BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertumbuhan
dunia
industri
yang
semakin
pesat
menyebabkan
peningkatan konsumsi bahan bakar minyak. Bahan bakar minyak saat ini masih bertumpu pada bahan bakar fosil yang ketersediaannya semakin menipis dan dapat memicu krisis energi. Hal tersebut menyebabkan perkembangan penelitian mengenai energi terbarukan semakin marak. Diharapkan bahan bakar terbarukan ini akan dapat menjadi solusi dari ancaman krisis energi yang akan terjadi dimasa depan. Salah satunya adalah perkembangan bahan bakar minyak bersumber dari minyak nabati atau disebut biofuel. Menurut Giampietro dkk., (1997) biofuel dapat didefinisikan sebagai bahan bakar gas maupun cairan yang dapat diproduksi dari pemanfaatan substrat biomassa dan dapat bertindak sebagai pengganti (sebagian) dari bahan bakar fosil. Minyak nabati menjadi salah satu sumber biofuel yang menjadi perhatian banyak peneliti. Minyak nabati adalah minyak yang diperoleh dari minyak tanaman seperti minyak sawit. Perkembangan
penelitian
terkait
biofuel
semakin
pesat
seiring
berkurangnya persediaan bahan bakar fosil. Biodiesel dan biogasoline sudah mulai dipelajari produksinya oleh beberapa peneliti. Minyak sawit merupakan salah satu minyak nabati yang dapat digunakan dalam proses pembuatan biofuel. Konversi hasil produksi biofuel dari minyak sawit secara umum adalah biodiesel (Choo dan Ma, 1996) dan biogasoline (Bathia dkk., 2009; Nurjannah dkk., 2010; Twaiq dkk., 1999). Produksi biogasoline maupun biodiesel tersebut menggunakan perengkahan katalitik sebagai proses pemecahan rantai karbon pada minyak sawit. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, namun hanya sebagian kecil dari minyak sawit yang diproduksi dalam negeri. Sebagian besar minyak sawit diekspor keluar negeri (Ermawati, 2013). Hal tersebut sangat disayangkan mengingat minyak sawit adalah salah satu bahan baku utama dalam pembuatan biofuel, baik biodiesel maupun biogasoline.
1
2
Katalis dalam dunia industri telah berkembang pesat. Telah terjadi peralihan dari katalis homogen ke arah katalis heterogen. Hal ini disebabkan katalis homogen memiliki kelemahan yaitu tidak dapat digunakan berulang dan berpotensi menjadi pencemar lingkungan. Katalis heterogen memiliki sifat sebaliknya, yaitu dapat digunakan berulang dengan proses aktivasi dan tidak berpotensi
mencemari
lingkungan.
Proses
perengkahan
minyak
sawit
menggunakan katalis asam. Zeolit merupakan salah satu katalis asam yang sering kali digunakan sebagai katalis dalam proses perengkahan. Namun, zeolit memiliki kekurangan yaitu pori dari zeolit memiliki ukuran yang kecil, sehingga tidak efektif untuk perengkahan senyawa dengan ukuran molekul yang besar. Untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkanlah material dengan ukuran pori yang lebih besar untuk digunakan dalam proses perengkahan, dengan harapan akan meningkatkan efektifitas perengkahan senyawa dengan molekul yang besar. Salah satu material berpori yang digunakan adalah MCM-41 (Mobile Composition Matter number 41). MCM-41 adalah material yang tersusun dari rankaian SiO2, memiliki pori yang berukuran antara 2 nm – 50 nm (mesopori). MCM-41 tidak memiliki situs asam sehingga tidak dapat digunakan langsung sebagai katalis asam pada proses perengkahan. Berbagai metode sintesis material mesopori MCM-41 telah dilakukan dengan silika bersumber bahan sintetik. TEOS dan TMOS merupakan dua sumber silika sintetik yang sering digunakan dalam proses sintesis MCM-41 (Mokhonoana dan Coville, 2010; Kim