1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal yang mendasar dalam keperawatan, bahkan efektivitas pelayanan pasien dipengaruhi oleh kemampuan komunikasi yang dibangun perawat selama memberikan asuhan keperawatan (Potter dan Perry, 2007; Rosdahl dan Kowalski, 2008). Komunikasi yang terjadi antara perawat dengan pasien berbeda dengan komunikasi sosial yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi dalam keperawatan ini dikenal dengan istilah komunikasi terapeutik, yaitu komunikasi interpersonal yang bertujuan untuk mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraan pasien yang optimal (DeLaune dan Ladner, 2011). Komunikasi terapeutik paling sering terjadi ketika perawat mengimplementasikan tindakan keperawatan kepada pasien
(Flescher et al.,
2009). Kemampuan melakukan komunikasi dengan efektif dan tepat merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh perawat. Perawat yang memiliki kemampuan komunikasi yang efektif dan tepat akan dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik kepada pasien (Baile et al., 2000; Gilbert dan Hayes, 2009). Komunikasi yang efektif dan tepat juga akan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada pasien, meningkatkan kepuasan dan ketaatan pasien terhadap terapi yang diberikan, serta mengurangi kecemasan pasien dan keluarga selama perawatan di rumah sakit (Sheldon et al., 2006). Mampu melakukan komunikasi secara efektif dan tepat berarti telah berkompeten dalam berkomunikasi. Kemampuan melakukan komunikasi secara efektif dapat diketahui jika tujuan orang yang terlibat dalam komunikasi tercapai, sedangkan mampu melakukan komunikasi secara tepat berarti mampu memahami materi yang dikomunikasikan dan memperhatikan norma atau aturan sosial setempat ketika berkomunikasi (Klavikovich dan DeLaCruz, 2006). Kemampuan melakukan komunikasi secara efektif dan tepat tidak dapat dicapai dalam jangka
1
2
pendek, sehingga pembelajaran komunikasi perlu dilakukan sejak awal proses pendidikan keperawatan (Rosdahl dan Kowalski, 2008). Mengajarkan
komunikasi
terapeutik
kepada
mahasiswa
merupakan
tanggung jawab moral seorang pengajar (Rossenberg dan Gallo-Silver, 2011). Pengajaran komunikasi dapat dilakukan dengan kuliah, diskusi, pencarian literatur, observasi (baik simulasi maupun nyata), refleksi, demonstrasi, praktik dengan pasien nyata, dan pemberian umpan balik (Aspergen, 1999; Kurz, 2005). Manfaat mempelajari keterampilan komunikasi sejak di bangku perkuliahan bagi mahasiswa adalah sebagai persiapan mahasiswa untuk berkomunikasi secara efektif dan tepat saat menjadi perawat nanti, dan membantu mahasiswa dalam menjalin hubungan yang baik dengan pasien maupun perawat (Rossenberg dan Gallo-Silver, 2011; Sheldon et al., 2006). Informasi mengenai kemampuan mahasiswa dalam melakukan komunikasi dengan tepat dan efektif dapat diperoleh melalui proses penilaian kompetensi komunikasi
mahasiswa-pasien.
