BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Secara konseptual partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, dan lain sebagainya. Asumsi yang mendasari demokrasi ( partisipasi) adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan warga negara itu meliputi mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan politik.1 Bermacam-macam partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dan berbagai waktu. Kegiatan politik konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern. Bentuk non-konvensional seperti petisi, kekerasan dan revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat
1
A. Rahman H.I, 2007, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal 285
Universitas Sumatera Utara
dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. 2 Kesadaran politik warga negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat,
artinya berbagai hal
yang berhubungan
pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik. Berdasarkan fenomena ini, maka W. Page memberikan model partisipasi menjadi empat tipe meliputi partisipasi aktif, pasif (apatis), militan (radikal) dan sangat pasif ( pada output politik).3 Pemilihan umum ( PEMILU) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik demokratik modern. Pemilihan umum bahkan telah menjadi salah satu parameter utama oleh masyarakat internasional untuk melihat demokratis tidaknya suatu negara. Walau pada saat yang lain, pemilihan umum seringkali dilakukan hanya untuk melegitimasitindakan nyata rezim yang otokratik. Karena dalam kenyataannya, masyarakat internasional kini hampir menyepakati bahwa tidak ada satupun negara yang dikatagorikan sebagai negara demokratis apabila tidak menyelenggarakan pemilu terlepas dari bagaimana kualitas pelaksanaannya. Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada
2
3
Ibid, hal 287 Ibid, hal 289
Universitas Sumatera Utara
kelompok-kelompok fungsional atau organisasi non-pemerintahan swasta. 4Dan Otonomi daerah merupakan bagian sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga Negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreativitasnya. Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 5 Sehingga muncul konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan skema dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru. Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti “perombakan” menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan masa rakyat. 6 Dengan adanya hal itu, dibutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang meliputi menjadi
perlindungan,
pelayanan
publik
dan
pembangunan, 7
sehingga
dilakukanlah pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintahan No.6 tahun 2005 mengenai tata cara pemilihan, pengesahan, dan pemberhentian kepala daerah, yang merupakan tonggak baru penegakkan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia. 4
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h.20 Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h. ix-x 6 Ibid.,h. 13 7 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005, h.203 5
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Kepala Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Actor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, parpol dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih. Dengan adanya pemilihan kepala daerah diharapkan dapat menunjang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di daerah. Pemerintah di tingkat lokal akan semakin dekat dengan rakyat yang pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintah daerah dan juga akan terciptanya respon yang baik dari rakyat. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik baik dalam memilih atau dipilih. Setiap warga Negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan kegiatan secara bebas menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. Perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan orang perorangan. Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang berkaitan dengan sikap politik. Yakni berkaitan dengan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. 8Kegiatan politik itu dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan fungsi-fungsinya.
8
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Press, 1995, h.4
Universitas Sumatera Utara
Pada pemilu 1999, studi tentang perilaku pemilih sudah ikut mewarnai pemilu pada saat itu, namun studi perilaku pemilih kurang mendapatkan ruang sama sekali. William Lidle dan Saiful Mujani menemukan dua kesimpulan dalam memahami perilaku pemilih pada pemilu 1999,. Pertama, semakin memudarnya politik aliran ditingkat masa pemilih. Massa pemilih cenderung kurang memperdulikan aliran dari masing-masing partai politik. Kedua, ketokohan tetap menjadi variabel yang sangat penting dalam menarik dukungan massa pemilih. Para pemilih memilih partai bukan karena daya tarik terhadap partai dan programnya melainkan lebih karena ketertarikan terhadap tokoh yang ada dipartai tersebut. 9 Berbeda dengan pemilu 2004, studi tentang perilaku pemilih semakin mendapat tempat dan mempunyai peran penting dalam merekam opini public, termasuk kecendrungan perilaku pemilih dan pemilu pada saat itu lebih menarik karena menempatkan rakyat sebagai hakim tertinggi dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah pertama kali dilaksanakan pada bulan juni 2005, sejak berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah dimasukkan dalam rezim PEMILU, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Peserta Pilkada berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sumatera Utara pun tak luput juga untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah. Tahun 2013 Sumatera Utara kembali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Sebagai warga negara, kita berhak memberikan suara kita karena dalam hal ini kita berada di negara yang demokratis. Pemberian suara ini dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan perilaku lebih tepatnya perilaku pemilih. 9
Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta: The Habibie Center, 2000, h.40
Universitas Sumatera Utara
Perilaku pemilih sendiri menurut Ramlan Surbakti ialah “keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan yakni apakah memilih atau tidak memilihdalam pemilu. Kalau memutuskan memilih apakah memilih partai ataukah kandidat x ataukah partai atau kandidatnya. Secara umum, perilaku pemilih dipengaruhi beberapa faktor yang diuraikan dari tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional. Ketiga faktor tersebut menurut ilmuan politik cukup memberikan pengaruh kepada pemilih untuk menjatuhkan pilihannya, namun faktor mana yang paling dominan mempengaruhi perilaku pemilih dalam sebuah pemilihan kepala daerah masih menjadi perdebatan. Pemilih merupakan penentu atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemilihan kepala daerah 10. Pemilihan Kepala daerah Sumatera Utara mencakup seluruh daerah Sumatera bagian Utara, tak luput juga pada masyarakat perkebunan, dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan dan adanya rasa aman para pekerja perkebunan dari serangan luar perkebunanan, maka masyarakat perkebunan juga harus ikut memilih calon gubernur Sumatera Utara yang dapat melaksanakan hal tersebut. Bagaimanakah perilaku pemilih pada masyarakat Perkebunan? Berdasarkan sikap, nilai-nilai, informasi, dan kecakapan yang dimiliki kita dapat menggambarkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik negaranya. Maka dengan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menggambarkan bagaimanakah perilaku pemilih pada masyarakat perkebunan beradasarkan kajian teori studi perilaku pemilih. Alasan penulis memilih judul ini adalah untuk mengetahui perilaku pemilih masyarakat perkebunan desa batu lokong dipengaruhi oleh pendekatan sosiologis, psikologis atau rasional serta apakah ada pengaruh kalangan atas dalam mempengaruhi perilaku pemilih pada masyarakat atau karyawan di PT.PP Lonsum 10
Pemilihan umum, http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_di_indonesia diakses pada 10 april 2013
Universitas Sumatera Utara
Desa Batu Lokong dalam memilih Kepala Daerah Sumatera Utara pada Pilkada 2013. Batu Lokong dipilih sebagai lokasi penelitian karena penulis menganggap lokasi tersebut mendukung untuk mewakili masyarakat perkebunan.
I.2. Perumusan Masalah Di era demokrasi dimana setiap orang berhak menentukan sikap dan tujuan, salah satunya adalah kebebasan dalam berpolitik dan menetukan tujuan politiknya. Dalam pesta demokrasi (Pilkada) sangat berpengaruh terhadap kemajuan profinsi ini. Tidak terkecuali masyarakat yang berada di perkebunan. Masyarakat perkebunan perlu ikut menyeleksi sekaligus memilih figur calon kepala daerah yang memiliki komitmen serta konsisten terhadap kelangsungan hidup perusahaan, juga mampu melindungi dan menciptakan rasa aman yang berkeadilan terhadap para pekerja perkebunan. Untuk itu disini penulis mencoba untuk melakukan penelitian bagaimana perilaku pemilih masyarakat perkebunan pada Pilkada 2013, dimana penulis mengambil studi kasus pada masyarakat perkebunan yang berada di PT.PP Lonsum kelurahan Batu Lokong Kecamatan Galang, Deli Serdang. I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran perilaku pemilih masyarakat perkebunan di PT Lonsum Batu Lokong berdasarkan kajian teori perilaku pemilih. I.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak, antara lain : 1. Bagi penulis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam membuat karya ilmiah dan menganalisa kondisi sosial masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat akademis bagi FISIP-USU khususnya Departemen Ilmu Politik, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi kepustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 3. Penelitian ini juga diharapakan mampu memberikan sumbangan bagi berbagai pihak yang menaruh perhatian bagi studi perilaku politik. I.5. Kerangka Teori 1.5. 1. Teori Perilaku Politik Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti yang luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu yang memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma-norma atau kaidahkaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan. 11 Dalam hal ini, norma tersebut mempersoalkan apa yang menjadi landasan wewenang politik atau apa yang menjadi dasar perbuatan dan pelaksanaan keputusan politik itu diberlakukan secara sah. 12 Upaya untuk menegakkan norma tersebut mengharuskan adanya lembaga pemerintah yang memiliki otoritas tertentu agar norma-norma yang ada dapat ditaati. Dengan demikian kegiatan individu dalam masyarakat terjadi sekurang-kurangnya karena ada kesempatan, norma-norma serta kekuatan untuk mengatur tertib masyarakat kearah pencapaian tujuan. Unsur-unsur ini merupakan kesatuan yang terkait dengan politik dan oleh karena itu, masyarakat yang ada didalamnya merupakan kelompok individu yang tidak dapat lepas dari persoalan politik.
