BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Banjir merupakan bencana alam yang mengakibatkan krisis kesehatan terbanyak di Indonesia. Menurut data Departemen Kesehatan Indonesia (DEPKES) selama kurun waktu 5 tahun, antara tahun 2009-2013, terdapat 1.738 kejadian krisis kesehatan akibat bencana di Indonesia, dengan 442 kejadian banjir, 239 kejadian tanah longsor, 187 kejadian angin puting beliung, dan 137 peristiwa konflik sosial. Pada tahun 2013 sendiri terjadi 436 kejadian krisis kesehatan. Dari jumlah total 436 kejadian, terdapat 285 kejadian akibat bencana alam,119 bencana non-alam, dan 32 kejadian bencana sosial. 5 (lima) kejadian krisis kesehatan berdasarkan jenis bencana yaitu Banjir sebanyak 118 kejadian (27%), diikuti oleh Kecelakaan Transportasi 55 kejadian (13%), Keracunan 52 kejadian (12%), Tanah Longsor 47 kejadian (11%) dan Angin Puting Beliung 40 kejadian (9%). Salah satu penyebab terjadinya banjir adalah dengan meluapnya sungai-sungai di Indonesia. Sungai Code merupakan salah satu sungai yang sering menyebabkan banjir. Sungai Code mengalir melalui Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai ini berhulu di Gunung Merapi dan bermuara di Samudera Hindia menyatu dengan Sungai Opak. Debit air Sungai Code di musim kemarau tidak besar namun pada saat hujan, sungai ini dapat berbahaya terutama bila disertai lahar dingin dari kawah Gunung Merapi. Menurut Sanbawa (2010) kejadian lahar dingin Gunung Merapi tahun 2010 mengancam 13.000 penduduk dari lima belas desa karena letaknya yang berada membelah Kota Yogyakarta. Menurut Atmasari (2015) tahun 2015 kejadian banjir terjadi kembali di Sungai Code. Bencana alam ini disebabkan karena curah hujan meningkat sehingga membuat debit air sungai menjadi naik. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kejadian banjir yang menimpa Kota Yogyakarta tersebut
1
2
merendam sedikitnya 200 rumah dari 27 titik di sekitar Sungai Code, Gajah Wong, dan Winongo. Debit air pada saat kejadian banjir tersebut terpantau setinggi 1.75m dari pos pengamatan Automatic Water Level Recorder (AWLR) pogung, maka dari itu bantaran code menerima luapan air. Dari kejadian tersebut, dapat dikatakan bahwa sifat banjir yang terjadi pada Sungai Code bersifat periodik. Sifat banjir tersebut menyebabkan bencana alam yang terjadi secara berkala. Untuk memperkecil jumlah kerugian yang diakibatkan oleh banjir Sungai Code, dapat dibuat pemodelan banjir untuk dilakukan prediksi awal daerah terdampak banijr. Pada penelitian sebelumnya, sudah pernah dilakukan pemodelan banjir Sungai Code oleh Laksono pada tahun 2011 dengan menggunakan data geometrik berupa Digital Surface Model (DSM) hasil ekstraksi foto udara dan menghasilkan visualisasi tiga dimensi daerah terdampak banjir. Dari visualisasi tersebut dapat dilihat daerah mana yang layak sebagai hunian maupun yang tidak layak. Pada proyek ini digunakan data geometrik berupa Digital Terrain Model (DTM) hasil ekstraksi LiDAR sebagai masukan awal untuk membuat prediksi daerah bahaya banjir Sungai Code. Dari kegiatan proyek ini diharapkan dapat terbentuk pemodelan daerah banjir secara 3D. Selain itu, pada proyek ini dilakukan analisis ketelitian dengan membandingkan data geometrik berupa DTM hasil ekstraksi LiDAR dan DSM hasil ekstraksi Foto Udara.
I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dari proyek ini adalah sebagai berikut : 1. Wilayah kegiatan aplikatif ini adalah penggal kawasan pada Sungai Code dari daerah Ring-road utara hingga Desa Bangunharjo. 2. Model geometrik bahaya bajir berupa penampang melintang sungai diperoleh dari DTM (Digital Terrain Model) dengan menggunakan teknologi LiDAR.
