BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilalui oleh busur magmatik akibat adanya zona subduksi aktif yang panjang, mulai dari ujung utara Sumatera hingga Laut Banda, dan pada sebelah barat hingga utara Pulau Sulawesi. Zona busur magmatik tersebut tentu saja menandakan keterdapatan banyaknya aktivitas magmatisme dan volkanisme yang telah dan sedang terjadi, sehingga dapat diketahui bahwa banyak terjadi mineralisasi bijih ekonomis, dengan tipe endapan khususnya berupa endapan epitermal di sepanjang zona tersebut. Endapan epitermal merupakan endapan hasil aktivitas fluida hidrotermal pada kedalaman yang dangkal (mencapai 1 km – 2 km), dengan temperatur berkisar dari <150ºC hingga ~300ºC (White & Hedenquist, 1995). Emas merupakan salah satu komoditi yang bersifat ekonomis dan hingga saat ini masih menjadi sasaran utama dalam eksplorasi dan eksploitasi pada endapan tersebut, karena merupakan komoditi yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi akibat keterdapatannya yang langka. Selain itu, sifatnya yang lunak, mudah ditempa, memiliki warna menarik dengan kekilapan yang tinggi, dan tahan terhadap korosi, menjadikan emas disebut sebagai logam mulia dimana hampir seluruhnya digunakan sebagai perhiasan atau sebagai bahan pelapis benda tertentu sehingga menimbulkan kesan mewah (Kirkemo, 2001). Endapan epitermal juga cukup besar berkontribusi terhadap keterdapatan emas, yaitu kurang lebih sebesar >12% dari cadangan emas di dunia (Arribas & Hedenquist, 2000, dalam Hidayati 2012). Indonesia menempati urutan ke-40, dengan total cadangan emas mencapai 78,1 ton dari total cadangan dunia yang mencapai 30.397,4 ton (World Gold Council, 2014). Endapan epitermal, khususnya epitermal sulfidasi tinggi, saat ini merupakan target eksplorasi yang sangat penting. Pada endapan tersebut, emas dibawa langsung oleh fluida magmatik, umumnya dalam bentuk molekul kompleks Cl (chloride). Adsorpsi air tanah
terhadap
fluida
magmatik
menyebabkan
terbentuknya
hypogen
hydrochloric-sulfuric acid water yang bersifat sangat asam. Reaksi antara fluida hidrotermal dengan batuan samping menyebabkan terjadinya alterasi yang membentuk
1
zona dengan tipe alterasi tertentu, dimana masing – masing tipe alterasi ditandai dengan asosiasi himpunan mineral yang berbeda (Hedenquist et al., 2000). Dengan diketahuinya distribusi masing – masing zona tipe alterasi, dapat pula diketahui zona mineralisasi emas yang terbentuk. Kondisi geologi, khususnya struktur geologi yang ada, dapat memberikan informasi mengenai orientasi, bentuk, distribusi, dan permodelan zona alterasi, sekaligus sebagai feeder structure dan mengontrol mineralisasi di daerah penelitian. Batuan asal, memberikan informasi mengenai host rock dari alterasi yang terbentuk, dan juga berpengaruh terhadap distribusi zona alterasi dan mineralisasi bijih di daerah penelitian (Corbett, 2002). Pada Lapangan Durian, Prospek Bakan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, terdapat endapan emas epitermal sulfidasi tinggi, yang kini dalam tahap pengembangan (produksi dan eksplorasi lebih detail, yang meliputi pemetaan, pengambilan data core, dan data blast hole, untuk mengetahui persebaran, kadar, dan total cadangan endapan emas epitermal sulfidasi tinggi secara lebih lengkap dan terperinci) oleh PT. J – Resources Bolaang Mongondow. Penelitian mengenai endapan tersebut, khususnya mengenai karakteristik endapan secara rinci, masih sangat diperlukan agar diperoleh informasi lebih detail terhadap pembentukan endapan tersebut terkait dengan kondisi geologi yang ada. I.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian didasarkan pada beberapa alasan berikut. 1. Belum adanya penelitian detail mengenai hubungan antara kondisi geologi dengan karakteristik alterasi, mineralisasi bijih, dan paragenesa mineral bijih di daerah penelitian 2. Belum adanya penjelasan detail mengenai genesa endapan epitermal sulfidasi tinggi di daerah penelitian 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Mengetahui kondisi geologi yang mengontrol proses alterasi hidrotermal dan mineralisasi bijih di daerah penelitian 2. Mengetahui tipe dan distribusi zona alterasi dan mineralisasi bijih beserta dengan asosiasi himpunan mineralnya (mineral assemblages) 3. Menginterpretasi genesa endapan epitermal sulfidasi tinggi di daerah penelitian
