1
BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan faedah penelitian. Motivasi yang mendorong dilakukannya penelitian dengan topik: “Asesmen peran informasi geospasial dalam proses boundary making dan sengketa batas daerah pada era otonomi daerah di Indonesia” adalah keinginan untuk mengeksplorasi lebih dalam peran dan kontribusi disiplin ilmuTeknik Geodesi dan Geomatika dalam penetapan dan penegasan batas wilayah, terutama karena sering terjadinya sengketa batas daerah dalam kegiatan penegasan batas daerah pada era otonomi daerah yang luasdi Indonesia. Asesmen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi. Hasil asesmen diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk meminimalkan terjadinya sengketa batas daerah di masa mendatang.
I.1. Latar belakang Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 melahirkan era Reformasi. Era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1999 telah mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari yang selama Orde Baru (1966-1998) sangat didominasi dengan pendekatan sentralistik menuju ke desentralisasi yang lebih luas (Hariyono, 2013). Pada era reformasi ini lahirlah satu paket undangundang otonomi daerah yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya paket undang-undang tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah (OTDA) yang lebih luas di Indonesia (Suyanto, 2007). Sejak berlakunya paket undang-undang tersebut,daerah mempunyai peluang yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 yang kemudian
2
diganti dengan UU No.32 tahun 2004 dan diganti lagi dengan UU No.23 tahun 2014, hanya ada enam kewenangan yang tidak diberikan ke daerah yaitu bidangbidang: (1) politik luar negeri, (2)fiskal dan moneter, (3) pertahanan, (4) keamanan, (5) hukum dan (6) keagamaan. Dengan demikian, semenjak era OTDA yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan era sebelumnya. Dalam ilmu politik, pelimpahan kewenangan kepada daerah dikenal sebagai asas otonomi daerah yang merupakan bentuk kongkrit dari penyelenggaraan pemerintahan dengan asas desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi) (Imawan, 2007). Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola wilayahnya menciptakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah daerah. Salah satu pemanfaatan peluang tersebut adalah melakukan pemekaran wilayah, sehingga pada era OTDA yang luas banyak muncul daerah otonom baru (DOB) hasil pemekaran. Kebijakan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan kebijakan moratorium pemekaran tahun 2009) telah menghasilkan 205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Penelitian Decentralization Support Facility (2007) menyimpulkan ada berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran, yaitu: faktor kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan publik dan tidak terakomodasinya representasi politik. Faktor penyebab pemekaran lainnya yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Penentuan DAU memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan masyarakat dan potensi ekonomi daerah (Salamm, 2007). Setiap pemekaran wilayah, sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah yang luas, pada dasarnya membawa implikasi dan konsekuensi yang luas sebagai akibat adanya perubahan-perubahan seperti: struktur pemerintahan, anggaran belanja pemerintah, batas wilayah dan luas wilayah, nama daerah, pembagian sumber penerimaan dan pendapatan daerah dengan daerah induk (Chalid, 2005).
3
Dalam hal batas wilayah, konsekuensi dari terjadinya pemekaran wilayah, antara lain perlunya penataan kembali batas wilayah daerah otonom baik daerah induk maupun DOB hasil pemekaran. Batas wilayah daerah otonom (provinsi dan kabupaten/kota) di Indonesia selanjutnya disebut batas daerah. Merujuk pada teori batas wilayah menurut Jones (1945), penataan batas daerah dapat dimasukan dalam terminologi boundary making yang memiliki pengertian sebagai suatu proses mewujudkan adanya garis batas wilayah administrasi daerah otonom. Dua tahapan boundary making yang sangat penting adalah penetapan (delimitation) dan penegasan (demarcation) (Donaldson dan Williams, 2008). Sebagai suatu proses, boundary making memiliki karakteristik yang sistematik dan memiliki tiga aspek yaitu aspek politik, hukum dan teknis (geospasial) (Jones, 1945; Srebro dan Shoshany, 2013). Penerapan azaz desentralisasi sebenarnya sudah diadopsi dalam sistem pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan yaitu dengan diundangkan lima Undang-undang (UU) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sebagai dasar untuk pelimpahan kewenangan dan pembagian wilayah, yaitu: (1) UU No.1 tahun 1945, (2) UU No.22 tahun 1948, (3) UU No.1 tahun 1957, (4) UU No.18 tahun 1965 dan (5) UU No.5 tahun 1974 (Suyanto, 2007). Namun dalam lima undangundang tersebut kontrol pemerintah pusat masih sangat kuat sehingga otonomi daerah hanya bersifat desentralisasi administratif belaka. Daerah tidak lebih dari hanya kepanjangan tangan untuk melaksanakan program-program pemerintah pusat, sementara kebijakan yang bersifat politik tetap diatur oleh pemerintah pusat (Soeaidy, 2007). Akibat dari kewenangan daerah yang masih terbatas, maka batas daerah yang berfungsi sebagai pemisah kewenangan antar daerah bukan merupakan faktor determinan sehingga relatif sedikit terjadi permasalahan (sengketa) yang terkait batas daerah (Kristiyono, 2008). Berbeda dalam hal memaknai batas daerah pada era sebelum Reformasi, dalam era OTDA yang luas, batas daerah merupakan salah satu faktor determinan bagi setiap daerah, karena keberadaan garis batas menentukan batas kewenangan pengelolaan wilayah dan kewenangan pengelolaan sumberdaya yang ada di daerah tersebut.
4
Sebagai ilustrasi bahwa pada era OTDA yang luas batas daerah menjadi faktor determinan, adalah merujuk pada UU No.32 tahun 2004 pasal 21 ayat (f) yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2014 pasal 289 ayat (4), bahwa Daerah mendapatkan dana bagi hasil (DBH) dari pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang berada di Daerah. Hak DBH diatur pada pasal 14 ayat (e) UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa DBH penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan komposisi 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah. Demikian juga dalam hal DBH penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan (pasal 14 ayat f), dibagi dengan komposisi 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah. Berdasarkan pasal 14 UU No.33 tahun 2004 seperti diuraikan sebelumnya, faktor alokasi DBH memicu setiap daerah menuntut kepastian posisi keberadaan SDA yang berarti menuntut ketegasan letak batas di lapangan, sehingga ketegasan letak batas menjadi faktor determinan yang menentukan kepastian daerah sebagai penghasil SDA (Zainie, 2007). Secara umum, pentingnya kejelasan dan ketegasan batas daerah adalah: (1) agar ada kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan kewenangan administrasi pemerintahan daerah, (2) untuk menghindari tumpang tindih tata ruang daerah, (3) efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, (4)
kejelasan luas wilayah, (5) kejelasan dalam hal administrasi kependudukan, (6) kejelasan dalam hal daftar pemilih (Pemilu, Pilkada), (7) kejelasan dalam hal administrasi pertanahan, (8) kejelasan dalam hal perijinan pengelolaan SDA (Subowo, 2009). Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah (Subowo, 2009). Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses pembentukan DOB. Salah satu proses dalam pembentukan DOB tersebut adalah proses boundary making untuk menetapkan batas daerah yang dibentuk, sehingga proses boundary making batas daerah di Indonesia adalah merupakan bagian dari
5
proses besar pemekaran wilayah yang berdimensi politik, hukum, ekonomi, sosial dan teknispemetaan. Secara praktis, dalam proses membagi-bagi permukaan bumi atas dasar satuan politik memerlukan ketersediaan IG khususnya peta, sehingga sering dikatakan bahwa peta merupakan infrastruktur dalam proses boundary making (Adler, 1995). Dalam hal peta, di Indonesia sejarah pemetaan sudah berlangsung cukup lama. Peta paling awal di Indonesia diperkirakan dibuat pada abad ke-13. Kegiatan survei pemetaan di Indonesia pada awalnya dilakukan pada masa kolonial Belanda yang menduduki Indonesia selama kurang lebih 350 tahun. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1969 didirikan lembaga Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) yang bertugas membangun sistem koordinasi survei dan pemetaan di Indonesia (Ikawati dan Setiawati, 2009). Pada awal pembentukan Bakosurtanal, baru sekitar 15 % dari wilayah daratan Indonesia yang dibuat peta topografi skala 1: 50.000 yang terkontrol secara geodetik dan hanya sekitar 26 % peta topografi kompilasi skala 1:100.000 dan 1:500.000, sedangkan sisanya berupa peta-peta sketsa. Dalam waktu dua dasa warsa setelah berdirinya Bakosurtanal, kegiatan survei dan pemetaan yang dilakukan Bakosurtanal terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi geospasial (fotogrametri, satelit penginderaan jauh dan teknologi penentuan posisi GPS) sehingga kegiatan survei pemetaan dapat dilakukan lebih cepat, cakupan lebih luas serta skala yang lebih besar (Ikawati dan Setiawati, 2009). Sampai tahun 2008, cakupan peta rupabumi Indonesia (peta RBI) skala 1:250.000 telah mencapai seluruh wilayah Indonesia, sedangkan wilayah lain pada umumnya sudah dipetakan pada skala 1:100.000 sampai 1:25.000 (Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi BIG, 2013). Peta RBI yang diproduksi oleh Bakosurtanal yang kemudian pada tahun 2011 berganti nama dimenjadi Badan Informasi Geospasial (BIG), digunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk keperluan boundary making dalam pembentukan DOB (Khafid, 2013). Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Dalam hal pemekaran wilayah yang didasarkan atas UU No.22 tahun 1999, pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.129 tahun 2000
6
tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Setelah UU No.22 tahun 1999 diganti dengan UU No.32 tahun 2004, maka PP No129 tahun 2000 juga diganti dengan PP No.78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Kedua PP tersebut menjadi pedoman dan kerangka kerja dalam pembentukan daerah. Setelah DOB terbentuk dengan disahkannya Undang-undang tentang Pembentukan Daerah (UUPD), pada setiap UUPD mengamanatkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk melakukan penegasan batas secara pasti di lapangan. Untuk pelaksanaan penegasan batas daerah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan suatu pedoman teknis penegasan batas daerah. Pada awalnya pedoman teknis tersebut berupa surat edaran Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota yaitu surat edaran No.126/2742/SJ tanggal 27 November 2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang kemudian pada tahun 2012 diganti lagi dengan Permendagri No.76 tahun 2012(Subowo, 2012). Sesuai perkembangan politik, ekonomi dan budaya masyarakat dunia maupun lokal suatu negara dalam memaknai batas, maka sering terjadi konflik atau sengketa terkait batas wilayah (Prescott, 2010). Di Indonesia seiring dengan perkembangan politik otonomi daerah seperti telah diuraikan sebelumnya, banyak terjadi sengketa batas mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai desa (Kausar, 2009). Penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan sengketa terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah (Harmantyo, 2007). Di samping itu, sengketa batas daerah juga dipicu karena daerah kabupaten/kota sering menterjemahkan otonomi sebagai kewenangan untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak banyaknya melalui pajak dan retribusi serta eksploitasi SDA dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang dan generasi mendatang (Dwiyanto, dkk., 2003). Sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat ada 82 kasus sengketa batas daerah yang belum dapat diselesaikan. Bahkan 449 segmen dari 640 segmen batas daerah
7
yang belum ditegaskan diduga memiliki potensi sengketabatas (Kemendagri, 2012). Ada empat aspek penyebab sengketa batas daerah yaitu: (1) aspek yuridis, (2) aspek ekonomi, (3) aspek politik-pemerintahan dan (4) aspek sosio-kultural. Permasalahan aspek yuridis adalah terkait dengan ketidaksinkronan antara UUPD yang satu dengan lainnya, ketidaksinkronan antara batang tubuh dengan lampirannya terutama peta lampiran pada UUPD dan permasalahan kualitas peta sebagai infrastruktur yang digunakan dalam proses pembentukan DOB. Permasalahan aspek ekonomi pada dasarnya adalah berkaitan dengan masalah pembagian DAU dan DBH sumberdaya alam (kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan
minyak
bumi,
pertambangan
gas
bumi
dan
pertambangan panas bumi) (Mustofa, 2010). Kedua parameter tersebut sangat dipengaruhi oleh letak garis batas daerah di lapangan yang menentukan kepastian suatu daerah sebagai daerah penghasil. Aspek ketiga penyebab sengketa batas daerah adalah aspek politikpemerintahan. Aspek ini berkaitan dengan sumberdaya politik di daerah yang diperselisihkan, seperti jumlah pemilih dan perolehan suara bagi anggauta DPRD provinsi/kabupaten/kota dan adanya duplikasi pelayanan pemerintahan, jarak ke pusat pelayanan pemerintahan, atau keinginan suatu wilayah untuk bergabung dengan/dilayani oleh pemerintah daerah yang berdekatan yang pada akhirnya bermuara pada sistem keterwakilan daerah. Aspek keempat, yaitu sosio-kultural, utamanya adalah terkait adanya persepsi di masyarakat bahwa garis batas daerah akan memisahkan etnis dan hilangnya hak atas tanah ulayat/tanah adat, disamping adanya permasalahan kecemburuan sosial, isu pendatang dan penduduk asli, potensi sejarah riwayat konflik yang berkepanjangan. Ke-empat aspek permasalahan tersebut dapat terjadi secara kombinasi antara satu aspek dengan lainnya atau kombinasi dari keseluruhan aspek (Subowo, 2009). Berdasarkan fakta adanya berbagai permasalahan besar pemekaran wilayah yang timbul selama pelaksanaan otonomi daerah, pada tanggal 3 September 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam Sidang Paripurna DPR-RI mengeluarkan kebijakan Moratorium (penghentian sementara) pembentukan DOB. Sebagai tindak lanjut kebijakan tersebut, Pemerintah telah menyusun suatu
8
Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia untuk tahun 2010 sampai dengan tahun 2025. Desartada ini telah disetujui dalam Rapat Kerja antara Pemerintah dan Komisi II DPR-RI pada tanggal 21 Sepetember 2010 (Wasistiono, dkk., 2010). Salah satu dimensi fundamental yang digunakan dalam menyusun kerangka pikir Desartada adalah dimensi geografis. Dimensi geografis menggambarkan bahwa setiap daerah otonomi berdiri di atas sebuah wilayah geografis tertentu yang memenuhi syarat, baik dilihat kejelasan cakupan wilayah dan batas-batasnya pada saat daerah dibentuk maupun proyeksinya kedepan untuk menampung dan mendukung aktivitas manusia yang ada di atasnya. Dimensi geografis tersebut harus tercermin dalam suatu peta (informasi geospasial) baik peta dasar maupun peta tematik wilayah. Untuk membentuk suatu daerah otonom provinsi, kabupaten dan kota diperlukan syarat minimum tentang luas dan karakteristik geografis (Wasistiono, dkk., 2010). Salah satu tujuan kebijakan Desartada adalah merumuskan prosedur baru bagi pembentukan daerah otonom untuk proses pembentukan DOB di masa depan (Wasistiono, dkk., 2010). Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan evaluasi secara menyeluruh, sungguh-sungguh dan konsisten terhadap hasil-hasil pemekaran daerah selama tahun 1999 sampai dengan tahun 2009. Dalam hal ini melakukan evaluasi menyeluruh berarti melakukan asesmen, yaitu melakukan taksiran yang bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik (menyeluruh) yang digunakan untuk menyusun suatu program yang dibutuhkan dan bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif (Banta, 1996). Salah satu aspek yang perlu dievaluasi adalah informasi geospasial karena secara teori dan praktek, informasi geospasial (peta) merupakan infrastruktur penting dalam boundary making dan bila ketersediaannya tidak memadai bisa berkontribusi menjadi penyebab sengketa (Blake, 1995). Disamping itu, peta juga merupakan bukti yang memainkan peranan penting dalam menjawab pertanyaanpertanyaan mengenai letak garis batas khususnya di proses peradilan (Akweenda, 1990).
9
Beberapa contoh kasus sengketa batas daerah di Indonesia yang muncul pada era otonomi daerah yang luas yang bersumber dari peta adalah kasus sengketa batas daerah: (1) antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar (Kemendagri, 2012), (2) antara Kabupaten Magelang dengan Kota Magelang (Kristiyono, 2008), (3) antara Kabupaten Nunukan dengan Kabupaten Tana Tidung (Kemendagri, 2012), antara Kabupaten Tebodengan Kabupaten Bungo (Nurbardi, 2008), (4) sengketa batas antara Provinsi Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala (Sumaryo, 2012) dan sengketa batas antara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau di kwasan sumur minyak Langgak (LPPM-UIR, 2014).
I.2.Perumusan masalah Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah. Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses pembentukan DOB. Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam PP No.129 tahun 2000 tentangPersyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP No.78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah.
Setelah DOB dibentuk dan batas daerah ditetapkan melalui Undang-undang Pembentukan Daerah (UUPD), Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri diberi amanat oleh UUPD untuk melaksanakan penegasan batas daerah. Pelaksanaannya berpedoman pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Secara teori dan empirik, dalam proses penetapan diperlukan IG sebagai infrastruktur untuk memilih letak dan mendefinisikan batas wilayah (Jones, 1945). Di sisi lain, dalam teori diagnosis penyebab konflik Moore (1986) disebutkan bahwa data/informasi dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa. Dalam proses penegasan batas daerah di Indonesia, fakta yang ada menunujukkan banyak terjadi sengketa batas daerah. Dalam hal sengketa batas, secara teori dan empirik,
10
IG dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa batas wilayah (Blake, 1995; Prescott, 1987). Berdasar permasalahan yang telah diuraikan, sangat dimungkinkan kerangka kerja yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan maupun kualitas hasil penetapan. Selain itu dimungkinkan juga regulasi yang mengatur pelaksanaan penegasan batas daerah (Permendagri No.1 tahun 2006) juga berpengaruh terhadap pelaksanaan penegasan batas daerah. Tidak tertutup kemungkinan, keduanya berdampak lanjutan terhadap terjadinya sengketa batas daerah. Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab sehubungan dengan permasalahan penelitian tersebut adalah: 1) Apakah regulasi PP No.129 tahun 2000, PP N0.78 tahun 2007 dan Permendagri No.1 tahun 2006 berpengaruh terhadap kerangka kerja pelaksanaan dan hasil penetapan dan penegasan batas daerah pada sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ? 2) Bagaimana kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaannya untuk mendukung penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB pada sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ? 3) Bagaimana penggunaan IG dalam proses, dan sebagai luaran (output) dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang lauas di Indonesia? 4) Apakah IG berkontribusi terhadap munculnya sengketa batas daerah pada penegasan batas daerah di era otonomi daerah yang luas di Indonesia? Untuk
dapat
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
perlu
dilakukan
identifikasi terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah, identifikasi terhadap ketersediaan IG yang digunakan dan dihasilkan dalam proses penetapan batas daerah, evaluasi terhadap penggunaan IG dalam proses penetapan batas daerah dan analisis kontribusi IG dalam terjadinya sengketa batas daerah pada sepuluh tahun era otonomi daerah di Indonesia.
11
Mengingat kompleksitas yang tinggi dalam proses boundary making batas daerah yang terkait dengan era dan proses politik serta perkembangan informasi geospasial, maka penelitian ini hanya difokuskan pada: 1. Era otonomi daerah dibatasi pada periode dimulainya otonomi daerah tahun 1999 sampai dikeluarkannya kebijakan moratorium pemekaran wilayah oleh Pemerintah dan DPR tahun 2009. 2. Obyek penelitianyang dilakukan dalam penelitian ini hanya berfokus pada batas daerah yang secara geografis terletak di daratdengan pertimbangan : a. batas daerah di darat bukan batas imajiner sehingga dapat dilakukan demarkasi di lapangan dan secara fisik dapat dipasang tanda-tanda batas yang dapat dikenali di lapangan, b. keberadaan batas wilayah di darat langsung bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya, c. fakta yang ada menunjukkan bahwa sengketa batas daerah lebih banyak terjadi pada batas daerah di darat, d. batas laut daerah tidak dikenal sebelumnya. 3. Asesmen peran IGpada penelitian ini difokuskan kepada peta dasar yang digunakan dalam penetapan dan peta tematik hasil penetapan yaitu peta wilayah administrasi yang merupakan lampiran UUPD. Hal ini dilakukan dengan mendasarkan pada pendapat Jones (1945) bahwa tahapan delimitasi (penetapan) merupakan tahapan yang sangat krusial dan harus disiapkan secara sungguh-sungguh karena hasilnya mempengaruhi tahap penagasan (demarkasi). 4. Dokumen UUPD beserta peta wilayah administrasi lampiran UUPD yang diteliti adalah UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua PP tersebut berisi berbagai persyaratan pembentukan DOB termasuk persyaratan IG.
12
I.3. Keaslian penelitian Untuk memberi gambaran perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya, terlebih dahulu diilustrasikan hubungan antara ranah keilmuan boundary making, geospasial, dan konflik. Hubungan tersebut dapat digambarkan dalam bentuk tiga lingkaran yang berpotongan seperti diilustrasikan pada Gambar 1.1. Dari perpotongan tiga lingkaran tersebut terbentuksuatu area permasalahan yang dapat diteliti dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.
Penelitian sebelumnya fokus pada aspek boundary making
Boundary making
Penelitian sebelumn ya fokus pada aspek konflik/se ngketa
Konflik
Area permasalahan yang dapat diteliti
Geospasial
Penelitian yang dilakukan fokus pada informasi geospa sial
Asesmen Peran Informasi Geospasial dalam Proses BoundaryMaking dan Sengketa Batas Daerah pada Era Otonomi Daerah di Indonesia
Gambar 1.1.Obyek penelitian pada area permasalahan dari hubungan antararanah keilmuan boundary making, geospasial dan konflik/sengketa Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk batas daerah dan batas wilayah internasional disajikan pada Tabel 1.1.
13
Tabel 1.1. Penelitian batas daerah dan batas internasional No 1
Peneliti Welfizar
Tahun Judul 2004 Analisis Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam.
Metode Deskriptif
2
Mursyi dyansah
2007
Konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan.
Deskriptif dengan analisis segitiga dimensi konflik.
3
Kristiyo no
2008
Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang, Analisis Terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya.
Deskriptif
Hasil Sengketa batas disebabkan adanya penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No.84 tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam namun aspirasi tersebut tidak diakomodasi oleh pemerintah. Faktor penyebab konflik: (1) struktural,(2) perbedaan pendapat penggunaan peta dasar sebagai acuan; (3) perubahan nilai kognitif masyarakat Dayak tentang tapal batas. Penyebab konflik, faktor pemicu konflik dan faktor akselator yang menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti. Dampak konflik berupa dualisme kewenangan.
14
Tabel 1.1 lanjutan No 4
Peneliti Siswani
Tahun Judul 2008 Problem Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai
Metode Pendekata n yuridis empiris dan historis
5
Nurbardi
2008
Konflik Batas Wilayah di Era Otonomi Daerah dan Upaya Penyelesaiannya , Studi Kasus Konflik Batas Wilayah antara Kabupaten Tebo Dengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi
Deskriptif dengan pendekata n yuridis sosiologis
6
Harman tyo
2007
Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasiny a di Indonesia
Komparati f dan deskriptif kualitatif
Hasil Penyebab sengketa: (1) Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur menolak bergabung dengan kabupaten Serdang Bedagai, (2) Kabupaten Deli Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. Penyebab konflik batas wilayah: faktor hukum dan faktor non hukum. Penyelesain hukum diusulkan melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Non Hukum melalui musyawarah, kerjasama antar daerah, sosial budaya. (1) Jumlah ideal DOB di Indonesia, (2) diproyeksikan 2760 potensi konflik akibat pemekaran, (3) garis batas darat potensial terjadi konflik keruangan.
15
Tabel 1.1. lanjutan No.
Peneliti
Tahun
Judul
Metode
Hasil
7
Al-Sayel, dkk.
2009
International Boundary MakingThree Case Studies
Deskriptif, analisis komparatif
8
Fatile
2011
Management of Inter and Intra States Boundary Conflicts in Nigeria an Empirical Approach
Deskriptif, pendekatan empiris
Pada tiga kasus demarkasi batas internasional, yaitu Indonesia- Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Saudi- Yaman, citra satelit berperan penting untuk rekonstruksi batas pada tahap demarkasi. Dokumentasi hasil boundary making pada tiga kasus boundary making kurang sesuai standar spesifikasi ISO seperti ISO 19131 untuk standard spesifikasi produk, ISO 19115 untuk standard metadata. Mencatat dua instrumen utama untuk pengelolaan batas wilayah federal dan batas wilayah lokal di Negeria, yaitu: instrumen hukum dan instrumen teknis berupa hasil survei pemetaan dari kegiatan demarkasi.
