BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia pada dasarnya secara filosofis memandang tanah sesuai dengan Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut membutuhkan suatu upaya untuk memberikan hasil yang bermanfaat terhadap tanah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan masyarakat atas tanah diwujudkan dengan adanya penggunaan terhadap tanah tersebutuntuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan, seperti pembangunan permukiman, tempat usaha, lahan pertanian, dan perkebunan. Dalam kaitannya dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 yang menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, BPN memiliki kewajiban untuk mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi kegiatan pengaturan penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, pengurusan status hak atas tanah, pemetaan tanah, serta pendaftaran tanah. Diharapkan BPN mampu mewujudkan tertib administrasi pertanahan di Indonesia sehingga mencegah terjadinya sengketa dan konflik di masa yang akan datang, terutama terkait dengan masalah pertanahan. Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi pertanahan serta mencegah konflik dan sengketa di bidang pertanahan, dibutuhkan banyak data dan informasi mengenai administrasi pertanahan, termasuk penguasaan tanah. Dengan demikian, dibutuhkan peta tematik penguasaan tanah di kabupaten/kota di seluruh Indonesia, termasuk Kotamadya Salatiga. Hal ini dilakukan agar lebih memudahkan dalam penyampaian informasi tentang penguasaan hak atas tanah. Peta tematik tersebut berbasiskan Sistem Informasi Geografis yang mampu memberikan deskripsi dan 1
2
informasi atas bidang tanah, sehingga dapat langsung dimanfaatkan sesuai dengan keperluan internal maupun eksternal Badan Pertanahan Nasional.
I.2. Tujuan Membuat peta tematik hasil pembaharuan penguasaan tanah untuk mendukung kegiatan administrasi pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan memanfaatkan teknologi SIG.
I.3. Manfaat Manfaat dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1.
Menyediakan data terkini mengenai penguasaan hak atas tanah.
2.
Memudahkan pengawasan data administrasi penguasaan hak atas tanah.
I.4. Lingkup Kegiatan Pada kegiatan pembuatan peta penguasaan tanah ini, batasan masalahnya meliputi: 1.
Peta tematik yang dibuat adalah peta penguasaan tanah Kotamadya Salatiga dengan skala 1 : 15.000.
2.
Fitur yang ditampilkan dalam peta tersebut adalah penguasaan tanah skala besar di Kotamadya Salatiga. Yang dimaksud dengan penguasaan tanah skala besar adalah bidang tanah yang luasnya lebih dari atau sama dengan 1 Ha.
I.5. Landasan Teori I.5.1. Peta Peta merupakan representasi seluruh atau sebagian obyek-obyek di permukaan bumi dengan ukuran dan posisi yang relatif (Thrower, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa peta dapat dianggap sebagai pencerminan dari dunia nyata. Pickles (1992) menambahkan bahwa wujud peta adalah berupa rangkaian simbolisasi dengan aturan tertentu. Tujuan pembuatan peta adalah memberikan informasi terhadap objek yang bersifat keruangan dalam bentuk pesan dan gambaran dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol tertentu agar dapat dimengerti oleh pembuat dan pemakai peta. Sedangkan kartografi merupakan suatu seni, ilmu, dan teknik pembuatan peta yang
3
akan melibatkan pelajaran geodesi, fotogrametri, kompilasi, dan reproduksi peta (Prihandito, 1989). Sukses tidaknya peta dalam menyampaikan informasi sangat bergantung pada kemampuan kartografer untuk mengatur tampilan peta, mulai dari simbolisasi, pengaturan skala, hingga pengaturan tata letak (layouting). Pendefinisian peta tampaknya adalah hal yang mudah. Namun, sesungguhnya peta merupakan suatu hal yang lebih kompleks karena bagaimana peta dibuat dan siapa yang membuat peta akan menyebabkan suatu peta berbeda dengan peta yang lain (Karpilo, 2010). Peta mengandung arti komunikasi yang digunakan untuk menyiapkan informasi tentang realita. Komunikasi kartografi hanya dapat berhasil jika kartografer (pembuat peta) membuat tanda/syarat (simbol) yang dapat dimengerti oleh pemakai peta. Merancang suatu simbol peta merupakan tahapan yang penting didalam proses komunikasi. Untuk itu kartografer harus merancang simbol (variabel tampak) secara benar berdasarkan aturan-aturan dalam kartografi (Riyadi, 1994). I.5.1.1. Skala peta. Skala adalah perbandingan antara jarak di permukaan Bumi dengan jarak di peta (Chuanxin, 2009). Skala merupakan komponen penting yang harus ada dalam peta. Tanpanya, pengguna peta tidak dapat menghitung jarak sesungguhnya antara dua obyek di dalam peta. Ada tiga jenis penyajian skala di peta. Ketiganya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Berikut akan dibahas mengenai ketiga jenis penyajian skala. 1.
Direct Statement Scale Penyajian skala dapat dilakukan dengan kata-kata. Sebagai contoh, 1 cm = 15 km yang berarti jika jarak antara dua obyek di peta adalah 1 cm, maka jaraknya sesungguhnya adalah 15 km.
2.