dkk., 1999; Zhao dkk., 2000; Qin dkk., 2007). Silika berbahan dasar alam juga telah berhasil digunakan sebagai sumber silika dalam sintesis material mesopori MCM-41. Beberapa diantaranya adalah silika bersumber abu layang (fly ash) (Sutarno dkk., 2003; Hui dan Chao, 2006; Misran dkk., 2007), silika bersumber abu sekam padi (Siriluk dan Yuttapong, 2005; Suyanta dan Kuncaka, 2011) dan silika bersumber dari lumpur Sidoarjo (Trisunaryanti dkk., 2012). Metode sintesis MCM-41 dapat berupa dengan metode hidrotermal (Melendez dkk., 2012; Boukossa dkk., 2013 dan Khoiri, 2014) dan non-hidrotermal (Majid, 2014 dan Mody dkk., 2008). Dalam penelitian kali ini, silika yang akan digunakan sebagai bahan dasar dalam sintesis MCM-41 bersumber dari silika lumpur Sidoarjo. Pada tahun 2006,
3
terjadi bencana luapan Lumpur di kabupaten Sidoarjo. Lumpur Sidoarjo memiliki 3 bentuk berdasarkan bentuk butir dan memiliki banyak mineral didalamnya (Setyowati, 2009; Malik dkk., 2009). Wiryasa dkk., (2008) menunjukkan bahwa kandungan utama dari lumpur Sidoarjo adalah material silika dalam bentuk SiO2 sebesar 53,08 %, Fe2O3 5,60%, Al2O3 18,27%, kemudian oksida logam lainnya tidak lebih dari 3%. Khoiri (2014) dan Majid (2014) mengemukakan bahwa kandungan silika dalam lumpur Sidoarjo dapat dijadikan acuan bahwa lumpur Sidoarjo sangat berpotensial untuk digunakan sebagai sumber silika dalam sintesis material meopori. Twaiq dkk., (2003) melakukan perengkahan minyak sawit dengan katalis Al/MCM-41 (rasio Si/Al = 50) menghasilkan fraksi bensin sebesar 31,29%. Bathia dan Tamunaidu (2006) menggunakan REY Zeolite (Rare Earth exchange Y type-Zeolite) untuk perengkahan minyak sawit dan menghasilkan konversi sebesar 53,5% senyawa organik cair dengan 33,5% diantaranya adalah fraksi bensin. Struktur Y-Zeolite memiliki ukuran yang lebih kecil dari struktur material mesopori MCM-41, sehingga tidak efektif untuk perengkahan senyawa yang berukuran besar. Namun, tingkat keasaman zeolit lebih tinggi daripada material mesopori MCM-41. Sehingga dirumuskanlah apabila material MCM-41 diembankan logam transisi yang berukuran besar, seperti Co, Mo atau Ni, akan menghasilkan material mesopori silika yang berukuran besar dan memiliki keasaman tinggi. Proses penambahan logam dalam struktur MCM-41 merupakan metode untuk meningkatkan keasamannya. Silika dari Lumpur Sidoarjo akan menjadi reagen pembentuk katalis mesopori MCM-41 dan penambahan logam transisi dalam struktur MCM-41 diharapkan dapat meningkatkan keasaman dari katalis MCM-41. Berdasarkan pemaparan diatas maka pada penelitian ini dilakukan sintesis material mesopori dengan menggunakan silika dari lumpur Sidoarjo. Kebaharuan dari penelitian ini adalah untuk pertama kalinya logam Co diembankan kedalam material mesopori MCM-41 bersumber silika dari lumpur Sidoarjo. Pengembanan logam pada umumnya dilakukan pada material mikropori zeolit. Ukuran pori zeolit (mikropori) hanya dapat digunakan secara maksimal untuk reaksi katalitik
4
dengan umpan berukuran kecil maupun reaksi fasa gas. Pada penelitian ini dilakukan pengembanan logam pada material mesopori MCM-41 sehingga dapat digunakan sebagai katalis dalam proses katalitik dengan umpan berukuran besar. Pengembanan logam Co dalam material mesopori MCM-41 akan digunakan dalam proses perengkahan minyak sawit untuk mengetahui aktivitas katalitik katalis berbasis silika lumpur Sidoarjo. I.2 Tujuan 1. Sintesis material mesopori MCM-41 bersumber bahan alam silika dari lumpur Sidoarjo dan karakterisasinya. 