9
Mahendra
2011
Harmonisasi Hukum Pengembanga n Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial
Deskriptif, pendekatan empiris dari aspek hukum, kelembaga an dan teknologi
(1) Perlu UU khusus yang mengatur batas wilayah NKRI, (2) Kawasan perbatasan NKRI terlalu banyak institusi yang mengelola sehingga tidak fokus, diusulkan satu lembaga, (3) Dalam pengelolaan perbatasan NKRI perlu berbasis teknologi geospasial.
16
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan seperti pada Tabel 1.1. menunjukkan bahwa penelitian nomer 1 sampai dengan nomer 5 adalah penelitian dengan obyek sengketa dan penelitian nomer 6 sampai dengan nomer 9 adalah penelitian obyek boundary making khususnya pada tahap manajemen kawasan perbatasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejauh ini penelitian yang telah dilakukan, baik batas daerah maupun batas internasional diteliti dari sudut pandang aspek boundary making dan sengketa dengan pendekatan deskriptif. Penelitian yang dilakukan tersebut pada umumnya bertujuan untuk mencari penyebab terjadinya sengketa, memetakan aktor yang berpengaruh dalam sengketa dan kemudian menganalisis dampaknya baik terhadap pemerintah daerah/negara yang bersengketa maupun terhadap kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Dalam penelitian ini, kajian batas wilayah yang dilakukan adalah mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi peran IG di dalam proses boundary making khususnya dalam tahap penetapan dan penegasan batas daerah pada era OTDA yang luas di Indonesia. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini sangat berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada aspek sengketa.
I.4. Tujuan penelitian Berdasar rumusan masalah seperti diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Teridentifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah pada sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia, 2) Teridentifikasi kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaannya untuk mendukung penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB, 3) Diperoleh hasil evaluasi penggunaan IG pada proses dan sebagai luaran (output) dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang luas di Indonesia,
17
4) Diperoleh analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah dalam tahap penegasan batas daerah pada era otonomi daerah yang luas di Indonesia.
I.5. Faedah yang diharapkan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah: 1) Kontribusi bagi perkembangan kajian aplikasi ilmu Geodesi dan Geomatika dalam studi batas wilayah (boundary making) yaitu penguatan peran dan perumusan kebutuhan informasi geospasial untuk penetapan batas daerah otonom di Indonesia ke masa depan, 2) Kontribusi bagi perumusan desain model kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah. Hal ini terkait dengan diundangkannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 32 tahun 2004, 3) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan nasional dalam mengurangi potensi terjadinya sengketa batas daerah.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka. Pada tinjauan pustaka diuraikan tentang perkembangan teori boundary making batas wilayah internasional mulai abad 19 sampai abad 20 dan relevansinya pada abad 21. Dalam tinjauan pustaka juga diberikan gambaran peran dan kontribusi geospasial (IG dan teknologi geospasial) dalam konteks batas wilayah. Selanjutnya ditinjau berbagai kasus sengketa batas wilayah baik batas wilayah internasional sebagai batas kedaulatan antar negara maupun sengketa batas daerah di Indonesia yang merupakan batas wilayah administrasi pengelolaan otonomi pemerintahan.
II.1. Boundary making batas wilayah internasional Dalam sub bab ini diuraikan tentang batas wilayah internasional meliputi perkembangan teori boundary makingdan relevansi teori boundary making untuk abad 21. II.1.1.Perkembangan teori boundary making Sejarah batas wilayah internasional bermula dari zaman kolonial, ketika bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis pada abad ke 16 mulai melakukan alokasi dan kesepakatan terhadap pembagian wilayah secara umum untuk menguasai wilayah yang diduduki. Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu garis yang disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang menentukan lingkaran pengaruh atau ‘spheres of influence’ terhadap wilayah yang dikuasainya (Jones, 1945). Alokasi menghasilkan overlapping area sehingga antar negara kolonial harus melakukan kesepakatan untuk melakukan delimitasi garis batas dan hasil delimitasi garis batas tersebut dituangkan dalam perjanjian (treaty). Pada kemudian hari setelah negara-negara yang dijajah merdeka, garis hasil delimitasi dalam treaty ditetapkan menjadi batas wilayah negara yang merdeka.Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional “uti possidetis juris” bahwa wilayah untuk negara yang baru merdeka adalah mewarisi wilayah negara
19
penjajah yang berkuasa sebelumnya atas satu wilayah tertentu. Batas wilayah negara yang sekarang ada di dunia pada dasarnya merupakan warisan garis batas dari zaman kolonial (Caflisch, 2006). Dari pengalaman empirik praktek penentuan batas internasional kemudian berkembang teori dasar boundary makingmoderen. Menurut Srebro dan Shoshany (2013), teori boundary making moderen yang digunakan dalam praktek batas internasional pada awalnya dibangun secara berturut-turut oleh Curzon (1907) yang bukunya dipublikasikan pertama kali pada tahun 1896, Holdich (1916), Fawcett (1918) dan McMahon (1935). Penulis tersebut adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam berbagai kasus boundary making batas internasional dan kemudian mempublikasikannya. Sebagai catatan bahwa penulis tersebut telah mengenalkan perbedaan istilah yang sangat penting dalam tahapan boundary making yaitu perbedaan antara delimitasi dan demarkasi. Menurut mereka delimitasi merupakan kerja persiapan untuk mendefinisikan garis batas di dalam perjanjian dalam bentuk narasi dengan kalimat atau dalam bentuk gambar di peta, sedangkan demarkasi merupakan kegiatan meletakan garis batas di lapangan setelah perjanjian ditandatangani. Menurut Donaldson dan Williams (2008), publikasi yang dilakukan oleh Lapradelle (1928) dan Jones (1945) merupakan fase kedua perkembangan teori boundary making. Lapradelle (1928) dalam Donaldson dan Williams (2008) dan Srebro dan Shoshany (2013) menjelaskan bahwa boundary making meliputi tiga tahapan, yaitu: preparation, decision dan execution. Kemudian Jones (1945) membagi tahapan boundary making menjadi empat tahap, yaitu: (1) alokasi (allocation),(2) delimitasi (delimitation), (3) demarkasi (demarcation) dan (4) mengadministrasikan batas wilayah (administration). Menurut Jones (1945), alokasi adalah keputusan politik untuk mengalokasi wilayah teritorial, delimitasi merupakan tahap memilih dan mendefinisikan garis batas wilayah di dalam perjanjian yang lebih dominan menyangkut aspek hukum, demarkasi adalah memasang tanda batas di lapangan yang menyangkut aspek teknis survei pemetaan dan administrasi adalah mengadministrasikan batas wilayah. Prescott (1987) menyebutkan bahwa pengertian preparation, decision dan execution yang dikemukakan oleh Lapradelle (1928) sama maknanya dengan allocation,
20
delimitation dan demarcation yang dikemukakan oleh Jones (1945). Tahapan boundary making Jones (1945) oleh Pratt (2006) digambarkan dalam bentuk diagram seperti disajikan pada Gambar 2.1.
ALLOCATION (Alokasi)
DELIMITATION (Delimitisasi)
DEMARCATION (Demarkasi)
ADAMINISTRATION
(Administrasi)
Gambar 2.1. Tahapan boundary making Jones (1945) menurut Pratt (2006) Teori lain yang lebih baru ditulis oleh Nichols (1983) dalam bukunya Tidal Boundary Delimitation yang digunakan untuk boundary making batas wilayah maritim. Buku ini diterbitkan oleh Department of Surveying Engineering, University of New Brunswick, Canada tahun 1983 sebagai laporan penelitian No. 103. Menurut Nichols (1983) proses boundary making batas wilayah maritim disebut delimitation (delimitasi). Delimitasi adalah proses mewujudkan batas wilayah maritim bisa melalui deklarasi, perjanjian atau judicial settlement. Kegiatannya terdiri atas tiga komponen yaitu: pendefinisian (definition), deliniasi (delineation) dan demarkasi (demarcation). Proses delimitasi batas wilayah maritim menurut Nichols (1983) digambarkan pada Gambar 2.2.
21
DELIMITASI
POLITIK- HUKUM
DEFINISI
HUKUM- TEKNIS
DELINIASI
HUKUM
DEMARKASI
SURVEI
Gambar 2.2. Komponen-komponen delimitasi batas wilayah maritim (Nichols, 1983) Dalam perkembangan teori boundary making batas internasional telah terjadi evolusi yang dimulai sejak peletakan dasar-dasar teori boundary making moderen di akhir abab 19 sampai awal abad 21. Pada era pasca kolonial khususnya setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II banyak negara koloni bangsa Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaan. Garis alokasi yang telah didelimitasi warisan kolonial berubah menjadi batas internasional (Caflisch, 2006; Pratt, 2006; Srebro dan Shoshany, 2013). Setelah negara-negara jajahan merdeka, tahapan alokasi dianggap sudah berakhir, tetapi dua tahap penting tetap ada sampai saat ini yaitu delimitasi dan demarkasi. Setelah tahap demarkasi selesai dilakukan, berkembang tahap pemeliharaan (maintenance) dan manajemen perbatasan (border management). Dalam tahap manajemen perbatasan dikelola berbagai bidang meliputi manajemen akses, manajemen keamanan, manajemen lingkungan, manajemen sumberdaya dan manajemen infrastruktur, sehingga tahapan boundary making Jones (1945) pada awal abad 21 telah berkembang seperti digambarkan pada Gambar 2.3. (Pratt, 2011).
22
ALOKASI
AKSES, KEAMANAN, LINGKUNGAN,
DELIMITASI
DEMARKASI
PEMELI HARAAN
MANAJEMEN
SUMBERDAYA,
INFRASTRUK TUR
Gambar 2.3. Pengembangan model boundary making Jones menurut Pratt (2011) Pada era pasca tahun 1989 terlihat fenomena munculnya negara-negara baru di luar konteks dekolonisasi, yaitu negara baru yang dihasilkan dari pembubaran negara federasi Uni Soviet dan Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (SFRY). Akibat pembubaran negara federasi tersebut maka batas wilayah administarsi pada negara federasi berubah menjadi batas internasional melalui perjanjian (treaty) atau kesepakatan (Kolossov, 1992). Penerapan prinsiputi possidetis jurisdalam konteks kolonialdalam situasi non-kolonial masih menjadi kontroversi, tetapi melakukan "upgrade" status bekas batas administrasi internal suatu negara menjadi batas internasional dalam kasus di wilayah SFRY dan Uni Soviet, dalam kenyataannya
tetap diterima oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam konteks batas internasional negara baru hasil pembubaran suatu negara federasi tersebut, secara praktek teori boundary making Jones tetap digunakan sebagai acuan untuk melakukan delimitasi dan demarkasi batas negara-negara baru bekas federasi. Hal ini menunjukkan bahwa delimitasi dan demarkasi sesuai teorinya Jones tetap
23
digunakan dalam melakukan "upgrade" status bekas batas administrasi internal suatu negara menjadi batas internasional (Vadmir, 2010). II.1.2. Relevansi teori boundary making Dalam perkembangan aplikasi teori boundary making, teori Jones (1945) terutama dalam hal kosa kata delimitasi dan demarkasi telah memiliki pengaruh yang kuat dan sangat menonjol dalam praktek maupun dalam hukum internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya keputusan-keputusan oleh Mahkamah
Internasional
dan
Resolusi
PBB
mengenai
batas
wilayah
menggunakan kosa kata delimitasi dan demarkasi. Sebagai contoh dalam keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962 tentang sengketa batas ThailandKamboja dalam memperebutkan Candi Preah Viheardan Resolusi PBB No.687 tahun 1991 tentang pembentukan Komisi Demarkasi Irak-Kuwait (Donaldson dan Williams, 2008). Walaupun teori Jones (1945) telah memiliki pengaruh kuat sejak teori tersebut dipublikasikan dan kemudian diaplikasikan dalam praktek penentuan batas wilayah internasional, namun banyak dipertanyakan relevansi teori tersebut untuk diaplikasikan pada abad 21 terutama terkait dengan adanya pandangan borderless, perkembangan teknologi geospasial dan kegagalan kasus penyelesaian sengketa batas Eritrea-Ethiopia (Donaldson dan Williams, 2008). Oleh sebab itu Donaldson dan Williams (2008) kemudian melakukan analisis terhadap relevansi teori boundary making Jones (1945) untuk diaplikasikan pada abad 21. Hasil penelitian tersebut, kemudian dipublikasikan dalam artikelberjudul: Delimitation and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B Jones’s Boundary Making dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4, 676-700. Beberapa kesimpulan hasil analisis relevansi teori Jones (1945) untuk abad 21 yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) dapat dirangkum sebagai berikut: 1) Tahapan delimitasi dan demarkasi merupakan tahapan yang mendasar di dalam boundary making dan secara praktis masih digunakan sebagai pedoman dalam penentuan batas dan penyelesaian sengketa batas di berbagai belahan dunia. Dalam proses delimitasi, batas harus
24
didefinisikan secara tertulis dalam perjanjian bilateral sehingga delimitasi memiliki aspek legal. Jones dengan tegas menyatakan bahwa delimitasi merupakan proses dua tahap (two-stage process) yaitu memilih garis batas dan mendefinisikan garis batas. Selain itu Jones juga mengingatkan agar dalam pemilihan dan pendefinisan garis batas harus sedapat mungkin mengurangi friksisehingga menghasilkan suatu batas yang memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis antara negara yang berbatasan. 2) Sebagai suatu kerangka kerja yang sistematik, maka Jones (1945) memberikan catatan penting, yaitu: “karena boundary making adalah suatu proses yang berkesinambungan, mulai dari tahap awal alokasi sampai tahapan akhir administrasi, maka kesalahan di suatu tahapan berpengaruh pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu informasi yang benar tentang daerah perbatasan harus diketahui seawal mungkin di dalam proses boundary making”. 3) Pengertian demarkasi menurut Jones tidak sesederhana hanya mencari lokasi untuk memasang pilar seperti yang tertulis dalam perjanjian atau tergambar di peta, namun adalah suatu proses adaptasi dari batas yang sudah didelimitasi dalam perjanjian ke dalam kondisi lokal di area perbatasan. Karena itu para demarkator sebenarnya adalah sebagai penyesuai akhir (the final adjusment) garis batas hasil delimitasi ke kondisi realitas lapangan. Dalam proses demarkasi diperlukan ahli-ahli teknis seperti kartografer, surveyor dan geografer yang sering disebut demarkator. Donaldson dan Williams (2008) memberi catatan bahwa teori boundary making yang ditulis Jones merupakan tonggak sejarah yang sangat penting di dalam mendekatkan aspek-aspek teknis (demarkasi) ke aspek legal (delimitasi). 4) Proses boundary making Jones (1945) pada dasarnya merupakan kegiatan yang memiliki konsep yang bersifat kontraktual (contractual concept), artinya bahwa antara dua negara harus sepakat terhadap suatu
25
garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah terjadi kesepakatan. 5) Pada abad 21 telah terjadi perkembangan teknologi geospasial yang sangat pesat yang sudah berbeda dibanding pada saat teori Jones ditulis tahun 1945. Perkembangan tersebut adalah penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS), teknologi satelit untuk mendapatkan citra (image) dengan resolusi tinggi dan teknologi komputer yang telah membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital. Perubahan tersebut dapat mengubah baik peralatan maupun metode yang digunakan dalam proses delimitasi, demarkasi maupun administrasi batas wilayah. 6) Di bagian akhir analisis yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) menyimpulkan bahwatahap delimitasi dan demarkasi sesuai teori Jones (1945) tetap merupakan panduan yang ideal dalam boundary making di masa depan dan merupakan kerangka yang sangat baik untuk melakukan analisis terhadap sengketa batas wilayah yang diakibatkan kesalahan dan kekurangan informasi perbatasan.Walaupun abad 21 merupakan era globalisasi khususnya dalam perdagangan dan arus informasi yang memunculkan pandangan borderless, namun keberadaan batas negara tetap penting untuk menandai batas kedaulatan dan hukum suatu negara dengan negara lain. Berdasarkan tinjauan pustaka seperti yang telah diuraikan sebelumnya, disimpulkan ada tiga teori boundary making batas wilayah internasional yang menonjol, yaitu teori yang dikemukakan oleh Lapradelle (1928), Jones (1945) dan Nichols (1983). Relevansi hasil tinjauan pustaka dengan penelitian yang dilakukan dapat diperoleh dari jawaban atas dua pertanyaan berikut ini. Pertama, dapatkan teori boundary making batas internasional digunakan sebagai pijakan penelitian dengan obyek peran IG dalam proses boundary making batas daerah dan sengketa batas daerah di Indonesia?. Uraian berikut adalah untuk menjawab pertanyaan tersebut.
26
Karakteristik boundary making pada dasarnya merupakan suatu proses yang terkait dengan aspek poltik, hukum dan teknis. Merujuk pada Sutisna, dkk., (2008), perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas internasional dan batas daerah adalah seperti uraian singkat yang disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1.Perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas internasional dan batas daerah (Sutisna, dkk., 2008) Aspek Politik
Batas internasional Politik internasional, hubungan antar negara, pemisah kedaulatan
Hukum
Rezim hukum internasional: uti possidetis juris, UNCLOS 1982, perjanjian antar negara
Teknis Geospasial (geospasial) (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)
Batas daerah Politik nasional dalam rangka desentralisasi, hubungan antar daerah, pemisah kewenangan pengelolaan administrasi wilayah Rezim hukum nasional: UUD1945, UU No. 32 th. 2004 kemudian diganti dengan UU No.23 th. 2014, Peraturan Pemerintah dan Permendagri Geospasial (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa dalam aspek politik dan hukum terlihat jelas ada perbedaan antara boundary making batas internasional dengan batas daerah, namun dalam aspek teknis (geospasial) keduanya sama karena geospasial (data, IG dan teknologi) pada dasarnya bersifat universal. Karena obyek penelitian adalah IG, maka penulis berpendapat teori boundary making batas internasional dapat digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini. Pertanyaan yang kedua, teori boundary making menurut siapa yang dapat digunakan? Penulis berpendapat bahwa karena obyek penelitian juga terkait sengketa, maka teori yang dikemukakan oleh Jones (1945) dapat dipilih sebagai pijakan dalam penelitian ini. Pemilihan tersebut didasarkan atas hasil analisis yang telah dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) yang menyebutkan bahwa teori boundary making Jones (1945) merupakan kerangka yang baik untuk
27
melakukan analisis sengketa batas wilayah yang diakibatkan kesalahan dan kekurangan informasi perbatasan.
II.2. IG dalam konteks batas wilayah Boundary making pada hakekatnya merupakan proses partisi atau membagibagi permukaan bumi. Permukaan bumi tersebut bisa mulai dari persil (bidang tanah) sampai wilayah administrasi seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi, bahkan sampai wilayah kedaulatan negara. Secara praktis, proses membagi-bagi permukaan bumi dapat dilakukan secara langsung di lapangan dengan cara pengukuran dan dengan metode tidak langsung yang dilakukan pada media peta (O’Leary, 2006). Kegiatan partisi permukaan bumi masuk kedalam lingkup ilmu geodesi praktis melalui kegiatan survei dan pemetaan (surveying) dan adjudikasi. Oleh sebab itu peran ilmu geodesi dalam bentuk kegiatan survei pemetaan dan adjudikasi sangat penting dalam boundary making (Rais, 2002). Kesepakatan batas wilayah internasional biasanya diwujudkan dalam suatu dokumen traktat atau perjanjian. Secara formal dan legal,kesepakatan batas wilayah dinyatakan dalam daftar koordinat titik-titik batas dan digambarkan dalam dokumen yang berujud peta yang terdapat pada traktat atau perjanjian (Blake, 1995). Karena posisi titik-titik batas merupakan hasil suatu kesepakatan antar negara, maka kesepakatan tersebut seharusnya mencakup sistem koordinat dan datum geodetik yang digunakan. Untuk pendefinisian koordinat titik-titik batas tanpa menyertakan spesifikasi datum geodetik adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan (Pratt, 2006). Dalam banyak kasus, terutama hasil perjanjian yang dilakukan di masa lalu, koordinat titik-titik batas yang dicantumkan dalam dokumen perjanjian tidak menyebutkan secara eksplisit datum geodetik yang digunakan dalam menentukan koordinat titik-titik batas. Dalam penelitian Lathrop (1997), dari 147 dokumen perjanjian batas internasional yang tersimpan di the American Society of International Law’s Study International Maritime Boundaries, ditemukan tidak kurang dari 55 % yang tidak menyebutkan datum geodetik yang digunakan sebegai referensi koordinat titik-titik batas. Meskipun demikian, dalam kurun
28
waktu sepuluh tahun terakhir sebagian besar perjanjian batas maritim yang telah ditandatangani telah menyebutkan secara spesifik datum geodetiknya, kecuali perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dan Vietnam pada tahun 2003 di laut Natuna (Pratt, 2006). Ketidakjelasan datum geodetik batas wilayah pada saat delimitasi membawa implikasi dalam kegiatan demarkasi dan manajemen perbatasan. Permasalahan yang muncul
akibat ketidakjelasan dan perbedaan datum geodetik adalah
pergeseran koordinat titik batas akibat adanya datum shift, perbedaan jarak antar titik batas, efek terhadap segmen garis batas, dan efek pada kegiatan demarkasi dan manajemen batas (Pratt, 2006; Abidin, dkk., 2005; Rimayanti dan Lukita, 2010 sertaTrismadi, 2010). Dokumen perjanjian antara Indonesia dan Singapura untuk 6 titik batas laut teritorial tidak secara jelas mencantumkan datum geodetik yang digunakan (Abidin, dkk, 2005). Penelitian telah dilakukan oleh Abidin, dkk., (2005), Rimayanti dan Lukita (2010) dalam kasus ketidakjelasan datum geodetik pada 6 titik tersebut dengan cara melakukan perhitungan posisi 6 koordinat titik batas pada beberapa alternatif datum yaitu Kertau 48, Kertau 68, Genuk dan South Asia terhadap posisinya dalam datum WGS84. Hasil perhitungan menggunakan alternatif 4 datum tersebut menunjukkan adanya pergeseran posisi bervariasi antara 25,98 m sampai 214,7 m. Pergeseran posisi koordinat akibat datum geodetik menyebabkan kesalahan dalam kegiatan delimitasi garis batas di atas peta dan kesalahan dalam demarkasi titik batas di lapangan. Kesalahan ini tentunya bisa berakibat menguntungkan atau merugikan masing-masing pihak. Pergeseran koordinat geografis satu detik bisa menyebakan pergeseran di lapangan sekitar 30 m. Pada daerah yang terletak pada lintang sekitar 550 utara pergeserannya sekitar 15 m. Untuk daerah laut terbuka pergeseran tersebut mungkin dapat diabaikan, namun pada area yang prospektif untuk sumberdaya alam seperti minyak, gas dan mineral, sebaiknya ketelitian koordinat disarankan 0,1 detik sehingga pergeseran titik di lapangan hanya sekitar 1,5 m (Pratt, 2006). Selain peta dasar, IG lain yang digunakan dalam boundary making dalam 25 tahun terakhir adalah foto udara dan citra satelit. Keunggulan foto udara dan citra
29
satelit dibanding peta adalah dapat membawa para negosiator seolah-olah berada pada kondisi nyata di lapangan dalam bernegosiasi di meja perundingan. Citra satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan resolusi temporal yang pendeksehingga sangat membantu untuk mengenali medan dalam proses deliniasi garis batas (Adler, 1995). Peran citra satelit dalam batas internasional diteliti oleh Al-Sayel, dkk., (2009) dalam tiga kasus demarkasi batas internasional yaitu batas Indonesia-Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Kerajaan Arab Saudi- Republik Yaman. Berdasar tiga kasus tersebut disimpulkankan bahwa dalam kegiatan demarkasi terhadap batas yang telah didelimitasi pada zaman kolonial, citra satelit memainkan peran penting untuk rekonstruksi batas. Dalam hal teknologi pengelolaan IG, Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak digunakan untuk studi teritorial dan resolusi konflik batas internasional. Starr (2000) menggunakan SIG untuk studi pada 151 batas negara yang terdiri atas 301 segmen batas untuk menganalisis sifat dasar batas internasional “opportunity” dan “willingness” dikaitkan dengan konflik. Hasil studi yang dilakukan Starr menunjukkan bahwa hubungan antara sifat dasar batas internasional dengan konflik bersifat tidak linier. SIG misalnya telah digunakan untuk
mendokumentasikan
dan
menganalisis
pola
sistematis
terjadinya
pembersihan etnis di Balkan (Starr dan Thomas, 2005). Penggunaan SIG untuk negosiasi konflik batas yang sangat menonjol adalah ketika dilakukan perundingan antara Serbia Bosnia dengan Kroasia/Harzegovina di Dayton yang difasilitasi Amerika Serikat dan PBB. Selama perjanjian perdamaian, para negosiator menggunakan peta-peta dijital dan SIG yang disiapkan oleh the US Army Topographic
Engineering Center dan the US
Defense Mapping Agency. Dalam proses perundingan digunakan lebih 100.000 lembar peta yang secara cepat didijitasi di tempat menjadi peta dijital yang kemudian bersama data citra satelit dan Digital Elevation Model (DEM) digunakan dalam manipulasi real time untuk melakukan buffer di segmen batas yang kritis agar segera dapat dirundingkan dan mendapat persetujuan. Selain itu dalam proses perundingan digunakan juga perangkat lunak visualisasi medan menggunakan citra satelit resolusi tinggi sehingga para negosiator secara virtual
30
terbang melintasi area yang akan ditetapkan batasnya. Tuntutan kualitas produk, kemudahan dalam pemakaian dan dukungan kecepatan dan fleksibilitas dapat diperoleh dengan adanya teknologi digital dalam menyediakan peta, sehingga memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan perundingan di Dayton. Pelajaran penting dari Dayton adalah pemetaan dijital yang tunggal (satu sumber) dan akurat membuat obyek yang dirundingkan tidak bias. Disamping itu inovasi penggunaan SIG sebagai alat, membuat koordinasi para negosiator menjadi lebih dekat sehingga sangat membantu untuk keberhasilan perundingan. Pelajaran penting lain dari Dayton adalah terbentuknya kerjasama profesional antara masyarakat survei pemetaan dengan masyarakat diplomat (Johnson, 1999). Penggunaan analisis geospasial (SIG) dalam resolusi konflik batas wilayah telah dilakukan oleh Sodeinde (2001) dalam penelitiannya untuk membantu menyelesaikan konflik penegasan batas antara Nigeria dan Kamerun. Penelitian tersebut berjudul:”Boundary Conflict Resolution through the Spatial Analysis of Social, Commercial and Cultural Interaction of People Leaving a Long Boundary Area” dilakukan untuk membantu menyelesaikan persoalan konflik penegasan batas antara Negeria dan Kamerun. Analisis spasial dengan cara superimposing tema-tema bahasa, kehidupan sosial, budaya dan perdagangan dari masyarakat yang hidup disepanjang daerah perbatasan dan Teknik Fuzzy digunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam menentukan garis demarkasi terbaik untuk disepakati. Dalam hal peran geospasial dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia Mahendra (2011) melakukan penelitian disertasi berjudul “Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial”. Masalah yang diteliti adalah tentang pengelolaan kawasan perbatasan NKRI yang selama ini kurang mendapat perhatian oleh penyelenggara negara, terlalu banyak lembaga yang mengurus sehingga tidak ada yang fokus. Permasalahan tersebut mengakibatkan sebagian besar kawasan perbatasan NKRI dalam kondisi yang terbelakang, utamanya dari sisi kesejahteraan, keamanan dan infrastuktur. Dalam penelitian yang menyangkut aspek hukum, kelembagaan dan teknologi, Mahendra (2011) menawarkan konsep pembaharuan pengembangan kawasan perbatasan
31
NKRI yang komprehensif, efektif dan efisien dan berbasis teknologi geospasial. Konsep pembaharuan tersebut secara singkat dinamakan konsep One Regulation One Body. One regulation yaitu satu Undang-undang wilayah NKRI dan one body yaitu satu badan pengelola yang disebut Badan Nasional Kawasan Perbatasan-RI (BNKP-RI). Konsep pengembangan perbatasan berbasis teknologi geospasial bermakna bahwa perencanaan, pembangunan, pengembangan dan pengelolaan kawasan perbatasan NKRI wajib didasarkan atas data dan informasi geospasial yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sengketa batas wilayah internasional pada dasarnya merupakan manifestasi tidak tuntasnya perjanjian atau terjadi ketidaksepakatan akibat tumpang tindih klaim secara kartometrik atau adanya ketegangan militer didaerah perbatasan. Kegagalan peran IG hasil delimitasi terjadi dalam kasus sengketa batas antara negara Eritrea dan negara Ethiopia di Afrika yang berlangsung sejak tahun 1998 sampai tahun 2000. Untuk penyelesaian yang menyeluruh akhirnya kedua negara sepakat membentuk Komisi Perbatasan (Eritrea-Ethiopia Boundary Commission atau EEBC) yang ditugaskan untuk melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian tahun 1900, 1902 dan 1908. EEBC kemudian melakukan delimitasi ulang atas dasar perjanjian 1900, 1902 dan 1908 menggunakan data terbaru berupa foto udara resolusi tinggi dan data Digital Terrain Model (DTM) yang akhirnya dapat menentukan 146 titik batas yang digambarkan pada peta skala 1:25.000 yang berkualitas tinggi. Namun permasalahan yang muncul adalah fihak Ethiopia tetap menolak untuk menyetujui hasil delimitasi EEBC karena merasa tidak dilibatkan dalam proses
redelimitasi perjanjian 1900, 1902 dan 1908
(Wood, 2000). Berdasar uraian tentang geospasial dalam konteks batas wilayah seperti telah diuraian sebelumnya dan relevansinya dengan penelitian yang dilakukan adalah memberi gambaran bahwa IG berperan penting dalam proses boundary making mulai tahap alokasi, delimitasi, demakasi dan manajemen batas wilayah. Walaupun demikian ketersediaan IG yang baik dan akurat ternyata tidak menjamin konflik dapat segera diselesaikan selama penyebab konflik adalah karena adanya faktor kepentingan dan struktural.