Representative Fraction Scale Metode penyajian skala yang kedua adalah dengan menggunakan rasio atau perbandingan. Yang dirasiokan adalah satu unit di peta dengan satu unit di dunia nyata. Sebagai contoh adalah 1 : 20.000. Skala tersebut memiliki arti bahwa satu unit di peta sama dengan 20.000 unit di dunia nyata. Maka, 1 cm di
4
peta sama dengan 20.000 cm (20 meter) di lapangan, atau 1 inch di peta sama dengan 20.000 inch di lapangan. 3.
Linear Scale Penskalaan dengan metode linear menyajikan skala dengan bentuk garis atau batang. Panjang garis merepresentasikan ukuran objek di lapangan. Contohnya adalah seperti pada Gambar I.1 di bawah ini.
Gambar I.1. Contoh linear scale Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa satu bar menunjukkan jarak sesungguhnya adalah 0,4 kilometer. Maka, jarak antara dua obyek di peta yang sepanjang satu bar adalah 0,4 kilometer. Ditinjau dari skalanya, peta dapat dibagi menjadi: 1.
Peta kadaster (sangat besar) adalah peta yang berskala lebih dari 1 : 100 sampai 1 : 5000. Contoh: peta desa.
2.
Peta besar adalah peta yang berskala 1: 5000 sampai 1: 250.000. Contoh: peta kecamatan dan peta kabupaten.
3.
Peta sedang adalah peta yang berskala 1: 250.000 sampai 1: 500.000. Contoh: peta provinsi.
4.
Peta kecil adalah peta yang berskala 1: 500.000 sampai 1: 1.000.000. Contoh: peta negara.
5.
Peta geografis (sangat kecil) adalah peta yang berskala > 1: 1.000.000 ke bawah. Contoh: peta benua/dunia.
I.5.1.2. Simbol kartografi. Simbol adalah suatu tanda gambar menurut penyajian yang menyatakan obyek tertentu (Riyadi, 1994). Simbol-simbol kartografi dikelompokkan dan ditempatkan di peta sesuai dengan distribusi geografi dan posisi planimetrik dari detil yang diwakilinya. Menurut Riyadi (1994) simbol-simbol kartografi dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut:
5
1.
Simbol menurut ciri-cirinya: a.
Simbol titik. Simbol ini digunakan untuk menunjukkan posisi atau lokasi dan identitas dari unsur yang diwakilinya.
b.
Simbol garis. Simbol garis digunakan untuk mewakili obyek yang berupa garis, seperti jalan, sungai, rel kereta api, dan lain sebagainya.
c.
Simbol area. Simbol area digunakan untuk menampilkan unsur-unsur yang berhubungan dengan suatu luasan.
2.
Simbol menurut bentuknya: a.
Simbol piktorial, merupakan simbol yang menggambarkan bentuk atau keadaan obyek yang diwakilinya, tetapi telah mengalami penyederhanaan.
Gambar I.2. Simbol piktorial (simbol selector pada ArcGIS 10) b.
Simbol geometrik, merupakan simbol dengan bentuk-bentuk yang teratur seperti lingkaran, bujur sangkar, segitiga, segienam, dan sebagainya seperti pada gambar I.2.
Gambar I.3. Simbol geometrik (simbol selector pada ArcGIS 10) c.
Simbol huruf atau angka, merupakan simbol berbentuk huruf atau angka yang biasanya mempunyai ciri khas dari unsur yang diwakilinya. Misalnya karakter dollar untuk simbol bank dan huruf “H” untuk simbol hotel.
H
$
Gambar I.4. Simbol huruf/angka I.5.1.3.
Variabel
tampak.
Salah
satu
tujuan
pembuatan
peta
adalah
mengkomunikasikan informasi permukaan bumi secara efektif, informatif, dan
6
komunikatif kepada pemakai peta. Untuk mencapai sasaran yang diinginkan tersebut, diperlukan suatu desain simbol dimaksudkan untuk mengungkapkan data yang telah diklasifikasikan, melalui simbol-simbol yang telah ditentukan ke dalam peta setepat mungkin serta melukiskan keadaan yang diwakili secara benar. Variabel tampak merupakan basis dasar di dalam pembuatan simbol yang berperan penting pada proses sistematika dan logika desain simbol. Sebelum memutuskan pemakaian suatu simbol yang akan mewakili suatu unsur di permukaan bumi, perlu dipelajari terlebih dahulu masalah variabel tampak yang menyangkut berbagai bentuk penyajian dengan menggunakan dampak pandang (visual impact), sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang ikut menentukan bentuk simbol atau penyajian pada suatu peta. Ada tujuh variabel tampak yang digunakan untuk membentuk simbol, yaitu posisi (x,y), bentuk, orientasi, warna, tekstur, value, dan size/ukuran (Riyadi, 1994). Ketujuh variabel tampak tersebut ditunjukkan pada Tabel I.1. Tabel I.1. Variabel tampak No.
Variabel Tampak
1.
Posisi (x,y)
Memberikan informasi lokasi (posisi X,Y) di peta. Semua simbol yang ditempatkan di peta menggunakan variabel tampak ini
2.
Bentuk
Simbol yang dibuat untuk membedakan obyek, sebab dengan menggunakan bentuk, perbedaan simbol satu dengan yang lain mudah digambarkan
3.
Orientasi
Keterangan
Arah dari suatu simbol
4.
