BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu bangunan penampung air yang dibentuk dari berbagai batuan dan tanah. Air yang dibendung akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat antara lain dijadikan pembangkit tenaga listrik (PLTA), penyediaan air bersih, tempat rekreasi, pengendali banjir, dan sebagainya. Salah satu bendungan yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Waduk Sermo dan telah dioperasikan sejak tahun 1996. Waduk ini terletak di wilayah Desa Hargowilis, Kokap Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Yogyakarta, Indonesia. Lokasi Bendungan Sermo meliputi wilayah Sungai Progo, Sesar Opak, Kabupaten Kulon Progo. Wilayah cakupan Waduk Sermo berada pada 110 ° 1 ' sampai 110° 16' Bujur Timur dan 7° 38' sampai dengan 7° 59' Lintang Selatan. Waduk Sermo merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Kulonprogo, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 November 1996 dengan membendung Sungai Ngrancah. Sejak saat itu Waduk Sermo menjadi sumber air utama bagi pertanian di daerah sekitarnya. Luas genangan air Waduk Sermo menurut Pemkab Kulon Progo adalah kurang lebih 157 Ha dengan kondisi air yang masih jernih serta bentuknya berkelok-kelok. Waduk ini dapat menampung air 25 juta meter kubik dan dibangun selama dua tahun delapan bulan (Anonim, 2013). Waduk Sermo memiliki berbagai macam fungsi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah sebagai penampung air yang disalurkan PDAM untuk air bersih, irigasi atau pengairan, serta pencegah banjir. Adanya jalan lingkar aspal sepanjang 21 km menjadikan waduk ini berfungsi juga sebagai tempat olah raga (Anonim, 2008). Konstruksi waduk berukuran lebar atas 8m, lebar bawah 250 m, panjang 190 m, dan tinggi 56 m (Balai Pengelola Sumber Daya Air dan Sungai Provinsi DIY, 1997). Seperti diketahui bahwa tubuh waduk akan mengalami tekanan dari efek tekanan air waduk serta penurunan material tanah. Akibat gaya tekanan ini maka tubuh waduk kemungkinan akan dapat mengalami deformasi atau pergeseran baik itu
1
2
ke arah horisontal maupun ke arah vertikal. Deformasi yang cukup besar akan mengakibatkan banyak kerugian seperti terjadinya keretakan pada struktur bangunan waduk, longsor, kerugian finansial dan bahkan korban jiwa. Bendungan memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan suatu bentuk pemeliharaan dan perawatan yang memadai guna menghindari kerusakan pada bendungan tersebut. Salah satu bentuk pemeliharaan dan perawatan tersebut salah satunya adalah dengan melakukan pemantauan deformasi pada tubuh bendungan. Deformasi mungkin disebabkan oleh gempa bumi, retakan, pergeseran lempeng, level air tinggi - rendah, rembesan atau kebocoran. Prinsip pemantauan deformasi dengan pendekatan geodetik menggunakan metode triangulaterasi memakai Total Station dan waktu pengamatan minimal dua epok, yaitu dengan menempatkan beberapa titik kontrol di beberapa lokasi yang dipilih disekitar Waduk Sermo secara periodik untuk ditentukan koordinatnya secara teliti. Dengan mempelajari pola dan besar perubahan koordinat dari titik-titik kontrol tersebut berdasarkan survei yang satu ke survei berikutnya, maka karakteristik deformasi bendungan akan dapat dihitung dan dipelajari lebih lanjut. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya. Diawali pada tahun 2010 yang telah dibangun kerangka kontrol untuk keperluan pemantauan titik pantau dan sekaligus dilakukan pemantauan pergeseran titik pantau di tubuh Waduk Sermo dengan menggunakan metode radial (Yulaikhah dan Parseno, 2010). Namun hasil ketelitian koordinat yang diperoleh kurang teliti dan perubahan koordinat yang terjadi tidak memiliki pola tertentu, sehingga belum bisa disimpulkan bahwa perubahan koordinat yang terjadi disebabkan oleh adanya deformasi. Pada tahun 2012 dilakukan penelitian untuk menganalisis kestabilan jaring kerangka kontrol deformasi, namun ada beberapa kendala, antara lain ada beberapa titik kontrol yang tidak saling terlihat dan ada titik yang hilang, oleh karena itu penelitian difokuskan pada pengembangan jaring titik kontrol. Penelitian pengembangan jaring titik kontrol telah dilakukan, sehingga pada penelitian ini dilanjutkan dengan melakukan pemantauan kerangka kontrol dan melakukan analisis kestabilan jaring kerangka kontrol berdasarkan data tahun 2012 dan 2013.
3
I.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapa besar pergeseran horisontal serta ketelitiannya dari titik-titik kontrol Waduk Sermo berdasarkan hasil pengukuran terestris pada epok 2012 dan 2013 jika dilakukan dengan menggunakan hitung perataan parameter berbobot? 2. Apakah besar pergeseran horisontal yang terjadi selama 1 tahun dari titik-titik kontrol Waduk Sermo berdasarkan perhitungan deformasi antara epok 2012 dan 2013 menggunakan hitung perataan parameter berbobot signifikan secara statistik?
1.3. Pembatasan Masalah Beberapa hal yang dijadikan sebagai pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Akuisi data dilakukan dengan menggunakan alat ukur Total Station Nikon DTM 322 menggunakan metode triangulaterasi. 2. Analisis pergeseran titik-titik kontrol hanya sebatas pada pergeseran horisontal atau pada posisi koordinat 2D (X,Y). 3. Metode hitungan yang digunakan untuk estimasi nilai koordinat 2D adalah hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot. 4. Kerangka
dasar
yang
digunakan
untuk
pemantauan
deformasi
menggunakan kerangka dasar relatif. 5. Analisis deformasi dilakukan dengan melakukan hitungan beda absis dan ordinat dari data pengamatan untuk setiap kala pengukuran, pengujian kesebangunan jaringan, dan pengujian pergesaran titik-titik kontrol.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini meliputi : 1. Mengetahui besar pergeseran horisontal setiap titik-titik kontrol di sekitar Waduk Sermo antara tahun 2012 – 2013.
4
2. Mengevaluasi besar pergeseran horisontal yang terjadi menggunakan uji kesebangunan jaring, untuk melihat apakah pergeseran yang terjadi disebabkan oleh pergeseran titik.
1.5. Manfaat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Untuk bidang akademik, yaitu diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan pengukuran survei deformasi dan pengolahan analisis pergeseran horisontal. 2. Manfaat lainnya adalah untuk bidang konservasi, yaitu yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya besar pergeseran horisontal di sekitar Waduk Sermo, maka dapat digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap titik pantau dalam studi deformasi dan dapat digunakan untuk melakukan pemantauan dan pemeliharaan Waduk Sermo kedepannya sebagai antisipasi dampak negatif dan kerugian yang mungkin terjadi.