3
3. Bahaya banjir menggunakan analisa Steady Flow Analysis (aliran dianggap tidak berubah) dengan tidak mempertimbangkan aliran-aliran cabang Sungai Code. 4. Data debit sungai maksimum tahunan Sungai Code (dalam meter kubik per detik) dan ketinggian muka air sungai pada stasiun AWLR (Automatic Water Level Recorder) selama tahun 1993-2013. 5. Visualisasi hasil pemodelan banjir Sungai Code disajikan secara 3D.
I.3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan aplikatif ini antara lain : 1. Menghasilkan peta bahaya banjir Sungai Code berdasarkan data geometrik berupa DTM hasil ekstraksi LiDAR. 2. Menghasilkan visualisasi tiga dimensi pemodelan banjir Sungai Code.
I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini antara lain : 1. Mengetahui aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk prediksi dan pemodelan banjir Sungai Code. 2. Memberikan gambaran bahaya bencana banjir di Sungai Code sebagai tinjauan awal sehingga dapat ditentukan daerah mana yang layak sebagai hunian atau tidak layak. 3. Memanfaatkan visualisasi tiga dimensi sebagai media informasi yang komunikatif kepada masyarakat.
I.5. Landasan Teori 1.5.1. Sungai Indonesia yang merupakan negara maritim dengan 75 % wilayahnya terdiri dari wilayah perairan, memiliki banyak sekali sungai. Menurut Peraturan
4
Pemerintah RI No.35 Tahun 1991 tentang sungai disebutkan bahwa sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sungai juga dapat didefinisiskan sebagai bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah disekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau, rawa atau ke sungai yang lain. Ada banyak jenis sungai. Berdasarkan sumber airnya sungai dibedakan menjadi tiga macam yaitu: a. Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di pulau Jawa dan Nusa Tenggara. b. Sungai Gletser, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es. Contoh sungai yang airnya benar-benar murni berasal dari pencairan es saja (ansich) boleh dikatakan tidak ada, namun pada bagian hulu sungai Gangga di India (yang berhulu di Peg. Himalaya) dan hulu sungai Phein di Jerman (yang berhulu di Pegunungan Alpen) dapat dikatakan sebagai contoh jenis sungai ini. c. Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencairan es (gletser), dari hujan, dan dari sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah sungai Digul dan sungai Mamberamo di Papua (Irian Jaya).
Berdasarkan asal kejadiannya (genetikanya) sungai dibedakan menjadi lima jenis yaitu: a. Sungai Konsekuen, adalah sungai yang airnya mengalir mengikuti arah lereng awal. b. Sungai Subsekuen atau strike valley adalah sungai yang aliran airnya mengikuti strike batuan. c. Sungai Obsekuen, adalah sungai yang aliran airnya berlawanan arah dengan sungai konsekuen atau berlawanan arah dengan kemiringan lapisan batuan serta bermuara di sungai subsekuen.
5
d.
Sungai Resekuen, adalah sungai yang airnya mengalir mengikuti arah kemiringan lapisan batuan dan bermuara di sungai subsekuen.
e. Sungai Insekuen, adalah sungai yang mengalir tanpa dikontrol oleh litologi maupun struktur geologi.
Berdasarkan struktur geologinya sungai dibedakan menjadi dua yaitu a. Sungai Anteseden adalah sungai yang tetap mempertahankan arah aliran airnya walaupun ada struktur geologi (batuan) yang melintang. Hal ini terjadi karena kekuatan arusnya, sehingga mampu menembus batuan yang merintanginya. b. Sungai Superposed, adalah sungai yang melintang, struktur dan prosesnya dibimbing oleh lapisan batuan yang menutupinya.
1.5.2. Banjir Menurut Undang-undang No.24 Tahun 2007, bencana didefinisikan sebagai peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana dapat disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air disuatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi (Rahayu dalam Gultom, 2012). Banjir merupakan bencana yang selalu terjadi setiap tahun di Indonesia terutama pada musim hujan. Berdasarkan kondisi morfologinya, bencana banjir disebabkan oleh relief bentang alam Indonesia yang sangat bervariasi dan banyaknya sungai yang mengalir di antaranya. Banjir pada umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian Barat yang menerima curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Indonesia bagian Timur.
