BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan kawasan hutan negara yang bernilai penting dan strategis. Hal ini dikarenakan kawasan hutan Gunung Merapi berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang bermanfaat bagi wilayah sekitarnya dan merupakan tipe hutan tropis dengan kondisi gunung api yang sangat aktif. Dalam sejarahnya kawasan hutan Gunung Merapi dilindungi untuk fungsi pelestarian alam (menjaga fungsi hidrologis, botani dan estetika serta pengelolaan kawasan secara khusus sebagai daerah rawan bencana). Seiring perkembangan jaman, status kawasan hutan Gunung Merapi mengalami perubahan (TN G.Merapi, 2012). Tahun 2004 kawasan hutan Gunung Merapi ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Merapi melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada kelompok hutan Gunung Merapi seluas ± 6.410 ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah, serta Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keseluruhan kawasan ini sangat penting bagi masyarakat dan wilayah sekitarnya karena berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam satuan ekosistem sumberdaya alam dan bertindak sebagai daerah tangkapan air. Oleh karena itu kawasan ini memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam upaya mewujudkan implementasi pilar-pilar konservasi. Diperlukan pendekatan partisipatif dengan masyarakat setempat agar kepentingan masyarakat yang telah berjalan selama ini dapat selaras dengan kepentingan konservasi taman nasional. Ditetapkannya kawasan Gunung Merapi menjadi taman nasional akan ada perhatian dari pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian alam yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan mayarakat sekitar. Adanya taman nasional seharusnya dapat memberikan manfaat, tidak hanya untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam, tetapi juga kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Diperlukan pengumpulan data potensi tumbuhan di TNGM untuk mendukung hal yang 1
2
disebutkan di atas. Potensi tumbuhan yang terdapat di kawasan TNGM dilakukan melalui kegiatan inventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan, salah satunya adalah pinus merkusii. Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Di masa yang akan datang pinus merkusii akan terus-menerus dikembangbiakkan dan diperluas penanamannya karena merupakan pohon yang serba guna. Hampir semua bagian pohonnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian batangnya dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebu diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem digunakan sebagai bahan membuat sabun, resin, dan cat. Sedangkan terpentin digunakan sebagai bahan industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya digunakan untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Selain itu bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hantoyo, 1997). Mengingat banyaknya manfaat pinus merkusii tersebut maka perlu dilakukan inventarisasi mengenai jumlahnya. Dikarenakan kawasan yang terdapat pinus merkusii sangatlah luas, maka akan memakan waktu yang lama di dalam melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat melakukan pengitungan jumlah pohon dengan cepat, efisien, dan teliti serta mencakup area yang luas, salah satunya adalah LiDAR. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan ditetapkan sebagai berikut: 1. Lokasi pengambilan data adalah Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Jawa Tengah. 2. Penghitungan jumlah pohon pinus merkusii metode ekstraksi secara otomatis menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM).
3
I.3. Tujuan Kegiatan ini bertujuan sebagai berikut: 1. Diketahuinya jumlah pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi dengan menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM) dari data pengukuran LiDAR. 2. Diketahuinya kerapatan pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi. 3. Diketahuinya pola penyebaran pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi.
I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan ini adalah metode ekstraksi secara otomatis menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM) dapat diaplikasikan untuk kegiatan sejenisnya, misalnya penghitungan pohon yang lain dalam kawasan yang homogen.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR adalah teknologi baru yang menerapkan sistem penginderaan jauh aktif dalam dunia survei pemetaan. Teknologi ini bekerja dengan cara menembakkan sinar leser dengan memanfaatkan emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser. Sinar laser tersebut memiliki gelombang tidak tampak (infrared) sehingga dapat menembus celah dedaunan untuk memcapai permukaan tanah dan dipantulkan kembali untuk ditangkap oleh sensor laser. Alat pencatat waktu terpasang pada sensor laser untuk mencatat beda waktu ketika gelombang tersebut dipancarkan hingga kembali diterima setelah dipantulkan (Soetaat, 2009). Gambar I. 1. menunjukkan sistem LiDAR beserta komponenya.
