BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang berkembang pesat baik perekonomian maupun sosial budayanya. Perkembangan ekonomi dan sosial budaya akan menggeser ketersediaan lahan yang ada karena persaingan antarindustri yang ingin mendirikan bangunan di sekitar kota. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap tata ruang kota menjadi kurang beraturan dan sulit untuk dikendalikan jika dibiarkan. Sayono (1980) (dalam Sitorus (1996)) menyatakan bahwa salah satu upaya penanggulangan masalah tanah perkotaan, khususnya pemukiman adalah konsolidasi tanah. Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor (BPN) 4 Tahun 1991). Dalam hal ini, objek konsolidasi tanah adalah tanah dengan jenis penggunaan tanah yang peruntukan dan pemanfaatannya untuk pertanian atau non pertanian. Pelaksanaan konsolidasi tanah sejak tahun 1983 tidak luput dari beberapa kendala sehingga penyelesaiannya tidak sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan atau bahkan tidak terlaksana. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Indonesia pada tahun 2014, diketahui bahwa kendala atau terhambatnya pelaksanaan konsolidasi tanah antara lain adalah ketidaktepatan pemilihan lokasi, waktu pelaksanaan yang kurang, serta belum terbangunnya infrastruktur di lokasi konsolidasi tanah. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, dipandang perlu adanya suatu kegiatan analisis pemilihan lokasi yang berpotensi untuk dilakukan konsolidasi tanah. Selain itu, kegiatan tersebut akan berdampak pula pada waktu penyelesaian konsolidasi tanah yang tepat waktu dan dana yang diperlukan seminimal mungkin.
1
2
Kegiatan pemilihan potensi objek konsolidasi tanah tersebut mempunyai beberapa faktor yang mempengaruhi hasil yang akan didapatkan nantinya. Faktor tersebut diantaranya ialah peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), citra satelit, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah, data 3 unsur konsolidasi tanah (tanah untuk pembangunan, kualitas lingkungan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam (SDA)) yang berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS), serta penjajagan pendapat warga calon objek konsolidasi tanah yang berpotensi melalui kegiatan wawancara di lapangan. Sesuai dengan RTRW Kota Yogyakarta, penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2007-2010 didominasi oleh lahan permukiman. Selama kurun waktu 2007-2010 guna lahan yang mengalami peningkatan adalah pada sektor jasa seperti kegiatan perdagangan dan pariwisata yaitu seluas 3,906 Ha. Peningkatan ini menggambarkan dinamika perekonomian kota Yogyakarta yang ditopang oleh sektor jasa, sebaliknya untuk lahan pertanian dari tahun 2007 – 2010 mengalami penyusutan seluas 15,461 Ha. Sesuai dengan posisi Kota Yogyakarta sebagai daerah perkotaan, maka di RTRW Kota Yogyakarta sudah tidak terdapat lahan pertanian (Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2012 – 2016). Kecamatan Tegalrejo merupakan kecamatan di Kota Yogyakarta yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta dalam angka 2009, Kecamatan Tegalrejo adalah kecamatan kedua yang memiliki penggunaan lahan pertanian paling luas di Kota Yogyakarta yaitu seluas 27,067 Ha, setelah Kecamatan Umbulharjo yaitu 75,167 Ha. Sebelumnya, di Kecamatan Umbulharjo pernah diadakan kegiatan penyusun Potensi Objek Konsoliasi Tanah (POKT) oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2013.
3
I.2. Rumusan Masalah Konsolidasi tanah menurut monitoring dan evaluasi diketahui bahwa banyak yang tidak sesuai dengan yang diharapkan terutama karena faktor ketidaktepatan pemilihan lokasi yang tidak tepat sasaran yaitu objek konsolidasi tanah yang tidak berpotensi. RTRW Kota Yogyakarta sudah tidak mengatur tentang lahan pertanian lagi, tetapi mengarahkan rencana kota ke kawasan perkotaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadaan lapangan Kecamatan Tegalrejo yang masih mempunyai lahan pertanian. Wilayah yang masih mempunyai lahan pertanian perlu ditata lebih baik lagi dengan kegiatan konsolidasi tanah supaya perkembangannya sesuai dengan RTRW Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, diperlukan suatu kegiatan untuk mengetahui persebaran potensi objek konsolidasi tanah di Kecamatan Tegalrejo.
I.3. Pertanyaan Kegiatan Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat disusun pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana persebaran Potensi Objek Konsolidasi Tanah (POKT) di Kecamatan Tegalrejo? 2. Bagaimana arahan Potensi Objek Konsolidasi Tanah (POKT) tersebut di Kecamatan Tegalrejo?
I.4. Cakupan Kegiatan Cakupan masalah pada kegiatan ini : 1. Tahapan kegiatan yang dilakukan berdasarkan buku Tata Cara Kerja Penyusunan Potensi Objek Konsolidasi Tanah (POKT) 2014 (Direktorat Konsolidasi Tanah, 2014). 2. Pemberian skor prioritas pada skoring dilakukan dengan cara analisis secara subjektif berdasarkan keadaan nyata lapangan. 3. Unit hasil akhir yang didapatkan berupa Rukun Warga (RW). 4. Analisis arahan potensi objek konsolidasi tanah mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia (RI) Nomor 3 Tahun 2006.
4
I.5. Tujuan Kegiatan Tujuan dilakukannya kegiatan ini adalah : 1. Membuat Peta Potensi Objek Konsolidasi Tanah Kecamatan Tegalrejo sehingga diketahui persebaran RW di Kecamatan Tegalrejo yang berpotensi sebagai objek konsolidasi tanah. 2. Memperoleh analisis arahan potensi objek konsolidasi tanah Kecamatan Tegalrejo berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 2006.
I.6. Manfaat Kegiatan Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis yaitu dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika akan dilakukan konsolidasi tanah di Kecamatan Tegalrejo. 2. Manfaat praktis yaitu dapat diperoleh hasil persebaran potensi objek konsolidasi tanah di Kecamatan Tegalrejo serta arahan potensi objek konsolidasi tanah tersebut.
