1
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Hubungan manusia dengan tanah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, dalam arti manusia pasti akan membutuhkan tanah untuk hidup serta kehidupannya (Iswantoro, 2015). Ketersediaan tanah cukup dirasakan karena kebutuhan akan ruang meningkat sedang tanah mempunyai karakteristik sebagai sesuatu yang tidak berubah dalam segi luasan (Djurdjani, 2009). Terkait dengan kondisi tanah yang terbatas, pemanfaatan tanah harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan kemampuan daya dukungnya (Sugandhy, 1999). Selain itu pemanfaatan tanah juga harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak produktif (Suryani, 2011). Tanah terlantar menurut penjelasan pasal 27 UUPA, adalah “tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya". Menurut Peraturan Kepala BPN RI No. 4 Tahun 2010 Pasal 1 Ayat 1, tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Penelantaran tanah merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak berkeadilan, tidak ekonomis dan merugikan negara karena tindakan ini dapat menyebabkan
1
2
hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah (Monica, 2013). Adanya tanah terlantar disebabkan oknum pemilik tanah yang tidak mengusahakan tanah yang dimiliki sesuai dengan pemanfaatannya sebagaimana tertera dalam dasar pengajuan permohonan hak atas tanah tersebut. Seakan telah dapat diprediksikan akan timbulnya tanah terlantar, dalam UUPA menyebutkan akan hilang hak kepemilikan atas tanah salah satunya karena “ditelantarkan”, oleh sebab itu pemilik hak diwajibkan mengelola tanah yang dimiliki sesuai dengan peruntukannya (Kurniawan, 2015). Luasnya tanah terlantar pada hakekatnya sangat ironis dan menciderai perasaan keadilan rakyat kecil yang tidak memiliki tanah. Di satu sisi kebutuhan tanah sangat tinggi namun di sisi lain sebagian orang yang memiliki hak-hak atas tanah, tidak memanfaatkan tanahnya dengan baik dan optimal. Selain tidak adil, penelantaran tanah menghilangkan potensi ekonomi dan sosial dari tanah itu sendiri, dan menghilangkan pula akses sosial ekonomi masyarakat, terutama petani, terhadap tanah. Secara keseluruhan tanah terlantar menyebabkan krisis tanah secara fisik dan merusak kualitas tanah. Secara jangka panjang, tanah terlantar juga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah, rusaknya siklus hara, dan menipisnya lapisan organik tanah (Nurlinda, 2014). Berdasarkan hasil identifikasi tanah terlantar yang dilakukan oleh BPN pada tahun 2014, terdapat sekitar 7,5 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar (Mulyamto, 2014). Data tersebut menunjukkan tanah terindikasi terlantar perlu ditangani sesegera mungkin dan penanganannya bersifat multi sektor. Dalam arti harus melibatkan kontribusi berbagai sektor yang terkait dan partisipasi aktif masyarakat, baik pemilik hak atas tanah maupun masyarakat yang berkepentingan pada penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Penelantaran tanah juga terjadi di daerah transmigrasi, hal ini dapat dilihat dari banyaknya bidang-bidang tanah transmigrasi yang tidak terolah. Penelantaran tanah transmigrasi seperti yang terjadi di Desa Waode Angkalo, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, telah terjadi sejak tahun 1994. Penelantaran tanah tersebut sebagian besar terjadi pada lahan usaha II dan beberapa lahan usaha I serta lahan pekarangan (wawancara pribadi dengan Kepala Desa Waode Angkalo, 03 Agustus 2014).
3
Desa Waode Angkalo sebagai eks dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Lambale SP. IV Unit VI merupakan salah satu desa yang terbentuk dari adanya program transmigrasi. Luas wilayah Desa Waode Angkalo 808 ha, dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 adalah 675 jiwa yang terdiri 315 jiwa laki-laki dan 360 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk Desa Waode Angkalo bermata pencaharian sebagai petani (BPS Buton Utara, 2015). Penempatan transmigrasi tersebut dimulai sejak tahun 1994 yang dilaksanakan dengan pola transmigrasi umum, yang diikuti oleh 220 kepala keluarga dengan masing masing mendapatkan tiga bidang tanah berupa tanah pemukiman seluas 0,25 ha; lahan usaha I seluas 0,75 ha; dan lahan usaha II seluas 1,0 ha. Daerah asal transmigran didominasi oleh masyarakat Bali kemudian disusul oleh Jawa dan masyarakat lokal (Dinas Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tenggara, 1994). Untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi pada kawasan transmigrasi terutama permasalahan penelantaran tanah maka perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar di daerah transmigrasi. Dengan ditemukannya faktor-faktor tersebut diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dalam mensukseskan program transmigrasi dan tercapainya tertib administrasi pertanahan.
I.2. Rumusan Masalah Ketersedian tanah bersifat terbatas sedangkan kebutuhan tanah untuk pembangunan, pertanian dan perumahan semakin meningkat. Meskipun persediaan tanah terbatas dan terus berkurang namun berdasarkan fakta, masih banyak terdapat tanah yang tidak diusahakan dan dimanfaatkan atau dengan kata lain ditelantarkan. Dari sisi ekonomi, tanah terlantar dapat mengakibatkan hilangnya penghasilan pemilik yang didapat dari potensi tanah tersebut serta dapat menurunkan nilai tanah yang akhirnya berdampak pada penurunan pendapatan pemerintah daerah. Dari sisi fisik, tanah terlantar dapat menimbulkan lingkungan kumuh dan terbelakang sehingga dapat menurunkan nilai tanah serta pendapatan daerah. Dari sisi sosial, tanah terlantar dapat memicu kesenjangan sosial dan keadilan akses tanah bagi masyarakat kecil yang tidak memiliki tanah. Dari sisi hukum, tanah terlantar dapat mengakibatkan putusnya
4
hubungan hukum antara subjek pemegang hak atas tanah dengan objek tanah (dapat menyebabkan hapusnya atau beralihnya hak atas tanah ke dalam penguasaan negara). Desa Waode Angkalo yang terbentuk dari Unit Pemukiman Transmigrasi mempunyai tiga jenis lahan yang diberikan kepada setiap kepala keluarga yaitu lahan pekarangan, lahan usaha I dan lahan usaha II dengan jumlah luas keseluruhan lahan tersebut adalah dua hektar. Sebagian besar ketiga jenis lahan transmigrasi Desa Waode Angkalo berada pada topografi yang relatif datar dan cocok untuk areal persawahan dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi. Desa Waode Angkalo merupakan salah satu desa yang berada di dalam kawasan agropolitan Kabupaten Buton Utara. Sebagai kawasan agropolitan, maka tanah-tanah yang berada dalam kawasan tersebut harus dalam kondisi pemanfaatan yang optimal demi tercapainya swasembada pangan di Kabupaten Buton Utara. Namun berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan langsung oleh peneliti dan didukung wawancara dengan Pemerintah Desa Waode Angkalo, ditemukan fakta bahwa tidak semua bidang tanah transmigrasi di desa tersebut tergarap dengan baik bahkan ada beberapa bidang tanah yang belum pernah tergarap atau dengan kata lain ditelantarkan. Tidak dipergunakannya sebagian tanah transmigrasi Desa Waode Angkalo yang sesuai dengan peruntukannya menurut RTRW dikhawatirkan dapat menggangu kelestarian swasembada pangan di Kabupaten Buton Utara. Penelantaran tanah di Desa Waode Angkalo tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, namun faktor-faktor tersebut belum diketahui secara rinci.