2. Sintesis dan karakterisasi katalis Co/MCM-41. 3. Uji aktivitas katalis Co/MCM-41 dalam proses hidrorengkah minyak sawit. I.3 Manfaat 1. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan silika dalam lumpur Sidoarjo sebagai bahan dasar pembuatan material mesopori silika MCM-41. 2. Memberikan informasi mengenai metode perengkahan dalam konversi minyak sawit menjadi produk hidrokarbon dengan menggunakan katalis Co/MCM-41.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II.1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Lumpur Sidoarjo Lumpur Sidoarjo yang telah menyembur sejak Mei 2006 memiliki kandungan oksida logam yang tinggi. Selain itu, densitas dari lumpur Sidoarjo yang tinggi menyebabkan kerapatannya sangat tinggi sehingga sulit ditembus oleh air. Berdasarkan kandungan butir, lumpur Sidoarjo memiliki 3 bentuk ukuran yaitu lempung (Clay) 71,43% , lanau (Silt) 10,72% dan pasir (Sand) 17,86% (Noerwasito dalam Setyowati, 2009). Mineral-mineral yang terdapat dalam lumpur Sidoarjo antara lain yaitu kaolinit, iliit, klorit, kuarsa, kalsedon, opal, feldspar, mika, besi oksida, glaukonit dan campuran komposit mineral amorf (Malik dkk., 2009). Pemanfaatan lumpur Sidoarjo saat ini telah banyak dilakukan dalam bidang konstruksi material bangunan. Karimah (2012) menyebutkan lumpur Sidoarjo dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam pembuatan batako bersama dengan abu layang (fly ash). Wiryasa dkk., (2008) membuat paving block dengan lumpur Sidoarjo sebagai pengganti semen. Wiyono dkk., (2012) menggunakan lumpur Sidoarjo sebagai bahan baku pembuatan mortar geopolimer. Mortar geopolimer membutuhkan bahan baku material yang mengandung silika dan alumina dalam konsentrasi tinggi. Berbagai penerapan lumpur Sidoarjo sebagai bahan bangunan tidak lepas dari banyaknya oksida logam (terutama silikat dan aluminat) yang berfungsi dapat menguatkan material bahan bangunan. Kandungan oksida logam yang terdapat dalam lumpur Sidoarjo sebagai berikut: SiO2 53,8%, Al2O3 18,27%, Fe2O3 5,6%, CaO 2,07%, Na2O 2,97%, K2O 1,44%, TiO2 0,57%, MgO 2,89% dan SO2 2,96% (Balai Besar Keramik Bandung dalam Ekaputri dan Triwulan, 2006). Komposisi tersebut dapat diketahui bahwa
5
6
kandungan silika dalam lumpur Sidoarjo sangat tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai material dasar dalam pembuatan material silika mesopori. Ekstraksi silika dari lumpur Sidoarjo dapat dilakukan dengan metode kontinyu, dengan pelarut basa KOH maupun NaOH. Fadli dkk., (2013) melakukan pemisahan silika dari lumpur Sidoarjo menggunakan metode kontinyu dengan pelarut KOH. Pemisahan dilakukan pada suhu 90 °C dan laju alir KOH 2 6 mL/menit. Hasil yang diperoleh Fadli dkk., lumpur Sidoarjo memiliki kandungan silika sebesar 98,81% dengan rendemen sebesar 36,10%. „Adziimaa dkk., (2013) mengekstrak silika dengan basa NaOH. Pemisahan silika dari lumpur dilakukan dengan cara mereaksikan lumpur Sidoarjo yang sebelumnya telah dicuci dengan akuades dan HCl dengan NaOH 7 M pada suhu 80 °C selama 1 jam. Kemudian filtrat dititrasi dengan HCl 3 M hingga pH 7 dan terbentuk endapan putih. Endapan putih tersebut disaring dan dikeringkan. Trisunaryanti dkk., (2012) juga telah mengekstrak silika dari lumpur Sidoarjo menggunakan pelarut basa NaOH dengan metode refluks dengan suhu 100 °C, didapatlah padatan putih dengan kandungan silika sebesar 97,25% dan rendemen sebesar 18,01%. Berdasarkan pemaparan diatas, ekstraksi silika telah dapat dilakukan dengan baik dan mendapatkan silika dengan kadar diatas 90%.
