BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Indonesia dikenal dan diarahkan menjadi negara agraris sejak puluhan tahun lalu. Perkembangan pertanian Indonesia setiap periode mengarah ke tujuan yang lebih baik. Pembangunan pertanian Indonesia mengarah pada kedaulatan pangan agar Indonesia menjadi bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa salah satunya dalam hal mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri (Kementerian Pertanian, 2015). Tanaman padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting bagi Indonesia. Swasembada padi sebagai tanaman pangan merupakan salah satu rencana strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 (Kementerian Pertanian, 2015). Berdasar Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, produksi padi sawah merupakan produksi padi nasional dalam memenuhi kebutuhan beras di Indonesia. Produksi padi diperkirakan berdasarkan data lapangan yang dihimpun dari mantri tani disetiap kecamatan berdasarkan hasil ubinan secara acak terpilih (bps.go.id). Data produksi padi diperoleh dari parameter luas area panen dan produktivitas padi per hektar (Maksum, dkk, 1998 dalam Wahyunto, dkk, 2006). Data produksi padi digunakan sebagai salah satu aspek penentu ketahanan dan ketersediaan pangan yang dimiliki instansi terkait. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut (bps.go.id). Luas lahan yang dijadikan media tanam kurang dari luas lahan yang terdaftar sebagai persil tanah. Hal tersebut berpengaruh terhadap data yang dimiliki instansi terkait. Terjadi perbedaan luas karena adanya pematang yang merupakan pembatas tiap petak sawah. Perbedaan tersebut mempengaruhi produksi padi jika dibandingkan dengan luas lahan efektif yang digunakan sebagai media tanam.
1
2
Kementerian Pertanian dalam web BPS (bps.go.id) menjelaskan luas bersih adalah luas sawah secara keseluruhan (luas kotor) dikurangi dengan luas pematang/galengan dan luas saluran air. Luas bersih digunakan dalam perhitungan produksi dan produktivitas padi. Luas bersih atau luas panen bersih ini mempengaruhi hasil produksi dan produktivitas padi (Indrawati dan Brodjol, 2012). Pengukuran koefisien galengan selama ini dilakukan dengan pengukuran secara manual dengan mengambil sampel kecil di beberapa wilayah. Sedangkan koefisien di berbagai tempat di suatu desa berbeda-beda. Sampel tersebut dapat tidak mewakili populasi yang besar. Maka dari itu diperlukan metode efektif untuk mengetahui dan melakukan perhitungan koefisien. Data penginderaan jauh yang dapat mencakup kawasan yang luas. Pengambilan sampel besar dapat dilakukan dengan menyeluruh dan lebih efisien daripada cara manual. Cara tersebut diintergrasikan dengan teknologi SIG, maka dapat didapat koefisien galengan yang diperoleh dengan perhitungan geometri. SIG memiliki kemampuan lebih dalam operasi data spasial yang direpresentasikan sebagai geometri. Geometri dapat berupa titik, garis, maupun luasan. Operasi yang dapat diilakukan pada geometri diantaranya perhitungan panjang, luas, keliling, dan keterkaitan (hubungan) antar geometri dalam suatu lokasi. Operasi geometri dapat pula menentukan perbandingan luasan yang direpresentasikan sebagai poligon. Pada penelitian ini, dilakukan operasi untuk menentukan koefisien galengan sawah terhadap luas sawah secara keseluruhan.
I.2. Rumusan Masalah Koefisien galengan didapat dari perbedaan luas lahan sawah yang memperhitungkan luas galengan dengan luas sawah yang memperhatikan luas galengan. Perbedaan tersebut dapat diketahui dari data penginderaan jauh baik dari data citra satelit maupun foto udara. Bertolak dari konsep perhitungan koefisien galengan dan data yang tersedia, penelitian ini merumuskan masalah yang dibahas mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Koefisien galengan lahan sawah dapat diperoleh dari data foto udara dan citra satelit.
3
2. Koefisien galengan lahan sawah yang diperoleh dari dua lokasi dan kondisi lahan yang berbeda. 3. Koefisien galengan lahan sawah secara keseluruhan di lokasi studi diperoleh dari data yang tersedia.
I.3 Pertanyaan Penelitian 1. Berapa luas media tanam dan koefisien galengan dari data foto udara dan data citra WorldView-2 di desa Demen? 2. Berapa luas media tanam dan koefisien galengan dari data citra World View dan persil BPN di desa Karangsari? 3. Berapa koefisien galengan lahan sawah keseluruhan pada lokasi studi?