I.7. Tinjauan Pustaka Prasetyo (2014), telah melakukan kegiatan tentang “Evaluasi Hasil Konsolidasi Tanah di Desa Ngadirgo Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah”. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah kegiatan konsolidasi tanah yang dilakukan di Desa Ngadirgo, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah yang dilihat dari aspek fisik berupa perubahan luas, bentuk, jumlah, dan letak bidang, serta aspek ekonomi berupa perubahan nilai tanah. Kegiatan tersebut dilakukan dengan membandingkan data bidang tanah sebelum dan sesudah dilakukan konsolidasi tanah. Hasil kegiatan tersebut menunjukkan bahwa konsolidasi tanah masih kurang sesuai dengan prinsip dasar konsolidasi tanah karena terdapat perubahan yang kurang sesuai dengan prinsip dasar konsolidasi tanah. Novitasari (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Analisis Implementasi Rencana Konsolidasi Tanah”
5
menyatakan bahwa pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat membantu proses perencanaan program konsolidasi tanah dengan mengoverlaykan peta situasi pemilikan semula (peta existing) dan peta rencana konsolidasi tanah yang telah di update serta dilengkapi dengan data – data atribut. Selain itu, hasil overlay tersebut juga menghasilkan perubahan bentuk persil yaitu menjadi teratur, mendapat akses jalan, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), dan perubahan penggunaan lahan yaitu perubahan lahan yang semula tegalan, sawah irigasi, dan bangunan permanen direncanakan berubah menjadi bidang persil, akses jalan, dan beberapa fasilitas umum dari overlay peta existing, peta rencana konsolidasi tanah dan peta penggunaan lahan dari Quickbird. Sutopo (2004), telah melakukan kegiatan tentang “Tinjauan Peta Pada Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan di Kota Pekanbaru”, menyatakan bahwa perlu adanya penataan letak yang dapat dilakukan dengan Konsolidasi Tanah Pertanian (KTP) untuk pengembangan pembangunan kota agar dapat dilakukan secara berkesinambungan dan KTP sebaiknya dilakukan di wilayah pinggiran sehingga dapat ikut melaksanakan program pemerataan pembangunan. Pada kegiatan yang dilakukannya ditemukan perbedaan pada peta sebelum dan sesudah konsolidasi tanah yaitu perubahan luas dari peta rencana konsolidasi tanah ke peta setelah konsolidasi tanah dan perubahan bentuk persil pada peta rencana konsolidasi tanah dengan peta setelah konsolidasi tanah. Hasil perhitungan luas persil setelah konsolidasi tanah menggunakan Autocad Map lebih besar 271 m2 daripada hasil perhitungan yang dilakukan oleh BPN. Laksono (2011), melakukan kegiatan tentang “Evaluasi Konsolidasi Tanah di Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram”. Hasil dari kegiatan ini diantaranya hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pengaturan dan Penguasaan Tanah Kantor Pertanahan Kota Mataram dan peserta konsolidasi tanah menyatakan bahwa peserta konsolidasi tanah sangat berperan dalam tiap tahap pelaksanaan konsolidasi tanah, mulai dari persetujuan lokasi, penetapan lokasi, iuran tanah untuk pelaksanaan Land Consolidation (LC), dan pengambilan keputusan terkait kegiatan LC. Masyarakat juga menyatakan dampak positif setelah kegiatan konsolidasi tanah
6
ialah kenaikan nilai tanah dan semakin cepatnya pembangunan dan meningkatnya pendidikan yang ditandai dengan dibangunnya universitas di Karang Pule. Dari tinjauan pustaka di atas, masih ditemukan banyak kekurangan dari kegiatan konsolidasi tanah terutama faktor penentuan lokasi yang menyebabkan perbedaan luas dan bentuk persil pada peta rencana dengan keadaan di lapangan setelah kegiatan konsolidasi tanah. Hal tersebut juga didukung dengan respon peserta konsolidasi tanah yang kurang puas dengan kegiatan konsolidasi tanah. Perbedaan kegiatan ini dengan kegiatan di atas ialah menganalisis daerah mana saja di Kecamatan Tegalrejo yang mempunyai potensi objek konsolidasi tanah.
I.8. Landasan Teori Landasan teori digunakan sebagai acuan dalam pengolahan data dan pembahasan hasil untuk memenuhi tujuan dari kegiatan ini. Landasan teori tersebut diantaranya diawali dengan pengertian Konsolidasi Tanah Secara Umum menurut beberapa pakar. Selanjutnya mengenai Konsolidasi Tanah yang ada di Indonesia yang meliputi tujuan, sasaran, dan pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia untuk dijadikan sebagai landasan dalam analisis potensi objek konsolidasi tanah yang ada di Kecamatan Tegalrejo. Tata Cara Kerja Penyusunan Potensi Objek Konsolidasi Tanah (POKT) dijadikan sebagai landasan teori di dalam setiap tahapan pelaksanaan yang dilakukan supaya hasil dari pengolahan yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tata cara kerja tersebut meliputi: Pengertian Objek Konsolidasi Tanah, Indikasi Potensi Objek Konsolidasi Tanah, Indikasi Terpilih Potensi Objek Konsolidasi Tanah, Kegiatan Peninjauan Lapangan, Pengolahan Data Lapangan, dan Analisis Arahan Potensi Objek Konsolidasi Tanah. Selain dibahas mengenai landasan teori mengenai hal – hal teknis seperti di atas, bahan yang digunakan untuk pengolahan kegiatan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta Tahun 2010, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kota Yogyakarta, Data Tiga Unsur Konsolidasi Tanah dari Data Badan Pusat Statistik (BPS), dan Interpretasi Citra Satelit juga diuraikan sebagai landasan bahan dalam kegiatan ini. Peta tematik dan desain simbol digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta yang sesuai dengan standar
7
kartografi. Selanjutnya analisis spasial digunakan sebagai proses yang dilakukan di dalam pengolahan kegiatan ini.
I.8.1. Konsolidasi Tanah Secara Umum Konsolidasi tanah telah dipraktekkan di berbagai negara di dunia seperti Malaysia, Thailand, Philippina, Australia, Jepang, Taiwan, dan sebagainya. Health Company USA ((1982) dalam Cahyaningsih (2003)) mengatakan Jerman merupakan barisan negara awal yang menerapkan konsolidasi tanah dalam upaya penyediaan tanah bagi berbagai keperluannya tanpa menggusur masyarakat lokal dari kawasannya, hunian ataukah pertanian. Jepang telah secara intensif sekali, dengan dukungan undang – undang, melaksanakan konsolidasi tanah sejak lama yang dikenal dengan istilah Kukaku-Seiri atau Land Readjustment untuk wilayah perkotaan dan Land Consolidation untuk wilayah pedesaan. Pengalaman Jepang dalam melaksanakan Land Readjustment tersebut ditularkan kepada Indonesia dalam bentuk kerjasama teknis untuk membantu pemerintah Indonesia untuk mencapai bentuk konsolidasi tanah yang baik dari waktu ke waktu. Latar belakang konsolidasi tanah perkotaan ialah : 1.