Populasi penduduk
Indonesia yang semakin padat yang dengan sendirinya membutuhkan ruang yang memadai untuk kegiatan penunjang hidup yang semakin meningkat secara tidak langsung merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya banjir. Penebangan hutan
6
yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan aliran air permukaan yang tinggi dan tidak terkendali sehingga terjadi kerusakan lingkungan di daerah satuan wilayah sungai. Tabel I.1 adalah data kejadian banjir tahun 1979-2009 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB):
Tabel I. 1. Tabel Kejadian Banjir tahun 1979-2009 di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Provinsi Bali Banten Bengkulu D.I.Yogyakarta D.K.I. Jakarta Gorontalo Jambi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kep. Bangka Belitung Kepulauan Riau Lampung Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Pemerintah Aceh Riau Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawsi Tenggara Sulawesi Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara
Jumlah Kejadian 16 66 19 18 62 25 84 248 337 278 73 132 53 63 6 2 72 6 7 53 99 23 0 138 46 13 130 55 41 20 96 53 175
7
1.5.3. Analisis Hidrologi Proses analisis hidrologi melibatkan suatu proses dengan menggunakan data. Data yang terekam dianggap dapat mewakili semua kejadian alam terkait dengan analisis yang akan dilakukan. Ketelitian dari hasil yang didapatkan dari analisis hidrologi tergantung dari ketelitian data yang dikumpulkan dan kemampuan mengolah data menjadi sebuah informasi yang mempunyai nilai yang akurat. Kemampuan mengolah data tersebut antara lain terkait dengan analisis statistik untuk suatu pengambilan keputusan dalam proses tersebut. Untuk memahami mengenai statistik, berikut akan dijelaskan istilah-istilah yang sering dijumpai pada pembahasan statistik (Shahin, 1978) : a. Populasi (population) adalah semua kemungkinan pengamatan dari seluruh besaran yang mewakili proses acak (random) tertentu. b. Sampel (samples) adalah sejumlah pengamatan terbatas dan merupakan bagian populasi. c. Variabel (variables) adalah suatu sistem yang mempunyai karakter dapat diukur dan berbeda nilai (besarannya) bila diukur pada waktu yang berbeda. d. Parameter (parameter) adalah besaran yang menandai suatu sistem dan tidak berubah dengan waktu. e. Variat (observation) adalah besaran variabel yang diukur dalam satu waktu. f. Data adalah semua pengamatan sampel yang memuat semua informasiinformasi yang terkait. Dengan demikian data hidrologi adalah semua informasi dari semua komponen proses hidrologi. Pengambilan keputusan dalam suatu proses idealnya dengan melakukan analisis terhadap populasi. Pada kenyataannya dalam suatu pengukuran tidak memungkinkan untuk mengambil seluruh data di lapangan sehingga hanya sampel data saja yang diambil untuk dilakukan analisis. Oleh karena itu dalam suatu analisis hidrologi pengambilan kesimpulan dilakukan menggunakan analisis sampel data dengan harapan kesimpulan yang diperoleh tersebut sama (hampir sama) dengan kesimpulan yang diperoleh dari populasi.
8
Analisis frekuensi adalah memperkirakan frekuensi kejadian pada masa lalu maupun masa depan (Machairiyah, 2007). Analisis frekuensi pada perancangan model banjir adalah dengan memprediksikan data-data hidrologi diantaranya adalah karakteristik hujan, data debit air maupun muka air sungai pada suatu periode tertentu. Proses prediksi ini dikenal dengan kala-ulang banjir. Kala-ulang diartikan sebagai waktu dimana hujan atau debit dengan suatu besaran akan disamai dalam suatu jangka waktu. Pengertian ini bukan dimaksudkan bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala-ulang tersebut (Sri Harto,1993). Misalnya kala-ulang 5 tahun mempunyai arti debit tersebut rata-rata akan disamai atau dilampaui sekali dalam 25 tahun. Hal ini berarti kala-ulang suatu tahun tidak mempunyai pengertian secara periodik akan disamai pada range waktu tertentu. Untuk keperluan analisis frekuensi diperlukan suatu seri data obeservasi yang panjang tetapi dalam beberapa prakteknya karena keterbatasan data observasi maka panjang data 25-30 tahun dipandang sudah cukup mewakili suatu analisis frekuensi. Pemilihan data untuk analisis frekuensi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara tersebut antara lain : 1. Annual Maximum Series Cara pertama dilakukan dengan hanya mengambil nilai tertinggi tiap tahun. Oleh karena itu jika terdapat data sepanjang n tahun maka hanya ada n data yang digunakan sebagai sampel dengan kata lain apabila hanya tersedia seri data yang pendek maka akan dihasilkan analisis yang mempunyai keandalan rendah. Gambar I.1 adalah gambar metode Annual Maximum.