1.6. Tinjauan Pustaka Setiap struktur bangunan yang dibuat di permukaan tanah akan mengalami pergeseran atau perubahan baik itu ke arah horisontal maupun ke arah vertikal. Pergeseran tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain oleh suatu gaya eksternal/gaya dari luar sistem bangunan dan juga gaya internal/gaya dari dalam bangunan itu sendiri. Contoh gaya eksternal adalah aktivitas gerakan kulit bumi, sedangkan contoh dari gaya internal adalah berat massa struktur bangunan itu sendiri (Widjajanti, 2001). Waduk Sermo pada perencanaanya dapat berumur 50 tahun guna menampung air sungai (irigasi), sekarang ini kondisinya mengalami penurunan kapasitas yang disebabkan
adanya
penumpukan
sedimen
tanah.
Faktor
fisiografis
yang
menyebabkan erosi tanah permukaan menjadi sumber terbesar sedimentasi daerah aliran sungai seperti, air hujan, naik-turunya permukaan air, drainase, iklim, dan topografi kawasan. Faktor sosial yaitu adanya aktifitas masyarakat seperti,
5
pengolahan tanah, penebangan pohon di daerah tangkapan air (catchment area) baik hutan rakyat, perhutani, pertanian tumpang sari pada tanah di tepi genangan. Pengaruh dari beberapa faktor di atas dapat merugikan dan menghilangkan peran serta fungsi dari waduk. Tanah yang tersebar pada tepian waduk dengan tipe longsoran di antaranya longsoran batuan (rock slide), gerakan tanah (soil creep), longsoran tanah (land slide), longsoran masa tanah (debris slide), runtuhan batu/masa tanah (rock/debris fall) dan longsoran lumpur (slump slide). Melihat permasalahan di atas, untuk pemeliharaan Waduk Sermo perlu dilakukan penelitian tentang pergeseran pada kawasan Waduk Sermo. Adapun beberapa penelitian yang terkait dengan pergeseran horisontal diantaranya adalah Yulaikhah dan Parseno (2010) telah membangun kerangka kontrol untuk keperluan pemantauan titik pantau dan sekaligus dilakukan pemantauan pergeseran titik pantau di tubuh bendungan dengan menggunakan metode radial. Namun ketelitian koordinat yang dihasilkan masih kurang teliti dan perubahan koordinat yang terjadi tidak memiliki pola tertentu. Hendrawan (2010) yang melakukan analisis pergeseran Waduk Sermo menggunakan data yang diperoleh langsung dari pengukuran tubuh bendungan (main dam) berupa data jarak datar, jarak miring, dan sudut horisontal masing-masing titik kontrol bendungan. Metode yang digunakan adalah metode radial. Pengukuran dilakukan dalam 2 epok pengamatan yaitu epok pertama yang dilakukan pada tanggal 15 Mei 2010 dan pengukuran epok dua pada tanggal 16 September 2010. Metode hitungan yang digunakan adalah metode hitung kuadrat terkecil dengan pendekatan parameter. Proses analisis dilakukan melalui uji statistik yaitu uji blunder atau data snooping dan uji pergeseran titik obyek. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa titik pantau secara statistik dan numeris mengalami pergeseran. Hasil analisis pergeseran titik ditunjukkan bahwa semua titik pantau mengalami pergeseran. Prayoga (2011) dalam penelitiannya mengkaji tentang deformasi horisontal bendungan Sermo yang berupa analisis pergeseran horisontal pada tubuh Waduk Sermo yang dilakukan dengan pendekatan geodesi berdasarkan data pengamatan tahun 2010 dan data tahun 2011. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh perubahan
6
koordinat yang terjadi tidak memiliki pola tertentu. Kesimpulan secara keseluruhan titik kontrol tidak mengalami pergeseran. Yulaikhah dan Parseno (2011) dalam penelitiannya melakukan pengukuran titik pantau kembali dengan menggunakan metode radial dan pemotongan. Namun demikian dari hasil kedua pengukuran tersebut ketelitian koordinat yang diperoleh tidak teliti, sehingga belum bisa disimpulkan bahwa perubahan koordinat yang terjadi benar-benar karena adanya deformasi. Perubahan koordinat yang terjadi tidak memiliki pola tertentu. Salah satu kemungkinan disebabkan oleh asumsi yang digunakan bahwa kerangka kontrol yang digunakan adalah tetap atau tidak bergeser, sehingga kesimpulannya perlu dilakukan analisis pergeseran titik kontrol deformasi pada Waduk Sermo. Selanjutnya pada penelitian yang penulis lakukan adalah melakukan evaluasi yang menganggap bahwa adanya pergeseran pada titik kontrolnya. Yulaikhah dan Parseno (2012) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis kestabilan jaring kerangka kontrol deformasi yang selanjutnya titik kontrol ini digunakan sebagai ikatan untuk pemantauan pergeseran titik-titik pantau. Namun beberapa kendala ditemui di lapangan diantaranya beberapa titik kontrol yang ada tidak saling terlihat bahkan telah hilang, sehingga penelitian lebih difokuskan pada pengembangan jaring titik kontrol. Karena penelitian sebelumnya hanya difokuskan pada pengembangan jaring titik kontrol, maka untuk penelitian saat ini perlu dilakukan analisis kestabilan atau kesebangunan jaring berdasarkan data pengamatan tahun 2012 dan 2013. Yulaikhah dan Ruli (2013) pada penelitiannya melakukan pemantauan titik – titik kontrol di sekitar Waduk Sermo menggunakan metode pengukuran triangulaterasi. Hasil dari pemantauan tersebut adalah data jarak horisontal dan sudut horisontal. Tujuan dari penlitian ini adalah menganalisis besar dan arah pergeseran horisontal berdasarkan data ukuran tahun 2012 dan 2013 dengan metode hitung perataan minimum constraint. Hasil dari analisis tersebut adalah telah terjadi pergeseran horisontal pada semua titik kontrol, namun masih perlu data pendukung yang lain untuk penelitian tersebut, agar hasilnya realistis . Pada penelitian tersebut kerangka dasar yang digunakan adalah kerangka dasar absolut, sedangkan untuk penelitian saat ini menggunakan kerangka dasar relatif dengan metode hitung
7
perataan parameter berbobot. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ditunjukkan seperti pada Tabel I.1. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan estimasi koordinat 2D titik-titik kontrol dengan menggunakan hitung kudrat terkecil metode parameter berbobot. Hitung kuadrat terkecil menyatakan bahwa jumlah kuadrat koreksi pengamatan adalah minimum dan perataan dilakukan terhadap ukuran yang dipengaruhi kesalahan acak. Oleh karena itu perlu dilakukan tahap pengujian untuk memeriksa ada tidaknya pengaruh kesalahan tak acak terhadap data pengamatan. Apabila telah lolos uji, maka estimasi koordinat 2D dan ketelitiannya dapat digunakan untuk analisis pergeseran horisontal. Analisis yang dilakukan menggunakan uji kesebangunan jaring dan uji pergeseran titik menggunakan derajat kepercayaan 95 %, untuk mengetahui apakah pergeseran titik yang terjadi benar disebabkan karena deformasi.