Masih banyak tanah yang belum dimanfaatkan secara optimal bahkan tanah kosong;
2.
Terbatasnya dana pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana umum yang merata;
3.
Pembangunan rumah oleh masyarakat yang tidak memperhatikan rencana tata ruang;
4.
Adanya model pembangunan wilayah permukiman umum dilaksanakan (real estate, perumnas, dll) menyebabkan pemilik tanah harus melepaskan hak atas tanah tanpa menikmati kenaikan nilai tambah;
5.
Untuk menumbuhkan peran serta masyarakat khususnya dalam pembangunan wilayah pemukiman.
8
Beberapa pengertian konsolidasi tanah menurut pakarnya ialah : 1.
Jayadinata (1999) mengatakan bahwa konsolidasi tanah merupakan salah satu model pembangunan di bidang pertanahan, yang mencakup wilayah perkotaan dan wilayah pertanian, dan bertujuan mengoptimasikan penggunaan tanah dalam hubungan dengan pemanfaatan, peningkatan produktivitas dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Ilustrasi dari konsolidasi tanah menurut Jayadinata disajikan pada Gambar I.1 yang menunjukkan keadaan suatu daerah sebelum dan setelah dilakukan konsolidasi tanah. Dengan konsolidasi tanah, tata ruang suatu wilayah menjadi lebih rapi dan adanya akses jalan.
Gambar I.1. Ilustrasi sebelum dan sesudah konsolidasi tanah Sumber : Budi dan Ho (1997) dalam Jayadinata (1999) 2.
Sitorus dan Sebayang (1996) mengatakan bahwa konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia merupakan suatu kegiatan penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah yang diperuntukkan bagi areal pemukiman.
I.8.2. Konsolidasi Tanah di Indonesia Pengertian konsolidasi tanah menurut pemerintah Indonesia merupakan kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sementara peserta konsolidasi tanah adalah
9
pemegang hak atas tanah atau penggarap tanah negara objek konsolidasi tanah (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991). Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991, tujuan konsoldiasi tanah adalah untuk pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sasaran konsolidasi tanah adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran konsolidasi tanah pada wilayah perkotaan terutama ditujukan pada wilayah – wilayah sebagai berikut : a. Wilayah pemukiman kumuh; b. Wilayah pemukiman yang tumbuh pesat secara alami; c. Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh; d. Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman baru; e. Wilayah yang relatif kosong di bidang pinggiran kota yang diperkirakan (Himpunan
akan
berkembang
Peraturan
sebagai
Konsolidasi
Tanah
daerah dan
pemukiman. Pembangunan
Perkotaan Bagian I Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah BPN, 1994) Menurut Idham (2004), sasaran ini ditujukan untuk menciptakan pelestarian kemampuan fungsi lingkungan hidup perumahan dan permukiman sesuai dengan tata ruang perkotaan dan atau tata ruang wilayah yang sudah ditetapkan dalam kebijakan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kebijakan ini memiliki arti penting sebagai suatu faktor pendukung, yang membawa konsekuensi kepada pertumbuhan dan perkembangan kota baik pada inti kota (city nucleus) maupun pada daerah pinggiran kota (suburb area). Yuriwin ((2009) dalam Novitasari (2011)) menuturkan sasaran konsolidasi tanah difokuskan demi tercapainya tatanan penguasaan dan penggunaan lahan yang tertib dan teratur. Secara garis besar, terdapat perbedaan sasaran yang signifikan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah non pertanian/pemukiman dan pertanian. Pada kegiatan ini, Kecamatan tegalrejo di dalam RTRW Kota Yogyakarta diarahakan ke konsolidasi tanah non pertanian. Di wilayah non pertanian, sasaran ditujukan bagi :
10
a. Pemukiman yang tumbuh atau berkembang pesat (jika tidak ditata, akan dibangun oleh masyarakat secara alami dan cenderung kumuh). b. Daerah penegmbangan kawasan perkotaan yang direncanakan menajdi permukiman/kota baru. c. Daerah pinggir kota yang telah ada jalan utama/penghubung. d. Rehabilitasi daerah bencana (kebakaran, daerah banjir, tanah longsor, dan sebagainya). e. Peremajaan pemukiman/perumahan kumuh. f. Daerah sepanjang pembangunan ring road dan jalan baru. g. Pembangunan sentra niaga, industri, perkantoran, stasiun kereta api, dan lain – lain. I.8.3. Tata Cara Kerja Penyusunan Potensi Objek Konsolidasi Tanah Direktorat Konsolidasi Tanah BPN RI 2014 Untuk
menunjang
pelaksanaan
kegiatan
Penyusunan
Potensi
Objek
Konsolidasi Tanah (POKT) tersebut, perlu disusun Tata Cara Kerja PPOKT sebagai arahan atau pedoman operasional pelaksanaan kegiatan yang kemudian disesuaikan dengan aturan tata ruang masing – masing wilayah. I.8.3.1 Pengertian Objek Konsolidasi Tanah. Objek konsolidasi tanah terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Objek konsolidasi tanah pertanian Objek konsolidasi tanah pertanian adalah jenis penggunaan tanah yang peruntukan dan pemanfaatannya sebagai sawah, tegalan/ladang, kebun, perkebunan, tambak, rawa dan jenis arahan rencana pola ruang dalam rencana tata ruang wilayah adalah perikanan, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan tanaman tahunan. 2. Objek konsolidasi tanah non-pertanian Objek konsolidasi tanah non-pertanian adalah jenis penggunaan tanah yang peruntukan dan pemanfaatannya sebagai perkampungan/perumahan, sawah tadah hujan, tegalan/ladang, kebun, perkebunan, tambak, rawa yang jenis
11
arahan rencana pola ruangnya di dalam rencana tata ruang wilayah adalah permukiman (Direktorat Konsolidasi Tanah 2014). Menurut Sitorus (1996), faktor yang menentukan kelayakan objek konsolidasi tanah adalah : a. Kesesuaian dengan Rencana Umum Tata Ruang atau Arahan kegiatan pembangunan sektor pembangunan b. Tingkat kemudahan pencapaian lokasi c. Kesediaan peserta/pemilik tanah untuk ikut program KT d. Jumlah bidang yang ditata e. Keragaman luas persil f. Jumlah pemilik tanah makin banyak makin baik g. Keadaan topografi, makin datar makin baik Sementara Potensi Objek Konsolidasi Tanah adalah kemampuan suatu wilayah/bagian wilayah/lokasi yang mempunyai kemungkinan untuk ditindaklanjuti sebagai objek konsolidasi tanah. Kesesuaian Potensi yang merupakan hasil overlay peta penggunaan tanah dengan peta rencana pola ruang (RTRW). (Direktorat Konsolidasi Tanah 2014). I.8.3.3 Indikasi Potensi Objek Konsolidasi Tanah Indikasi Potensi Objek Konsolidasi Tanah adalah wilayah yang secara fisik berpotensi sebagai objek konsolidasi tanah berdasarkan penggunaan tanah, RTRW, dan status tanahnya. Menurut buku Penyusunan POKT Kota Yogyakarta Tahun 2013 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi DIY, produk pertama pengolahan peta indikasi potensi objek konsolidasi tanah ialah menghasilkan data berupa peta dan matrik. Matrik tersebut selanjutnya disebut dengan Matrik Kesesuaian POKT yang memuat overlay antara layer Penggunaan Tanah dan layer Arahan Rencana Pola Ruang dalam RTRW dengan isian kategori Potensial KT Pertanian (P/T), Potensial KT Nonpertanian (P/NT), Tidak Potensial (TP), atau Sangat Potensial KT Nonpertanian (SP/NT).