Gambar I.1. Metode Annual Maximum
9
2. Peak Over Threshold (P.O.T) Cara kedua dilakukan dengan menetapkan satu batas bawah/ambang (threshold) dan semua nila yang mempunyai besaran diatas ambang ini dipilih sebagai partial series. Untuk menentukan batas tersebut perlu mempertimbangkan secara teknis maupun dapat dilakukan secara sebarang. Gambar I.2 adalah gambar metode P.O.T.
Gambar I. 2. Metode Peak Over Threshold (P.O.T)
Untuk menggambarkan sebaran data sampel perlu dibuat suatu model pendekatan agar dapat merepresentasikan populasi data. Pendefinisian model ini perlu melihat karakteristik parameter statistiknya terlebih dahulu. Beberapa parameter statistik yang digunakan adalah rumus pada tabel I.2. Tabel I. 2. Rumus Parameter Statistik Dasar. (Machairiyah,2007) Parameter
Rumus
π
Simpangan Baku Koefisien Kemencengan Kurtosis Koefisien S/V
β Xi
X=
Rata-rata
π (X
β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦..(I.1) 2
β π βX) S = β π=1πβ1 β¦β¦β¦β¦β¦....(I.2)
CS = Ck =
3 π βπ π=1(Xπ βX) (nβ1).(nβ2).s3
4 π βπ π=1(Xπ βX) (nβ1).(nβ2).(nβ3).s4
CV =
s X
β¦β¦β¦.β¦β¦. (I.3) β¦β¦β¦β¦β¦ (I.4)
β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦... (I.5)
10
Sebelum masuk dalam jenis distribusi yang digunakan perlu adanya suatu uji untuk mendeteksi data-data yang dapat mempengaruhi ketelitian dari rancangan debit yang akan dibuat. Uji tersebut dinamakan Uji Outlier. Outlier adalah data yang memiliki perbedaan signifikan yang dapat mempengaruhi keseluruhan data lainnya (USGS, 1982). Berikut adalah rumus uji outlier : XH = X + K N S .................................................................................. (I.6) XL = X β K N S ................................................................................... (I.7) Keterangan : XH
= batas atas outlier
XL
= batas bawah outlier
KN
= nilai koefisien K berdasarkan jumlah data
X
= nilai rata-rata
S
= simpangan baku data debit tahunan
Nilai outlier dari data hidrologis mungkin saja menunjukkan data yang sebenarnya dari populasi suatu proses hidrologis karena keunikan dari data debit yang sulit diprediksi. Untuk itu perlu pembahasan khusus terhadap metode uji outlier ini. Kendati demikian, konsep uji outlier yang ada saat ini cukup berguna untuk menyediakan konsep teoritis yang diperlukan untuk menghasilkan analisis frekuensi yang logis sesuai dengan kondisi lapangan (ACWI, 2002).
1.5.4. Jenis distribusi dan hitungan kala-ulang Model pendekatan untuk melakukan hitungan kala-ulang berupa distribusi probabilitas teoritis untuk analisis data hidrologis. Model distribusi itu antara lain (Sri Harto, 1993) : 1.
Distribusi Normal Distibusi normal mempunyai karakteristik nilai koefisien kemencengan (skewness) hampir sama dengan nol dan dengan nilai kurtosis = 3.
11
2.
