga nilai-nilai spektral menjadi lebih sesuai kondisi sebenarnya. Persamaan untuk melakukan koreksi radiometrik dapat dilihat pada rumus (2) (Danoedoro, 2012). -
................................................................ (2)
Keterangan rumus 2 : = nilai kecerahan terkoreksi baris i, kolom j, dan saluran k. = nilai kecerahan asli pada baris i, kolom j, dan saluran k.
19
= nilai spektral yang dianggap sebagai besarnya gangguan atmosfer. I.8.4
Fusi Citra (Pansharpening) Fusi citra merupakan proses penggabungan, pengkombinasian, penyinergian,
atau hal sejenisnya pada dua citra atau lebih menjadi sebuah citra sehingga citra tersebut memiliki informasi yang lebih berkualitas. Fusi citra mengacu pada proses penggabungan citra dari 2 citra dengan resolusi spasial yang berbeda, misalnya pengabungan citra pankromatik dengan citra multispektral menghasilkan resolusi spasial citra multispektral sama dengan citra pankromatik (Campbell dan Wynne, 2011). Fusi citra merupakan penggabungan dari 2 citra yang memiliki cakupan wilayah yang sama. Salah satu pengolahan fusi citra adalah pansharpen, yaitu mengkombinasikan citra digital pankromatik (band tunggal yang memiliki resolusi spasial lebih tinggi) dengan citra digital multispektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial lebih rendah). Hasil dari proses pansharpen ini adalah citra digital multispektral dengan resolusi spasial sama dengan citra pankromatik seperti Gambar I.9.
(a)
(b)
(c)
Gambar I.9. Fusi citra pada citra SPOT 5 Gambar I.9 menggambarkan fusi citra pada citra SPOT 5. Gambar I.9 (a) merupakan citra SPOT 5 pankromatik, Gambar I.9 (b) merupakan citra SPOT 5 multispektral, dan Gambar I.9 (c) merupakan hasil fusi citra dari citra SPOT 5 pankromatik dan multispektral. Gambar I.9 (c) menggambarkan citra SPOT 5 multispektral yang memiliki resolusi spasial sama dengan citra pankromatik. Gambar I.9 (c) memperlihatkan kenampakan objek yang lebih jelas setelah dilakukan fusi citra. Kenampakan hasil fusi citra dapat dengan mudah membedakan antar objek
20
I.8.5
Image Enhancement Image enhancement merupakan pengolahan data citra yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas secara visual pada suatu citra (Campbell dan Wynne, 2011). Sensor satelit pada saat melakukan proses akuisisi data berpotensi melakukan perekaman nilai piksel secara tidak sempurna karena efek atmosfer dan keterbatasan sensor perekam. Akuisisi data citra tersebut dapat mengakibatkan citra yang diperoleh memiliki kualitas yang buruk seperti citra memiliki kontras yang rendah. Image enhancement memiliki peran signifikan dalam pengolahan data citra untuk melakukan analisis citra secara digital. Image enhancement memiliki beberapa metode pengolahan antara lain contrast enhancement, linear stretching, histogram equalization, density slicing, edge enhancement (Campbell dan Wynne, 2011). Linear stretching merupakan salah satu proses penajaman citra dengan mengubah nilai-nilai digital asli ke distribusi nilai yang berbeda menggunakan nilai minimum dan maksimum yang ditentukan. Algoritma pada proses linear stretching yaitu perubahan nilai minimum lama ke minimum baru dan maksimum lama ke maksimum
baru
sehingga
menghasilkan
citra
yang
baru.
Gambar
I.10
menggambarkan perubahan citra yang dihasilkan dari penajaman citra dengan proses linear stretching (Campbell dan Wynne, 2011).
Gambar I.10. Hasil image enhancement (Campbell dan Wynne, 2011)
21
Gambar 1.10 sebelah kiri belum dilakukan proses linear stretching sehingga menggambarkan kurva yang sempit. Gambar I.10 sebelah kanan merupakan hasil dari proses linear stretching yang memperlihatkan kenampakan citra lebih jelas dibandingkan citra sebelah kiri sebelum dilakukan proses linear stretching. Gambar I.11 menggambarkan bentuk histogram citra sebelum dan sesudah dilakukan proses linear stretching. Gambar 1.11 sebelah kanan sudah dilakukan proses linear stretching sehingga menggambarkan kurva yang lebar dan sebelah kiri sebelum dilakukan proses linear stretching.
