BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengulas mengenai fenomena perilaku Angkringan yang terjadi di ruang milik jalan, terletak di Kelurahan Condongcatur, Sleman. Dalam bab ini, dipaparkan beberapa subbab yaitu, (I.1) Latar Belakang; (I.2) Fokus Penelitian; (I.3) Masalah Penelitian; (I.4) Tujuan Penelitian; (I.5) Manfaat Penelitian; (I.6) Keaslian Penelitian; dan (I.7) Batasan Penelitian; (I.8) Kerangka Pikir Penelitian. I.1 Latar Belakang Angkringan (berasal dari bahasa Jawa “Angkring” yang berarti duduk santai) adalah sebuah gerobak dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman, biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung HIK "Hidangan Istimewa ala Kampung" atau wedangan. Gerobak Angkringan biasa ditutupi oleh kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar delapan orang pembeli. Angkringan beroperasi mulai sore hari, dengan mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan (id.wikipedia.org). Pedagang Angkringan sebagian besar berasal dari Kabupaten Klaten, khususnya Kecamatan Bayat, sekalipun terdapat sebagian kecil pedagang Angkringan yang berasal dari Pojong, Tepus dan Ngawen. Lokasi yang sering dijadikan tempat berjualan biasanya di pinggir jalan atau di atas trotoar, namun ada juga pedagang Angkringan yang berjualan di tengah perkampungan dan lingkungan kos-kosan mahasiswa (Aminuddin, 2000:42) Angkringan
juga
terkenal
sebagai
tempat
yang egaliter
karena
bervariasinya pembeli yang datang tanpa membedakan strata sosial, suku, agama dan ras. Mereka menikmati makanan sambil bebas mengobrol hingga larut malam meskipun tidak saling mengenal, membicarakan berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempat yang santai membuat Angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat 1
persinggahan untuk mengusir lapar atau sekadar melepas lelah (id.wikipedia.org). Beberapa alasan yang menjadi daya tarik tersendiri dari Angkringan, di antaranya harga yang murah, tempat sederhana namun nyaman untuk bersantai dan ngobrol, menjadi penyebab pedagang Angkringan semakin banyak tersebar di wilayah kota Yogyakarta khususnya Kelurahan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta. Kelurahan Condongcatur memiliki beberapa perguruan tinggi, sekolah, lingkungan perumahan dan kost-kost mahasiswa, menjadikan Kelurahan Condongcatur sebagai wilayah dengan tingkat usaha yang berkembang pesat. Tanpa terkecuali juga para pedagang Angkringan yang bermunculan mengisi ruang-ruang kosong di sekitar lingkungan Condongcatur, mulai dari penggunaan ruang pedestrian, bahu jalan serta pemanfaatan ruang-ruang kosong di antara bangunan. Hal ini menjadi masalah tersendiri karena telah menggunakan fasilitas yang bukan peruntukannya untuk kepentingan pribadi (berdagang). Di sisi lain munculnya Angkringan memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian
masyarakat
kelurahan
Condongcatur,
khususnya
kalangan
menengah ke bawah dalam penyediaan lapangan kerja baru. Angkringan dalam konteksnya sebagai ruang interaksi sosial dapat dikatakan sebuah lingkungan binaan. Lingkungan binaan terdiri dari lingkungan terestrial dan lingkungan budaya. Lingkungan terestrial merujuk pada lingkungan alam (fisik) sedangkan lingkungan budaya merujuk pada aspek sosial (non fisik), karena budaya berkembang dari adanya peluang-peluang dari sumber alami, minat dan
kompetensi
manusia.