Distribusi Log-Normal Nilai X dikatakan mengikuti distribusi ini jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal. Ciri-cirinya adalah nilai koefisien kemencengan (skewness) = 3 dan selalu positif, atau nilai skewness kurang lebih tiga kali nilai koefisien variasi.
3.
Distribusi Gumbel Distibusi normal mempunyai karakteristik nilai koefisien kemencengan (skewness) = 1.396 dan dengan nilai kurtosis = 5.4002.
4.
Distribusi Log-Pearson tipe III Distribusi ini mempunyai parameter penting yaitu harga rata-rata, simpangan baku dan koefisien kemencengan. Ciri-ciri distribusi ini adalah distribusi Log-Pearson tipe III tidak memiliki sifat-sifat seperti distribusi yang lainnya (Machairiyah, 2007).
Dari penelitian yang dilakukan Sri Harto (1993) menunjukkan bahwa hanya 7% kasus data hujan dan debit yang cocok diterapkan di Pulau Jawa menggunakan distribusi Gumbel. Penggunaan distribusi Log-Normal dan Log-Pearson tipe III mencapai kurang lebih 90% kasus. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Suwarno (1995) juga menunjukkan pos-pos pengamatan di Pulau Jawa cocok menggunakan distribusi Log-Pearson tipe III.
Hitungan kala-ulang disederhanakan dalam bentuk (Sri Harto, 2000) : XT = X + KS....................................................................................... (I.8) Keterangan : XT
= besaran kala-ulang
X
= besaran rata-rata
S
= simpangan baku
K
= faktor frekuensi sesuai dengan jenis distribusi (tabel faktor frekuensi K distribusi Log-Perason Tipe III dapat dilihat pada Lampiran C)
12
1.5.5. Uji statistik terhadap jenis distribusi Pemilihan uji statistik disesuaikan dengan data dari masing-masing distribusi yang digunakan. Pemilihan fungsi distribusi yang sesuai dapat dilakukan dengan uji goodness-of-fit yaitu uji yang menentukan tingkat kesesuaian antara sampel dengan distribusi teoritis itu. Uji ini bertujuan menguji hipotesis berikut (Arwin, 2009) : Ho : Sampel dari distribusi teoritis yang diuji H1 : Sampel bukan dari ditribusi teoritis yang diuji. Jenis pengujian statistik yang sering digunakan adalah :
1.
Uji Chi-Square (ΣΌ2)
Uji Chi-Square digunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan antara nilai probabilitas variable X dari hitungan distribusi frekuensi teoritik dan hitungan empiris data yang ada. Uji kelayakan dengan Chi-Square dapat digunakan sebagai bagian dalam tahap verifikasi pemodelan untuk memastikan kesesuaian sampel yang dipilih terhadap populasi pada saat melakukan analisis frekuensi (MacCuen, 2003). Rumus uji ini adalah sebagai berikut : ΣΌ2 = βππ=1
(ππ β πΈπ )2 πΈπ
............................................................................ (I.9)
dengan : ΣΌ2
= nilai chi-square hitung dengan derajat kebebasan v,
ππ
= frekuensi empirik dari data pada kelas i,
πΈπ
= frekuensi harapan pada kelas i,
π
= jumlah kelas
Ho diterima apabila nilai ΣΌ2 hasil perhitungan lebih kecil dari ΣΌo2 pada derajat kepercayaan (Ξ±) tertentu..
2.