II.1.2 Material mesopori MCM-41 Material berpori diklasifikasikan berdasarkan ukuran porinya menjadi 3, yaitu mikropori, mesopori dan makropori. Material mikropori memiliki ukuran pori kurang dari 2 nm, sedangkan mesopori memiliki ukuran 2 nm hingga 50 nm dan makropori memiliki ukuran pori lebih besar dari 50 nm. Beck dkk., (1992) menemukan material mesopori untuk pertama kali dan kemudian Kresge dkk., (1992) mengungkapkan salah satu material mesopori yang termasuk dalam keluarga material M41S adalah MCM-41, dimana material MCM-41 memiliki keseragaman pori yang tinggi. MCM-41 memiliki bentuk pori heksagonal dengan keteraturan pori yang tinggi. Apabila dibandingkan dengan zeolit, MCM-41 memiliki ukuran pori yang lebih besar dan keteraturan pori yang lebih baik.
7
Berbagai metode sintesis material mesopori MCM-41 telah dilakukan dengan silika bersumber bahan alam maupun silika murni. Beberapa sumber silika yang digunakan untuk sintesis MCM-41 adalah TEOS (Tetraetilortosilikat) (Mokhonoana dan Coville, 2010; Kim dkk.,1999), TMOS (Tetrametilortosilikat) (Zhao dkk., 2000; Qin dkk., 2007). Penggunaan silika sintetik dalam sintesis dapat menghasilkan material dengan karakteristik yang baik. Namun penggunaan silika sintetik membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi, sehingga dirumuskan menggunakan silika berbahan dasar dari alam atau berbahan dasar silika yang diekstrak dari limbah industri. Silika berbahan dasar dari alam yang telah berhasil digunakan sebagai sumber silika dalam sintesis material mesopori MCM-41 beberapa diantaranya adalah silika bersumber abu layang (fly ash) (Sutarno dkk., 2003; Hui dan Chao, 2006; Misran dkk., 2007), silika bersumber abu sekam padi (Siriluk dan Yuttapong, 2005; Suyanta dan Kuncaka, 2011) dan silika bersumber dari lumpur Sidoarjo (Trisunaryanti dkk., 2012). Penggunaan bahan alam sebagai sumber silika dapat menjadi salah satu solusi akan ketersediaan reagen silika dalam sintesis MCM-41, sehingga dapat digunakan dalam skala industri dan dapat menekan biaya produksi. Dalam lumpur Sidoarjo sendiri terdapat silika dengan kandungan lebih dari 90% sehingga lumpur Sidoarjo sangat berpotensial menjadi sumber silika yang berlimpah. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok pada karakteristik MCM-41 yang disintesis menggunakan silika sintetik dengan silika bersumber bahan alam. Sehingga silika bersumber bahan alam dapat digunakan untuk menggantikan silika sintetik dalam sintesis MCM-41 (Suyanta dan Kuncaka, 2011). Surfaktan CTAB (Cetiltrimetilamonium Bromida) digunakan sebagai cetakan dalam sintesis MCM-41. Penggunaan surfaktan akan sangat berpengaruh terhadap kondensasi gugus silanol dalam membentuk MCM-41. Anion dalam surfaktan kation berpengaruh terhadap ketebalan dinding dan pembentukan pori (Lin dan Mou, 2002). Bagian kepala surfaktan, yaitu pada gugus NH4+, akan memiliki sifat hidrofilik, sedangkan pada bagian ekor akan bersifat hidrofobik pada gugus alkilnya. Surfaktan akan mempengaruhi terbentuknya pori. Pori akan
8
membentuk struktur lamelar, heksagonal maupun kubik dikarenakan pengaruh konsentrasi surfaktan dan temperatur pelarutan. Dalam Badriyah (2014), Raman dkk., (1996) menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan temperatur pelarutan dengan fase pembentukan pori ditunjukkan dalam Gambar II.2 dapat diketahui bahwa pembentukan pori heksagonal dimulai pada konsentrasi surfaktan 35% hingga 65% dan misel mulai terbentuk pada suhu 40 °C. Kristal heksagonal akan mulai terbentuk sejak temperatur 45 °C hingga 235 °C. Pembentukan material mesopori MCM-41 akan terbentuk pada kondisi konsentrasi surfaktan 35% - 65%, dan bila konsentrasi surfaktan melebihi 65% maka yang terbentuk bukanlah material berpori heksagonal, namun sudah masuk kategori material berpori kubik MCM-48. Fase lamelar akan terbentuk jika konsentrasi surfaktan dalam pelarut air melebihi 67% dan di bawah kondisi temperatur 50 °C hingga 290 °C. Pori dengan fasa lamelar ini disebut juga dengan material mesopori MCM-50.