11 12
Sudijono Sastrostmojo, Perilaku Politik, Semarang: Ikip Semarang Press, 1995 hal 1 Ibid, hal 1
Universitas Sumatera Utara
Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.13 Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintahan dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam suatu negara, misalnya ada pihak yang memerintah, dan pihak lain yang diperintah. Terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Yang selalu melakukan kegiatan politik adalah pemerintah dan partai politik karena fungsi mereka dalam bidang politik.14 Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi mengandung keterkaitan dengan hal-hal lain. Berkaitan dengan perilaku politik, satu hal yang perlu dibahas adalah hal yang disebut dengan sikap politik. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut. 15 Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognisi, afeksi, konasi. 16 Kognisi berkenaan dengan ide dan konsep, afeksi menyangkut kehidupan emosional, sedangkan konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecendrungan. Dari sikap tertentu itu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud. Munculnya sikap politik 13
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Sarana, 1992 hal 131 Sudijono Sastrostmojo, op.cit hal 3 15 Mar’at, Sikap Manusia, Perubahan serta Pengukurnya, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 1992 hal 31. 16 Ibid 14
Universitas Sumatera Utara
tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang akan muncul. Misalnya ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah, ini merupakan sikap politik dan dengan ketidaksetujuan atas kebijakan tersebut akan menimbulkan perilaku yang muncul adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes ataupun unjuk rasa. 17 Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam Negara, ada pihak yang memerintah, ada pula yang menaati pemerintah, yang satu mempengaruhi, yang lain menentang, dan hasilnya berkompromi, yang satu menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan tawar menawar, yang satu memaksa putusan berharap dengan pihak yang lain, yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan, yang satu menutupi kenyataan yang sebenarnya (merugikan masyarakat), pihak lain berusaha memaparkan kenyataan yang sesungguhnya, dan mengajukan tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang akan terjadi. Semua hal tersebut merupakan perilaku politik.18 Dalam pelaksanaan pemilihan umum suatu Negara maupun dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku pemilih dalam menentukan sikap dan pilihan mereka dalam pelaksanaan pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah tersebut. Perilaku politik dapat dibagi dua, yaitu : 19 1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah 2. Perilaku politik warga Negara (baik individu maupun kelompok) Perilaku politik lembaga pemerintahan bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik. Sedangkan perilaku politik warga negara berhak mempengaruhi perilaku politik lembaga pemerintahan 17 18 19
Sudjono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 2-5
Ramlan Surbakti. 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta. Grasindo. hal 15-16 Ramlan Surbakti. Ibid,hal 16
Universitas Sumatera Utara
menyagkut kebaikan warga Negara. Kegiatan politik yang dilakukan oleh warga negara inilah yang disebut partisipasi politik. Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, kita dapat memilih tiga unit analisis, yaitu : 1. Aktor politik (meliputi aktifitas politik dan individu warga negara biasa) 2. Agregasi politik (meliputi actor politik secara kolektif seperti partai politik birokrasi dan lembaga pemerintah) 3. Tipografi kepribadian politik (meliputi kepribadian pemimpin suatu pemerintahan) Ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku politik, yaitu : 1. Lingkungan sosial politik tak langsung system politik, ekonomi, budaya dan media massa 2. Lingkungan sosial politik langsung yang membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan lain-lain I.5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik Dalam masyarakat yang pluralis budayanya tinggi, seringkali terdapat kegiatan yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan dari sudut pandang yang multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong perilaku politik tidak bersifat determinan, tetapi bersifat memberikan pengaruh. 20 Untuk memahami
faktor-faktor
yang mempengaruhi
perilaku
politik
masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa histories masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak
20
Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., hal. 12
Universitas Sumatera Utara
merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan berkembang sepanjang masa. 21 Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis. Wilayah geografis yang strategis merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain, faktor kemajemukan budaya dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya desintegrasi. Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, perencanaan kebijakan , pengambilan keputusan dan sebagainya. Kondisi ini juga mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi dan teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik, pendidikan politik dan komunikasi politik
masyarakat.