Gambar I.11. Histogram pada citra satelit (Campbell dan Wynne, 2011) I.8.6
Skema Klasifikasi Skema adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan
klasifikasi adalah penggolongan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka pemilihan skema klasifikasi merupakan rencana untuk memilih kategori-kategori untuk mengelompokkan nilai piksel kedalam kelas-kelas tertentu. Skema klasifikasi penggunaan lahan yang bisa digunakan antara lain skema klasifikasi berdasarkan USGS (United States Geological Survey) dan skema klasifikasi penggunaan tanah menurut PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997. Klasifikasi USGS ini menggunakan kategori penggunaan lahan yang lebih rinci yaitu tingkat I dan II yang dibakukan di seluruh dunia, terutama yang membuat peta
22
penggunaan lahan dan perubahannya dari citra penginderaan jauh (Anderson dkk., 1976). Skema klasifikasi yang dikeluarkan oleh USGS adalah skema untuk pengolahan citra satelit resolusi rendah sehingga klasifikasi citra pada suatu daerah kajian perlu dilakukan modifikasi-modifikasi pada kelas objek dalam skema klasifikasi. sSkema klasifikasi penggunaan tanah menurut PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 merupakan skema klasifikasi untuk pengolahan foto udara sehingga dapat digunakan untuk citra resolusi tinggi dengan melakukan modifikasi pada kelas objek. Skema klasifikasi penggunaan lahan yang dikelompokkan oleh USGS disusun dalam Tabel I.3 sebagai berikut: Tabel I.3. Skema klasifikasi USGS (Anderson dkk., 1976)
LEVEL I 1. Urban atau lahan terbangun
LEVEL II 1.1 Permukiman 1.2 Kawasan komersial dan jasa. 1.3 Kawasan industri. 1.4 Kawasan transportasi. 1.5 Komplek industri dan komersial. 1.6 Urban campuran 1.7 Urban lainnya.
2. Lahan pertanian
2.1 Tanaman musiman 2.2 Perkebunan 2.3 Tanaman buah-buahan 2.4 Tanaman lainnya
3. Padang rumput
3.1 Rumput-rumputan 3.2 Tanaman perdu 3.3 Lahan tanaman campuran
4. Lahan Hutan
4.1 Hutan primer 4.2 Hutan sekunder 4.3 Hutan campuran
23 Lanjutan Tabel 1.3. Skema klasifikasi USGS (Anderson dkk., 1976) LEVEL II
LEVEL I 5. Kawasan perairan
5.1 Aliran sungai dan kanal 5.2 Danau 5.3 DAS
6. Daerah basah
6.1 Rawa berhutan 6.2 Rawa tak berhutan
7. Lahan terbuka
7.1 Pantai 7.2 Kawasan pesisir 7.3 Batuan terbuka 7.4 Batuan terbuka sementara 7.5 Daerah tambang 7.6 Kawasan transisi 7.7 Kawasan terbuka lainnya 8.1 Tundra dengan semak belukar
8. Tundra
8.2 Tundra yang ditutup rerumputan 8.3 Tundra terbuka 8.4 Tundra campuran
9. Kawasan salju dan es
9.1 Kawasan salju abadi 9.2 Glaciers
Skema klasifikasi menurut USGS merupakan skema klasifikasi yang dibuat berdasarkan kondisi iklim di Benua Amerika dan Benua Eropa. Beberapa objek pada skema klasifikasi menurut USGS, tidak terdapat pada kondisi iklim di Indonesia. Skema klasifikasi dalam penelitian ini mengacu pada PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997, dapat dilihat pada Tabel I.4. Skema mengacu pada PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 dapat untuk klasifikasi citra resolusi tinggi untuk menghasilkan peta dengan skala besar. Kelas-kelas pada skema menurut PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 tidak seluruhnya digunakan pada penelitian ini.
24
Tabel I.4. Skema klasifikasi PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 Jenis Penggunaan 1. Tanah Perumahan
Skala 1:5.000 / 1:2.500 1.1 Perumahan Teratur 1.1.1 Kepadatan Tinggi 1.1.2 Kepadatan Sedang 1.1.3 Kepadatan Rendah 1.2 Perumahan Tidak Teratur 1.2.1 Kepadatan Tinggi 1.2.2 Kepadatan Sedang 1.2.3 Kepadatan Rendah 1.3 Perumahan Bertingkat 1.3.1 Rumah Susun (RS) 1.3.2 Apartemen (A) 1.3.3 Rumah Toko (RT) 1.3.4 Rumah Perkantoran (RK) 1.4 Kuburan/Makam 1.4.1 Kuburan/Makam Umum 1.4.2 Makam Pahlawan 1.4.3 Pemakaman Khusus
2. Tanah Perusahaan
2.1 Pasar 2.1.1 Pasar Tradisional 2.1.2 Pasar Permanen 2.1.3 Pasar Khusus 2.2 Perdagangan Umum 2.2.1 Pusat Pertokoan 2.2.2 Pertokoan 2.2.3 Warung/Kios 2.3 Akomodasi dan Rekreasi 2.3.1 Hotel/Motel/Penginapan 2.3.2 Rumah Makan/Restoran
25 Lanjutan Tabel 1.4. Skema klasifikasi PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 Jenis Penggunaan
Skala 1:5.000 / 1:2.500 2.3.3 Bioskop/Restoran
3. Tanah Industri/Pergudangan