2
I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain meliputi : 1. Memberikan gambaran kondisi geologi, alterasi, dan mineralisasi bijih di daerah penelitian 2. Dihasilkannya peta geologi dan peta zona alterasi daerah penelitian dengan skala yang lebih besar, yaitu 1:500 3. Memberikan pemahaman mengenai karakteristik alterasi, mineralisasi bijih, dan genesa endapan epitermal sulfidasi tinggi di daerah penelitian, yang dapat dijadikan pertimbangan perusahaan untuk mengembangkan proses produksi emas yang sedang berjalan. I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi penelitian (Gambar 1.1) berada pada wilayah kontrak PT. J – Resources Bolaang Mongondow, yaitu di Pit Durian, Lapangan Durian, Prospek Bakan, dengan koordinat UTM 51N 645000 - 645370 dan 62000 - 62700, luas area 259.000 m2 (700 m x 370 m), dan secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Daerah penelitian dapat dicapai dengan menggunakan jalur udara dari Yogyakarta – Jakarta – Manado (ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam 50 menit), dan dilanjutkan dengan jalur darat menggunakan mobil, yang ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam untuk mencapai areal perusahaan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menggunakan mobil untuk mencapai camp perusahaan yang hanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 15 menit, dan untuk mencapai lokasi penelitian, yaitu Pit Durian, juga dilakukan dengan menggunakan mobil dengan waktu tempuh sekitar 5 menit dari camp. I.6. Ruang Lingkup Penelitian Secara umum, ruang lingkup penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruang lingkup wilayah dan ruang lingkup pembahasan. I.6.1. Ruang Lingkup Wilayah Wilayah penelitian meliputi Pit Durian dan area ekstensi di sekitarnya (Gambar 1.2), Lapangan Durian, Prospek Bakan, Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dengan koordinat UTM 51N 645000 - 645370 dan 62000 – 62700 dan luas area mencapai 259.000 m2 (700 m x 370 m).
3
I.6.2. Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup pembahasan penelitian ini adalah meliputi : 1. Kontrol kondisi geologi terhadap proses serta distribusi alterasi dan mineralisasi bijih di daerah penelitian berdasarkan data hasil pemetaan geologi dan persebaran zona alterasi 2. Karakteristik tipe alterasi beserta mineralisasi bijih dan paragenesa mineral bijih 3. Genesa endapan epitermal sulfidasi tinggi di daerah penelitian berdasarkan data lapangan, analisis laboratorium, dan data sekunder
: Lokasi penelitian
Gambar 1.1. Lokasi penelitian, pada Peta Dinding Provinsi Sulawesi Utara (Bakosurtanal, 2003).
4
Gambar 1.2. Peta topografi area Pit Durian, PT. J – Resources Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (atas ijin dari PT. J – Resources Bolaang Mongondow).
I.7. Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian I.7.1. Penelitian Terdahulu 1. Van Bemmelen (1949) Van Bemmelen (1949) telah melakukan penelitian regional mengenai fisiografi, stratigrafi dan evolusi satuan – satuan fisiografi di Sulawesi, salah satunya pada lengan utara Sulawesi. Lengan utara Sulawesi dapat dibagi menjadi tiga zona atau bagian berdasarkan fisiografinya, yaitu Zona Minahasa (berorientasi timurlaut – baratdaya), Zona Gorontalo (berorientasi timur – barat), dan zona leher lengan utara Sulawesi (berorientasi relatif utara – selatan). Zona Minahasa
5
