BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
Air dan tanah merupakan sumberdaya alam yang esensial bagi kelangsungan hidup mahluk hidup, baik manusia, binatang maupun tumbuhan. Dalam siklus hidrologi daerah aliran sungai (DAS) memegang peranan yang penting (Harto, 2002). DAS merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2002). DAS berfungsi untuk mentransformasikan hujan menjadi aliran air. DAS memiliki respon yang berbeda-beda dalam mentransformasikan hujan untuk setiap daerah, tergantung oleh beberapa hal, diantaranya adalah energi kinetik dari hujan, sifat tanah, bentuk fisik dari lahan, tutupan dan pengelolaan lahan. Empat faktor pertama sifatnya sangat alamiah, sedangkan faktor yang terakhir sangat dipengaruhi oleh pengelolaan serta penggunaan DAS oleh manusia. Fenomena yang sangat terkait dengan transformasi aliran air adalah erosi permukaan lahan yang terjadi di DAS (Harto, 2002). Erosi adalah proses terkikisnya dan terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh air hujan (Suripin, 2002). Erosi pada DAS sudah menjadi isu nasional, yang mendapat perhatian khusus semenjak tahun 1970 (Sutarman, 2007), dikarenakan erosi yang berlebihan menyebabkan lahan menjadi kritis. Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif secara ekonomis. Dalam skala besar, erosi dapat menyebabkan permasalahan nasional, karena mampu menurunkan ketahanan pangan nasional. Bahaya erosi yang dapat menurunkan produktivitas lahan merupakan masalah utama dari tahun ke tahun, sehingga tetap menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh pemerintah. Berbagai usaha pengelolaan DAS telah dilakukan pemerintah. Namun sampai saat ini pencegahan degradasi DAS masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan
1
2
dan Menteri Pekerjaan Umum No : 19 Tahun 1984 - No: 059/Kpts-II/1984 - No : 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984 tentang penanganan konservasi tanah dalam rangka pengamanan DAS priontas, dari 458 DAS yang ada di Indonesia terdapat 22 DAS super prioritas (Prioritas I). Berdasarkan SK Menhut pada tahun 2009, Nomor : P. 39/Menhut-II/2009 tentang penetapan urutan prioritas DAS, jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 108 DAS. Termasuk di dalamnya adalah DAS yang berada di Kabupaten Kulon Progo. DAS Secang sendiri secara administrasi berada di wilayah Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DAS Secang terdiri atas empat wilayah administrasi desa yaitu desa Hargotirto yang terletak di bagian utara dan desa Hargowilis yang terletak di bagian selatan dan tenggara DAS Secang, dan sebagian kecil terletak di desa Kalirejo dan Hargorejo. Secara geografis DAS tersebut terletak pada lintang 7046‟41” LS - 7050‟21” LS dan bujur 11007‟30” BT - 110010‟03” BT. Kondisi alam dan bentuk topografi DAS Secang yang terletak di kecamatan Kokap yang berbukit-bukit dan merupakan dataran tinggi berpotensi mengakibatkan terjadinya erosi yang mampu mengancam keamanan masyarakat. Perencanaan konservasi lahan yang akan dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progp agar lahan yang ada tetap produktif perlu mengetahui nilai laju erosi. Erosi merupakan peristiwa alam yang tidak dapat dihilangkan, tetapi dengan pengelolaan lahan yang benar erosi dapat ditekan seminimal mungkin. Untuk mengidentifikasi tingkat bahaya erosi, dapat dibuat model untuk melihat laju erosi yang terjadi. Model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat bahaya erosi salah satunya adalah model USLE (Universal Soil Loss Equation). Model USLE mempertimbangkan beberapa faktor seperti faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor penutupan dan manajemen tanaman, dan faktor tindakan konservasi tanah (Kironoto, 2003). Pemodelan erosi yang banyak berkembang saat ini adalah pemodelan yang diintegrasikan ke dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem (berbasis komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memproses informasi-informasi spasial (Prahasta, 2002). SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan menyajikan objek-objek atau fenomena yang terjadi.,
3
sehingga akan sangat mempermudah dalam pembuatan model laju erosi untuk penentuan tingkat bahaya erosi.