4
Gambar I. 1. Sistem LiDAR beserta komponennya (Bang, 2010) Prinsip Kerja LiDAR. Prinsip kerja LiDAR adalah memancarkan laser yang berasal dari sensor laser pada pesawat ke obyek yang ada dipermukaan bumi dan dipantulkan kembali. Beda waktu antara laser dipancarkan dengan laser diterima dicatat oleh alat pencatat waktu pada sensor laser. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu ( ) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung melalui persamaan (I.1) berikut (Wehr, 2009) : ............................................................................................................ (I.1) Keterangan : = Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) = Konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s) = Travelling time (ns) Karena jarak yang harus dilewati laser sebanyak dua kali, yaitu jarak sensor menuju target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus dibagi dua. Komponen LiDAR. Sistem LiDAR terdiri dari empat komponen dasar, yaitu sensor LiDAR, Global Positioning System (GPS), Inertial Measuring Unit (IMU), dan kamera digital (Burtch, 2001). Komponen-komponen tersebut akan djelaskan dalam uraian berikut:
5
1. Sensor LiDAR Sensor LiDAR berfungsi sebagai pemancar sinar laser ke obyek dan merekam kembali setelah mengenai obyek. Sinar laser adalah suatu mekanisme pemancaran radiasi elektromagnetik dalam bentuk cahaya tunggal dan koheren pada spektrum dengan frekuensi tertentu. Pemancarnya memiliki sudut pemancar yang kecil dan intensitas yang tinggi untuk dapat mencapai jarak yang jauh dan terarah dengan tepat pada suatu perangkat (Kelley, 2010). Jenis gelombang yang dipancarkan oleh sensor laser ialah gelombang hijau dan near infrared (NIR). Gelombang hijau memiliki panjang gelombang antara 500-550 nm. Gelombang ini berfungsi sebagai gelombang penetrasi jika sinar laser mengenai daerah perairan. Umumnya gelombang hijau digunakan untuk Hydrography LiDAR, yaitu pengukuran bathymetry atau kedalaman laut yang relatif dangkal (Alif, 2010). Gelombang infrared memiliki panjang gelombang ± 1500 nm. Gelombang ini berfungsi mengukur suatu daratan dipermukaan bumi bukan perairan. Hal ini dikarenakan air akan menyerap gelombang NIR sehingga pantulan yang akan diterima sensor akan sangat sedikit bahkan tidak sama sekali (Burtch, 2001). Gambar I. 2. menunjukkan gelombang hijau dan infrared yang dipancarkan oleh sensor.
Gambar I. 2. Gelombang hijau dan infrared (NIR) (LaRocque dan West, 1990)
6
Sensor laser memiliki beberapa karakteristik yang dapat dibedakan dari kekuatan sinar laser yang dipancarkan, cakupan dari pancaran sinar gelombang laser dan jumlah sinar laser yang dihasilkan per detik. Salah satu karakteristik sensor laser LiDAR yang menjadi kelebihan LiDAR dibandingkan dengan yang lain adalah kemampuan gelombang tersebut untuk melakukan multiple return, yakni sensor LiDAR dapat merekam beberapa kali gelombang pantul dari obyek yang ada dipermukaan bumi untuk setiap gelombang yang dipancarkan. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari obyek atau vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Gambar I. 3. menunjukkan ilustrasi dari multiple return. Gambar tersebut menunjukkan gelombang yang dipancarkan tidak hanya mengenai obyek yang ada di atas permukaan tanah saja, tetapi juga mengenai permukaan tanah di bawah obyek tersebut.