3.1 Industri Pengolahan Pertanian 3.1.1 Aneka Makanan dan Minuman 3.1.2 Aneka Sandang/Tekstil 3.1.3 Aneka Pengolahan Kayu/Bahan Bangunan 3.2 Industri Non Pertanian 3.2.1 Aneka Kimia/Serat, Farmasi 3.2.2 Industri Logam 3.2.3 Industri Mesin dan Listrik 3.2.4 Industri Grafit 3.2.5 Industri Strategis 3.2.6 Industri Kerajinan Kecil 3.2.7 Industri Minyak dan Gas 3.3 Perbengkelan 3.3.1 Angkutan Darat 3.3.2 Angkutan Laut
4. Tanah Jasa
3.3.3 Angkutan Udara 4.1 4.1 Jasa Jasa Pemerintahan Pemerintahan 4.1.1 Pemerintahan 4.1.1 Kantor/Instansi Kantor/Instansi Pemerintahan 4.1.2 4.1.2 Kantor/Bangunan Kantor/Bangunan Militer Militer 4.2 4.2 Jasa Jasa Pendidikan Pendidikan 4.2.1 4.2.1 Perguruan Perguruan Tinggi Tinggi 4.2.2 4.2.2 Pendidikan Pendidikan Menengah Menengah 4.2.3 4.2.3 Pendidikan Pendidikan Dasar Dasar 4.2.4 4.2.4 Pusat Pusat Balai Balai Penelitian Penelitian dan dan Kebudayaan Kebudayaan
26 Lanjutan Tabel 1.4. Skema klasifikasi PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 Jenis Penggunaan 4. Tanah Jasa
Skala 1:5.000 / 1:2.500 4.3 Jasa Kesehatan 4.3.1 Rumah Sakit Umum 4.3.2 Rumah Sakit Khusus 4.3.3 Puskesmas/Balai Pengobatan 4.4 Jasa Peribadatan 4.4.1 Masjid/Langgar/Surau 4.4.2 Gereja 4.4.3 Vihara/Kuil 4.4.4 Pura
5. Tanah Tidak Ada Bangunan
5.1 Tanah Kosong 5.1.1 Tanah Kosong Sudah Ada Rencana Peruntukannya 5.1.2 Tanah Kosong Belum Ada Rencana Peruntukannya 5.2 Pertanian Tanah Basah 5.2.1 Sawah Irigasi 5.2.2 Sawah Tadah Hujan 5.2.3 Sawah Pasang Surut 5.3 Pertanian Tanah Kering 5.3.1 Ladang/Tegalan 5.3.2 Kebun Campuran 5.3.3 Perkebunan 5.4 Peternakan 5.4.1 Peternakan Ternak Besar 5.4.2 Peternakan Unggas 5.5 Perikanan 5.5.1 Kolam/Empang/Tebat 5.5.2 Tambak Ikan/Udang 5.6 Hutan 5.6.1 Hutan
27 Lanjutan Tabel 1.4. Skema klasifikasi PMNA/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1997 Jenis Penggunaan 6. Taman
Skala 1:5.000 / 1:2.500 6.1 Jalur Hijau 6.1.1 Jalur Hijau 6.1.2 Hutan Kota 6.2 Taman Kota
7. Perairan
7.1 Rawa 7.2 Situ 7.2.1 Danau 7.2.2 Rawa 7.3 Sungai 7.4 Saluran Irigasi
8. Jalan
7.5 Bendungan 8.1 Jalan Tol 8.2 Jalan Arteri 8.2.1 Jalan Arteri Primer 8.2.1 Jalan Arteri Skunder 8.3 Jalan Kolektor 8.3.1 Jalan Kolektor 8.3.2 Jalan Lingkungan
9. Batas Administrasi
9.1 Batas Kotamadya/Kotip 9.2 Batas Kecamatan 9.3 Batas Desa/Kelurahan
I.8.7
Interpretasi Visual Manusia dapat melakukan analisis citra dengan baik. Sistem visual mata
manusia dapat digunakan untuk membedakan perbedaan halus pada tingkat kecerahan objek, untuk membedakan antara berbagai tekstur gambar, dan untuk mengenali bentuk objek serta ukuran dari objek (Campbell dan Wynne, 2011). Identifikasi objek pada citra tergantung kemampuan mata setiap individu dan tingkat kepercayaan dalam menentukan jenis objek berdasarkan unsur-unsur interpretasi
28
serta tampilan pada citra. Interpretasi citra adalah kegiatan penyadapan data dari citra dan digunakan untuk tujuan tertentu (Sutanto dalam Aisiyah, 1992). Interpretasi citra digunakan untuk melakukan identifikasi objek dari beberapa kombinasi unsur-unsur interpretasi. Karakteristik objek pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, pola, ukuran, letak, bayangan, situs, dan asosiasi kenampakan objek yang merupakan kaidah dasar dalam intepretasi citra (Aisiyah, 1992). Unsur-unsur interpretasi citra dapat dijabarkan oleh Campbell dan Wynne (2011) sebagai berikut: 1. Rona atau warna Rona didefinisikan sebagai variasi yang membedakan dari hitam menjadi putih pada suatu objek dalam sebuah citra. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Rona atau warna dapat dipengaruhi oleh sudut pencahayaan pada saat perekaman citra, waktu perekaman, karakteristik pemantulan objek terhadap spektrum gelombang elektromagnetik dan pengolahan penajaman citra. 2. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Tekstur mengacu pada tingkat kekasaran hingga kehalusan dari objek. Tekstur dinyatakan dengan kasar, halus, dan sedang. Penafsiran mata manusia sangat baik dalam membedakan perbedaan halus pada citra. Tekstur objek tidak hanya tergantung pada permukaan objek melainkan pada sudut pencahayaan. 3. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci penting untuk mengenali beberapa objek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas. Bayangan merupakan petunjuk sangat penting dalam interpretasi objek. Sebuah bangunan atau kendaraan menghasilkan bayangan yang dapat memberikan karakteristik ukuran atau bentuk objek yang tidak akan jelas jika dilihat dari atas.