I.2. Tujuan
Proyek ini bertujuan untuk mengaplikasikan model laju erosi berdasarkan metode USLE sehingga mampu mengidentifikasi tingkat bahaya erosi yang terjadi pada wilayah DAS Secang Kulon Progo. Proyek pemodelan ini menyediakan informasi besar laju erosi serta tingkat bahaya erosi.
I.3. Manfaat
Manfaat dari proyek ini untuk menyajikan tingkatan bahaya erosi pada DAS Secang yang kemudian secara umum dapat dijadikan acuan untuk perencanaan kebijakan pengelolaan DAS Secang dan dapat dijadikan sebagai saran dan masukan untuk prioritas pengelolaan lahan dan konservasi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo Provinsi D.I. Yogyakarta.
I.4. Lingkup Proyek
Pembuatan model laju erosi DAS Secang ini mengambil batasan-batasan sebagai berikut : 1. Pemodelan laju erosi ruang lingkupnya hanya sebatas pada DAS Secang. 2. Pembuatan model laju erosi didasarkan pada metode parametrik USLE. 3. Parameter-parameter yang digunakan untuk penentuan laju erosi adalah erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, tutupan lahan, dan tindakan konservasi tanah. 4. Erositivitas hujan dihitung dari data curah hujan harian selama 10 tahun dan tergantung oleh ketersediaan data yang ada. Penilaian faktor tutupan dan tindakan konservasi lahan dilakukan bersama dengan menggunakan satu data yang sama, yaitu shapefile penggunaan
4
lahan yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo. 5. Tingkat bahaya erosi ditentukan dari hasil pemodelan laju erosi dengan metode USLE.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Erosi Sumberdaya alam yang sangat penting antara lain adalah air dan tanah. Salah satu faktor yang turut mempercepat menurunya kemampuan sumberdaya alam tersebut yaitu terjadinya erosi. Erosi adalah proses terkikisnya permukaan tanah oleh aliran air, angin, es, atau perantara geologi lainnya, termasuk diantaranya proses gravitasi, sedangkan laju erosi merupakan ketebalan pengikisan tanah yang terjadi dalam satuan waktu tertentu (Suripin,2004). Besarnya laju erosi dalam proyek ini dinyatakan dalam ton/ha/tahun, atau dengan kata lain berapa ton besarnya pengikisan tanah setiap luasan satu hektar tanah dalam waktu satu tahun. Timbulnya erosi akan menurunkan kemampuan dari lingkungan, baik sebagai media pengendali tata air, media bagi pertumbuhan tanaman yang nantinya akan berpengaruh pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Di Indonesia, erosi paling banyak disebabkan oleh air. Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua subproses (Arsyad, 2010) yaitu penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang jatuh menimpa tanah, kemudian pengangkutan butir-butir primer tanah yang mengalir di permukaan tanah. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan diendapkan di tempat lain, di dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifatsifat kimia dan fisik tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik dan memburuknya sifat-sifat tanah antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan
5
kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah yang akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan memburuknya produktivitas. Selain menimbulkan degradasi lahan, erosi juga menimbulkan beberapa hal yang merugikan, baik terjadi secara langsung di maupun tak langsung. Dampak dari erosi disajikan dalam Tabel I.1. Tabel I.1. Dampak Erosi Bentuk
Dampak di Tempat Kejadian
Dampak di Luar Tempat
Dampak
Erosi
Kejadian Erosi
1.
Kehilangan lapisan tanah
1. Pelumpuran dan pendangkalan sungai,
yang baik bagi berjangkarnya
waduk, dan saluran irigrasi
akar tanaman.
2.