merupakan zona volkanik aktif, sedangkan Zona Gorontalo merupakan zona volkanik purba, dimana keduanya dibatasi oleh sesar berorientasi baratlaut – tenggara. Zona leher lengan utara Sulawesi memanjang dari Tinombo hingga Parigi, dimana di bagian utara dibatasi oleh Gunung Ogoamas (2.565 mdpl) dan di bagian selatan dibatasi oleh Gunung Sidole (2.199 mdpl). Stratigrafi tersier lengan utara Sulawesi hanya ditemukan pada zona leher lengan utara Sulawesi, yang tersusun dari batugamping pembawa Assilina, dark shale, dan batuan efusif yang ditemukan di dekat Donggulu. Di dekat Tinombo, batugamping pembawa Assilina, Camerina, dan Discocyclina, berinterkalasi dengan batuan partly phyllitic dan argilaceous, sedangkan produk volkanisme berumur Resen – Kuarter, hanya ditemukan di Zona Minahasa. 2. Carlile, et al. (1990) Carlile, et al. (1990), telah melakukan penelitian mengenai busur volkanik Sulawesi Utara, khususnya mengenai hubungan antara tatanan geologi dan karakteristik berbagai tipe endapan emas, beserta eksplorasi geokimia regional (stream sediments, pan concentrates, dan rock float and outcrop) dan hasilnya, yang telah diterapkan pada busur volkanik Sulawesi Utara. Lengan utara Sulawesi dan Busur Sangihe dapat dibagi menjadi empat zona berdasarkan litologi dan struktur geologi yang berperan, yaitu Zona Marisa, yang terbentuk pada lingkungan ensialik (tepi benua), dan tersusun oleh batuan volkanik dan batuan dasar quartzo – feldspatic, Zona Gorontalo, Minahasa, dan Zona Sangihe, yang terbentuk pada lingkungan ensimatik (busur kepulauan), dengan batuan dasar berupa batuan beku basaltik yang terbentuk di laut, batuan volkanik, serta intrusi andesit dan diorit. Secara umum, lengan utara Sulawesi tersusun oleh dua sesar, yaitu sesar geser dekstral berorientasi baratlaut – tenggara dan sesar turun berorientasi barat – timur, yang berhubungan dengan peristiwa uplift dan downdrop yang berpengaruh terhadap preservasi dan penghancuran mineralisasi. Terdapat empat jenis mineralisasi emas di Sulawesi Utara, yaitu emas pada endapan porfiri Cu – Au, endapan epitermal sulfidasi rendah – tinggi, serta emas pada urat sulfida dan breksi hidrotermal yang berdekatan dengan kontak intrusi. 3. Kavalieris, et al. (1992) Kavalieris, et al. (1992) telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara berbagai macam tipe mineralisasi dan tatanan geologi (meliputi kondisi
6
tektonik beserta magmatisme dan volkanisme) di lengan utara Sulawesi. Terdapat beberapa macam mineralisasi di lengan utara Sulawesi, pertama, adalah porfiri Cu – Au yang terbentuk akibat magmatisme berumur Miosen Atas hingga Pliosen, oleh subduksi dangkal di utara Pulau Sulawesi. Mineralisasi tersebut berasosiasi dengan skarn Cu – Au, pollymetalic vein, dan emas (Au) epitermal sulfidasi tinggi. Kedua, yaitu porfiri Mo pada leher lengan utara Sulawesi, yang terbentuk setelah terjadinya tumbukan antara mikrokontinen Sula dengan Sulawesi bagian timur (pada lingkungan tektonik ekstensi), dan berasosiasi dengan intrusi granit, yang juga berumur Miosen Atas hingga Pliosen. Selanjutnya, mineralisasi emas (Au) epitermal sulfidasi tinggi, dimana keterdapatan paling penting adalah pada Kotamobagu, yang berasosiasi dengan produk volkanisme andesitik dan diperkirakan
terletak
pada
Kaldera
Gunung
Moat.
Mineralisasi
VMS
(Volcanogenic Massive Sulfide) diperkirakan terbentuk pada Oligosen Atas dan berhubungan dengan magmatisme bawah laut yang berlangsung selama pemisahan Sulawesi dari Kalimantan. Terdapat pula mineralisasi emas metamorfogenik di leher lengan utara Sulawesi. 4. Apandi & Bachri (1997) Apandi & Bachri (1997) telah membuat peta geologi lembar Kotamobagu skala 1:250.000 edisi ke-2 yang memuat hubungan tiap formasi batuan beserta anggota formasi yang ada dan urutan formasi berdasarkan umurnya. 5. Idrus, dkk. (2011) Idrus, dkk. (2011) telah melakukan kajian mengenai potensi dan metalogenesis endapan bijih hidrotermal, khususnya pada busur magmatik Neogen Sulawesi bagian barat, dan metamorphic – hosted deposit lengan Sulawesi bagian tenggara – tengah. Kompleksitas tektonik dan magmatisme di Sulawesi ditandai dengan keterdapatan berbagai macam tipe deposit mineral bijih, salah satunya adalah pada busur magmatik Sulawesi Utara – Sangihe, yang merupakan zona yang memiliki banyak tipe endapan, seperti endapan porfiri Cu – Au, emas (Au) epitermal, VMS (Volcanogenic Massive Sulfide) tipe Kuroko, skarn, dan sediment hosted Au tipe Carlin. Endapan emas epitermal sulfidasi tinggi di Busur Sulawesi Utara dan Sangihe dapat ditemukan di Motomboto, Gunung Simbalang, Kotamobagu, dan Binebase. Endapan emas epitermal sulfidasi tinggi di