Gambar I. 3. Multiple return (Lohani, 2010)
Permukaan obyek yang pertama kali memantulkan pulsa laser akan menjadi gelombang pantul pertama (first return). Gelombang ini yang umumnya digunakan untuk membuat Digital Surface Model (DSM). Obyek yang kedua kalinya memantulkan pulsa tersebut akan menjadi second return dan seterusnya hingga gelombang pantulan terakhir. Ketika melakukan akuisisi data, pada sensor LiDAR dilengkapi alat pencatat waktu untuk menghitung selang waktu antara setiap kali sinar laser
7
dipancarkan dan diterima kembali oleh sensor. Selang waktu tersebut yang digunakan sensor LiDAR untuk mengukur jarak antara sensor dengan titik obyek yang ada di permukaan bumi sehingga diketahui koordinatnya (Soetaat, 2009).
2. Global Positioning System (GPS) Metode penentuan posisi GPS yang digunakan dalam sistem LiDAR adalah diferensial kinematik. Posisi wahana terbang selalu bergerak dan berubah-ubah dengan cepat ketika akuisisi data, maka dilakukan penentuan posisi GPS dengan metode kinematik untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang tinggi. Gambar I. 4. menunjukkan ilustrasi penentuan posisi GPS metode diferensial kinematik.
Gambar I. 4. Metode diferensial kinematik (TerraImaging, 2003)
Metode diferensial kinematik memerlukan dua buah receiver GPS. Satu receiver diletakkan pada sebuah titik yang telah diketahui koordinatnya di permukaan tanah yang berfungsi sebagai basis (stasiun referensi), sedangkan satunya lagi diletakkan pada wahana terbang sebagai roving receiver. Konfigurasi dari keduanya menghasilakan koreksi diferensial pada roving receiver, sehingga posisi laser wahana terbang dapat diketahui secara real time dan akurat (Abidin, 2000). Data GPS yang telah dihasilakan kemudian diolah secara post processing dan digabungkan dengan data
8
Inertial Measuring Unit (IMU), sehingga diperoleh koordinat yang telah terdefinisi secara geografis.
3. Inertial Measuring Unit (IMU) Inertial Measuring Unit (IMU) merupakan salah satu komponen dalam sistem LiDAR. IMU berfungsi sebagai instrument yang mendeteksi pergeseran rotasi dari wahana terbang terhadap sumbu-sumbu sistem terbang. Sistem tersebut dapat mengukur sudut perubahan berupa attitude wahana terbang (pitch, roll, dan yaw) terhadap sumbu-sumbu terbang. Selain itu IMU juga mendeteksi perubahan percepatan pada wahana pesawat terbang. Gambar I. 5. menunjukkan ilustrasi dari pitch, roll, dan yaw terhadap sumbusumbu terbang.
Gambar I. 5. Pitch, roll, dan yaw (Sullivan, 1997)
Pitch adalah pergerakan rotasi sumbu y wahana terbang terhadap sumbu Y sistem referensi terbang. Sumbu y wahana terbang didefinisikan sebagai garis pada bidang horisontal yang tegak lurus sumbu x wahana terbang. Sumbu Y sistem referensi terbang didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus dengan atah terbang horisontal wahana. Roll adalah pergerakan rotasi sumbu x wahana terbang terhadap sumbu X pada sistem referensi terbang. Sumbu x wahana terbang didefinisikan sebagai garis lurus pada bidang horisontal yang melalui bagian depan (hidung) wahana terbang hingga bagian belakang (ekor) wahana terbang. Garis ini membagi dua badang pesawat sama besar. Sumbu X dari
9
sistem referensi terbang didefinisikan sebagai garis yang berimpit dengan arah terbang horisontal wahana. Yaw adalah sudut antara sumbu z wahana terbang terhadap arah utara. Sumbu z wahana terbang didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus terhadap sumbu x dan y wahana terbang (Burtch, 2001). IMU memantau attitude wahana terbang sehingga dapat dilakuakan koreksi untuk setiap posisi obyek pada saat akuisisi data. Tanpa informasi dari IMU posisi dari footprint sinar laser yang dipancarkan tidak dapat deketahui secara tepat dan pasti.