8
Tabel I.1. Pembeda penelitian pergeseran horisontal Waduk Sermo Yulaikhah dan Parseno (2010)
Pada penelitian ini dengan membangun kerangka kontrol dan memantau pergeseran titik pantau dengan metode radial, tetapi ketelitian koordinat yang dihasilkan masih kurang teliti.
Hendrawan (2010)
Prayoga (2011)
Hendrawan melakukan analisis pergeseran horisontal Waduk Sermo menggunakan metode radial. Pengukuran dilakukan pada bulan Mei 2010 dan September 2010. Hasil analisis menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran titik
Prayoga meneliti tentang deformasi horisontal Bendungan Sermo dengan pendekatan geodesi berdasarkan data pengamatan tahun 2010 dan 2011. Hasilnya titik kontrol tidak
Yulaikhah dan Parseno
Yulaikhah dan Parseno (2012)
Yulaikhah dan Ruli (2013)
(2011) Melakukan pengukuran titik pantau menggunakan metode radial dan pemotongan. Namun hasil kedua pengukuran yang diperoleh memiliki ketelitian koordinat yang tidak teliti, sehingga belum bisa disimpulkan bahwa perubahan koordinat yang terjadi benar-benar karena adanya
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kestabilan jaring kerangka kontrol deformasi yang selanjutnya titik – titik kontrol ini sebagai ikatan untuk pemantauan pergeseran titik – titik pantau. Namun beberapa kendala ditemui dilapangan diantaranya beberapa titik kontrol tidak saling terlihat bahkan telah hilang, sehingga penelitian lebih difokuskan pada pengembangan jaring
Pada penelitiannya melakukan pemantauan titik – titik kontrol menggunakan metode triangulasi pada tahun 2012 dan 2013. Pengolahan data ukuran menggunakan metode hitung perataan minimal constraint. Kesimpulannya telah terjadi pergeseran horisontal pada semua titik kontrol. Namun masih perlu data pendukung lain yang berkaitan dengan penelitian ini, agar hasil yang didapat benar-benar realistis
9
mengalami pergeseran.
deformasi.
titik kontrol
10
1.7 Landasan Teori I.7.1. Jaring Kontrol Horisontal Jaring kontrol horisontal adalah sekumpulan dari beberapa titik kontrol horisontal yang satu sama lainnya diikatkan dengan data ukuran jarak dan/atau sudut, dan koordinatnya ditentukan dengan metode pengukuran/pengamatan tertentu dalam suatu sistem referensi koordinat horisontal tertentu. Pengadaan jaring kontrol horisontal ini dapat dilakukan dengan metode terestris, maupun extra-terestrial (SNI, 19-6724-2002). Jaring kerangka kontrol horisontal memiliki tingkat ketelitian yang berbedabeda tergantung dari orde jaring kontrol horisontal tersebut. Orde jaringan adalah atribut yang mengkarakterisasi tingkat ketelititan (akurasi) jaring, yaitu tingkat kedekatan jaring tersebut terhadap titik kontrol yang sudah ada yang digunakan sebagai referensi (BSN, 2002). Jaring kerangka horisontal dapat juga dipakai untuk kerangka dasar pemantauan deformasi dan studi pergerakan massa tanah lainnya. Pemilihan dan pemakaiannya ditentukan oleh banyak faktor, antara lain luas daerah yang dipetakan, ketersediaan peralatan dan kemudahan perhitungan. Dalam pengukuran jaring kontrol horisontal, ada berbagai metode yang dapat digunakan, antara lain metode terestris dan extra-terestris. Bentuk jaring yang sering digunakan yaitu poligon, triangulasi, trilaterasi, triangulaterasi, pemotongan ke muka, dan pemotongan ke belakang (Basuki, 2006).
1.7.2. Metode Triangulaterasi Metode triangulaterasi merupakan salah satu metode penentuan posisi dimana titik – titik yang akan ditentukan posisinya terbentuk dalam suatu jaring segitiga atau kombinasi dengan jaring kuadrilateral. Posisi titik ditentukan dengan melakukan pengukuran jarak dan sudut pada setiap titik - titik pengamatan (Yulaikhah, 2013).
11
4 Gambar I.1. Contoh jaring triangulaterasi Keterangan : =
: titik yang diketahui koordinatnya
=
: titik yang dicari koordinatnya
D1, D2,D3,D4, D5
: jarak
Az1
: azimut Titik 12
S1, S2, S3,S4, S5, S6: sudut horisontal Konsep hitungan triangulaterasi menggunakan konsep dasar hitungan poligon tertutup, sebagai berikut : X2 = X1 + D1 sin Az1 + koreksi absis (ΔX) .............................................................. (I.1) Y2 = Y1 + D1 cos Az1 + koreksi ordinat (ΔY) .......................................................... (I.2) Dengan konsep yang sama, azimuth sisi jaring dan koordinat titik – titik jaring yang lain dapat ditentukan dengan menggunakan besaran ukuran sudut dan besaran ukuran jarak yang sesuai.
1.7.3. Survei Deformasi Survei deformasi merupakan perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut maupun relatif, dan lebih disebabkan oleh adanya pergerakan lempeng. Pergerakan secara absolut adalah gerakan pada suatu sistem referensi tertentu yang dilihat dari titik itu sendiri, sedangkan pergerakan secara relatif adalah gerakan pada suatu sistem referensi tertentu yang dilihat dari titik lain. Efek-efek dari penyebab deformasi atau pergeseran pada suatu materi akan menciptakan reaksi yang sebanding dengan sifat geometrik dan jenis material dari materi yang terdeformasi tersebut. Beban atau gaya berat materi merupakan gaya
12
penyebab deformasi. Bekerjanya gaya berat pada suatu materi yang disertai pengaruh gaya berat dari materi disekitarnya dalam suatu selang waktu akan mempengaruhi bentuk geometri materi tersebut. Reaksi yang terjadi mempengaruhi posisi, bentuk, dan dimensi materi yang terdeformasi. Analisis deformasi dari aspek geometri, perlu menerapkan kerangka dasar. Perlu dilakukan kajian mengenai kerangka dasar yang digunakan dalam melakukan analisis deformasi. Analisis deformasi bertujuan untuk menentukan kuantifikasi pergeseran dan parameter-parameter deformasi, yang mempunyai karakteristik dalam ruang dan waktu. Penyelidikan deformasi pada suatu objek pengamatan biasanya dilakukan berulang pada epok yang berbeda. Pengukuran pada masing-masing epok tersebut kemudian dapat diratakan secara terpisah pada masing-masing epok maupun perataan langsung dari dua epok. Berdasarkan hasil pengukuran berulang tersebut, akan didapat perbedaan koordinat titik-titik kontrol (dalam hal ini pergeseran) sehingga besar dan parameter-parameter deformasi dapat ditentukan (Widjajanti, 1997).