I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar di daerah transmigrasi Desa Waode Angkalo?
2.
Bagaimana mengatasi faktor-faktor tersebut agar memenuhi manfaat yang sesuai dengan sistem administrasi pertanahan di Indonesia dan sejalan dengan tujuan transmigrasi?
5
I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini dibagi atas dua jenis yaitu sebagai berikut : a.
Tujuan utama : Untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah terlantar di daerah transmigrasi Desa Waode Angkalo.
b.
Tujuan spesifiknya : Menganalisis upaya untuk mengatasi faktor tersebut agar memenuhi manfaat yang sesuai dengan sistem administrasi pertanahan di Indonesia dan sejalan dengan tujuan transmigrasi.
I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapakan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan berupa sumbangsih referensi di bidang administrasi pertanahan di Indonesia.
2.
Dapat
dipergunakan
sebagai
masukan
bagi
Kementerian
Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai pihak penyelenggara program transmigrasi terkait dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan penggunaan tanah transmigrasi dan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Buton Utara sebagai pihak penerima transmigrasi untuk membimbing, mengawasi dan memfasilitasi para transmigran dengan infrastruktur yang memadai, baik untuk saat ini maupun yang akan datang dalam mengelola dan menggunakan tanahnya.
I.6. Cakupan Penelitian Cakupan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Subjek dan
objek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang bermukim dan bidang tanah yang terletak di Desa Waode Angkalo, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai sebuah desa yang terbentuk dari adanya peningkatan status Unit Pemukiman Transmigrasi Lambale SP. IV Unit VI. 2.
Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi pengunaan tanah transmigrasi dari data persil dan observasi langsung di lapangan serta
6
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan tanah tersebut terkait penyebab terjadinya tanah terlantar di daerah transmigrasi Desa Waode Angkalo. 3.
Faktor-faktor penyebab tanah terlantar di Desa Waode Angkalo yang teridentifikasi, dikelompokkan dan dibatasi oleh tiga faktor yang mempengaruhi pembangunan tanah yaitu faktor fisik, faktor institusi yang berupa ‘rules of the game’ (peraturan), dan faktor ekonomi.
I.7. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang transmigrasi dan tanah terlantar sudah banyak dilakukan, namun penelitian yang spesifik mengenai “Analisi Faktor Penyebab Tanah Terlantar di Daerah Transmigrasi” belum pernah ada. Walaupun demikian dimungkinkan ada penelitian lain yang relevan, sehingga perlu dijabarkan hubungan dengan penelitianpenelitian tersebut dengan harapan sebagai pelengkap penelitian ini. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian tentang hak atas tanah, , penatagunaan tanah, pembangunan tanah dan administrasi pertanahan. Pembangunan transmigrasi ke depan masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian dalam penelitiannya Anharudin (2006) menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan pada kurun waktu 20042009. Penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Penelitian tentang kebijakan penyelenggaraan transmigrasi juga pernah dilakukan di Kabupaten Mahakam Ulu oleh Lejiu (2014) dengan tujuan untuk mengetahui kinerja kebijakan pembangunan transmigrasi di Kecamatan Long Hubung Kabupaten Mahakam Ulu serta faktor - faktor yang mendukungnya. Evaluasi terhadap kebijakan pembangunan transmigrasi ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan
7
penurunan jumlah warga transmigrasi, keadaaan ekonomi, kondisi sarana dan prasarana fisik dan keadaan sosial warga transmigran di lokasi penelitian. Faktor yang mendukung kebijakan pembangunan transmigrasi di Kecamatan Long Hubung, salah satunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian, yang memberi peluang bagi pengambilan kebijakan pembangunan transmigrasi dengan pola kerjasama dengan perusahaan, pemerintah daerah sebagai fasilitator dalam investasi usaha yang dilakukan oleh perusahaan. Kegiatan transmigrasi tidak terlepas dari proses pemberian hak atas tanah berupa hak milik kepada para transmigran. Pembagian hak-hak atas tanah menurut UUPA ke dalam Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dimaksudkan untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukkannya dan subjek yang memohon hak atas tanah tersebut. Namun dalam perkembangannya, hak-hak atas tanah yang telah diberikan pemerintah tersebut tidak selau diikuti dengan adanya kegiatan fisik penggunaan tanah sehingga tanah tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar (Ardiansyah, 2010). Penelantaran tanah merupakan tindakan yang bertentangan dengan sistem administrasi pertanahan. Menurut Enemark (2009), sistem administrasi pertanahan merupakan infrastruktur yang penting untuk memfasilitasi pelaksanaan kebijakan pertanahan yang berkaitan dengan sosial, hukum, ekonomi dan kerangka teknis bagi pengelolaan tanah. Sistem ini mendukung pasar tanah yang efisien berkaitan dengan administrasi pertanahan sebagai sumber daya alam untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Enemark (2009) membagi empat elemen pendukung perspektif global administrasi pertanahan dalam pembangunan berkelanjutan, meliputi kepemilikan tanah, penilaian tanah, penggunaan tanah dan pembangunan tanah. Keempat elemen ini dalam menjalankan fungsinya didukung oleh empat pilar yang saling berkaitan yaitu kebijakan pertanahan, manajemen dan perencanaan, kerangka kelembagaan dan komunikasi. Terkait dengan kondisi tanah yang terbatas, pemanfaatan tanah harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan kemampuan daya dukungnya (Sugandhy, 1999). Pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan kelas kesesuaiannya akan memberikan dampak buruk, baik secara fisik
8