Kehilangan unsur hara dan
serta badan air lainya 2. Tertimbunya lahan pertanian,jalan, dan
dan kerusakan struktur tanah.
Langsung 3.
Peningkatan penggunaan energi/input untuk proses
bangunan lain. 3. Menghilangnya masa air dan kualitas air menurun.
produksi pertanian. 4.
Kemerosotan produktivitas
4. Kerusakan ekosistem
tanah.
perairan.
1. Berkurangnya alternatif
1. Kerugian oleh
penggunaan lahan Tidak
2. Timbulnya tekanan untuk
Langsung
membuka lahan baru.
memendeknya umur waduk. 2. Meningkatnya frekuensi dan
3. Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan yang rusak. Sumber : Arsyad (2010)
besarnya banjir
6
I.5.2. USLE Suatu model parametrik yang dapat digunakan untuk memprediksi besarnya laju erosi yang terjadi pada suatu bidang tanah telah dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965) (Kironoto, 2003), yang disebut Universal Soil Loss Equation atau dalam bahasa Indonesia sering juga disebut sebagai Persamaan Umum Kehilangan tanah (PUKT). USLE memungkinkan untuk pendugaan laju erosi suatu daerah tertentu pada suatu lereng dengan besar curah hujan tertentu untuk setiap macam tutupan lahan dengan tindakan konservasi lahan tertentu. Persamaan yang digunakan mengelompokkan berbagai parameter yang mempengaruhi laju erosi kedalam enam parameter utama yang nilainya untuk setiap daerah dapat sebagai berikut : A = R x K x LS x C x P ………….……………….…...................……. (I.1) di mana : A
: Besarnya kehilangan tanah atau erosi (ton/ha/tahun).
R
: Faktor erosivitas (kJ/ha).
K
: Faktor erodibilitas tanah (ton/kJ).
LS
: Faktor panjang dan kemiringan lereng.
C
: Faktor penutup tanah
P
: Faktor tindakan konservasi.
1.5.2.1. Faktor erosivitas hujan. Erosivitas merupakan kemampuan hujan dalam mengerosi tanah. Sifat hujan yang sangat penting dalam mempengaruhi terjadinya erosi adalah energi kinetik, karena merupakan penyebab utama dalam proses penghancuran agregat-agregat tanah (Kironoto, 2003). Proses erosi tanah yang disebabkan oleh air meliputi tiga tahap yang terjadi dalam keadaan normal di lapangan, yaitu tahap pertama pemecahan bongkah-bongkah tanah kedalam bentuk butir-butir kecil atau partikel tanah, tahap kedua pemindahan atau pengangkutan butir-butir yang kecil sampai sangat halus, dan tahap ketiga pengendapan partikelpartikel tersebut di tempat yang lebih rendah atau di dasar sungai atau waduk (Suripin, 2002).
7
Metode perhitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis data curah hujan yang tersedia, jika diketahui jumlah curah hujan bulanan, jumlah hari hujan bulanan, dan curah hujan harian rata-rata maksimal bulanan tertentu, maka perhitungan erositivitas hujan dapat dengan menggunakan persamaan Bols dalam Suripin (2002).
Rm
= 6,119 x (Rain)m1,211 x (Days)m -0,474 x (Max P)m0,526…….......…. (I.2)
R
=∑
(
) ……………………………………....................…. (I.3)
di mana : R
: Erosivitas curah hujan tahunan
Rm
: Indeks erosivitas curah hujan bulanan rata-rata
(Rain)m
: Jumlah curah hujan bulanan rata-rata (mm)
(Days)m
: Jumlah hari hujan bulanan pada bulan tertentu (hari)
(Max P)m : Curah hujan harian maksimal pada bulan tertentu (mm) m
: Satu bulan dalam satu tahun.