12
Tabel I.1. Matrik Kesesuaian Potensi Objek Konsolidasi Tanah Arahan Rencana Pola Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah No
Penggunaan Tanah
Buday a
Industri Mikro Kecil & Menengah
Kese hatan
Kubur an
TP
TP
TP
TP
TP
TP
Pari wisata
Pendi dikan & Jasa
Perda gangan & Jasa
Perkanto ran & Jasa
Perum ahan
Rekre asi & Olahraga
RTH
Sara na Tran sportasi
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
3
Akomodasi dan Rekreasi Industri Non Pertanian Industri Pengolahan Pertanian
4
Instalasi
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
5
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
11
Jalur Hijau Jasa Kesehatan Jasa Pelayanan Umum Jasa Pemerintahan Jasa Pendidikan Jasa Peribadatan Lembaga Usaha
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
12
Makam
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
13
Pasar
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
14
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
15
Perbengkelan Perdagangan Umum
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
16
Pergudangan
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
17
Perkantoran Perkantoran Perusahaan Swasta Pertanian Tanah Basah Pertanian Tanah Kering Perumahan Bertingkat Perumahan Teratur Perumahan Tidak Teratur Prasarana Transportasi
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
P/NT
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
P/NT
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
P/NT
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
P/NT
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
1 2
6
7 8 9 10
18 19 20 21 22 23 24
13
Arahan Rencana Pola Ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Penggunaan Tanah
No
25 26
Taman Kota Tanah Kosong
Buday a
Industri Mikro Kecil & Menengah
Kese hatan
Kubur an
TP
TP
TP
TP
TP
TP
Pari wisata
Pendi dikan & Jasa
Perda gangan & Jasa
Perkanto ran & Jasa
Perum ahan
Rekre asi & Olahraga
RTH
Sara na Tran sportasi
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
TP
P/NT
TP
TP
TP
(Sumber : Hasil Pengolahan Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi DIY) Pada tabel di atas, kategori Potensial KT Nonpertanian (P/NT) didapatkan pada overlay antara pertanian tanah basah, pertanian tanah kering, perumahan bertingkat, perumahan tidak teratur, tanah kosong dari layer Penggunaan Tanah dengan Perumahan dari layer Arahan Rencana Pola Ruang dalam RTRW. Sementara untuk sisanya adalah kategori Tidak Potensial (TP). Kategori Potensial KT Pertanian (P/T) tidak terdapat di dalam matrik di atas karena di dalam RTRW Kota Yogyakarta sudah tidak mengatur tentang lahan pertanian lagi. Kategori Sangat Potensial KT Nonpertanian (SP/NT) muncul setelah overlay antarlayer RTRW pada tahap pengolahan peta indikasi terpilih POKT nantinya. Matrik antara layer kesesuaian POKT dengan GUPT dapat dilihat pada Tabel I.1. Status penggunaan tanah di Kota Yogyakarta dibagi menjadi 3 macam, yaitu kelompok tanah negara, kelompok tanah hak, dan kelompok tanah adat (SG/PAG). Untuk matrik antara kelompok tanah adat (SG/PAG) dengan indikasi POKT memupunyai kategori TP (Tidak Potensial) karena dikuasai atau dimiliki oleh Kerajaan. Tabel I.2. Tabel matrik peta kesesuaian POKT dengan GUPT
No.