29
4. Pola Pola mengacu pada penataan setiap individu objek ke dalam bentuk berulangulang. Pola objek pada citra biasanya merupakan suatu hubungan fungsional antara individu objek yang membentuk suatu pola tertentu. 5. Asosiasi Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang saling berdekatan lainnya. Keberadaan suatu objek dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan objek yang saling berdekatan lainnya. 6. Bentuk Bentuk merupakan fitur petunjuk yang jelas untuk melakukan identifikasi suatu objek. Bentuk objek merupakan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan ciri yang jelas, sehingga banyak objek yang dapat dikenali hanya berdasarkan bentuknya saja. 7. Ukuran Ukuran merupakan ciri-ciri suatu objek yang terdiri dari jarak, luas, tinggi lereng dan volume. Ukuran objek pada citra berupa skala, sehingga dalam memanfaatkan ukuran objek sebagai interpretasi citra, harus selalu diingat skalanya. 8. Situs Situs mengacu pada posisi topografi suatu objek. Situs adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya. I.8.8
Klasifikasi berbasis objek Klasifikasi citra secara otomatis dengan menggunakan metode klasifikasi
berbasis piksel kurang efektif digunakan untuk melakukan klasifikasi pada citra resolusi tinggi karena citra resolusi tinggi memiliki kedetailan objek beraneka ragam (heterogen). Pengolahan citra resolusi tinggi menggunakan klasifikasi berbasis piksel akan menimbulkan interval kelas yang sangat besar (Kux dan Pinho, 2006). Klasifikasi citra resolusi tinggi perlu memanfaatkan informasi spasial objek karena piksel tunggal tidak dapat memberikan informasi yang cukup mengenai informasi yang terdapat pada citra. Kelemahan klasifikasi berbasis piksel dapat diatasi
30
menggunakan klasifikasi berbasis objek dengan memanfaatkan informasi spektral, spasial, dan tekstur objek. Klasifikasi berbasis objek merupakan proses pengelompokan piksel berdasarkan nilai spektral yang sama untuk membentuk deliniasi suatu objek pada citra serta menggunakan unsur tekstur dan spasial objek. Klasifikasi berbasis objek memberikan akurasi hasil yang lebih baik dibandingkan pengolahan klasifikasi citra secara konvensional karena memanfaatkan informasi spektral, informasi spasial dan tekstur objek serta hubungan antara piksel tetangga sekitarnya (Niebergall dkk., 2007). Keunggulan dari metode klasifikasi berbasis objek ini dapat melakukan analisis citra digital secara visual berdasarkan informasi dari beberapa kumpulan piksel yang sama (homogen). Objek terkecil dari metode klasifikasi berbasis objek berupa sebuah objek bukan sebuah piksel. Klasifikasi berbasis objek memandang sesuatu objek seperti manusia memandang suatu kesatuan sebuah objek sehingga metode ini berbeda dengan klasifikasi berbasis piksel. Objek ditentukan berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel serta berdasarkan infromasi spasial dan tekstur pada objek. I.8.8.1
Segmentasi
Tahapan awal metode klasifikasi berbasis objek adalah proses segmentasi citra dengan memperhitungkan informasi spektral, spasial dan tekstur dalam membentuk suatu objek (Erawanta dkk., 2009). Proses segmentasi menghasilkan bentuk deliniasi objek dari sekumpulan piksel yang memiliki kesamaan nilai spektral (homogen). Informasi mengenai karakteristik spasial objek dari hubungan antar nilai piksel perlu diketahui untuk melakukan identifikasi area (segmen) dari piksel-piksel yang homogen. Setiap piksel dilakukan pengelompokan berdasarkan nilai spektral yang sama untuk membentuk suatu objek (Campbell dan Wynne, 2011). Objek pada citra dilakukan proses delineasi secara otomatis menggunakan algoritma segmentasi umum berdasarkan homogenitas objek. Algoritma segmentasi yaitu teknik penggabungan suatu daerah yang memiliki kesamaan nilai piksel pada objek di citra dengan fungsi optimasi seperti rumus (3) (Desclée dkk., 2006). ∑
(
)
√
(
)
………………… (3)
31
Keterangan: ∑
= jumlah band spektral = nilai spektral objek untuk band b = panjang garis pembatas objek = jumlah piksel = panjangan terpendek yang membatasi suatu objek berdasarkan nilai piksel = setiap band b berpotensi memiliki bobot tertentu untuk dipertimbangkan di semua band = parameter spektral homogen untuk mendapatkan objek yang homogen dan objek yang bercabang = parameter kekompakkan (compactness) dengan menyesuaikan bentuk antara objek dan batas-batas yang halus = parameter untuk menentukan besar kecilnya objek
Besar bentuk objek dihasilkan dari proses segmentasi berdasarkan nilai parameter skala yang didefisini terlebih dahulu. Nilai parameter skala merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mendefinikasikan ukuran suatu objek. Semakin besar nilai parameter skala yang diberikan maka akan menghasilkan deliniasi objek semakin besar. Penentuan nilai parameter skala merupakan hal penting untuk meningkatkan akurasi klasifikasi (Gupta dan Bhadauria, 2014). Penentuan nilai parameter skala perlu didefinisikan untuk menentukan ukuran hasil deliniasi secara otomatis sesuai dengan tingkatan segmentasi seperti Gambar I.12.