maupun ekonomi. Secara fisik, pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan daya dukung tanah dapat menimbulkan kerusakan tanah (Mather, 1986) dan sebaliknya, penggunaan tanah yang tepat adalah langkah pertama untuk menunjang program konservasi tanah (Sinukaban, 1989). Beberapa faktor yang mempengaruhi dalam program pemanfaaan tanah, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dengan cakupan yang luas meliputi regulasi, program instansi, kapasitas pelaku, status dan daya dukung tanah, akses pasar, pola tanam, kelembagaan, permintaan dan persediaan komoditas, ketahanan pangan, potensi konflik, dan sebagainya. Faktor-faktor pendorong sebagian besar berasal dari masyarakat sebagai pemilik tanah. Oleh karena itu, motivasi masyarakat, baik ekonomi maupun ekologi, perlu terus dipelihara dan dikembangkan agar tetap mengoptimalkan pemanfaatan tanahnya. Selain pembinaan yang dilakukan pemerintah daerah, hal yang dapat mempercepat pelaksanaan optimalisasi pemanfaatan tanah adalah kepeloporan petani yang sukses mengembangkan tanahnya (Nurhaedah, 2012). Pemanfaatan tanah yang tidak optimal akan akan menyebabkan terjadinya tanah terlantar. Permasalahan pokok yang dihadapi dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar adalah bahwa pelaksanaan identifikasi mengenai keberadaan tanah terlantar belum berjalan sesuai ketentuan serta kurangnya pendanaan untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi tanah terlantar. Pendayagunaan tanah terlantar dapat diselesaikan melalui program reforma agraria. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2013), bahwa penelantaran tanah berdampak pada tidak optimalnya pembangunan, kesejahteraan dan hilangnya peluang untuk mewujudkan potensi ekonomi tanah. Selain itu penelitian ini juga memberikan angin segar kepada orang-orang yang tidak mempunyai tanah/orang miskin untuk mendapatkan tanah melalui program reforma agraria. Dengan reforma agraria tanah-tanah yang tadinya terlantar dapat ditata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya sehingga tercapai keadilan, kepastian dan perlindungan hukum. Penelitian serupa tentang penanggulangan tanah-tanah terlantar juga pernah dilakukan oleh Nurman (2010) di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam penelitiannya, Nurman (2010) mencari faktor penyebab terjadinya tanah terlantar di kecamatan tersebut dan upaya‐upaya yang dilakukan oleh
9
Pemerintah Daerah dalam menanggulangi terjadinya tanah terlantar. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan faktor penyebab terjadinya tanah terlantar di kecamatan tersebut yaitu faktor penguasaan tanah berlebihan, faktor pemilik lahan pergi merantau, faktor kondisi fisik alamiah tanah yang tidak subur dan faktor tanah/lahan dalam keadaan sengketa. Sedangkan upaya yang telah dilakukan pihak Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam menanggulangi tanah‐tanah yang ditelantarkan di Kecamatan Maiwa yaitu melakukan penyuluhan dan himbauan agar masyarakat tetap memelihara, memanfaatkan atau mengelola tanah/lahan miliknya, termasuk pula risiko‐risiko yang timbul jika tanah/lahan milik mereka ditelantarkan. Penelitian lain terkait tanah terlantar juga dilakukan oleh Nurlinda (2014) yang menganalisis perbandingan penanganan tanah terlantar di Kabupaten Tasikmalaya dan Sukabumi dalam mewujudkan ketahanan pangan Provinsi Jawa Barat.
Dalam
penelitiannya ditemukan beberapa penyebab terjadinya tanah (terindikasi) terlantar di Kabupaten Tasikmalaya (khususnya tanah HGU) adalah: a) masa berlaku HGU atas tanah-tanah perkebunan telah habis, tetapi tidak diperpanjang dan dibiarkan begitu saja baik oleh negara ataupun pemilik HGU; b) tanaman yang ditanam tidak menghasilkan keuntungan, karena tidak dipelihara dengan baik; c) perusahaan-perusahaan perkebunan pemilik HGU mengalami kekurangan modal, sehingga kesulitan memanfaatkan tanah dan membiarkan tanah-tanah tersebut tanpa dimanfaatkan dengan baik; d) beberapa kawasan dari tanah terlantar tersebut memang sulit ditanami karena kualitas tanahnya tidak/kurang baik untuk dijadikan tanah perkebunan; e) harga hasil tanaman yang merosot di pasaran.
I.8. Landasan Teori I.8.1. Transmigrasi Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009). Transmigrasi memegang peranan penting bagi berhasilnya usaha-usaha pembangunan. Transmigrasi selain mengurangi kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu, juga memperluas landasan bagi kegiatan pembangunan sektor lain, khususnya sektor pertanian. Disamping itu, transmigrasi juga menunjang usaha pembangunan daerah yang relatif masih
10
terbelakang. Dengan demikian transmigrasi menunjang usaha perluasan kesempatan kerja, pemerataan pembagian pendapatan dan pemerataan penyebaran pembangunan (Ramadhan, 1993). Sasaran-sasaran penyelenggaraan transmigrasi yang ingin dicapai menurut Yudhohusodo (1998) terdiri atas tiga bagian yakni: a.
Pada tingkat pemukiman, sasaran penyelenggaraan transmigrasi ialah meningkatkan
pendapatan
penyelenggaraan
pendidikan,
transmigrasi, kesehatan
peningkatan pelayanan
kualitas
administrasi
pemerintahan dan peningkatan kelayakan permukimannya, membangun rasa aman, mengembangkan dinamika interaksi masyarakat, partisipasi, dan kemandirian masyarakat. b.
Pada tingkat daerah, sasarannya ialah upaya peningkatan produksi, perbaikan distribusi dan kepastian hukum atas pemilikan lahan, perluasan kesempatan
kerja
dan
kesempatan
berusaha,
pemantapan
dan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, peningkatan pendapatan asli daerah, peningkatan investasi serta tercapainya keseimbangan dan kelestarian lingkungan. c.
Pada tingkat nasional, sasarannya ialah tercapainya persebaran penduduk dan tenaga kerja secara seimbang dan serasi, penyebaran pembangunan kawasan yang seimbang, yang dikaitakan dengan kegiatan usaha yang sesuai dengan potensi daerah, terutama untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat, meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa serta mendorong tercapainya ketahanan nasional yang semakin dinamis.
Sistem penyelenggaraan transmigrasi nasional dengan paradigma baru menurut Suparno (2006), dilatarbelakangi oleh lima pokok pikiran, yaitu: 1.
Pembangunan transmigrasi sebagai upaya rekayasa ruang dan orang, diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan kebutuhan papan nasional.
2.