4. Kamera digital Kamera dalam sistem LiDAR berfungsi untuk menghasilkan foto dari area pengukuran LiDAR. Foto tersebut dapat ditumpang tindihkan (overlay) dengan data X, Y, Z hasil pengukuran LiDAR. Informasi ini digunakan ketika operator melakukan post processing data LiDAR (Moskal, 2008). Foto pada LiDAR berguna sebagai kontrol kualitas data LiDAR dan sebagai media untuk penggambaran unsur-unsur planimetrik secara monoskopik maupun secara stereoskpik tiga dimensi seperti jalan, sungai, tutupan lahan, dan lain-lain. Foto pada LiDAR juga dapat digunakan untuk keperluan tertentu karena dapat menghasilkan peta foto yang lebih informatif dibandingakan dengan peta garis (Moskal, 2008). Gambar I. 6. merupakan kamera digital yang digunakan pada sistem LiDAR.
Gambar I. 6. Kamera digital pada sistem LiDAR (Leica Geosystems, 2014)
10
Sumber Kesalahan LiDAR. LiDAR merupakan teknologi yang canggih dan modern, namun bukan berarti teknologi ini bebas dari kesalahan. LiDAR memiliki kesalahan pada masing-masing komponennya yang saling terhubung. Kesalahan-kesalahan LiDAR akan dijelaskan dalam uraian berikut ini : 1. Kesalahan acak (random error) Kesalahan ini menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LiDAR. Point clouds yang dihasilkan pada sistem LiDAR terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation noise, dan range noise) (Habib, 2008). a. Position noise Pengaruh position noise adalah independen terhadap tinggi terbang dan metode penyiaman. b. Orientation noise Orientation noise lebih berpengaruh terhadap koordinat horisontal daripada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman. c. Range noise Range noise lebih berpengaruh terhadap komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang tetapi dependen terhadap sudut penyiaman. 2. Kesalahan sistematik Kesalahan ini terbentuk dari kesalahan bias dan kalibrasi yang buruk dalam prosen penyiaman LiDAR (Cekada, dkk., 2009). Basic systematic error dapat dimodelkan melaui persamaan geolokasi (Schenk, 2001). Kesalahan sistematik berpengaruh terhadap akurasi, jarak, planimetris, dan ketinggian. Karena kesalahan ini merupakan kesalahan sistematik, maka dapat dihilangkan dengan mengkalibrasi sistem penyiaman laser. Persamaan geolokasi dijabarkan sebagai mana disajikan pada persamaan (I.2) sebagai berikut (Schenk, 2001). ............................................... (I.2) Keterangan : = Lokasi berkas laser pada sistem koordinat ortogonal global
11
= Center point dari GPS pesawat pada sistem koordinat orthogonal global = Rotasi dari sistem koordinat ortogonal lokal ke sistem koordinat orthogonal global = Rotasi dari sistem referensi pada ketinggian vertikal lokal ke sistem referensi ortogonal lokal = Rotasi dari sistem referensi tubuh pesawat ke sistem referansi local pada ketinggian lokal = Vektor offset antara GPS/INS dan sistem penyiaman laser = penyimpangan pada penyangga alat (mounting) = Rotasi antara pancaran sinar laser dan sistem penyiaman yang didapat dari scan angle = Vektor pengukuran jarak yang diperoleh Jika ditambahkan komponen kesalahan yang tidak berkorelasi maka persamaan geolokasinya dijabarkan pada persamaan (I.3) akan menjadi seperti berikut : ........ (1.3) Keterangan : = Kesalahan lokasi berkas laser = Kesalahan tingkat akurasi sensor GPS = Kesalahan sudut INS = Kesalahan offset dari vektor GPS/INS dan sistem penyiaman laser = Kesalahan penyimpangan penyangga alat = Kesalahan pada pengukuran jarak Besar total kesalahan yang berpengaruh pada pengukuran data LiDAR dinamakan Schenk’s error model dapat ditulis sebagai perbedaan antara persamaan (I.2) dengan (I.3) yang dimodelkan pada persamaan (I.4) sebagai berikut : ................................................................................... (I.4)
12
Kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam akuisisi LiDAR adalah : a. Kesalahan pada sudut penyiaman Kesalahan pada sudut penyiaman yang mempengaruhi data hasil penyiaman LiDAR dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian (Cekada, dkk., 2009) yaitu : i. index error and swath-angle error ii. vertical beam misalignment iii. horizontal beam misalignment b. INS systematic errors Kesalahan sistematik pada INS sangat bergantung pada harga dan kualitas sistem INS. Kesalahan yang terjadi setelah kaliberasi pada roll ϕ dan pitch θ biasanya memiliki rentang dari 0,0040 hingga 0,020. Kesalahan pada heading ψ dua kali lebih besar daripada kesalahan yang terjadi pada roll ϕ dan pitch θ (Katzenbeisser, 2003).
