1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Waduk Sermo merupakan struktur bangunan berisi air yang berada di permukaan tanah yang berlokasi di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, D.I.Yogyakarta. Waduk Sermo memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat bagi masyarakat terutama bagi masyarakat di sekitar waduk. Waduk Sermo berfungsi sebagai penampung air yang digunakan sebagai sumber air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum, air irigasi yang mengairi sawah di daerah Wates dan sekitarnya, serta pencegah banjir. Pemandangan yang indah di sekitaran Waduk Sermo serta udara yang sejuk menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk berkunjung ke waduk ini. Seiring dengan berjalannya waktu, bangunan Waduk Sermo mengalami perubahan pada bagian dasarnya yang biasa disebut sedimentasi (Mardiyanto, 2001). Perubahan bagian dasar waduk tersebut dapat disebabkan oleh faktor alam, beban dari struktur itu sendiri, dan juga usia. Perubahan bagian dasar waduk yang tidak terkontrol akan mengakibatkan dampak negatif yang besar, misalnya: terjadi longsor, kerusakan lingkungan, dan lebih buruknya dapat menimbulkan korban manusia. Mengingat pentingnya fungsi Waduk Sermo dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan akibat perubahan bagian dasar waduk, perlu dilakukan pemantauan kedalaman Waduk Sermo secara berkala. Pemantauan kedalaman Waduk Sermo dilakukan dengan melakukan survei batimetri di area waduk untuk memperoleh data kedalaman dari Waduk Sermo. Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar suatu perairan, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan peta batimetri biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data (Rismanto, 2011). Untuk memperoleh peta batimetri yang akurat di perairan, diperlukan pengamatan pasang surut dan survei batimetri yang sesuai dengan spesifikasi pekerjaan. Namun dalam
2
kegiatan ini tidak dilakukan pengamatan pasang surut, dikarenakan waduk tidak berhubungan langsung dengan laut sehingga tidak terjadi perubahan muka air waduk yang signifikan setiap harinya. Seiring perkembangan teknologi yang sudah semakin maju, penentuan kedalaman waduk dilakukan dengan memanfaatkan teknologi akustik. Teknologi akustik memanfaatkan perambatan suara pada medium air untuk memperoleh informasi dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di dasar perairan. Salah satu teknologi akustik yang biasa digunakan untuk pemetaan batimetri yaitu echosounder. Dalam kegiatan aplikatif ini, pengukuran kedalaman menggunakan alat Fish Finder GARMIN Map Sounder 178C. Alat ini adalah tipe singlebeam echosounder dengan biaya rendah, yang dirancang khusus untuk perairan dangkal dan tidak terlalu luas seperti waduk, danau, dan sungai. Sebenarnya Fish Finder merupakan alat bantu nelayan untuk mencari ikan di laut. Alat ini terdiri dari display berupa monitor dan transducer yang dipasang di bawah permukaan air. Transducer digunakan untuk mengukur kedalaman dan juga mendeteksi keberadaan ikan di laut yang kemudian hasilnya dapat ditampilkan ke layar. Maka dengan menggunakan Fish Finder, para nelayan akan lebih mudah untuk mendapatkan ikan. Namun selain fungsinya untuk mendeteksi ikan, alat ini juga seringkali digunakan untuk mengukur kedalaman dan mengetahui kondisi topografi dasar laut dengan menampilkan kontur kedalaman secara rinci. Penentuan kedalaman yang dilakukan oleh Fish Finder GARMIN Map Sounder 178C dibantu oleh GPS JAVAD Triumph-1 dengan penentuan posisi secara real time kinematic. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ketelitian horizontal yang lebih baik pada titik-titik perum, mengingat GPS internal dari Fish Finder yang cukup terbatas, dan tidak dapat melakukan penentuan posisi secara real time kinematic. Dari perolehan titik-titik perum yang memiliki ketelitian horizontal yang baik, maka dapat dihasilkan peta batimetri yang lebih akurat.