Layout
(setting)
dan
komposisi
lingkungan
mempengaruhi cara manusia berkomunikasi satu sama lain, yang kemudian berarti mempengaruhi proses sosialnya. (Laurens,2004:51-52) Mahal dan terbatasnya tempat usaha serta tekanan hidup, menuntut kejelian pedagang Angkringan dalam melihat lingkungan, sebagai peluang dari sumber alami atau kemanfaatan lingkungan untuk berperilaku (affordances) menjadikan hal ini sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Laurens (2004:80) mengungkapkan bahwa manusia menelusuri lingkungan sekitar, mencari peluang untuk memenuhi kebutuhannya. Lingkungan dengan pola
2
tertentu dapat memenuhi kebutuhan laten seseorang, yang tidak disadari termanifestasi dalam affordances (kemanfaatan) lingkungan yang tertata dengan pola yang baik dan jelas. Setiap lingkungan mempunyai seperangkat affordances untuk aktivitas manusia atau pengalaman estetika karena pada dasarnya lingkungan itu sendiri sangat kaya dengan affordances, namun tidak semua affordances dapat digunakan dan perangkat affordance dalam suatu lingkungan yang dipakai oleh manusia tertentu bergantung pada karakteristik budaya, nilai, dan kebutuhan individunya. Arsitektur dalam pembahasan studi perilaku-lingkungan (behaviour setting) dianggap sebagai proses adaptasi manusia terhadap lingkungan terestrial dan budaya, tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya, karena manusia merupakan pusat lingkungan dan sekaligus juga menjadi bagian dari lingkungan. Perubahan terhadap lingkungan dengan sadar mengikuti suatu rencana, tapi sebagian perubahan terjadi tanpa direncanakan karena proses perilaku alami (purely behaviour). Pada dasarnya properti lingkungan diubah manusia (coping strategy) untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik bagi pemenuhan kebutuhannya bagi aktivitas baru atau untuk mendapatkan pengalaman estetika yang baru (Laurens, 2004:54). Terdapat beberapa studi yang terkait dengan Angkringan di antaranya studi yang dilakukan oleh Aminuddin (2000), yaitu studi tentang jaringan sosial dan jaminan sosial pedagang Angkringan di Kelurahan Terban, Kota Yogyakarta, yang mengungkapkan bahwa mekanisme jaringan sosial pedagang Angkringan ini dibangun melalui hubungan-hubungan sosial yang dimulai dari desa dan terus berlangsung hingga daerah tujuan migrasi tersebut. Jaringan sosial yang dilakukan melalui interaksi dan pertukaran sosial (social exchange) itu, kemudian menciptakan hubungan timbal-balik antara pedagang tersebut, yang akan menghasilkan solidaritas sosial serta resiprositas di antara mereka hingga terciptanya hubungan patronase (patron-client) antara pedagang dengan juragan (bos). Mekanisme solidaritas sosial, resiprositas dan patronase pedagang Angkringan tersebut sebagai upaya untuk memberikan jaminan-jaminan sosial
3
(social security) dan penciptaan mekanisme jaminan sosial ini merupakan bagian dari strategi survival bagi pedagang itu sendiri. Penelitian Angkringan selanjutnya yang dilakukan oleh Novindriarti (2012) yang berjudul Migration and Social Networks on Livelihood, A Study of Angkringan Seller in Yogyakarta City, yang mengungkapkan bahwa pada umumnya responden memutuskan untuk migrasi karena kesulitan dalam kehidupan mereka, bencana alam, perubahan dalam komposisi keluarga, pengangguran dan kondisi seasonal. Informasi tentang pekerjaan pertama diperoleh dari saudara, keluarga, teman atau kerabat yang sudah melakukan migrasi terlebih dahulu membuat informasi pekerjaan yang diterima sama dan bekerja pada jenis pekerjaan yang sama. Studi juga menyimpulkan bahwa perbedaan tingkatan modal sosial mempunyai dampak pada mobilitas. Responden semi mandiri cenderung memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk melakukan mobilitas bila dibandingkan dengan responden mandiri dan juragan, karena modal sosial yang mereka miliki. Kualitas dari modal sosial berhubungan dengan relasi/ networks yang dimiliki oleh responden, semakin luas relasi yang dimiliki cenderung meningkatkan level dari modal sosial seseorang. Faktor lain yang berpengaruh untuk peningkatan modal sosial antara lain jangka waktu migrasi dan kerja, serta keadaan keluarga dalam hal berhubungan dengan anggota keluarga yang lain dan kemampuan untuk menabung yang pada akhirnya mendorong untuk melakukan mobilitas. Selain itu modal sosial tidak hanya mendorong mobilitas akan tetapi juga menghalangi mobilitas, hal ini berhubungan dengan ketidakmampuan individu untuk maju dan juga karena masalah modal/ finansial. Pada umumnya pedagang Angkringan merupakan pedagang yang berpindah-pindah atau biasa disebut dengan pedagang kaki lima (PKL). Terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang pedagang kaki lima yang membahas seting fisik dan seting aktivitas, yaitu Gobel, (2012) melakukan penelitian pengaruh setting fisik dan aktivitas pedagang kaki lima (PKL) terhadap linkage kawasan dengan studi kasus : Jl. Soeprapto, Jl. MT. Haryono, Jl. Raja Eyato dan Jl. S. Parman di kawasan perdagangan Kota Gorontalo. Penelitian ini