Warna
Variabel tampak yang paling kuat dan sering digunakan untuk merancang simbol. Dengan warna, perbedaan simbol satu dengan yang lain mudah dilihat dengan jelas
5.
Tekstur
Digunakan pada variasi dari gambar elemen dengan value yang tetap
6.
Value (nilai)
Menunjukkan besaran derajad keabuan, yang kisarannya dari putih sampai hitam. Valuemerupakan harga kemampuan dari sesuatu obyek untuk memantulkan sinar
7.
Ukuran
Menunjukkan variasi dari besaran suatu simbol
7
I.5.1.4. Pemahaman simbol variabel tampak. Variabel tampak harus mempunyai sifat pemahaman agar obyek yang ditampilkan dalam peta dapat dimengerti secara cepat (Riyadi, 1994). Ada empat macam sifat pemahaman dari suatu simbol, yaitu: 1.
Pemahaman Asosiatif Variabel tampak dikatakan mempunyai sifat pemahaman asosiatif, jika reaksi awal dari mata secara spontan ketika melihat simbol sama pentingnya. Tidak ada satu simbolpun yang terlihat lebih penting dibandingkan dengan simbol lainnya.
2.
Pemahaman Selektif Variabel tampak dikatakan mempunyai sifat pemahaman selektif, jika reaksi awal dari mata ketika melihat simbol dapat membedakan satu dengan lainnya secara cepat. Simbol yang berbeda tersebut disusun oleh variabelvariabel ke dalam kelompok yang berbeda.
3.
Pemahaman Order Variabel tampak mempunyai sifat pemahaman order jika semua simbol dapat dibedakan secara spontan oleh variabel yang ditempatkan ke dalam tingkatan (tahapan) yang jelas.
4.
Pemahaman Kuantitatif Variabel tampak yang mempunyai sifat pemahaman kuantitatif. Jika perbedaan semua simbol-simbol secara oleh variabel yang dapat dipisahkan satu dengan lainnya oleh jumlah yang jelas. Ringkasan sifat pemahaman dari masing-masing variabel tampak dapat dilihat
pada Tabel I.2 di bawah ini. Tabel I.2. Variabel tampak dan sifat pemahamannya. Sifat Pemahaman
Posisi
Bentuk
Orientasi
Warna
Tekstur
Value
Ukuran
Asosiatif
+
+
+
+
0
-
-
Selektif
-
-
0
++
+
+
+
Order
-
-
-
-
0
++
+
Kuantitatif
-
-
-
-
-
-
++
Keterangan =
++ : Sangat Kuat;
+ : Kuat;
0 : Cukup;
- : Buruk
8
I.5.1.5. Peta Tematik. Peta tematik adalah suatu peta yang memperlihatkan informasi kualitatif dan/atau kuantitatif pada suatu unsur tertentu. Unsur-unsur tersebut ada hubungannya dengan detail topografi. Pada peta tematik, keterangan disajikan dengan gambar, memakai pernyataan dari simbol-simbol yang mempunyai tema tertentu, atau kumpulan dari tema-tema yang ada hubungannya antara satu dengan yang lainnya. Simbol-simbol yang digunakan berupa simbol titik, simbol garis, dan simbol luas. Sedangkan pernyataan yang mewakili data di atas peta tematik pada dasarnya berhubungan dengan lokasi, posisi, dan luasnya (Prihandito, 1989). Menurut Prihandito (1989), pemetaan dalam peta tematik ada dua cara yaitu: 1.
Cara Kuantitatif Pemetaan dengan cara kuantitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kuantitatif ke atas peta yang menyatakan identitas dan menunjukkan jumlah dari unsur yang diwakilinya. Data kuantitatif dapat dipetakan dengan menggunakan simbol maupun dengan diagram atau grafik. Contoh peta tematik kuantitatif dapat dilihat pada gambar I.5.
Gambar I.5. Peta tematik kuantitatif Sumber: Anonim, 2013a 2.
Cara Kualitatif Pemetaan dengan cara kualitatif adalah suatu penyajian gambar dari data kualitatif ke atas peta, berupa bentuk simbol yang menyatakan identitas serta melukiskan keadaan dari unsur-unsur yang ada tersebut. Jadi bentuk simbol selalu dihubungkan dengan kualitas unsur yang diwakilinya. Misalnya adalah pemetaan suatu daerah tematis tentang jenis-jenis industri yang ada di daerah tersebut. Industri tekstil digambarkan dalam simbol lingkaran, industri kimia
9
digambarkan dalam simbol persegi, dan seterusnya, sebagaimana dapat dilihat pada gambar I.6. Hasil dari kegiatan ini termasuk dalam peta tematik kualitatif.