32
II.3. Kasus sengketa batas wilayah Pada sub bab ini ditinjau berbagai kasus sengketa batas wilayah yang terjadi yaitu sengketa batas wilayah internasional dan sengketa batas daerah di Indonesia. a. Sengketa batas wilayah internasional Untuk batas internasional, sengketa teritorial terjadi pada zaman kolonial ketika para negara kolonialis berebut wilayah yang dijadikan daerah koloninya. Setelah negara-negara jajahan merdeka, warisan garis alokasi batas wilayah yang telah didelimitasi oleh penjajah sebelumnya dalam bentuk perjanjian (treaty), didemarkasi oleh negara-negara yang merdeka tersebut. Sengketa posisi batas internasional yang terjadi di berbagai tempat di belahan dunia seperti Asia, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah pada umumnya banyak terjadi pada saat melakukan kegiatan demarkasi batas wilayah (Caflisch, 2006). Uraian berikut adalah berbagai kasus sengketa batas internasional yang terjadi di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah. Batas internasional wilayah darat Republik Indonesia (RI) dan Malaysia di Kalimantan membentang sepanjang kurang lebih 2000 km. Batas ini merupakan warisan batas wilayah koloni Inggris dan Belanda di Pulau Kalimantan melalui The Boundary Convention tahun 1891 dan 1928 serta The Boundary Agreement tahun 1915. Setelah
adanya Memorandum of Understanding antara RI dan
Malaysia tahun 1975, dilakukan serangkaian kegiatan penegasan dan pemasangan pilar-pilar batas. Dalam kegiatan penegasan batas tersebut, sampai saat ini masih menyisakan sengketa penegasan batas yang sering disebut sebagai Outstanding Boundary Problems (OBP). Permasalahan sengketa ini pada umumnya disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi terhadap perjanjian batas warisan Belanda-Inggris. Perbedaan interpretasi terhadap posisi titik dan garis batas pada peta batas yang dimuat dalam lampiran perjanjian, antara lain disebabkan oleh perbedaan kurun waktu yang cukup panjang yang hampir satu abad antara saat perjanjian dibuat dengan saat demarkasi sehingga telah terjadi perubahan bentang alam di lapangan (Widodo, dkk., 2004).
33
Batas wilayah internasional negara RI dengan Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL), merupakan warisan batas wilayah kolonial Belanda dan Portugis di Pulau Timor. Perjanjian delimitasi batas antara Belanda dan Portugis dilakukan pertama kali tahun 1854, selanjutnya melalui serangkaian perundingan akhirnya delimitasi final disetujui pada tahun 1904 (Deeley, 2001). Setelah Timor Leste merdeka melalui referendum pada tahun 1999, RIRDTL sepakat melakukan penegasan batas wilayah dengan dasar perjanjian tahun 1904 dan the 1914 Arbitral Award of the Permanent Court of Arbitration(Deeley, 2001). Penegasan batas wilayah negara RI dengan RDTL, diawali dengan pertemuan ke-1 Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation (TSC-BDR) RI dan United Nations Transitional Adminstration for East Timor (UNTAET) tahun 2001. Secara umum dapat dicapai kesepahaman dan kesepakatan bersama terhadap aspek legal dokumen perjanjian, namun ada beberapa segmen yang masih merupakan area yang ambiguity (Sutisna dan Handoyo, 2004). Delimitasi tahun 1904 yang menggunakan batas alam seperti sungai, pengertian thalweg dan beberapa istilah dalam perjanjian seperti “climbing”, “descending”, “through thesummits”, “passing” dan“passing through” yang kemudian digunakan untuk demarkasi satu abad kemudian, berpotensi menimbulkan ambigu, beda interpretasi dan sengketa,
karena telah terjadi
perubahan bentang alam. Di samping itu juga ditemukan permasalahan ketidaksesuaian batas wilayah antara yang dituliskan di dalam treaty dengan yang digambar di peta, sebagai contoh di treaty tertulis bahwa batas wilayah mengikuti thalweg Noel Besi tetapi di peta digambar mengikuti Nano Tuinan (Deeley, 2001; Sutisna dan Handoyo, 2004). Batas wilayah negara RI-Papua Nugini (PNG) adalah warisan batas wilayah kolonial Belanda dan Inggris di pulau Irian sesuai konvensi tahun 1895, saat ini boleh dikatakan sudah well-demarcated. Adanya perbedaan posisi titik dan garis batas disebabkan karena perbedaan penggunaan teknologi penentuan posisi yang digunakan. Demarkasi yang pernah dilakukan oleh Belanda dan Inggris di awal abad 20 menggunakan metode astronomi dan di awal abad 21 penegasan untuk
34
perapatan titik-titik batas yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan PNG menggunakan teknologi satelit GPS. Di samping itu potensi sengketa batas antara RI dengan PNG ke depan adalah masalah perbedaan datum geodesi (Sutisna dan Kusumo, 2008). Sengketa batas yang terjadi pada umumnya terkait dengan manajemen perbatasan kedua negara yang menurut Prescott (1987) merupakan sengketa fungsional. Sengketa fungsional batas wilayah RI-PNG yang sering terjadi adalah pelanggaran batas, kriminalitas dan gangguan keamanan, pembersihan pilar batas, pembangunan pos batas, pengibaran bendera PNG di wilayah Indonesia dan mengaku sebagai penduduk
PNG (Wardoyo dan Sri,
2004). Di Kawasan Indochina, Thailand dan Kamboja adalah dua negara bertetangga bekas jajahan Perancis yang memiliki batas sepanjang 798 km. Kedua negara pada dasarnya memiliki budaya yang sama namun juga memiliki sejarah sengketa batas yang sudah berlangsung lama (Silverman, 2011). Sengketa batas yang paling menonjol adalah sengketa batas kedaulatan di kawasan Candi Brahmana yang diberi nama Preah Vihear (menurut bahasa Khmer) atau Phra Viharn (menurut bahasa Thai) yang dimulai sejak tahun 1904 dan 1907. Pada perjanjian 1907, dilampirkan peta yang menyepakati bahwa batas kedua negara terletak pada watershed (garis punggung bukit) Dang Raek, namun hasil kesepakatan tersebut belum selesai ditegaskan di lapangan. Kamboja merdeka pada tanggal 9 November 1953, setahun kemudian pasukan Kamboja menduduki Candi Preah Vihear setelah tentara Perancis meninggalkan daerah sengketa (Amer, 1997). Sengketa tersebut terjadi karena Thailand mengklaim bahwa letak candi adalah di sebelah barat garis batas sesuai peta Thailand, sementara Kamboja mengklaim bahwa Candi Preah Vihear terletak di sebelah timur dari garis batas menurut peta lampiran perjanjian tahun 1907 (Singh, 1962). Tanggal 15 Juni 1962 International Court of Justice memutuskan bahwa Candi Preah Vihear adalah di bawah kedaulatan Kamboja, namun keputusan ini menyisakan masalah kedaulatan pada wilayah seluas 1,8 mil persegi di sekitar candi sehingga mengakibatkan sengketa batas wilayah antara kedua negara terus berlangsung (Silverman, 2011). Perang terbuka antara pasukan kedua
35
negara terjadi pada Agustus dan Oktober 2008, April 2009, Januari 2010 dan Februari 2011. Proses penyelesaian sengketa melalui meja perundingan terus berlangsung sampai akhir tahun 2011 (Yoosuk, 2011). Setelah bersengketa lama dengan Thailand, Kamboja akhirnya dapat memiliki areal candi kuno Preah Vihear karena pada tanggal 11 November 2013. Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan (sovereignty) atas seluruh kawasan Preah Vihear (ICJ, 2013, www.icj-cij.org/homepage, diakses tanggal 5 Februari 2014). Konflik batas wilayah juga terjadi di Afrika. Di benua ini banyak terjadi konflik dan bersifat sangat kompleks. Tipe-tipe konflik yang terjadi di Afrika (Bujra, 2002) adalah: (1) konflik batas wilayah teritorial, (2) konflik internal suatu negara akibat pengaruh negara lain, (3) perang sipil, (4) konflik politik dan idiologi dan (5) konflik etnis. Konflik-konflik yang terjadi bisa menimbulkan perang, kekerasan dan ketidakstabilan wilayah secara regional (Loisel, 2004). Antara tahun 1884 sampai dengan tahun 1885 melalui Konferensi Berlin, bangsabangsa Eropa yang menjajah Afrika membagai-bagi wilayah di Afrika secara sewenang-wenang dengan memasang tanda-tanda buatan tanpa melibatkan bangsa Afrika kecuali pengamat dari Afrika Selatan (Aghemelo and Ibhasebhor, 2006; Jadesola, 2012). Komunitas penduduk lokal bangsa Afrika biasa hidup berkelompok secara etnis dan teritori etnis adalah teritori wilayah. Batas wilayah warisan kolonial yang tidak berkesesuaian dengan teritori etnis, dikemudian hari menjadi sumber konflik batas wilayah (Loisel, 2004), sehingga banyak negara-negara di Afrika yang bertetangga berkonflik satu sama lain. Penyebab konflik dipicu berbagai hal antara lain masalah pelintas batas, perebutan sumberdaya alam, ketidakjelasan batas wilayah dan kesulitan mengimplementasi batas peninggalan kolonial dan masalah etnis (Loisel, 2004; Ikome, 2012). Di benua Afrika tercatat ada 56 kasus sengketa batas wilayah antar negara yang melibatkan 62 negara (Jadesola, 2012). Beberapa sengketa batas wilayah antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 2.2. Sengketa batas wilayah yang paling menonjol adalah sengketa yang kedua antara
36
Ethiopia dengan Eritrea yang berlangsung dalam waktu dua tahun (tahun 1998 sampai dengan tahun 2000) menelan korban jiwa antara 70.000 sampai 120.000 orang tentara dan penduduk sipil (Wood, 2000).
Tabel 2.2. Konflik batas wilayah antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 (Ikome, 2012) No. 1
2
3
4 5 6 7 8 9
Negara yang berkonflik Ethiopia dengan Somalia Cameroon dengan Nigeria Algeria dengan Tunisia Algeria dengan Morocco Ethiopia dengan Kenya Côte d’Ivoire dengan Liberia Mali dengan Mauritania Chad dengan Libya Guinea Bissau dengan Senegal
Periode, tahun 1950s.d1961; 1963 s.d 1977; 1977 s.d 1978 1963 s.d 2002
1961 s.d 1970
1962 s.d 1970 1963 s.d 1970 1960 s.d 1961 1960 s.d 1963 1935 s.d 1994
Negara yang berkonflik 10 Malawi dengan Tanzania
No.
Periode, tahun 1967
11 Mali dengan Burkina Faso 12 Ghana-Upper Volta-Burkina Faso 13 DahomeyBissau- Niger 14 Kenya- Somalia
1963; 1974 s.d 1975; 1985 s.d 1986 1964 s.d 1966
15 Tunisia dengan Libya 16 Equatorial Guinea-Gabon 17 Ethiopia dengan Eritrea
1990 s.d 1994
1963 s.d 1965 1962 s.d 1984
1972 1952 s.d 1992 1998 s.d 2000
1980 s.d 1992
Masih di benua Afrika, di Nigeria yang merupakan negara federasi, banyak terjadi sengketa batas wilayah antar negara federal maupun antara pemerintah lokal dalam negara federal. Kondisi tersebut menarik minat Fatile (2011) melakukan penelitian manajemen konflik batas wilayahantar negara-negara federal dan lokal di negara Negeria dengan topik: Management of Inter and Intra States Boundary Conflicts in Nigeria. Dalam penelitian ini sebagai populasi studi adalah seluruh negara bagian di negara Nigeria yang terdiri atas 36 negara bagian (state) dan 774 pemerintah lokal (local government areas atau LGAs) dengan 450
37
kelompok etnis. Sampel penelitian dipilih wilayah Southwest Nigeria (purposive sampling) yang terdiri atas 6 negera federal dan 137 LGAs dan jumlah penduduknya 19,70 % dari jumlah penduduk Nigeria. Pertimbangan Southwest Nigeria dipilih sebagai sampel penelitian adalah: (1) Southwest Nigeria merupakan wilayah yang dihuni etnis Yoruba salah satu etnis terbesar di Nigeria, (2) tingkat pendidikan penduduk di Southwest Nigeria relatif lebih tinggi dibanding wilayah lain di Negeria, (3) Southwest Nigeria adalah daerah beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban tinggi sehingga merupakan daerah penghasil berbagai komoditas tanaman penting terutama coklat. Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatifdeskriptif dan metode pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara (in-depth interview), Focus Group Discussion (FGD), analisis dokumen dan observasi. Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan metode statistik-deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan: (1) ada korelasi antara pembentukan negara federasiatau pemerintahan lokal (LGAs) baru dengan terjadinya sengketa batas, dan ada kecenderungan setiap pembentukan negara federasi maupun LGAs baru memicu terjadinya sengketa batas bahkan konflik lebih besar bisa terjadi bila tidak segera ditangani, (2) ada korelasi antara ketidaksepakatan pengelolaan sumberdaya yang terletak di sepanjang garis batas yang dilakukan oleh pemerintahan di berbagai tingkatan (federal maupun lokal) dengan terjadinya sengketa batas, (3) ada suatu korelasi antara kurangnya perhatian terhadap kebutuhan pemetaan batas negara federal maupun lokal dengan konflik komunal di Nigeria, (4) ada hubungan antara strategi penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perbatasan dengan keharmonisan hubungan antar pemerintahan lokal di Nigeria. Di Amerika Latin, sengketa batas wilayah antar negara juga tidak terlepas dari sejarah kolonial. Negara-negara di Amerika Latin adalah koloni Spanyol dan Portugal pada kurang lebih dua abad yang lalu. Spanyol dan Portugal mewariskan garis-garis alokasi yang sudah didelimitasi. Sengketa batas wilayah teritorial yang terjadi di Amerika Latin pada umumnya disebabkan karena: (1) banyak batas wilayah antar negara hasil delimitasi peninggalan Spanyol dan Portugal yang
38
belum didemarkasi, (2) secara geopolitik adanya rebutan pengaruh antara negaranegara besar Amerika Serikat beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin terhadap negara-negara di Amerika Latin sehingga meningkatkan ketegangan militer di kawasan tersebut (Dominguez, dkk., 2003). Setelah perang dingin berakhir tahun 1990, beberapa negara di Amerika Latin dengan cepat dapat menyelesaikan sengketa batas wilayah, namun beberapa yang lain belum dapat menyelesaikan, bahkan berlanjut. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama adalah geografis. Karena Amerika Latin secara geografis adalah daerah hujan tropis yang periodenya panjang, maka secara fisik dan logistik menyulitkan untuk melakukan kegiatan demarkasi lapangan, disamping itu biaya demarkasi menjadi mahal. Faktor kedua adalah peta-peta delimitasi batas wilayah peninggalan kolonial yang tidak akurat. Faktor ketiga, sering adanya campur tangan pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan proses perundingan penyelesaian sengketa batas wilayah (Dominguez, dkk., 2003). Setelah merdeka dari Spanyol tahun 1821, setiap negara di Amerika Tengah menentukan batas kedaulatan masing-masing negara mengikuti batas administrasi kolonial Spanyol dengan mengacu doktrin “uti possidetis juris”, namun karena penentuan batas wilayah masing-masing negara tersebut tidak dilanjutkan dengan kegiatan demarkasi di lapangan, maka kemudian muncul sengketa batas walaupun pada periode yang tidak terlalu lama karena pada tahun 1838 sudah berakhir. Dalam perkembangannya, kompetisi klaim wilayah teritorial terus terjadi dan tidak bisa dihentikan sehingga menimbulkan sengketa batas teritorial antara negara-negara di Amerika Tengah. Salah satu sengketa yang sampai menimbulkan perang yaitu Perang Soccer pada tahun 1969 adalah sengketa batas antara negara El Savador dengan Honduras (Orozco, 2004). Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negaranegara di Amerika Tengah disajikan pada Tabel 2.3.
39
Tabel 2.3. Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negaranegara di Amerika Tengah (Orozco, 2004)
No.