3
I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan dalam pekerjaan aplikatif ini adalah sebagai berikut : 1. Pengukuran dilaksanakan pada tanggal 11 Juni 2015, 14 Juni 2015, dan 19 September 2015. 2. Lokasi kegiatan berada di Waduk Sermo, Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. 3. Alat echosounder yang digunakan yaitu Fish Finder GARMIN Map Sounder 178C, dan alat GPS yang digunakan yaitu GPS JAVAD Triumph1. Tranducer dan Rover GPS dipasang secara berdampingan agar berada di posisi horizontal (X,Y) yang sama. 4. Metode penentuan posisi horizontal yang digunakan dalam kegiatan ini adalah penentuan posisi secara real time kinematic dengan memanfaatkan rover GPS JAVAD Triumph-1. 5. Ketelitian dan uji kualitas data hasil pengukuran batimetri pada kegiatan ini mengacu kepada IHO Standards of Hydrograpic Surveys SP-44 tahun 2008 dengan orde 1b. I.3. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah tersedianya peta batimetri waduk sermo tahun 2015 dengan skala 1 : 3000 dari hasil pengukuran kedalaman menggunakan Fish Finder GARMIN Map Sounder 178C dengan penentuan posisi secara real time kinematic. I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah : 1. Memberikan gambaran terbaru topografi dasar waduk sermo terkait dengan kondisi terkini kedalaman waduk pertahun. 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan Waduk Sermo.
4
I.5. Landasan Teori I.5.1. Survei Batimetri Survei batimetri merupakan salah satu bagian dari ilmu hidrografi. Menurut sekelompok ahli dari PBB yang bertemu di Mexico City pada tahun 1979, ilmu Hidrografi adalah suatu ilmu yang melakukan pengukuran, menguraikan, dan menggambarkan tentang : 1. Sifat-sifat dan konfigurasi dasar laut yang dihasilkan oleh kegiatan survei batimetri, geologi, dan geofisika. 2. Hubungan geografis (antara laut, perairan) dengan daratan terdekat yang dihasilkan dengan kegiatan positioning. 3. Sifat dan dinamika air laut, yang dihasilkan lewat pengukuran/pengamatan pasang surut laut, arus laut, gelombang dan sifat fisik air laut (Soeprapto, 2001). Batimetri (dari bahasa Yunani: bathy berarti “kedalaman” dan metry berarti “ukuran”) adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Survei batimetri adalah suatu proses dan aktivitas dalam menentukan posisi titik-titik di dasar laut dengan sistem koordinat tertentu, sehingga dari data hasil survei tersebut didapatkan model bentuk topografi dasar laut yang disajikan dalam bentuk peta yang disebut peta batimetri (Parikesit, 2008). Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur kedalaman (depth contours atau isobath) dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan (Yuni, 2014). Peta batimetri biasanya mengacu pada sebuah datum vertikal, datum vertikal merupakan referensi sebagai dasar pengukuran ketinggian atau kedalaman. Peta batimetri umumnya menggunakan suatu bidang air rendah (Chart Datum) sebagai bidang referensi kedalaman, sehingga semua kedalaman yang ditunjukkan pada peta laut biasanya mengacu pada Chart Datum (Poerbadono dan Djunarsjah 2005). Triadmodjo (1999) menyebutkan bahwa peta batimetri memiliki peranan yang sangat penting karena berfungsi untuk mengetahui keadaan kedalaman laut sekitar
5