Gambar I.6. Peta tematik kualitatif Sumber: Anonim, 2013b I.5.2. Proyeksi Peta Proyeksi peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid. Permukaan bumi fisis tidak teratur, sehingga dipilih suatu bidang yang teratur yang mendekati bidang fisis bumi, yaitu bidang elipsoid. Bidang tersebut merupakan suatu bidang lengkung yang dapat digunakan sebagai bidang referensi hitungan untuk menyatakan posisi titik-titik di atas permukaan bumi dalam suatu sistem koordinat geodetis, yaitu lintang (φ) dan bujur (λ) (Prihandito, 2010). Peta merupakan gambar permukaan bumi pada bidang datar dalam ukuran yang lebih kecil. Dalam hal ini posisi titik-titik pada peta ditentukan terhadap sistem siku-siku x dan y, sedang posisi titik-titik pada muka bumi ditentukan oleh lintang dan bujur (φ dan λ). Di dalam konstruksi suatu proyeksi peta, bumi biasanya digambarkan sebagai bola (dengan jari-jari R = 6370,283 km). Dalam hal ini volume ellipsoid sama dengan volume bola. Bidang bola inilah yang nantinya akan diambil sebagai bentuk matematis dari permukaan bumi untuk mempermudah dalam perhitungan.
10
Pada dasarnya bentuk bumi tidak datar tapi mendekati bulat maka untuk menggambarkan sebagian muka bumi untuk kepentingan pembuatan peta, perlu dilakukan langkah-langkah agar bentuk yang mendekati bulat tersebut dapat didatarkan dan distorsinya dapat terkontrol, untuk itu dilakukan proyeksi ke bidang datar. Secara umum, proyeksi peta merupakan suatu fungsi yang merelasikan koordinat titik-titik yang terletak di atas permukaan suatu kurva (biasanya berupa elipsoid atau bola) ke koordinat titik-titik yang terletak di atas bidang datar. Metode proyeksi peta bertujuan untuk memindahkan pola-pola atau unsur-unsur yang terdapat di atas suatu permukaan ke permukaan yang lain dengan menggunakan rumus-rumus matematis tertentu sehingga tercapai kondisi yang diinginkan. Di bidang geodesi (pemetaan), secara khusus proyeksi peta bertujuan untuk memindahkan unsur-unsur titik, garis, dan sudut dari permukaan bumi (elipsoid) ke bidang datar dengan menggunakan rumus-rumus proyeksi peta sehingga tercapai kondisi yang diinginkan. I.5.2.1. Proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator). Proyeksi UTM merupakan proyeksi peta yang banyak dipilih dan digunakan dalam kegiatan pemetaan di Indonesia karena dinilai memenuhi syarat-syarat ideal yang sesuai dengan bentuk, letak, dan luas Indonesia (Prahasta, 2001).Ciri-ciri proyeksi UTM adalah sebagai berikut: 1.
Silinder, transversal, secant, konform
2.
Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1
3.
Lebar zona 6° sehingga bumi dibagi dalam 60 zona
4.
Meridian tengah tiap zona k = 0,9996
5.
Absis semu (T) : 500.000 m ± X
6.
Ordinat semu (U): 10.000.000 m – Y
7.
Elipsoid yang digunakan adalah WGS’84
11
Gambar I.7. Sistem proyeksi UTM (Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.60, Kanisius, Yogyakarta) Zona nomor 1 dimulai dari daerah yang dibatasi oleh meridian 180° BB dan 174° BB dan dilanjutkan ke arah timur sampai nomor 60. Batas paralel tepi atas pada 84° LU dan tepi bawah pada 80° LS. Setiap zona UTM overlap 40 km sehingga setiap titik yang berada di daerah overlap mempunyai dua harga koordinat. Setiap jalur selebar 8° lintang diberi kode huruf, dimulai dari 80° LS - 72° LS diberi huruf C dan berakhir dengan huruf X pada jalur 72° LU dan 84° LU (huruf I dan O tidak digunakan).
Gambar I.8. Pembagian zona UTM Grid (http://www.colorado.edu/geography/gcraft/notes/mapproj/gif/utmzones.gif)
12
Wilayah Indonesia terbagi dalam 9 zona UTM, sepertiyang ditunjukkan pada Tabel I.3, dimulai dari meridian 90º BT - 144º BT dengan batas paralel 10° LU dan 15° LS serta terbagi menjadiempat satuan daerah, yakni L, M, N, dan P. Setiap zona berukuran 6° bujur x 8° lintang. Dengan demikian wilayah Indonesia terbentang dari zona 46 (meridian sentral 93º BT) hingga zona 54 (meridian sentral 141º BT). Daftar nomor zone dengan bujur meridian pada proyeksi UTM untuk wilayah Indonesia dapat dilihat pada Tabel I.3. Tabel I.3. Nomor zone dengan bujur meridian pada proyeksi UTM untuk wilayah Indonesia Zone
Bujur
46
93°
47
99°
48
105°
49
111°
50
117°
51
123°
52
129°
53
135°
54
141°
(Prihandito, 2010) I.5.2.2. Proyeksi TM3º. Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No.3 tahun 1997 telah menetapkan bahwa untuk membuat peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran guna penyelenggaraan pendaftaran tanah digunakan sistem proyeksi Transverse Mercator 3°. Proyeksi TM3° beracuan pada elipsoid referensi pada datum World Geodetic System 1984 (WGS’84) yang kemudian disebut Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN ’95). Hal ini dilakukan seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bakosurtanal No. HK.02.04/II/KA/1996 yang menetapkan bahwa setiap kegiatan survei dan pemetaan di wilayah Indonesia harus mengacu pada Datum Geodesi Nasional 1995 dengan spheroid acuan seperti pada datum WGS ’84.