Berdasarkan
inilah
aktor
politik
dituntut
untuk
mempertimbangkan kondisi dan pengambilan keputusan. Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa mereka melakukan sesuatu.
21 22
22
Ibid., hal. 17 Ibid., hal. 20-21
Universitas Sumatera Utara
Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang. 23 Kepercayaan, ideologi dan mitos merupakan citra-citra kolektif dan ide yang bersifat elemen spiritual dan psikologis. 24 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irrasional atau mitos. 25 Ideologi merupakan keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir, yang mencerminkan situasi masyarakat. 26 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citracitra yang singkat dan tidak rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosiemosinya dan bergerak menuju aksi. 27 Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Sistem politik yang cenderung sentralistis akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam mengatasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah pula tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi politik yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.
23
Ibid., h. 25 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147 25 Ibid., h. 148 26 Ibid., h.150 27 Ibid., h.154 24
Universitas Sumatera Utara
Keenam, faktor kepribadian seseorang juga mempengaruhi perilaku politik. Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya, apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional eksternalisasi dan pertahanan diri. Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik. Faktor ini dapat mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang, ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan sosial politik tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan sebgainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang. 28 Selain faktor-faktor tersebut, kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. I.5.3. Partisipasi Politik Partisipasi politik adalah faktor yang menunjukkan apakah pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah berlangsung dengan baik atau tidak., semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan pemilihan umum semakin baik. Dalam analisa politik modern, partisipasi politik merupakan masalah yang penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungan dengan
28
Ibid., h.160
Universitas Sumatera Utara
negara berkembang. Pada awal studi partisipasi politik hanya memfokuskan diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya demokrasi dalam partai politik khususnya dalam hal pengambilan keputusan mengenai kebijakan-kebijakan umum. Secara umum dikatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok untuk ikut serta dalam kehidupan politik. Herbert MsClosky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan kekuasaan dan secara lanngsung atau tidak langsung dalam pembentukan pemilihan umum. 29 Menurut Robert Dahl partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. 30 Berikut ini sejumlah aturan dalam partisipasi politik : 1. Partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku individu warga negara biasa yang diamati bukan perilaku dalam sikap dan orientasi karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. 2. Kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternative kebijakan umum dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. 3. Kegiatan yang berhasil (efektif) ataupun yang gagal mempengaruhi pemerintah dalam konsep partisipasi politik. 4. Kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara. Sedangkan dengan cara tidak langsung yaitu mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat meyakinkan pemerintah. 29
Herbert McClosky, 1959, Political Science Review. London. hal 75-76 Ichlasul Amal, 1996, Teori-teori Mutahir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.hal 19 30
Universitas Sumatera Utara
5. Mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan seperti ikut pemilihan umum, mengajukan petisi, bertatap muka dan menulis surat dengan prosedur yang tidak wajar seperti kekerasan, demonstrasi, mogok, kudeta dan revolusi.