Gambar II.1 Mekanisme pembentukan MCM-41 (Beck dkk., 1992) Mekanisme pembentukan material mesopori MCM-41 menurut Beck dkk. (1992) dimulai dari pembentukan misel silindris oleh surfaktan, kemudian teragregasi membentuk misel heksagonal cair. Saat penambahan silika berlangsung, silika akan menempel pada gugus hidrofilik surfaktan, sehingga akan mengisi baik permukaan luar maupun permukaan dalam misel heksagonal. Mekanisme lainnya silika dapat pula menempel pada misel silindris surfaktan sebelum teragregasi membentuk heksagonal. Misel silindris yang telah terlapisi
9
oleh silika barulah teragregasi membentuk struktur heksagonal. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Raman dkk. (1996) dalam Badriyah (2014), kondisi tersebut dapat diatur dengan memvariasikan konsentrasi surfaktan dalam pelarut air.
Gambar II.2 Diagram fasa surfaktan dalam pelarut air (Raman dkk., 1996) Karakterisasi material MCM-41 yang telah berhasil disintesis dapat dilihat dari beberapa indikator, salah satunya berdasarkan difraktogram sinar X dan citra penampakan dengan TEM. Material mesopori MCM-41 memiliki keteraturan yang tinggi dengan struktur pori heksagonalnya, maka akan memberikan puncak dalam rentang sudut rendah saat dianalisis dengan difraksi sinar X. Menurut Beck dkk. (1992) dan Kresge dkk. (1992) MCM-41 akan memberikan puncak pada sudut difraksi kurang dari 10 derajat. MCM-41 akan memberikan puncak difraksi dengan dhkl (100) pada sudut 2 derajat dan dhkl (110) pada sudut 3,8 derajat.
10
Gambar II.3 Difraktogram sinar X MCM-41 (Kresge dkk., 1992) Sintesis material mesopori MCM-41 dapat dilakukan dengan metode hidrotermal maupun non-hidrotermal. Metode hidrotermal dilakukan di bawah temperatur 150 °C selama 10 jam dengan sumber silika TEOS dan CTAB sebagai cetakan (Boukossa dkk., 2013). Majid (2014) menggunakan material silika berbahan lumpur Sidoarjo sebagai sumber silika dan CTAB sebagai cetakan MCM-41 dalam sintesis non-hidrotermal, mendapatkan material mesopori yang disintesis dengan metode non-hidrotermal memiliki keteraturan dan struktur meso yang lebih rendah daripada metode hidrotermal. Karakterisasi dengan TEM akan memberikan citra material mesopori MCM-41 yang memiliki struktur heksagonal teratur.
Gambar II.4 Citra TEM material mesopori MCM-41 (Han dkk., 2013)
11
II.1.3 Modifikasi MCM-41 dan perengkahan minyak sawit Proses perengkahan merupakan proses pemecahan rantai hidrokarbon yang panjang menjadi fragmen-fragmen yang lebih pendek. Pemecahan ini akan memerlukan temperatur yang tinggi pada proses perengkahan termal. Untuk menurunkan temperatur pada proses perengkahan dibutuhkan katalis yang mempunyai situs asam Bronsted dan Lewis. Logam transisi dapat berperan sebagai penyedia situs asam Bronsted dan Lewis dalam katalis. Sehingga dirumuskan apabila logam transisi digunakan sebagai logam yang diembankan dalam material berpori, akan meningkatkan situs asam Bronsted dan Lewis dari material berpori. Trisunaryanti dkk., (2005) mengemukakan dalam proses perengkahan katalitik, diperlukan katalis heterogen (dalam fasa padat), dimana salah satu jenis katalis heterogen tersebut adalah katalis logam teremban yang terdiri dari logam teremban dan material pengemban seperti zeolit dan silika-alumina. Logam-logam transisi seperti Fe, Co, Ni, Rd, Ru, Pd dan Pt dapat digunakan sebagai katalis, namun bila digunakan sebagai logam murni akan mengalami sintering. Untuk mengatasinya digunakan sistem pengemban (sistem katalis heterogen) sehingga stabil secara termal dan tidak terjadi sintering (Agustine,1996). MCM-41 merupakan material berpori yang tidak memiliki situs asam sehingga untuk dapat digunakan sebagai katalis dalam proses hidrorengkah perlu diembankan logam transisi ke dalam pori MCM-41. Terdapat beberapa metode pengembanan logam dalam material mesopori. Beberapa diantaranya adalah metode langsung (incorporated) dan metode impregnasi. Metode incorporated berlangsung dengan cara penambahan logam saat sintesis MCM-41 berlangsung. Pengembanan logam transisi dengan metode impregnasi adalah metode perendaman material mesopori silika dalam larutan logam, dalam hal ini logam Co. Metode impregnasi digunakan dalam sintesis katalis MCM-41 ini, dengan metode impregnasi kita dapat mengontrol berapa banyak logam yang akan diembankan ke dalam material mesopori.