13
Ciri-ciri proyeksi TM 3° adalah sebagai berikut: 1. Secara geometrik hampir sama dengan proyeksi UTM, merupakan proyeksi silinder transversal konform di mana bidang silinder memotong bumi (secant) di dua meridian.
Gambar I.9. Silinder transversal yang memotong (Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.70, Kanisius, Yogyakarta) 2. Perbedaannya dengan proyeksi UTM terletak pada penetapan faktor skala di meridian tengah/sentral dan lebar wilayah cakupan (zona). Pada proyeksi TM 3°, besarnya faktor skala (k) adalah 0,9999 dan lebar zona = 3°. 3. Proyeksi meridian sentral dan ekuator masing-masing merupakan garis-garis lurus yang saling tegak lurus. Proyeksi meridian dan paralel lainnya merupakan kurva-kurva yang saling tegak lurus. 4. Tiap zona mempunyai sistem koordinat sendiri, yaitu: Sumbu X
: Ekuator
Sumbu Y
: Meridian sentral
Titik nol
: Perpotongan meridian sentral dengan ekuator
Absis semu (T)
: 200.000 m pada meridian tengah
Ordinat semu (U) : 1.500.000 m pada ekuator Koordinat (X,Y) dinamakan koordinat sejati, dan koordinat (T,U) dinamakan koordinat semu. 5. Wilayah Indonesia terbagi atas 16 zona seperti pada Gambar 1.8, mulai dari meridian 93° BT – 141° BT dengan batas garis paralel (lintang) 6° LU - 11° LS, serta tercakup dalam zona nomor 46.2 sampai dengan 54.1.
14
Gambar I.10. Pembagian zona TM3º dan UTM di Indonesia (Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.77, Kanisius, Yogyakarta) 6. Proyeksi TM 3° pada umumnya menunjukkan distorsi jarak yang semakin membesar ke arah timur maupun ke arah barat dari meridian sentral. Besarnya faktor skala (k) antara meridian sentral sampai jarak 90.000 m sebelah barat dan timur meridian sentral mempunyai harga 0,9999 sampai 1. Di luar batas tersebut, faktor skalanya lebih besar dari 1. Hal inilah yang membatasi lebar wilayah cakupan (zona) pada proyeksi TM 3°. 7. Proyeksi TM 3° beracuan pada Elipsoid referensi padaDatum World Geodetic System (WGS ’84). Berikut daftar nomor zone dan nilai meridian sentral pada proyeksi TM 3° untuk wilayah Indonesia: Tabel I.4. Nomor zone dan nilai meridian sentral pada proyeksi TM 3° untuk wilayah Indonesia
93°-96°
Meridian Sentral 94°30'
No. Zone 50.2
117°-120°
Meridian Sentral 118°30'
47.1
96°-99°
97°30'
51.1
120°-123°
121°30'
47.2
99°-102°
100°30'
51.2
123°-126°
124°30'
48.1
102°-105°
103°30'
52.1
126°-129°
127°30'
48.2
105°-108°
106°30'
52.2
129°-132°
130°30'
49.1
108°-111°
109°30'
53.1
132°-135°
133°30'
49.2
111°-114°
112°30'
53.2
135°-138°
136°30'
50.1
114°-117°
115°30'
54.1
138°-141°
139°30'
No. Zone 46.2
Batas Meridian
Batas Meridian
15
I.5.3. Transformasi Koordinat I.5.3.1. Pengertian transformasi koordinat. Transformasi koordinat adalah mengubah koordinat titik dari suatu sistem koordinat tertentu menjadi sistem koordinat lainnya dengan aturan tertentu. Untuk mencegah kesalahan interpretasi terhadap koordinatkoordinat yang digunakan, jenis sistem koordinat suatu peta harus disamakan dengan jenis sistem koordinat yang menjadi peta dasarnya. Dengan demikian, diperlukan transformasi koordinat dari suatu sistem proyeksi ke sistem proyeksi peta yang lain. I.5.3.2. Transformasi koordinat TM3º ke koordinat UTM. Untuk mengubah dari sistem proyeksi TM3 ke sistem proyeksi UTM, harus dikonversikan atau ditransformasikan koordinatnya ke dalam koordinat geodetis (φ,λ) terlebih dahulu, kemudian dikonversikan kembali ke Proyeksi UTM (Muryamto, 1999). Hal tersebut diilustrasikan pada diagram berikut: Sistem Koordinat Geodetis (φ,λ)
Sistem Proyeksi TM3 (X,Y)
Sistem Proyeksi UTM (X,Y)
Gambar I.11. Diagram urutan transformasi dari TM3º ke UTM Konversi tersebut yaitu: 1.
Konversi koordinat proyeksi TM 3° (X,Y) ke dalam Koordinat Geodetik (φ,λ). Koordinat titik pada proyeksi TM 3° (X,Y), dihitung dari koordinat geodetik (φ,λ). Hubungan koordinat proyeksi dengan koordinat geodetik digambarkan pada gambar di bawah ini:
Gambar I.12. Konversi koordinat proyeksi TM 3° ke koordinat geodetik (Prihandito, 2010, Proyeksi Peta, hal.71, Kanisius, Yogyakarta)
16
Berlaku: Lp = L f + (c2) X2 + (c4) X4 .......................................................................................(I.1) Bp = B 0 + (c1) X + (c3) X3 + E5................................................................................(I.2) Dalam hal ini : Bp = bujur geodetik titik P B0 = bujur geodetik meridian Lp = lintang geodetik titik P Lf = lintang geodetik titik kaki Pf
2.
