BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Aplikasi teknologi nuklir telah banyak dimanfaatkan tak hanya sebatas pembangkit listrik namun sudah merambah ke bidang medis, industri, pemrosesan makanan, pertanian, peternakan dan lainnya dengan memanfaatkan radioisotop hasil dari reaktor nuklir sehingga penilaian masyarakat tentang nuklir yang mempunyai dampak negatif bagi mereka perlahan sudah dapat terjawab bahwa peranan nuklir juga memiliki dampak yang positif [1]. Aplikasi teknologi nuklir dalam bidang medis sudah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya pasien di beberapa rumah sakit yang memiliki instalasi radiologi seperti untuk diagnosis dan terapi berbagai penyakit dalam dengan menggunakan radioisotop buatan hasil dari reaktor nuklir. Orang pertama yang memanfaatkan radioisotop untuk kesehatan yaitu Henri Danlos pada tahun 1901, Henri memanfaatkannya untuk mengobati penyakit tuberculosis pada kulit, namun yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C De Havessy yang pada tahun 1920-an meletakkan dasar prinsip perunut untuk penelitian biomedik dengan mempelajari distribusi dan metabolisme radioisotop alamiah (timah hitam, bismut, dan thorium) pada tanaman dan hewan [2][3]. Secara garis besar penggunaan teknologi nuklir yang dimanfaatkan untuk medis dikelompokkan menjadi 3 yaitu radioterapi, radiodiagnostik, dan kedokteran nuklir. Radioterapi adalah terapi radiasi eksternal menggunakan zat radioaktif yang terbungkus dan/atau pembangkit radiasi pengion dengan menggunakan teknik penyinaran secara fraksinasi dalam bentuk brakhiterapi maupun teleterapi. Menurut Peraturan Kepala BAPETEN nomor 9 tahun 2011 radiodiagnostik atau radiologi diagnostik merupakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan semua yang menggunakan radiasi untuk diagnosis dengan menggunakan panduan radiologi. Radiodiagnostik bertujuan untuk melihat fungsi tubuh secara anatomi menggunakan perangkat radiasi sinar pengion dengan memanfaatkan dua sifat penetrasi radiasi pengion melalui materi. Kedokteran nuklir merupakan kegiatan
penunjang untuk diagnostik secara in-vivo, in-vitro dan terapi radiasi menggunakan sumber radiasi terbuka dengan memanfaatkan emisi radiasi pengion dari bahanbahan tersebut dan distribusi mereka dalam tubuh [4]. Ketiga kegiatan di atas dalam suatu rumah sakit biasanya diampu dalam suatu unit yaitu unit radiologi yang pada masing-masing bagian di atas terdapat pekerja radiasi dengan keahlian dan fungsi masing-masing diantaranya petugas proteksi radiasi, dokter spesialis radiologi, tenaga ahli, fisikawan medis, radiografer dan operator pesawat sinar-X (X-Ray, CT Scan, LINAC dan Telecobalt). Personel-personel yang bekerja pada unit radiologi di atas yang biasa disebut sebagai pekerja radiasi sesuai dengan definisinya yang diperkirakan menerima dosis radiasi tahunan melebihi dosis untuk masyarakat umum seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Sajjad A. Memon dkk mengenai dosis radiasi yang diterima oleh beberapa pekerja radiasi di Nuclear Institute of Medicine and Radiotherapy (NIMRA) Jamshoro Pakistan yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 1.1 [5]. Tabel 1.1. Dosis pekerja radiasi di NIMRA [5] Annual Dose Percentage with Section Worker # (Jan-Dec 2012) Limit (20 mSv) (mSv) 1 1,73 8,7% Radiology 2 2,36 11,8% Nuclear 3 3,95 19,8% Medicine 4 7,78 38,9% Radio Immune 5 1,21 6,1% Assay 6 1,23 6,2% 7 1,62 8,1% Radiotherapy 8 1,29 6,5% Sesuai dengan Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 8 Tahun 2011 bahwa perlu adanya limitasi dosis kepada pekerja radiasi yang merupakan salah satu persyaratan proteksi radiasi yang mengacu pada Nilai Batas Dosis (NBD) bagi pekerja radiasi, sehingga perlu adanya penerapan optimasi proteksi dan keselamatan radiasi agar pekerja radiasi menerima paparan radiasi serendah mungkin yaitu sebesar 1/2 (satu per dua) dari NBD per tahun untuk pekerja radiasi yaitu sebesar 10 mSv (sepuluh milisievert) per tahun atau 0,2 mSv (nol koma dua milisievert) per minggu. Peralatan proteksi radiasi diperlukan supaya radiasi yang