Penilaian
kompetensi
mahasiswa
adalah
mengumpulkan informasi mengenai kemampuan mahasiswa untuk mengukur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap tujuan belajar yang sudah ditetapkan oleh institusi (Nitko dan Brookhart, 2011). Proses penilaian ini dapat didasarkan pada observasi formal maupun nonformal, dan dapat berasal dari proses ujian yang sistematis maupun proses penilaian yang melibatkan unsur subjektif penilai (Nitko dan Brookhart, 2011). Salah satu metode penilaian kemampuan komunikasi adalah observasi performa komunikasi mahasiswa dengan pasien nyata (Duffy et al., 2004; Russel, 2010). Penilaian dengan metode observasi pada setting nyata dan berdasar pada aktivitas sehari-hari dipandang lebih baik untuk mengukur performa mahasiswa, daripada penilaian yang dilakukan pada situasi yang telah diatur (Norcini, 2003). Kelebihan
penilaian
performa
mahasiswa
pada
setting
nyata
adalah
memungkinkan untuk mengobservasi performa mahasiswa ketika berespon pada situasi kompleks, mengobservasi performa mahasiswa pada kondisi pasien yang bermacam-macam, dan pada pengamatan dalam rentang waktu tertentu. Ketika digunakan untuk tujuan formatif, penilaian performa dengan pasien nyata
3
memberikan kesempatan mahasiswa untuk menerima umpan balik langsung dari pembimbing, sehingga memperdalam proses belajar. Penilaian performa pada setting nyata juga memberi kesempatan bagi penilai untuk memastikan mahasiswa telah mencapai kompetensi minimal yang diperlukan sebelum bekerja (Yudkowsky, 2009). Untuk mendapatkan hasil pengamatan performa komunikasi yang menyeluruh dan penilaian kemampuan komunikasi mahasiswa pada kasus yang bermacam-macam, maka dapat digunakan instrumen penilaian global rating (Yudkowsky, 2009). Instrumen penilaian global rating yang disusun secara rinci dan menggunakan kalimat perilaku yang jelas akan memudahkan interpretasi kriteria penilaian oleh penilai. Dalam penilaian yang melibatkan lebih dari satu penilai, penggunaan instrumen yang jelas akan meningkatkan konsistensi interpretasi antar penilai (Ossenberg, Handerson, dan Dalton, 2014). Penilaian performa komunikasi dapat dilakukan oleh dosen atau penguji klinik, dan mahasiswa secara bersama-sama (Aspergren, 1999). Hasil penilaian dari pembimbing merupakan umpan balik atas kemampuan mahasiswa (Shumway dan Harden, 2003). Melibatkan mahasiswa dalam proses penilaian penting dilakukan untuk meningkatkan tanggung jawab mahasiswa terhadap proses pembelajaran yang dijalani dan memberi kesempatan mahasiswa untuk mengenal kriteria penilaian yang ditetapkan institusi (Das, Mpofu, Dunn, dan Lanphear, 1998; Shumway dan Harden, 2003). Race (2001) menyatakan terlibat dalam penilaian akan membantu mahasiswa untuk belajar lebih dalam, mengarahkan mahasiswa untuk menjadi self regulated learner, dan membantu mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan belajar sepanjang hayat. Kemampuan menjadi pembelajar sepanjang hayat penting dimiliki oleh calon tenaga kesehatan karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan (Aukes et al., 2009). Mengetahui standar penilaian akan membantu mahasiswa mengetahui dasar yang digunakan dalam membuat penilaian. Hal ini akan mengurangi kecemasan mahasiswa selama mengikuti proses pembelajaran (Syahreni dan Waluyanti, 2007).
4
Penelitian mengenai keterlibatan mahasiswa dalam penilaian sudah dilakukan di berbagai bidang, jenjang pendidikan, dan kompetensi. Bidang-bidang yang telah meneliti keterlibatan mahasiswa dalam penilaian antara lain adalah bidang kedokteran, kedokteran gigi dan keperawatan. Jenjang pendidikan yang telah meneliti keterlibatan mahasiswa dalam penilaian adalah pendidikan sarjana dan pascasarjana. Kompetensi-kompetensi yang dilakukan penilaian dengan melibatkan mahasiswa dan dosen antara lain adalah kompetensi pemeriksaan fisik, clinical reasoning, perilaku profesional, komunikasi, dan keterampilan psikomotorik (Boud dan Falchikov, 1989). Boud dan Falchicov (1989) melakukan metaanalisis terhadap 27 penelitian, mengenai penilaian kemampuan mahasiswa oleh mahasiswa dan dosen. Hasil metaanalisis menunjukkan ada variasi hasil penilaian kemampuan mahasiswa yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Boud dan Falchicov menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi perbedaan penilaian ini adalah tingkatan pendidikan mahasiswa, pemahaman mahasiswa mengenai