12
Logam kobalt digunakan sebagai logam yang diembankan pada material mesopori MCM-41 dengan tujuan untuk meningkatkan sifat keasaman material mesopori. Logam kobalt memiliki elektron pada orbital d yang masih belum berpasangan, sehingga akan meningkatkan keasaman material berpori. Penjabaran tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa penambahan logam Co dalam material mesopori MCM-41 akan meningkatkan keasaman katalis MCM-41 dan meningkatkan aktivitas hidrorengkah material mesopori MCM-41. Silika hasil ekstraksi lumpur Sidoarjo akan digunakan sebagai bahan dasar sintesis meterial mesopori silika MCM-41, kemudian hasil sintesis tersebut akan diembankan logam Co untuk membentuk katalis Co/MCM-41.
Gambar II.5 Perengkahan minyak sawit dengan katalis NiMo/Zeolite (Nasikin dkk., 2009) Perengkahan minyak sawit memerlukan katalis sebagai agen pemercepat proses pemotongan rantai karbon. Minyak sawit memiliki komponen penyusun berupa asam lemak. Berdasarkan Kusuma dkk., (2013) dalam Khoiri (2014) kandungan utama minyak sawit adalah asam lemak linoleat dan olet. Komposisi kandungan minyak sawit pada umumnya terdiri dari : asam laurat, asam miristat, asam stearat dan asam linoleat dengan kandungan total sebesar 16,7% dan kandungan utama minyak sawit adalah asam palmitat (C16:0) sebesar 42,9% dan asam oleat (C18:1) sebesar 40,4%.
13
Logam kobalt merupakan salah satu logam transisi yang dapat digunakan sebagai katalis asam. Namun, apabila logam kobalt secara langsung digunakan sebagai katalis, akan terjadi sintering. Sintering akan menyebabkan terjadinya aglomerasi pada atom-atom logam, yaitu berupa penumpukan atom logam di satu posisi. Hal ini akan menyebabkan penurunan luas permukaan spesifik katalis dan menurunkan kebolehjadian kontak antara katalis dengan umpan dalam perengkahan. Untuk mencegah sintering dan aglomerasi, maka diembankanlah logam transisi tersebut dalam material berpori. Kelebihan metode impregnasi basah adalah kita dapat mengkontrol berapa banyak logam yang akan diembankan. Larutan logam yang akan diembankan tidak disaring setelah proses perendaman dan refluks, namun langsung dikeringkan. Kekurangan metode impregnasi basah adalah terdapat logam yang tidak berikatan kuat dengan permukaan material berpori, hanya terjebak dalam kanal sehingga mudah terelusi. Sedangkan pada proses pertukaran ion, setelah proses perendaman, material disaring dari larutan garam prekursor, sehingga logam yang berikatan akan lebih sedikit namun memiliki ikatan yang kuat dengan permukaan material (Trisunaryanti, 2015). Selama ini, pengembanan dilakukan terhadap material mikropori seperti zeolit, namun kurang optimal untuk reaksi perengkahan senyawa organik berukuran besar. Dikembangkanlah metode pengembanan logam transisi kedalam material berukuran mesopori. MCM-41 digunakan sebagai material pengemban logam kobalt untuk digunakan dalam proses hidrorengkah minyak sawit. Logam kobalt memiliki elektron pada orbital d yang masih belum berpasangan,sehingga akan meningkatkan keasaman material mesopori MCM-41. II.2 Perumusan Hipotesis dan Rancangan Penelitian II.2.1 Perumusan hipotesis 1 Sintesis
material
mesopori
MCM-41
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan silika bersumber bahan alam. Silika bersumber bahan alam yang telah berhasil digunakan sebagai sumber silika untuk mensintesis material
14