4
mengungkapkan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh karakteristik setting PKL tipe 2, tipe 4, tipe 5 dan tipe 7 cukup signifikan dalam menaikkan kualitas linkage kawasan sehingga rekomendasi diarahkan kepada upaya menetralisir tekanan yang berlebihan di ruang jalan dengan cara mengganti tipe-tipe yang bermasalah dengan tipe tersebut. Selanjutnya penelitian PKL oleh Kurniadi (2009), karakteristik spasial yang terbentuk dari perilaku teritirialitas di kawasan Pasar Sudirman Pontianak. Mengungkapkan bahwa terdapat tiga kelompok teritorialitas pengguna yaitu kelompok invator, agresor dan penderita yang kemudian secara spasial menimbulkan permasalahan diantaranya efek domino teritorialitas, teritorialitas sebagai “negative place” akibat penumpukan aktivitas dan “produk fisik” teritorialitas menjadi pemicu permasalahan spasial. Kemudian penelitian PKL oleh Jatmiko (2006), faktor-faktor penentu pola penyebaran dan setting pedagang kaki lima, studi kasus kawasan di sekitar Monumen 45, Banjarsari, Surakarta. Penelitian ini mengungkapkan bahwa faktorfaktor yang menentukan pola penyebaran terkait dengan fungsi bangunan, jarak dan sirkulasi (akses dan lalu lintas) serta faktor-faktor yang menentukan setting PKL terkait dengan setting fisik dan setting aktivitas di sekitar Kawasan Monumen 45, Banjarsari, Surakarta. Lebih lanjut penelitian PKL oleh Yogananta (2006), sistem setting pedagang kaki lima di pinggiran Kota Yogyakarta, Jl. Raya Yogya-Wates KM 11 s.d KM 14. Hasil penelitian ini meliputi intensitas dan jenis dagangan kios PKL serta karakter fisik dan tampilan visual kios PKL yang paling memenuhi syarat terhadap kenyamanan, keamanan dan sisi komersialnya, dalam satu arahan sistem setting PKL di pinggiran perkotaan. Kemudian penelitian PKL oleh Pakiding (2003), faktor-faktor penentu pengembangan setting pedagang kaki lima di kawasan komersial Jl. Urip Sumoharjo Yogyakarta. Hasil penelitian ini mengungkapkan terdapat enam pola setting pedagang kaki lima dan sirkulasi pejalan kaki pada pagi dan siang, serta empat pola pedagang kaki lima dan sirkulasi pejalan kaki pada malam hari, selain
5
itu juga terdapat tiga pola pedagang kaki lima tidak menggunakan dinding pembatas dan sirkulasi pejalan kakinya. Terdapat faktor-faktor penentu seting pedagang kaki lima di kawasan Jl. Urip Sumoharjo di antaranya pencapaian (accessibility), kemenarikan (attractivity), kelengkapan (amenities), waktu (time), pengguna ruang sirkulasi, kebutuhan pengunjung, kebutuhan pedagang kaki lima, ruang yang digunakan, posisi, dan rasio lebar (dimension). Selanjutnya penelitian PKL oleh Eko Wahyu Ariyadi (2003), kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhnya pedagang kaki lima di suatu kawasan dengan studi kasus kawasan Monumen Perjuangan 45, Banjarsari, Surakarta. Hasil dari penelitian mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang kuat memberikan pengaruh adalah (i) adanya peran politisi, (ii) implementasi kebijakan pengelolaan ruang dan pedagang kaki lima yang lemah, (iii) letak lokasi, (iv) sistem kekerabatan di lingkungan pedagang kaki lima. Faktor-faktor ini mempengaruhi pertumbuhan pedagang kaki lima yakni berupa perkembangan jumlah pedagang, perkembangan spasialnya, tingkat permanensi bangunan kios, jenis ruang yang ditempati, luas lahan yang dipakai dan interaksi komunitas pedagang kakilima kawasan Monumen Perjuangan 45, Banjarsari, Surakarta. Hal ini senada dengan pendapat Laurens (2004), yang mengungkapkan bahwa pada dasarnya lingkungan itu sendiri sangat kaya dengan affordances, namun tidak semua affordances dapat digunakan dan perangkat affordance dalam suatu lingkungan yang dipakai oleh manusia tertentu bergantung karakteristik budaya, nilai, dan kebutuhan individunya.