7
Kotamobagu (Prospek Riska) memiliki total cadangan mineral bijih 14,2 MT @ 1,4 g/t Au dan 4,4 g/t Ag, dan tidak berasosiasi dengan mineralisasi porfiri. 6. Hardjana (2012) Hardjana (2012) membahas secara umum mengenai kondisi geologi, karakteristik alterasi, mineralisasi bijih, dan estimasi emas di prospek Bakan, berdasarkan data pemetaan geologi dan alterasi, soil geochemistry, stream sediment sampling, dan data hasil eksplorasi perusahaan lain, seperti Avocet dan Newmont. Distrik Bakan didominasi oleh endapan Au – Ag epitermal sulfidasi tinggi dengan bentuk diseminasi pada alterasi vuggy silica dan silika - alunit, yang berada pada batuan asal berupa tuf dasitik berumur Pliosen – Pleistosen, yang merupakan bagian dari Sekuen Bakan. Pembentukan endapan tersebut dipengaruhi oleh sesar konjugat berorintasi baratlaut – tenggara dan utara-timurlaut – selatan-baratdaya, dengan dip mendekati vertikal. Pada Prospek Durian, selain sesar – sesar tersebut, juga terdapat sesar berorientasi timur-timurlaut – baratdaya-barat, yang terbentuk lebih akhir dan menyebabkan adanya pergeseran dekstral terhadap tubuh bijih (orebody) yang ada. Umumnya, breksi hidrotermal yang ditemukan di Prospek Camp, Osela, dan Durian, menjadi tempat kadar bijih yang tinggi ditemukan. 7. Van Leeuwen & Pieters (2012) Van Leeuwen & Pieters (2012) meneliti Sulawesi secara detail meliputi kondisi geologi dan berbagai macam tipe endapan di Sulawesi, salah satunya adalah mengenai endapan Au – Ag Epitermal Sulfidasi Tinggi di Distrik Bakan. Sama halnya dengan Hardjana (2012), Van Leeuwen & Pieters (2012) berpendapat bahwa distrik tersebut didominasi oleh sesar konjugat berorientasi baratlaut – tenggara dan utara-timurlaut – selatan-baratdaya, dengan dip subvertikal, yang diperkirakan sebagai jalan utama fluida hidrotermal untuk naik dan membentuk zona alterasi dengan luasan 2,5 x 3,5 km, dimulai dari alterasi vuggy silica (di bagian pusat), silika – alunit, kaolinit – alunit, dan smektit – ilit, semakin ke arah luar (menjauhi sesar). Pada distrik tersebut, emas dan perak ditemukan dengan bentuk diseminasi, yang berasosiasi dengan pirit, dan enargit serta kovelit (pada kedalaman yang lebih besar). Pengkayaan emas juga terjadi akibat proses supergen, yang dibuktikan dengan keterdapatan emas yang berasosiasi dengan limonit, goetit, dan supergene clays pada rongga – rongga batuan (vugs dan cavities).
8
I.7.2. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai geologi dan mineralisasi emas sulfida secara regional di Prospek Bakan, Sulawesi Utara telah dilakukan oleh Hardjana (2012), yang juga mengacu pada penelitian Van Leeuwen & Pieters (2012). Hardjana (2012) membahas secara umum mengenai kondisi geologi, karakteristik alterasi, mineralisasi bijih, dan estimasi emas di prospek tersebut, berdasarkan data pemetaan geologi dan alterasi (skala 1 : 25.000), soil geochemistry, stream sediment sampling, dan data hasil eksplorasi perusahaan lain, seperti Avocet dan Newmont. Dengan demikian, penelitian yang berjudul “Geologi serta Karakteristik Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi Bijih pada Endapan Emas Epitermal Sulfidasi Tinggi di Lapangan Durian, Prospek Bakan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara” ini, lebih difokuskan pada informasi lebih rinci meliputi kondisi geologi pengontrol alterasi hidrotermal dan mineralisasi bijih, tipe dan distribusi zona alterasi dan mineralisasi bijih beserta dengan asosiasi himpunan mineralnya, dan genesa endapan epitermal sulfidasi tinggi (termasuk paragenesa mineral bijih). Untuk dapat melakukan interpretasi detail terkait fokus tersebut, penelitian ini dilakukan berdasarkan kombinasi data lapangan (peta geologi dan peta zona alterasi, dengan skala 1:500), data sekunder, dan hasil analisis laboratorium (analisis petrografi, mikroskopi bijih, dan analisis data XRD (X-ray Diffraction Analysis)).
9