I.4. Cakupan Penelitian Penelitian dilakukan pada tahun 2016 dengan data utama berupa model data vektor dari persil tanah dan digitasi media tanam dari tiap lokasi. Pembatasan masalah dalam penelitian meliputi: 1. Lokasi penelitian yang digunakan adalah lahan sawah di Desa Demen dengan karakteristik sawah datar dan Desa Karangsari dengan karakteristik sawah terasering. 2. Data utama dalam perhitungan koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini adalah poligon media tanam hasil digitasi data citra satelit dan foto udara. Luas dari data vektor tersebut dihitung untuk menjadi parameter dalam perhitungan koefisien galengan. Parameter lain dalam perhitungan adalah data persil lahan sawah dari BPN dan interpretasi wilayah lahan sawah. 3. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan luas bersih dan koefisien galengan lahan sawah di kedua lokasi studi ya
I.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan galengan lahan sawah dari data citra satelit dan foto udara. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan
4
dengan memperhatikan cakupan penelitian, maka penelitian ini dibuat dengan tujuan khusus: 1. Mengetahui luas galengan dan media tanam dari data UAV dan data citra WorldView-2 di desa Demen. 2. Mengetahui luas galengan dan media tanam dari data citra WorldView-2 dan data persil dari BPN di desa Karangsari. 3. Mengetahui koefisien pematang terhadap luas sawah di lokasi studi.
I.6 Manfaat Penelitian Penggunaan data penginderaan jauh dan penerapan sistem informasi geografis untuk penentuan koefisien galengan lahan sawah diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Kementerian Pertanian. Selain itu, hasil koefisien galengan dapat dijadikan pertimbangan untuk instansi terkait dalam penyediaan data produksi padi. Metode dan pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan dalam bidang geodesi, pertanian, maupun tata guna lahan.
I.7. Tinjauan Pustaka Produksi padi diperoleh dari hasil perkalian antara luas panen (bersih) dengan produktivitas (Badan Pusat Statistik, 2008). Data luas panen yang dilaporkan dari tingkat kecamatan masih merupakan luas kotor, sehingga harus dikoreksi dengan besaran konversi galengan/pematang untuk mendapatkan luas panen bersih (Biro Perencanaan Kementerian Pertanian, 2015). Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat diterapkan dalam mengestimasi luas bersih. Teknologi penginderaan jauh sudah banyak dimanfaatkan untuk pemetaan pertanian. Teknologi ini terutama digunakan dalam klasifikasi tutupan lahan dan penggunaan lahan. O’Connell dkk (2015) melakukan protokol klasifikasi untuk pemetaan fitur yang bukan tanaman pertanian di wilayah pertanian. Citra dengan resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian Debats dkk (2016) efektif dalam membedakan tutupan lahan pertanian yang heterogen. Penelitian tersebut melakukan klasifikasi untuk sejumlah tutupan lahan pertanian dari petani kecil yang memiliki lahan kecil dan tidak beraturan.
5
Segmentasi citra yang dilakukan untuk wilayah pertanian yang beraturan tidak menunjukkan heterogenitas yang besar (Avici dan Sunar, 2015). Berdasar penelitian tersebut, parameter segmentasi yang paling tepat dalam prosedur segmentasi adalah menggunakan analisis visual. Vandysheva, dkk (2000), mengidentifikasi kelas-kelas penutup lahan pada level yang berbeda dengan data satelit dengan resolusi spasial yang berbeda. Terjadi perbedaan hasil klasifikasi dan terjadi gap antar kelas karena menggunakan skala/resolusi yang berbeda pada saat klasifikasi. Penelitian tersebut menggunakan data raster dalam pengolahan data, sedangkan dalam penelitian ini yang akan diolah adalah data vektor. Citra lebih sering digunakan dalam pemetaan pertanian. Hasil pemetaan menggunakan wahana pemetaan udara dan hasil pemetaan terrestrial tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Rokhmana, 2015). Hamsa (2013) melakukan penelitian untuk mengetahui luas bersih sawah menggunakan pengolahan citra digital dengan citra WorldView-2. Widhiasih (2014) dalam penelitiannya menyebutkan estimasi jumlah produktivitas padi dengan parameter-parameter sawah secara langsung yaitu jumlah petakan sawah, luas sawah per petak, keliling sawah per petak. Penelitian tersebut membahas tentang luas bersih lahan sawah dan koefisien galengan sawah di Sulawesi menggunakan data citra WorldView-2. Berdasar penelitian tersebut didapat angka koefisien galengan untuk lahan sawah dataran tinggi/kawasan berbukit rata-rata lebih tinggi yaitu sebesar 0,29 bila dibandingkan dengan angka koefisien galengan pada sawah dataran rendah/datar sebesar 0,18. I.8. Landasan Teori I.8.1. Lahan Sawah Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang/galengan, saluran untuk menahan/menyalurkan air, biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status lahan tersebut (Badan Pusat Statistik, 2015).