6
Tabel I.1. Penelitian Angkringan dan PKL
2015
Sumber : Berbagai sumber, 2013
7
Dilihat dari tabel di atas, penelitian yang membahas khusus tentang Angkringan masih mencakup aspek jaringan sosial antar pedagang dan aspek alasan dan faktor migrasi pedagang Angkringan yang datang ke Yogyakarta. Sedangkan penelitian dari sudut pandang aspek setting fisik dan setting aktivitas pedagang kaki lima (termasuk di dalamnya pedagang Angkringan) juga telah banyak dilakukan, yang rata-rata berfokus pada pencarian pengaruh suatu setting fisik terhadap tumbuh dan berkembangnya serta persebaran PKL untuk itulah diperlukan penelitian tentang pedagang Angkringan dengan melihat dari sudut pandang yang lain. Penelitian mengenai lingkungan sebagai ruang (space), selama ini dikembangkan melalui beberapa pendekatan yang berbeda, di antaranya: (1) pendekatan ekologis, (ecological approach) yang menekankan pada tinjauan ruang sebagai kesatuan ekosistem, dan melihat komponen-komponen ruang saling terkait dan berpengaruh secara mekanis. (2) pendekatan fungsional dan ekonomi (functional economical approach), yang menekankan pada ruang sebagai wadah berbagai kegiatan dengan melihat jarak atau lokasi menjadi penting. (3) pendekatan sosial-politik (socio-political approach) yang menekankan pada aspek “penguasaan” ruang, pendekatan ini melihat ruang tidak saja sebagai sarana produksi akan tetapi sebagai sarana untuk mengakumulasi power. (4) pendekatan seting perilaku (behaviour setting), yang menekankan pada interaksi antara manusia dan lingkungannya (Haryadi dan Setiawan, 2010). Seperti telah disebutkan bahwa penelitian sebelumnya yang khusus membahas Angkringan di antaranya, Aminuddin (2000) membahas tentang jaringan sosial dan permodalan Angkringan dengan lokasi di Kelurahan Terban, dan Novindriarti (2012), membahas jaringan sosial dan migrasi Angkringan khusus yang berasal dari Klaten dengan lokasi di Kota Yogyakarta. Selanjutnya telah disebutkan juga bahwa Angkringan terkenal sebagai tempat yang egaliter karena bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan strata sosial, suku, agama dan ras. Selain itu Angkringan juga telah dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi salah satu daya tarik wisata kuliner di Kota Yogyakarta,
8
daripada kota asalnya. Hal itu menjadi sesuatu yang menarik untuk melihat lebih dalam bagaimana kompleksnya perilaku manusia yang harus diwadahi oleh sebuah seting Angkringan (behaviour setting). Barker (1968) memakai istilah behaviour-setting untuk menjelaskan tentang kombinasi stabil antara aktifitas/ perilaku dan milieu. Setiap orang atau kelompok pengunjung akan berperilaku berbeda-beda karena masing-masing orang mempunyai peran yang berbeda-beda, berarti bahwa sebuah behaviour setting memiliki struktur internal sendiri. Sebuah behaviour setting dibedakan berdasarkan siapa yang memegang kendali aktivitas. Barker (1968) menamakan daerah yang digunakan oleh pengendali atau pemegang kontrol tersebut sebagai performance zone, namun tidak semua tatanan mempunyai performance zone atau tidak semua performance zone dibedakan desainnya secara arsitektural. I.2 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini mendeskripsikan perilaku (standing pattern of behaviour) dan lingkungan (circumjacent milieu) dari pedagang dan pembeli Angkringan (1). Setelah mengetahui dan memahami standing pattern of behaviour dan milieu dari Angkringan, maka selanjutnya menganalisis standing pattern of behaviour, circumjacent milieu dan waktu untuk mengetahui bagaimana synomorphy terjadi sehingga terbentuklah behaviour setting di Angkringan (2).
Gambar 1.1. Fokus Penelitian Sumber : disarikan oleh Peneliti, 2013
9
I.3 Masalah Penelitian Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian/ research questions, yaitu : 1. Bagaimana karakteristik standing pattern of behaviour dan circumjacent milieu di Angkringan? 2. Bagaimana synomorphy yang terjadi, sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan?