lokasi suatu perairan. Oleh karena itu, peta batimetri harus memenuhi standar minimum tertentu agar menghasilkan kualitas yang baik. Standar ketentuan teknis internasional yang mengatur tata cara pembuatan peta batimetri yaitu IHO Standards of Hydrographic Surveys. IHO telah menetapkan tujuh aspek kartografi peta laut, yaitu; datum vertikal, datum horizontal, sistem proyeksi, sistem satuan, ketelitian (skala), dan simbol serta warna. Aspek-aspek tersebut ditunjukkan pada Tabel I.1. Tabel I.1. Aspek kartografi peta laut (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Aspek Datum Vertikal Datum Horisontal
Ketentuan Lokal dengan Chart Datum, disebutkan kedudukan muka surutannya terhadap duduk tengah Titik kontrol horisontal pada elipsoida referensi WGS ’84 dalam sistem gratikul (jaring garis proyeksi lintang dan bujur)
Sistem proyeksi
Mercator untuk 75°LU-75°LS Polar Stereografis untuk 75°-90°LU dan 75°-90°LS
Sistem Satuan
Metrik, dalam meter atau mil laut
Ketelitian
≥ 1:10.000 untuk bandar, pelabuhan, alur pelayaran dan perairan wajib pandu ≥ 1:20.000 untuk alur pendekatan pelabuhan dan perairan lain yang digunakan teratur untuk pelayaran ≥ 1:50.000 untuk daerah pantai sampai kedalaman rata-rata sekurang-kurangnya 30 m 1:10.000-1:100.000 untuk daerah dengan kedalaman antara 30 m sampai 200 m Peta konvensional: mengikuti Peta Laut no.1 Peta digital: mengikuti SP-52 IHO tentang Aspek Kartografi ECDIS dan SP-57 IHO tentang Standar Pertukaran Data Digital
Simbol dan Warna
I.5.2. Standarisasi Survei Hidrografi Perkembangan
teknologi
pengukuran
batimetri
diikuti
pula
dengan
perkembangan standardisasi atau acuan teknis yang digunakan. Standardisasi digunakan untuk menjaga kualitas dari seluruh data hasil kegiatan pemeruman tetap baik. Dalam pelaksanaan survei hidrografi untuk keperluan pemetaan di Indonesia, pedoman yang digunakan sebagai standardisasi adalah IHO Standards of Hydrographic Surveys.
6
I.5.2.1 IHO Standards Of Hydrographic Surveys. IHO Standards of Hydrographic Surveys merupakan standardisasi yang dikeluarkan oleh IHO (International Hydrography Organization). IHO adalah organisasi teknis internasional yang bertugas untuk mengkoordinir aktifitas-aktifitas Dinas Hidrografi Nasional negara-negara anggotanya. IHO pada awalnya didirikan pada 1921 sebagai Biro Hidrografi Internasional (IHB). IHO telah menerbitkan serangkaian standardisasi yang telah dikembangkan, salah satunya IHO Standards of Hidrographic Surveys SP-44 yang biasa digunakan untuk membantu meningkatkan keselamatan navigasi. Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, maka dilakukan beberapa revisi terhadap IHO SP-44 sehingga IHO sendiri telah menerbitkan 5 edisi yaitu pada tahun 1968, 1982, 1987, 1998, daan 2008. IHO Standards of Hydrographic Surveys SP-44 tahun 2008 adalah standardisasi terbaru yang telah diperbaharui terkait dengan membuat panduan yang lebih jelas mengenai fitur dasar laut yang cukup mengkhawatirkan, termasuk kemampuan sistem untuk mendeteksi fitur dan karakteristik fitur untuk dideteksi seperti teknologi multibeam dan LIDAR (IHO Standards for Hydrographic Survey 5th Edition). I.5.2.2 Orde Ketelitian Survei Hidrografi. Menurut standar teknis pelaksanaan survei hidrografi terdapat klasifikasi derajat ketelitian yang dibedakan menjadi orde khusus, orde 1a, orde 1b, dan orde dua (IHO Standards for Hydrographic Survey 5th Edition) seperti pada Tabel I.2. Tabel I.2. Standardisasi Penentuan Posisi No.