I.5.2. DSM, DEM, dan NDSM Digital Surface Model (DSM) adalah model permukaan bumi yang meluputi fitur alami maupun buatan manusia, misalnya gedung, vegetasi, dan pepohonan (ASPRS, 2007). DSM juga merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan yang benar secara geometris. DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare earth. Digital Elevation Model (DEM) merupakan penyajian persebaran titik diskrit yang merepresentasikan distribusi spatial elevation permukaan yang berubah-ubah dengan referensi datum tertentu (Meijerink, dkk., 1994). DEM menyajikan permukaan bumi tanpa menampilkan fitur vegetasi, bangunan, dan struktur buatan manusia yang lainnya. Normalized Digital Surface Model (NDSM) adalah penyajian model elevasi obyek pada permukaan datar. Model ini diperoleh dari perbedaan antara DSM dan DEM. NDSM dihitung dengan cara mengurangkan DSM dengan DEM (Grigillo, dkk., 2011). Penghitungan ini akan didapatkan tinggi obyek yang ada di atas
13
permukaan tanah. Gambar I. 7. menunjukkan perbedaan antara DSM, NDSM dan DEM. DSM
NDSM
DEM
Gambar I. 7. DSM, NDSM, dan DEM (Bartels dan Wei, 2009)
I.5.3. Pinus Merkusii Pinus merkusii atau dalam bahasa ilmiahnya Jungh. et de Vriese diklasifikasikan ke dalam : Divisi
: Spermatophyta,
Subdivisi
: Gymnospermae
Ordo
: Coniferales
Famili
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Spesies
: Pinus merkusii Jungh. et de Vriese Martawijaya, dkk. (1989) memberikan keterangan tentang pinus
merkusii sebagai berikut : a. Nama daerah : damar batu, damar bunga, huyam, kayu sala, kayu sugi, tusam, uyam (Sumatera), pinus (Jawa). b. Nama di Negara lain : Sral (Cambodia), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapulan Mindoro Pine (Philipina), Indo-Cina Pine, Sumatera Pine, Mindoro Pine, Merkus Pine (UK, USA), Merkustall (Swedia), Sumatrakiefer, Merkusfohre (Germany). c. Habitus : tinggi pohon 20-40 m dengan panjang batang bebas cabang 2-23 m, diameter sampai 10 cm, tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna coklat-kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam. d. Ciri kayu : kayu teras berwarna coklat-kuning muda dengan pita dan gambar lebih gelap, kayu gubal berwarna putih atau kekuning-
14
kuningan, tebal 6-8 cm, tekstur kayu halus, arah serat kayu lurus, permukaan kayu licin, kayu mengandung dammar terasa seperti berlemak, permukaan kayu mengkilap, kayu berbau terpentin. e. Kegunaan : kayu tusam dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak dan tangkai korek api, pensil (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis. f. Tempat tumbuh : tusam dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C, pada ketinggian 200-1700 m dpl, kadang-kadang dapat tumbuh pada ketinggian di bawah 200 m dpl dan mendekati daerah pantai (Aceh Utara).