mesopori MCM-41 diantaranya adalah silika bersumber abu layang (fly ash) (Sutarno dkk., 2003; Hui dan Chao, 2006; Misran dkk., 2007), silika bersumber abu sekam padi (Siriluk dan Yuttapong, 2005; Suyanta dan Kuncaka, 2011) dan silika bersumber dari lumpur Sidoarjo (Trisunaryanti dkk., 2012). Trisunaryanti dkk., (2012) telah mengekstrak silika dari lumpur Sidoarjo menggunakan pelarut basa NaOH dengan metode refluks, kandungan silika sebesar 97,25% dan rendemen sebesar 18,01% digunakan untuk sintesis material mesopori MCM-41. Hasil ekstraksi silika dari lumpur Sidoarjo tersebut kemudian digunakan oleh Majid (2014) dan Khoiri (2014) untuk mensintesis MCM-41 dengan metode hidrotermal. Sintesis dilakukan dengan metode hidrotermal, dimana sumber silika adalah silika dari lumpur Sidoarjo dan cetakan CTAB dibawah temperatur hidrotermal 100 °C selama 24 jam. Didapatlah material mesopori MCM-41 dengan indeks hkl (100) pada sudut difraksi antara 1,8 - 2 derajat dan hkl (110) pada sudut 3,8 derajat. Hipotesis 1 : Jika dilakukan sintesis MCM-41 dengan metode hidrotermal seperti yang telah dilakukan oleh Trisunaryanti dkk., (2012), Majid (2014) dan Khoiri (2014), maka akan diperoleh material mesopori MCM41. II.2.2 Perumusan hipotesis 2 Logam-logam transisi seperti Fe, Co, Ni, Rd, Ru, Pd dan Pt dapat digunakan sebagai katalis asam, namun bila digunakan sebagai logam murni akan mengalami sintering. Untuk mengatasinya digunakan sistem pengemban (sistem katalis heterogen) sehingga stabil secara termal dan tidak terjadi sintering (Agustine, 1996). Penambahan logam dalam material mesopori silika aluminat akan meningkatkan situs asam Bronsted dan asam Lewisnya, hal ini dibuktikan dengan uji adsorpsi Piridin (Chakraborty, 1999). Pengembanan logam transisi dengan metode impregnasi basah memiliki keuntungan semua logam akan teremban kedalam material mesopori, sedangkan dengan pertukaran ion akan menyebabkan logam yang teremban lebih sedikit (Trisunaryanti, 2015).
15
Hipotesis 2 : Jika logam kobalt diembankan kedalam material MCM-41 dengan metode impregnasi basah, maka akan didapatkan katalis asam dengan tingkat keasaman katalis yang tinggi. Peningkatan keasaman tersebut disebabkan oleh keseluruhan logam kobalt telah teremban ke dalam material mesopori MCM-41. II.2.3 Perumusan hipotesis 3 Logam transisi yang digunakan sebagai katalis monologam akan mengalami sintering saat dipanaskan dalam temperatur reaksi yang tinggi. Untuk menghindari sintering tersebut digunakanlah metode pengembanan logam kedalam material berpori. Salah satunya dengan mengembankan logam kobalt kedalam material MCM-41. Material MCM-41 memiliki keteraturan struktur yang tinggi, hal tersebut ditunjukkan dari difraktogram sinar X material MCM-41 memiliki intensitas puncak dhkl (100) yang tinggi. Metode pengembanan impregnasi basah dilakukan dengan mengaduk material MCM-41 bersama larutan garam prekursor di bawah sistem refluks, sehingga logam akan terdistribusi merata di permukaan MCM-41. Hipotesis 3 : Jika distribusi logam kobalt merata di permukaan material MCM41, maka tidak ada penurunan intensitas dari difraktogram sinar X MCM-41 pada sudut 1,8-2 derajat hkl (100). II.2.4 Perumusan hipotesis 4 Pada tahun 2009, Bathia dkk., melakukan proses perengkahan minyak sawit dengan Al-MCM-41 sebagai katalis. Produk biogasoline
yang didapat
hanya mencapai 38%, di bawah konversi perengkahan menggunakan zeolit REY. Rendahnya konversi tersebut membuat perlunya dilakukan modifikasi jenis logam dan modifikasi proses pengembanan logam dengan metode impregnasi. Nurjannah dkk., (2010) melakukan proses hidrorengkah minyak sawit dengan katalis silika alumina dan HZSM-5 mendapatkan hasil fraksi bensin dengan yield tertinggi 28,87%, kerosin 16,70%, dan diesel 12,20% pada suhu reaktor 450 °C
16
dan laju gas N2 100 mL/menit. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan katalis asam Al-MCM-41 sudah dapat menghasilkan hidrokarbon dalam proses perengkahan walaupun masih rendah konversinya.