Uji Smirnov-Kolmogorov (Uji K-S)
Uji ini digunakan untuk menetapkan titik yang mengalami penyimpangan terbesar antara distribusi teoritis dengan sampel. Nilai penyimpangan terbesar
13
sebelumnya diurutkan berdasarkan data terbesar. Kemudian besarnya nilai penyimpangan dapat ditentukan melalui persamaan sebagai berikut (Arwin, 2009). DN = Max [|πΉπ(π) β ππ (π)|] .......................................................... (I.10) Hasil hitungan DN kemudian dibandingkan dengan nilai kritis uji Smirnov Kolmogorov dari tabel (Do). Hipotesis nol diterima jika nilai DN > Do atau dapat dinyatakan dalam: P(DN 2 β€ Do 2 ) = 1 β πΌ ................................................................... (I.11) 1.5.6. LiDAR (Light Detection and Ranging) LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah teknologi dengan menggunakan sistem penginderaan jauh sensor aktif untuk menentukan jarak dengan menembakkan sinar laser yang dipasang yang dpada wahana pesawat terbang (Sutanta, 2002). Titik β titik yang diperoleh dari scanning LiDAR merupakan titik β titik yang sudah memiliki koordinat tiga dimensi yang berasal dari multy return sinyal LiDAR pada suatu obyek yang kemudian dapat dimodelkan secara tiga dimensi dan titik β titik tersebut disebut points cloud. Rentang atau jarak antara scanner ke target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh dari Global Positioning Sistem (GPS) dan Inertial Measurment Unit (IMU) dapat menentukan lokasi target dengan akurasi tinggi dalam ruang tiga dimensi. Gambar I.3 menunjukkan prinsip kerja pengukuran posisi menggunakan LiDAR
Gambar I. 3. Prinsip kerja LiDAR (Habib, 2008)
14
Ketelitian elevasi dari data LiDAR dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecepatan pesawat, sudut sapuan, dan jarak sensor ke obyek. Akurasi vertikal dari data LiDAR diperoleh dengan cara membandingkan nilai koordinat Z hasil pengukuran dengan elevasi permukaan bumi. Elevasi dari pengukuran LiDAR didefinisikan pada suatu sistem tinggi tertentu. Pendefinisian sistem tinggi berdasarkan ketingguan suatu bidang di atas bidang referensi (datum) yang digunakan.
1.5.7. DTM dan TIN Hasil Pengukuran LiDAR Digital Surface Model (DSM) dan Digital Terrain Model (DTM) mempunyai pengertian yang hampir sama. Perbedaan dari DTM dan DSM adalah pada DTM tidak mengikutsertakan fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS, 2007). Selain DTM dan DSM visualisasi permukaan bumi dapat dimodelkan dengan Digital Elevation Model (DEM). DEM yaitu representasi relief dari terrain ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan manusia sama seperti DTM. Perbedaan DTM dan DEM terletak pada unsur-unsur elevasi yang digunakan. Pada DTM mencakup unsur-unsur dengan elevasi dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, masss point dan hidrologic condition sehingga DTM mampu memodelkan permukaan bumi secara leih realistik daripada DEM. DEM, DTM, dan DSM di modelkan dalam bentuk Triangulated Irregullar Network (TIN) yang berupa kumpulan titik-titik elevasi yang membentuk jairng segitiga. Point clouds yang diperoleh melalui teknologi LiDAR dapat digunakan untuk membentuk TIN. Semakin rapat titik-titik yang tersedia maka pemodelan yang dilakukan memiliki ketelitian yang tinggi sehingga model yang diperoleh menggambarkan representative permukaan bumi secara teliti. Gambar I.4 menunjukkan secara signifikan perbedaan antara DSM dan DTM.
15
Non-Ground
Ground
Gambar I. 4. Ilustrasi DSM dan DTM (Janrico, 2014)
1.5.8. Sistem Informasi Geografis dan Visualisasi 3D Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk pemasukan, penyimapanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi geografis beserta atributnya (Prahasta, 2001). Sedangkan menurut Aronoff (1989) SIG merupakan beberapa prosedur baik manual maupun terkomputerisasi yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi data yang berreferensi kebumian. Komponen dasar dari SIG adalah sebagai berikut (Aronoff , 1989) : a.
Input (Data masukan yang digunakan untuk melakukan berbagai macam analisis).
b.
Manajemen Data (Komponen ini berfungsi sebagai meyimpan dan memanggil data).
c.
Manipulasi dan analisis data (Komponen yang digunakan untuk menentukan informasi apa yang dapat diperoleh dari SIG sebelum di sajikan dalam bentuk Output).
16
d.
Output (Komponen yang berfungi untuk menyajikan informasi dari SIG dalam format Hardcopy maupun Softcopy).
Untuk menyajikan informasi perlu dilakukan analisis yang berfungsi untuk tahapan pengolahan data. Fungsi-fungsi analisis
SIG dijabarkan
menjadi 4
komponen utama : a.