diterima oleh pekerja radiasi tidak melebihi nilai batas dosis. Apron, tabir yang dilapisi Pb (timbal) dan dilengkapi kaca Pb, kacamata Pb, sarung tangan Pb, pelindung tiroid Pb, pelindung ovarium dan atau pelindung gonad Pb merupakan contoh dari peralatan proteksi radiasi [6]. Peralatan yang sering digunakan oleh pekerja radiasi pada unit radiologi adalah apron. Apron merupakan suatu jenis pakaian pelindung yang berfungsi sebagai perisai radiasi dan dibuat dari karet yang tipis dibagian luar dan pelat timbal pada bagian dalamnya. Apron mutlak untuk digunakan karena apron secara substansial dapat mengurangi dosis yang diterima oleh pekerja radiasi karena timbal memiliki nomor atom dan densitas yang tinggi sehingga radiasi dapat terserap oleh timbal tersebut [7]. Penelitian sebelumnya mengenai rekayasa perisai radiasi gamma pada pemanfaatan isotop
137
Cs dan
60
Co untuk terapi kanker telah dilakukan oleh Sri
Mulyono dkk, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa campuran komposit karet alam dan timbal oksida dengan komposisi timbal oksida 700 pphr memiliki kemampuan menahan radiasi yang setara dengan apron pelat timbal tebal 0,75 mm sehingga permasalahan mengenai perisai radiasi yang menggunakan pelat timbal yang kaku dan membuat tidak nyaman ketika digunakan dan tidak dapat mengikuti bentuk tubuh dapat terpecahkan berkat komposit karet alam yang memiliki sifat elastis [8]. Selain menggunakan komposit karet alam, pembuatan perisai proteksi radiasi juga dapat menggunakan kulit sintetis yang berbahan dasar Poly Vinyl Chloride (PVC) dan senyawa timbal yakni timbal (II) klorida. Penelitian yang dilakukan oleh Faiz Asyifaa Mohtar tersebut telah ditemukan bahwa campuran kulit sintetis dengan timbal (II) klorida 120 pphr dan ketebalan 0,85 mm setara dengan apron pelat timbal dengan ketebalan 0,5 mm. Berat total bahan apron yang dihasilkan lebih ringan dari pada apron yang ada sebelumnya [9]. PVC memiliki kelebihan karena mudah dicampur dan dapat bersenyawa dengan polimer lainnya namun memiliki kestabilan yang rendah pada suhu tinggi akan tetapi dapat dicegah dengan penggunaan stabilizer. PVC ketika diproses dan dicetak akan menjadi kaku dan kuat sehingga perlu penambahan plasticizer supaya meningkatkan flexibility dan processibility. Macam-macam plasticizer yaitu
Dioctyl Phthalate (DOP), Dioctyl Adipate (DOA), Dioctyl Sebacate (DOS) dan Din-octyl Phthalate (DnOP) [10]. PVC, stabilizer, dan plasticizer mutlak tidak dapat dihilangkan dalam pembuatan kulit sintetis karena masing-masing memiliki fungsi yang sangat penting. Berdasarkan penjelasan dan berbagai pertimbangan terhadap penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kulit sintetis dengan filler senyawa timbal yang telah dijelaskan di atas maka akan dilakukan penelitian lanjutan, dengan menggunakan kulit sintetis dengan variasi timbal (II) klorida (PbCl2) terhadap variasi Dioctyl Phthalate (DOP) sesuai dengan standar keselamatan yang berlaku. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan referensi mengenai variabel terbaik yang diperlukan untuk pembuatan apron kulit sintetis dengan filler PbCl2 yang dapat menahan radiasi gamma dengan energi tertentu.