Penggunaan
katalis berbasis silika alumina maupun zeolit juga tidak maksimal dalam perengkahan minyak sawit karena keasaman yang rendah dan ukuran pori zeolit tergolong dalam mikropori yang tidak sesuai dengan umpan minyak sawit yang berukuran besar. Hipotesis 4 : Jika dilakukan proses hidrorengkah minyak sawit menggunakan katalis asam padat Co/MCM-41, maka akan diperoleh fraksi hidrokarbon yang merupakan fraksi bahan bakar. II.2.5 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui reprodusibilitas dari metode ekstraksi silika lumpur Sidoarjo dan sintesis material mesopori MCM-41 bersumber bahan alam silika lumpur Sidoarjo dengan metode hidrotermal. Material mesopori MCM-41 tersebut akan digunakan untuk menjadi material pengemban logam kobalt dalam pembuatan katalis asam Co/MCM-41. Katalis Co/MCM-41 akan diuji aktivitas katalitiknya dalam reaksi hidrorengkah minyak sawit. Ekstraksi silika dari lumpur Sidoarjo dilakukan dengan mencuci lumpur dengan akuades untuk menghilangkan pengotor fisika seperti batu dan rumput kering. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi dengan refluks HCl 6 M selama 3 jam dan refluks NaOH 6 M selama 14 jam di bawah suhu 90 °C. Padatan silika yang diperoleh kemudian dianalisis dengan XRF untuk mengetahui kandungan silika di dalamnya. Sintesis
MCM-41 dilakukan dengan silika bersumber hasil ekstraksi
lumpur Sidoarjo dan menggunakan CTAB sebagai surfaktan cetakan pori MCM41. Sintesis dilakukan dalam metode hidrotermal selama 24 jam pada temperatur 100 °C. MCM-41 yang diperoleh kemudian dikalsinasi pada suhu 540 °C selama 5 jam dengan kenaikan suhu 2 °C/menit. Dilakukan analisis dengan XRD dan
17
FT-IR pada MCM-41 sebelum kalsinasi dan sesudah kalsinasi, analisis GSA dan TEM hanya untuk MCM-41 setelah kalsinasi. Katalis Co/MCM-41 disintesis dengan metode impregnasi basah. Logam kobalt akan diembankan kedalam material mesopori MCM-41 untuk mendapatkan katalis asam. Logam kobalt seberat 1% (b/b) dan 0,5% (b/b) digunakan untuk mensintesis katalis asam Co/MCM-41. MCM-41 direndam dalam larutan kobalt nitrat dan dilakukan pengadukan selama 24 jam sebelum dikeringkan. Setelah diperoleh padatan kering, dilakukan reduksi dengan suhu 450 °C selama 3 jam dan diperoleh katalis Co/MCM-41 untuk kemudian dianalisis dengan XRD, uji keasaman adsorpsi amonia dan uji aktivitas dalam perengkahan minyak sawit. Uji aktivitas katalitik dilakukan dengan mereaksikan umpan minyak sawit dengan katalis Co/MCM-41 dengan perbandingan katalis dan umpan 1:100 (b/v), suhu reaksi 400 °C di bawah aliran gas hidrogen. Produk perengkahan yang didapatkan kemudian dianalisis dengan GC-MS untuk mengetahui jenis hidrokarbon hasil perengkahan minyak sawit dengan katalis Co/MCM-41.