6
I.8.2. Luas bersih lahan sawah Luas bersih adalah luas sawah secara keseluruhan (luas kotor) dikurangi dengan luas pematang/galengan dan luas saluran air (bps.go.id) atau dapat dituliskan dalam persamaan (I.1). =
−
(I.1)
Apabila yang dicari adalah kg, maka berdasar persamaan (I.1) diperoleh: =
−
(I.2)
Koefisien galengan lahan sawah dari persamaan (I.2) dibandingkan dengan luas kotor keseluruhan untuk mendapatkan presentase koefisien galengan lahan sawah. Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai persamaan (I.3) berikut:
=
−
(I.3)
dengan = Luas bersih = Luas kotor sawah = koefisien galengan Persamaan (1.3) ini selanjutnya menjadi dasar perhitungan koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini. Parameter persamaan yaitu luas bersih dan luas kotor dalam penelitian ini didapat dari digitasi data citra satelit dan foto udara, serta persil sawah dari BPN.
I.8.3. UAV dan Data Foto Salah satu data dari penelitian ini diakuisisi dengan UAV dan hasilnya berupa data peta foto yang telah dilakukan koreksi geometrik. Data hasil UAV digunakan karena dapat diperoleh peta foto dengan resolusi spasial tinggi. UAV (Unmanned Aerial Vehicle) meliputi semua wahana terbang tanpa awak dengan kemampuan untuk dikendalikan dari jarak jauh (Shen dkk, 2015). Istilah ini biasanya digunakan dalam ilmu computer dan komunitas ilmu artifisial, namun istilah seperti Remotely Piloted Vehicle (RPV), Remotely Operated Aircraft (ROA), Remote Controlled Helicopter (RC-Helicopter), Unmanned Vehicle Systems (UVS) dan model helicopter juga sering digunakan.
7
Penggunaan
utama
dari UAV adalah
penggunaan untuk observasi,
pemeliharaan, pengawasan, monitoring, penginderaan jauh, dan keamanan. Pada tahun-tahun terakhir, semakin banyak penggunaan UAV sebagai alat fotogrametri. Perkembangan ini ada seiring perkembangan system GPS/INS yang dapat melakukan navigasi terhadap helicopter dengan tingkat presesi tinggi. Teknologi UAV telah digunakan untuk berbagai aplikasi managemen sumber daya alam (Rango, 2010 dalam Shen dkk, 2015). Salah satu contoh penggunaan UAV dalam pemetaan kawasan sawah ditampilkan dalam Gambar I.2 dengan persegi bernomor sebagai wilayah uji ketelitian.
Gambar I.1 Kawasan sawah produk pemotretan UAV (Sumber: Rokhmana, 2015)
I.8.4. Data Citra Satelit Cita adalah model dua dimensional dari objek atau kenampakan bumi yang sudah ada (Danoedoro, 2012). Citra diperoleh dari perekaman sensor yang dibawa oleh suatu wahana. Wahana tersebut dapat berupa satelit, pesawat udara, roket, ballon stratosfer, maupun ballon kaptif (Purwadhi et al, 2015). Pada sub bab ini dijelaskan mengenai citra yang diperoleh dengan wahana satelit. Sensor yang digunakan oleh wahana satelit biasanya adalah scanner. Scanner atau pemindai adalah suatu alat optik-elektronik yang dapat dipakai untuk menangkap informasi pantulan atau pancara gelombang elektromagnetik dari suatu permukaan secara tidak serentak (Danoedoro, 2012).
8
Data Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra WorldView-2 di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Data tersebut diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kulon Progo. WorldView-2 adalah satelit pencitraan resolusi tinggi yang diluncurkan pada bulan Oktober 2009. Satelit mengorbit pada altitude 770 km dengan membawa 8 band sensor multispektral, pankromatik, dan 4 band tambahan. Satelit tersebut menyediakan resolusi pankromatik 46 cm dan resolusi multispektral 1.85 m. Resolusi sendiri adalah kemampuan suatu system optic-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdakatan atau secara spektrak mempunyai kemiripan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro, 2012). Konsep resolusi yang biasanya dikenal dalam penginderaan jauh digital adalah resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik, resolusi temporal, dan resolusi layar. Konsep resolusi yang merupakan perhatian dalam penelitian ini adalah resolusi spasial. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat terdeteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin tinggi resolusi spasial artinya semakin kecil objek yang dapat dideteksi. Gambar I.3 menunjukkan perbedaan resolusi spasial Cartosat-1 (2,5m/pixel) dan WorldView-1 (0,5 m/pixel). Perbedaan terlihat pada kejelasan objek yang dapat diidentifikasi dan cakupan (coverage) citra.