Pengembangan usaha dan budidaya di permukiman transmigrasi diarahkan untuk mendukung kebijakan energi alternatif dengan mengembangkan
11
budidaya tanaman bahan bioenergi seperti kelapa sawit, jagung, tebu, singkong , dan juga jarak pagar. 3.
Pembangunan permukiman transmigrasi diarahkan untuk mengembangkan daerah perbatasan, pulau terluar, daerah tertinggal dan terisolir, merupakan upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah sebagai bagian dari upaya mendukung ketahanan nasional.
4.
Pembangunan transmigrasi sebagai upaya pengembangan wilayah baru perlu dilaksanakan secara kolaboratif dengan kalangan swasta untuk mengembangkan investasi, sehingga transmigrasi akan mampu mendukung pemerataan investasi.
5.
Pembangunan transmigrasi sebagai salah satu upaya penyediaan tempat tinggal, tempat bekerja, dan tempat berusaha merupakan salah satu strategi nasional mengatasi pengangguran dan kemiskinan secara berkelanjutan.
Berdasarkan jumlah bantuan yang diterima dari pemerintah, MacAndrew (1979) membagi dua golongan transmigrasi di Indonesia yaitu: a.
Transmigrasi umum yang dibantu sepenuhnya oleh pemerintah sejak dari waktu pemberangkatan sampai periode pemukiman awal sampai akhirnya diserahkan kepada marga setempat.
b.
Transmigrasi swakarsa yang pindah atas prakarsa sendiri, namun mereka diperkenankan menetap di proyek pemerintah.
Dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Ketransmigrasian, penyelenggaraan transmigrasi tidak lagi difokuskan pada pemecahan masalah persebaran penduduk, namun bergeser pada pengembangan ekonomi dan pembangunan daerah. Karena menyangkut pengembangan wilayah, maka pembangunan transmigrasi melibatkan minimal dua pemerintah daerah. Dengan demikian diharapkan transmigran dari daerah asal dan daerah tujuan dapat mewujudkan suatu komunitas yang tumbuh dan berkembang secara dinamis, produktif, maju dan mandiri. Dalam penerapannya, tahun pertama penempatan para transmigran di Unit Pemukiman Transmigrasi, pemerintah pusat melalui Kementerian Transmigrasi menanggung biaya hidup selama 18 bulan untuk lahan basah dan 12 bulan untuk lahan kering. Selain itu para transmigran juga disediakan tiga bidang tanah dengan status
12
hak milik seluas 2,0 ha, dengan rinciannya adalah lahan pekarangan seluas 0,25 ha, lahan usaha I seluas 0,75 ha dan lahan usaha II seluas 1,0 ha (Dinas Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tenggara, 1994).
I.8.2. Administrasi Pertanahan Administrasi pertanahan menurut Murad (1997) adalah suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakankebijakan pemerintah di bidang pertanahan dengan menggerakan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Administrasi pertanahan berkaitan dengan empat ruang lingkup yaitu kepemilikan tanah (land tenure), penilaian tanah (land value), penggunaan tanah (land use), dan pembangunan tanah (land development) yang keseluruhannya dalam konteks pengelolaan sumber daya tanah (Enemark, 2009). Sistem administrasi pertanahan merupakan infrastruktur yang penting untuk memfasilitasi pelaksanaan kebijakan pertanahan di negara maju dan berkembang.
Gambar I.1. Ruang lingkup administrasi pertanahan (Sumber : Center for SDI & LA, Melbourne University)
13
Sistem administrasi pertanahan menurut Enemark (2009) berkaitan dengan sosial, hukum, ekonomi dan kerangka teknis bagi pengelola tanah dan administrator dalam beroperasi. Sistem ini mendukung pasar tanah yang efisien berkaitan dengan administrasi pertanahan sebagai sumber daya alam untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Enemark (2009) membagi empat ruang lingkup administrasi pertanahan yaitu sebagai berikut: a.
Land Tenure: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk menjamin akses terhadap tanah dan menciptakan komoditas di atas tanah, alokasi, rekaman dan keamanan, survei pemetaan kadaster dan hukum untuk menentukan batas-batas persil, menciptakan properti baru atau mengubah sifat-sifat yang ada, pengalihan harta atau penggunaan dan satu pihak ke yang lain melalui penjualan, sewa atau keamanan kredit, pengelolaan dan ajudikasi dan sengketa mengenai hak atas tanah dan batasbatas persil tanah.
b.
Land Value: proses dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penilaian nilai tanah dan properti, perhitungan dan pengumpulan pendapatan melalui perpajakan, dan manajemen dan ajudikasi atas penilaian tanah dan sengketa perpajakan.
c.
Land Use: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk mengontrol penggunaan lahan melalui penerapan perencanaan kebijakan dan peraturan penggunaan lahan di tingkat nasional, regional dan lokal, penegakan peraturan penggunaan lahan serta pengelolaan dan ajudikasi konflik penggunaan lahan.
d.
Land Development: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk membangun prasarana fisik baru, pelaksanaan perencanaan pembangunan, akuisisi tanah publik, pengambilalihan, dan perubahan pemanfaatan lahan.
Administrasi pertanahan oleh Trismara (2015) dibagi menjadi empat tujuan utama yaitu: a.
Komponen yuridis memegang kendali utama dalam administrasi pertanahan untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah.
14
b.
Komponen
regulator
yang
penting
untuk
dihubungkan
dengan
pembangunan dan pengunaan tanah. Hal ini termasuk pembangunan tanah dan ketatnya penggunaan pajak melalui mekanisme yang berlaku. c.
Komponen fiskal lebih mengutamakan pada pemberian pajak tanah yang menunjang perekonomian. Proses ini digunakan untuk mendukung naiknya nilai
pengumpulan
dan
produksi,
serta
sebagai
insentif
untuk
mendisrtibusikan tanah terhadap tujuan-tujuan khusus lainnya. d.
Manajemen informasi, untuk memberi berbagai kelengkapan data yang memuat tiga aspek diatas yaitu fiskal kadaster dalam nilai dan pajak, dan pembagian wilayah dari sistem informasi yang lain dalam perencanaan dan pematuhan peraturan yang berkaitan.
Sebuah sistem administrasi pertanahan yang baik akan menghasilkan manfaat yang baik walaupun tidak dapat diukur secara langsung. Manfaat-manfaat ini dinyatakan oleh Waskito dan Arnowo (2015) antara lain: menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah, dukungan untuk perpajakan tanah dan properti, memberikan keamanan kredit, mengembangkan dan memantau pasar tanah, perlindungan tanah oleh negara, mengurangi sengketa tanah, memfasilitasi upaya landreform, meningkatkan perencanaan perkotaan dan pembangunan infrastruktur, mendukung pengelolaan lingkungan, dan menghasilkan data statistik. Terlepas dari pengertian tentang administrasi pertanahan, Yulianti (2008) menyatakan bahwa yang perlu dicapai dalam pelaksanaan administrasi pertanahan adalah terwujudnya catur tertib pertanahan, yaitu: a.