1 2 3 4 5
Negara yang bersengketa Guetamala dengan Honduras Costarica dengan Panama Honduras dengan El Salvador (Perang Soccer) Honduras dengan Nicaragua Costarica dengan Nicaragua
Tahun mulai sengketa
Tahun eskalasi sengketa menjadi konflik besar
Status
1843
1928
Selesai tahun 1933
1879
1921
Selesai tahun 1934
1910
1969
Selesai tahun 1999
1912
1957
Selesai tahun 1963
1981
1985
Selesai tahun 1985
b. Kasus sengketa batas daerah di Indonesia Sejak era otonomi daerah, keberadaan batas daerah semakin dirasakan penting oleh setiap daerah otonom. Ketidakjelasan posisi garis batas berpotensi menimbulkan sengketa batas daerah. Pada tahun 2012, Kementrian Dalam Negeri menyebutkan bahwa selama pelaksanaan kebijakan pemekaran wilayah terdapat banyak kasus sengketa batas daerah. Menurut Subowo (2009) dan Pakpahan (2011), sengketa batas daerah di Indonesia pada umumnya terjadi pada saat kegiatan penegasan batas daerah. Beberapa kasus sengketa batas daerah di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku telah diteliti secara akademik seperti uraian berikut. Di Pulau Jawa sengketa batas daerah terjadi antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang. Kristiyono (2008) melakukan penelitian dengan topik Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang, analisis terhadap faktor-faktor penyebab dan dampaknya. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor penyebabnya berdimensi banyak serta saling berkaitan antara faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut
40
meliputi: faktor-faktor yang bersifat struktural, faktor kepentingan, hubungan antar manusia dan konflik data/peta, yang semuanya dapat dikategorikan menjadi faktor latar belakang, faktor pemicu konflik dan faktor akselelator. Konflik yang terjadi menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua daerah tersebut baik secara administratif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat pada timbulnya “dampak konflik” berupa terjadinya dualisme kewenangan pemberian data yuridis atas tanah-tanah tertentu pada sebagian proses pengurusan bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa /kelurahan yang batas wilayahnya tidak tegas. Di Pulau Sumatera, terjadi sengketa batas daerah terjadi di beberapa daerah. Welfizar (2004), melakukan penelitian dengan topik Analisis Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Hasil penelitian yang dilakukan Welfizar menyimpulkan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.84 tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukit Tinggi dan Kabupaten Agam menunjukkan adanya penolakan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Agam. Welfizar mencoba mengetahui faktor yang menyebabkan konflik batas daerah tersebut dan mengidentifikasi alternatif kebijakan untuk penyelesainnya. Faktor yang menyebabkan konflik batas daerah tersebut adalah tidak didengarkannya aspirasi masyarakat oleh para pengambil keputusan. Aspirasi tersebut menuntut agar perubahan batas wilayah disesuaikan dengan batas adat yang telah ada. Alternatif kebijakan untuk penyelesaian batas tersebut diusulkan agar dilakukan kerja sama antara kedua daerah, sehingga tidak ada lagi yang merasa rugi atau untung. Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Sumatera dilakukan oleh Siswani (2008) dengan topik Problem Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang. Sengketa antar Kabupaten Serdang Bedagai dengan Kabupaten Deli Serdang terkait batas wilayah disebabkan oleh tuntutan Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur yang menolak bergabung dengan kabupaten Serdang Bedagai dengan alasan jarak pelayanan ke ibu kota kabupaten Serdang Bedagai menjadi lebih jauh. Penyebab lain karena Kabupaten Deli
41
Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana ditetapkan dalam UUPD kabupaten Serdang Bedagai. Penyelesaian sengketa batas berlarut sampai akhirnya kelompok persekutuan masyarakat adat Batak Timur mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun akhirnya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dengan amar putusan yang antara lain menyebutkan bahwa menurut legal standing, persekutuan masyarakat adat Batak Timur bukan merupakan kesatuan hukum adat, sehingga tidak dapat memiliki hak konstitusional sebagai diatur dalam UUD 1945. Selain itu alasan jarak yang jauh dari ibu kota Kabupaten Serdang Bedagai oleh Mahkamah Konstitusi dianggap bukan salah satu hak konstitusional. Penelitian sengketa batas daerah yang lain di Pulau Sumatera dilakukan oleh Nurbardi (2008) tentang konflik batas wilayah antara Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi dan mencari upaya penyelesainnya. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa konflik batas wilayah antara daerah
Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo dipengaruhi oleh faktor hukum dan faktor non hukum. Konflik ini dikenal dengan “tragedi 9 September 2002”. Kabupaten Tebo merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induk Bungo Tebo yang disahkan berdasarkan UUPD No.54 tahun 1999 tentangPembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Hingga saat ini masalah tapal batas tersebut masih menjadi polemik yang belum terselesaikan terutama soal pengaturan tapal batas di sepanjang 2 (dua) daerah tersebut yaitu di Desa Bebeko dan Ala Ilir. Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Kalimantan dilakukan oleh Mursyidyansah (2007) mengenai konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian yang dilakukan bertujuan mengetahui sebab utama konflik dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitian tersebut dilakukan analisis sebab utama konflik dengan “analisa segitiga dimensi konflik” yang melibatkan dimensi personal, struktural dan kultural. Melalui
42
analisis tersebut dapat diketahui faktor-faktor penyebab konflik, yaitu: (1) secara struktural, karena setelah pemekaran,wilayah Kota Baru secara geografis memiliki keterbatasan dalam pengelolaan wilayah, pengelolaan kepentingan ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam, dan ketidakjelasan tapal batas; (2) secara personal, yaitu adanya perbedaan pendapat tentang penggunaan peta dasar sebagai acuan,(3) secara kultural, yaitu adanya perubahan nilai yakni nilai kognitif yang diyakini masyarakat Dayak tentang tapal batas. Sengketa batas daerah di Maluku diteliti oleh Qodir dan Sulaksono (2012) dengan topik Politik Rente dan Konflik di Daerah Pemekaran Kasus Maluku Utara mencari
faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, aktor-aktor yang
bermain dalam konflik dan dampak yang timbul akibat konflik yang terjadi di daerah pemekaran Maluku Utara. Dalam penelitian ini Qodir dan Sulaksono mengajukan rumusan masalah penelitian: “Bagaimanakah peta konflik sosial, budaya, politik dan ekonomi daerah pemekaran di Maluku Utara dan pengaruhnya terhadap pemekaran karena unsur paling penting dari pemekaran adalah mendekatkan pelayanan publik, yang telah berlangsung sejak tahun 1999?”. Hasil penelitian Qodir dan Sulaksono menyimpulkan adanya peran politisi lokal yang kalah dalam pemilihan kepala daerah sering menghembuskan persoalan konflik di daerah dengan menyatakan terjadi money politics atau buruknya pelayanan publik sehingga butuh pemerintahan yang bersih dan efektif sehingga daerah perlu dimekarkan. Pemikiran sebagian elit lokal adalah bagaimana sebuah daerah mekar dahulu, kemudian dilakukanalokasi wilayah daerah yang dimekarkan, ditentukan calon lokasi ibukota dan menentukan siapa yang menjadi pejabat di suatu daerah. Penelitian sengketa batas daerah di berbagai daerah di Indonesia yang telah dilakukan, kajiannya lebih berfokus pada mencari penyebab sengketa, memetakan aktor sengketa dan dampak sengketa terhadap pelayanan publik. Walaupun ada penelitian yang menemukan bahwa salah satu faktor penyebab sengketa adalah data/IG, namun tidak dikaji lebih mendalam tentang aspek IG tersebut. Hal ini bisa difahami karena latar belakang disiplin ilmu para peneliti adalah ilmu sosial (politik dan hukum).
43
Berdasar tinjauan pustaka tentang konflik/sengketa batas internasional disimpulkan bahwa sengketa terjadi karena tahap demarkasi baru dilaksanakan beberapa lama setelah tahap delimitasi. Delimitasi batas yang dilakukan oleh negara kolonial pada abad ke 19 di negara-negara jajahannya di Afrika, Asia maupun Amerika Latin pada umumnya baru didemarkasi pada abad ke 20 setelah negara-negara tersebut merdeka. Hal tersebut menyebabkan: (1) garis batas hasil delimitasi yang digambarkan pada peta lampiran perjanjian, menimbulkan permasalahan yang serius dalam interpretasi fitur-fitur peta lama bila dicocokan dengan kondisi saat demarkasi, (2) deskripsi batas secara verbal dalam perjanjian tidak sesuai lagi bila digunakan untuk demarkasi, karena deskripsi verbal batas didasarkan atas fitur-fitur geografis pada saat delimitasi dilakukan dan ketika demarkasi dilakukan beberapa puluh tahun kemudian, fitur-fitur tersebutbaik fitur buatan maupun alam telah banyak terjadi perubahan, (3) terdapat kontradiksi antara definisi batas yang dideskripsikan secara verbal dengan batas yang digambarkan di peta, atau kontradiksi dalam hal nama-nama geografis (toponim) di dalam teks perjanjian dan di peta. Untuk sengketa batas daerah, kondisinya hampir sama dengan sengketa batas internasional, yaitu sengketa batas daerah terjadi karena demarkasi batas daerah baru dilaksanakan beberapa lama setelah tahap delimitasi dilakukan. Dalam kondisi peta batas hasil delimitasi tidak tersedia atau tersedia tapi kondisinya tidak memenuhi syarat untuk demarkasi sehingga mengakibatkan sengketa posisional garis batas daerah. Relevansi dari tinjuan pustaka kasus sengketa batas wilayah dengan penelitian yang dilakukan adalah mendapat gambaran empirik bahwa IG dapat berkontribusi terhadap terjadinya sengketa batas daerah.
44
BAB III LANDASAN TEORI Uraian bab ini diawali dengan pengertian batas wilayah internasional dan batas daerah, kemudian uraian tentang tiga teori penting sebagai dasar penelitian yaitu teori boundary making Jones (1945), geospasial dan teori konflik/sengketa. Selanjutnya itu dijelaskan juga pengertian asesmen.
III.1.Batas wilayah Sejarah keberadaan batas wilayah sebenarnya telah berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Pada zaman manusia hidup dari berburu, manusia sudah menetapkan batas wilayah perburuannya. Ketika manusia mulai hidup dengan bercocok tanam secara menetap, manusia mulai menetapkan batas-batas bidang tanah yang menjadi wilayah garapannya. Catatan sejarah yang ada menunjukkan bahwa Herodotus, seorang bangsa Mesir yang hidup pada tahun 1400 Sebelum Masehi ditugaskan untuk melakukan pengukuran batas-batas bidang tanah untuk keperluan pajak (Ghilani dan Wolf, 2007). Dalam studi tentang batas wilayah dan perbatasan, menurut Rankin dan Schofield (2004) serta Pratt (2011) ada dua kosa kata yang memiliki perbedaan penting yaitu batas wilayah (boundary) dan wilayah perbatasan (border).Dalam istilah bahasa Inggris, boundary pada umumnya dimaknai sebagai suatu garis yang memisahkan wilayah teritorial antara dua negara baik di darat maupun di laut, sedangkan border dimaknai sebagai suatu area perlintasan untuk masuk ke atau keluar dari suatu negara. Ada kalanya makna boundary dan border bisa berimpit, tetapi secara umum bila berbicara tentang border selalu dimaknai sebagai suatu kawasan (area) yang dalamnya berhubungan dengan infrastruktur (jalan, dermaga dan bandara), imigrasi, karantina, pos penjagaan keamanan dan fasilitas bea cukai. Dalam kasus internasional, pengertian border untuk pelabuhan laut dan bandar udara bisa terletak puluhan bahkan ratusan kilometer dari boundary (garis batas) negara yang bersangkutan (Pratt, 2011).
45
Dalam disertasi ini, pengertian boundary adalah sebagai garis batas wilayah. Terkait dengan pengertian tersebut, istilah boundary making memiliki pengertian sebagai suatu proses dalam mewujudkan adanya garis batas wilayah yang memisahkan kedaulatan suatu negara atau memisahkan wilayah administrasi pemerintahan di suatu negara (Pratt, 2011). Sebagai suatu proses, boundary making memiliki dua ciri yang khas, pertama merupakan proses yang melibatkan tiga aspek yaitu politik, hukum dan teknis (geospasial). Kedua, boundary making merupakan suatu proses yang dalam tahapannya bersifat sistematis (Donaldson dan Williams, 2008). Konsep tentang batas wilayah tidak terlepas dari konsep tentang wilayah itu sendiri. Istilah wilayah mengacu pada unit spasial dengan batas-batas tertentu yang komponen-komponen dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya (Rustiadi, dkk., 2011). Konsep wilayah yang paling klasik mengacu pada tipologi wilayah, yang membagi wilayah ke dalam tiga kategori yaitu wilayah homogen (uniform), wilayah nodal atau fungsional dan wilayah perencanaan (Hagget, dkk., 1977). Salah satu konsep wilayah nodal adalah yang dikemukakan oleh Blair (1991) yaitu konsep wilayah fungsional administratif. Pewilayahan konsep wilayah fungsional administratif dilakukan dengan merujuk kepada satuan politik administrasi di atas permukaan bumi sebagai unit-unit wilayah dalam berbagai tingkatan mulai dari wilayah negara, provinsi (province), kabupaten (district), kota (municipality), kecamatan dan desa (Rustiadi, dkk., 2011). Di Indonesia, pembagian wilayah fungsional dilakukan dengan mengacu pada peraturan perundangan mulai dari UUD-1945 sampai peraturan perundangan di bawahnya. Satuan politik administrasi pemerintahan dimulai dari
wilayah
NKRI sebagai wilayah kedaulatan dan hak berdaulat (UU No.43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara). Selanjutnya wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerahmasing-masing. Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota merupakan daerah otonom yang dibentuk dengan undang-undang. Atas dasar konsep pewilayahan tersebut maka pengertian batas wilayah meliputi batas
46
wilayah negara dan batas wilayah daerah otonom. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012, yang dimaksud dengan batas daerah adalah batas wilayah daerah provinsi dan/atau batas wilayah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom yang selanjutnya hanya disebut batas daerah. Dalam disertasi ini, istilah batas wilayah digunakan untuk pengertian batas wilayah secara umum atau batas wilayah negara, sedangkan istilah batas daerah digunakan untuk batas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah provinsi dan/atau antar daerah kabupaten/kota. Batas daerah meliputi batas daerah di darat dan batas daerah di laut. Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, batas daerah di darat didefinisikan sebagai pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang diwujudkan dalam rangkaian titik-titik koordinat sebagai representasi
tanda-tanda
alam
seperti
igir/punggung
gunung/pegunungan
(watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan (seperti jalan, pemukiman, pelabuhan) yang tertuang dalam bentuk peta. Batas daerah di laut didefinisikan sebagai pembatas kewenangan pengelolaan sumberdaya di laut untuk daerah yang bersangkutan dalam bentuk rangkaian titik-titik koordinat diukur dari garis pantai.
III.2. Teori boundary making
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa teori boundary making dari Jones (1945) dipilih sebagai pijakan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu secara lebih rinci diuraikan sistematika tahapan boundary making Jones tersebut. Tahapan delimitasi dan demarkasi menurut Jones diilustrasikan pada Gambar 3.1, sedangkan tahapan administrasi diilustrasikan pada Gambar 3.3. Selain itu diuraikan juga model kerangka kerja dan karakteristik boundary making Jones.
47
ALOKASI
IG sebagai masukan yang harus diperhatikan
PENINJAUAN LAPANGAN
PETA DASAR/ PETA LAINNYA
FOTO UDARA/CITRA
Memilih dan mendefinisikan batas Tidak setuju Negosiasi
PENYELESAIAN SENGKETA
Setuju
Mediasi, inquiry, konsiliasi, Mahkamah
Perjanjian delimitasi batas
Internasional atau Arbitrase
Pedoman untuk demarkasi
Pembentukan Komite Demarkasi bersama Tidak setuju
Tidak setuju Survey demarkasi bersama
Re-survei
Outstanding Boundary Problems (OBP) Setuju
Demarcation agreement Pilihan penyelesaian
teknis
hukum Pekerjaan Lapangan
Logisti k
Pengukuran dan penentuan posisi titik batas
Pekerjaan Laboratorium
Monumen tasi dan deskripsi titik batas
Hitungan koordinat
Fotogrametri/ pengolahan citra
Kartografi dan Peta batas
BASIS DATA
Gambar 3.1: Diagram tahapan kegiatan delimitasi dan demarkasi Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009)
48
III.2.1. Tahapan boundary making Penjelasan tahapan kegiatan alokasi, delimitasi, demarkasi (Gambar 3.1) dan administrasi (Gambar 3.3) pada
boundary makingmenurut Jones adalah
sebagai berikut: 1. Alokasi. Alokasi adalah tahap proses politik untuk menentukan pembagian wilayah teritorial antara dua negara (Jones, 1945). Pada zaman kolonialisasi, dua negara tersebut adalah dua negara kolonial, dalam hal ini setiap negara kolonial yang menguasai wilayah tertentu harus mencapai kesepakatan terhadap pembagian wilayah secara umum dengan negara lain. Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu garis yang menurut Caflisch (2006) disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang menentukan lingkaran pengaruh atau spheres of influence terhadap wilayah yang dikuasainya.Tahap ini tentu saja melibatkan proses keputusan politik dan kepentingan antara negara kolonial yang tidak mudah, bahkan sering harus melalui peperangan. Setelah terjadi kesepakatan alokasi wilayah, selanjutnya diantara negara kolonial biasanya melakukan kesepakatan tertulis dalam bentuk perjanjian (treaty). Pada zaman moderen, alokasi biasanya menghasilkan kompromi pembagaian wilayah antara dua negara yang berbatasan (Srebro dan Shoshany, 2013). Garis alokasi didefinisikan dengan beberapa cara. Pertama, didefinisikan atas dasar batas yang melekat kepada batas yang sudah ada, misalnya batas wilayah suku atau batas wilayah desa atau garis sepanjang suatu punggung bukit. Kedua, garis alokasi didasarkan atas batas wilayah administratif atau batas internasioanl yang sudah ada. Ketiga, garis alokasi menggunakan kenampakan geografis alami seperti sungai, danau, selat, rangkaian pegunungan (ke-empat, garis alokasi didasarkan atas metode geometris seperti yang dilakukan pada zaman kolonial yaitu menggunakan garis lintang atau garis bujur astronomi (Srebrodan Shoshany, 2013). 2. Delimitasi. Delimitasi adalah tahap setelah alokasi.Definisi tentang delimitasi dikemukakan pertama kali oleh McMohan tahun 1896, yaitu mendefiniskan batas
49
suatu negara yang dilakukan dengan narasi yang dituliskan di kertas atau digambarkan di peta (Srebrodan Shoshany, 2013). Definisi delimitasi yang lain dikemukakan oleh Curzon tahun 1907 (Srebrodan Shoshany, 2013), yaitu: delimitasi adalah seluruh proses pendahuluan untuk menentukan dan mewujudkan batas di dalam perjanjian (treaty). Dua kegiatan penting dan mendasar dalam delimitasi batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik-titik batas secara presisi dalam perjanjian atau dokumen formal lainya seperti peta dan/atau koordinat (Jones, 1945; Donaldson dan Williams, 2008). Pemilihan letak garis batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan kepentingan politik, sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu proses yang sepenuhnya bersifat teknis (Jones, 1945). Proses ini terdiri atas penentuan posisi titik-titik batas secara teliti dan kemudian menarik garis yang menghubungkan titik-titik batas tersebut di peta. Sebagai implementasi dari tahapan alokasi, tahap delimitasi merupakan tahapan yang sangat kompleks, karena selain aspek politik, juga mencakup aspek hukum dan aspek teknis pemetaan. Pada tahap delimitasi diperlukan ahli hukum (lawyer) untuk menterjemahkan dan menginterpretasikan pembagian wilayah yang sudah dituangkan dalam proses alokasi menjadi pembagian yang lebih teliti lagi. Selain itu untuk menentukan posisi titik dan garis yang teliti dibutuhkan ahli teknis seperti kartografer, surveyor geodesi atau geografer (Adler, 1995). Kesalahan serius bisa terjadi pada tahap delimitasi yaitu ketika memilih letak yang tidak sesuai atau mendefinisikan batas dengan tidak benar pada lokasi yang sudah sesuai. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa disebabkan hal-hal sebagai berikut: (a) tidak mengenali lokasi perbatasan yang dipilih, (b) tidak mengenali dengan baik kekhasan kenampakan geografis yang ada di lokasi perbatasan yang dipilih baik dari aspek alamiah maupun manusianya, (c) kurangnya pengetahuan cara mendefinisikan batas serta kesulitan-kesulitan di dalam mendefinisikan batas (Jones, 1945). Pada tahap delimitasi, walaupun sudah ada kesepakatan garis alokasi secara umum, namun tetap dilakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan tentang letak garis batas scara lebih pasti yang dituliskan dalam perjanjian dan digambarkan di peta. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi sengketa
50
dalam memilih letak garis batas. Pemilihan dan pendefinisian batas diperlukan IG sebagai infrastruktur. IG itu berupa petadasar. Sesuai dengan perkembangan teknologi geospasial saat ini, maka IG tersebut juga bisa dilengkapi dengan foto udara atau citra satelit (image). Dalam hal metode delimitasi batasada dua metode yang sangat umum digunakan yaitu; (1) metode turning pointsdan (2) metode natural features yang menggunakan fenomena alam seperti sungai dan watershed (punggung bukit). Pendefinisian garis batas dengan metode turning points adalah metode yang sangat logis karena setiap garis dapat didefinisikan dengan segmen dan panjang segmen bisa bervariasi tergantung bentuk garisnya (Adler, 2000; Jones, 1945). Pada metode ini yang perlu didefinisikan lebih dahulu dengan akurat adalah titiktitik batasnya, kemudian garis batas didefinisikan dengan cara menghubungkan dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus (lihat Gambar 3.2). Pemilihan turning points harus dilakukan sehingga setiap segmen dapat di “stake out” di lapangan dan intervisibility antar turning points secara teknis tidak terlalu panjang, tetapi menguntungkan dalam kegiatan administrasi batas dikemudian hari. 2 3
1 1,2,3 :turning points 23
: seksi (segmen)
Gambar 3.2. Metode turning points (Jones, 1945) Turning points dipilih pada titik-titik yang mudah dikenali baik di peta maupun di lapangan. Kalau turning points dipilih hanya pada kenampakan yang mudah dikenali di peta, tetapi sulit dikenali di lapangan maka menyulitkan ketika dilakukan demarkasi. Turning points didefinisikan dengan koordinat geografis
51
(lintang dan bujur) dengan referensi datum yang jelas dan pasti. Ketidakpastian dan ketidakjelasan datum yang digunakan dalam mendefinisikan koordinat turning points menjadi masalah dikemudian hari terutama pada tahap demarkasi. 3. Demarkasi. Setelah penentuan titik dan garis batas di peta dalam tahap delimitasi, selanjutnya dilakukan proses demarkasi. Demarkasi adalah menentukan posisi titik dan garis batas yang sesungguhnya di lapangan. Titik-titik batas yang sudah disepakati dalam proses delimitasi ditransformasi ke lapangan dan secara fisik ditandai dengan pembangunan tugu atau pilar batas, pos jaga, tembok atau fasilitas lainnya (Jones, 1945). Demarkasi ini dilakukan secara bersama antara negara yang berbatasan yang dilakukan oleh Komite Teknis Survei Demarkasi untuk menentukan koordinat titik batas melalui aktivitas survei pengukuran dan pemetaan menggunakan teknologi, peralatan dan metode yang memadai. Dalam survei lapangan, peran surveyor geodesi sangatlah vital agar dihasilkan titik-titik dengan koordinat yang akurat. Selain itu, penggunaan teknologi serta pendekatan ilmiah yang memadai perlu dilakukan untuk memperoleh posisi titik-titik batas yang akurat dan presisi.
4. Administrasi. Proses panjang boundary making yang dimulai dari negosiasi oleh para arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi yang hasilnya antara lain berupa peta kesepakatan batas wilayah sebagai lampiran treaty, kemudian dilakukan demarkasi oleh ”the boundary engineers”. Proses panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis survei pemetaan. Output dari proses delimitasi dan demarkasi adalah dokumendokumen yang bersifat statis dan dinamis yang penting diadministrasikan untuk keperluan masa datang, sehingga tahapan berikutnya adalah administrasi batas wilayah. Tahapan administrasi batas wilayah disajikan pada Gambar 3.3.
52
BASIS DATA
ADMINISTRASI
Dokumentasi (statik)
Pemetaan
Laporan
Lampiran perjanjian
Securing your knowledge
Pemeliharaan (dinamik)
SIG (alat) updating
Administrasi
Gambar 3.3. Tahapan administrasi pada teori Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009) Pada tahapan administrasi ini, aktivitas pemeliharaan titik-titik batas dilakukan oleh masing-masing negara bertetangga yang dipisahkan oleh garis batas tersebut.Pada tahap administrasi lebih ditekankan pada mengadministrasikan dokumen statik dari kegiatan sebelumnya serta pemeliharaan titik-titik batas hasil demarkasi agar tidak rusak atau berpindah posisinya (dokumen dinamik). Sesuai perkembangan teknologi informasi maka SIG digunakan sebagai alat untuk pemeliharaan dan pembaharuan basis data wilayah perbatasan.
III.2.2. Model kerangka kerja boundary making Model kerangka kerja boundary making batas internasional dapat dikelompokan menjadi dua yaitu model kerangka kerja yang bersifat politis dan yang bersifat profesional. Secara umum model kerangka kerja boundary making meliputi tiga tahap yaitu: (1) negosiasi, termasuk di dalamnya alokasi garis batas, (2) perjanjian (treaty) atau kesepakatan (agreement) serta delimitasi dan
53
demarkasi garis batas, (3) administrasi yang di dalamnya termasuk kegiatan pemeliharaan garis batas. Dalam implementasinya, model kerangka kerja untuk tahapan yang bersifat politis dan kerangka kerja yang bersifat profesional digambarkan seperti pada Gambar 3.4. (Srebro dan Shoshany, 2013).