Kelas
Deskripsi Orde Khusus
1
Akurasi Horizontal
1a
1b
2 m + 5% 5 m + 5% 5 m + 5% kedalaman rata- kedalaman kedalaman rata rata-rata rata-rata
2 20 m + 10% kedalaman rata-rata
7
Lanjutan Tabel I.2 Standardisasi Penentuan Posisi No
Kelas
Deskripsi Orde Khusus
1a
1b
2
2m
2m
2m
5m
2
Alat bantu navigasi tetap dan kenampakan yang berhubungan dengan navigasi
3
Alat bantu navigasi terapung
10 m
10 m
10 m
20 m
4
Kenampakan topografi
10 m
20 m
20 m
20 m
(IHO Standards for Hydrographic Survey 5th Edition, SP No. 44, 2008) Dalam kegiatan ini, standar teknis kegiatan aplikatif ini menggunakan orde 1b, yaitu diperuntukkan untuk daerah yang kedalamannya kurang dari 100 m, yang tidak termasuk dalam orde khusus maupun orde 1a, dan dimana gambaran batimetri secara umum (tidak mencakup area pengukuran secara keseluruhan) sudah mencukupi untuk menyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar perairan yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di perairan tersebut. Ini merupakan kriteria penggunaan orde 1b di bidang kelautan yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan dasar laut pada daerah-daerah tertentu dimana karakteristik dasar air memiliki resiko yang berpotensi membahayakan kapal yang lewat atau bekerja pada suatu perairan (IHO Standards for Hydrographic Survey 5th Edition). I.5.3. Lajur Pemeruman Dalam pengukuran batimetri, terdapat lajur-lajur pemeruman yang berfungsi sebagai acuan untuk mengatur kerapatan detil area yang akan dilakukan pemeruman. Berdasarkan fungsinya lajur pemeruman dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam (Soeprapto, 2001) yaitu lajur utama, lajur silang, lajur tambahan/investigasi.
8
I.5.3.1
Lajur Perum Utama. Lajur perum utama adalah lajur perum yang
direncanakan sedemikian rupa sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat tergambarkan dasar perairannya (Soeprapto, 2001) seperti ditunjukkan pada gambar I.1. Dari pengukuran kedalaman di titik-titik fiks perum pada lajur-lajur perum yang telah didesain, akan didapatkan sebaran titik-titik fiks perum pada daerah survei yang nilai-nilai pengukuran kedalamannya dapat dipakai untuk menggambarkan batimetri yang diinginkan (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Ketentuan dalam pembuatan lajur perum utama telah diatur pada IHO (International Hydrography Organization) dalam IHO Standards Of Hydrographic Surveys, seperti yang ditunjukkan pada tabel I.3. Tabel I.3. Standar kerapatan data, deteksi fitur bawah laut, dan lajur maksimum Orde
Spesial
1a
1b
2
Cakupan Dasar Laut (Batimetri) 100 %
Diperlukan
Diperlukan
Tidak Diperlukan
Tidak Diperlukan
Kemampuan Deteksi Sistem
Cubic Cubic Feature Feature > 1 > 2 m pada kedalaman m hingga 40 m dan 10 % dari kedalaman jika kedalaman lebih dari 40 m
Tidak Digunakan
Tidak Digunakan
Lebar Jalur Maksimum
Tidak Digunakan
Tidak Digunakan
3 x kedalaman 4x rata – rata atau kedalaman 25 (mana yang rata - rata lebih besar), dan spasi spot
(Sumber : IHO SP-44 Tahun 2008) I.5.3.2 Lajur Perum Silang. Lajur perum silang adalah lajur perum yang dibuat memotong lajur perum utama seperti yang terlihat pada gambar I.1. Tujuan pembuatan
9
lajur perum silang adalah mendeteksi ada tidaknya kesalahan hasil pengukuran baik posisi horizontal maupun kedalaman pada sistem lajur utama. 1.5.3.3 Lajur perum tambahan/investigasi. Lajur perum tambahan/investigasi dibuat jika terjadi hal-hal diluar perencanaan misalnya adanya perubahan kedalaman yang terlalu signifikan, pusaran arus atau mengisi gap akibat penyimpangan pengambilan data pada lajur utama yang terdapat antara dua lajur yang bersebelahan pada sistem lajur perum utama (Soeprapto, 2001).