Status Penguasaan Tanah
Kelompok Tanah 1 Negara Kelompok Tanah 2 Hak Kelompok Tanah 3 Adat (SG/PAG)
Keterangan
(yang sudah digarap oleh perorangan)
Dikuasai/dimiliki Kerajaan
Indikasi Potensi Objek Konsolidasi Tanah Potensial Sangat Potensial Non Non Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian (P/T) (P/NT) (SP/T) (SP/NT) P/T
P/NT
SP/T
SP/NT
P/T
P/NT
SP/T
SP/NT
TP
TP
TP
TP
14
(Sumber : Hasil Pengolahan buku Penyusunan POKT Kanwil BPN Provinsi DIY)
I.8.3.4 Indikasi Terpilih Potensi Objek Konsolidasi Tanah Indikasi Terpilih Potensi Objek Konsolidasi Tanah adalah wilayah yang secara fisik dan sosial berpotensi sebagai objek konsolidasi tanah berdasarkan Indikasi Potensi Objek Konsolidasi Tanah dan Gambaran Umum Penguasaan Tanah (GUPT) (Direktorat Konsolidasi Tanah (2012) dalam Tata Cara Kerja Penyusunan POKT 2014). Pembuatan Peta Indikasi Terpilih POKT dimulai dengan proses overlay union antarpeta RTRW. Peta RTRW tersebut terdiri dari layer Struktur Ruang, Struktur Fungsi, Pembagian Sub Kawasan, Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Citra Kota. Rencana gabungan antarlayer RTRW tersebut yang terdiri dari tiga jenis rencana atau lebih, dianggap Sangat Potensial (SP) untuk konsolidasi tanah. Peta Indikasi Terpilih POKT yang dihasilkan disesuaikan dengan keadaan lapangan ter-update melalui citra satelit pada daerah yang berkategori Sangat Potensial. Pada tabel dibawah ini adalah matrik arah kebijakan untuk hasil overlay antara layer Peta Indikasi Terpilih POKT dengan hasil interpretasi citra satelit. Tabel I.3. Tabel Matriks Analisis Arah Pengembangan Kebijakan No
Peta Indikasi Terpilih POKT
Citra Satelit
Arah Kebijakan
1
P/T atau SP/T atau P/NT atau SP/NT
Ruang antara
Pengembangan
+ „pusat kegiatan‟ 2
P/NT atau SP/NT + „pusat kegiatan‟
wilayah Kumuh
Peremajaan kota
Tani skala kecil
Optimalisasi
+ „jalan eksisting‟ 3
P/T atau SP/NT + „rencana fasos fasum‟
Pengusahaan Pertanian
4
P/T atau SP/T atau P/NT atau SP/NT
-
+ „rencana fasos/fasum‟
Penyediaan tanah untuk pembangunan
P/T atau SP/T atau P/NT atau SP/NT + „rencana jalan‟ 5
P/T atau SP/T atau P/NT atau SP/NT + kombinasi buffer rencana lainnya
-
Areal Pengembangan Lannya
Interpretasi citra satelit dilakukan pada daerah kumuh, ruang antara permukiman teratur, dan sawah ukuran kecil. Interpretsi kategori daerah kumuh
15
terindikasi dalam citra secara visual permukiman padat dengan bangunan berukuran kecil dan rapat serta jaringan jalan minim. Sedangkan interpretasi kategori ruang antara permukiman teratur merupakan wilayah yang terletak di antara permukiman yang dikembangkan oleh developer, di mana masih minim sarana dan prasarana, banyak terdapat tanah kosong atau kebun dan tegalan, serta jaringan jalnnya masih sedikit dan tidak teratur. Interpretasi kategori sawah berukuran kecil, terindikasi melalui penampakan bidang – bidang sawah dengan luas bidang lebih kecil dari 2 Ha (Modul Bimbingan Teknis Penyusunan POKT, 2014). I.8.3.5 Kegiatan Peninjauan Lapangan. Kegiatan peninjauan lapangan disajikan di dalam Tabel I.4. Secara umum, kegiatan tersebut berupa : 1. Pengumpulan data sosial ekonomi dan penjajakan kesepakatan. 2. Identifikasi/validasi dilaksanakan pada lokasi terpilih yang telah ditentukan. 3. Koordinasi dengan dinas terkait. Hal ini berkaitan dengan mata pencaharian dan sumber pendapatan masyarakat pada lokasi terpilih yang telah ditentukan. (Direktorat Konsolidasi Tanah, 2014). Tabel I.4. Tabel Jenis Kegiatan dalam Peninjauan Lapangan No. 1.
Jenis Kegiatan Hasil Kegiatan Keterangan Identifikasi dan/atau 1. Sketsa deliniasi Untuk identifikasi dan validasi validasi : homogenitas fisik homogenitas fisik topografi dan 1. Homogenitas fisik wilayah berdasarkan penggunaan tanah dapat wilayah topografi/kemiringan dilakukan dengan cara membuat (topografi/kemiringan) pada peta kerja sketsa deliniasi menggunakan 2. Homogenitas peninjauan lapangan alat tulis yang digambar penggunaan tanah 2. Sketsa deliniasi langsung di atas peta kerja/peta 3. GUPT homogenitas peninjauan lapangan pada saat 4. Sarana-prasarana : penggunaan tanah observasi fisik wilayah di lokasi. 1. Prasarana jalan pada peta kerja Pindahkan hasil sketsa tersebut 2. Saluran irigasi peninjauan lapangan ke dalam peta 3. Fasilitas pendidikan 3. Sketsa GUPT hasil indikasi_terpilih.shp melalui 4. Fasilitas peribadatan validasi pada peta digitasi dan lakukan updating kerja peninjauan pada tabel atributnya. Hasil lapangan identifikasi sarana-prasarana 4. Peta sebaran sarana- diplot dengan GPS dan digambar prasarana (jalan, langsung di atas peta kerja pada saluran, irigasi, dll) saat melakukan observasi pada peta kerja lapangan dan dicatat pada lokasi peninjauan lapangan indikasi terpilih POKT.
16
No. 2.
3.
Jenis Kegiatan Pengumpulan data sosial dan ekonomi dan penjajakan kesepakatan 1. Status tanah 2. Bentuk dan luas bidang 3. Mata pencaharian masyarakat 4. Kepahaman dan kesepakatan tokoh masyarakat (lurah, camat) 5. Kepahaman dan kesepakatan masyarakat Koordinasi dengan dinas teknis terkait
Hasil Kegiatan Keterangan Tabel rekapitulasi hasil Lihat Form Kuesioner wawancara dan kuesioner (pengambilan sampel untuk kuesioner di masing – masing lokasi peninjauan lapangan minimal 20% dari jumlah populasi)
Program instansi terkait dengan potensi wilayah di lokasi indikasi terpilih
(Sumber : Direktorat Konsolidasi Tanah 2014) Untuk setiap variabel data sosial ekonomi dan penjajakan kesepakatan yang digunakan dalam penentuan potensi objek konsolidasi tanah ialah memiliki bobot masing – masing, yaitu : i.
Status tanah, dengan bobot 2
ii.
Bentuk dan luas bidang, dengan bobot 1
iii.
Mata pencaharian masyarakat, dengan bobot 2
iv.
Kondisi kesehatan lingkungan, dengan bobot 1
v.
Sebaran sarana dan prasarana, dengan bobot 1
vi.
Pemerintah daerah, dengan bobot 3
vii.
Tokoh masyarakat (LMD, pemuka agama, kepala adat, kepala suku, tokoh adat, dan atau LSM), dengan bobot 3.
viii.