Kerangka kerja yang bersifat politis
Kerangka kerja profesional PEKERJAAN PERSIAPAN
ALOKASI PERJANJIAN (TREATY)
DELIMITASI
DEMARKASI optional final delimitation DOKUMENTASI BATAS BERSAMA (joint boundary documentation)
ADMINISTRASI PERBATASAN (frontier administration)
PEMELIHARAAN GARIS BATAS (boundary line maintenance)
Gambar 3.4. Model kerangka kerja boundary making batas internasional (Srebro dan Shoshany, 2013) Model kerangka kerja mencakup semua tahapan proses boundary making meliputi komponen dan kegiatan yang harus dimasukkan dalam proses, termasuk teknologi yang dianjurkan untuk digunakan sesuai perkembangan teknologi yang ada. Model kerangka kerja boundary making pada Gambar 3.4. tidak selalu mencerminkan tahapan yang linear berkesinambungan mulai dari alokasi,
54
delimitasi, kesepakatan perjanjian, demarkasi, dokumnetasi dan pemeliharaan, namun dapat saja terjadi non-linear. Proses linear dicirikan adanya hubungan dan kerjasama yang proporsional antara politisi/negarawan dan tenaga ahli profesional (hukum dan teknis pemetaan). Alokasi adalah tugas politisi/negarawan tetapi diperlukan bantuan persiapan teknis dari para ahli profesional. Perjanjian dihasilkan oleh politisi/negarawan, namun di dalamnya berisi hasil-hasil delimitasi batas yang merupakan kerja yang dilakukan oleh ahli profesional pemetaan. Demarkasi dan dokumentasi hasil-hasilnya merupakan kerja profesional survei pemetaan, namun harus disahkan oleh politisi/negarawan. Administrasi merupakan tanggung jawab dari politisi/negarawan, di dalamnya termasuk kegiatan pemeliharaan garis batas yang menjadi tanggung jawab ahli pemetaan (surveyor) (Srebro dan Shoshany, 2013). Proses non-linear kerangka kerja batas internasional sering dilakukan terutama pada zaman kolonial, ketika pengetahuan tentang kondisi IG di area yang dilakukan delimitasi masih sangat terbatas. bahkan kadang belum tersedia, sehingga proses boundary making dilakukan secara iteratif. Pada umumnya daerah koloni adalah daerah yang remote dari negara kolonial dan teknologi geospasial pada era kolonialisasi belum berkembang seperti pada abad 21 ini (pasca era kolonial). Pada zaman kolonial, delimitasi awal dilakukan sesuai dengan hasil alokasi yang dilakukan oleh para politisi dengan bantuan IG seadanya. Oleh sebab itu sering dilakukan delimitasi menggunakan garis lintang atau bujur astronomi yang dipandang lebih mudah untuk ditegaskan di lapangan. Selanjutnya, ketika dilakukan demarkasi terhadap delimitasi awal, tim demarkasi (surveyor) diberi wewenang untuk melakukan perubahan terhadap garis batas dengan memperhatikan kondisi lapangan sesuai kondisi geografis atau kondisi etnografis. Hasil demarkasi yang dilakukan oleh surveyor tersebut selanjutnya dimasukan ke dalam bagian perjanjian yang disusun oleh politis/negarawan sebagai dokumen legal (Srebro dan Shoshany, 2013). Sebagai contoh model boundary makingnon-linear adalah batas antara koloni Inggris dan Belanda di Pulau Papua. Garis alokasi atas Pulau Papua antara
55
Inggris dan Belanda pada tahun 1895 oleh para politisi/negarawan digunakan garis bujur 1410 BT (Bujur Timur). Garis bujur 1410 BT oleh para profesional digunakan sebagi delimitasi awal. Selanjutnya dilakukan demarkasi oleh profesional masing-masing pihak menggunakan metode astronomi geodesi, didapat perbedaan ukuran di lapangan antara pihak Belanda dan Inggris sebesar 398 m. Kemudian oleh para profesional disepakati bahwa letak garis bujur 1410 BT adalah di pusat perbedaan tersebut. Namun ketika garis bujur yang disepakti tersebut akan dipasang di lapangan, ditemukan lagi bahwa posisi baru ini tidak cocok untuk pendirian tugu/pilar, maka setelah konferensi lanjutan ditetapkan sebuah lokasi lain. Lokasi tersebut karena alasan kepentingan praktis diletakan pada jarak sekitar 31 m di sebelah barat posisi hasil pembagian perbedaan jarak tersebut. Pada posisi titik batas terakhir yang disepakati profesional tersebut kemudian
dipasang
tugu
batas
yang
akhirnya
disepakati
oleh
para
politisi/negarawan kedua belah pihak dan dimasukan kedalam perjanjian antara Inggris dan Belanda tahun 1934 sebagai titik batas yang berlaku selamanya (Sumaryo, 2010). Kerangka kerja boundary making menurut Donaldson dan Williams, (2008) adalah mengikuti pendekatan sistematik. Menurut Srebro dan Shoshany (2013) proses boundary making mengikuti model yang disebut metode yang sistematik (systematic methodological)yang dikembangkan berdasarkan atas pengalaman kasus-kasus batas wilayah yang terjadi di dunia. Model tersebut diawali dari tahap persiapan, delimitasi, demarkasi dan pemeliharaa. Dalam model tersebut diperlukan kerja profesional mulai dari awal sampai akhir. Pada tahap pemeliharaan terlebih dahulu perlu diperhatikan dokumentasi batas wilayah. Aspek teknis geodesi perlu diperhatian dengan baik sebelum dimulai tahap delimitasi dan perjanjian. Ketidakjelasan garis batas dalam tahap alokasi mengakibatkan masalah dalam tahap delimitasi dan akibat selanjutnya perjanjian menjadi tertunda. Jika pendefinisian garis batas dalam tahap delimitasi tidak mencukupi kebutuhan yang digunakan sebagai pedoman pada tahap demarkasi, maka konflik bisa terjadi sebelum atau selama kegiatan demarkasi. Jika demarkasi tidak didokumentasikan
56
dengan baik dan satu sama lain tidak sepakat, maka hal tersebut bisa menyebabkan konflik bahkan perang antar negara di kemudian hari.
III.2.3. Karakteristik boundary making Berdasar telaah teori dan pustaka seperti telah diuraikan sebelumnya (Jones, 1945; Adler, 1995, 2000; Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany, 2013), boundary making memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Boundary making memiliki tiga aspek yaitu: politik, hukum dan teknis (Geospasial) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.5.
POLITIK
Boundary making HUKUM
GEOSPASIAL
Gambar 3.5. Aspek politik, hukum dan teknis (geospasial) dalam boundary making 2. Boundary making memiliki kerangka kerja yang tahapannya terdiri atas: alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi/pemeliharaan. 3. Tahapan tersebut bersifat berkesinambungan dan sistematik.
57
4. Tiga aspek yaitu politik, hukum dan geospasial pada setiap tahapan bersifat proporsional. Aspek geospasial dan hukum sering disebut aspek profesional. 5. Kerangka kerja boundary making yang berkesinambungan-sistematik sertabersifat proporsional antara aspek politik dan aspek profesional, disebut kerangka kerja yang bersifat linear dan sebaliknya disebut kerangka kerja yang bersifat non-linear. 6. Bersifat kontraktual (contractual concept), artinya harus ada kesepakatan terhadap suatu garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah terjadi kesepakatan. III.3. Geospasial Secara tradisional, survei dan pemetaan (surveying) didefinisikan sebagai ilmu (science), seni (art) dan teknologi untuk penentuan posisi relatif titik-titik di atas, pada atau di bawah permukaan bumi. Ilmu dan teknologi terus berkembang. Pertengahan abad ke dua puluh adalah permulaan revolusi teknologi yang didorong oleh kebutuhan peralatan pertahanan selama perang dunia kedua. Perkembangan teknologi yang pada umumnya diawali untuk keperluan militer, selanjutnya terus dikembangkan juga untuk keperluan non militer (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). Perkembangan teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan teknologi informasi telah
mendorong perubahan paradigma survei pemetaan
(Ghilani dan Wolf, 2007). Perubahan paradigma survei pemetaan ditandai adanya kecenderungan umum bahwa survei pemetaanyang awalnya hanya dalam cakupan penyediaan data survei dan pemetaan, berkembang cakupannya untuk memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan IG yang dilakukan secara digital (Konecny, 2003). Untuk memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi diperlukan ilmu komputer dan
58
teknologi informasi yang selanjutnya berkembang ilmu Sistem Informasi SIG (Hannah, dkk., 2000). Perkembangan paradigma survei pemetaan tersebut melahirkan istilah baru yang disebut Geomatika yaitu “sain dan teknologi yang mempelajari tentang pengukuran obyek-obyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survei), pengolahan dan analisis, presentasi (penggambaran), penyimpanan (storage), managemen dan distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai pengambilan keputusan” (Konecny, 2003). Berdasarkan istilah geomatika ini kemudian berkembang istilah spasial dan geospasial (Kavanagh, 2003). Terminologi spasial digunakan untuk menyatakan lokasi data pada suatu ruang, tidak hanya ruang kebumian, sedang terminologi geospasial digunakan untuk menyatakan lokasi data pada ruang kebumian (Laurini dan Thompson, 1992; Burkholder, 2008). Merujuk pada UU No.4 tahun 2011 tentang IG, geospasial adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu (Anonim, 2011b). Dalam geospasial mencakup tiga hal yaitu: (1) data geospasial, (2) teknologi geospasial dan(3) IG (Burkholder, 2008). Data geospasial didefinisikan sebagai nilai numerik yang merepresentasikan lokasi atau posisi, ukuran dan bentuk suatu obyek atau kejadian di bumi (Burkholder, 2008). Menurut Kavanagh (2003), teknologi geospasial dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu teknologi untuk pengumpulan data geospasial dan teknologi untuk analisis, pengelolaan, penyimpanan (storage), penampilan, desain dan perencanaan IG. Teknologi akusisi data meliputi teknologi terestris (teodolit, total station, sipat datar), GPS, pemotretan udara dengan pesawat terbang serta perekaman data muka bumi dengan satelit. Managemen dan perencanaan, pengolahan, penggambaran, penyimpanan dan distribusi data geospasial ditangani melalui SIG dan berbagai program komputer seperti perangkat lunak fotogrametri, perangkat lunak untuk analisis citra satelit dan perangkat lunak Auto-CAD Map
59
(Kavanagh, 2003). IG adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian (UU No.4 tahun 2011 tentang IG).
III.3.1. Informasi geospasial Salah satu IG yang memiliki peran penting dalam boundary making adalah peta. 1. Pengertian peta. Peta adalah suatu penyajian grafis dari seluruh atau sebagaian permukaan bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi peta tertentu (Muehrcke, 1978; Maling, 1989; Soendjojo dan Riqqi, 2012). Peta merupakan model dua dimensi yang memiliki skala yang merepresentasikan permukaan bumi tiga demensi untuk menampilkan dan menggambarkan obyek-obyek yang dipilih. Selain menggambarkan fenomena unsur muka bumi yang bersifat alamiah dan buatan manusia, peta juga digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta atau kejadian yang bersifat spasial termasuk fakta yang berasosiasi dengan politik seperti batas wilayah (Hyde, 1993). Secara umum peta berfungsi untuk: (1) menyatakan posisi/lokasi suatu tempat di permukaan bumi yang dinyatakan dengan koordinat planimetris (X,Y) dan ketinggian dari suatu bidang referensi (muka laut), (2) memperlihatkan pola distribusi dan pola spasial dari fenomena alam, buatan manusia dan suatu peristiwa/kejadian, (3) merekam dan menyimpan data dan informasi muka bumi serta menvisualisasikan data dan informasi bumi menjadi peta (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Secara tradisi, peta dikelompokan menjadi dua yaitu peta dasar atau sering juga disebut peta topografi dan peta tematik. Peta dasar menyajikan gambaran umum muka bumi berupa unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan manusia (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Mengacu kepada UU No.4 tahun 2011 tentang IG, peta dasar yang khusus menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang terletak di darat disebut peta rupa bumi Indonesia (peta RBI), sedang yang
60
menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang terletak di wilayah pesisir disebut peta Lingkungan Pantai Indonesia (peta LPI) dan yang menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi wilayah laut disebut peta Lingkungan Laut Nasional (peta LLN) (Anonim, 2011b). Peta tematik menyajikan unsur-unsur tertentu dari permukaan bumi sesuai dengan tema dari peta yang bersangkutan. Peta batas wilayah termasuk dalam kelompok peta tematik karena yang disajikan adalah hanya unsur-unsur yang terkait tema batas wilayah. Peta tematik yang lain misalnya peta geologi, peta gayaberat, peta lereng, peta penggunaan lahan, peta kependudukan, peta rawan longsor dan peta rawan banjir. Peta merupakan produk kartografi. Kartografi adalah pembuatan data spasial yang dapat diakses, menekankan visualisasinya dan memungkinkan berinteraksi dengannya, yang berhubungan dengan masalah-masalah geospasial, (Kraak dan Ormeling, 2013). Penyajian gambar permukaan bumi menjadi wujud peta dapat disajikan dalam bentuk grafis disebut peta garis dan dalam bentuk foto/citra yang disebut peta foto. Pada peta garis unsur-unsur muka bumi disajikan dengan cara menggunakan simbol titik, garis dan area. Penyajian simbol tersebut mengikuti kaidah generalisasi, yaitu ada unsur yang dipertahankan, dihilangkan, dan dieksagerasi (exaggeration) (Kraak dan Ormeling, 2013). Simbol-simbol dalam peta garis dilengkapi dengan keterangan dalam bentuk teks untuk menjelaskan arti dari simbol-simbol yang digambarkan tersebut. Keterangan-keterangan tersebut diletakan di luar batas tepi peta yang dikenal sebagai informasi tepi peta. Pada bagian informasi tepi peta banyak keteranganketerangan penting yang harus dicantumkan agar suatu peta dapat digunakan dengan mudah oleh pengguna peta. Keterangan pada informasi tepi peta ada yang bersifat wajib dan keterangan yang bersifat tambahan. Keterangan wajib merupakan keterangan penting dan harus dicantumkan, sedang keterangan tambahan adalah keterangan yang dianggap perlu dan sebaiknya dicantumkan apabila ruang masih memungkinkan (Soendjojo dan Riqqi, 2012). 2. Aspek geometrik peta. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu fungsi peta adalah untuk menyatakan posisi/lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Oleh sebab itu
61
posisi di peta harus merepresentasikan posisi sebenarnya di muka bumi. Permasalahannya, muka bumi adalah bidang lengkung tiga dimensi sedangkan peta adalah bidang datar dua dimensi. Menggambarkan bidang lengkung ke dalam bidang datar terjadi penyimpangan yang disebut distorsi seperti diilustrasikan pada Gambar 3.6. (Schofield, 2002). Pada Gambar 3.6, bila AB yang terletak pada area yang sempit di permukaan bumi diproyeksikan secara ortogonal ke bidang datar (peta) diperoleh ab. Panjang ab sama dengan AB sehingga pada area yang sempit terlihat tidak terjadi distorsi. Bila areanya semakin luas, maka proyeksi CD ke bidang datar menjadi cd. Dalam hal ini cd tidak sama dengan CD, berarti terjadi distorsi. Permasalahan yang harus diperhatikan dalam pemetaan adalah mereduksi distorsi menjadi sekecil mungkin (Schofield, 2002). Untuk mereduksi distorsi dilakukan dengan cara: (a) membagi permukaan bumi menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, (b) menggunakan bidang datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa atau minim distorsi yang disebut bidang proyeksi. Secara keilmuan, cara (b) disebut sistem proyeksi peta. Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid (Soendjojo dan Riqqi, 2012; Prihandito, 2010).
c
a
b
d Bidang datar
C
A B
D Permukaan bumi
Gambar 3.6. Prinsip dasar pemetaan (Schofield, 2002)
62
Dalam pemetaan, tahapan konseptual pemetaan diawali dengan melakukan pengukuran posisi titik-titik di permukaan bumi, selanjutnya posisi titik-titik di muka yang berupa koordinat geodetis/geografis dipindahkan ke bidang datar (peta) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.8.(Abidin, 2014). Pada Gambar 3.8., (ϕ, λ) adalah parameter lintang dan bujur geografis dan (x,y) adalah parameter koordinat kartesian pada bidang proyeksi. Koordinat geodetik (ϕ,λ) dan koordinat peta (x,y) tergantung pada datum geodetik dan sistem proyeksi yang dipilih. Datum geodetik tersedia banyak baik yang lokal maupun yang global, demikian juga sistem proyeksi peta. Kebijakan pemilihan datum geodetik dan sistem proyeksi peta menjadi wewenang lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pemetaan di suatu negara. Di Indonesia sesuai UU No.4 tahun 2011 tentang IG, lembaga yang berwenang menentukan pemakaian datum geodetik dan sistem proyeksi peta yang digunakan adalah BIG. Pendefinisian sistem referensi koordinat (datum geodetik) Bumi
Elipsoid referensi
Sistem koordinat geografis: lintang, bujur (ϕ, λ)
Domain pengukuran
Proyeksi peta Domain hitungan
Sistem koordinat proyeksi: utara,timur (x, y), y
Peta x
Gambar 3.7. Tahapan konseptual pemetaan (Abidin, 2014)
63
Mengacu Gambar 3.7, aspek geometrik peta adalah berhubungan dengan transformasi matematis dari koordinat geodetis/geografis di permukaan bumi ke koordinat proyeksi di bidang datar, hal tersebut meliputi: datum geodetik, proyeksi peta, koordinat, orientasi dan skala.
III.3.2. Datum geodetik Datum geodetik adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi yang digunakan untuk penentuan koordinat geodetik, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh bumi. Gambar 3.9. adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk mendefinisikan datum geodetik (Abidin, 2001), yaitu: 1) Bentuk dan ukuran ellipsoid referensi (parameter a, f) yang digunakan untuk pendefinisian koordinat geodetik. Dalam hal ini a = setengah sumbu panjang elipsoid, b : setengah sumbu pendek dan f : penggepengan elipsoid = (a-b)/a. 2) kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh bumi. Sistem referensi koordinat elipsoid atau datum geodetik seperti ilustrasi pada Gambar 3.8. mempunyai karakteristik sebagai berikut (Abidin, 2001): 1) Titik nol sistem koordinat adalah pusat elipsoid, 2) Sumbu X adalah perpotongan meridian nol dengan bidang ekuator elipsoid 3) Sumbu Z berimpit dengan sumbu pendek elipsoid, 4) Sumbu Y pada bidang ekuator, tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z dan membentuk sistem koordinat tangan kanan (right handed system).
64
Conventional International Origin (CIO)
International Zero Meridian
Z ω
b a
X
Y
Earth’sCenter of Mass
Gambar 3.8. Datum geodetik (Anonim, 2006) Peninjauan dari lokasi origin sistem koordinat yang digunakan dapat dibedakan antara datum geodetik geosentrik (global) dan datum geodetik toposentrik (lokal). Pada datum geosentrik digunakan elipsoid referensi yang dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi dan pusat koordinat (origin) elipsoid ditempatkan pada titik pusat bumi. Datum geodetik geosentrik didefinisikan minimal berdasarkan delapan parameter (Schofield, 2002; Kelompok Kerja Geodesi Bakosurtanal, 2007): 1) Parameter a dan f untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi yang digunakan (2 parameter), 2) (Xo,Yo, Zo) untk mendefisiskan koordinat titik pusat elipsoid terhadap pusat bumi (3 parameter), 3) (ɛx, ɛ y, ɛ z) untuk mendefinisikan arah-arah sumbu X, Y dan Z elipsoid dalam ruang terhadap sumbu-sumbu bumi (3 parameter). Datum geodetik toposentrik (lokal) menggunakan elipsoid referensi yang dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi setempat (geoid lokal). Koordinat pusat elipsoid ditempatkan tidak berimpit dengan pusat bumi seperti pada Gambar 3.9.
65
ɛ(ξo, ηo) elipsoid Po: titik datum lokal ho
muka bumi vertikal
b
geoid
normal ΦPo
φPo pusat elipsoid
pusat bumi
a
Gambar 3.9. Datum lokal pada penampang potongan meridian (Schofield, 2002) Pada masa lalu,pendefinisian datum geodetik lokalumumnya dilaksanakan dengan metode astronomi-geodetik dengan langkah-langkah sebagai berikut (Fahrurrazi, 2011): 1) Pendefinisian dimensi elipsoid acuan: a, f, 2) Pendifinisian origin dan orientasi sumbu-sumbu koordinat serta skala melalui: a) Pendefinisian titik datum (Po) yang meliputi: koordinat geodetik (φo, λo, ho), undulasi geoid No, dan defleksi vertikal ɛ (ξo, ηo); Koordinat geodetik tersebut diturunkan dari data pengamatan koordinat astronomik (Φo, Λo) dan tinggi ortometrik (Ho) dengan persamaan 3.1. φo = Φo − ξo ,λo = Λo − ηo sec φo , ho = Ho + No.............................. (3.1)
66
(apabila didefinisikan No= 0, ξo = ηo = 0 maka elipsoid acuan didefinisikan berimpit dengan geoid di titik datum) b) Di titik datum juga dilakukan pengukuran azimut awal Ao (jaring triangulasi)
dengan
metode
astro-geodetik
yang
kemudian
dikoreksi dengan efek defleksi vertikal untuk menuhi kondisi azimut Laplace sehingga diperoleh azimut geodetik seperti pada persamaan 3.2. αo = Ao − (Λo − λo) sin φo = Ao − ηo tan φo ................................ (3.2) c) Untuk jaring triangulasi, skala direalisasikan melalui pengukuran jarak basis (sisi triangulasi). Datum geodetik lokal yang pernah didefinisikan dan diterapkan di Indonesia untuk tujuan pemetaan, ialah Datum Genuk (1862), Datum Bukit Serindung (1886), Datum Bukit Rimpah (1917), Datum Gunung Segara (1937), Datum Montjong Lowe (1911), dan Datum T21 Sorong. Setelah Indonesia merdeka, didefinisikan dua datum relatif yaitu Datum Indonesia 1974 dan Datum Pulau Pisang. Datum Pulau Pisang hanya digunakan untuk penentuan perbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Setelah berkembangnya teknologi penentuan posisi dengan sistem satelit GPS ada kecenderungan global bahwa dalam sistem pemetaan termasuk dalam pemetaan batas wilayah di berbagai negara digunakan datum geodetik World Geodetic System 1984 atau dsingkat WGS84 (Adler, 2000). Datum WGS84 disajikan pada Gambar 3.10.
67
Z WGS 84
IERS Reference Pole (IRP) ω
Greenwich pusat massa bumi IERS Reference Meridian (IRM)
Y WGS 84
X WGS 84
ekuator
Gambar 3.10 Datum geodetik WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001) Empat parameter utama datum WGS84 disajikan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Empat parameter utama elipsoid WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001) Parameter
Notasi
Nilai
Setengah sumbu panjang
a
6.378.137,0 m
Penggepengan f = (a-b)/a
1/f
298,257223563
Kecepatan sudut bumi
ω
7292115,0 x 10 -11 rad/det
GM
3986004,418 x 108 m3det-2
Konstanta gravitasi bumi (termasuk massa atmosfer)
Di Indonesia pada tahun 1996 ditetapkan Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 95) sebagai datum geodetik resmi untuk keperluan pemetaan di Indonesia.
68
DGN 95 merupakan datum geosentrik yang realisasinya diikatkan ke kerangka referensi ITRF 91 (International Terrestrial Reference Frame1991) melalui hitungan dari data Jaring Kontrol Horisontal Orde nol sebanyak 60 titik. Selanjutnya koordinat ITRF 91 yang diperoleh ditransformasikan ke sistem koordinat WGS 84. Ketelitian relatif hasil hitungan jarak basis antar titik-titik pada jaring kontrol horisontal nasional orde nol adalah 0,1 sampai 2 ppm, dengan simpangan baku dalam fraksi sentimeter pada tiga komponen koordinat kartesian dari seluruh titik. Realisasi dari DGN 95 di lapangan adalah berupa kerangka dasar yang diwakili oleh jaring kontrol horisontal nasional orde nol, orde satu beserta perapatannya (Kelompok Kerja Geodesi, 2007). DGN 95 adalah datum geosentrik yang menggunakan elipsoid referensi yang sama seperti yang digunkan oleh WGS 84, maka masalah transformasi koordinat antara DGN 95 dan WGS 84 relatif tidak ada (Abidin, 2001). Pada 17 Oktober 2013, suatu datum baru ditetapkan untuk menggantikan DGN 95 melalui Peraturan Kepala BIG yang disebut
Sistem Referensi
Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) (Sukmayadi dan Syafi’i, 2014). SRGI adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global SRGI 2013 mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi (Subarya, 2014). Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi X,Y,Z yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat geodetik lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik (toposentrik) (Abidin, 2014). Spesifikasi SRGI 2013 adalah: (1) datum semi dinamik (2) mengacu ke kerangka referensi global ITRF 2008, (3) epok referensi nilai koordinat ditetapkan 1 Januari 2012, (4) elipsoid referensi WGS 1984. Perbedaan yang mendasar antara datum SRGI 2013 dengan datum DGN 95 adalah datum DGN 95 merupakan datum yang bersifat statik artinya koordinat dianggap tidak berubah dengan waktu, sedang SRGI 2013 merupakan datum semi dinamik, artinya
69
koordinat dianggap selalu berubah dengan waktu, tapi direpresentasikan pada epok referensi tertentu. Pada saat ditetapkan SRGI 2013 menggunakan model deformasi berdasarkan 4 lempeng tektonik, 7 blok tektonik dan 126 data gempa (Abidin, 2014). Dalam konteks batas wilayah, peran datum geodetik sangat penting karena pendefinisian titik-titik batas dilakukan dengan nilai koordinat yang harus jelas datum geodetiknya. Ketidakjelasan datum geodetik dalam pendefisian koordinat titik batas bisa menimbulkan permasalahan baik dalam tahap penetapan maupun penegasan. Pendefinisian koordinat titik-titik batas tanpa menyertakan spesifikasi datum geodetik adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan(Pratt, 2006).