Tertib Hukum Pertanahan Dengan tertib hukum pertanahan dimaksudkan bahwa setiap bidang tanah penguasaan, pemilikan dan penggunaannya baik oleh pribadi maupun badan hukum mempunyai hubungan hukum yang sah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Adanya hubungan hukum yang sah tersebut ditunjukan antara lain oleh surat tanda hak atas tanah serta bukti kepemilikan yang sah yakni sertifikat.
b.
Tertib Administrasi Pertanahan Dengan adanya tertib administrasi pertanahan dimaksud bahwa data-data setiap bidang tanah tercatat dan diketahui dengan mudah, baik mengenai
15
riwayat, kepemilikan, subjek haknya, keadaan fisik serta ketertiban prosedur dalam setiap urusan yang menyangkut tanah. c.
Tertib Penggunaan Pertanahan Dengan tertib penggunaan pertanahan dimaksudkan bahwa setiap bidang tanah telah diusahakan atau dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat banyak.
d.
Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup Dengan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup dimaksudkan bahwa setiap penguasaan dan penggunaan atas tanah telah memperhatikan dan melakukan usaha untuk menunjang terwujudnya kelestarian hidup.
I.8.3. Hak Atas Tanah Hak atas tanah apapun semuanya memberi kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Pada hakikatnya pemakaian tanah menurut Harsono (2005), hanya terbatas untuk dua tujuan. Pertama, untuk diusahakan, misalnya untuk pertanian, perkebunan, perikanan (tambak), atau peternakan. Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun sesuatu, seperti untuk membangun bangunan gedung, bangunan air, bangunan jalan, lapangan olah raga, pelabuhan, pariwisata, dan lainnya. Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang hak untuk mempergunakan dan memperoleh manfaat dari tanah yang diakui sebagai haknya (Santoso, 2012). Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan penelantaran tanah atas tanah yang telah melekat hak di atasnya, dapat dikemukakan sebagai berikut : a.
Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada negara karena ditelantarkan. (Pasal 27 poin a. 3). Penjelasan Pasal 27 menyatakan, “tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.
b.
Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan (Pasal 34e).
c.
Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan (Pasal 40e).
16
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Ardiansyah (2010) menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara (HM, HGU dan HGB) haknya hapus apabila ditelantarkan. Artinya ada unsur kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya. Ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara atas tanah menurut Gumabo (2014) dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. Hak-hak penguasaan tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkret (subjektif recht), jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya (Harsono, 2005). Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional menurut Murad (1997) dibagi atas dua bentuk hak atas tanah, yaitu: 1.
Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai.
2.
Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi :
17
“hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6“. Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini menurut Murad (1997) merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi hukum adat yang mendasari konsepsi hukum tanah nasional. Terkait fungsi sosial tanah, Hutagalung (1985) menyatakan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Tiga macam hak atas tanah yang cenderung berpotensi terlantar menurut Rahmadaini (2013), yaitu sebagai berikut: a.
Hak Milik (HM) Hak milik berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6. Pasal 6 ayat (2) UUPA menyatakan hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
b.
Hak Guna Usaha (HGU) Hak guna usaha ini merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara baik bagi usaha dibidang pertanian, perikanan, peternakan seperti tercantum dalam Pasal 28 ayat(1) UUPA.
c.
Hak Guna Bangunan (HGB) Dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, dan apabila diperlukan dapat diperpanjang lagi selama 20 tahun.
I.8.4. Penatagunaan Tanah Istilah penatagunaan tanah merupakan pengganti istilah land use yang mencakup pengertian persediaan, peruntukan, penggunaan tanah sebagaimana dimaksud Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Pokok Agraria Tahun 1960. Penatagunaan tanah
18
menurut PP Nomor 16 Tahun 2004 adalah suatu rangkaian kegiatan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Jayadinata (1999) mengemukakan ada 3 hal yang menjadi penentu dalam tata guna tanah yaitu: a. Perilaku masyarakat sebagai penentu Perilaku dan tindakan manusia dalam tata guna tanah disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi misalnya pengaturan lokasi tempat tinggal, tempat bekerja dan tempat rekreasi. b. Penentu yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi Dalam kehidupan ekonomi, daya guna dan biaya merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan pendapatan, oleh karena itu diadakan pengaturan tempat sekolah supaya ekonomis begitu juga dengan tempat rekreasi diatur sedemikian rupa sehingga bernilai ekonomis. c. Kepentingan umum sebagai penentu Kepentingan umum yang menjadi penentu dalam tata guna tanah meliputi kesehatan, keamanan, moral dan kesejahteraan umum (termasuk kemudahan, keindahan, kenikmatan) dan sebagainya.
Tujuan penatagunaaan tanah menurut Haryanto (2009), harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut : a. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat. Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. b. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus. Artinya setiap pemilik tanah harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang nantinya dapat menimbulkan kerusakan tanah.
19
c. Mengusahakan adanya pengendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah. Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah. Selain itu juga untuk mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat. d. Jaminan kepastian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan. Menurut sifatnya, pola penggunaan tanah oleh Jayadinata (1999) dibedakan menjadi dua yaitu penggunaan tanah pedesaan (rural land use) yang lebih dititik beratkan pada kegiatan di bidang pertanian dan penggunaan tanah perkotaan (urban land use) yang lebih dititik beratkan pada kegiatan non pertanian. Adapun asas-asas penatagunaan tanah untuk daerah pedesaan adalah: Lestari, Optimal, Serasi dan Seimbang atau disingkat LOSS, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah: Aman, Tertib, Lancar dan Sehat atau disingkat ATLAS. Program penyesuaian penggunaan tanah dalam rangka arahan tata ruang wilayah tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah dan pemilikan tanah, oleh karena itu penyusunan rencana tata ruang wilayah hendaknya mempertimbangkan sapek-aspek pertanahan yang meliputi aspek penguasaan, persediaan dan penggunaan tanahnya dengan memberikan penekanan pada prioritas kepentingan daerah dan pemeliharaan lingkungan hidup. Haryanto (2009) menyebutkan bahwa dalam rangka sosialisme Indonesia, pemerintah membuat rencana umum tentang persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah ditingkat nasional, atas dasar rencana umum tersebut pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten membuat rencana umum masing-masing daerah yang bersangkutan, yang meliputi tiga hal: a. Rencana persediaan tanah, persediaan tanah yang dimaksud adalah hasil penilaian terhadap suatu bidang tanah atau area mengenai peruntukan dan penggunaan tanah tersebut bagi pemenuhan kebutuhan pembangunan, hasil penilaian diharapkan dapat dipergunakan untuk menentukan teknis penggunaan tanah sehingga tidak rusak dan dapat lestari. b. Rencana peruntukan tanah yang merupakan suatu keputusan terhadap bidang tanah bagi pemanfaatan sesuai dengan tujuan penggunaan tertentu, dengan
20
tujuan untuk mengarahkan lokasi dan perkembangan kegiatan pembangunan dalam jangka panjang, sehingga penggunan tanah dapat optimal. c. Rencana penggunaan tanah, dengan penggunaan tanah akan dapat diketahui peletakan setiap jenis kegiatan pembangunan dan kelompok kegiatan pembangunan yang telah mendapatkan prioritas termasuk luas tanah yang dibutuhkan sehingga dapat dicapai manfaat yang optimal.