kompetensi yang diharapkan, pengetahuan mahasiswa mengenai tugas yang diberikan, dan pengalaman mahasiswa dalam melakukan penilaian. Systematic review mengenai penelitian-penelitian perilaku profesional, termasuk komunikasi, terhadap mahasiswa kedokteran menunjukkan bahwa ada hubungan yang tidak bermakna (r < 0,32) antara penilaian perilaku profesional mahasiswa yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen (Gordon, 1991). Penelitian Lundquist et al. (2013) membandingkan penilaian performa komunikasi mahasiswa farmasi oleh mahasiswa dan dosen. Performa komunikasi yang dinilai adalah performa komunikasi mahasiswa dalam kelompok maupun komunikasi individu. Penilaian dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam sebuah kursus komunikasi terapeutik. Hasil penelitian ini menunjukkan penilaian mahasiswa lebih rendah daripada penilaian dosen. Keterampilan komunikasi di Indonesia telah menjadi salah satu kompetensi utama perawat. Hal ini tercantum pada Standar Profesi dan Kode Etik Perawat Indonesia tahun 2010 yang menyatakan komunikasi terapeutik merupakan keterampilan yang wajib dimiliki oleh perawat selama memberikan asuhan
5
keperawatan kepada pasien dan dalam berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain (Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 2010). Berdasar standar yang sudah ditetapkan ini, keterampilan komunikasi terapeutik menjadi mata kuliah wajib di pendidikan keperawatan, termasuk pendidikan DIII keperawatan. Tujuan pembelajaran komunikasi terapeutik di pendidikan DIII keperawatan adalah mahasiswa mampu berkomunikasi secara efektif selama memberikan asuhan keperawatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Standar Profesi dan Kode Etik Perawat Indonesia tahun 2010 juga menetapkan bahwa salah satu kompetensi perawat adalah mengembangkan kualitas personal dan profesional melalui pendidikan berkelanjutan. Untuk dapat meningkatkan kualitas personal dan profesional langkah yang pertama kali dilakukan adalah menjadi pembelajar sepanjang hayat. Seseorang akan dapat menjadi pembelajar sepanjang hayat jika memiliki kemampuan melakukan self assessment atau kemampuan menilai kemampuan diri sendiri (Aukes et al., 2009). Akademi Keperawatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Akper Pemprov Jateng) merupakan salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan keperawatan jenjang diploma. Akper Pemprov Jateng telah memasukkan mata kuliah komunikasi terapeutik dalam kurikulum pendidikannya. Proses pengajaran keterampilan komunikasi terapeutik dilakukan pada tahap perkuliahan di kelas maupun pada saat praktik klinik di rumah sakit. Materi dan metode pengajaran keterampilan komunikasi di kelas adalah konsep dasar komunikasi terapeutik melalui kuliah dan teknik komunikasi melalui bermain peran. Pembelajaran mengenai konsep dan teknik komunikasi terapeutik dilaksanakan pada tahun I, yaitu sebelum mahasiswa menjalani praktik klinik keperawatan. Hal ini bertujuan untuk memberi bekal kepada mahasiswa saat menghadapi clinical learning experience I (CLE I), yaitu praktik klinik di rumah sakit pada tahun II. Clinical learning experience I adalah praktik klinik pertama kali yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa pertama kali berinteraksi secara langsung dengan pasien nyata. Pada praktik klinik ini mahasiswa mengkaji kebutuhan dasar manusia, memberikan intervensi, melakukan dokumentasi masalah yang dihadapi pasien, dan menerapkan kemampuan komunikasi. Metode pengajaran komunikasi saat
6
praktik klinik CLE I melalui observasi komunikasi perawat-pasien dan praktik komunikasi dengan pasien nyata. Selama ini, penilaian performa komunikasi terapeutik mahasiswa Akper Pemprov Jateng dilakukan pada saat ujian long case dengan menggunakan instrumen check list, dan belum melibatkan mahasiswa. Penilaian dilakukan hanya pada saat ujian long case sehingga tidak dapat menilai performa komunikasi mahasiswa sesungguhnya, hanya menilai komunikasi pada satu waktu tertentu, dan tidak dapat menilai performa komunikasi mahasiswa pada kasus yang berbeda-beda. Penilaian menggunakan instrumen check list, sehingga tidak dapat mengetahui performa komunikasi mahasiswa secara keseluruhan, yaitu penilaian performa komunikasi yang meliputi penilaian verbal, nonverbal dan pemilihan kosakata ketika berkomunikasi. Penilaian tidak melibatkan