I.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pola perilaku berulang (standing pattern of behaviour) dan circumjacent milieu di Angkringan, sehingga diketahui seting-perilaku (behaviour setting) yang terjadi pada setiap Angkringan. Selanjutnya setelah mengetahui karakteristik pola perilaku yang berulang dan milieu Angkringan, maka tahap selanjutnya mengetahui synomorphy yang terjadi sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan. Selain itu dengan penelitian ini seorang Arsitek dapat mengenal dan memahami sistem sosial dari dalam setting terkecil, dalam arti melihat pola-pola perilaku alami (purely behaviour) yang sistematis ditunjukkan oleh pedagang dan pengunjung di tempat-tempat tertentu. Sehingga tujuan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Mengetahui karakteristik standing pattern of behaviour dan circumjacent milieu di Angkringan. 2. Mengetahui synomorphy yang terjadi, sehingga terbentuk behaviour setting di Angkringan.
10
I.5 Manfaat Penelitian Secara spesifik manfaat penelitian adalah : 1. Penelitian ini dapat mengetahui masyarakat atau individu dan bentuk lingkungan yang mempengaruhi terbentuknya behaviour setting. 2. Penelitian ini dapat mengetahui sejauh mana interdependensi antara dua entitas (pedagang dan pembeli), yang masing-masing mempunyai atribut untuk menjadi sebuah behaviour setting. 3. Penelitian ini dapat mengetahui seberapa jauh sebuah seting Angkringan mampu melayani kebutuhan berbagai populasi subgroup atau pembelinya. 4. Penelitian ini dapat mengetahui bagaimana sebuah seting Angkringan dapat mempersatukan berbagai minat ke dalam suatu behaviour setting yang terencana dengan baik sehingga kebutuhan penghuni (pembeli) dapat terantisipasi dan terkendali dengan baik. 5. Selain itu manfaat lain penelitian ini, seorang arsitek dapat mengenal sistem sosial dari dalam seting terkecil, dalam arti melihat pola-pola perilaku alami (purely behaviour) yang sistematis ditunjukkan oleh pedagang dan pengunjung pada seting tertentu.
I.6 Keaslian Penelitian Penelitian tentang “Angkringan sebagai Behaviour Setting” merupakan penelitian yang asli. Perbedaan penelitian ini dapat dilihat dari uraian beberapa penelitian yang terkait, sebagai berikut : (Tabel 1.2)
11
Tabel 1.2. Kategori Penelitian
2015
Sumber : Berbagai sumber, 2013
12
I.7 Batasan Penelitian Akibat dari lingkup penelitian yang cukup luas, maka dibutuhkan beberapa batasan dalam penelitian. Batasan tersebut diharapkan penelitian ini lebih terfokus dan menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Di samping itu, dengan adanya batasan ini diharapkan dapat membuat persepsi yang sama antara peneliti dan pembaca mengenai hal-hal yang akan diteliti. Batasan dalam penelitian ini, diantaranya : a. Penelitian ini berfokus pada kajian seting-perilaku di dalam seting Angkringan, tidak membahas posisi seting Angkringan terhadap lingkungan. b. Objek Angkringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angkringan dengan tipe gerobak, baik beroda maupun tidak beroda. c. Objek Angkringan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Angkringan dengan lokasi tipe I. Hasil grand tour menemukan terdapat kurang lebih 81 Angkringan yang tersebar di seluruh wilayah Kelurahan Condongcatur, Yogyakarta dan ditemukan berbagai variasi letak Angkringan, ada yang terletak di trotoar (jalur pedestrian) jalan memanfaatkan pagar, berada di belakang pagar, di tengah halaman/ tanah kosong, kemudian naik ke teras bangunan dan bahkan ada Angkringan yang masuk ke dalam bangunan. d. Lokasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Kelurahan Condongcatur, Yogyakarta. Kelurahan Condongcatur memiliki kekhasan tersendiri, yang mana Kelurahan Condongcatur terdiri dari 19 Dusun dan dipisah oleh ring road Kota Yogyakarta, selain itu fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, perdagangan) yang cukup lengkap menjadikan Kelurahan Condongcatur berkembang pesat.
13
e. Sesuai dengan fokus penelitian dalam proses pencarian data dibatasi hanya pada informan yang berada di seting masing-masing Angkringan. Sehingga informan yang berada atau ke luar dari setting Angkringan tidak dianggap sebagai informan, sesuai dengan ungkapan Laurens (2004:181) bahwa “batas suatu behaviour setting dimana perilaku tersebut berhenti.”
I.8 Kerangka Pikir Penelitian Berikut adalah kerangka pikir penelitian yang digunakan sebagai alur berpikir dalam kegiatan penelitian ini: (Gambar : 1.2)
14
Gambar 1.2. Kerangka Pikir Penelitian Sumber : Analisis, 2013
15