Gambar I.1. Ilustrasi Jalur Utama dan Jalur Silang Sumber : Manual Hydropro 10.13 I.5.4. Penentuan Kedalaman Titik Perum Penentuan kedalaman titik pemeruman merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar perairan (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Seiring dengan kemajuan teknologi, penerapan teknologi akustik dasar laut terus berkembang untuk tujuan ilmiah antara lain digunakan untuk mempelajari proses perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan informasi karakteristik dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di kolom perairan. Hydro-acoustic merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan gelombang
10
akustik. Alat survei batimetri yang menggunakan metode gelombang akustik ini adalah echosounder (Burczynski, 1986). Sistem echosounder biasanya terdiri dari atas catu daya, seperangkat perekam data, transducer (pemancar) dan hidrofon (penerima). Prinsip kerja dari sistem ini yaitu transducer memancarkan gelombang akustik dengan frekuensi tertentu menuju ke dasar perairan secara tegak lurus, kemudian gelombang tersebut dipantulkan kembali oleh dasar perairan dan diterima oleh hidrofon. Umumnya semakin rendah frekuensinya, kedalaman perairan yang dicapai juga semakin tinggi. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima, sehingga diperoleh data kedalaman yang dicatat alat perekam yang merupakan fungsi dari selang waktu. Ilustrasi prinsip kerja sistem echosounder dapat dilihat pada Gambar I.2.
Gambar I.2. Penentuan kedalaman suatu perairan dengan metode sounding (Sumber : Parikesit, 2008) Berikut persamaan hitungan untuk penentuan kedalaman laut : (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005) 𝑑=
1
𝑡1
∫ 𝑣(𝑡). 𝑑𝑡 ............................................................................................... (I.1) 2 𝑡2
Keterangan : d
: kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,
11
v (t)
: cepat rambat gelombang suara di air,
t1 & t2 : waktu pada saat gelombang akustik dipancarkan dan saat penerimaan gelombang pantulnya. Nilai kecepatan rambat gelombang akustik di air adalah 1500 m/detik, maka nilai kedalaman perairan dapat di tentukan berdasarkan persamaan (I.17) berikut ini (Poerbandono dan Djunarsjah 2005): 𝑑=
1 2
(𝑣. Δt) .......................................................................................................(I.2)
Keterangan: d
: kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,
v
: cepat rambat gelombang akustik di medium air (meter/detik),
Δt
: selang waktu antara saat gelombang akustik dipancarkan dan saat
I.5.5. Penentuan Posisi Horizontal (X,Y) Titik Perum secara Real Time Kinematic Penentuan posisi relatif adalah penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan yang disebut sebagai jarak basis (base line), dimana posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Metode penentuan posisi relatif melibatkan pengamatan secara simultan dari beberapa satelit dengan receiver GPS minimal dua buah (Sunantyo, 1999). Pada kegiatan aplikatif ini, penentuan posisi titik-titik perum memanfaatkan GPS dengan metode RTK Radio. Prinsip penentuan posisi secara real time kinematic yaitu menggunakan satu stasiun penerima sinyal (referensi/base station) dan beberapa rover (receiver) yang dapat bergerak. Ada 3 komponen penting pada pengukuran menggunakan metode RTK (Abidin, 2000), yaitu: 1.
Stasiun Referensi. Stasiun referensi atau base station ini terdiri dari receiver dan antena. Base station ini berfungsi untuk mengolah data differensial dan melakukan koreksi carrier phase yang dikirimkan via radio modem base station ke radio modem rover.
2.
Stasiun Rover. Fungsi rover adalah untuk mengidentifikasi satelit-satelit pada daerah pengamatan dan menerima data differensial dan koreksi
12
carrier phase dari base station. Cara kerja rover dalam melakukan pengukuran secara RTK dengan cara menggerakkan rover dari suatu titik ke titik lainnya yang ingin diketahui posisinya. Koreksi carrier phase tersebut dikirim via radio link dengan radio modem antara base station dan rover sehingga bisa mendapatkan posisi yang lebih teliti. 3.