I.5.4. Segmentasi Segmentasi adalah proses pembagian sebuah citra ke dalam sejumlah bagian atau obyek (Cahyan, dkk., 2013). Segmentasi merupakan bagian yang penting dalam analisis citra secara otomatis. Hal ini dikarenakan obyek yang akan disadap untuk proses selanjutnya, misalnya untuk pengenalan pola. Prinsip segmentasi didasarkan pada dua nilai intensitas (Gozalez dan Wintz 1987), yaitu : 1. Diskontinuitas Citra dipisahkan atau dibagi berdasarkan pada perubahan yang mencolok dari derajad kecerahannya. Biasanya digunakan untuk deteksi titik, garis, area, dan sisi citra. a. Deteksi tepi Penentuan tepian suatu obyek dalam citra merupakan langkah awal dan paling banyak diteliti. Proses ini sering dijadikan langkah pertama dalam aplikasi segmentasi citra. Tujuannya adalah untuk mengenali obyek-obyek yang ada dalam citra.
15
Fungsi dari deteksi tepi adalah untuk mengidentifikasi garis batas (boundary) dari suatu obyek yang terdapat pada citra. Tepian dipandang sebagai lokasi piksel dimana terdapat nilai perbedaan intensitas secara ekstrem. Sebuah edge detector bekerja dengan cara mengidentifikasikan dan menonjolkan lokasi-lokasi piksel yang memiliki karakteristik tersebut. b. Deteksi titik Mengisolasi suatu titik yang secara signifikan berbeda dengan titik-titik di sekitarnya. Persamaan (I.5) digunakan untuk deteksi titik: |R| ≥ T ....................................................................................................... (I.5) Keterangan : T = threshold positif R = nilai persamaan Kernel yang digunakan : [
]
c. Deteksi garis Mencocokkan dengan kernel dan menunjukkan bagian tertentu yang berbeda secara garis lurus vertikal, horisontal, diagonal kanan maupun diagonal kiri. Persamaan (I.6) digunakan untuk deteksi garis: |Ri| > |Rj| dimana i ≠ j ............................................................................... (I.6) Filter-filter untuk deteksi garis : Horisontal
Vertikal
-1 -1 -1
-1 -1 -1
2
2
2
2
-1 -1 -1
2
2
-1 -1 -1
16
Diagonal kanan
Diagonal kiri
-1 -1 -1
-1 -1 -1
2
2
2
2
-1 -1 -1
2
2
-1 -1 -1
2. Similaritas Membagi citra menjadi daerah-daerah yang memiliki kesamaan sifat tertentu (region based). a. Tresholding Tresholding adalah cara paling sederhana dalam melakukan segmentasi dan digunakan oleh banyak aplikasi pengolahan citra. Tresholding didasarkan pada gagasan bahwa suatu daerah yang sesuai dengan daerah lain maupun daerah yan tidak sesuai dengan daerah lain dapat diklasifikasikan menggunakan fungsi rentang yang diterapkan untuk nilai-nilai intensitas dari piksel suatu citra. b. Region growing Pendekatan ini memerlukan criteria of uniformity, memerlukan penyebaran titik “seeds” atau dapat juga dengan pendekatan scan line, kemudian dilakukan proses region growing. Kekurangan dari pendekatan ini adalah belum tentu menghasilkan wilayah-wilayah yang bersambungan. Region growing mengelompokkan piksel atau sub region menjadi region yang lebih besar. Dimulai dari sekumpulan titik “seeds” dari titik-titk tersebut diperluas dengan menambahkan titik-titik tetangganya (neigbourhood) yang memiliki properti yang sama, misalnya grey level, tekstur, warna, dan lainlain. Jika tidak ada titik tetangga yang ditambahkan lagi, maka proses untuk region growing tersebut dihetikan. c. Region splitting and merging i.