1.5.2.2. Faktor erodibilitas tanah. Erodibilitas tanah merupakan faktor kepekaan tanah terhadap erosi, yaitu mudah tidaknya tanah terkena erosi oleh air hujan. Nilai erodibilitas tanah yang tinggi pada suatu lahan menyebabkan erosi yang terjadi menjadi lebih besar dan sebaliknya. Besarnya nilai faktor erodibilitas tanah sangat tergantung dari sifat tanah tersebut yang dipengaruhi oleh tekstur, struktur, kadar bahan organik dan permeabilitas tanah (Suripin, 2002). Faktor erodibilitas tanah dengan kadar debu dan pasir sangat halus kurang dari 70% dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dari Wischmeier, Johnson, dan Cross (1971) dalam Suripin (2002).
2,713M 1,14 (10 4 )(12 a) 3,25(b 2) 2,5(c 3) K= ………............... (I.4) 100 di mana : K
: Erodibilitas tanah
M
: (%debu + %pasir sangat halus)(100-%lempung)
8
a
: Bahan organik (%C organik x 1,724)
b
: Harkat struktur tanah
c
: Harkat tingkat permeabilitas tanah
Apabila kandungan debu dan pasir sangat halus lebih dari 70 % maka faktor erodibilitas tanah ditetapkan menggunakan nomograf erodibilitas tanah seperti ditunjukkan pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Nomograf untuk penentuan nilai faktor K Sumber : Arsyad (2010) Jika data yang tersedia hanya berupa peta jenis tanah saja seperti Peta Jenis Tanah untuk daerah tertentu tanpa ada keterangan sifat-sifat tanah, maka penilaian faktor erodibilitas tanah dapat mengacu pada Tabel I.2. Nilai faktor eodibiltas tanah pada Tabel I.2. merupakan rekapitulasi hasil penelitian nilai erodibiltas tanah di Pulau Jawa.
9
Tabel I.2. Indeks Nilai Erodibilitas Tanah Jenis Tanah
No. 1
2
Latosol coklat kemerahan dan litosol Latosol kuning kemerahan dan litosol
Nilai K 0.43
0.36
3
Komplek mediteran dan litosol
0.46
4
Latosol kuning kemerahan
0.56
6
Alluvial
0.47
7
Regosol
0.4
8
Latosol
0.31
Sumber : Kironoto (2003) 1.5.2.3. Faktor panjang dan kemiringan lereng. Faktor lereng sangat mempengaruhi erosi yang terjadi. Pengaruh lereng pada proses terjadinya erosi yaitu mempengaruhi besarnya energi penyebab erosi yaitu kecepatan aliran air permukaan yang berasal dari air hujan. Karakteristik lereng yang mempengaruhi besarnya energi penyebab erosi adalah kemiringan lereng dan panjang lereng atau sering disingkat LS (Length and Slope) (Suripin, 2002). Kemiringan lereng mempengaruhi kecepatan dan volume terkikisnya tanah. Makin curam suatu lereng maka kecepatan aliran permukaan semakin besar, dengan demikian maka semakin singkat pula kesempatan air untuk melakukan infiltrasi ke dalam tanah, sehingga menyebabkan volume aliran permukaan besar. Panjang lereng mempengaruhi besarnya limpasan permukaan, semakin panjang suatu lereng maka semakin besar limpasanya. Apabila volume besar maka besarnya kemampuan untuk menimbulkan erosi juga semakin besar. Nilai panjang serta kemiringan lereng dapat dihitung dengan menggunakan data Digital Elevation Model (DEM), dengan menggunakan persamaan dari Wischmeier (1976) dalam Kinnell (2008).
10
LS = (f × r/22.13)0.4 × (sin s x 0,0175/0.0896)1.3 …....................................(I.5) Perhitungan nilai panjang serta kemiringan lereng dengan menggunakan persamaan I.4 dilakukan dengan software ArcMap, persamaan tersebut dikonversi menjadi persamaan sebagai berikut: LS = Pow([f]*r / 22.13, 0.4)*Pow(Sin([s]*0.01745) / 0.0896, 1.3) * 1.4 .....(I.6) di mana : LS
: Nilai faktor kemiringan dan panjang lereng
f
: Akumulasi aliran (Flow Accumulation)
r
: Resolusi raster DEM
s
: kemiringan lereng
Selain menggunakan persamaan I.5, perhitungan nilai panjang serta kemiringan lereng dapat mengikuti Tabel I.3. Tabel 1.3. Indeks Nilai Erositivitas Hujan Menurut Sudut Lereng No.