Data Link (Hubungan data) Differensial. Data link ini berfungsi mengirimkan data differensial dan koreksi carrier phase dari base station ke rover melalui radio modem. Kecepatan radio modem dan band frekuensi pada base station dan rover harus sama sehingga proses pengiriman data bisa lancar. Jenis-jenis band frekuensi yang dimanfaatkan dalam penentuan posisi secara real time kinematic meliputi: a. UHF (Ultra Height Frequency) yaitu bekerja pada frekuensi antara 300 Mhz sampai 3 Ghz dengan panjang gelombang antara 10 cm sampai dengan 1m. b. VHF (Very Height Frequency) yaitu bekerja pada frekuensi antara 30 Mhz sampai 300 Mhz dengan panjang gelombang antara 1 m sampai dengan 10 m. c. HF (Height Frequency) yaitu bekerja pada frekuensi antara 3 Mhz sampai 30 Mhz dengan panjang gelombang antara 10 m sampai dengan 100 m.
Pada sistem RTK, diperlukan adanya visibilitas langsung (line of sight) antara stasiun referensi dan pengguna, dimana jarak maksimum (d) antara keduanya dapat secara teoritis diaproksimasi dengan rumus berikut (Langley, 1998): d = 3,57 √𝑘 (√ℎ𝑡 + √ℎ𝑟 ) ..................................................................................(I.3) Pada rumus di atas, ht dan hr adalah ketinggian (dalam meter) dari antena-antena pemancar dan penerima di atas horison umum keduanya. Secara umum, ketinggian tersebut bisa didekati dengan ketinggian terhadap tinggi rata-rata dari muka tanah. Variabel k adalah faktor efektif jari-jari bumi yang mewakili kenyataan bahwa adanya refraksi atmosfir, jarak berdasarkan horison radio umumnya lebih panjang dibandingkan jarak berdasarkan horison geometrik. Nilai k bergantung pada gradien
13
vertikal dari refraktivitas di dekat permukaan bumi dan berkisar antara 1,2 sampai 1,6 bergantung kondisi cuaca. Nilai tipikal k dalam kondisi iklim rata-rata adalah 1,3. Ketelitian tipikal posisi yang diberikan oleh sistem RTK adalah sekitar 1 - 5 cm, dengan asumsi bahwa ambiguitas fase dapat ditentukan secara benar (Abidin, 2006). Untuk mencapai tingkat ketelitian tersebut, sistem RTK harus dapat menentukan ambiguitas fase dengan menggunakan jumlah data yang terbatas dan juga selagi receiver bergerak. Sistem RTK dapat digunakan untuk penentuan posisi objek-objek yang diam maupun bergerak, sehingga sistem RTK tidak hanya dapat merealisasikan survei GPS real-time, tetapi juga navigasi berketelitian tinggi. Penentuan posisi titik-titik perum dalam survei hidrografi khususnya untuk pekerjaan pemetaan laut memiliki peranan yang sangat penting. Dengan pemanfaatan sistem RTK dalam pengukuran batimetri, posisi horizontal titik-titik perum yang diperoleh akan memiliki ketelitian yang relatif tinggi. Ilustrasi penentuan posisi secara real time kinematic pada pengukuran batimetri dapat dilihat pada Gambar I.3.
