1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kepulauan Sangihe merupakan kabupaten pemekaran yang berada di 244 km utara Manado ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten Kepuluan Sangihe berada di antara dua lempeng tektonik aktif yaitu lempeng pasifik yang bergerak ke arah barat laut dan lempeng eurasia yang bergerak ke arah tenggara (Bemmelen R.W. Van, 1949). Pergerakan lempeng tektonik bumi tersebut memiliki 3 jenis yaitu pergerakan lempeng bersubduksi, pergerakan lempeng saling menjauh dan pergerakan lempeng saling geser. Salah satu akibat dari pergerakan lempeng tektonik tersebut adalah gempa bumi. Gempa bumi yang terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik disebut juga gempa bumi tektonik. Gempa bumi tektonik merupakan akumulasi dari regangan lempeng tektonik bumi. Gempa bumi akan terjadi ketika regangan lempeng tektonik bumi mencapai suatu titik tertentu. Dalam kasus gempa bumi di Kepulauan Sangihe, telah terjadi 6 kali gempa bumi dengan kekuatan diatas 4.5 SR selama kurun waktu pengukuran 2014 dan 2015. Sementara untuk gempa bumi dengan korban jiwa terbesar adalah gempa bumi pada tanggal 12 Februari 2009 dengan kekuatan 7.4 Skala Richter dan mengakibatkan 700 bangunan rusak serta 42 orang terluka termasuk diantaranya 2 orang meninggal dunia. Untuk mengantisipasi dampak gempa bumi yang sedemikian besar, maka perlu dibuat sebuah peta potensi bencana gempa bumi. Tujuan pembuatan peta potensi bencana gempa bumi adalah memetakan daerah yang berpotensi terjadi gempa bumi di kemudian hari. Apabila daerah yang berpotensi gempa bumi sudah diketahui, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan berikutnya agar jumlah korban jiwa dan materiil dapat dikurangi. Pembuatan peta potensi gempa bumi membutuhkan beberapa data pendukung, salah satunya adalah data deformasi lempeng tektonik. Data deformasi lempeng
1
2
tektonik dapat diperoleh melalui pendekatan ilmu geodesi. Menggunakan Global Navigation Sattelite System (GNSS) dilakukan pengukuran secara periodik terhadap titik pantau deformasi untuk memperoleh koordinatnya. Titik pantau deformasi tersebut dipasang di sekitar daerah pergerakan lempeng tektonik. Deformasi lempeng tektonik dapat diketahui dengan membandingkan koordinat titik pantau yang diukur pada periode yang berbeda. Pengukuran titik pantau deformasi menggunakan alat GNSS tipe geodetik di Kepulauan Sangihe telah dilakukan di tahun 2014. Namun belum diperoleh data di tahun berikutnya untuk mengetahui berapa besar dan arah deformasi di Kepulauan Sangihe. Oleh karena itu, pada penulisan tugas akhir ini dilakukan pengukuran titik pantau deformasi tahun 2015. Selanjutnya dilakukan penelitian untuk mengetahui besar dan arah deformasi lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe berdasarkan data epoch 2014 dan 2015.
I.2 Identifikasi Masalah Pada pengukuran titik pantau deformasi di tahun 2014 telah diperoleh koordinat-koordinat titik pantau deformasi di Kepulauan Sangihe beserta ketelitiannya. Namun belum dapat ditentukan besar kecepatan deformasi lempeng bumi dan arah pergerakan lempeng bumi di Kepuluan Sangihe. Oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran deformasi di tahun 2015. Hasil dari pengukuran di tahun 2015 ini dibandingkan dengan pengukuran tahun 2014 dan dilakukan analisis untuk mengetahui besar pergerakan lempeng tektonik dan arah pergerakan lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe.
I.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut, maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Berapa nilai dan ketelitian koordinat titik-titik pantau deformasi di Kepulauan Sangihe pada epoch 2015 ?
3
2. Berapa besar dan arah deformasi lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe dari epoch 2014 ke 2015 ?
I.4 Cakupan Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan yaitu, pengukuran titik pantau deformasi di epoch 2015 dengan metode GNSS geodetik selama 3 DOY. Pengukuran dilakukan pada titik pantau deformasi SGH1, SGH2 dan SGH3. Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai koordinat titik pantau deformasi epoch 2015 menggunakan perangkat ilmiah GAMIT/GLOBK. Hasil penghitungan nilai koordinat epoch 2015 dibandingkan dengan nilai koordinat epoch 2014 lalu dilakukan uji pergeseran dan uji kesebangunan. Uji pergeseran dan uji kesebangunan dilakukan untuk mengetahui apakah pergeseran yang terjadi diterima secara statistika atau tidak. Tahapan paling akhir dari penelitian ini adalah penghitungan kecepatan pergeseran titik pantau deformasi per tahun serta arah pergeseran titik pantau deformasi yang merepresentasikan arah pergerakan lempeng di Kepuluan Sangihe.
I.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Teridentifikasi nilai dan ketelitian koordinat titik pantau deformasi lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe pada epoch 2015 2. Teridentifikasi besar dan arah deformasi lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe dari epoch 2014 ke 2015
I.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah kita dapat mengetahui besar dan arah deformasi lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe. Data besar dan arah deformasi tersebut digunakan sebagai data pendukung untuk membuat peta potensi bencana gempa bumi. Peta potensi bencana gempa bumi dapat digunakan pemerintah
4
untuk meningkatkan kewaspadaan di daerah-daerah yang tercantum pada peta serta mempermudah mitigasi bencana gempa bumi. Pada akhirnya diharapkan dapat memperkecil jumlah korban jiwa dan materiil akibat bencana gempa bumi yang datang di kemudian hari.