Masyarakat, dengan bobot 3
I.8.3.6 Pengolahan data lapangan Teknik pengolahan data wawancara yang digunakan dalam kegiatan ini adalah analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif merupakan analisis yang digunakan terhadap data yang berwujud angka – angka (Hardiyati, 2010). Analisis kuantitatif diterapkan dalam analisis pembobotan untuk menentukan kelas potensi pada hasil POKT yaitu potensi prioritas 1, potensi prioritas 2, potensi prioritas 3. Penentuan kelas potensi
17
dilakukan pada masing-masing klasifikasi tiap-tiap unsur konsolidasi tanah pertanian dan non pertanian yang kemudian direkapitulasi untuk ditentukan kelas potensinya. Cara menentukan skor maksimal, skor minimal, dan interval rentang kelas potensi : ..............................................................................................(I.1) ...............................................................................................(I.2) .....................................................................................................(I.3) Keterangan : x = skor maksimal y = skor minimal h = skor unsur konsolidasi tanah tertinggi i = skor unsur konsolidasi tanah terendah a = interval rentang kelas potensi n = bobot I.8.3.7 Analisis Arahan Potensi Objek Konsolidasi Tanah. Analisis yang digunakan untuk menentukan arahan potensi objek konsolidasi tanah ialah analisis kualitatif. Analisis kualitataif merupakan bentuk analisis yang berdasarkan dari data yang dinyatakan dalam bentuk uraian. Analisis kualitatif ini digunakan untuk membahas dan menerangkan hasil kegiatan tentang berbagai gejala atau kasus yang dapat diuraikan dengan kalimat (Hardiyati, 2010). Berdasarkan Tata Cara Kerja Penyusunan POKT 2014, disajikan Tabel I.5 sebagai acuan penentuan arahan potensi objek konsolidasi tanah : Tabel I.5. Tabel Arahan Potensi Objek Konsolidasi Tanah Arahan POKT 1. Pengembangan Wilayah
Program Kegiatan 1. Penataan dalam pengadaan umum/ sosial
tanah rangka fasilitas fasilitas
Kriteria Objek Konsolidasi Tanah 1. Rencana jalan dalam RTRW/ RPJM yang menjadi prioritas Pemda (jalan lingkar luar, jalan penghubung) 2. Rencana pengadaan tanah fasos (pasar, terminal) yang telah menjadi program prioritas Pemda
18
Arahan POKT
Program Kegiatan
Kriteria Objek Konsolidasi Tanah
2. Penataan wilayah 1. Daerah diluar pusat kota yang sudah pengembangan kota mulai tumbuh ditandai dengan adanya kegiatan pengembangan kota yang sifatnya sporadik (sudah ada pengkaplingan/BTN) Wilayah yang hendak dikembangkn oleh Pemda dalam rangka kebutuhan permukiman dan pembangunan lainnya 2. Wilayah yang direncanakan menjadi kota pendukung pusat kota (pusat desa, pusat kecamatan) 3. Wilayah yang dikembangkan karena sudah ada sentra/ pusat yang terbangun (universitas, terminal)
2. Peremajaan Kota
3. Penataan daerah Daerah yang terisolir fasum/ fasosnya terisolir (tidak akibat adanya kegiatan pengembangan terhubung jaringan kota/ pengembangan permukiman oleh jalan ke wilayah developer yang sifatnya sporadik lain) Pemetaan wilayah 1. Daerah yang kondisi sarana kumuh prasarananya tidak memadai kesehatan lingkungan 2. Daerah yang padat penduduk dan kepadatan/ kerapatan bangunan tinggi 3. Daerah yang ada menjadi kumuh:
kecenderungan
a. Daerah yang bangunannya tidak terratur b. Daerah yang memiliki kualitas rumah rendah c. Daerah yang memiliki luasan RTH yang rendah d. Daerah yang kepadatan penduduknya tinggi e. Daerah yang penduduknya mempunyai mata pencaharian yang beragam (tidak homogen) f.
Daerah yang muncul di sempadan sungai atau danau
daerah
g. Daerah yang terletak di kawasan SUTET dan sempadan rel KA h. Daerah yang penduduknya memiliki pendidikan dan penghasilan rendah
19
Arahan POKT
Program Kegiatan
3. Optimalisasi Pengusahaan Pertanian Skala Kecil
Kriteria Objek Konsolidasi Tanah i.
Daerah yang memiliki kondisi bangunan rumah yang tidak permanen dan tidak memnuhi syarat
j.
Daerah rawan banjir, keamanan, kebakaran, penyakit, dan keamanan
1. Tanah pertanian beririgasi teknis yang atas kebijakan pemerintah dipertahankan 2. Tanah pertanian irigasi teknis yang oleh pemilik tanah 3. Tanah pertanian yang jika luasannya kecil dijadikan pengusahaan bersama
4. Areal Pengembangan Lainnya
1. Pengembangan 1. Daerah pengembangan sektor industri wilayah industri kecil yang telah menjadi kebijakan kecil pemerintah untuk dikembangkan
2. Pengembangan kawasan nelayan
2. Daerah pengembangan industri kecil yang tumbuh oleh masyarakat sendiri Daerah pengembangan permukiman nelayan dengan sarana dan prasarananya.