Gambar I.3. Penentuan Posisi dengan Metode Real Time Kinematic Sumber : Handbook of Offshore Surveying - Book One I.5.6. Pengolahan Data Batimetri Hasil dari pengukuran batimetri adalah berupa data kedalaman (h) dan data posisi (x,y). Maka untuk mendapatkan data kedalaman yang terkoreksi maka perlu mempertimbangkan koreksi tinggi muka air saat dilakukan pemeruman, koreksi draft
14
transducer dan koreksi barcheck (Septiyadi, 2013). Seperti dijelaskan pada rumus (I.4) dan seperti yang terlihat pada gambar I.4 : Hterkoreksi = Hechosounder + draft transducer + koreksi barcheck……...……..…...….(I.4) (Sumber: IHO SP-44 Tahun 2008)
Gambar I.4. Nilai kedalaman yang tereduksi terhadap bidang acuan (Sumber : Soeprapto, 2001) Pada gambar I.4 ditunjukkan angka kedalaman terkoreksi ke bidang acuan (Chart Datum). Untuk membedakan dengan angka ketinggian maka angka kedalaman menjadi bernilai negatif. Untuk area survei batimetri yang berada di laut (memiliki pasang surut), maka untuk mengetahui kedalaman titik-titik pemeruman yang tereduksi terhadap Chart Datum dipergunakan rumus: Hreduksi = (hmuka air – hchart datum) - Hterkoreksi……...………………………..…..…….(I.5) Untuk menunjukkan nilai kedalaman maka Hreduksi bernilai negatif yang digunakan untuk pembuatan garis kontur kedalaman, sedangkan untuk pembuatan DTM (Digital Terrain Model) digunakan nilai Z (angka ketinggian). Nilai Z ini diperoleh dengan rumus : Z = hchart datum + Hreduksi……...………………………….………………………….(I.6) Pengolahan data posisi titik pemeruman dilakukan untuk memperoleh angka posisi horizontal yang sesuai dengan bidang datum dan sistem proyeksi yang digunakan pada peta batimetri.
15
I.5.7. Uji Kualitas Data Pemeruman Hasil pengukuran batimetri perlu dilakukan uji kualitas data pemeruman untuk mengetahui kualitas dari data batimetri tersebut apakah diterima atau ditolak. Acuan yang digunakan untuk menentukan batas toleransi selisih kedalaman yaitu IHO SP 44 tahun 2008 dengan tingkat kepercayaan 95%. Adapun rumus untuk menghitung batas toleransi tersebut terdapat pada persamaan I.5 : √𝑎2 + (𝑏𝑥𝑑)2 ................................................................................................................................................ (I.7) Keterangan : a
: kesalahan independen
b
: faktor kesalahan kedalaman independen
d
: kedalaman rata-rata
(bxd)
: kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan
kedalaman yang dependen Nilai a dan b dalam persamaan I.5 tersebut disesuaikan dengan orde survei yang dilakukan seperti yang tercantum pada tabel I.4. Tabel I.4. Standar Ketelitian Kedalaman Orde Akurasi kedalaman
Spesial a = 0.25 m
1a a = 0.5 m
1b a = 0.5 m
2 a = 1.0 m
b = 0.0075
b = 0.013
b = 0.013
b = 0.023
(Sumber : IHO SP Tahun 2008) Uji ini dilakukan dengan mengasumsikan bahwa Hlu (kedalaman jalur utama) nilainya sama dengan Hls (kedalaman jalur silang) yang saling berpotongan. Adapun lebih lanjut disajikan pada persamaan (I.6) sampai dengan persamaan (I.9) (Widjajanti, 2011) seperti berikut : 1. Hlu = Hls = H ...................................................................................... (I.8) 2. Mean error: ̅ = 1 ∑(𝐻𝑙𝑢 − 𝐻𝑙𝑠) ................................................................. (I.9) 𝐻 𝑛 3. Standard deviation: 𝑆ℎ = ±
̅ 2 √∑𝑛 𝑖=1(𝐻𝑖−𝐻) 𝑛−1
...................................................................(I.10)
16
Keterangan: Hlu
: kedalaman lajur utama
Hls
: kedalaman lajur silang
̅ 𝐻
: beda kedalaman rata-rata
Hi
: Beda kedalaman lajur utama dan lajur silang
Sh
: Standar deviasi
Uji kualitas ini dilanjutkan dengan menghitung nilai kesalahan selisih kedalaman dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96σ. Jika nilai kesalahan data selisih kedalaman masih dalam batas toleransi kedalaman yang diperoleh dengan rumus I.6, maka kualitas sampel data kedalaman masuk dalam toleransi yang merujuk pada IHO SP-44 tahun 2008. Sedangkan jika nilai kesalahan data beda kedalaman diluar batas toleransi kedalaman, maka kualitas sampel data kedalaman tidak masuk dalam toleransi.