Gambar I.2 Perbedaan resolusi dan cakupan citra Cartosat-1 dan WorldView-1di Catalonia, Spanyol (Sumber: Tang dkk, 2016)
9
I.8.5. Interpretasi visual Data penginderaan jauh menggambarkan objek permukaan bumi yang serupa dengan wujud permukaan bumi nyata. Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan kegiatan mengidentifikasi objek dalam citra. Interpretasi citra digital terdiri dari dua cara, yaitu interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi citra visual sesuai kebutuhan pengguna untuk mengelompokkan objek permukaan bumi yang homogen dengan teknik kuantitatif. Interpretasi visual banyak diperngaruhi akal manusia dalam pengenalan objek secara spectral melalui rona/warna objek dan melalui unsur sekunder (ukuran, tekstur, dan bentuk), unsur tersier (pola, bayangan, tinggi) objek, dan unsur yang lebih tinggi (situs, dan asosiasi) dalam melakukan interpretasi citra penginderaan jauh (Purwadhi, dkk, 2015).
Gambar I.3 Susunan tingkat interpretasi citra (Sumber: Estes dkk, 1983 dalam Purwadi dkk, 2015) 1. Warna/rona Interpretasi citra secara visual didasarkan pada unsur interpretasi yang mengacu pada karakteristik spasial dan spektral citra. Unsur interpretasi yang menunjukkan karakteristik spraktral adalah warna atau rona objek. Setiap objek memantulkan karakteristikwarna tau rona yang berbeda. Perbedaan panjang gelombang yang merekam objek juga menghasilkan warna atau rona yang berbeda pada setiap objek. Rona atau warna citra merupakan unsur dasar dalam pengenalan objek permukaan bumi. Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan objek pada citra
10
atau tingkatan hitam ke putih atau sebaliknya, sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata yang menunjukkan tingkat keragaman warna dari kombinasi band citra. 2. Bentuk Bentuk adalah variabel kualitatif yang menguraikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk dapat berupa bentuk persegi, membulat, memanjang, atau bentuk lainnya. Bentuk juga menyangkut susunan tau struktur yang lebih rinci. 3. Ukuran Ukuran merupakan atribut objek yang berupa jarak, lias, tinggi, kelerengan, dan volume. Ukuran suatu objek tergantung skala dan resolusi spasial citra. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra.Tekstur pada citra resolusi tinggi sering dinyatakan salam wujud kasar (bangunan), halus (air), atau bercak-bercak (jalan dengan kendaraan). 5. Pola Pola merupakan ciri objek buatan manusia dan beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. 6. Bayangan Bayangan merupakan objek yang tampak samar-samar atau tidak tampak sama sekali (hitam) sesuai dengan bantuk objeknya. Bayangan yang sering tampak di citra antara lain bayangan awan, bayangan gedung, bayangan bukit. Bayangan sering dihasilkan dari objek yang memiliki ketinggian. 7. Situs Merupakan hubungan antar objek dalam suatu lingkungan yang dapat menunjukkanobjek di sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Situs mencirikan objek secara tidak langsung. 8. Asosiasi Asosiasi merupakan unsur antar objek yang berkaitan, sehingga berdasarkan asosiasi tersebut dapat membentuk suatu fungsi objek dalam suatu lokasi atau kawasan tertentu.
11
Unsur interpretasi visual yang diterapkan dalam penelitian ini adalah unsur rona/warna, ukuran, dan bentuk. Resolusi citra yang tinggi memudahkan interpretasi hanya berdasar unsur utama dan sekunder.