III.3.3. Sistem koordinat Ada dua sistem koordinat yang biasanya digunakan dalam peta batas wilayah yaitu koordinat geografis dan koordinat grid (Rusworth, 1998). Berikut uraian singkat dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat grid. 1. Sistem koordinat geodetik/geografis. Dalam sistem koordinat geografis, bumi didefinisikan berbentuk bola. Sebenarnya bentuk bumi lebih mendekati elipsoid, namun untuk kemudahan perhitungan, model elipsoid sering disederahanakan menjadi model bola dengan syarat volume bola sama dengan volume elipsoid (Vanicek dan Krakiwsky, 1982). Apabila pendefinisian koordinat digunakan model elipsoid sistem koordinat disebut sistem koordinat geodetik. Sistem koordinat geografis nampaknya istilah yang bersifat umum dan sering diterapkan baik sistem koordinat geodetik maupun sistem koordinat yang menggunakan model bumi bola (Fahrurrazi, 2011).
70
Z
Z A
meridian nol
hA A
O nA
ekuator
φA
Z XA
YA
X
λA
Y κ
meridian A
Gambar 3.11. Posisi titik A (φ, λ) pada sistem geodetik (Fahrurrazi, 2011) Pada sistem koordinat geodetik kedudukan suatu titik (A) di muka bumi seperti disajikan pada Gambar 3.11. dinyatakan dengan tiga komponen koordinat: lintang geodetik (φA), bujur geodetik (λB) dan tinggi terhadap permukaan elipsoid (hA). Dalam hal ini, koordinat titik A juga dapat dinyatakan dengan besaranbesaran jarak koordinat kartesian tiga dimensi yaitu (XA, YA, ZA). Kedua koordinat ini dapat saling ditransformasikan satu dengan lainnya menggunakan formula matematis seperti diuraikan oleh Burkholder (2008). Dalam konteks batas wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam sistem koordinat geodetis, maka dapat ditentukan nilai koordinat kartesian tiga dimensi dan berlaku sebaliknya. Menurut Burkholder (2008) formula konversi dari koordinat geodetik (φ,λ, h) ke koordinat kartesian X,Y, Z didebut BK1 dan sebaliknya disebut formula BK2. Formula BK1 dan BK2 disajikan pada Lampiran 1.
71
2. Koordinat proyeksi. Sistem koordinat proyeksi atau koordinat grid merupakan koordinat kartesian dua dimensi. Koordinat suatu titik di bidang proyeksi dinyatakan dengan parameter (x) yang disebut absis dan parameter (y) yang disebut ordinat. Hubungan koordiant geografis dengan koordinat proyeksi (grid) diilustrasikan seperti Gambar 3.12.
Z
y P (φP, λP)
φP
P (x, y) O (0, 0)
x
Y X
λP
Bidang referensi elipsoid Sistem koordinat geografis, lintang, bujur (φP, λP)
Bidang peta
PROYEKSI PETA
Sistem koordinat peta, absis, ordinat (x, y)
Gambar 3.12. Hubungan koordinat geografis P (φ, λ) dengan koordinat proyeksi P (x,y) Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Indonesia digunakan sistem proyeksi peta UTM, sehingga berikut ini dijelaskan secara ringkas sistem koordinat grid pada proyeksi UTM: 1) Sistem grid UTM bersifat universal, membagi seluruh permukaan bumi menjadi 60 bagian yang disebut zona UTM, sehingga setiap zona UTM mempunyai lebar zone 60. Setiap zona UTM, bidang proyeksi silinder memotong bumi (secant),
72
2) Setiap zona mempunyai koordinat sendiri, yaitu titik potong meridian sentral dengan garis ekuator yang disebut sebagai titik nol sejati (true origin), 3) Dalam setiap grid metrik, meridian sentral diberi absis sebesar 500.000 meter Timur (mT), sedang untuk ordinat, agar idak dijumpai angka negatif maka disebelah selatan ekuator diberi ordinat sebesar 10.000.000 meter Utara (mU), disebelah utara ekualtor diberi ordinat 0
Ekuator
700.000 mT
600.000 mT
500.000 mT Meridian tengah
400.000 mT
Utara
300.000 mT
mU (Gambar 3.13.),
200.000 mU 100.000 mU 0 mU/ 10.000.000 mU
True origin 9.900.000 mU 9.800.000 mU Timur
Gambar 3.13 Sistem koordinat grid pada proyeksi peta UTM (Prihandito, 2010) 4) Grid merupakan garis-garis pada muka peta yang tergambar saling tegak lurus dan perpotongannya merupakan koordinat sistem referensi kartesian. Garis-garis tegak sejajar dengan meridian tengah, sedang
73
garis-garis mendatar, tegak lurus dengan garis-garis tegak (Soendjojo dan Riqqi, 2012), 5) Setiap zona pada setiap sistem grid UTM mempunyai pertampalan ke samping sekitar 40 km, sehingga setiap titik yang berada di daerah pertampalan akan mempunyai dua nilai koordinat, 6) Faktor skala pada meridian sentral, k = 0,9996, 7) Muka peta RBI dibatasi dengan garis tepi peta dalam bentuk gratikul. Pada setiap ujung peta dicantumkan koordinat geografis (lintang dan bujur), dan juga kordinat kartesian hasil transformasi dari koordinat geografis ke koordinat Transverse Mercator. 8) Pada muka peta dibuat garis-garis gratikul yang panjang ukurannya tergantung pada skala peta yang disajikan (Gambar 3.14.). Gratikul adalah garis-garis kerangka peta yang merupakan proyeksi garis paralel dari lintang (line of latitude) dan garis meridian dari bujur (line of longitude) yang tergambar pada muka peta dan garis tepi peta.
Gambar 3.14 Gratikul (biru) dan grid (hitam) pada sistem koordinat UTM (Soendjojo dan Riqqi, 2012) Nilai garis gratikul diperlihatkan dengan selang tertentu di sepanjang garis tepi peta. Umumnya, nilai garis gratikul ditulis penuh pada sudut-sudut peta
74
dalam satuan derajat, menit dan detik yang merupakan koordinat geografis. Kegunaan garis gratikul adalah untuk membaca posisi koordinat geografis di peta. (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Dalam konteks batas wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam koordinat geografisnya maka dapat ditentukan sistem koordinat proyeksi peta (UTM) dan sebaliknya bila diketahui dalam sistem koordinat proyeksi peta (UTM) maka dapat ditentukan koordinat geografisnya. Hubungan sistem koordinat geodetikdengan sistem koordinat proyeksi peta (UTM) dan sebaliknya diberikan dalam rumus-rumus BK10 dan BK11 seperti dikemukakan oleh Burkholder (2008) yang disajikan pada Lampiran 2.
III.3.4. Proyeksi peta 1. Pengertian proyeksi peta. Suatu peta dikatakan ideal bila: (1) luas benar, (2) bentuk benar, (3) arah benar dan (4) jarak benar. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pemetaan selalu terjadi distorsi sehingga keempat syarat tersebut tidak dapat dipenuhi semuanya. Dalam hal ini salah satu persyaratan ideal harus dikorbankan, sehingga yang dapat dilakukan hanyalah mereduksi distorsi sekecil mungkin untuk memenuhi satu atau lebih syarat ideal. Salah satu cara mereduksi distorsi tersebut adalah dengan sistem proyeksi peta. Secara umum dalam proyeksi peta dapat diklasifikasi atas dasar beberapa kriteria. Kriteria berdasarkan bidang proyeksi yang digunakan yaitu: (1) bidang kerucut, disebut proyeksi kerucut, (2) bidang silinder, disebut proyeksi silinder dan, (3) bidang datar disebut proyeksi zenital. Ditinjau dari orientasi atau kedudukan garis karakteristik atau sumbu simetri, dikenal ada tiga yaitu: (1) normal, garis karakteristik membentuk sudut dengan sumbu bumi, (2) miring bila garis karakteristik membentuk sudut tertentu dengan sumbu bumi, (3) transversal, bila garis karakteristik tegak lurus sumbu bumi. Garis karakteristik pada bidang kerucut adalah sumbu simetri bidang kerucut, garis karakteristik silinder adalah sumbu simetri bidang silinder dan garis karakteritik proyeksi zenital adalah garis yang melalui pusat bumi dan tegak lurus bidang proyeksi. Ditinjau dari distorsi
75
yang diakibatkan, proyeksi peta dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (1) proyeksi konform bila sudut di muka bumi sama dengan bidang proyeksi, (2) proyeksi equivalence, luas di peta sama dengan luas di muka bumi, (3) proyeksi equidistance, jarak di peta sama dengan jarak di muka bumi.Ditinjau berdasarkan persinggungan bidang proyeksi terhadap bumi, diklasifikasi menjadi: (1) tangent, bidang proyeksi menyinggung bola bumi, (2) secant, bidang proyeksi memotong bola bumi dan (3) polysuperficial, terdiri atas banyak bidang proyeksi (Prihandito, 2010; Soendjojo dan Riqqi, 2012). Sejak tahun 1979, dalam rangka pembuatan peta RBI digunakan proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) (Ikawati dan Setiawati, 2009). Proyeksi UTM adalah modifikasi dari proyeksi Transverse Mercator. Kedudukan silinder terhadap bola bumi adalah memotong bola bumi dan sumbu silinder tegak lurus sumbu bumi (Gambar 3.15). Proyeksi UTM memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Prihandito, 2010; Soendjojo dan Riqqi, 2012): 1)Silinder, transversal, secant dan konform, 2)Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1, 3)Permukaan bumi dibagi 60 zona dengan lebar zona 60. Masing-masing zona UTM dibatasi lebar 60 bujur dan 80 lintang, 4)Zona-zona UTM diberi nomor, dimulai dari nomer 1 pada zone yang dibatasi 1800 bujur barat (BB) sampai 1740 BB, terus ke arah timur sampai zone nomor 60 antara 1740 bujur timur (BT) sampai 1800 BT, 5)Batas lintangnya adalah 800 lintang selatan (Nichols) dan 840 lintang utara (Widodo et al.). Pembagian dimulai dari 800 LS ke utara sampai 720 LS yang dawali dengan kode C, berturut-turut diberi kode D, E dan seterusnya sampai kode X untuk daerah yang dibatasi 720 LU sampai 840 LU. Sebagai catatan, kode huruf I dan O tidak digunakan.
76
Silinder
Bola
Gambar 3.15. Kedudukan silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM (Campbell, 2001) 2. Peta Rupa Bumi Indonesia (peta RBI) Dalam penerapan sistem grid UTM untuk pembuatan peta RBI, seluruh wilayah Indonesia dibagi dalam sembilan zona yaitu zona 46 sampai dengan zona 54, mulai dari meridian 900 BT sampai dengan 1440 BT dengan batas paralel 60 LU dan 110 LS. Pada setiap zona memilik meridian tengah. Pembagian zona UTM di Indonesia disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Pembagian zona UTM di Indonesia (Prihandito, 2010) Nomor Zona UTM 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Batas Zona ( BT) 900 s.d 960 960 s.d1020 1020 s.d1080 1080 s.d1140 1140 s.d1200 1200 s.d1260 1260 s.d1320 1320 s.d1380 1380 s.d1440
Meridian Tengah (BT) 930 990 1050 1110 1170 1230 1290 1350 1410
77
Tata letak peta RBI secara nasional disusun secara sistematis sebagai berikut (Prihandito, 2010): 8) Satuan blok UTM berukuran 60 bujur x 80 lintang diberi nomor dengan angka dan huruf misalnya 50 M. 9) Peta skala 1:1.000.000 dibuat dengan ukuran 60 bujur x 40 lintang, sehingga dalam satu blok ukuran 60 bujur x 80 lintang terdapat dua lembar peta skala 1:1.000.000. 10) Setiap blok ukuran 60 bujur x 40 lintang dibagi menjadi 16 lembar peta skala 1:250.000 yang berukuran ukuran 10 30’ bujur x 10 lintang. Tabel 3.3. Pembagian skala, jumlah lembar dan sistem penomoran lembar peta RBI pada muka peta ukuran 10 30’ x 10 skala 1:250.000 dengan nomor lembar peta misalnya 1508 Ukuran
Skala
Nomor lembar peta
10 30’ x 10
1:250.000
1508
30’ x 3 0’
1:100.000
15’ x 15 ‘
1:50.000
1508-21; 1508-22; 1508-23; 1508-24
24
pada lembar 1508-2
7’ 30” x 7’ 30”
1:25.000
1508-211;1508-212; 1508-213; 1508-214
96
pada lembar 1508-22
1508-1; 1508-2; 1508-3; 1508-4; 1508-5;1508-6
Jumlah lembar 1
6
Keterangan pada lembar 1508
Pembagian skala dan pemberian nomor lembar peta dimulai pada skala 1:250.000 dengan cara seperti disajikan pada Tabel 3.3. Dalam penomoran, dua dijit pertama nomor kolom yang dibatasi garis bujur dan dua dijit kedua nomor baris yang dibatasi garis lintang (Gambar 3.16.). Sistem penomeran lembar peta seperti Tabel 3.4. dapat ilustrasikan pada Gambar 3.16.
78
1030 30’
30’
30’ Skala
5
4
30’
Nomor 1508-4
6
15’
Nomor 1508-1
15’ 3
3
4 4
1
30’
Nomor 1508-6 10 Nomor 1508-3
2 3
2
1 1
Nomor 1508-22, skala 1:50.000
2 Nomor 1508-242, skala 1:25.000
Nomor lembar 1508, skala 1: 250.000
Gambar 3.16. Sistem penomeran lembar peta RBI Dalam penomoran lembar peta, nomer lembar peta RBI skala 1:250.000 digunakan sebagai induk untuk penomoran lembar peta skala 1:100.000, skala 1:50.000 dan skala 1:25.000.
III.3.5. Skala peta Peta merupakan model miniatur dari permukaan bumi, sehingga besaran suatu jarak di muka bumi harus digambarkan di peta dengan ukuran lebih kecil dengan perbandingan tertentu sesuai tujuan pembuatan peta. Skala peta adalah perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan (International Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Bila skala adalah S, jarak di peta dp dan jarak sebenarnya di lapangan dL, maka skala peta dihitung dengan persamaan 3.3. S = dp/dL. ............................................................................................ (3.3)
79
Pada persamaan (3.3), bila dp di peta diukur dan S diketahui, maka jarak di lapangan dL dapat ditentukan. Bila informasi S tidak ada, maka dL tidak dapat ditentukan. Atau kalau S diketahui, namun skala tersebut tidak benar, dLtetap dapat dihitung namun dL tidak merepresentasikan jarak yang sebenarnya. Dalam konteks batas daerah, bila dp merupakan panjang segmen batas yang tergambar di peta, maka bila tidak ada informasi skala (S), maka panjang segmen batas di lapangan tidak bisa ditentukan. Atau kalau S dicantumkan namun tidak benar, maka panjang segmen batas di lapangan juga tidak benar. Cara menampilkan atau mengekspresikan skala di peta dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, dengan pernyataan dalam bentuk verbal (word statement). Dalam word statement, frase kata ditulis singkat, jelas dan sedapat mungkin tidak menimbulkan multi tafsir, sebagai contoh: “1 cm di peta sama dengan 0,5 km di lapangan”. Kedua, dengan perbadingan (ratio), yaitu perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan. Dalam perbandingan, unit satuan jarak di peta harus sama dengan unit satuan jarak di lapangan, sebagai contoh pada skala 1:50.000, artinya jarak 1 cm di peta sama dengan 50.000 cm di lapangan. Ketiga, dengan digambar secara grafis. Kelebihan skala yang ditampilkan secara grafis, bila dilakukan perbesaran atau pengecilan, maka perubahan skala akan secara otomatis mengikuti secara proporsional dengan peta yang diperbesar atau diperkecil (Muehrcke, 1978). Dalam praktek, tampilan skala peta dengan perbandingan dan dengan secara grafis dilakukan secara bersamaan seperti Gambar 3.17. Skala perbadingan Skala grafis
Gambar 3.17. Tampilan skala peta secara perbandingan (ratio) dan secara grafis (Soendjojo dan Riqqi, 2012)
80
Skala peta juga berkorelasi dengan cakupan area yang dipetakan dan kerincian atau kedetailan informasi yang terkandung di dalam peta seperti diilustrasikan dengan grafik pada Gambar 3.18. (Muehrcke, 1978). Pada gambar 3.17, ditunjukkan bahwa semakin kecil skala peta maka cakupan area yang dipetakan semakin luas/global, sebaliknya semakin besar skala peta maka cakupan area yang dipetakan semakin sempit/lokal. Di sisi lain, semakin kecil skala peta, informasi yang ditampilkan makin kurang rinci yang ditunjukkan dengan feature reduction factor makin besar dan sebaliknya makin besar skala peta maka feature reduction factor makin sedikit. banyak
Cakupan area
Feature reduction factor
Global/luas
sedikit besar
Lokal/sempit Skala peta
kecil
Gambar 3.18. Grafik hubungan skala peta dengan cakupan area dan kerincian informasi (feature reduction factor) (Muehrcke, 1978) III.3.6. Toponim Tiap unsur rupabumi selalu diberi nama. Pemberian nama bertujuan untuk identifikasi lingkungan fisik di sekitar manusia dalam rangka komunikasi sesama manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu obyek geografis tertentu. Nama unsur rupabumi disebut toponim yang berasal dari bahasa Inggris toponym (Rais, dkk., 2008). Ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim umum dan
81
toponim khusus nama-nama unsur rupabumi adalah Toponimi (Raper, 1996). Aurousseau (1957) seorang ahli toponimi dari Inggris mendefinisikan toponimi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul (sejarah) nama tempat tinggal atau nama bukan tempat tinggal manusia dan nama kenampakan geografis di suatu daerah atau negara. Nama unsur rupabumi selalu terkait dengan hubungan antara manusia (Man) dengan tanah tempat tinggalnya (The Land) di suatu wilayah. Oleh sebab itu sebagai suatu ilmu, maka toponimi selalu berkaitan erat dengan kajian tentang linguistik (bahasa), antropolgi, kebudayaan, sejarah, politik, psikologi dan kartografi (Kerfoot, 2009). Nama unsur rupabumi terdiri atas dua elemen, yaitu elemen generik dan elemen spesifik. Elemen generik adalah nama yang menerangkan dan/atau menggambarkan bentuk umum suatu unsur rupabumi dalam bahasa tertentu di daerah tertentu. Sebagai contoh: sungai (dalam bahasan Indonesia), krueng (sungai dalam bahasa Aceh), dolok (gunung dalam bahasa Batak). Elemen spesifik adalah nama diri dari elemen generik yang sudah disebutkan sebelumnya, sebagai contoh: Merapi adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa gunung, Yogyakarta adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa wilayah administrasi kota. Toponim juga dapat dikelompokan menjadi dua yaitu endonim (endonym) dan eksonim (exonym). Endonim adalah nama unsur rupabumi dalam bahasa resminya. Eksonim adalah nama diri unsur rupabumi yang dipakai dalam suatu bahasa tertentu untuk entitas geografis yang berada di luar daerah dimana bahasa tersebut mempunyai status resmi yang berbeda dalam bentuk dari nama yang dipakai dalam bahasa resminya. Sebagai contoh, Negeri Belanda dan Selandia Baru adalah eksonim bahasa Indonesia untuk masing-masing endonim Nederland dan New Zealand. Resolusi UN Conference on the Standardization of Geographical Names mengusulkan agar dikurangi pemakaian eksonim dalam penggunaan nama-nama geografis secara internasional (Rais, dkk., 2008). Toponim dapat saja berubah. Perubahan nama-nama geografis dapat disebabkan oleh perang atau penaklukan suatu wilayah sehingga nama-nama geografis yang ada kemudian diubah oleh pemenangnya, atau pasca kolonial,
82
ketika suatu negara merdeka, nama-nama geografis diubah sehingga tidak lagi menggunakan nama-nama geografis yang digunakan oleh penjajah sebelumnya. Perubahan nama geografis juga bisa disebabkan oleh mengikuti nama-nama asli atau karena mengikuti suatu sistem standardisasi, misalnya sistem Romanisasi (Kerfoot, 2009). Nama-nama geografis adalah elemen yang sangat penting dalam data spasial dan kartografi. Peta yang menggambarkan unsur-unsur rupabumi harus mencantumkan toponim. Tidak lengkapnya atau kesalahan toponim pada suatu peta mengakibatkan peta tersebut sulit digunakan sebagai alat komunikasi (Kerfoot, 2009). Oleh sebab itu pencantuman toponim di peta harus mengacu suatu standar tertentu. Di dalam ilmu kartografi, pemberian nama unsur rupabumi harus mengikuti tata cara baku secara internasional yang mengacu kepada United Nation Geographical Names (UNGN) (Rais, dkk., 2008; Soendjojo dan Riqqi, 2012). Di Indonesia untuk pembakuan nama rupabumi telah dibentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melalui Peraturan Presiden No.12 tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Rais, dkk., 2008). Dalam boundary making, baik pada tahap delimitasi maupun demarkasi, pendefinisian batas wilayah dapat dilakukan secara deskriptif menggunakan nama-nama geografis (toponim) dan secara geometris dengan koordinat geografis, azimuth dan jarak, atau dilakukan secara bersama-sama secara deskriptif dan secara geometris (Jones, 1945). Sebagai contoh penggunaan nama-nama geografis dan parameter geometris di dalam pendefinisian batas wilayah adalah seperti tertulis di dalam Article III Treaty tahun 1904 antara Belanda dan Portugis di Pulau Timor ditulis sebagai berikut (Deeley, 2001): “ The boundary between O’Kussi and Ambeno belongs to Portugal and the Dutch dominions on the Island of Timor are formed by a line: 1. Proceeding from the mouth of the Noel [river] Besi, from where the summit of Pulu [island] Batek can be sighted, on a 30º47’NW astronomical azimuth, following the thalweg of the Noel Besi, that of the Noel Niema and of the Bidjael Sunan, up to its source;..................
83
Berdasar contoh treaty tersebut, nama-nama unsur rupabumi endonim untuk sungai (Noel Besi, Noel Niema), nama pulau (Pulu Batek), nama bukit (summit) yaitu Bidjael Sunan digunakan untuk mendefinisikan batas wilayah, selain parameter azimut astronomis. Dalam dokumen resmi, nama geografis harus ditulis secara akurat/tepat dan mengikuti standar baku yang telah ditetapkan. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk komunikasi dan akses data, informasi dan pengetahuan secara internasional dalam dunia yang saat ini bersifat global dan dijital. Keakuratan nama geografis baik dari aspek pencatatan, penyimpanan, otoritasi dan penyebarannya (authorization and dissemination) adalah dasar yang sangat penting dalam pembuatan dokumen, peta dan basis data untuk berbagai keperluan seperti perencanaan wilayah, pembangunan infrastruktur, pariwisata, penanganan bencana dan batas wilayah. Kesalahan, ketidaktepatan dan ketidaksesuaian serta kesalahan pengucapan kata nama geografis eksonim dalam konotasi politik dan sejarah
seperti batas wilayah internasional berpotensi menimbulkan sengketa
(Kerfoot, 2009). III.3.7. Kartometrik Kartometrik (cartometric) berasal dari kartometri (cartometry) adalah pengukuran dan perhitungan nilai-nilai numeris dari peta (International Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Ada empat jenis pengukuran dasar dalam kartometrik yaitu: (1) pengukuran jarak, (2) pengukuran luas, (3) pengukuran arah dan (4) penghitungan jumlah obyek yang tergambar di peta. Beberapa besaran lain dapat diturunkan dari kombinasi pengukuran dasar tersebut. Sebagai contoh besaran volume adalah diperoleh dari pengukuran tinggi (jarak vertikal) dengan pengukuran luas. Lereng diperoleh dari pengukuran tinggi dengan pengukuran jarak datar. Kerapatan (density) suatu obyek diperoleh dari pengukuran jumlah suatu obyek dan pengukuran luas. Posisi suatu titik diperoleh dari pengukuran jarak dan jarak (Maling, 1989). Kartometrik yang banyak digunakan dalam batas wilayah, adalah: (1) pengukuran panjang garis (segmen), (2) pengukuran jarak, (3) pengukuran arah, (4) pengukuran luas, (5) pengukuran tinggi dan (6) pengukuran posisi (Adler,
84
1995).Dalam kartometrik ini, faktor skala peta memegang peran yang sangat penting.