Kelas Lereng
Nilai LS
1
0-8%
0,4
2
8-15%
1,4
3
15-25%
3,1
4
25-40%
6,8
5
>40%
9,5
Sumber: Departemen Kehutanan (2009) I.5.2.4. Faktor tutupan lahan. Tutupan lahan mempengaruhi erosi karena tutupan lahan melindungi tanah terhadap kerusakan tanah oleh butir-butir hujan. Selain menjadi penghalang bagi tanah tererosi secara langsung oleh dari air hujan, perakaran pada vegetasi penutup lahan juga memperkuat struktur tanah, sehingga sulit untuk tererosi. Selain memperkuat struktur tanah, dengan adanya perakaran akan mampu menyerap jumlah air yang masuk ke dalam tanah. Faktor penutup lahan (C) dapat diartikan sebagai resiko tanah yang tererosi pada suatu jenis penutup lahan pada sebidang lahan yang tererosi dibandingkan pada
11
lahan yang sama tanpa ada tanaman atau di berokan. Nilai C untuk suatu jenis penutup lahan sangat tergantung dari jenis, kombinasi, kerapatan, panen dan rotasi tanaman dalam satu tahun. Besarnya nilai C ditentukan berdasarkan keanekaragaman vegetasi penutup lahan selama satu tahun di lapangan. Pada proses penilaian tutupan lahan dapat menggunakan Tabel I.4 sebagai nilai acuan. Tabel I.4. Indeks Nilai Faktor Tutupan Lahan Penggunaan Lahan/Tanaman Tanah terbuka, tanpa tanaman Hutan Sawah Tanah kosong tak diolah Tegalan Ladang Padang Rumput Kebun Campuran, kerapatan tinggi Kebun Campuran, kerapatan sedang Kebun Campuran, kerapatan rendah Semak Belukar Padi gogo-kedelai Sorgum
Nilai Faktor C 1,0 0,001 0,01 0,95 0,7 0,4 0,3 0,1 0,2 0,5 0,3 0,55 0,95
Tanah kosong tak diolah Talas Ubi kayu + kacang tanah Ubi kayu + jagung-kacang tanah Sorghum Tambak
0,45 0,86 0,26 0,45 0,242 0.01
Sumber: Departemen Kehutanan (2009) I.5.2.5. Faktor tindakan konservasi. Nilai faktor tindakan konservasi tanah (P) adalah nisbah antara besarnya erosi dari lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi dalam keadaan identik (Suripin, 2002). Termasuk dalam tindakan konservasi lahan adalah pengolahan tanah menurut kondisi topografi. Di ladang pertanian, besarnya faktor P menunjukkan jenis aktivitas pengolahan tanah seperti pencangkulan dan persiapan tanah lainnya. Penilaian faktor konservasi lahan dapat mengacu pada Tabel I.5.