1.7.4. Kerangka Dasar Pemantauan Deformasi Kerangka dasar yang dapat digunakan untuk keperluan analisis deformasi yaitu kerangka dasar absolut dan kerangka dasar relatif. Deformasi dapat didefinisikan perubahan bentuk kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut maupun relatif. Strategi dalam pemilihan jenis kerangka dasar ini diperlukan agar diperoleh nilai parameter-parameter deformasi yang benar. Pemilihan kerangka dasar untuk monitoring deformasi penentuan stabilitas titik referensi merupakan salah satu masalah utama. Mengikat semua posisi titik di atas permukaan bumi mengalami pergerakan maka pada analisis kerangka dasar semua titik harus diperlukan sebagai titik yang tidak stabil (Caspary, 1987). Kerangka ini digunakan untuk menentukan besar perubahan yang terjadi terhadap suatu referensi yang sama pada semua kala pengamatan. Terdapat dua jenis kerangka dasar yang digunakan untuk melakukan analisis pergeseran, meliputi (Widjajanti, 2001) :
13
1. Kerangka Dasar Absolut Suatu kerangka dimana titik-titik kontrol yang digunakan sebagai titik referensi terletak di luar area obyek pengamatan deformasi yang posisinya dianggap stabil (Gambar I.2). Area terdeformasi
Area tidak terdeformasi
Gambar I.2. Kerangka dasar absolut (modifikasi Yulaikhah dan Parseno, 2010)
Pada kerangka dasar absolut, analisis deformasi bertujuan untuk menentukan perpindahan titik obyek relatif terhadap titik referensi. Pada kerangka dasar absolut, analisis deformasi bertujuan untuk menentukan perpindahan titik obyek relatif terhadap titik referensi. Tahapan analisis deformasi pada kerangka dasar absolut adalah sebagai berikut (Widjajanti, 2001) : a. Pemilihan titik-titik referensi dan mengeliminasi titik - titik yang tidak stabil. b. Pemilihan titik – titik obyek untuk pergeseran titik tunggal, mengabaikan titik – titik lain atau permodelan pergerakannya. c. Perancangan model deformasi menyangkut pergerakan dan deformasi benda kaku yang menjadi obyek. d. Pengujian model deformasi melalui uji statistik. 2. Kerangka Dasar Relatif Suatu kerangka dimana titik-titik kontrol yang digunakan sebagai titik referensi terletak di dalam area pengamatan deformasi, sehingga posisinya dianggap tidak stabil atau mengalami pergeseran. Pada kerangka dasar relatif, analisis deformasi dilakukan untuk menentukan pergeseran relatif antara kedua blok. Pada kerangka
14
dasar relatif, analisis deformasi dilakukan untuk menentukan pergeseran relatif antara kedua blok (Gambar I.3).
Area terdeformasi
Gambar I.3. Kerangka dasar relatif (modifikasi Yulaikhah dan Parseno, 2010)
Tahapan analisis deformasi pada kerangka dasar relative adalah sebagai berikut (Widjajanti, 2001) : a. Pemilihan titik-titik obyek untuk pergeseran titik tunggal, mengabaikan titik lain atau permodelan pergerakannya. b. Perancangan model deformasi menyangkut pergerakan deformasi obyek. c. Pengujian model deformasi melalui uji statistik. Pada prinsipnya beban terhadap benda terdeformasi (Deformable Body) adalah suatu gaya yang melakukan aksi terhadap benda padat sehingga menyebabkan terjadinya deformasi. Sehingga diperlukan pengamatan geodetik untuk pemantauan deformasi dengan menggunakan salah satu jenis kerangka dasar deformasi.
1.7.5. Analisis Deformasi Apabila suatu benda mengalami deformasi maka dapat dilakukan analisis dengan 2 macam cara, yaitu: intrepretasi fisik dan analisis geometri. Intrepretasi fisik adalah proses penerjemahan secara fisis terhadap sifat materi yang mengalami deformasi tegangan (stress) yang terjadi pada materi, hubungan fungsional antara beban dan deformasi yang terjadi dimana sifat materi yang terdeformasi terdiri atas 2 macam, yaitu:
15
1.
Plastik (kaku).
2.
Elastik (lentur). Analisis geometri lebih menekankan penentuan parameter deformasi dengan
jalan mentransformasikan perubahan posisi ke dalam bentuk parameter-parameter deformasi meliputi translasi, rotasi dan regangan. Interpretasi fisik dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu: penentuan metode dan metode statistika. Penentuan
metode
pada
umumnya
adalah
metode
deterministik.
Metode
deterministik adalah metode operasional yang menggunakan informasi yang berkaitan dengan beban, sifat-sifat materi, geometri benda dan hukum fisis yang berlaku untuk tegangan - regangan (Stress - Strain). Sedangkan metode statistika dinamakan juga metode analisis regresi yang menitikberatkan pembahasannya pada analisis korelasi antara besaran deformasi antara besaran deformasi (displacement) dan besaran beban (load) penyebab terjadinya deformasi. Terkait dengan pergeseran titik, maka deformasi merupakan pergerakan suatu titik pada suatu benda dimana titik terletak pada sistem referensi tertentu artinya titik tersebut memiliki posisi dalam sistem koordinat tertentu. Induk dari deformasi adalah dinamika bumi yang mengalami banyak perubahan yang diakibatkan kondisi yang tidak stabil dari lempeng bumi. Dinamika bumi terbagi menjadi 3 skala, yaitu: skala global, skala regional dan skala lokal. Skala global mencakup gerakan antar benua, skala regional mencakup gerakan antar pulau dan skala lokal mencakup gerakan tanah pada tempat tertentu (Wahyuningtias, 1996). Pada skala lokal inilah terdapat studi analisis deformasi terpadu. Untuk dapat memahami pengertian analisis deformasi terpadu diperlukan pemahaman makna kata dari analisis, deformasi dan terpadu. Hal ini dikarenakan pengertian analisis deformasi berbeda dengan pengertian analisis pengkajian suatu obyek. Analisis adalah penarikan suatu kesimpulan tentang karakteristik dari struktur fenomena secara keseluruhan dari unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuk struktur tersebut. Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi dan dimensi dari suatu benda (Kuang, 1996). Berdasarkan definisi tersebut, deformasi dapat diartikan sebagai perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu benda secara absolut maupun relatif (Ma’ruf, 2001).
16
Analisis deformasi adalah metodologi (hal-hal yang berkaitan metode) untuk menentukan parameter-parameter deformasi. Ada 2 macam metode pendekatan yaitu pendekatan geodetik dan pendekatan fisis. Ciri khas pendekatan geodetik adalah penerapan konsep sebagai berikut: 1.
Pendekatan stokastik.
2.
Penentuan posisi.
3.
Kerangka referensi, sistem referensi, kerangka koordinat dan sistem koordinat.
4.
Kerangka dasar horisontal dan vertikal dan bentuk geometri beserta ukuran lebih.
Analisis geometrik untuk menentukan perubahan materi yang terdeformasi diperlukan kerangka referensi. Kerangka ini digunakan untuk menentukan besar perubahan yang terjadi terhadap suatu referensi yang sama pada semua kala pengamatan. Penggunaan kerangka dasar relatif untuk keperluan analisis deformasi khususnya analisis geometrik berkaitan dalam kerangka referensi (Caspary, 1987).