Gambar I.12. Hasil segmentasi objek pada citra
32
Segmentasi dilakukan melalui proses pengelompokan piksel yang memiliki kesamaan nilai spektral, seperti pada Gambar I.12. Segmentasi dilakukan dengan membagi objek berdasarkan nilai spektral yang terdapat pada citra serta berdasarkan informasi spasial objek (Nghi dan Mai, 2008). Proses segmentasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan DAS. Metode DAS dilakukan dengan cara membentuk cekungan pada objek seperti aliran air yang turun dari ketinggian gunung menuju ketinggian rendah seperti lembah. Metode DAS dilakukan dengan cara mempertimbangkan nilai spektral yang dianggap sebagai ketinggian dari objek. Setiap nilai keabuan dari nilai spektral menunjukkan ketinggian suatu wilayah (Chadha dan Satam, 2013). Konsep DAS berdasar pada visualisasi citra tiga dimensi dari tingkat keabu-abuan (Amoda dan Kulkarni, 2013). Keuntungan metode DAS yaitu efektif dalam menggabungkan nilai piksel yang sama sehingga membentuk deliniasi objek. Keuntungan utama dari metode DAS lainnya untuk segmentasi berbasis objek adalah ( Amoda dan Kulkarni, 2013): 1. Batas objek terbentuk dari poligon tertutup yang terhubung. 2. Batas-batas wilayah dihasilkan sesuai dengan objek yang tergambar pada citra. 3. Nilai spektral yang sama akan membentuk suatu objek pada citra. I.8.8.2
Merge
Deliniasi secara otomatis pada citra dari hasil segmentasi dilakukan penggabungan untuk memperoleh objek dengan ukuran lebih besar sesuai dengan klasifikasi objek yang diinginkan. Penggabungan objek (merge) bertujuan untuk menggabungkan beberapa deliniasi objek secara otomatis menjadi kesatuan objek yang utuh. Penggabungan objek dilakukan dengan cara menyatukan deliniasi objek yang saling berdekatan berdasarkan nilai spektral dan spasial objek. Algoritma merge menggunakan algoritma Full Lambda(λ) Schedule yang diciptakan oleh Robinson, Redding dan Crisp (2002). Algoritma untuk menyatukan segmen antar objek yang berdekatan berdasarkan pada kombinasi informasi spektral dan spasial. Nilai λ menentukan kualitas dari hasil akhir segmentasi dan perlu dilakukan pengujian terhadap hasil penggabungan objek. Algoritma Full Lambda(λ) Schedule dilakukan
33
dengan cara pemilahan yang efisien dan memperoleh hasil yang lebih cepat. Keputusan untuk menggabungkan
dan
diberikan ketika λ ≥
seperti rumus
(4). | |
| | |
| |
‖
|
(
‖ )
………………………………………………………… (4)
Keterangan : = nilai batas yang ditetapkan λ = daerah i pada gambar | |
= luas daerah i = nilai rata-rata di daerah i = nilai rata-rata di daerah j
‖
‖
= jarak antara nilai spektral daerah i dan j (
)
= panjang batasan dari
dan
Setiap deliniasi objek dari hasil segmentasi dilakukan penggabungan dengan mempertimbangkan objek sekitarnya berdasarkan penentuan nilai parameter merge. Algoritma tersebut mempertimbangkan semua gabungan antar daerah tetangga yang ada pada citra dan memilih kemungkinan terbaik dalam membentuk suatu objek. Penggabungan objek menghasilkan bentuk objek lebih besar sesuai dengan ukuran deliniasi objek yang diinginkan.
Gambar I.13. Jaringan tingkatan pada segmentasi citra (Taubenbock dkk., 2006)
34
Gambar I.13 menggambarkan tingkatan hasil segmentasi citra berdasarkan ukuran segmen dari beberapa tingkatan. Setiap tingkatan segmentasi menghasilkan jumlah dan ukuran yang berbeda. Segmentasi citra menghasilkan variasi bentuk objek pada daerah perkotaan seperti objek bangunan. Objek berupa bangunan terdiri dari bentuk yang kecil seperti rumah hingga bentuk yang besar seperti suatu komplek perumahan (Taubenbock dkk., 2006). Klasifikasi berbasis objek menggunakan metode segmentasi citra merupakan metode yang efisien dalam pembuatan peta penggunaan lahan (Desclée dkk., 2006). Klasifikasi berbasis objek dilakukan berdasarkan pendekatan bottom up. Pendekatan bottom up dilakukan pertama kali menggunakan pendeteksian nilai spektral pada piksel-piksel homogen untuk membentuk suatu objek yang kecil kemudian digabungkan menjadi objek yang lebih besar, seperti Gambar I.14. Objek pada citra telah dilakukan delineasi secara otomatis berdasarkan nilai parameter skala, kemudian dapat dilakukan penggabungan objek (merge) pada objek yang memiliki karakteristik yang sama.