12
Tabel I.5. Indeks Nilai Faktor Tindakan Konservasi Tindakan Konservasi Tanah
Nilai Faktor P
Teras bangku, baik
0,04
Teras bangku, sedang
0,15
Teras bangku, kurang baik
0,35
Teras tradisional
0,40
Teras gulud
0,01
Kontur cropping kemiringan 0-8%
0,50
Kontur cropping kemiringan 9-20%
0,75
Kontur cropping kemiringan 20%
0,9
Alang-alang
0,021
Padang rumput bagus
0,04
Padang rumput jelek
0,40
Jagung-padi gogo+ubi kayu-kedelai/kacang tanah
0,421
Strip crotolaria
0,5
Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th
0,25
Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th
0,60
Mulsa kacang tanah
0,75
Teras bangku:kacang tanah
0,09
Tanpa tindakan konservasi
1,00
Sumber: Departemen Kehutanan (2009) Faktor tindakan konservasi dan faktor tutupan lahan (CP) biasanya dijadikan satu penilaian, hal ini terjadi jika data yang digunakan untuk penilaian kedua faktor tersebut menggunakan data yang sama. Secara umum faktor CP dipengaruhi oleh jenis tanaman (tataguna lahan) dan tindakan pengelolaan lahan (teknik konservasi) yang dilakukan, seperti misalnya penanaman mengikuti kontur, strip cropping, dan pembuatan teras. Jika pengelolaan lahan (tindakan konservasi) tidak dilakukan maka nilai P adalah 1, sedangkan bila usaha pengelolaan lahan dilakukan maka nilai P menjadi kurang dari 1. Penilaian faktor CP dapat mengacu pada Tabel I.6.
13
Tabel I.6. Indeks Nilai Faktor Tutupan dan Konservasi Lahan Tindakan Konservasi Tanah
Nilai Faktor CP
Hutan tidak terganggu
0,1
Hutan tanpa tumbuhan bawah (serasah)
0,5
Hutan dengan tumbuhan bawah banyak (serasah)
0,2
Semak tidak terganggu
0,01
Semak sbagian berumput
0,1
Kebun Pekarangan
0,2
Kebun Tahunan
0,02
Perkebunan dengan penutupan tanah sempurna
0,01
Perkebunan dengan penutupan tanah sebagian
0,07
Rerumputan dengan penutup tanah sempurna
0,01
Rerumputan dengan penutup tanah sebagian
0,02
Rerumputan serai wangi
0,65
Tanaman pertanian umbi-umbian
0,51
Tanaman pertanian biji-bijian
0,51
Tanaman pertanian kacang-kacangan
0,36
Tanaman pertanian campuran
0,43
Tanaman pertanian padsi irigasi
0,02
Perladangan
0,28
Pertanian dengan mulsa
0,14
Pertanian dengan teras bangku
0,04
Pertanian dengan contour cropping
0,14
Sumber: Kironoto (2003) I.5.2.6. Klasifikasi tingkat bahaya erosi. Tingkat bahaya erosi merupakan tingkat ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh erosi pada suatu lahan. Erosi tanah dapat berubah menjadi bencana apabila laju erosi lebih cepat daripada laju pembentukan tanah. Mengetahui besarnya erosi yang terjadi di suatu wilayah merupakan hal yang penting karena selain dapat mengetahui banyaknya tanah yang terangkut juga dapat
14
digunakan sebagai salah satu jalan untuk mencari sebuah solusi dari permasalahan tersebut. Klasifikasi TBE mengacu pada Tabel 1.7. Tabel I.7. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi Tingkat
Laju Erosi
Bahaya Erosi
(ton/ha/tahun)
I
<15
Sangat Ringan
II
15-60
Ringan
III
60-180
Sedang
IV
180-480
Berat
V
>480
Sangat Berat
Keterangan
Sumber: Departemen Kehutanan (2009) I.5.3. Sistem Informasi Geografis SIG merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru, digunakan oleh berbagai bidang disiplin ilmu, dan berkembang dengan cepat. SIG adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan datadata yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi. Kelebihan dari emampuan SIG dibandingkan sistem informasi lainya terletak pada analisis spasial yang mampu diintegrasikan dengan atribut non spasial. SIG dapat didefinisikan sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang memungkinkan untuk mengelola, menganalisa, memetakan informasi spasial berikut data atributnya (data deskriptif) dengan akurasi kartografi (Prahasta, 2002). I.5.3.1. Subsistem SIG. Menurut definisnya, SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem yaitu data input, data otput, data manajemen, dan data manipulasi serta analisis. Jika subsistem SIG di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran yang ada di dalamnya, maka subsistem SIG juga dapat digambarkan seperti tersaji pada Gambar 1.2.