Region splitting adalah membagi citra menjadi sekumpulan region acak yang kemudian menggabungkannya atau membaginya hingga terpenuhi syarat segmentasi. Algoritma yang digunakan bersifat rekursif (recursi) dalam matematika dan ilmu komputer diartikan sebagai fungsi yang
17
dalam defenisinya mengimplementasikan dirinya sediri, pendekatan ini memanfaatkan quadtree. ii.
Region marging adalah menggabungkan dua piksel atau lebih yang berdekatan dan sama dalam satu wilayah tertentu. Jika dua daerah yang berdekatan secara kolektif cukup mirip, maka daerah-daerah tersebut juga dapat digabungkan.
Segmentasi multiresolusi termasuk ke dalam segmentasi berdasar klasifikasi. Segmentasi multiresolusi mengenali obyek menggunakan algoritma iteratif. Segmentasi ini dimulai dengan tingkatan per piksel dikelompokkan sampai mewakili jenis obyek. Batas jenis obyek ditentukan dengan memberikan parameter skala. Penentuan bentuk obyek dengan cara memisahkan parameter bentuk berdasarkan homogenitas. Hasil dari segmentasi multiresolusi digunakan untuk membangun sebuah jaringan hirarki obyek pada citra secara simultan mewakili informasi citra pada resolusi spasial yang berbeda. Obyek pada citra yang telah membentuk jaringan, tiap obyek citra tersebut akan mengenali obyek lain yang memiliki kesamaan (neightbourhood) (Gitas, 2004). Gambar I. 8. menunjukkan suatu kawasan yang dilakukan proses segmentasi multiresolusi.
Gambar I. 8. Segmentasi multiresolusi (Regner, 2005)
I.5.5. Klasifikasi Klasifikasi adalah suatu proses dimana semua piksel dari suatu citra mempunyai penampakan spekstral yang sama yang akan diidentifikasikan (Howard,
18
1991). Citra dilakukan proses identifikasi untuk membedakan antara beberapa obyek di permukaan tanah, misalnya bangunan, jalan, vegetasi, dan lain-lain. Obyek-obyek tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kelas yang berbeda-beda. Dalam dekade terakhir ini klasifikasi berdasarkan obyek banyak menarik perhatian di bidang penginderaan jauh. Metode ini tidak seperti metode klasik yang beroperasi secara langsung pada piksel tunggal. Pendekatan ini beoperasi pada obyek yang sebelumnya telah dikelompokan segmentasi. Ide dasar dari proses ini adalah mengelompokkan piksel-piksel berdampingan menjadi obyek spektral yang homogen melalui segmentasi. Kemudian dilanjutkan proses klasifikasi pada obyek sebagai unit proses terkecil (Schirokauer, dkk., 2006). Klasifikasi berbasis obyek atau biasa dikenal object based classification dikembangkan sebagai klasifikasi lingkungan untuk pemetaan vektor dan raster. Klasifikasi berbasis obyek merupakan solusi untuk kesulitan yang berhubungan dengan klasifikasi berbasis piksel. Klasifikasi ini juga memiliki keakuratan yang lebih baik daripada berbasis piksel (Aplin, dkk.,1999). Keuntungan klasifikasi ini adalah peta yang dihasilkan lebih mudah dikenali dan dapat langsung dilakukan analis (Wu, dkk., 2007). Keunggulan yang paling utama adalah informasi hasil klasifikasi berbasis obyek dapat diintegrasikan dengan data spasial lainnya pada sistem informasi geografis dan digunakan secara luas dalam analisis spasial (Geneletti dan Gorte, 2003). Pendekatan klasifikasi berbasis obyek biasanya menggunakan dua cara. Pertama, metode region growing untuk mengelompokkan piksel yang berdekatan dengan nilai-nilai spektral yang sama (Gao, dkk., 2006).