Konversi koordinat geodetik (φ,λ) ke dalam koordinat proyeksi UTM (X,Y). Rumus yang digunakan : X’ = T’ = [IV] p + [V] p3 + [B5] p5 ..............................................................(I.3) Y’ = U’= [I] + [II] p2 + [III] p4 + [A6] p6 .....................................................(I.4) p = 0,0001 x (λi - Bo)” → tandanya selalu positip Untuk titik di Utara ekuator
: Y = U = U’
Untuk titik di Selatan ekuator
: Y = U = 10.000.000 m – U’
Untuk titik di Timur Meridian Tengah
: X = T = 500.000 m + T’
Untuk titik di Barat Meridian Tengah
: X = T = 500.000 m - T’
I.5.4. Penguasaan Tanah I.5.4.1. Pengertian penguasaan. Pengertian “penguasaan” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Pengertian tersebut juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, dilindungi oleh hukum, dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Sebagai contoh, pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki dan tidak diserahkan kepada pihak lain (Mulyadi, 2004). Dalam penguasaan yuridis, walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dapat dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tetapi tidak mempergunakan tanahnya sendiri, melainkan disewakan kepada pihak lain.Pada kasus tersebut,secara
17
yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah.Namun, secara fisik penguasaan dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah. Kreditor tersebut mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat.Sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004, penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dari definisi tersebut, penguasaan tanah dapat diklasifikasikan menjadi: 1.
Penguasaan oleh Pemilik
2.
Penguasaan bukan Pemilik
3.
Penguasaan bukan Pemilik secara legal oleh Perseorangan
4.
Penguasaan bukan Pemilik secara legal oleh Badan Hukum
5.
Penguasaan bukan Pemilik secara ilegal oleh Perseorangan
6.
Penguasaan bukan Pemilik secara ilegal oleh Badan Hukum
7.
Tidak ada penguasaan tanah Data penguasaan tanah dapat disajikan dalam suatu peta yang disebut dengan
peta penguasaan tanah. Peta penguasaan tanah adalah peta yang menggambarkan kawasan atau bidang-bidang tanah yang belum terdaftar dengan suatu hak atas tanah yang telah dikuasai oleh pemilik dan/atau bukan pemilik. I.5.4.2. Pengaturan hak penguasaan atas tanah. Pada setiap hukum tanah, terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya, diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita (Mulyadi, 2004), yaitu:
18
1.
Hak bangsa Indonesia atas tanah Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI.Tanah yang dimaksudmerupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1) - (3) UUPA.
2.
Hak menguasai dari negara atas tanah Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah yang hakikatnya merupakan
penugasan
pelaksanaan
tugas
kewenangan
bangsa
yang
mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA). 3.
Hak ulayat masyarakat hukum adat Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah dan terletak dalam lingkungan wilayahnya.
4.
Hak-hak atas tanah Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUPA.
I.5.4.3. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum adalah hak penguasaan atas tanah yang belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20 sampai 45
19
UUPA (Mulyadi, 2004).Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum yaitu (Mulyadi, 2004): 1.
Memberi nama pada penguasaan hak yang bersangkutan.
2.
Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya.
3.
Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siapa yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
4.
Mengatur hal-hal mengenai tanahnya. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu hak
penguasaan atas tanah yang sudah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya. Sebagai contoh dapat dikemukakan hak-hak atas tanah yang disebut dalam ketentuan konversi UUPA. Ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret yaitu (Mulyadi, 2004): 1.
Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkret, dengan nama atau sebutan hak penguasaan atas tanah tertentu.
2.
Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain.
3.
Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain.
4.
Mengatur hal-hal mengenai hapusnya hak-hak penguasaan tanah.
5.
Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
I.5.5. Citra satelit IKONOS Ikonos merupakan satelit dengan resolusi spasial tinggi yang diluncurkan bulan September 1999. Satelit ini merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m. Ketinggian orbitnya adalah 681 km. Citra resolusi tinggi sangat cocok untuk analisis detil, misalnya wilayah perkotaan,tetapi tidak efektif apabila digunakan untuk analisis yang bersifat regional. Fungsi dari satelit IKONOS adalah untuk pemetaan topografi dari skala kecil hingga menengah, menghasilkan peta baru, dan memperbaharui peta topografi yang sudah ada (Sutanto, 1992).
20
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Sutanto, 1992). Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan berupaya mengenali objek melalui tahapan kegiatan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis. Setelah melalui tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan digunakan ke dalam berbagai kepentingan, seperti dalam bidang geografi, geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Ada tiga ciri utama benda yang tergambar pada citra berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor yaitu sebagai berikut : 1. Spektoral Ciri spektoral ialah ciri yang dihasilkan oleh interaksi antara tenaga elektromagnetik dan benda yang dinyatakan dengan rona dan warna. 2. Spatial Ciri spatial ialah ciri yang terkait dengan ruang yang meliputi bentuk, ukuran, bayangan, pola, tekstur, situs, dan asosiasi. 3. Temporal Ciri temporal ialah ciri yang terkait dengan umur benda atau saat perekaman. I.5.6. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya (Prahasta, 2001). Menurut Aronoff (1989), sistem informasi geografis mempunyai empat komponen dasar sebagai berikut: 1.