Keterangan : 1. Penentuan Potensi Konsolidasi Tanah untuk Pengembangan Wilayah Pengembangan Wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antarkawasan, keterpaduan antarsektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Penentuan potensi objek konsolidasi tanah untuk pengembangan wilayah mengacu pada : kepadatan bangunan rendah. 2. Penentuan Potensi Konsolidasi Tanah untuk Peremajaan Kota Peremajaan kawasan perkotaan adalah penataan kembali area terbangun bagian kawasan perkotaan yang mengalami degradasi kualitas lingkungan, degradasi fungsi kawasan, dan/atau penyesuaian bagian kawasan perkotaan terhadap rencana pembangunan kawasan perkotaan. Penentuan potensi objek
20
konsolidasi tanah untuk Peremajaan Kota mengacu pada: kepadatan bangunan tinggi dan minim sarana prasarana serta fasos - fasum. 3. Penentuan Potensi Konsolidasi Tanah untuk Optimalisasi Pertanian Skala Kecil Optimalisasi Pertanian Skala Kecil adalah usaha meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan pertanian melalu penambahan sarana dan prasarana yang lausnya kurang dari 2 Ha untuk di luar Pulau Jawa dan di bawah 1 Ha untuk pertanian di Pulau Jawa. Penentuan potensi objek konsolidasi tanah untuk optimalisasi pertanian skala kecil, dapat mengacu pada: a. Pola ruang diarahkan pada kawasan non permukiman (perikanan, pertanian lahan basah, pertanian lahan ekring, dan tanaman tahunan). b. Berada dalam rencana pengembangan irigasi maupun dekat dengan irigasi eksisting; mempunyai aksesbilitas dan produktivitas yang baik. 4. Areal Pengembangan Lainnya Areal pengembangan lainnya merupakan suatu areal yang berpotensi untuk ditata, tetapi bukan termasuk ke dalam areal yang tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Nomor 3 Tahun 2006. I.8.4. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta Tahun 2010 Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pola ruang kota adalah distribusi peruntukan ruang kota yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Struktur ruang Kota Yogyakarta adalah susunan sistem pusat kota dan sistem jaringan infrastruktur yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat kota yang secara hierarkhis memiliki hubungan fungsional. Rencana Struktur Ruang meliputi : a. sistem perkotaan; b. sistem jaringan transportasi; c. sistem jaringan energi; d. sistem jaringan telekomunikasi; e. sistem prasarana pengelolaan lingkungan; f. sitem jaringan penerangan jalan
21
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sementara kawasan strategis kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Penetapan Kawasan Strategis diarahkan untuk menetapkan kawasan yang di dalamnya terbentuk Citra Kota sebagai unsur pendukung kegiatan yang mempunyai pengaruh besar terhadap tata ruang sekitarnya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta dimaksudkan untuk mewadahi sejarah dan masa depan. I.8.5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kota Yogyakarta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta yang memuat penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahunan, dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) serta memperhatikan RPJP Nasional dan RPJM Nasional. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Sedangkan program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. (Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 2012). I.8.6. Data Tiga Unsur Konsolidasi Tanah dari Data Badan Pusat Statistik (BPS) Data tiga unsur konsolidasi tanah terdiri dari : tanah untuk pembangunan, kualitas lingkungan, dan pemeliharaan Sumber Daya Alam (SDA). Pengolahan data BPS digunakan untuk menentukan lokasi peninjauan lapangan. Data BPS yang digunakan adalah data yang termasuk ke dalam data tiga unsur konsolidasi tanah dan data sosial ekonomi (Modul Bimbingan Teknis Penyusunan POKT 2014). Sementara
22
itu, ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyararakat antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan tersebut terkait dengan penghasilan. Sosial adalah hubungan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang diwujudkan dengan lembaga yang ada diantara masyarakat tersebut. Data tiga unsur konsolidasi tanah tersebut diantaranya Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk, Jumlah KK, Lahan Pertanian, Lahan Non Pertanian, Saluran Irigasi, Dana Swadaya, Jalan, Jumlah Wajib Pajak PBB, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, dan Sarana Peribadatan (Penyusunan POKT Kota Yogyakarta 2013). Masing – masing data tersebut dibuat dalam bentuk tabel berdasarkan administrasi kemudian ditentukan klasifikasi dan skor prioritasnya. Klasifikasi menggambarkan frekuensi kemunculan data, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Sementara skor prioritas menggambarkan tingkat prioritas untuk menjadi potensi objek konsolidasi tanah (Modul Bimbingan Teknis POKT, 2014). Cara menentukan nilai perbandingan : ...........................................................................................................(I.4) Keterangan : p = nilai perbandingan kelurahan A a = jumlah data b = total data
Cara menentukan interval rentang kelas : ...........................................................................................................(I.5) Keterangan : q = interval rentang kelas c = nilai perbandingan tertinggi
Cara menentukan skor maksimal, skor minimal, dan interval rentang kelas : .....................................................................................................(I.6) .....................................................................................................(I.7)
23
.....................................................................................................(I.8)
Keterangan : r = skor maksimal s = skor minimal t = interval rentang kelas d = jumlah unsur konsolidasi tanah e = skor tertinggi f = skor terendah I.8.7. Interpretasi Citra satelit Unsur interpretasi citra adalah prinsip pengenalan objek pada citra mendasarkan atas penyidikan. Karakteristik objek yang tergambar pada citra yang digunakan untuk mengenali objek. Unsur interpretasi citra terdiri dari sembilan butir, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, teksturm pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra tersebut disusun secara berjenjang atau secara hierarki dan disajikan pada Gambar I.2.
Gambar I.2. Susunan hirarki unsur interpretasi citra (Sumber : Sutanto (1986))
24
a.
Rona dan Warna Rona ialah tingkat kegelapan –kecerahan objek pada foto pankromatik hitam putih. Objek yang berbeda sering tergambar pada citra dengan rona yang berbeda. Sedangkan warna ialah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak.
b.
Ukuran Ukuran ialah atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus selalu diingat skalanya.
c.
Pola Pola merupakan susunan keruangan dari berbagai kenampakan dalam urutan yang berulang yang terkait dengan kerangka obyek.
d.
Bentuk Merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja yaitu ekspresi topografi yang terlihat secara dua dimensi pada citra.
e.
Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah gelap. Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang – kadang tampak samar – samar. Meskipun demikian, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa objek yang justru lebih tampak dari bayangannya.
f.
Tekstur Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dobedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar, halus seperti beledu dan belang – belang.
g.
Situs (letak) Merupakan posisi suatu obyek dalam kaitannya dengan kondisi regional (iklim, geologi regional) yang menjelaskan tentang lokasi obyek relatif terhadap obyek atau kenampakan lain yang lebih mudah untuk dikenali.
25
h.
Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan yang lain. Karena keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada foto udara sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain.
I.8.8. Peta Tematik Peta tematik adalah suatu peta yang memperlihatkan informasi kualitatif dan kuantitatif pada suatu unsur tertentu. Unsur – unsur tertentu ada hubungannya dengan detail topografi penting. Pada peta tematik, keterangan disajikan dengan gambar, memakai pernyataan dari simbol – simbol yang mempunyai tema tertentu atau kumpulan dari tema – tema yang ada hubungannya antara satu dengan yang lainnya. Simbol - simbol yang digunakan berupa simbol titik, simbol garis, dan simbol luas. Pernyataan yang mewakili data di atas peta tematik pada dasarnya berhubungan dengan lokasi, posisi, dan luasnya (Prihandito, 1989). Pemetaan dalam peta tematik ada dau cara yaitu : 1.