III.3.8. Angka signifikan (significant figure) untuk estimasi ketelitian data numerik Analisis kartometrik biasanya menghasilkan data numerik. Dalam penggunaan data numerik yang merupakan hasil suatu pengukuran, nilai yang dicatat dan dilaporkan harus dapat memberi gambaran dijit mana yang nilainya sudah yakin benar dan dijit mana yang diragukan. Untuk itu harus difahami pengertian tentang bilangan angka signifikan (significant figure). 1. Pengertian angka signifikan (significant figure). Secara definisi angka signifikan dalam suatu nilai numerik adalah jumlah dijit tertentu ditambah satu, biasanya yang terakhir, yang digunakan sebagai estimasi akurasi pengkuran (Burkholder, 2008; Mikhail and Gracie, 1981). Jumlah angka siginifikan jangan dikacaukan dengan jumlah tempat desimal. Sebagai contoh, angka signifikan dua adalah pada bilangan-bilangan berikut: 40; 52; 4,2; 5,2; 0,42; 0,042; 0,0052. Angka signifikan tiga misalnya pada bilangan berikut: 836; 83,6; 80,6; 0,806; 0,0806; 0,00800. Angka signifikan merupakan cerminan dari akurasi (accuracy) yaitu suatu yang mencerminkan kedekatan terhadap nilai sebenarnya (true value) dan presisi (precision) yang mencerminkan konsistensi dalam prosedur pengukuran. Sebagai catatan, bilangan significant figure dalam suatu pengukuran atau nilai hitungan tergantung pada presisi dari teknik/metode yang digunakan, namun satu hal penting yang harus diingat bahwa akurasi data ukuran lapangan tidak dapat ditingkatkan ketelitiannya dengan proses hitungan (Schofield, 2002). Perlu diingat bahwa estimasi suatu akurasi ditunjukkan dengan ± setengah significant figure (Mikhail dan Gracie, 1981). Pemahaman significant figure dan estimasi akurasi suatu nilai numerik hasil ukuran dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika misalnya di dalam suatu dokumen dicantumkan empat dijit pertama dari nilai 137,824 adalah yakin benar dan dua digit terakhir diragukan, maka pencantuman nilai harus dinyatakan hanya lima angka yang signifikan, yaitu
85
137,82 (1,3,7 dan 8 yakin, 2 diragukan ), sehingga angka signifikan adalah 5. Beberapa contoh pemahaman significant figure (Adler, 1995): a)
Suatu pengukuran jarak di peta 5,3 cm (2 significant figure), artinya jarak tersebut diukur dengan estimasi akurasi ± 0,5 mm.
b) Bila suatu koordinat adalah X = 546.375,5 m dan Y = 688.723,4 m (7 significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,05 m. Bila koordinat ditentukan X = 546.375,53 m dan Y = 688.723,41 m (9 significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,005 m = 5 mm c)
Dalam koordinat geografis, koordinat dinyatakan dalam parameter lintang dan bujur. Misalkan suatu titik memiliki lintang 3o 20’LU dan bujur 112o 10’ BT, maka estimasi akurasinya adalah ± 0,5’ atau ± 30’’. Bila 1” setara dengan 30 m di permukaan bumi, maka estimasi akurasi setiap parameter koordinat adalah ± (30 x 30 m) = ± 900 m atau estimasi akurasi posisinya adalah √ (900 m)2+ 900 m)2 = ± 1273 m. Bila koordinat yang diberikan adalah lintang 3o 20’ 24’’ LU dan bujur 112o 10’ 17’’ BT, maka estimasi akurasinya menjadi ± 0,5‘’ yang setara dengan ±15 m di permukaan bumi untuk setiap parameter, sehingga estimasi akurasi posisinya adalah ± 21 m.
Jumlah angka signifikan dalam bilangan hasil pengukuran besaran secara langsung biasanya tidak sulit untuk ditentukan, secara prinsip tergantung pada satuan terkecil alat yang digunakan (Mikhail dan Gracie, 1981). Sebagai contoh, bila suatu jarak diukur dengan pita ukur dalam satuan cm dengan estimasi bacaan pada satuan milimeter, seperti misalnya jarak ukuran 462,513 m, maka 5 digit pertama nilainya adalah pasti (yakin benar) namun digit yang ke-enam adalah perkiraan yang kadang-kadang diragukan, sehingga bilangan angka signifikannya adalah 6. 2. Implikasi significant figure dalam batas wilayah Dalam dokumen yang terkait batas wilayah, misalnya dokumen perjanjian batas internasional antar negara atau dokumen undang-undang pembentukan daerah di Indonesia, atau dalam penyelesaian sengketa batas wilayah melalui pengadilan, dalam banyak kasus sering digunakan data numerik berupa koordinat
86
baik koordinat grid maupun koordinat geografis, azimuth dan jarak. Data tersebut harus dapat dipetanggungjawabkan dalam hal akurasi dan presisinya untuk merumuskan dokumen maupun suatu keputusan terkait batas wilayah. Banyak kasus perjanjian batas wilayah internasional menunjukkan bahwa para pembuat perjanjian batas tidak selalu perhatian/peduli dengan implikasi significant figure. Salah satu kasus delimitasi batas dengan koordinat yang terjadi di Afrika adalah batas antara Uganda dan Tanzania di barat Danau Victoria. Batas tersebut didelimitasi dengan suatu garis mengikuti 10 LS. Dengan demikian, akurasi dari delimitasi adalah ± 0,50 atau sekitar ± 55 km di lapangan. Setelah garis tersebut didemarkasi, garis batas terletak 400 m di sebelah utara garis yang ditetapkan dalam treaty. Kesimpulan dari kasus ini bahwa garis batas hasil demarkasi merepresentasikan posisi batas yang sebenarnya dibandingkan hasil delimitasi 10 LS yang sangat tidak akurat, karena hanya merupakan posisi pendekatan. Jika delimitasi ditetapkan misalnya pada 10 20’25’’LU, maka estimasi akurasinya adalah ± 0,5’’ yang setara dengan ±15 m, sehingga penyimpangan garis demarkasi sebesar 400 m menjadi masalah (Adler, 1995). Kasus yang lain adalah delimtasi pada perjanjian antara Belanda dan Inggris di Papua (Nugini). Batas antara Nugini Belanda dan Nugini Australia ditetapkan pada 141O BT. Hala ini berarti estimasi akurasinya sebesar ± 0,50 atau sekitar ± 55 km di lapangan. Survei demarkasi dengan metode
astronomi geodesi
oleh
Belanda untuk posisi garis bujur 141° BT di garis pantai utara Nugini ternyata mendapatkan posisi lain dengan perbedaan jarak 398 m terhadap hasil survei yang dilakukan oleh pihak Australia pada tahun 1928. Melalui perjanjian bersama, diputuskan untuk membagi dua perbedaan jarak 398 m tersebut seperti disepakati oleh perwakilan negara masing-masing (Sumaryo, 2010). Seandainya garis batas Nugini Belanda dan Nugini Inggris ditetapakan 1410 00’ 00’’ BT, maka estimasi akurasinya adalah ± 0,5‘’ yang setara dengan ±15 m, sehingga pengukuran demarkasi yang berbeda 398 m tentu menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima (Sumaryo, 2010). Kasus perjanjian batas wilayah internasional lain yang menggambarkan ketidakpedulian dari para pembuat perjanjian tentang arti dari significant figure
87
adalah pada perjanjian batas di berbagai negara di Afrika (Brownlie, 1979). Ketidakpedulian arti significant figure ditunjukkan pada perjanjian yang relatif moderen dalam Treaty to Resolve Pending Boundary Differences and Maintain the Rio Grande and theColorado Rivers as the International Boundary between Mexico and the United States ofAmerica (UN Treaty Series, 1973: 87). Tabel koordinat dalam perjanjian tersebut ditulis: Station 1: North 209.008,07 m dan East 81.418,18 m dalam proyeksi Lambert di Texas, Zone Selatan. Berdasar data numeris tersebut maka estimasi akurasinya adalah sebesar ±0,005 m dalam setiap koordinat. Dalam perjanjian tersebut juga dituliskan data numeris tentang luas yaitu 7,75 acre = 3,13 hektar = 31.300 m2. Data numeris luas tersebut berarti estimasi akurasinya adalah ±50 m2, sedangkan estimasi akurasiluas bila dihitung dari angka koordinat adalah ±0,5 m2. Hal ini merupakan contoh significant figure yang tidak kompatibel (incompatibility) antara angka luas yang tidak teliti dengan angka-angka kordinat yang sangat teliti (Adler, 1995). Suatu perjanjian yang cukup baik ditemukan pada protokol antara Myanmar dan China yang mendeskripsikan salah satu pilar batas sebagai berikut (UN Treaty Series, 1976:265 dalam Alder, 1995): Single pillar of medium size, placed in latitude N 25°32’46”.31 and longitude E 98°09’18”.03 on top of a conical shape hill. In magnetic azimuth of 149° and at adistance of 5.4m measured on the spot, there is a rectangular concrete block and inmagnetic azimuth of 55°30’ and a distance of 202 meters, measured on the spot thereis a high peak... Berdasar angka-angka numeris pada perjanjian tersebut, estimasi akurasi untuk setiap parameter posisi adalah sebesar ± 0,005‘’ yang setara dengan ±0,15 m, estimasi akurasi pengukuran jarak sebasar ± 0,05 m dan estimasi akurasi azimuth magnetik sebesar ± 30’. Estimasi akurasi tersebut adalah realistik pada kondisi teknologi geospasial saat ini (Adler, 1995).
III.3.9. Peran IG dalam boundary making Merujuk pada uraian yang telah disampaikan pada bab tinjauan pustaka, bahwa dalam setiap tahapan proses boundary making mulai dari alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi/manajemen, diperlukan geospasial baik
88
data, informasi maupun teknologi geospasial. Peran IG khususnya peta dalam boundary making dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.19. Secara garis besar, peran IG (peta) dalam setiap tahapan boundary making dijelaskan sebagai berikut: 1. Peta pada tahap alokasi. Tahap alokasi biasanya dilakukan oleh negarawan dan diplomat yang mewakili negara/pemerintah masing-masing pihak. Pada tahap ini dominasi kegiatan lebih pada kegiatan politik dan diplomatik, lobi-lobi dan negosiasi antara negara yang berkepentingan. Keperluan peta biasanya sebatas untuk bahan negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum, sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Peta yang diperlukan adalah peta skala menengah atau kecil untuk mengetahui posisi relatif daerah yang dirundingkan terhadap daerah disekitarnya dalam kaitannya dengan aspek geopolitik (Jones, 1945). Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat penting sebagai sumber informasi bagi para negarawan dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra satelit. Untuk itu para politisi dan diplomat perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang geodesi, kartografi atau geografi (Blake, 1995). 2. Peta pada tahap delimitasi. Memilih letak batas dan mendefinisikan titik-titik batas pada tahap delimitasi, diperlukan peta sebagai
infrastruktur untuk dapat melakukan dua
kegiatan tersebut. Pemilihan letak memerlukan pertimbangan geografis selain politis (Jones, 1945). Dalam pertimbangan geografis tentunya peta yang diperlukan adalah peta yang menggambarkan feature permukaan bumi secara lengkap baik feature alamiah seperti sungai, danau dan watersheed maupun feature buatan manusia. Peta semacam ini disebut peta dasar yaitu peta yang menggambarkan IG secara umum. Pada peta dasar ini digambarkan posisi planimetris yang akurat dan bentuk medan (topografi) serta pola drainase digambarkan dengan garis-garis kontur. Skala dan kualitas peta dasar sangat
89
penting pada tahap ini. Oleh sebab itu harus digunakan peta dasar resmi (official base map) yang dibuat oleh lembaga pemerintah di negara yang bersangkutan.
ALOKASI
DELIMITASI
Traktat atau perjanjian dan peta hasil delimitasi batas wilayah
IG
Pedoman identifikasi dari delimitasi ke lapangan
DEMARKASI
BASIS DATA SIG
ADMINISTRASI
Gambar 3.19. Peran IGdalam boundary making (Adler, 1995) Pemilihan skala sangat penting karena menentukan tingkat kerincian informasi peta dasar yang digunakan. Peta dasar dengan skala minimal 1: 250.000 cukup memadai untuk delimitasi batas distrik (Jones, 1945). Dalam delimitasi batas internasional, selain diperlukan peta dasar, diperlukan juga peta tematik yang terkait penduduk seperti peta distribusi penduduk. Selain itu peta tematik aspek dinamik penduduk seperti tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi merupakan faktor yang signifikan dalam delimitasi batas antar negara.
90
Hasil akhir dari tahap delimitasi adalah dokumen perjanjian (treaty). Peta kesepakatan batas wilayah biasanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian. Bila peta menjadi bagian dari teks perjanjian, maka peta tersebut merupakan bagian dari delimitasi, bila tidak maka peta tersebut hanya sebagai suatu ilustrasi dari teks perjanjian. Satu hal yang perlu diingat tentang peta, bahwa secara sendirian peta tidak dapat digunakan sebagai produk yang bersifat legal (hukum). Kekuatan legal dari peta hanya dapat diperoleh bila peta tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian atau keputusan pengadilan dan kekuatannya sebagai alat pembuktian bervariasi sesuai kualitas teknis peta yang bersangkutan (Adler, 2000). Brownlie (1979) menyatakan bahwasuatu peta memiliki nilai pembuktian yang sebanding (proporsional) dengan kualitas teknisnya. Dengan demikian semakin baik kualitas teknis suatu peta, maka peta tersebut memiliki nilai yang semakin kuat sebagai alat bukti. Hal ini juga berlaku untuk peta batas wilayah. Dalam putusan pengadilan, biasanya suatu peta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu dokumen delimitasi. Bagaimanapun suatu delimitasi berpotensi menimbulkan sengketa di masa datang, misalnya dalam hal koordinat geografis titik batas yang tidak menyebutkan datum yang spesifik yang digunakan dalam peta atau dalam hal pemilihan skala peta batas yang bisa berimplikasi pada posisi. Pada peta skala 1:200.000, kesalahan posisi di peta sebesar 0,2 mm setara dengan pergeseran sebasar 40 m di lapangan (Pratt, 2006). Peta lampiran dan tanda-tanda batas yang dibuat di peta merupakan hasil tahap delimitasi dan koordinat titik batas yang diberikan dalam perjanjian digunakan sebagai pedoman untuk menentukan lokasi titik-titik batas di lapangan. Peta lampiran hasil delimitasi yang kualitasnya bagus dapat langsung digunakan sebagai panduan untuk memasang titik-titik batas di lapangan. Peta delimitasi sebaiknya memiliki skala yang cukup besar sehingga permukaan bumi seperti kontur dapat digambarkan lebih detail untuk memudahkan demarkasi di lapangan. Titik-titik batas sebaiknya ditandai di peta delimitasi sebelum secara nyata dipasang di lapangan. Peta dasar minimal skala 1:50.000 sangat baik digunakan
91
untuk membuat peta delimitasi (Jones, 1945). Peran peta dalam tahap delimitasi dapat dirangkum seperti Tabel 3.4.
Tabel 3.4 . Peta dalam tahap delimitasi (dirangkum dari Jones, 1945) No Tahap delimitasi 1
Alokasi dan predelimitasi
2
Proses delimitasi
3
Hasil delimitasi
Peta yang diperlukan
Fungsi peta
Tersedia peta walaupun skala kecil untuk mengetahui posisi relatif wilayah yang dialokasi Peta dasar resmi (official maps) menggambarkan topografi, skala cukup besar minimal 1:250.000
Negosiasi dan perundingan
a) Peta delimitasi, skala besar minimal 1: 50.000. Dalam peta ini digambarkan garis batas hasil kesepakatan delimitasi dan mencatumkan koordinat titik-titik batas yang disepakati pada datum geodesi tertentu dan dilengkapi toponim sepanjang koridor batas b) Deskripsi garis batas dalam bentuk verbal dengan toponim dan parameter geometris seperti nilai koordinat, azimuth atau panjang segmen batas.
Sebagai infrastruktur untuk memilih letak batas dan mendefinsikan titik batas dalam koordinat a) Menggambarkan garis batas hasil delimitasi. b) Sebagai pedoman untuk menentukan titik batas dalam kegiatan penegasan batas di lapangan.
3. Peta dalam tahap demarkasi Tahap demarkasi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan memindahkan titik-titik batas di peta hasil delimitasi ke lapangan. Dalam banyak kasus sering ada perbedaan antara teks delimitasi dengan peta delimitasi yang bisa menimbulkan masalah dalam demarkasi. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi nilai peta delimitasi sebagai pedoman untuk demarkasi (Jones, 1945).
92
Pada tahap demarkasi dilakukan transformasi titik batas ke lapangan dan survei pemetaan sepanjang koridor batas dengan lebar koridor yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam pengertian teknis di bidang survei pemetaan, mentransformasi titik dan garis di suatu peta ke lapangan disebut dengan istilah staking out. Dalam proses melakukan stak out, aspek geometrik yang sangat penting yang harus ada dalam peta yang ditransformasi adalah skala peta yang benar serta diketahuinya koordinat titik-titik yang akan ditransformasi pada datum geodesi yang dipilih (Kavanagh, 2003; Schofield, 2002). Setelah survei lapangan selesaikemudian dibuat peta demarkasi yang menggambarkan topografi sepanjang garis batas pada lebar koridor yang telah ditentukan bersama. Peta demarkasi dibuat dari pengukuran langsung dengan standard spesifikasi teknis pemetaan yang ditentukan bersama. Peta demarkasi merupakan tampilan akhir dari proses boundary making dan peta ini digunakan untuk keperluan administrasi dan pemeliharaan batas. Dalam peta demarkasi, semua titik-titik batas dan garis batas yang menghubungkan titik-titik tersebut harus secara jelas digambarkan. Peta yang diperlukan skala minimal 1:100.000 atau lebih besar sehingga titik-titik dan garis batas dapat digambarkan dengan jelas. Pada daerah yang padat penduduk, peta demarkasi dapat dibuat dengan skala besar sampai 1: 5000. 4. Peta pada tahap administrasi Tahap administrasi pada dasarnya merupakan kegiatan mendokumentasikan proses dan hasil tahapan alokasi, delimitasi dan demarkasi. Hasilnya berupa basis data batas wilayah termasuk data peta (geospasial), koordinat titik-titik batas, deskripsi batas, baik batas buatan seperti pilar maupun deskripsi batas yang berupa
fenomena
alam
seperti
punggung
bukit
dan
sungai.
Selain
mendokumentasikan proses dan hasil alokasi, delimitasi dan demarkasi, kegiatan administrasi batas juga mencakup pemeliharaan titik-titik batas. Peta-peta batas maupun deskripsi batas yang didokumentasikan dengan baik sangat penting untuk kegiatan pemeliharaan batas wilayah. Untuk itu sesuai dengan perkembangan teknologi komputer dan informasi, biasanya basis data disusun secara dijital dan untuk pengelolaannya digunakan SIG. Berbagai data dan informasi yang disusun
93
dalam basis data dijital meliputi: (a) data spasial seperti koordinat titik-titik batas, peta batas pada koridor tertentu sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas, deskripsi batas alam, (b) data non spasial meliputi dokumen treaty maupun notanota kesepakatan, dokumen laporan dari setiap tahapan boundary making, undang-undang dan berbagai peraturan dari masing-masing negara yang berbatasan terkait batas wilayah (Donaldson dan Williams, 2008; Wood, 2000).
III.4. Teori Konflik Pada sub bab ini dibahas tentang pengertian konflik dan sengketa secara umum, sengketa batas wilayah dan hubungan antara sengketa batas wilayah dengan peta.
III.4.1. Pengertian konflik dan sengketa Secara umum konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu atau antar kelompok orang. Menurut Moore (1986) potensi terjadinya konflik ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Forbes, 2001). Masyarakat sering memiliki perspektif atau pandangan yag berbeda tentang situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan masalah-masalahnya dan perbedaan pandangan dalam hal tujuan dan cara mencapai tujuan, sehingga sering menimbulkan konflik (Fisher, dkk., 2001). Selain kosa kata konflik terdapat kata yang memiliki pengertian yang hampir sama yaitu sengketa (disputes).Sengketadidefinisikan sebagai suatu ketidaksepahaman
(disagreement)
yang
spesifik.
Hal
tersebut
biasanya
disebabkan oleh adanya suatu regulasi atau kebijakan dimana klaim atau tuntutan suatu
kelompok
ditolak
oleh
kelompok
lain
sehingga
menimbulkan
sengketa.Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi disebabkan oleh adanya suatu kebijakan politik,misalnya dalam bentuk perjanjian antar negara atau kebijakan otonomi daerah dalam bentuk regulasi seperti undangundang pembentukan daerah di Indonesia, sehingga istilah konflik batas wilayah
94
oleh para ahli konflik lebih tepat disebut sengketa batas wilayah (boundary disputes) (Forbes, 2001).
III.4.2. Diagnosis konflik Mengelola konflik atau sengketa yang paling efektif adalah dilakukan dengan dua langkah sederhana, yaitu: (1) melakukan diagnosis untuk mengetahui akar penyebab sengketa dan (2) memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terhadap sengketa tersebut. Layaknya seperti seorang dokter, sebelum melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan terhadap pasiennya, terlebih dahulu seorang dokter melakukan diagnosis untuk mendapat gambaran akar penyebab penyakit yang diderita pasiennya. Demikian juga terhadap konflik. Salah satu model diagnosis konflik yang banyak dipakai di dalam rangka resolusi konflik adalah model yang dikembangkan oleh More (1986) di CDR Associates of Boulder, Colorado (Furlong, 2005). Moore mengembangkan suatu model peta konflik dalam bentuk lingkaran konflik (the Circle of Conflict) seperti disajikan pada Gambar 3.20. Dalam the Circle of Conflict, Moore mengidentifikasi lima penyebab utama terjadinya konflik, yaitu: (1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2) persoalan dengan data, (3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value), (4) kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, (5) persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian UNNECESSARY CONFLICT KONFLIK HUBUNGAN
KONFLIK NILAI
KONFLIK DATA
KONFLIK KEPENTINGAN
KONFLIKSTRU KTURAL
GENUINE CONFLICT
95
dalam hal keinginan (Forbes, 2001; Furlong, 2005).
Gambar 3.20. The Circle of Conflict menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005) Konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya merupakan konflik yang semestinya bisa tidak terjadi (unnecessary conflict), artinya kalau data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami secara baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak terjadi konflik. Genuine conflict adalah konflik yang melekat pada sifat dasar manusia, yaitu konflik kepentingan dan konflik struktural. Faktor kepentingan dan struktural adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia (Forbes, 2001). Rangkuman karakteristik masing-masing penyebab konflik disajikan pada Tebel3.5 Tabel 3.5. Karakteristik penyebab konflik menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005).
1) 2) 3)
4) 5)
UNNECESSARY CONFLICT Hubungan Nilai Pengalaman negatif di 1) Sistem masa lalu kepercayaan Kesalahpahaman 2) Salah dan benar Komunikasi yang buruk 3) Baik dan jahat atau kegagalan 4) Adil dan tidak adil komunikasi Perilaku negatif yang berulang Emosi yang kuat
Data 1) Kurangnya data dan informasi 2) Salah data/informasi 3) Terlalu banyak informasi 4) Beda cara pandang terhadap data yang relevan 5) Beda interpretasi terhadap data
GENUINE CONFLICT Kepentingan Struktural 1) Masalah substantif (sumberdaya 1) Bagaimana suatu situasi sudah alam, waktu, keuangan) diatur 2) Prosedural 2) Hubungan geografis / hubungan 3) Psikologis fisik (jarak atau kedekatan) 3) Kendala waktu 4) Ketidakseimbangan kekuatan / kewenangan 5) Ketimpangan kontrol terhadap
96
sumberdaya 6) Definisi peran/aturan main
Model lingkaran konflik yang dikemukakan oleh Moore merupakan model yang sangat kuat guna melakukan diagnosis untuk mengidentifikasi akar penyebab konflik. Akar penyebab konflik langsung dapat dikelompokan dalam kategori yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu model the Circle of Conflict Moore sering digunakan pada berbagai tipe konflik termasuk sengketa batas wilayah (Forbes, 2001).