Dinegara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat akan lebih baik. Dalam alam pikiran ini, tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa masyarakat mengikuti dan memehami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat partisipasi politik juga menunjukkan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki kesalahan yang tinggi. Jika sebaliknya rendahnya partisipasi politik disuatu negara dinaggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah politik, selain itu rendahnya politik juga menunjukkan lemahnya legitimasi dari rezim yang berkuasa. 1.5.4. Teori Perilaku Pemilih Pemilih diartikan sebagai pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyaakat yang merasa diwakili oleh suatu ideology tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi politik seperti partai politik dan seorang pimpinan. Menurut Brenan dan Lomasky serta Fiorina menyatakan bahwa keputusan pemilih selama pemilihan umum adlah perilaku “ekspansife” perilaku ini tidak jauh berbeda dengan perilaku supporter yang memberiakn dukungan kepada tim sepakbola. Menurut mereka, perilaku pemilih sangat sipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi. 31 31
Firmanzah. 2007, Marketing politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 105
Universitas Sumatera Utara
Keputusan untuk memberikan dukungan suara dan tidak memberikan suara terjadi pabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang tinggi kepada calon pemimpin. Begitu pula peliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalu mereka menganggap bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal dan tidak konmsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan. Perilaku pemilih juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan partai politik atau kontestan. Masing-masing membawa ideology yang saling berinteraksi. Selam periode kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokan antara ideologi yang dibawa kontestan. Him Melwit mengatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instan, tergantung pada situasi social politik tertentu, tidak berbeda dengan keputusan lain. 32 Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan empat pendekatan yaitu : 1. Pendekatan sosiologis Pendekatan ini didasarkan pada ikatan pemilih dari segi ethnic, ras, agama, keluarga dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan ini menekankan pada dua kelompok aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada partai politik dan citra kandidat. 3. Pendekatan Rasional Pada pendekatan rasional, perilaku politik dapat terjadi kapan saja dan dapat berubah dengan rasionalnya dalam menentukan pilihan pada saat pemilu.
32
Muhammad Afsar, 1996, Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hal 52
Universitas Sumatera Utara
I.5.5. Pemilihan Kepala Daerah 1. Perspektif Teoritis David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi
dan
saling
tergantung
dan
mempunyai
perbatasan
yang
memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagianbagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masingmasing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundangundangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme control, dan mempunyai kemampuan mengatur dan meyesuaikan diri. 2. Perspektif Praktis Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan
Universitas Sumatera Utara
yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, ataupun Walikota/Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah.
33
I.5.6. Terminologi Masyarakat Kata masyarakat dalam bahasa Inggris disebut society berasal dari kata Latin yaitu socius yang berarti kawan. Ini paling lazim ditulis dalam tulisantulisan ilmiah maupun bahasa sehari-hari untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia. “Masyarakat” sendiri berasal dari akar kata Arab yaitu syaraka, yang artinya “ikut serta, berperan serta”. Kata Arab musyaraka berarti saling bergaul. Istilah masyarakat terlalu banyak mencakup hubungan yang luas sehingga walaupun diberi defenisi yang mencakup keseluruhannya masih ada juga yang tidak memenuhi unsur-unsurnya. Berikut adalah berbagai pandangan para sarjana tentang defenisi masyarakat. Ralph Linton mengemukakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. 34
33
34
Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203
Pelly, H. Zainul. 1997. Pengantar Sosiologi. Medan: USU Press Medan. Hal 28
Universitas Sumatera Utara
Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. 35 Herkoyits mendefenisikan masyarakat sebagai kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti cara hidup tertentu. 36 Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama. 37 Maclver menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompokkelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan. Sistem yang kompleks selalu berubah atau jaringan dari relasi sosial itulah yang dinamakan masyarakat. 38 Menurut Paul B. Horton dan C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Bagi Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan yang objektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggotaanggotanya. Masyarakat bukanlah hanya penjumlahan individu-individu semata melainkan suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka; sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-cirinya sendiri. 39 Marion Levy mengemukakan empat Kriteria yang harus dipenuhi agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan melebihi masa hidup seorang individu; (2) rekrutmen seluruh atau sebagian anggota melalui reproduksi (3) kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”