Data masukan Komponen data masukan mengubah data dari keadaannya semula kesalah satu bentuk yang dapat digunakan oleh SIG. Data yang dimasukan dalam SIG mempunyai dua tipe, yaitu data spasial dan data atribut. a.
Data Spasial Data spasial adalah data berupa peta atau gambar lainnya yang menyajikan informasi aspek keruangan yang tersusun dalam bentuk titik (point), garis (line), ataupun luasan (poligon).
21
b.
Data Non-Spasial atau Data Atribut Data non-spasial adalah data yang umumnya bersifat tabular yang menyajikan informasi atau keterangan/atribut pada setiap kenampakan dari data spasial (titik, garis, dan luasan). Data atribut dapat berupa data kualitatif (nama, jenis, tipe, dan lain-lain) atau kuantitatif (jumlah, tingkatan, dan sebagainya).
2.
Manajemen data Komponen manajemen data dalam SIG berisikan fungsi yang diperlukan untuk menyimpan dan memanggil data.
3.
Manipulasi dan analisis data Fungsi dari manipulasi dan analisis data menentukan informasi apa yang dapat diperoleh dari SIG.
4.
Data keluaran Data keluaran merupakan prosedur untuk menyajikan informasi dari SIG dalam bentuk yang diinginkan pemakai. Data keluaran dapat ditampilkan dalam dua format yaitu format hardcopy dan softcopy atau elektronik.
I.5.6.1. Model data dalam Sistem Informasi Geografis. Dalam Sistem Informasi Geografis, dikenal dua jenis model data, yaitu model data vektor dan model data raster. 1.
Model data Vektor Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik-titik, garis-garis, atau poligon beserta atribut-atributnya. Bentuk-bentuk dasar representasi data spasial di dalam sistem model data vektor didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x, y). Di dalam model data spasial vektor, garis-garis atau kurva merupakan sekumpulan titik-titik terurut yang dihubungkan.Sementara itu, luasan atau poligon juga disimpan sebagai kumpulan daftar titik-titik, tetapi dengan catatan bahwa titik awal dan titik akhir poligon memiliki nilai koordinat yang sama (poligon tertutup sempurna). Contoh model data vektor dapat dilihat pada Gambar I.13.
22
Gambar I.13. Model data vektor (rsandgis.com) 2.
Model data Raster Data Raster adalah struktur data yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matrik atau pikselpiksel yang membentuk grid. Lokasi tiap sel atau piksel ditentukan dari nomor baris dan kolom.Kumpulan sel-sel tersebut disusun dalam bentuk matriks. Nilai (value) yang diberikan pada tiap sel mengindikasikan nilai atribut yang diwakilinya.
Gambar I.14. Struktur model data raster (Arcgisdesktop/10.0/helpHelp\data_integration.chm::/rasterdata.chm::/raster_rat.gif)
23
I.5.6.2. ArcGIS. ArcGIS adalah salah satu software pemetaan yang didesain dan dimanajemen dengan aplikasi geografis. ArcGIS memiliki kemampuan untuk memanajemen data-data spasial, melakukan editing data, dan analisis data spasial. Didalam perangkat lunak ArcGIS, terdapat beberapa aplikasi yang sering digunakan, yaitu sebagai berikut: 1.
ArcMap ArcMap merupakan salah satu aplikasi dari ArcGIS yang didesain untuk dapat menampilkan data spasial, melakukan proses editing, melakukan analisis spasial (overlay,buffering,dan lain-lain), dan menampilkan peta dengan kualitas yang baik.
2.
ArcCatalog ArcCatalog adalah aplikasi ArcGIS yang sering digunakan untuk mempermudah akses dan manajemen dari data-data spasial. Pengguna ArcGIS juga akan lebih mudah melakukan pencarian. Pembuatan
metadata
penyimpanan data-data spasial menggunakan ArcCatalog ini. 3.
ArcToolbox ArcToolbox adalah salah satu aplikasi bagian dariArcGIS yang merupakan kumpulan-kumpulan dari fitur-fitur, dimana fitur-fitur tersebut digunakan dalam pengolahan data-data spasial, seperti analisis spasial, pengaturansistem proyeksi,dan pemotongan peta.
I.5.6.3. Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis di sistem informasi geografis terdiri dari analisis spasial dan analisis atribut. Salah satu analisis spasial adalah proses overlay. Fungsi ini dilakukan dengan menggunakan minimal dua data spasial sebagai data masukannya. Secara grafis proses overlay harus dilakukan dalam satu koordinat yang sama, sehingga setiap tema/layer dapat digabungkan menjadi satu visualisasi.