(a)
(b)
Gambar I.14 Penggabungan nilai spektral untuk membentuk objek Gambar I.14 menggambarkan penggabungan deliniasi objek hasil segmentasi menjadi bentuk objek yang lebih besar. Gambar I.14 (a) merupakan hasil segmentasi citra dan Gambar I.14 (b) merupakan hasil penggabungan deliniasi objek hasil segmentasi. Penggabungan deliniasi objek akan menghasilkan deliniasi objek yang lebih besar untuk memudahkan dalam melakukan klasifikasi sesuai dengan kelas objek.
35
I.8.8.3
Rule-Based Classification
Klasifikasi menggunakan rule-based classification merupakan metode canggih yang memungkinkan menentukan fitur objek dengan membangun aturan berdasarkan atribut objek (Anonim, 2008). Rule-based classification merupakan cara yang ampuh dalam melakukan ekstraksi fitur objek pada citra. Aturan-aturan untuk menentukan sebuah objek didasarkan pada pengetahuan manusia dan penalaran tentang jenis fitur tertentu: Misalnya, jalan yang memanjang, beberapa bangunan mendekati bentuk persegi panjang, vegetasi memiliki nilai NDVI yang tinggi, dan pohon-pohon yang sangat bertekstur dibandingkan dengan rumput (Anonim, 2008). Objek ditentukan berdasarkan aturan yang telah dibuat seperti untuk menentukan sebuah danau sebagai berikut: 1. Objek dengan luas lebih dari 500 piksel dan, 2. Objek dengan elongation kurang dari 0,5 dan, 3. Objek dengan nilai rasio band yang kurang dari 0,3. Aturan-aturan dibuat untuk memisahkan antar objek berdasarkan kelas dari objek. Pemisahan objek berdasarkan aturan dengan memanfaatkan informasi spektral, tekstur dan spasial dari objek. Setiap objek merupakan titik data (sampel) dalam atribut dimensi ruang. Objek dapat ditentukan menggunakan beberapa aturan (membangun satu set aturan) untuk fitur yang memiliki lebih dari satu cluster dalam dimensi ruang. Gambar I.15 berikut menunjukkan contoh 2D plot AREA dibandingkan AVGBAND_1.
Gambar I.15. Persebaran objek berdasarkan nilai spektral dan area (Anonim, 2008)
36
Pendefinisian objek dilakukan berdasarkan beberapa aturan pada jenis fitur bangunan karena atap bangunan terdiri dari berbagai jenis atap seperti atap bangunan putih kecil dan bangunan dengan atap merah. Aturan untuk mendefinisikan suatu objek akan semakin rumit apabila objek-objek yang berbeda tetapi memiliki tampilan yang sama seperti pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Rule-based classification menggunakan logika fuzzy untuk membantu mengatasi ketidakpastian penalaran manusia dalam memberikan sebuah aturan (Anonim, 2008). Output dari logika fuzzy adalah keyakinan, dimana logika tersebut memberikan kepercayaan untuk menentukan sebuah objek dari sebuah aturan. Objek didefinisikan berdasarkan sebuah aturan dengan tingkat kepercayaan yang maksimal. Rule-based classification dapat melakukan kontrol pada setiap tingkatan logika fuzzy dari setiap aturan yang dibuat (Anonim, 2008). Pemisahan objek menggunakan aturan-aturan tertentu dengan memanfaatkan informasi spektral, spasial dan tekstur objek. Objek memiliki informasi spektral yang berbeda-beda. Setiap objek menunjukkan perbedaan nilai spektral karena setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik yang berbeda dalam memantulkan gelombang elektromagnetik ke sensor. Aturan secara umum pemisahan objek berdasarkan nilai spektral dapat dilihat pada Tabel I.5. Objek juga memiliki informasi spasial yang berbeda-beda seperti bentuk, luas, panjang dan lain-lain. Informasi spasial tersebut dapat dimanfaatkan untuk memisahkan antar objek dengan mudah. Aturan secara umum pemisahan objek berdasarkan spasial dapat dilihat pada Tabel I.6. Informasi tekstur objek juga merupakan hal penting untuk memisahkan antar objek. Aturan secara umum pemisahan objek berdasarkan tekstur dapat dilihat pada Tabel I.7 Tabel I.5. Aturan-aturan atribut spektral (Anonim, 2008) Atribut MINBAND_x MAXBAND_x AVGBAND_x
Deskripsi Nilai minimum pixel pada band x. Nilai maksimum piksel pada band x. Nilai rata-rata piksel pada band x.
STAND_x
Nilai standar deviasi dari pixel pada band x.