Retrieval (penggalian informasi dari data spasial maupun attribut), reclassification (pengelompokan ulang data berdasarkan kriteria tertentu), dan generalization (penyederhanaan informasi data)
b.
Overlay Techniques (menggunakan operator aritmatik dan boolean dari dua atau lebih layer untuk memperoleh nilai baru)
c.
Neighbourhood Operations (melakukan evaluasi karakteristik suatu area pada lokasi tertentu)
d.
Connectivity Function (menggunakan fungsi untuk mengakumulasikan nilai-nilai sepanjang suatu jalur)
Seiring dengan kemajuan teknologi, SIG dapat menyajikan data dalam dua dimensi maupun tiga dimensi. Keuntungan yang diperoleh dari visualisasi menggunakan tiga dimensi adalah penyajian yang ditampilkan lebih menarik untuk pengguna karena visualisasi yang dilakukan merepresentasikan dengan keadaan yang sebenarnya secara kasat mata. Menurut (Berry, 2007) terdapat perbedaan mendasar antara analisis tiga dimensi dengan visualisasi tiga dimensi (Gambar I.5). Visualisasi 3D tidak dapat melakukan analisis volumetrik yang terkait dengan keruangan. Visualisasi secara struktur data hanya menyimpan tiga jenis data, yaitu X dan Y sebagai pendefinisan lokasi serta Z untuk mendefinisikan elevasi. Analisa tiga dimensi dapat melakukan analisis volumetrik dan menyimpan empat jenis data, yaitu X,Y dan Z serta attribut untuk mendefiniskan kondisi lokasi tersebut.
17
Gambar I. 5. Struktur data volumetrik SIG tiga dimensi (Berry, 2007)
1.5.9. HEC-RAS dan HEC-GeoRAS Salah satu program yang digunakan untuk memodelkan aliran di sungai adalah HEC-RAS. HEC-RAS merupakan kependekan dari River Analysis System (RAS), yang dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satu divisi di dalam Institute for Water Resources (IWR), di bawah US Army Corps of Engineers (Istiarto, 2014). HEC-RAS merupakan model satu dimensi aliran permanen maupun tak permanen (steady and unsteady one-dimensional flow model). Steady flow merupakan tipe aliran dengan tidak melibatkan variabel yang terkait dengan waktu dalam proses hitungan, sehingga kondisi aliran sungai dianggap selalu sama dari waktu ke waktu. Sedangkan unsteady flow merupakan kondisi aliran berubah sesuai waktu pada lokasi yang berbeda-beda. HEC-RAS memiliki empat komponen model satu dimensi, yaitu sebagai berikut: 1. Hitungan profil muka air aliran permanen, 2. Simulasi aliran tak permanen dan permanen, 3. Hitungan transpor sedimen, 4. Hitungan kualitas air.
18
Elemen penting yang terdapat pada HEC-RAS adalah geometrik yang digunakan sebagai masukan keempat komponen model diatas. Data geometrik dengan ketelitian tinggi baik secara horizontal maupun secara vertikal akan memberikan simulasi banjir yang akurat. Selain itu elemen yang penting lainnya adalah routline hitungan hidraulika serta desain hidraulika dari data hidrologi yang digunakan. HEC-RAS merupakan program aplikasi dengan menyelerasakan fitur graphical user interface, analisis hidraulik, manajemen dan penyimpanan data, grafik serta hasil akhirnya (Istiarto, 2014). Metode yang diterapkan pada HEC-RAS adalah dengan cara mensimulasikann model menjadi satu dimensi ruang yang dominan di tengah pada saluran utama sugai menuju ke hilir. Hydrologic Engineering Center (HEC) juga memproduksi HEC-GeoRAS yang merupakan tool tambahan (extension) pada ArcGIS yang digunakan untuk membangun input data spasial sebelum dijadikan sebagai model dalam HEC-RAS. HEC-GeoRAS berfungi mengintegrasikan perangkat ArcGIS dan HEC-RAS. HEC-GeoRAS berfungsi untuk menganalisis sistem sungai geografis sehingga didapatkan model geometrik dari sungai yang akan dimodelkan pada perangkat lunak HEC-RAS (Anggorowati dkk, 2014).