1.7.6. Hitung Perataan Kuadrat Terkecil (HKT) Setiap pengukuran selalu dihinggapi kesalahan yang sifatnya acak. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode yang dapat menentukan nilai parameter tertentu dengan meminimalkan kesalahan acak. Hitung perataan adalah suatu cara untuk menentukan nilai koreksi yang harus diberikan pada hasil pengukuran, sehingga hasil pengukuran memenuhi syarat geometriknya (Wolf, 1980). Syarat geometrik merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi dari hubungan suatu pengukuran dengan pengukuran lainnya. Hitung perataan kuadrat terkecil dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan metode parameter. Pada metode ini, nilai parameter yang akan ditentukan memiliki hubungan linier, dan jika tidak linier, maka harus dilinierkan dengan deret Taylor (Hadiman, 1991). Hubungan linier tersebut menunjukan bahwa antara besaran pengukuran dengan parameter akan terbentuk model matematik sebagai persamaan pengamatan. Jumlah persamaan pengamatan sama dengan jumlah pengukuran yang dilakukan. Karakteristik dari hitung perataan yaitu jumlah pengukuran atau pengamatan melebihi jumlah parameter yang akan ditentukan
17
nilainya, sehingga adanya ukuran lebih (Wolf, 1980). Syarat geometrik adalah suatu kondisi yang wajib dipenuhi untuk hubungan suatu pengukuran geodetik. Hitung perataan kuadrat terkecil dimaksudkan untuk mendapatkan harga estimasi dari suatu parameter yang paling mendekati harga yang sebenarnya dengan cara menentukan besaran yang tidak diketahui (parameter) dari sekumpulan data ukuran yang mempunyai pengamatan lebih. Penyelesaian hitung kuadrat terkecil dilakukan dengan mencari suatu nilai akhir yang unik dengan cara tertentu sehingga jumlah kuadrat residualnya (VTPV) minimum, dan tidak mungkin ada nilai hasil hitungan lain yang jumlah kuadrat residualnya (VTPV) lebih kecil. Prinsip hitung perataan adalah VTPV = minimum (Hadiman, 1991). Nilai parameter yang diperoleh dengan hitung perataan sebenarnya merupakan nilai estimasi terhadap nilai benar atau representasi dari nilai terbaik. Dalam hitung perataan terdapat ukuran yang melebihi parameter, sehingga terdapat derajat kebebasan. Persamaan untuk menghitung derajat kebebasan (r) adalah : r = n – u……………………………………………………………………(I.3) Dalam hal ini : n = jumlah pengukuran u = jumlah parameter yang akan dicari Besaran pengamatan merupakan fungsi dari parameter. Adapun model matematik dari persamaan pengamatan adalah : La
= F(Xa)…….......................................................................... ……..(I.4)
F(Xa) = F(Xo+X)………………………………………………………...(I.5) Nilai estimasi pengamatan adalah : La
= Lb+V…………………………………………………………….(I.6)
Lb + V = F(Xo+X)…………………………………………………. ……..(I.7) Dalam hal ini, La
: nilai estimasi pengamatan
Xa
: nilai estimasi parameter
Lb
: nilai pengamatan
F
: selisih nilai estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan
V
: residu / koreksi pengamatan
Xo
: nilai pendekatan parameter
18
X
: nilai koreksi parameter
Penyelesaian dilakukan dengan membuat n persamaan pengukuran berdasarkan hubungan matematis antara besaran parameter dan besaran pengamatan. Dengan demikian diperoleh hubungan fungsi seperti persamaan berikut (I. 8) :
………………………....(I.8) Persamaan dalam bentuk fungsi residual (v) seperti persamaan berikut :
………………………...(I.9) Fungsi residual pada persamaan I.9 dapat ditulis dalam bentuk matriks (Hadiman, 1991) seperti persamaan (I. 10) : V=AX+F
............................................................................................(I.10)
Dalam hal ini, elemen matriks untuk tiap-tiap persamaan (I. 10) yaitu : V
: vektor residual yang elemen matriksnya terdiri dari besaran-besaran koreksi ukuran (v1, v2, ... , vn) dengan dimensi (n x 1),
A
: matriks desain yang elemen matriksnya terdiri dari koefisien-koefisien parameter (a1.1, a1.2, ... , an.u) dengan dimensi (n x u),
X
: vektor parameter yang elemen matriksnya terdiri dari parameter yang akan dicari nilainya (x1, x2, ... , xn) dengan dimensi (u x 1),
F
: vektor sisa yang elemen matriksnya terdiri atas selisih dari tiap konstanta persamaan linier (a1.0, a2.0, ... , an.0) dengan besaran ukuran (l1, l2, ... , ln) yang bersesuaian dengan dimensi (n x 1).
19
Matriks bobot pengukuran (P) akan dipakai dalam proses hitungan, maka jumlah kuadrat residualnya (VTPV) dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut : VTPV
= (AX + F)T P (AX + F) = (XTAT + FT) P (AX + F) = XTATPAX + XTATPF + FTPAX + FTPF…………………………(I.11)
Karena matriks (VTPV) berdimensi (1x1), maka XTATPF = FTPAX. Maka persamaan (I. 11) akan menjadi persamaan (I. 12) : VTPV = XTATPAX + 2FTPAX + FTPF ……………………........................(I.12) Agar nilai (VTPV) minimum maka turunan pertama (VTPV) terhadap vektor parameter (X) harus sama dengan nol dengan persamaan (I. 13) :
2XTATPA + 2FTPA
=0
XTATPA + FTPA
= 0 ……………………………………………….(I.13)
Oleh karena P merupakan matriks diagonal maka PT=P, maka persamaan (I.13) bila ditranspose akan menjadi ATPAX + ATPF = 0 Dengan demikian diperoleh persamaan untuk menghitung nilai parameter seperti pada persamaan (I. 14). X = – (ATPA)-1 ATPF .................................................................................. (I.14) Persamaan (I.14) digunakan untuk mencari matriks varian kovarian (
):
................................................................................ (I.15) varian aposteori ...................................................................... (I.16) Akar elemen-elemen diagonal matriks
merupakan nilai ketelitian dari
tiap-tiap parameter yang bersesuaian. Untuk memperoleh ketelitian estimasi residu didapat dari varian kovarian residu sebagai berikut: ∑VV =
( P-1 – A(ATPA)-1 AT) …………………………………..........(I.17)
Akar elemen-elemen diagonal matriks ∑VV merupakan nilai ketelitian dari tiaptiap residu pengamatan yang bersesuaian. Ketelitian estimasi pengamatan terkoreksi diperoleh dari varian kovarian estimasi pengamatan terkoreksi sebagai berikut:
20
∑La =
A(ATPA)-1 AT ………………………………………….............(I.18)
Akar elemen-elemen diagonal matriks ∑La merupakan nilai ketelitian dari tiaptiap pengamatan terkoreksi yang bersesuaian.