37
Tabel I.6. Aturan-aturan atribut spasial (Anonim, 2008) Atribut AREA LENGTH
COMPACT
CONVEXITY
SOLIDITY
ROUNDNESS
Deskripsi Total luas poligon. Nilai dalam satuan peta. Panjang gabungan dari semua batas-batas poligon. Ini berbeda dari atribut MAXAXISLEN. Nilai dalam satuan peta. Ukuran bentuk yang menunjukkan kekompakan poligon. Sebuah lingkaran adalah bentuk yang paling kompak dengan nilai 1 / pi. Nilai kekompakan persegi adalah 1/2 (sqrt (pi)). COMPACT = sqrt (4 * AREA / pi) / panjang kontur luar Poligon yang baik cembung atau cekung. Atribut ini mengukur konveksitas poligon. Nilai kecembungan untuk poligon cembung tanpa lubang adalah 1.0, sedangkan nilai untuk poligon cekung kurang dari 1.0. CONVEXITY = panjang convex hull / panjang Ukuran bentuk yang membandingkan daerah poligon ke daerah lambung cembung poligon sekitarnya. Nilai soliditas untuk poligon cembung tanpa lubang adalah 1.0, dan nilai untuk poligon cekung kurang dari 1.0. SOLIDITY = AREA / daerah convex hull Ukuran bentuk yang membandingkan daerah poligon dengan kuadrat diameter maksimum poligon. Diameter maksimum adalah panjang sumbu utama dari kotak dengan orientasi bentuk poligon. Nilai kebulatan untuk lingkaran adalah 1, dan nilai untuk persegi adalah 4 / pi. ROUNDNESS = 4 * (AREA) / (pi * MAXAXISLEN2)
FORMFACTOR Ukuran bentuk yang membandingkan daerah poligon dengan kuadrat total perimeter. Nilai faktor bentuk lingkaran adalah 1, dan nilai persegi adalah pi / 4. FORMFACTOR = 4 * pi * (AREA) / (jumlah perimeter)2 ELONGATION Ukuran bentuk yang menunjukkan rasio sumbu utama dari poligon dengan sumbu minor dari poligon. Sumbu mayor dan minor yang berasal dari polygon berbentuk persegi. Nilai elongation untuk persegi adalah 1.0, dan nilai untuk persegi panjang lebih besar dari 1.0. ELONGATION = MAXAXISLEN / MINAXISLEN RECT_FIT
Ukuran bentuk yang menunjukkan seberapa baik objek membentuk persegi panjang. Atribut ini membandingkan area poligon ke daerah persegi. Nilai rect_fit untuk
38 Lanjutan Tabel I.6. Aturan-aturan atribut spasial (Anonim, 2008) Atribut
Deskripsi adalah 1.0, dan nilai untuk bentuk non-persegi panjang kurang dari 1.0. RECT_FIT = AREA / (MAXAXISLEN * MINAXISLEN)
MAINDIR
Sudut subtended dari sumbu utama poligon dan sumbu x dalam derajat. Nilai arah utama berkisar dari 0 sampai 180 derajat adalah Utara / Selatan, dan 0 -180 derajat adalah Timur / Barat.
MAJAXISLEN
Panjang sumbu utama dari poligon membentuk persegi. Nilai terkecil adalah unit peta ukuran piksel.
MINAXISLEN
NUMHOLES HOLESOLRAT
Panjang sumbu minor dari poligon membentuk persegi. Nilai terkecil adalah unit peta ukuran piksel. Jumlah lubang di poligon. Nilai integer. Rasio total luas poligon ke daerah kontur luar poligon. Nilai rasio solid pada poligon tanpa lubang adalah 1.0. HOLESOLRAT = AREA / daerah kontur luar
Tabel I.7. Aturan-aturan atribut tekstur (Anonim, 2008) Atribut TX_RANGE
Deskripsi Rata-rata rentang data piksel pada suatu wilayah di dalam kernel. Kernel adalah sebuah array piksel yang digunakan untuk membatasi operasi subset tiap piksel. Mengacu pada tekstur ukuran preferensi kernel.
TX_MEAN
Nilai rata-rata piksel pada suatu wilayah di dalam kernel. Rata varian dari piksel pada suatu wilayah di dalam TX_VARIANS kernel. TX_ENTROPY Nilai entropi rata-rata dari piksel pada suatu wilayah di dalam kernel.