I.8.6. Perhitungan Luas Media tanam dari data citra dan foto didigitasi. Hasil digitasi ini berupa poligon. Luas adalah jumlah areal yang terproyeksi pada bidang horisontal dan dikelilingi oleh garis-garis batas. Luas bidang yang dihitung didalam peta merupakan gambaran dari permukaan bumi dengan proyeksi ortogonal sehingga selisih-selisih tinggi dari titik batas diabaikan (Basuki, 2006). Penentuan luas poligon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Salah satu diantaranya adalah metode koordinat. Metode koordinat adalah metode yang digunakan untuk mencari atau menghitung luas poligon berdasarkan koordinat titiktitik batas poligon (Aji, 2014). Dimisalkan sebidang areal yang dibatasi oleh titik-titik A(X1,Y1), B(X2,Y2), C(X3,Y3), dan D(X4,Y4). Maka luas segi empat ABCD dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (Basuki, 2006):
Gambar I.4 Luasan dengan angka koordinat (Sumber: Basuki, 2006)
= −
+
−
12
= 1 2(
1 2 (
−
)(
+
−
)(
) + 1 2 (
+
) − 1 2(
−
)(
+
−
)(
+
)−
)
(I.4)
Persamaan (I.4) dapat disederhanakan menjadi: 2
= [(
−
)(
)]
+
(I.5)
Apabila jumlah titik poligon banyak maka dari persamaan (I.5) didapat: =
1 2
( .
) −
(
. ) (I.6)
Dimana i adalah titik ke i dan n adalah jumlah titik poligon. Dengan memasukkan nilai-nilai koordinatnya ke dalam persamaan tersebut, maka luas poligon dapat dihitung.
I.8.2. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah berkembang sejak tahun 1960 sebagai hasil riset yang dikolaborasi dengan Ilmu Kartografi, Ilmu Komputer dan Remote Sensing (Ji and Cui, 2011). Longley dkk (2001), menyatakan belum ada definisi yang pasti untuk SIG, namun pengertian yang biasa digunakan antara lain: a. SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem computer yang memiliki empat kemempuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi: (a) masukan, (b) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran (Aronoff, 1989 dalam Longley dkk, 2001). b. SIG adalah sistem yang terorganisir dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang dirangcang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan meampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (Esri, 1990 dalam Longley dkk, 2001).
13
c. SIG adalah sistem computer yang digunakan untuk merekam, menyimpan, memeriksa,
mengintegrasikan,
memenipulasi,
menganalisis,
dan
menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi (Rice, 2000 dalam Longley dkk, 2001).
SIG secara umum bekerja pada dua model data, yaitu model data raster dan model data vector. Kedua model data tersbut memiliki perbedaan karakteristik dan penyimpanannya. I.8.2.1 Model data raster Beberapa data awal dalam penelitian ini adalah data UAV dan citra satelit yang merupakan data dengan model raster. Model data raster menampilkan,
menempatkan,
dan
menyimpan
data
spasial
dengan
menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap piksel memiliki atribut yang unik, yaitu kootdinat dan nilai piksel. Data raster dapat diperoleh dari hasil pemotretan udara, penginderaan jauh satelit, dan hasil scaning peta analog.
Gambar I.5 Contoh data raster (Sumber: dokumentasi pribadi)
I.8.2.2 Model data vektor Data dalam penelitian ini diolah dalam bentuk data vektor. Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dalam bentuk titik, garis atau kurva, atau polygon beserta atribut-atributnya. Bentuk-
14
bentuk dasar representasi data spasial ini, didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian (x, y, z). a. Entity Titik Entitas titik meliputi semua objek grafis atau geografis yang dika itkan dengan pasangan koordinat (x,y). b. Entity garis Entitas garis dapat didefinisikan sebagai semua unsur-unsur linier yang dibangun dengan menggunakan segmen-segmen lurus yang dibentuk oleh dua titik koordinat atau lebih (Burrough, 1994) c. Entity Area atau Poligon Poligon direpresentasikan sebagai sekumpulan koordinat yang tersusun dengan loop tertentu untuk menghasilkan sebuah luasan. Penelitian ini menggunakan model data raster yang dilakukan digitasi berdasar objek menjadi bentuk poligon.
I.9. Hipotesis Hipotesis pada penelitian yang dilakukan adalah lahan sawah yang memperhitungkan luas galengan kurang dari luas lahan sawah yang terdaftar sebagai persil tanah. Berdasar penelitian terdahulu oleh Widhiasih (2014), koefisien galengan lahan sawah yang diperoleh dari data citra WorldView-2 dengan kondisi lahan datar dan terasering berkisar antara 0,18-0,30. Bertolak pada penggunaan data pada penelitian ini, yaitu citra WorldView-2 dan foto udara yang memiliki resolusi spasial yang sama dan lebih besar, maka hipotesis koefisien galengan lahan sawah pada penelitian ini kurang dari 0,18 karena resolusi salah satu data lebih besar.