I.8.5. Pembangunan Tanah Pembangunan tanah oleh Dewberry (2006) secara umum diartikan sebagai konversi lahan dari satu penggunaan ke penggunaan yang lain. Konversi lahan untuk berbeda penggunaan ini berarti penggunaan ke arah yang lebih intensif dan bermanfaat. Intensitas ini biasanya lebih besar dan umumnya diterapkan pada perumahan, komersial, industri, pusat pusat perkantoran dan lain lain dengan infrastruktur yang mendukung. Hubacek dan Vazquez (2002) menyebutkan bahwa tanah merupakan sumber utama bagi aktivitas manusia dan sebagai faktor asas produksi. Selain memasok makanan, tanah menyediakan ruang untuk bangunan komersial dan industri, infrastruktur, perumahan (residential) dan rekreasi. Dalam pembangunan ekonomi, tanah merupakan faktor produksi selain tenaga kerja, modal dan teknologi. Menurut Adams (1994) pembangunan tanah merupakan aktivitas yang menyebabkan terjadinya perubahan terhadap penggunaan tanah. Pembangunan tanah dapat dilakukan dengan menambahkan investasi dalam bentuk modal dan tenaga diatas tanah. Tujuan yang ingin dicapai adalah penggunaan sumber daya tanah yang efisien yang ditunjukkan dengan adanya hasil yang lebih baik, sebagaimana dikemukakan oleh Harvey dan Jowsey (2004). Keuntungan lain yang diharapkan dapat diperoleh adalah meningkatnya standar kehidupan bagi masyarakat, pendayagunaan fasilitas perkotaan yang lebih efisien dan keuntungan tidak kelihatan seperti ketenangan hidup, kepuasan budaya dan stabilitas sosial (Dowal, 1995).
21
Tiga faktor yang mempengaruhi pembangunan tanah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hubacek dan Vazquez (2002) yaitu: a.
Faktor fisik, biologi, dan teknis yang meliputi jumlah, jenis, ketersediaan dan karakteristik sumber daya tanah, yang membatasi pengguna pada penggunaan tertentu.
b.
Lembaga yang berupa 'rules of the game' dalam masyarakat yang mengatur bentuk hubungan antara manusia dengan sumber tanah.
c.
Kekuatan ekonomi melalui penawaran permintaan yang membentuk keberadaan lahan sekarang.
Pembangunan tanah yang baik akan meningkatkan perekonomian di suatu wilayah, namun pembangunan tanah yang tidak terarah menurut Djurdjani (2008) akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti lingkungan kumuh, tanah kosong (vacant land), dan lingkungan yang tidak beraturan (urban sprawl). Pembangunan tanah merupakan suatu proses yang kompleks karena banyak aktor yang terlibat. Aktor tersebut antara lain individu (pemilik tanah) dan pemerintah. Pembangunan tanah yang terjadi merupakan hasil interaksi antar aktoraktor tersebut. a.
Peran Individu (Pemilik Tanah) Peran pemilik tanah sangat menentukan dalam pembangunan tanah. Hal ini didukung oleh hak kepemilikan dan kewenangan yang melekat padanya. Pembangunan tanah tidak akan berlaku apabila tidak ada kemauan membangun dari pemilik tanah. Ada dua kelompok sikap pemilik tanah terhadap pembangunan tanah, yaitu pemilik aktif dan pemilik pasif. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk membangun tanah dan mau bekerja sama dengan swasta untuk membangun atau menyewakan tanahnya apabila tidak mampu untuk membangun. Pemilik aktif dan dinamis akan selalu berusaha memaksimalkan nilai tanah dan hasil yang diperoleh dari tanah tersebut melalui pembangunan tanah baik dilaksanakan sendiri, bekerja sama dengan aktor lain atau menyediakan tanahnya untuk dapat dikembangkan (Adams, 1994). Pemilik tanah pasif oleh Adams (1994) dicirikan dengan tidak adanya langkah yang diambil untuk membangun atau membawa ke pasar tanah.
22
Pemilik pasif gagal merespon adanya potensi tanah untuk dikembangkan sehingga akan membiarkan tanah seperti apa adanya bahkan menelantarkan tanah tersebut. Pemilik pasif muncul karena beberapa alasan, seperti ketidak pastian akan kebutuhan yang akan datang, tidak perduli terhadap potensi tanah, atau berharap meningkatnya harga tanah di masa yang akan datang. Dalam kasus tanah adat, Nugroho (2008) menyatakan bahwa ada hubungan khusus antara tanah dengan pemiliknya karena tanah merupakan manifestasi langsung dari hubungan personal, sosial dan spiritual serta memberikan kekuatan terhadap integritas dan identitas. Di beberapa tempat tidak pula semua hak atas tanah dipegang oleh pemilik tanah. Sebagai contoh orang Indian di Kanada dilarang mengalihkan milik tanah mereka kepada pihak lain kecuali hanya antara anggota kelompok mereka saja. b.