24
Gambar I.15. Ilustrasi proses overlay (www.geo.hunter.cuny.edu) Contoh overlay secara grafis dapat dilihat pada Gambar I.15. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa proses overlaydapat dilakukan dengan lebih dari satu layer,baik itu berupa point, line(garis), dan poligon. Hasil dari overlay ini menjadi satu gabungan tampilan dari layer-layer yang merepresentasikan kenampakan dunia nyata (real world). 1.5.6.4. Geodatabase. Model penyimpanan geodatabase disusun berdasarkan basisdata relasional. Tabel-tabel sederhana digunakan untuk menyimpan skema, aturan, dan data atribut untuk tiap-tiap dataset geografis. Melalui pendekatan ini, bahasa pemrograman SQL (Structured Query Language) dapat digunakan untuk membuat dan memodifikasi tabel, serta melakukan pencarian data. Dalam geodatabase, suatu feature class disimpan sebagai tabel. Tiap baris dalam tabel tersebut merepresentasikan satu buah feature. Kolom shape menyimpan data geometri dari feature tersebut. Isi dari tabel ini dapat diakses menggunakan bahasa pemrograman SQL. ArcGIS melengkapi geodatabase dengan beberapa fungsi-fungsi khusus, seperti raster datasets, topologi, dan analisis jaringan.
25
Gambar I.16. Contoh tabel geodatabaseuntukfeature bertipe poligon (ArcGIS 10 Help) I.5.7. Konsep Basis Data I.5.7.1. Basis Data. Basis data dapat diartikan sebagai sekumpulan data tentang suatu benda atau kejadian yang saling berhubungan satu sama lain. Pendefinisian basis data meliputi spesifikasi tipe data, struktur, dan pembatasan (constraints) dari data yang harus disimpan dalam basis data. Penyusunan basis data meliputi proses pemasukan data dalam media penyimpanan data yang harus dikontrol oleh SMBD (Sistem Manajemen Basis Data). Sedangkan yang termasuk dalam manipulasi basis data adalah pembuatan pertanyaan (query) dari basis data untuk mendapatkan informasi tertentu, melakukan pembaruan (updating) data, dan pembuatan laporan (report generation) dari data dalam basis data (Waljiyanto, 2000). I.5.7.2. Klasifikasi SMBD. SMBD terutama diklasifikasikan berdasarkan model data yang digunakan, yaitu model data hirarki, jaringan, relasional, orientasi obyek dan model data lain (Waljiyanto, 2000).Model basis data yang digunakan dalam perangkat lunak ArcGIS adalah model data relasional. Pada model data relasional, tidak terdapat hierarki.Setiap medan data dapat dijadikan kunci data. Data rekaman disusun dari nilai yang berhubungan yang disebut baris. Baris-baris yang tersusun membentuk satu tabel, yang biasanya tersimpan dalam satu berkas. Tabel-tabel ini secara keseluruhan merupakan penyajian dari atribut data yang saling berhubungan. Dengan menggunakan model data relasional, pencarian medan atribut dari suatu tabel atau banyak tabel dapat dilakukan dengan cepat (Waljiyanto, 2000).
26
I.5.8. Tata letak peta (layout) Tata letak peta merupakan salah satu bagian yang harus diperhatikan pada pembuatan desain peta. Untuk menghasilkan sebuah tata letak peta yang baik, perlu diperhatikan lima sasaran yang mempengaruhi penilaian keberhasilan tata letak peta, yaitu: 1.
Kejelasan Informasi pada suatu peta sebaiknya disajikan dalam keadaan baik, jelas, serta tidak mempunyai arti yang berbeda antara satu dengan yang lain.
2.
Kelayakan Kelayakan suatu tata letak mengacu pada logika suatu peta, apakah beberapa elemen peta seperti legenda dan judul peta sudah diletakan sesuai dengan logik hubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya.
3.
Keseimbangan visual Pada peta, setiap elemen yang disajikan dengan pertimbangan agar objek ditampilkan dengan seimbang dan memudahkan pemakai peta untuk mengidentifikasikan objek secara maksimal.
4.
Kekontrasan Kekontrasan tata letak peta mengacu kepada perbedaan antara terang dan gelap dari suatu warna yang digunakan, serta tebal dan tipisnya garis yang ditampilkan dari elemen yang disajikan.
5.
Kesatuan Kesatuan suatu tata letak peta mengacu kepada hubungan antara pemilihan dan penempatan huruf, kegunaan peta, skala peta, penyajian simbol, dan reproduksi. Tata letak peta dapat dibagi dalam tiga kategori (Riyadi, 1994), yaitu:
1.
Frame Map Tata letak dari tipe ini memiliki outer border line yang mengelilingi muka peta. Garis batas tepi mempunyai fungsi memisahkan antara muka peta dengan informasi tepi (marginal information) secara jelas. Peta tipe ini sangat cocok untuk pemetaan yang berangkai (seri).
27
Gambar I.17. Contoh Frame map (Riyadi, 1994) 2.
Island Map Yang lebih konvensional dari frame map adalah island map. Neat line atau batas dari area yang dipetakan berfungsi sebagai frame (batas garis), sehinggaisland map mempunyai bentuk yang tidak beraturan. Tipe ini memberikan kebebasan pada kartografer untuk merancang tata letak peta (map lay-out) yang cocok.
Gambar I.18. Contoh Island map (Riyadi, 1994) 3.
Bleeding Map Peta jenis ini mempunyai informasi pada batas potongan dari area peta, atau dengan kata lain tidak mempunyai frame.
Gambar I.19. Contoh Bleeding map (Riyadi, 1994)