1.7.7. Penerapan HKT Pada Kerangka Dasar Relatif Pada kerangka dasar relatif titik-titik kontrol yang akan ditentukan besaran pergeserannya, terletak di dalam area pengamatan deformasi yang tidak stabil. Semua titik kontrol merupakan parameter, dan proses hitungannya menggunakan jaring bebas. Pada pendekatan jaring bebas ini tidak ada titik yang dijadikan titik referensi, maka dalam hitung perataannya tidak ada yang sebagai suatu konstanta. Semua titik dalam jaringan tersebut diperlakukan sama dalam hitung perataannya sebagai suatu parameter. Pada jaringan ini hanya mengandalkan data-data hasil pengukuran geodetik yang dilakukan tanpa dipengaruhi data-data lain atau faktor luar. Oleh karena itu pada jaring bebas ini terdapat kekurangan datum geodetiknya. Penggunaan jaring bebas pada analisis pergeseran horisontal ini akan menjadi kompleks, karena semua titik mengalami pergerakan relatif jadi tidak ada titik yang dijadikan titik referensi. Jika jaring bebas digunakan pada analisis deformasi, maka hasil pengukuran geodetik yang di dapat belum dalam suatu sistem koordinat dan kerangka referensi (Widjajanti, 1997). Hitung perataan jaring bebas menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter. Persamaan (I.13) dalam hitung perataan metode parameter digunakan untuk menghitung nilai parameter (X). Jika matriks (ATPA) dalam persamaan ini merupakan matriks singular, maka (ATPA) tidak dapat diinverskan. Hal ini menyebabkan persamaan (I.13) tidak mungkin diselesaikan, akibatnya nilai parameter (X) tidak akan diperoleh. Salah satu solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan mendefinisikan unsur yang diketahui sebanyak kekurangan rank. Pada sistem koordinat dua dimensi (X, Y) terdapat kekurangan rank sebanyak empat, sehingga diperlukan dua titik koordinat yang diketahui nilainya agar hitung
21
perataan dapat terselesaikan (Soeta’at, 1996). Salah satu solusi yang ditawarkan untuk memecahkan kasus singularitas matriks pada jaring bebas adalah dengan menetapkan titik koordinat sebagai ukuran yang lain (ukuran kedua), dan proses perataannya menggunakan metode parameter berbobot. Pemakaian kerangka dasar relatif dalam analisis pergeseran horisontal memang tepat, karena semua titik mengalami pergeseran sehingga merupakan parameter.
1.7.8. Hitung Perataan Metode Parameter Berbobot Metode parameter berbobot digunakan untuk kasus data pengamatan geodetik yang terdapat informasi atau ukuran dari parameter yang dicari. Informasi atau ukuran tersebut dijadikan sebagai ukuran kedua dengan memberikan bobot tertentu terhadap parameter. Hitung perataan parameter berbobot ini akan mempunyai dua kelompok pengukuran, yaitu untuk kelompok pertama terdiri dari data pengamatan jarak dan sudut. Kelompok pengukuran kedua terdiri dari pengamatan koordinat dari parameter yang dicari. Bentuk umum untuk metode parameter berbobot adalah sebagai berikut (Soeta’at, 1996) : L1a = F1(Xa)……………………………………………………………….(I.19) L2a = F2(Xa)……………………………………………………………….(I.20) Bentuk linier dari parameter berbobot adalah : V1 = A1X + F1……………………………………………………………...(I.21) V2 = A2X + F2……………………………………………………………...(I.22) Persamaan matematis untuk perataan metode parameter ada dua kelompok persamaan, yaitu persamaan untuk kelompok pertama terdiri dari persamaan jarak dan persamaan sudut. Sedangkan untuk persamaan kelompok kedua yaitu persamaan koordinat. Bentuk persamaan adalah sebagai berikut : ................................................................. (I.23) ............................................................. (I.24) X1 + V1 =
.................................................................................................. (I.25)
Y1 + V2 =
................................................................................................... (I.26)
22
Model stokastik ditunjukkan oleh matriks bobot P1 dan P2, dan dengan pemilihan elemen P1 dan P2 yang tepat, akan bisa diperoleh solusi yang diinginkan. Pada metode parameter berbobot, parameter yang diberi bobot besar pada matriks P2, berarti parameter tersebut bisa dianggap fixed. Sebaliknya untuk bobot yang kecil, parameter tersebut memiliki ketelitian yang rendah. Sehingga dengan memberikan bobot P2 yang cocok akan dihasilkan solusi yang sesuai dengan kenyataan yang diinginkan. Adapun isi dari matriks F2 adalah nilai pendekatan koordinat dikurangi dengan nilai ukuran koordinat yang bersesuaian, sesuai persamaan (I.22) di bawah ini : F2 = X0 - XB ..................................................................................................(I.27) Dengan demikian diperoleh persamaan untuk menghitung nilai parameter seperti pada persamaan (I.23). X = –(A1TP1A1 + A2TP2A2)-1 (A1TP1F1 + A2TP2F2) ...................................... (I.28) Untuk mencari matriks varian kovarian (
):
......................................................... (I.29) varian aposteori ....................................................................... (I.30) VTPV = V1TP1V1 + V2TP2V2 ........................................................................ (I.31) Akar elemen-elemen diagonal matriks
merupakan nilai ketelitian dari
tiap-tiap parameter yang bersesuaian.
1.7.9. Linierisasi Persamaan Pengamatan Persamaan non linier merupakan persamaan yang memiliki turunan kedua tidak sama dengan nol, sebagai contohnya adalah pada pengamatan sudut dan jarak. Pengamatan sudut dan jarak tersebut akan membentuk persamaan yang non linier. Sehingga diperlukan linierisasi pada persamaan sudut dan jarak tersebut dengan deret Taylor.
23
1.7.9.1. Linierisasi persamaan pangamatan sudut dengan deret Taylor. Sudut merupakan selisih bacaan arah horisontal yang satu dengan bacaan arah horisontal lainnya, yang terbentuk dari selisih azimuth di suatu titik seperti pada gambar I.4. Adapun azimuth merupakan model fungsional dari koordinat 2D (X, Y).
24
Y
U
αBA
β
A
αBC
B
C
X Gambar I.4. Ilustrasi sudut horisontal dibentuk dari titik A, B, dan C
Model matematik pengamatan sudut pada gambar I. 4 adalah : ………………………………..……..(I.32) Pada persamaan (I.32), nilai XA, YA, XB, YB, XC, dan YC adalah parameter, maka persamaan (I.32) diturunkan terhadap masing-masing parameter adalah sebagai berikut : 1. Turunan terhadap XA ………………………………………………....(I.33) 2. Turunan terhadap YA ………………………………………………....(I.34) 3. Turunan terhadap XB …………………………..(I.35) 4. Turunan terhadap YB …………………………..(I.36) 5.
Turunan terhadap XC ………………………………………………....(I.37)
6.