Peran Pemerintah Dalam pembangunan properti, yang terkait dengan pasar properti, peran pemerintah adalah dalam bentuk "law and order", keamanan sosial, dan regulasi pasar. Hukum dan aturan ditetapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dalam distribusi sumber tanah melalui pengenalan dan pengawalan terhadap fenomena yang terjadi dalam proses distribusi. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidak sempurnaan pasar, yaitu secara tidak langsung (melalui peraturan) dan secara langsung (melalui keterlibatan langsung dalam pasar). Pajak properti, kepemilikan publik dan peraturan tata guna tanah adalah aturan yang biasa digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar. Pembebasan lahan adalah salah satu contoh keterlibatan langsung oleh pemerintah untuk membawa tanah ke pasar untuk kebutuhan pembangunan (Buitelaar, 2002). Ada dua pendapat mengenai peran pemerintah dalam pembangunan tanah. Pendapat pertama mengatakan bahwa pembangunan tanah tidak perlu campur tangan pemerintah, sepenuhnya diserahkan kepada pasar, seperti halnya disampaikan oleh Buitelaar (2002). Artinya bahwa penggunaan tanah dan distribusi secara spasial penggunaannya murni hasil interaksi antar aktor
23
yang terlibat sebagai bentuk respon kebutuhan masyarakat. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa pasar tanah tidak pernah efisien, sehingga peran pemerintah adalah meningkatkan efisiensi menggunakan rangkaian institusi seperti regulasi, pengenaan pasar ataupun pemberian subsidi. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Rodenburg dan Vreeker (2002) yang menyatakan bahwa disamping mengurangi kegagalan pasar, campur tangan pemerintah juga akan membantu distribusi sumber daya yang terbatas dalam masyarakat.
I.8.6. Tanah Terlantar Kata tanah terlantar adalah gabungan kata tanah dan terlantar. Poerwadarminta (1976) menguraikan arti masing-masing kata tersebut sebagai berikut : “tanah yang berarti bumi dan lapisan bumi yang ada di atas sekali dan terlantar berasal dari kata dasar te (r) lantar yang berarti tidak terpelihara, tidak ada yang merawat, tidak dikerjakan (dipikirkan, dilangsungkan dan sebagainya), terbengkalai dan tidak terurus. Jadi secara harfiah kata tanah terlantar dapat diartikan sebagai tanah yang tidak terpelihara, tidak terawat dan tidak dikerjakan. Ohorella (1990) memberikan batasan pengertian tanah terlantar dari segi etimologi. Ohorella menjelaskan bahwa tanah terlantar terdiri dari dua kata, yaitu tanah dan terlantar, diartikan sebagai suatu ruang (permukaan bumi, tanah) yang oleh objek subjek hukum yang menguasainya dengan sesuai keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya, sehingga menjadikannya terlantar, tidak terpelihara, tidak terawat, tidak terurus, terbengkalai dan tidak terselesaikan. Secara umum tanah terlantar adalah tanah yang tidak diusahakan atau dimanfaatkan. Menurut Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, pengertian tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Pemberian hak-hak atas tanah (HM, HGB, HGU dan lain-lain) kepada perseorangan atau badan hukum oleh negara untuk diusahakan, dikelola dan
24
dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada masyarakat merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain dalam pemberian hak tersebut ada maksud tidak dibenarkan menelantarkan tanah (Suharningsih, 2009). Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, menurut Monica (2013) merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), tidak berkeadilan, dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Objek tanah terlantar berdasarkan Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar meliputi : a.
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan.
b.
Tanah yang telah memperoleh dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin/keputusan/surat dasar penguasaan tanah tersebut.
Pengecualian objek tanah terlantar berdasarkan aturan tersebut adalah: a.
Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
b.
Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.
Kriteria tanah terlantar menurut Suryani (2011) dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam tanah terlantar, kemudian menyusunnya
25
dalam struktur hukum tanah nasional. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah terlantar: a.
adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subjek);
b.
adanya tanah hak yang diusahakan/atau tidak (objek);
c.
adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau kesuburannya tidak terjaga;
d.
adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif;
e.
adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah;
f.
status tanah kembali kepada hak ulayat atau kepada negara.
Dengan diketahuinya unsur-unsur yang esensial terjadinya tanah terlantar maka kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah terlantar adalah dengan cara melakukan penafsiran-penafsiran terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara, itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya (Suryani 2011). Adapun kriteria tanah terlantar menurut Suryani (2011) adalah sebagai berikut : a.
harus ada pemilik/pemegang hak atas tanah (subjek);
b.
harus ada tanah hak (HM, HGU, HGB dan lain lain) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan tanahnya menurun;
c.
harus ada jangka waktu tertentu;
d.
harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.
I.8.7. Metode Penelitian dan Teknik Sampling Pada hakekatnya sebuah penelitian adalah mencari jawaban dari pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya oleh peneliti. Selanjutnya hasil penelitian akan berupa jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada saat dimulainya penelitian. Untuk menghasilkan jawaban tersebut dilakukan pengumpulan, pengolahan dan analisis data dengan menggunakan metode tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa satu ciri khas penelitian adalah bahwa penelitian merupakan proses yang berjalan secara terus-menerus, hal tersebut sesuai dengan kata aslinya dalam bahasa inggris yaitu
26
research, yang berasal dari kata re dan search yang berarti pencarian kembali (Sulipan, 2009). Saat ini berbagai macam metode penelitian telah dikembangkan dan salah satu jenisnya metode penelitian deskriptif. Berbagai macam definisi tentang penelitian deskriptif, di antaranya adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2007). Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006). Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung. Fenomena penelitian deskriptif tersebut disajikan secara apa adanya dan hasil penelitiannya diuraikan secara jelas dan gamblang tanpa manipulasi sehingga penelitian ini tidak membutuhkan hipotesis. Analisis deskriptif dapat menggunakan analisis distribusi frekuensi yaitu menyimpulkan berdasarkan hasil rata-rata. Hasil penelitian deskriptif sering digunakan, atau dilanjutkan dengan melakukan penelitian analitik. Jenis penelitian yang termasuk dalam kategori deskriptif adalah studi kasus dan penelitian survei (Sukmadinata, 2006). Penelitian deskriptif harus diberi bobot yang lebih tinggi, karena penelitian yang sekedar mendeskripsikan fakta-fakta, tidak banyak artinya. Untuk itu dalam metode ini perlu dikembangkan dengan memberikan penafsiran yang memadai (adequate) terhadap fakta-fakta yang ditemukan. Dengan kata lain metode ini tidak terbatas sampai pada pengumpulan dan menyusun data, tetapi meliputi juga analisa dan interpretasi tentang arti data itu (Nawawi, 2007).
27
I.8.7.1. Metode penelitian. Dalam penelitian ada dua model atau metode penelitian yang digunakan yaitu: a. Metode Penelitian Kuantitatif Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya. Metode penelitian kuantitatif oleh Sugiyono (2009), dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Metode kuantitatif sering juga disebut metode tradisional, positivistik, ilmiah (scientific) dan metode discovery. Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Metode ini disebut sebagai metode ilmiah (scientific) karena metode ini telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit, empiris, objektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode ini juga disebut metode discovery karena dengan metode ini dapat ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru (Sugiyono, 2009). Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Penelitian kuantitatif merupakan studi yang diposisikan sebagai bebas nilai (value
28
free). Dengan kata lain, penelitian kuantitatif sangat ketat menerapkan prinsip-prinsip objektivitas. Objektivitas itu diperoleh antara lain melalui penggunaan instrumen yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Peneliti yang melakukan studi kuantitatif mereduksi sedemikian rupa hal-hal yang dapat membuat bias, misalnya akibat masuknya persepsi dan nilai‐nilai pribadi. Jika dalam penelaahan muncul adanya bias itu maka penelitian kuantitatif akan jauh dari kaidah-kaidah teknik ilmiah yang sesungguhnya (Danim, 2002). b. Metode Penelitian Kualitatif Metode penelitian kualitatif merupakan metode baru karena popularitasnya belum lama, metode ini juga dinamakan post positivistik karena berlandaskan pada filsafat post positivism, serta sebagai metode artistic karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil peneletian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut juga metode ethnography, karena pada awalnya metode ini lebih banyak di gunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya. Kirk dan Miller (1986) mendefinisikan metode kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasanya sendiri dan berhubungan dengan orangorang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahanya. Pengertian metode kualitatif juga dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975) bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat, dan organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian kualitatif juga merupakan metode penelitian yang lebih
29
menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah dari pada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Menurut teori penelitian kualitatif, agar penelitinya dapat betul-betul berkualitas, maka data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini addalah subjek penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah data yang dapat diperoleh dari dokumendokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat), foto-foto, film, rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer. Dengan demikian menurut Moleong (1998), sumber data penelitian kualitatif adalah tampilan yang berupa kata-kata lisan atau tertulis yang dicermati oleh peneliti, dan benda-benda yang diamati sampai detailnya agar dapat ditangkap makna yang tersirat dalam dokumen atau bendanya. Sehubungan dengan pengumpulan data tersebut Bogdan & Biklen (1982) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif ini kehadiran peneliti sangat penting kedudukannya, karena penelitian kualitatif adalah studi kasus, maka segala sesuatu akan sangat bergantung pada kedudukan peneliti. Dengan demikian peneliti berkedudukan sebagai instrumen penelitian yang utama (Moleong 1998). I.8.7.2. Teknik sampling. Ada banyak faktor yang menentukan penelitian yang baik. Diantaranya adalah penggambaran secara jelas tujuan dan masalah yang dibahas dalam penelitian serta teknik dan prosedur penelitian. Salah satu prosedur penelitian yang berpengaruh langsung terhadap hasil penelitian adalah pengambilan sampel (sampling). Sampling adalah suatu cara pengumpulan data yang sifatnya tidak menyeluruh atau tidak mencakup seluruh objek penelitian (Marzuki, 2000). Secara umum, pengambilan sampel biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu random (acak) dan non random (tidak acak). Pengambilan dengan cara random yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengundi, menggunakan Tabel bilangan acak/random atau dengan menggunakan bantuan komputer. Pengambilan sampel
30
dengan non random atau disebut juga incidental sampling, dilakukan tidak secara acak. 1. Teknik Sampling Random Ada tiga jenis sampling yang termasuk pada teknik sampling random yaitu: a. Sampling random sederhana (simple random sampling) Teknik ini dikatakan random sederhana karena cara mengambil sampel dari populasi dilakukan secara random (acak) dengan tidak mempertimbangkan strata atau tingkatan dalam populasi. Teknik sampling random sederhana dapat digunakan seandainya populasi yang diteliti bersifat homogen. b. Sampling bertingkat (stratified sampling) Teknik sampling bertingkat ini digunakan apabila populasinya heterogen atau terdiri atas kelompok-kelompok yang bertingkat serta jumlah sangat banyak. Penentuan strata dilakukan berdasarkan karakteristik tertentu, misalnya: menurut umur, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. c. Sampling kluster/area (cluster sampling) Pada penggunaan teknik sampling kluster, biasanya digunakan dua tahapan, yaitu tahap pertama menentukan sampel daerah, dan tahap kedua menentukan orang-orang atau objek yang dijadikan penelitian pada daerah yang terpilih yang dilakukan secara random. 2. Teknik Sampling Non Random Tidak ada prinsip kerandoman (prinsip teori peluang) pada teknik sampling non random. Dasar penentuannya adalah pertimbanganpertimbangan tertentu dari peneliti atau dari penelitian. Tanpa prinsip ini, konsekuensinya penelitian dari sampel non random tidak dapat digunakan pada sebuah penelitian eksplanatif yang menguji hipotesis tertentu, misalnya penelitian korelasional. Hal ini dikarenakan rumus uji statistik inferensial memiliki syarat normalitas dan homogenitas. Akan tetapi, teknik sampling ini secara luas sering digunakan untuk penelitianpenelitian kualitatif atau penelitian deskriptif (Teddlie, 2007).
31
Ada beberapa jenis sampel non random yang sering digunakan dalam penelitian, diantaranya adalah: a. Sampel Aksidental (accidental sampling). Sampel ini sering disebut sebagai sampel kebetulan karena pengambilannya tanpa direncanakan terlebih dahulu. Hal inilah yang menjadikan sampel ini sering kali disebut convenience sampling atau sampel keenakan. Kesimpulan yang diperoleh bersifat kasar dan sementara, serta tidak bisa digunakan pada penelitian-penelitian yang berdampak luas dimasyarakat. b. Sampel Kuota (quota sampling). Teknik sampling kuota merupakan teknik sampling yang hampir sama dengan teknik sampling strata. Perbedaannya hanya pada cara mengambil sampel yang tidak dilakukan secara random tetapi berdasarkan keinginan peneliti. Teknik ini sering juga disebut judgement sampling karena berdasarkan pendapat tertentu dari peneliti. Masalah apakah sampel bisa mewakili populasi tidak dipersoalkan dalam teknik ini. c. Sampel Purposif (purposive sampling). Dasar penentuan sampel pada teknik sampling ini adalah tujuan penelitian. Teknik purposive ini digunakan dalam upaya memperoleh data tentang masalah yang memerlukan sumber data yang memilki kualifikasi spesifik atau kriteria khusus tertentu. Misalnya, untuk meneliti kualitas sebuah produk fashion maka diperlukan responden yang memiliki kualifikasi kompetensi dalam bidang fashion ataupun seni tertentu.