15
Data Input
Data Management and Manipulation
Output
Gambar I.2. Uraian subsistem-subsistem SIG Sumber : Prahasta (2002) Berikut penjelasan subsistem-subsistem pada SIG : 1. Data Input. Data input dalam SIG terdiri dari data grafis atau data spasial dan data atribut. Kumpulan data tersebut disebut database. Database tersebut meliputi data tentang posisinya di muka bumi dan data atribut dari kenampakan geografis yang disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori : a.
Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan dan data tabuler lainnya.
b.
Data grafis atau data spasial, berasal dari peta analog, foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas.
c.
Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari satelit.
16
2. Pengelolaan data (data management). Subsistem ini berfungsi untuk mengorganisasikan baik data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan diedit. Jadi subsistem ini dapat menimbun dan menarik kembali dari arsip data dasar, juga dapat melakukan perbaikan data dengan cara menambah, mengurangi atau memperbaharui. 3. Manipulasi dan analisis data (data manipulation and analysis). Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Subsistem ini juga dan dapat melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi data. 4. Data output. Subsistem ini berfungsi menayangkan informasi dan hasil analisis data geografis secara kualitatif maupun kuantitatif atau dapat berfungsi menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk soft copy maupun dalam bentuk hard copy, seperti tabel, grafik, peta arsip elektronik. I.5.3.2. Cara kerja SIG. Kemampuan SIG adalah untuk merepresentasikan dunia nyata di atas monitor komputer atau memodelkan dunia nyata. SIG menyimpan semua informasi obyek sebagai atribut-atribut di dalam basisdata. Kemudian SIG membentuk dan menyimpannya ke dalam tabel-tabel. Setelah itu, SIG menghubungkan obyek-obyek tersebut dengan tabel-tabel yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi obyek pada peta, dan sebaliknya obyek-obyek pada peta juga dapat diakses melalui atribut-atributnya. Karena itu, obyek-obyek tersebut dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atributatributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Contoh-contoh layer seperti bangunan, sungai, jalan, batas-batas administrasi, perkebunan, dan hutan. Kumpulan-kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basisdata SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang penting di dalam SIG. Perancangan basisdata akan
17
menentukan tingkat efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan, dan keluaran SIG (Prahasta, 2002). I.5.3.3. Fungsi analisis pada SIG. Kemampuan SIG dapat juga dikenal melalui fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum terdapat dua jenis fungsi analisis, yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar dari basisdata yang mencakup create database, drop database, create table, drop table, record and insert, field, seek, find, search, edit, update, delete membuat indeks untuk setiap tabel basisdata, dan operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan di dalam sistem basisdata. Fungsi analisis spasial terdiri dari reclassify, overlay, dan buffering (Prahasta, 2002). Walaupun produk SIG paling sering disajikan dalam bentuk peta, kekuatan SIG yang sebenarnya terletak pada kemampuannya dalam melakukan analisis. SIG dapat mengolah dan mengelola data dengan jumlah yang besar. Dengan demikian, pengetahuan mengenai bagaimana cara mengelola data tersebut dan bagaimana menggunakannya merupakan kunci analisis di dalam SIG. Salah satu fungsi tools SIG yang paling mendasar adalah integrasi data dengan cara baru. Salah satu contohnya adalah overlay, yang memadukan layer data yang berbeda. SIG juga dapat mengintegrasikan data secara matematis dengan melakukan operasi-operasi terhadap atribut-atribut tertentu dari datanya (Prahasta, 2002). I.5.3.4. Operasi dasar SIG. Proyek ini mengunakan beberapa operasi dasar yang terdapat di ArcGIS, yaitu : 1. Merge (penggabungan): merupakan analisis penggabungan dua buah feature menjadi sebuah feature. Ilustrasi operasi merge dapat dilihat pada Gambar I.3.