Turunan terhadap YC
25
………………………………………………....(I.38)
1.7.9.2. Linierisasi persamaan pangamatan jarak dengan deret Taylor. Jarak merupakan selisih koordinat antara dua titik. Bentuk geometri dari pengukuran jarak antara dua titik adalah seperti gambar I.5. Model matematis untuk bentuk geometri jarak sesuai gambar I. 5 adalah sebagai berikut : …………………………………………(I.39) Y
2 (X2, Y2) ((X2,Y2)
1 (X1,Y1)
X
Gambar I.5. Ilustrasi jarak datar yang dibentuk dari titik 1 dan 2
Persamaan (I.39) diturunkan terhadap masing-masing parameter, yaitu X1, Y1, X2, Y2 adalah sebagai berikut : 1.
Turunan terhadap X1 ………………………………...……(I.40)
2.
Turunan terhadap Y1 ………………………………...…….(I.41)
3.
Turunan terhadap X2 ………………………….……………(I.42)
4.
Turunan terhadap Y2
26
…………………………………...…...(I.43)
1.7.10. Pemberian Bobot Bobot pengamatan adalah perbandingan ketelitian antara suatu besaran pengamatan relatif terhadap besaran pengamatan yang lain. Pemberian bobot diberikan berbanding terbalik dengan nilai varian pengukuran (Mikhail dan Gracia, 1981). Suatu besaran pengamatan yang diperoleh akan memiliki ketelitian yang beragam, sehingga harus diberikan bobot, karena perbedaan ketelitian besaranbesaran yang diamat tersebut perlu diperhitungkan adanya bobot dalam pengamatan yang besarnya disesuaikan dengan ketelitian masing-masing pengukuran. ∑Lb-1…………………………………………………………….……….(I.44) Dalam hal ini : P
: bobot pengamatan, : varian apriori,
∑Lb-1 : varian pengukuran. Jika pengamatan tidak saling berkorelasi, maka bobot pengukuran merupakan matrik diagonal.
∑Lb-1 =
Matrik bobot yang dapat dibentuk adalah seperti di bawah ini :
= matrik bobot.
27
I.7.11. Iterasi Iterasi adalah proses atau metode yang digunakan secara berulang-ulang (pengulangan) dalam menyelesaikan masalah perhitungan matematik. Suatu iterasi dimulai setelah mendapatkan nilai matriks X (matriks parameter) dengan menggunakan nilai matriks pendekatan yang tertentu (X0). Nilai matriks parameter yang baru akan digunakan sebagai nilai pendekatan pada hitungan perataan berulang (Uotila, 1988). Iterasi sangat diperlukan karena persamaan pengamatan yang digunakan merupakan persamaan yang non linier, dan dilinierisasi dengan deret Taylor. Pada saat linierisasi hanya berhenti pada turunan pertama, sehingga diperlukan proses iterasi (pengulangan) untuk mendapatkan nilai estimasi yang terbaik.
................................................................................................(I.45) Iterasi pertama menggunakan nilai
sebagai nilai pendekatan yang baru (
pada
hitungan kedua.
............................................................................................(I.46) Syarat penghentian iterasi diantaranya adalah sebagai berikut (Uotila, 1988) : 1.
mendekati atau sama dengan nol, dimana i akan semakin besar.
2. Selisih 3. Nilai
mendekati nol. stabil.
1.7.12. Pengujian Data Hasil Perataan Setiap Epok Setiap pengukuran pasti mengandung kesalahan, sehingga untuk mengetahui bahwa hasil pengamatan di lapangan tidak mengandung kesalahan tak acak perlu dilakukan uji statistik terhadap semua data pengamatan. Uji statistik setelah perataan
28
ada dua yaitu, uji global dan uji statistik, yang menggunakan tingkat kepercayaan tertentu terhadap data pengamatan yang diperoleh.
1.7.12.1. Uji global. Uji global dilakukan setelah hitung perataan kuadrat terkecil dengan membandingkan varian aposteori ( ˆ o2 ) terhadap varian apriori ( o2 ) dan digunakan untuk mengetahui adanya kesalahan tak acak yang mempengaruhi data pengamatan. Pada uji global ini bisa digunakan uji Fisher. Tahap pengujiannya adalah dengan meyusun hipotesis sebagai berikut : Ho : ˆ o2 o2 ................................................................................................(I.47) Ha : ˆ o2 o2 ................................................................................................(I.48) Hipotesis
nol
merupakan
perumusan
sementara
yang
akan
diuji
kebenarannya. Sedangkan Ha merupakan hipotesis tandingan dari hipotesis nol. Hipotesis nol ditolak apabila :
ˆ o2 o2
F1 , , f ........................................................................................(I.49)
Hipotesis nol diterima menyatakan bahwa hasil pengukuran tidak dipengaruhi kesalahan tak acak sehingga mengikuti sebaran normal Gauss, oleh karena itu penolakan hipotesis nol merupakan indikasi adanya kemungkinan bahwa pengukuran dipengaruhi oleh kesalahan tak acak, maka kesalahan tersebut harus dicari menggunakan uji snooping. Penolakan Ho dapat disebabkan karena (Soeta’at, 1996): a. Model matematis yang salah. b. Kesalahan dalam menghitung. c. Ill condition system. d. Penghapusan derajat tinggi. e. Ketidaktepatan dalam menentukan varian apriori. f. Adanya blunder pada data ukuran.
29
1.7.12.2. Uji snooping. Uji snooping dilakukan jika dari hasil uji global, Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan adanya kesalahan tak acak pada data pengamatan. Untuk mengetahui letak kesalahan tak acak tersebut maka perlu dilakukan uji snooping. Uji ini dilakukan pada setiap data pengamatan yang diperoleh. Tahap pengujiannya adalah dengan menyusun hipotesis sebagai berikut : Ho
: hasil pengamatan tidak dipengaruhi kesalahan tak acak.
Ha
: hasil pengamatan dipengaruhi kesalahan tak acak.
Ho diterima apabila memenuhi persamaan berikut : wi F11/2o ,1, ............................................................................................(I.50)
Dalam hal ini,
wi
Vi ....................................................................................................(I.51) vi
vi : residu pengamatan ke – i. Vi : simpangan baku residu ke – i. Simpangan baku koreksi/residu pengamatan dapat diperoleh dengan mengakarkan elemen diagonal matriks varian kovarian residu.