I.8.9
Matrik Konfusi Pengujian ketelitian hasil klasifikasi bertujuan untuk melihat kesalahan-
kesalahan klasifikasi sehingga dapat diketahui persentase ketepatannya (akurasi) hasil klasifikasi. Akurasi hasil klasifikasi diuji dengan cara membuat matrik
39
kontingensi yang sering disebut dengan matrik kesalahan (error matrix) atau matrik konfusi (confusion matrix) (Nawangwulan dkk., 2013). Uji ketelitian klasifikasi bertujuan untuk memperoleh nilai kedekatan hasil klasifikasi dengan data ukuran sebenarnya. Uji ketelitian ini dilakukan agar dapat diketahui tingkat kepercayaan terhadap pemakaian hasil klasifikasi untuk analisis dan keperluan berikutnya. Hasil klasifikasi perlu dilakukan uji ketelitian untuk menilai akurasi dari hasil yang diperoleh. Analisis mengenai tingkat akurasi klasifikasi memberikan penilaian terhadap tingkat kepercayaan yang dihasilkan dari klasifikasi citra. Akurasi ditentukan secara empiris dengan memilih sampel pada setiap piksel dari hasil klasifikasi dan memeriksa label terhadap kelas yang ditentukan dari data referensi (dikumpulkan selama survei di lapangan). Data referensi merupakan informasi objek yang sebenarnya, sedangkan objek yang dipilih untuk menilai akurasi disebut pengujian objek. Penilaian mengenai persentase objek dari masing-masing kelas pada setiap objek yang tergambar pada citra dapat diperkirakan bersama dengan proporsi objek dari masing-masing kelas yang tidak sesuai dengan objek sebenarnya dalam memberikan label ke setiap kelas lainnya. Hasil dari pemberian label terhadap objek yang tidak sesuai disajikan dalam bentuk tabel, sering disebut sebagai matrix error. Nilai-nilai yang tercantum dalam tabel merupakan jumlah objek yang sebenarnya di lapangan pada setiap objek yang benar dan salah (Richards, 2006). Akurasi hasil identifikasi di uji menggunakan tabel matrik konfusi (confusion matrix). Tabel matrik konfusi merupakan penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan penelitian hasil klasifikasi. Pengujian hasil klasifikasi citra dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku. Pengujian hasil klasifikasi dapat menghasilkan kesimpulan dalam mempertimbangkan hasil klasifikasi. Hal ini memungkinkan untuk memperkirakan label yang paling mendukung untuk penentuan kelas. Aturan ini disebut endorsement (pengesahan) (Richards,2006). Penentuan akurasi klasifikasi dilakukan dengan melihat nilai evaluasi yang dihitung dengan matrik kontingensi atau matrik konfusi. Ukuran akurasi yang dapat dihitung oleh matrik ini adalah overall accuracy, producer’s accuracy, user’s accuracy, dan kappa accuracy (Short, 1982). Tabel matrik konfusi dapat dilihat pada Tabel I.8.
40
Tabel I.8. Perhitungan komisi dan omisi
Kelas Tutupan Lahan Perairan
Perairan
Hutan
Padang Rumput
Ladang
Jumlah Baris (∑r)
Kesalahan Komisi (%)
A1
A2
A3
A4
A1+A2+A3+A4
(A2+A3+A4)/∑r
Hutan Padang Rumput Ladang Jumlah Colom (∑C) Kesalahan Omisi (%)
B1
B2
B3
B4
B1+B2+B3+B4
(B1+B3+B4)/∑r
C1
C2
C3
C4
C1+C2+C3+C4
(C1+C2+C4)/∑r
D1
D2
D3
D4
D1+D2+D3+D4
(D1+D2+D3)/∑r
A1+B1+C1+D1
A2+B2+C2+D2
A3+B3+C3+D3
A4+B4+C4+D4
(B1+C1+D1)/∑C
(A1+C1+D1)/∑C
(A1+B1+D1)/∑C
(A1+B1+C1)/∑C
Komisi = Omisi =
∑ ∑
………………………………………………..…………….. (5) ………………………………………………..……………... (6)
User’s accuracy = ∑ = 100 – omisi (%) .………………………...……………... (7) Producer’s accuracy = ∑ = 100 – komisi (%) .…………………...…. ..………. (8) …………,,,………………. ……..……… (9)
Overall accuracy = ∑ (Sumber : Gao, 2009)
Producer’s accuracy merupakan probabilitas suatu area yang diklasifikasikan dengan benar, serta menunjukkan ketepatan setiap kelas hasil klasifikasi terhadap objek sebenarnya di lapangan seperti rumus (8). Suatu objek tidak diklasifikasikan dengan benar maka ukuran ini dapat digunakan pula untuk menghitung rata-rata kesalahan omisi (omission error) seperti rumus (6). User’s accuracy adalah probabilitas rata-rata suatu area dari citra yang telah diklasifikasi secara aktual, serta mewakili setiap kelas tersebut di lapangan seperti rumus (7). Ukuran ini dapat digunakan dalam menghitung nilai rata-rata dari kesalahan komisi (commission error) jika suatu area salah terklasifikasi di lapangan seperti rumus (5). Overall accuracy
adalah
akurasi
yang
membandingkan
jumlah
total
area
yang
diklasifikasikan dengan benar terhadap jumlah total area observasi seperti rumus (9), sedangkan kappa accuracy merupakan ketepatan yang dihasilkan oleh klasifikasi secara acak seperti rumus (10).
41
̂
∑
∑ ∑ ∑
∑ ∑
…………………………… …………………..................... (10)
Keterangan : r
= jumlah baris di dalam matrik error = jumlah observasi pada baris i dan kolom i (diagonal utama)
∑
= total observasi di kolom i
∑
= total observasi di baris i
N
= total jumlah observasi di kolom
(Sumber : Gao, 2009) I.9
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah klasifikasi berbasis objek menggunakan citra resolusi tinggi dapat menghasilkan akurasi ≥ 80%. Semakin tinggi resolusi citra menghasilkan akurasi klasifikasi semakin tinggi.