mahasiswa sehingga mahasiswa tidak mendapat kesempatan melakukan self assessment terhadap kemampuan yang dimiliki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa performa komunikasi perawat di rumah sakit belum cukup baik, dan perawat kurang tanggap dengan pasien (Wartiyem, 2000, Syar, 2006, Epriyani, 2008, Deden, 2008, dan Ariny, 2006), menurut dosen kemampuan komunikasi mahasiswa masih perlu ditingkatkan (Wawancara personal dengan mahasiswa dan dosen), sedangkan mahasiswa memiliki pendapat bahwa kemampuan komunikasi yang dimiliki sudah baik dan tidak ada masalah. Berdasar masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti performa komunikasi mahasiswa selama praktik klinik di rumah sakit berdasar persepsi mahasiswa dan pembimbing klinik. Untuk mengetahui alasan perbedaan penilaian antara mahasiswa dan pembimbing klinik, dilakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk mengetahui pendapat mahasiswa mengenai manfaat penilaian dan manfaat keterlibatan mahasiswa dalam penilaian komunikasi di pendidikan klinik.
7
I.2. Perumusan Masalah Belum pernah dilakukan penilaian performa komunikasi terapeutik mahasiswa-pasien secara menyeluruh dan belum pernah dilakukan penilaian performa komunikasi dengan melibatkan mahasiswa di Akper Pemprov Jateng. Berdasar hal tersebut, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: I.2.1. Bagaimana penilaian performa komunikasi terapeutik mahasiswa-pasien oleh pembimbing klinik dan mahasiswa? I.2.2. Apakah alasan persamaan/perbedaan penilaian yang dilakukan pembimbing klinik dan mahasiswa dalam menilai kemampuan komunikasi terapeutik mahasiswa-pasien? I.2.3. Bagaimana pendapat mahasiswa mengenai keterlibatan mahasiswa dalam penilaian? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan umum penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penilaian performa komunikasi terapeutik oleh mahasiswa dan pembimbing klinik. I.3.2. Tujuan khusus penelitian I.3.2.1.Menggambarkan penilaian kemampuan performa komunikasi terapeutik mahasiswa-pasien oleh mahasiswa dan pembimbing klinik. I.3.2.2.Membandingkan penilaian performa komunikasi terapeutik yang dilakukan pembimbing klinik dan mahasiswa. I.3.2.3. Mengekplorasi alasan adanya perbedaan penilaian pembimbing klinik dan mahasiswa. I.3.2.4.Mengeksplorasi pendapat mahasiswa mengenai manfaat penilaian dan manfaat keterlibatan mahasiswa dalam penilaian.
I.4. Manfaat Penelitian I.4.1. Manfaat teoritis Memberikan umpan balik mengenai konsep keterlibatan mahasiswa dalam penilaian performa.
8
I.4.2. Manfaat praktis I.4.2.1.Sebagai evaluasi pembelajaran komunikasi terapeutik yang diterapkan di Akper Pemprov Jateng. I.4.2.2.Sebagai data dasar untuk memperbaiki pembelajaran keterampilan komunikasi terapeutik mahasiswa. I.4.2.3.Sebagai data dasar untuk memperbaiki penilaian performa di pembelajaran klinik di Akper Pemprov Jateng. I.5. Keaslian Penelitian Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Lundquist, Shogbon, Momary dan Rogers yang berjudul A comparison of students’ self assessments with faculty evaluation of their communication skills pada tahun 2013. Penelitian ini membandingkan penilaian performa komunikasi mahasiswa farmasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan dalam sebuah kursus komunikasi terapeutik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu kedua penelitian sama-sama membandingkan penilaian dosen dan mahasiswa mengenai performa komunikasi mahasiswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah penelitian ini mengevaluasi
performa
komunikasi
mahasiswa
di
setting
laboratorium
keterampilan klinik dan menilai komunikasi terapeutik yang dilakukan antar sesama ahli farmasi. Penilaian komunikasi yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah penilaian performa komunikasi mahasiswa dengan pasien di setting nyata. Kompetensi komunikasi yang dinilai adalah komunikasi mahasiswa dengan pasien. Evans, Leeson, dan Newton-John (2002) melakukan penelitian terhadap 25 mahasiswa kedokteran gigi yang menjalani pelatihan cabut gigi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai merasa diri mampu (self deception) dan keinginan untuk tampil berkesan. Tujuan lain penelitian ini adalah mengetahui perbedaan antara penilaian pembimbing dan penilaian diri sendiri. Penilaian yang dilakukan mahasiswa dan pembimbing menggunakan alat yang
9
sama.