Kedua, metode edge
detection dapat digunakan untuk mengidentifikasi diskontinuitas (batas tepi atau tepi obyek). Batas-batas tersebut dapat diekstraksi dan digunakan untuk membangun poligon untuk obyek berbasis klasifikasi (Carleer, dkk., 2005). Kedua cara tersebut memiliki manfaat jika pada saat klasifikasi tidak tersedia data spasial tambahan. Kelemahan kedua cara tersebut adalah benda-benda yang berasal dari citra mungkin tidak sepenuhnya mewakili struktur obyek yang diinginkan secara akurat. Gambar I. 9. merupakan klasifikasi penggunaan lahan berbasis obyek.
19
Gambar I. 9. Klasifikasi penggunaan lahan berbasis obyek (Walter, 2004)
I.5.6. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis tumbuhan adalah salah satu indikator untuk menduga kepadatan jenis sumberdaya alam hayati berupa tumbuhan pada suatu komunitas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas (Indriyanto, 2006). Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Kerapatan pada suatu areal dapat memberikan gambaran ketersediaan dan potensi sumber daya alam hayati berupa tumbuhan. Struktur dan komposisi vegetasi perlu diketahui, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan untuk setiap jenis tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Penghitungan kerapatan jenis dapat dilakukan menggunakan persamaan (I.11) sebagai berikut : ................................. (I.11)
I.5.7. Pola Penyebaran Individu-individu yang ada di dalam populasi mengalami penyebaran di dalam habitatnya mengikuti salah satu di antara tiga pola penyebaran. Menurut Odum (1993), tiga pola penyebaran yang dimaksud antara lain distribusi acak (random), distribusi merata (uniform), dan distribusi mengelompok (clumped).
20
Random
Mengelompok
Merata
Gambar I. 10. Pola penyebaran (Gopal dan Bhardwaj, 1979)
Pola penyebaran dari jenis-jenis tumbuhan dapat diketahui melalui kecenderungan pola penyebaran jenis yang dihitung dengan persamaan Indeks Penyebaran Morisita (Id) (Morisita, 1962 dalam Krebs, 1978) yang dijabarkan pada persamaan (I.12) sebagai berikut: ∑
∑
∑
............................................................................................. (I.12)
∑
Keterangan : = Indeks jumlah penyebaran Morisita = Jumlah petak ukur = Jumlah individu pada setiap petak ke-i Selanjutnya dilakukan Chi-Square dengan persamaan Indeks Keseragaman (Uniform Indeks) (Mu) melalui persamaan (I.13) sebagai berikut : ∑ ∑
.......................................................................................... (I.13)
Keterangan : = Indeks keseragaman =Nilai Chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 selang kepercayaan 97.5% = Jumlah Individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i = Jumlah petak ukur Setelah Indeks Keseragaman diperoleh kemudian dilakukan penghitungan Indeks Pengelompokkan (Clumped Indeks) (Mc) melalui persamaan (I.14) sebagai berikut : ∑ ∑
........................................................................................... (I.14)
Keterangan : = Indeks pengelompokkan
21
= Nilai Chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 selang kepercayaan 2,5% Menghitung dan menentukan standar Morisita pola penyebaran tumbuhan, harus dipenuhi syarat-syarat yang disajikan melalui persamaan (I.15), (I.16), (I.17), dan (I.18) sebagai berikut : , jika
................................................. (I.15)
, jika
.................................................. (I.16)
, jika
................................................. (I.17)
, jika
................................................. (I.18)
Standar indeks penyebaran Morisita (Ip) memiliki interval -1,0 sampai 1,0 dengan batas kepercayaan 0,5 dan -0,5. Dari nilai Ip yang dihasilkan maka dapat diketahui pola penyebaran suatu jenis tumbuhan dari suatu komunitas antara lain : menunjukan pola penyebaran acak (random) menunjukan pola penyebaran mengelompok (clumped) menunjukan pola penyebaran merata (uniform)