III.4.3. Sengketa batas wilayah Menurut Prescott (1987), sengketa batas wilayah secara umum dapat dikelompokan dalam tiga jenis: (1) sengketa teritorial yaitu sengketayang terjadi bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi sengketa pada level politisi/negara, (2)sengketa posisional yaitu sengketa yang terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul setelah delimitasi pada saat kegiatan demarkasi, (3) sengketa fungsional yaitu sengketa yang terjadi pada tahap manajemen perbatasan seperti pengelolaan sumberdaya yang bernilai ekonomi dan pengelolaan lalu lintas orang dan barang (cross-border). Dalam konteks boundary making batas daerah di Indonesia, sengketa batas terjadi pada saat tahapan penegasan batas daerah, sehingga termasuk dalam jenis sengketa posisional. Sengketa ini terjadi karena mempermasalahkan atau adanya ketidaksepahaman dalam masalah ketepatan posisi garis batas (Subowo, 2009).
III.4.4. Hubungan sengketa batas wilayah dengan peta Blake (1995) menyatakan bahwa pentingnya peta dalam sengketa batas wilayah adalah dalam empat hal, yaitu: (1) peta dapat menjadi faktor yang berkontribusi sebagai penyebab sengketa, (2) peta digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan usulan posisi batas wilayah masing-masing, (3) peta digunakan sebagai alat dalam penyelesaian sengketa, (4) peta digunakan
97
untuk memberi gambaran tentang keputusan pengadilan terkait sengketa batas wilayah. Pada tahap demarkasi, sengketa yang terjadi adalah sengketa posisional yaitu sengketa saling klaim letak titik atau garis batas. Oleh sebab itu mengacu pada teori penyebab konflik menurut Moore (1986), kesalahan atau kurangnya IG pada peta dapat dikelompokkan kedalamfaktor penyebab sengketa karena data. Contoh kurangnya data dan informasi pada peta misalnya di dalam peta tidak dicantumkan skala, atau skala yang dicantumkantidak benar. Contoh lain kekurangan informasi pada peta misalnya tidak ada sistem koordinat dan tidak jelas datum geodetiknya. Selain itu, karena peta merupakan gambaran unsur-unsur geografis baik alamiah maupun buatan manusia yang biasanya ada atribut namanama geografis (toponim), maka perbedaan klaim posisi titik dan garis batas juga sangat dimungkinkan karena kesalahan dalam toponimi (Prescott, 2010).
III.5. Asesmen Kata asesmen berasal dari bahasa Inggris, assessment yang artinya taksiran. Taksiran bisa bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik (menyeluruh) dengan sifat atau cara kerja yang komprehensif.Asesmen adalah kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi (Soendari, 2009). Prinsip-prinsip dalam asesmen meliputi: (1) proses asesmen bersifat sistematis dan komprehensif, (2) obyek asesmen berupa informasi (data, fakta, kejadian) untuk diketahui gejala dan intensitasnya, kendala-kendala dan kelemahan, (3) dalam
asesmen
ada
pembanding
informasi
tersebut
dengan
suatu
parameter/ukuran dengan menggunakan instrumen, (4) adanya pelaku (asesor) yang mengumpulkan informasi, (5) digunakan untuk menyusun suatu program yang dibutuhkan yang bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif. Secara umum tujuan suatu kegiatan asesmen adalah: (1) memperoleh data yang relevan, obyektif, akurat dan komprehensif, (2) mengetahui profil sesuatu secara utuh terutama permasalahan dan hambatan, potensi, kebutuhan dan daya dukung lingkungan yang dibutuhkan, (3) menentukan layanan yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan (Banta, 1996).
98
Dalam melakukan asesmen, sangat diperlukan instrumen. Salah satu instrumen yang sering digunakan adalah checklist karena cukup ekonomis dan mudah. Check list adalah suatu daftar yang berisi faktor-faktor yang akan diselidiki sehingga merupakan salah satu alat observasi, yang ditujukan untuk memperoleh data, berbentuk daftar berisi faktor-faktor yang ingin diamati oleh peneliti. Dalam pelaksanaannya, peneliti tinggal memberi tanda check pada daftar faktor-faktor yang diamati di lembar observasi, sehingga memungkinkan peneliti dapat melakukan tugasnya secara cepat dan objektif (Narbuko dan Achmadi, 2007). Checklist adalah suatu penilaian yang didasarkan atas suatu standar yang dideskripsikan terlebih dahulu. Standar produk bisa bersifat internal yang lebih diarahkan untuk kontrol kualitas produk dan standar yang bersifat eksternal yang lebih bersifat kepada standar penggunaan produk. Ada tiga jenis instrumen checklistyang bisa digunakan yaitu: checklistobservasi demonstrasi, checklist penilaian produk, checklist profil ukuran kinerja yang dapat diterima (Surono, 2012). Dalam hal ini, IG adalah suatu produk sehingga instrumen yang sesuai adalah checklist penilaian produk dengan standar yang ditentukan bersifat eksternal.
99
BAB IV METODE PENELITIAN Bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian. Sebelum menjelaskan metode penelitian terlebih dahulu dijelaskan model konseptual penelitian yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian.
IV.1. Model konseptual penelitian Model
konseptual
adalah
suatu
penggunaan
simbol-simbol
untuk
mendeskripsikan permasalahan dunia nyata yang kompleks dalam bentuk skema konsep sehingga permasalahan yang kompleks menjadi lebih mudah difahami (Khatri, dkk., 2001). Model konseptual penelitian yang disajikan pada Gambar 4.1. pada dasarnya merupakan desain model untuk melakukan asesmen. Kerangka pikir model konseptual dapat dijelaskan pada bagian berikut. Di bagian kiri gambar skema model konseptual, dilakukan asesmen terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah pada proses boundary making di Indonesia pada era otonomi daerah untuk mengidentifikasi sifat dari kerangka kerja tersebut. Tolok ukur yang digunakan untuk asesmen tersebut adalah model kerangka kerja penetapan dan penegasan pada teori boundary making Jones. Di bagian kanan, tahapan penetapan merupakan bagian dari proses pembentukan DOB. Dalam proses tersebut diperlukan inputIG berupa peta dasar yang digunakan untuk memilih letak dan mendefinisikan batas DOB yang dibentuk. Hasil penetapan batas adalah peta wilayah administrasi DOB yang dilampirkan dalam UUPD. Selanjutnya peta wilayah administrasi lampiran UUPD digunakan sebagai pedoman untuk staking outdalam penegasan batas daerah di lapangan. Mengingat pentingnya peran IG proses boundary making, maka perlu dilakukan asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam tahap penetapan batas daerah.
100
Gambar 4.1. Model konseptual penelitian
101
Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dilakukan selama pelaksanaan otonomi daerah dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Asesmen tersebut dilakukan dengan pendekatan sistem, yaitu asesmen peran IG pada masukan (input), pada proses dan pada luaran (output). Asesmen IG pada masukan hanya difokuskan pada peta RBI dengan parameter ketersediaan skala dan kualitasnya. Tolok ukur yang digunakan adalah skala minimal yang harus tersedia mengacu pada Spesifikasi Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten dan kota yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Asesmen penggunaan IG pada proses penetapan diidentifikasi dari penggunaanya untuk memilih dan mendefinisikan garis batas daerah, sedangkan asesmen IG pada luaran penetapan adalah mengidentifikasi kualitas peta lampiran UUPD. Dalam asesmen kualitas peta lampiran UUPD, diidentifikasi parameter geometris dan kelengkapan muatan peta menggunakan tolok ukur Spesifikasi Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten dan kota yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009. Dalam pelaksanaan penegasan batas daerah dimungkinkan terjadi sengketa posisional batas daerah. Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan pendekatan Lingkaran Konflik Moore (1986) untuk mengetahui penyebab sengketa dan menganalisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas daerah pada penegasan batas daerah di era otonomi daerah di Indonesia.
IV.2. Pelaksanaan penelitian Secara garis besar jalannya penelitian digambarkan pada Gambar 4.2. Gambar 4.1. Model konseptual penelitian
102
Gambar 4.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian
103
Mengacu pada Gambar 4.2 jalannya pelaksanaan penelitian diuraikan pada sub bab berikut. IV.2.1. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) data yang terkait dengan tahap penetapan, (2) data yang terkait dengan tahap penegasan dan (3) data sengketa batas daerah. Data yang diteliti pada dasarnya adalah berupa dokumen. Dokumen tersebut dapat dikelompokan menjadi dua yaitu dokumen tekstual dan dokumen spasial (peta). 1. Data tahap penetapan a) Dokumen tekstual meliputi peraturan perundangan yang terkait penetapan batas daerah pada periode tahun 1999 sampai dengan 2009 yaitu: 1) UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, 2) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999, 3) UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No.32 tahun 2004, 4) Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP No.129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah, 5) PP No.78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah, 6) UUPD yang dibentuk pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2009. b)Data dokumen spasial berupa: 1) Peta wilayah administrasi lampiran UUPD tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, 2) Peta indeks ketersediaan peta rupa bumi Indonesia (peta RBI) tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 diperoleh dari Badan IG.
104
2. Data tahap penegasan: a) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.126/2742/SJ tanggal 27 Nopember 2002 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, b)Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, c) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. 3. Laporan sengketa batas daerah diperoleh dari Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk matriks permasalahan batas daerah.
IV.2.2. Asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah 1. Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah dilakukan terhadap kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007, karena kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan bagian dari kerangka kerja pembentukan DOB. Selanjutnya asesmen kerangka kerja penegasan dilakukan dengan merujuk pada kerangka kerja Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Sebagai tolok ukur dalam asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah digunakan model kerangka kerja boundary making Jones (1945) yang diuraikan oleh Srebro dan Shoshany (2013) seperti telah dijelaskan pada landasan teori. Dalam pelaksanaannya, kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 dibandingkan dengan kerangka kerja penetapan batas wilayah menurut Jones 1945. Ada dua model kerangka kerja boundary making menurut Jones, yaitu model yang bersifat linear dan bersifat non-linear, sehingga hasil asesmen yang diperoleh apakah kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 bersifat linear atau non-linear.
105
Karaketristik kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat linear adalah proporsional antara kerja yang bersifat politis dan profesional (geospasial), yaitu: a) alokasi dan penetapan adalah kerja politisi tetapi diperlukan bantuan persiapan teknis dari profesional bidang geospasial, b) UUPD dihasilkan oleh politisi, namun dalamnya berisi hasil-hasil delimitasi batas hasil kerja yang dilakukan oleh profesional geospasial, c) peta wilayah lampiran UUPD
memenuhi standar spesifikasi yang
ditentukan. Karakteristik kerangka kerja penetapan yang tidak memenuhi kriteria tersebut adalah non-linear. Variabel yang diidentifikasi pada penetapan batas daerah adalah: a)
Penggunaan IG pada penetapan,
b) Keterlibatan profesional geospasial dalam memilih letak dan mendefinisikan batas daerah, c)
Kualitas peta wilayah lampiran UUPD.
2. Asesmen kerangka kerja penegasan batas daerah Penegasan batas daerah merupakan kegiatan penting pasca terbentuknya suatu DOB sebagai amanat UUPD. Dalam penelitian ini, dilakukan asesmen terhadap kerangka kerja penegasan batas daerah pada era otonomi daerah di Indonesi merujuk pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen penegasan batas daerah adalah kerangka kerja tahapan penegasan batas wilayah menurut teori boundary making Jones. Sesuai dengan karaketristik boundary making yang memiliki sifat berkesinambungan-sistematik (Jones, 1945; Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany, 2013), maka kriteria kerangka kerja penegasan batas daerah adalah bersifat linear dan non-linear. Dua variabel yang diidentifikasi untuk menentukan kerangka kerja penegasan bersifat linear yaitu:
106
a) berkesinambungan-sistematik artinya dalam kegiatan penegasan batas daerah tidak lagi dilakukan kegiatan penetapan, b) proporsi kegiatan yang bersifat teknis geospasial lebih dominan dibanding kegiatan yang bersifat politis. Bila kerangka kerja penegasan batas daerah tidak memenuhi dua hal tersebut, maka kerangka kerja penegasan batas daerah bersifat non-linear. IV.2.3.Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. Sesuai fokus penelitian, data UUPD yang dipilih sebagai obyek penelitian adalah data UUPD yang didasarkan atas PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007. Oleh sebab itu sebelum dilakukan asesmen terhadap peran IG dalam penetapan batas daerah, terlebih dahulu dilakukan reduksi dan pengelompokan data dokumen pembentukan DOB berupa UUPD beserta peta wilayah lampiran UUPD yang bersangkutan. Setelah data UUPD yang tidak dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007 disisihkan, selanjutnya data UUPD dikelompokan menjadi dua kelompok, pertama, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun 2000 dan kedua, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP No.78 tahun 2007.
IV.2.4. AsesmenperanIG dalam penetapan batasdaerah Asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam penetapan batas daerah dilakukan pada masing-masing kelompok data seperti telah diuraikan pada sub bab IV.2.3. Dalam bentuk diagram, model sistematis asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah disajikan pada Gambar 4.3.
107
PENETAPAN BATAS DAERAH input
output
prose
PARAMETER YANG DINILAI
Gambar 4.3. Asesmen peran IG pada tahap penetapan batas daerah Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dibagi dalam tiga tahap: 1) asesmen kondisi informasi peta dasar (peta RBI) pada input penetapan yang difokuskan pada kondisi peta RBI pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 untuk mendukung penetapan batas daerah, 2) asesmen penggunaan IG dalam proses penetapan yang dianalisis melalui dokumen UUPD khususnya pasal cakupan dan batas wilayah yang diterbitkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dan periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, 3) asesmen peta wilayah administrasi lampiran UUPD pada output penetapan yang bertujuan untuk mengetahui kualitas peta lampiran UUPD bila digunakan untuk mentransformasi titik dan garis batas di peta batas ke lapangan pada kegiatan penegasan batas daerah. Metode asesmen dilakukan dengan metode check list atau daftar cocok, yaitu mengamati parameter obyek yang dinilai kemudian dicocokan dengan standar (tolok ukur) yang ditentukan atau dideskripsikan. Instrumen yang digunakan adalah checklist penilaian produk peta untuk keperluan penetapan batas
108
daerah. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG disesuaikan pada tahapan input, proses dan output berikut ini: a.
Input tahap penetapan batas daerah. IG yang digunakan sebagai input dalam tahapan penetapan batas daerah adalah peta RBI. Dalam asesmen terhadap parameter ketersediaan peta RBI digunakan tolok ukur variabel skala pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun 2008 dan 2009 (PPBWBakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Dalam dokumen tersebut ditentukan skala minimal untuk peta wilayah provinsi, untuk kabupaten dan untuk kota seperti disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Kriteria dan tolok ukur asesmen IG sebagaiinput tahap penetapan batas daerah
Parameter
Variabel
Tolok ukur
Hasil asesmen
Ketersediaan peta dasar resmi (peta RBI)
Skala
1) Minimal 1: 250.000 untuk provinsi 2) Minimal 1: 100.000 untuk kabupaten 3) Skala minimal 1: 50.000 untuk kota
1) Sangat memadai bila tersedia skala > 1:250.000 untuk provinsi, > 1:100.000 untuk kabupaten dan > 1: 50.000 untuk kota 2) Memadai bila tersedia skala peta dasar 1:250.000 untuk provinsi, 1:100.000 untuk kabupaten dan 1: 50.000 untuk kota 3) Tidak memadai bila skala < 1:250.000 untuk provinsi, < 1:100.000 untuk kabupaten dan <1: 50.000 untuk kota
b. Pada prosestahap penetapan batas daerah. Dua kegiatan penting pada proses penetapan batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik-titik batas. Pemilihan letak batas dan pendefinisian titik batas dilakukan pada peta dasar resmi (Jones, 1945). Merujuk pada pendapat Jones tersebut,
109
maka parameter yang perlu diidentifikasi dalam penetapan batas daerah adalah adanya kegiatan memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik batas menggunakan peta RBI. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen IG pada proses tahap penetapan disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG padaproses penetapan batas daerah Parameter
Variabel
Memilih letak
Pasal cakupan wilayah pada UUPD
Mendefinisik an titik dan garis batas
Pasal batas wilayah pada UUPD
c.
Tolok ukur Hasil asesmen (menurut Jones, 1945) 1) Ditentukan letak 1) Sesuai bila disebutkan batas dan letak batas, dituliskan dalam digambarkan dalam bentuk narasi peta lampiran UUPD dan titik-titik batas 2) Digambarkan letak didefinisikan garis batas di peta koordinatnya pada lampiran sistem koordinat dan datum tertentu Pendefinisian titik2) Kurang sesuai bila titik batas dengan disebutkan letak batas kordinat pada sistem dalam UUPD, koordinat dan datum digambarkan dalam tertentu peta lampiran UUPD 3) Tidak sesuai bila tidak menyebutkan letak batas, tidak digambarkan dalam peta lampiran UUPD dan titik batas tidak didefinisikan koordinatnya pada sistem koordinat dan datum tertentu
Pada outputpenetapan batas daerah. Luaran proses penetapan batas yang berupa IG adalah peta batas wilayah yang dilampirkan dalam UUPD. Untuk mengetahui kualitas peta batas wilayah lampiran UUPD dilakukan asesmen menggunakan kriteria dan tolok ukur yang mengacu pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun
110
2008 dan 2009 (PPBW- Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Parameter penting peta hasil tahap penetapan agar titik dan garis batas di peta dapat ditransformasi ke lapangan pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom tersebut meliputi parameter geometris dan kelengkapan muatan peta. Parameter geometris adalah skala peta dan sistem referensi geospasial meliputi: (1) datum geodetikdan datum vertikal yang berupa bidang yang menjadi acuan posisi horisontal dan tinggi, (2)sistem referensi koordinat yang merupakan sistem untuk menentukan posisi suatu obyek secara unik di muka bumi dan (3) sistem proyeksi yaitu sistem yang secara matematis digunakan untuk penggambaran muka bumi yang tidak beraturan ke bidang datar. Parameter tersebut dirangkum dalam Tabel 4.3. Tabel 4.3. Kriteria yang bersifat geometris yang harus ada untuk peta batas wilayah lampiran UUPD sehingga peta tersebut dapat digunakan dalam penegasan batas daerah (sumber: PPBW-Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b) Daerah Parameter Skala Datum horisontal Datum vertikal
Sistem koordinat
Provinsi
Kabupaten
Kota
Minimal 1: 250.000 DGN-1999 Muka laut ratarata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau
Minimal 1:100.000 DGN-1995 Muka laut ratarata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Minimal 1:50.000 DGN-1995 Muka laut ratarata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau
Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Parameter kelengkapan muatan peta meliputi kerincian kelas unsur dan simbolisasi. Unsur-unsur rupa bumi yang perlu digambar meliputi unsur gedung dan bangunan, unsur perhubungan, unsur relief, unsur batas wilayah (negara, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan), unsur sungai dan perairan, nama-nama geografis dan keterangan garis batas, arah utara, legenda, sumber data, riwayat
111
peta, pembagian wilayah administrasi dan nama-nama geografis (toponim). Kerincian kelas unsur dan simbolisasi, penggambaran, pencetakan meliputi ukuran kertas, jenis kertas, warna, format cakupan peta mengacu kepada SNI Peta RBI No.19-6502.4-2000 untuk peta RBI skala 1:250.000, SNI No.19-6502.3-2000 untuk peta RBI skala 1:50.000 dan SNI No.19-6502.2- 2000 untuk peta RBI skala 1:25.000. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen terhadap peta lampiran UUPD DOB disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Kriteria dan tolok ukur asesmen peta lampiran UUPD DOB
Parameter
Variabel
Kualitas peta hasil penetapan (peta wilayah lampiran UUPD) untuk keperluan penegasan
Geometris
Kelengkapan muatan peta yang harus digambarkan
Ukuran peta
Tolok ukur Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten, Kota yang diterbitkan PPBW-Bakosurtanal Tahun 2008,2009. 1) Skala minimal untuk provinsi 1: 250.000, kabupaten 1: 100.000, kota 1:50.000 2) datum geodesi DGN-95 3) datum vertikal muka laut rata-rata 4) proyeksi peta dan grid peta pada sistem UTM 1) Unsur permukiman 2) Unsur perhubungan 3) Unsur relief dan titik kontrol 4) Unsur batas wilayah 5) Unsur perairan 6) Toponim (nama perairan, nama pulau, nama sungai, nama gunung, nama selat, nama ibu kota, nama daerah provinsi, kab/kota, kecamatan, desa. Ukuran kertas A0
Hasil asesmen
1) Sesuai bila mencantumkan semua parameter sesuai spesifikasi dan digambar pada format A0. 2) Tidak sesuai, bila tidak mencantumkan secara keseluruhan parameter geometris dan tidak digambar pada format A0.
112
IV.2.5. Diagnosis penyebab sengketa batas daerah Dalam penelitian ini data sengketa batas daerah yang berupa matriks permasalahan batas daerah. Pada awalnya data tersebut berupa laporan permasalahan sengketa batas yang dilaporkan oleh daerah-daerah yang bersengketa kepada Kementrian Dalam Negeri ketika dilakukan kegiatan penegasan batas daerah. Oleh Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri laporan tersebut disusun menjadi bentuk matriks permasalahan perbatasan. Matriks tersebut akan digunakan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk menentukan arah kebijakan dan langkah-langkah penyelesaian serta menentukan prioritas sengketa yang harus diselesaikan. Data sengketa batas daerah yang diperoleh pada penelitian ini seluruhnya berjumlah 62 kasus sengketa batas daerah antar kabupaten/kota (Kemendagri, 2012). Setelah dipelajari terdapat 17 kasus sengketa batas daerah yang informasinya dinilai tidak lengkap, sehingga untuk keperluan penelitian ini hanya dipilih 45 kasus. Data 45 kasus sengketa batas daerah tersebut selanjutnya diklasifikasi menjadi tiga kategori A, B dan C atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa seperti disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Kategori sengketa batas daerah atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa Kategori
Kriteria
Keterangan
A
Sengketa batas daerah antar DOB yang sama-sama dibentuk pada era otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009). Sengketa batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009) dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.
Disajikan pada Lampiran 5
B
Disajikan pada Lampiran 6
113
Tabel 4.5.Lanjut Kategori
Kriteria
Keterangan
C
Sengketa batas daerah antara daerah otonom yang sama-sama dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada saat penegasan di era OTDA.
Disajikan pada Lampiran 7
Pada setiap kategori A, B dan C, dilakukan diagnosis sengketa batas daerah untuk: (1)mengidentifikasifaktor penyebabsengketa, (2) menentukan jenis sengketa.Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan pendekatan teori lingkaran konflik menurut Moore (1986). Berdasar hasil diagnosis penyebab sengketa selanjutnya diklasifikasi jenis sengketa. Jenis sengketa batas daerah diklasifikasi sebagai berikut: (1) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor kepentingan, (2) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor struktural, (3) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor IG, (4) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor hubungan, (5) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor nilai, (6) sengketa batas daerah yang disebabkan kombinasi minimal dua faktor tersebut.
IV.2.6. Wawancara Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan wawancara. Tujuan wawancara adalah untuk mendapat data atau informasi suatu obyek yang sedang diteliti atau klarifikasi terhadap suatu hasil asesmen yang telah dilakukan. Empat hal penting yang menjadi obyek penelitian yaitu peta RBI, penetapan batas daerah, penegasan batas daerah dan sengketa batas daerah. Obyek penelitian tersebut terkait dengan tiga institusi yaitu: 1) Peta RBI terkait dengan institusi BIG, dalam hal ini Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi (PPRT-BIG), 2) Penetapan batas daerah yang merupakan bagian dari proses pembentukan DOB terkait dengan Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus, Direktorat Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri,
114
3) Penegasan batas daerah dan sengketa batas daerah terkait institusi Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam negeri. Oleh sebab itu, wawancara dilakukan pada responden di tiga institusi tersebut. Responden yang dipilih dalam wawancara dipilih dengan kriteria sebagai berikut: 1) Pejabat atau pegawai yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan obyek penelitian, 2) Telah bertugas di bidang yang terkait dengan obyek penelitian paling sedikit tiga tahun. Wawancara dilakukan secara indepth interview. Wawancara terhadap pejabat di PPRT-BIG dilakukan untuk mendapat informasi tentang proses pembuatan, ketersedian serta kualitas peta RBI. Wawancara yang dilakukan terhadap pejabat di Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus, Direktorat Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk mendapat informasi dan klarifikasi tentang penggunaan peta RBI dalam proses penetapan batas daerah dalam rangka pemekaran wilayah pada sepuluh tahun era otonomi daerah di Indonesia (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009). Wawancara yang dilakukan terhadap pejabat di Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk mendapat informasi dan klarifikasi tentang penegasan batas daerah dan sengketa batas daerah.