Cara kualitatif Pemetaan dengan cara kualitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kualitatif ke atas peta, berupa bentuk simbol yang menyatakan identitas serta melukiskan keadaan dari unsur – unsur yang ada tersebut. Jadi bentuk simbol selalu dihubungkan dengan kualitas unsur yang diwakilinya.
2.
Cara kuantitatif Pemetaan dengan cara kuantitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kuantitatif ke atas peta yang menyatakan identitas dan menunjukkan jumlah dari unsur yang diwakilinya. Data kuantitatif dapat dipetakan dengan menggunakan simbol maupun dengan diagram atau grafik.
I.8.9. Desain Simbol Desain simbol adalah suatu kegiatan kreativitas grafis dalam menyajikan unsur permukaan bumi yang sesuai dengan tujuan pembuatan peta. Membuat desain simbol merupakan hasil persepsi yang benar dari karakteristik suatu unsur dan konsep dari pemakai peta (Soendjojo dan Riqqi, 2012).
26
Gambar I.3. Pembuatan Desain Simbol Peta Karakteristik geodata merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan desain simbol peta. Diperlukan analisis geodata spasial yang akan disajikan pada peta. Data spasial permukaan bumi dapat dibedakan menjadi empat dasar/kategori, yaitu: 1.
Karakteristik Planimetrik Karakteristik planimetrik pada pembuatan desain symbol disajikan dalam bentuk symbol titik, garis atau luas.
2.
Tingkat Ukuran Data dapat diukur menurut skala nominal, skala ordinal, skala interval dan rasio. a. Data Nominal Suatu ukuran dari unsur dengan aturan tertentu yang tidak mempunyai tingkatan (rangking). Titik
Garis
Kota
Ibu Kota
Sungai
Batas Adm
27
Luas
Hutan
Danau
Gambar I.4. Contoh Simbol Nominal b. Data Ordinal Suatu ukuran dari unsur dengan aturan tertentu yang mempunyai tingkatan. Titik
Garis
Luas
Produksi
Populasi
tinggi
Padat
sedang
Sedang
rendah
Kecil
Jalan
Batas Adm
Tol
Propinsi
Arteri
Kabupaten
Kolektor
Desa
Kualitas
Industri Bagus
Luas
Cukup
Kecil
Kurang Gambar I.5. Contoh Simbol Ordinal
28
c. Data Interval dan rasio Suatu ukuran yang tidak hanya dengan aturan dan urutan tertentu saja, melainkan juga dibagi atas kelas-kelas tertentu dengan harga yang sebenarnya.
Titik
Produksi
Populasi 50-80 10-49 1-9
Garis
Kapasitas Jalan
Frekuensi
Diatas 10 ton
Antara 5-10 ton
Luas
Curah Hujan
Kepadatan Person/km2
Gambar I.6. Contoh Simbol Interval dan Rasio d.
Struktur dari organisasi lain Struktur organisasi adalah aspek lain dari karakteristik geo-data spasial.
e.
Karakteristik data lain Sesudah data dianalisis untuk karakteristik planimetrik, tingkat ukuran dan struktur data, pada dasarnya pemilihan simbol sudah mulai dapat ditentukan. Masih perlu melakukan pencarian karakteristik data lain untuk melengkapi data.
29
Variabel tampak (visual variable) merupakan basis dasar didalam pembuatan simbol yang berperan penting pada proses sistematika dan logika desain simbol penyajian hasil peta (Soendjojo dan Riqqi, 2012). Bentuk penyajian yang menggunakan variabel tampak, umumnya dinyatakan dalam bentuk, ukuran, orientasi, harga, tekstur, warna. Pada kegiatan ini penyajian warna disajikan berdasarkan aturan dari Direktorat Konsolidasi Tanah Tahun 2014 yang ditampilkan pada Tabel I.6. Tabel I.6. Pewarnaan Peta
(Sumber: Direktorat Konsolidasi tanah BPN RI) I.8.10. Analisis Spasial Menurut Prahasta (2002), analisis pada Sistem Informasi Geografis (SIG) dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi analisis spasial yang terdiri dari klasifikasi, overlay, buffering, dan 3D analyst dan fungsi analisis atribut.
30
1.
Fungsi analisis spasial : a. Klasifikasi (reclassify) Fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya dengan menggunakan data spasial ketinggian permukaan bumi (topografi), dapat diturunkan data spasial kemiringan atau gradien permukaan bumi yang dinyatakan dalam presentase nilai – nilai kemiringan. b. Overlay Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukkannya. Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah untuk budidaya tanaman tertentu diperlukan data ketinggian permukaan bumi, kadar air, dan jenis tanah. Fungsi overlay dibedakan menajdi tiga jenis yaitu union, identity, dan intersect. Pada kegiatan ini, fungsi overlay yang digunakan ialah fungsi overlay – union. Fungsi union yaitu overlay data dua grafis poligon dan menyimpan semua area serta batas dari kedua data grafisnya. Konsep dasar fungsi union disajikan pada Gambar I. 7.
A Input 1 Input 1
B
A+B
Input 2
Output
Input 2
Output
Gambar I.7. Konsep dasar fungsi union c. Buffering Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukkannya. Data spasial ini akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran – lingkaran yang mengelilingi titik – titik pusatnya.
31
d. Analisis tiga dimensi (3D Analyst) Fungsi ini terdiri dari sub – sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Misalnya, untuk menampilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan jalan, dan dan utility dalam bentuk model 3 dimensi. 2.
Fungsi analisis atribut Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar basis data dan perluasan operasi basisdata. Pada kegiatan ini fungsi analisis atribut yang digunakan adalah operasi dasar basis data. Operasi dasar basis data mencakup : a. Membuat basis data baru (create database) b. Menghapus basis data (drop database) c. Membuat tabel basis data (create table) d. Menghapus tabel basis data (drop table) e. Mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert) f. Membaca dan mencari data (field atau record) dari tabel basis data g. Mengubah dan mengedit data yang terdapat di dalam tabel basis data (update) h. Menghapus data dari tabel basis data (delete) i. Membuat indeks untuk setiap tabel basis data