I.2. Perumusan Masalah Petugas medis yang bertugas dalam unit radiodiagnostik mutlak memerlukan peralatan proteksi radiasi untuk melindungi organ-organ penting dari paparan radiasi supaya tetap berada di bawah NBD sesuai Peraturan Kepala BAPETEN No.8 Tahun 2011 Pasal 35 ayat 6 yang salah satunya yaitu penggunaan apron. Petugas medis selama ini telah memakai perisai yang biasa disebut sebagai apron dengan bahan berupa pelat timbal yang dimasukkan ke dalam kulit sintetis, namun apron tersebut tidak fleksibel dan berdampak pada kinerja jika digunakan dalam waktu
yang
lama.
Penyimpanan
apron
yang
biasa
dilakukan
hanya
menggantungkannya begitu saja sehingga apron mudah rusak terutama dibagian bawah karena mendapatkan tekanan dari pelat timbal. Masalah kenyamanan dalam penggunaan apron perlahan sudah menemukan titik terang ketika penelitian yang dilakukan oleh Faiz Asyifaa Mohtar dan Akhmad Aji Wijayanto telah menemukan apron dengan bahan kulit sintetis dengan filler PbO dan PbCl2 namun masih perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai senyawa timbal lainnya maupun pendalaman senyawa PbO dan PbCl2 dengan variasi bahan penting lainnya yang tidak dapat dihilangkan atau diabaikan dalam
pembuatan kulit sintetis yakni Poly Vinyl Cloride (PVC), Dioctyl Phthalate (DOP), dan stabilizer. Dari berbagai pertimbangan di atas maka dilakukan penelitian lanjutan mengenai penentuan komposisi bahan kulit sintetis dengan filler timbal (II) klorida (PbCl2) dengan 2 variabel bebas yakni variasi konsentrasi PbCl2 (80, 100, 120 dan 140 pphr) serta konsentrasi DOP (55, 60, 65 dan 70 pphr). Sampel yang telah dibuat akan dilakukan pengujian atenuasi terhadap radiasi gamma untuk mengetahui pengaruh dari kedua variabel tersebut serta dilakukan pengujian kuat tarik, kemuluran dan ketahanan sobek bahan sesuai dengan persyaratan mutu SNI 1294:2009.
I.3. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengaruh berbagai variasi konsentrasi filler timbal (II) klorida (PbCl2) dan Dioctyl Phthalate (DOP) pada pembuatan kulit sintetis terhadap nilai koefisien atenuasi bahan dan pengujian sifat kuat tarik, kemuluran dan ketahanan sobek bahan untuk keperluan proteksi radiasi sesuai dengan Peraturan Kepala BAPETEN No.8 Tahun 2011 dan standar SNI 1294:2009.
I.4. Batasan Masalah 1. Pengujian mengenai koefisien atenuasi kulit sintetis menggunakan sumber gamma dari 137Cs. 2. Lapisan kulit yang digunakan sebagai perisai utama dan dihitung atenuasi serta ketebalannya untuk memenuhi standar keselamatan adalah lapisan tengah. 3. Penetapan acuan koefisien atenuasi kulit sintetis berdasarkan pada besarnya koefisien atenuasi pelat timbal murni dengan ketebalan 0,5 mm yang sesuai dengan Peraturan Kepala BAPETEN No.8 Tahun 2011. 4. Pengujian sifat kuat tarik, kemuluran dan ketahanan sobek berdasarkan standar SNI 1294:2009.
I.5. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai pengaruh konsentrasi filler timbal (II) klorida (PbCl2) dan Dioctyl Phthalate (DOP) terhadap koefisien atenuasi dan kekuatan fisik sampel kulit sintetis yang dihasilkan. 2. Memberikan gambaran mengenai komposisi bahan kulit sintetis dengan filler PbCl2 yang sesuai dengan standar keamanan yang terdapat di Peraturan Kepala BAPETEN No.8 Tahun 2011 serta sifat kuat tarik, kemuluran dan ketahanan sobek yang sesuai dengan SNI 1294:2009. 3. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengembangkan penelitian mengenai kulit sintetis dengan filler PbCl2 atau senyawa timbal lainnya sebagai bahan proteksi radiasi.