Perbandingan penilaian mahasiswa dengan pembimbing menunjukan
bahwa sebagain besar mahasiswa menilai dirinya lebih tinggi daripada penilaian yang dilakukan pembimbing. Mahasiswa menilai dirinya lebih tinggi karena faktor ingin tampil baik di depan umum, dan memiliki kemampuan self assessment masih rendah. Persamaan penelitian Evan et al. dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah kedua penelitian menggunkan metode komparasi, sedangkan perbedaan kedua penelitian adalah alasan perbedaan hasil penilaian dosen dengan self assessment mahasiswa diteliti dengan metode survei dengan kuesioner, sedangkan alasan perbedaan pada penelitian yang dilakukan peneliti dieksplorasi dengan metode wawancara mendalam. Perbedaan kedua adalah penelitian ini meneliti keterampilan prosedural, sedangkan keterampilan yang diteliti pada penelitian yang dilakukan peneliti adalah keterampilan komunikasi. Perbedaan ketiga adalah setting tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan di laboratorium keterampilan klinik, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti dilakukan di rumah sakit. Watts, Rush, dan Wright (2009) mengenai evaluasi kemampuan psikomotorik mahasiswa keperawatan tahun pertama. Penelitian ini mengenai kemampuan mahasiswa dalam melakukan perawatan luka di laboratorium keterampilan klinik. Performa mahasiswa dinilai oleh mahasiswa sendiri dan dosen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penilaian mahasiswa lebih tinggi daripada penilaian dosen. Persamaan penelitian Watts et al. dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama membandingkan penilaian ahli dengan self assessment mahasiswa terhadap kompetensi mahasiswa. Perbedaan penelitian Watts et al. dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah keterampilan yang diteliti dan setting penelitian. Penelitian Watts et al. membandingan penilaian ahli dengan self assessment mahasiswa pada keterampilan perawatan luka, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti adalah keterampilan komunikasi di setting nyata. Lim et al., (2013) mengenai self assessment komunikasi khususnya empati mahasiswa kedokteran tahun kelima dan keenam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat, semakin rendah penilaian kemampuan
10
komunikasi empati mahasiswa. Penelitian ini meneliti perubahan empati pada mahasiswa kedokteran pada tiga waktu penelitian. Pengambilan data pertama dilakukan pada awal tahun kelima, pengambilan data kedua setelah mahasiswa mengikuti pelatihan wawancara motivasi dan keterampilan intervensi singkat, pengambilan data ketiga satu tahun setelah pelatihan, yaitu pada tahun keenam perkuliahan. Penilaian mengenai MI/BI diukur menggunakan Behaviour Change Counselling Index. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penilaian empati mahasiswa semakin menurun dari tahun ke tahun, ada hubungan positif sedang antara penilaian dosen dan peer, dan ada hubungan negatif antara self assessment mahasiswa dengan penilaian peer. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama meneliti performa komunikasi mahasiswa dan sama-sama mengeksplorasi perbedaan penilaian ahli dengan self assessment mahasiswa. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti adalah metode yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan prospektif longitudinal, sedangkan penelitian peneliti cross sectional. Penelitian ini menilai performa komunikasi mahasiswa di setting laboratorium, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti dilakukan di setting nyata.