1.7.13. Model Persamaan Pergeseran Horisontal Proses hitung kudrat terkecil yang dihasilkan adalah berupa data koordinat 2D (X dan Y) untuk setiap epok data kofaktor Qxx dan varian aposteori masing – masing epok. Dari data – data tersebut akan dijadikan data masukan bagi analisis pergeseran horisontal. Data koordinat dari epok tahun 2012 dan tahun 2013 akan dibuat model hitungan pergeseran horisontalnya berupa besar pergeseran (d). Dalam melakukan hitung analisis pergeseran horisontal adalah membentuk persamaan pergeseran horisontal. Besar pergeseran adalah nilai beda dari koordinat 2D untuk dua epok pengamatan. dX = X2013 - X2012 ....................................................................................... (I.52) dY = Y2013 - Y2012 ....................................................................................... (I.53)
30
Nilai pergeseran absis dan nilai pergeseran ordinat harus memiliki ketelitian, yang ditunjukkan dengan besar simpangan baku pergesran absis dan besar simpangan baku pergeseran ordinat. Proses perhitungan untuk mendapatkan simpangan baku dari pergeseran absis dan simpangan baku dari pergeseran ordinat adalah sebagai berikut : =
......................................................................... (I.54)
=
.......................................................................... (I.55)
Jarak pergeseran horisontal diperoleh dari rumus phythagoras dengan melibatkan selisih absis dan selisih ordinat, yaitu seperti persamaan sebagai berikut : d=
.......................................................................................... (I.56)
sama halnya dengan simpangan baku pergeseran absis dan ordinat, pada pergeseran horisontal pergeseran juga harus ditentukan nilai simpangan bakunya untuk melihat ketelitian dari masing – masing nilai pergeseran horisontal. Adapun proses perhitungan
untuk
mencari
nilai
simpangan
baku
pergeseran
horisontal
menggunakan prinsip hitungan perambatan kesalahan acak adalah sebagai berikut : σd 2 =
.......................................................... (I.57)
Setiap nilai koordinat yang dihasilkan pada setiap epok, memiliki kesalahan sebesar V (residu), sehingga persamaan untuk melakukan analisis pergeseran horisontal menjadi sebagai berikut ini : dX = X2013 + VX 2013 – (X2012 + VX 2012)....................................................... (I.58) dY = Y2013 + VY 2013 – (Y2012 + VY 2012) ........................................................ (I.59) Persamaan tersebut nantinya digunakan untuk melakukan analisis horisontal.
1.7.14. Analisis Pergeseran Horisontal Perhitungan
untuk
pergeseran
horisontal
dari
obyek
pengamatan
menggunakan parameter pergeseran yang terjadi pada titik – titik kontrol yang terdistribusi dalam jaringan pengamatan dengan uji statistik (Abidin, dkk. 2006). Uji yang dilakukan pada tahap analisis pergeseran horisontal terdiri dari 2 uji yaitu uji kesebangunan jaring dan uji pergeseran titik.
31
I.7.14.1. Uji kesebangunan jaring. Pada tahap pengujian ini menggunakan uji global untuk mendeteksi ada tidaknya perubahan bentuk jaring pada setiap epok. Dalam pengujian ini melibatkan seluruh koordinat pada suatu jaringan pemantauan deformasi (Widjajanti, 1997). Tahap pengujiannya adalah sebagai berikut : 1. Membentuk
model
hitungan
(persamaan
pergeseran
horisontal)
berdasarkan pasangan titik pantau atau parameter deformasi dari kedua epok. Ud Vd + d = 0 ........................................................................................ (I.60) Dalam hal ini : Ud : matriks koefisien koreksi pengamatan, d : vektor pergeseran titik pantau, Vd : vektor koreksi pergeseran. 2. ...................................................................................................... Meng hitung nilai korelat pergeseran K. K = ( Ud Qd UdT )-1 d ............................................................................. (I.61)
Q(j) = ( AT PA )-1(j) Q(k) = ( AT PA )-1(k) Q(j)
: matriks kofaktor parameter pada epoch pertama,
Q(k)
: matriks kofaktor parameter pada epoch kedua.
3. ...................................................................................................... Meng hitung nilai koreksi pergeseran titik obyek Vd dan Vd . Vd = - Qd UdT K .................................................................................... (I.62) -1
Vd = Qd Vd .......................................................................................... (I.63)
4. ...................................................................................................... Meng hitung varian nilai pergeseran. Varian apriori pergeseran : σ 0 d 2 =
σˆ 0 2( j ) + σˆ 0 2( k ) 2 ................................ (I.64)
32
Varian aposteori pergeseran : σˆ 0 d
2
Vd T Qd-1Vd = r .................................... (I.65)
5. ...................................................................................................... Meny usun hipotesis : Ho : bentuk jaringan tidak mengalami perubahan ( σˆ 0d 2 = σ od 2 ) 2
Ha : bentuk jaringan mengalami perubahan ( σˆ od > σ od 2 ) 7. Menetapkan taraf uji ( α0 ). 8. Menentukan nilai batas F1-
0 , , r
dari tabel fungsi Fisher dengan argumen α0
dan r (jumlah persamaan syarat). 9. Menguji hipotesis nol (Ho) Hipotesis nol ditolak jika :
σˆ 02d > F1-α0 ,∞,r σ 02d ............................................ (I.66)
Jika Ho ditolak menunjukkan adanya pergeseran pada jaring pemantauan. Sedangkan jika H0 diterima mengidentifikasikan bahwa pergeseran tidak terjadi pada jaring pemantauan. Jika penolakan ini terjadi maka ada koordinat yang mengalami pergeseran, maka perlu dilakukan uji pergeseran titik pantau untuk menentukan dimana titik-titik kontrol yang mengalami pergeseran.
I.7.14.2. Uji pergeseran titik objek. Uji pergeseran titik objek ini memiliki tujuan untuk mengetahui dimana titik-titik objek yang telah mengalami pergeseran. Uji statistik ini dilakukan jika hasil uji kesebangunan jaring ditolak. Dalam mendeteksi pergeseran pada setiap titik objek, menggunakan prinsip data snooping yaitu dengan menguji koordinat masing-masing titik objek (Widjajanti, 1997). Tahap pengujiannya adalah sebagai berikut : 1.
Menentukan hipotesis : Ho : Ha :
33
2.
Menentukan taraf uji (
).
3. Menetapkan nilai batas argumen
berdasarkan tabel fungsi Fisher dengan
dan r (r = degree of freedom).
4. menghitung Wdi (baarda, 1967). Dalam hal ini : Nd = UdT (Ud Qd UdT)-1 Ud…………………………………………....(I.67) Wdi =
…………………………………………………………...(I.68)
5. Menguji hipotesis nol (H0). Hipotesis nol akan diterima jika : …………………………………………………….....(I.69) Jika Ho diterima, maka koordinat titik ke - i tidak mengalami pergeseran, sedangkan jika Ho ditolak menunjukkan bahwa pada koordinat titik ke - i telah mengalami pergeseran.
I.8. Hipotesis Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kerangka kontrol deformasi di sekitar Waduk Sermo, Kabupaten Kulon Progo. Hipotesis yang dapat dikemukakan adalah : 1. Menunjukkan bahwa terdapat pergeseran nilai koordinat 2D yang terjadi pada tahun 2012 dan tahun 2013. Pada penelitian sebelumnya (Yulaikhah dan Ruli, 2013) menyebutkan bahwa besar pergeseseran yang terjadi antara 9 mm sampai 16 cm. 2. Berdasarkan lokasi dari Waduk Sermo yang terletak di daerah Sesar Opak yang aktif. Besarnya pergeseran horisontal yang terjadi selama 1 tahun menggunakan data dua epok yaitu tahun 2012 dan 2013 signifikan secara statistik.
34
BAB II PELAKSANAAN
II.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di sekitar Waduk Sermo, yang terletak di wilayah Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.