(4)
adanya
system
tindakan
utama
bersama
yang
bersifat
35
Pelly, H. Zainul. 1997. ibid. hal 29 Pelly, H. Zainul. 1997. ibid. hal 29 37 Pelly, H. Zainul. 1997. ibid. hal 29 38 Maclver. 1955. Society, An Introductory Analysis. Hal 5 39 Durkheim, Emile.1964. The Rules, of Sociological Method. New York: Free Press. Hal 102. 36
Universitas Sumatera Utara
“swasembada”. Kemudian Inkeles mengemukakan bahwa suatu kelompok hanya dapat dikatakan sebagai masyarakat bila kelompok tersebut memenuhi keempat Kriteria tersebut; atau bila kelompok tersebut dapat bertahan stabil untuk beberapa generasi walaupun samasekali tidak ada orang atau kelompok lain diluar kelompok tersebut. 40 Talcot Parsons pun merumuskan kriteria bagi adanya masyarakat. Menurutnya masyarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent) melebihi masa hidup individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya. Edward Shils pun menekankan pada aspek pemenuhan keperluan sendiri (self sufficiency) yang dibaginya dalam tiga komponen: pengaturan diri, reproduksi sendiri dan penciptaan diri (self-regulation, self- reproduction, self-generation). 41 Kalau kita merujuk definisi Linton maka masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu-individu yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama. Dalam waktu yang cukup lama itu yang belum terorganisasikan, mengalami proses fundamental yaitu: 42
1. adaptasi dan organisasi dari tingkah laku para anggota
2. timbulnya secara lambat laun, perasaan kelompok atau L’espirit de corps
Proses itu biasanya bekerja tanpa disadari dan diikuti oleh semua anggota kelompok. Untuk tidak simpang siur dalam penggunaan istilah, maka yang dimaksud dengan kelompok (group) disini adalah setiap pengumpulan manusia sosial yang mengadakan relasi sosial antara yang satu dengan yang lain.43 Anggota dari suatu kelompok menunjukkan adanya suatu reprositas. Kelompok 40
Sunarto, Kananto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 56 41 Sunarto, Kananto. 2000. ibid. 42 Prof Harsojo. 1984. Pengantar Antropologi. Bandung: Bina Cipta. Hal. 127 43 Prof Harsojo. 1984. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
seperti yang dimaksud diatas belum terorganisasikan secara sadar. Jadi menurut Linton ada satu faktor yang penting dalam pembentukan suatu masyarakat yaitu faktor waktu. Sebab faktor waktulah yang memberi kesempatan pada individu untuk dapat bekerja sama dan menemukan pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, dan menemukan suatu teknik untuk hidup bersama. Dengan adanya waktu yang cukup lama timbullah syarat yang dimiliki oleh tiap-tiap masyarakat, yaitu proses adaptasi dan organisasi dari kelakuan para anggota kelompok dan disamping itu timbullah kesadaran berkelompok. I.5.7. Masyarakat Perkebunan Masyarakat perkebunan terbentuk karena adanya keinginan pemilik modal atau tuan tanah yang menginginkan karyawan yang bekerja di perkebunan agar tidak meninggalkan daerah perkebunan atau dengan kata lain tetap tinggal di perkebunan. Sehingga karyawan perkebunan tersebut harus tinggal menetap di perkebunan tersebut. Sehingga dalam proses waktu yang lama menimbulkan kesempatan bagi setiap individu untuk dapat bekerja sama dan menemukan pola tingkah laku dan sikap yang bersifat timbal balik, dan menemukan suatu teknik untuk hidup bersama. Dengan adanya waktu yang cukup lama timbullah syarat yang dimiliki oleh tiap-tiap masyarakat, yaitu proses adaptasi dan organisasi dari kelakuan para anggota kelompok dan disamping itu timbullah kesadaran berkelompok. Hal tersebut lah yang dapat dikatakan sebagai masyarakat. Sehingga karyawan perkebunan tersebut disebut masyarakat perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
I.6. Metode Penelitian I.6.1. Narasumber Adapun yang dijadikan narasumber adalah kepala desa Batu Lokong dan Mandor Bagerpang Estate serta 93 responden yang terbagi dalam 5 lingkungan didesa Batu Lokong I. 6.1. Jenis Penelitian Menurut Hadari Nawawi 44 metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
I.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada masyarakat perkebunan yang tinggal di PT.PP Lonsum yang berada di kelurahan Batu Lokong. 44
Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 63
Universitas Sumatera Utara
I.6.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian. b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui bukubuku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini. I.6.4. Teknik Analisa Data Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti. I.7. Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: Deskripsi Lokasi Penelitian Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di PT Lonsum Batu Lokong antara lain berupa sejarah singkat kelurahan, kondisi geografis, demografi penduduk, frofil di PT Lonsum Batu Lokong dan lain-lain. BAB III: Penyajian Data
Universitas Sumatera Utara
Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dideskripsikan secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan BAB IV: Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara