BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang
Buta warna adalah cacat mata genetik yang belum dapat disembuhkan [17]. Penderita buta warna selalu dihadapkan pada kelemahannya untuk membedakan warna dari objek atau benda yang ditemuinya di mana orang normal dapat membedakannya dengan mudah. Hal ini disebabkan karena sesuatu terjadi pada salah satu cone photoreceptors (kerucut yang menerima rangsangan warna pada mata) yang mengakibatkan buta warna [10]. Buta warna dibagi menjadi beberapa tipe yaitu parsial (protanopia, deuteranopia, dan tritanopia) dan total. Buta warna parsial masih memungkinkan melihat warna, sekalipun seringkali satu warna dengan yang lain terlihat sama, sedangkan buta warna total hanya dapat melihat warna gray-scale. Mata orang normal memiliki susunan cone photoreceptors yang lengkap yaitu kerucut yang peka terhadap long-wavelengths (L), middlewavelengths (M), dan short wavelengths (S), oleh sebab itu disebut tricromat. Sedangkan pada buta warna susunan tersebut memiliki penurunan pada L yang disebut protanopes, pada M disebut deuteranopes, dan pada S disebut tritanopes, di mana ketiganya disebut dichromat. [2]. Kebutawarnaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan akses suatu informasi yang terkandung dalam pembedaan warna. Banyak hal yang dapat diinformasikan dalam bentuk perubahan/perbedaan warna, salah satunya adalah pembedaan suatu objek dengan lainnya [17]. Informasi objek teks biasa dengan link dalam suatu situs adalah salah satu contoh sederhananya. Selain itu juga diperlukan untuk mengenali suatu warna secara “umum” yaitu warna yang hampir seluruh orang mengetahui dan mempunyai persepsi yang sama. Adanya suatu fakta bahwa setiap penderita buta warna masih dapat membedakan beberapa warna yang sangat umum dan dapat mengenali lebih banyak warna daripada apa yang telah diprediksi dan disimulasikan pada beberapa penelitian
1
sebelumnya [20]. Dengan adanya teknologi pengolahan gambar (Image Processing) yang ada sekarang, memungkinkan untuk mengubah suatu warna menjadi warna yang lain. Dengan begitu timbul kemungkinan untuk mengubah warna yang tercampur tadi menuju suatu warna yang lebih dominan, sehingga seseorang dengan kebutawarnaannya dapat membedakan antara satu warna dengan warna yang lain yang tadinya sulit dibedakannya. Pada saat ini telah terdapat metoda untuk menyimulasikan warna yang dilihat oleh buta warna yang menerapkan LMS sebagai konstanta pengubah warna. Dari metoda tersebut dapat diketahui rasio kesalahan suatu warna yang dilihat oleh penderita buta warna. Rasio kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk menarik suatu warna menuju arah yang lebih dapat terlihat oleh penderita [2][17].
(a)
(b)
Gambar I-1. (a) Gambar Normal. (b) Gambar Simulasi Buta Warna [17]
Selain itu, pada saat ini telah ada sebuah metoda yang disebut dengan ‘daltonize’ metoda ini digunakan oleh Vischeck [17] untuk membuat penderita buta warna dapat mengenali pola dengan warna-warna yang tak dapat dibedakannya menjadi batasannya. Namun metoda tersebut masih dirasakan kurang baik, karena warna yang diubahnya menjadi lebih pudar dan dirasakan jauh dari persepsi warna aslinya.
2
(a)
(b)
Gambar I-2. (a) Gambar Normal. (b) Gambar Setelah Dilakukan Daltonisasi [17]
I.2
Rumusan Masalah
Terdapat beberapa permasalahan yang belum terjawab dari persoalan buta warna ini. Beberapa di antaranya adalah: 1. Penderita buta warna sulit untuk membedakan antara suatu warna dengan warna yang lain pada tingkat gradasi tertentu. 2. Penderita buta warna sulit untuk menentukan suatu warna pada tingkat gradasi tertentu. 3. Penderita buta warna sulit untuk mengenali bentuk atau pola ketika warna yang tak dapat dibedakannya menjadi batasannya. 4. Belum adanya formula transformasi warna dan aplikasi yang memiliki kostumisasi sehingga dapat membantu penderita buta warna untuk mempersepsikan citra sedekat mungkin dengan mata normal.
I.3
Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mencari alternatif formula transformasi warna yang dapat digunakan untuk mengubah suatu warna yang tidak tampak bagi penderita buta warna menjadi lebih tampak dan memperkecil perbedaan persepsi antara penderita dan mata normal. Sehingga nantinya seseorang dengan buta warna dapat mengenali warna tersebut dan dapat mengenali pola, ketika warna yang tak dapat dibedakannya tersebut menjadi batasnya. Hal ini diujikan keberhasilannya melalui beberapa tes buta warna.
3
2. Membangun suatu perangkat lunak transformasi warna citra dengan menerapkan formulasi transformasi warna tersebut. 3. Melakukan pengujian citra hasil terhadap penderita buta warna, serta membandingkan hasil tersebut dengan metoda vischeck.
I.4
Batasan Masalah
Sistem yang akan dibangun ini memiliki beberapa kemampuan dan batasan tertentu yaitu : 1. Formula yang dibentuk mengacu pada pengujian buta warna ishihara yang telah dikenal secara umum, sebagai pengukur pengenalan pola dan pengenalan warna. 2. Hasil pengolahan metoda pada citra diujikan hanya pada penderita deuteran.
I.5
Metodologi
Pembangunan perangkat lunak ini memiliki beberapa tahapan pembangunan yaitu: 1. Studi fakta buta warna dari beberapa penelitian-penelitian terdahulu. 2. Studi referensi pengolahan citra khususnya yang berkaitan dengan transformasi warna pada citra. 3. Mencari formula transformasi warna berdasarkan fakta yang didapatkan dengan menggunakan salah satu atau beberapa teknik dalam pengolahan citra. 4. Membangun suatu perangkat lunak transformasi warna, yang diharapkan dapat mengubah warna menjadi suatu warna yang dominan sehingga dapat dikenali oleh penderita buta warna. 5. Membuat kesimpulan.
I.6
Sistematika Penulisan
Penyusunan tesis dilakukan dengan sistematika sebagai berikut :
4
1. Bab satu yang merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, rumusan masalah, batasan masalah, metodologi, dan sistematika penulisan. 2. Bab dua berisi dasar teori 3. Bab tiga berisi analisis metoda transformasi warna 4. Bab empat berisi analisis perancangan perangkat lunak. 5. Bab lima berisi hasil implementasi dan pengujian perangkat lunak 6. Bab enam berisi kesimpulan dan saran.
5