Merge
Gambar I.3. Ilustrasi operasi merge
18
2. Clip. merupakan analisis pemotongan sebuah feature dengan memanfaatkan feature lain sebagai batas pemotongan. Ilustrasi operasi clip dapat dilihat pada Gambar I.4.
Clip
Gambar I.4. Ilustrasi operasi clip 3. Intersect: merupakan analisis penggabungan sekaligus pemotongan dua buah feature. Feature pertama merupakan feature yang akan dipotong, sedangkan feature yang kedua merupakan batas pemotongan. Intersect hampir mirip dengan operasi clip, perbedaanya adalah jika pada operasi clip feature yang dihasilkan memiliki data atribut yang sama dengan salah satu feature sebelumnya, tetapi pada menu intersect menghasilkan atribut yang merupakan gabungan dari feature-feature sebelumnya. 4. Thiessen polygon: merupakan analisis pembuatan poligon thiessen berdasarkan titik-titik yang dijadikan acuan pembuatan poligon. Tahap pertama adalah software akan membuat garis-garis yang menghubungkan titik-titik tersebut, kemudian dari garis tersebut ditarik garis berat seluas cakupan titik-titik tersebut. Ilustrasi poligon thiessen disajikan dalam Gambar I.5. A
C
B
D
E
Gambar I.5. Ilustrasi poligon thiessen
19
I.5.4. Kartografi Kartografi adalah seni, ilmu, dan teknik pembuatan peta yang akan melibatkan pelajaran geodesi fotogrametri, kompilasi, dan reproduksi peta (Prihandito, 2010). Peta harus memenuhi aspek kartografi agar pemakai peta dapat dengan mudah memahami isi dari peta. Peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan diatas bidang datar melalui sistem proyeksi (Prihandito, 2010). Suatu peta dapat disajikan dalam berbagai cara, mulai dari secara konvensional hingga digital. Kenampakan obyek/detil yang terdapat di permukaan bumi dapat terpresentasikan pada peta. Kenampakan detil tersebut terbagi dalam detil alam seperti sungai, danau, gunung, dan detil buatan seperti jalan, jembatan, pemukiman sawah, dan lain sebagainya. Suatu peta harus memiliki unsur-unsur peta sebagai berikut: a. Judul peta b. Skala peta: Perbandingan antara jarak dipeta dengan jarak sebenarnya dilapangan. c. Arah utara d. Simbol e. Legenda : Informasi yang memberikan keterangan terhadap simbol pada peta f. Sumber dan tahun pembuatan peta. Sumber merupakan data yang digunakan dalam pembuatan peta sehingga memberikan kepastian kepada pembaca peta bahwa data dan informasi yang disajikan dalam peta benar-benar dapat dipertanggung jawabkan. Tahun pembuatan digunakan untuk mengetahui apakah peta tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang. g. Sistem koordinat dan proyeksi peta. Sistem koordinat adalah suatu system untuk menyatakan letak atau posisi suatu titik. Proyeksi peta merupakan suatu sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik-titik diatas peta (bidang datar) dan di permukaan bumi (bidang lengkung) h. Datum. Datum merupakan ellipsoid yang memiliki nilai parameter dan origin tertentu dan digunakan sebagai referensi dalam penentuan posisi diatas permukaan bumi.
20
Dalam penyajian suatu peta, akan dibatasi oleh suatu garis tepi dimana diluar batas tepi daerah ini pada umumnya dicantumkan berbagai keterangan yang sering disebut dengan keterangan tepi. Keterangan tepi ini penting dicantumkan agar peta dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh pemakai peta, karena tidak semua pemakai peta adalah orang yan g paha dengan peta, maka keterangan peta harus dibuat dengan sebaik-baiknya. Untuk suatu rangkaian peta topografi terdapat suatu standar ukuran lembar peta dan juga standar keterangan tepi, termasuk posis/letak informasi pada peta, ukuran huruf, ketebalan garis, warna-warna yang digunakan dan lain-lain (Prihandito, 1989).