I.7 Tinjauan Pustaka Duong, Dkk. (2006) melakukan penelitian yang berkaitan dengan lempeng tektonik dan pergerakannya menggunakan GAMIT dan GLOBK. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pola pergerakan lempeng di patahan Lai Chau-Dien Bien yang terletak di barat laut Vietnam dan sering mengalami bencana gempa bumi. Data pengukuran dilakukan di tahun 2002 hingga 2004 pada tujuh stasiun pantau yang tersebar sepanjang patahan utama. Penelitian ini juga menggunakan software GAMIT untuk mengikatkan data ukuran GPS dengan stasiun IGS terdekat. Selanjutynya stasiun IGS tersebut diikatkan pada reference frame ITRF 2000. Hasil dari penelitian ini diperoleh kecepatan pergeseran antara 2.8-4.1 cm/tahun dengan ketelitian 0.090.38 cm pada masing-masing stasiun pantau. Pada tahun 2003 Bock, Dkk. melakukan studi deformasi lempeng tektonik bumi di Kepuluan Indonesia meliputi lempeng eurasia dan lempeng pasifik. Penelitian ini menggunakan pengamatan data GNSS di lebih dari 150 titik di Indonesia. Pengamatan GNSS tersebut dilakukan selama kurang lebih 10 tahun dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2001. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa adanya pergerakan lempeng secara relatif terhadap lempeng-lempeng di sekitarnya. Salah satunya adalah pergerakan lempeng Asia Tenggara yang bergerak relatif terhadap lempeng eurasia dengan kecepatan 6 cm ± 3 mm per tahun. Untuk lempeng yang berada di sekitar Kepulauan Sangihe teridentifikasi bergerak sekitar 4 cm per tahun ke arah tenggara. Nursetiyadi (2015) melakukan penelitian untuk menghitung koordinat dan ketelitian titik pantau deformasi di Kepulauan Sangihe. Penelitian ini menggunakan data pengukuran tahun 2014 yang diolah menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK. Hasilnya diperoleh ketelitian koordinat titik pantau SGH1, SGH2,
5
dan SGH3 untuk komponen horizontal sebesar 1 s.d 7 mm, sedangkan untuk komponen vertikal diperoleh ketelitian antara 5 s.d 9 mm. Titik-titik pantau deformasi Kepulauan Sangihe diukur menggunakan teknologi GNSS. Data tersebut akan dilakukan pengolahan menggunakan software ilmiah GAMIT/GLOBK 10.5. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah Reference Frame yang digunakan. Data pengukuran titik pantau deformasi akan diikatkan ke IGS dan dibawa ke ITRF 2008. Selain itu lokasi pengukuran juga menjadikan penelitian ini berbeda. Kepulauan Sangihe dan sekitarnya belum pernah dilakukan analisis deformasi sebelumya, sehingga besar dan arah deformasi di wilayah tersebut belum teridentifikasi.
I.8 Landasan Teori 1.8.1 Geodinamika Geodinamika merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang dinamika bumi (wikipedia.org/geodynamics,2011). Geodinamika merupakan kajian disiplin terpadu yang menggabungkan aspek-aspek geologi, geofisika, geodesi dan geokimia. Para ahli geodinamika biasanya menggunakan data GNSS geodesi, inSAR dan seismologi berikut pemodelan numeriknya, untuk mempelajari evolusi yang terjadi di dalam kerak, mantel dan inti bumi. Geodinamika lebih banyak mempelajari terbentuknya bumi dengan didukung dinamika bumi. Teori dinamika bumi berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Mulai dari teori kontraksi dan ekspansi pada abad 19 hingga teori tektonik lempeng. Teori tektonik lempeng pertama kali dikemukakan oleh dua orang ahli Geofisika dari Inggris, Dan McKenzie dan Robert L. Parker pada tahun 1967. Teori ini kemudian disempurnakan oleh J. Tuzo Wilson yang menyempurnakan teori-teori sebelumnya menjadi satu konsep yang diterima oleh ahli geologi dan dipakai hingga saat ini. Teori tektonik lempeng menerangkan tentang gerakan relatif antara litosfer dan interaksi litosfer-astenosfer. Litosfer merupakan salah satu lapisan bumi yang terdiri dari lempeng-lempeng besar dan kecil yang dinamakan lempeng tektonik. Lempeng
6
tektonik bergerak karena adanya arus konveksi di dalam tubuh bumi. Lempeng tektonik ini mengalami pergerakan meluncur di atas astenosfer yang plastis. Astenosfer merupakan lapisan di bawah litosfer yang bersifat plastis, mudah terdeformasi, memiliki viskositas rendah dan memiliki tebal beberapa ratus kilometer. Menurut McKenzie dan Parker (1967) pergerakan lempeng dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu : a. Pergerakan lempeng saling mendekat Pergerakan lempeng ini dapat menyebabkan terjadinya tumbukan yang salah satu lempengnya akan menunjam ke bawah tepi lempeng lain. Daerah penunjaman tersebut membentuk palung yang dalam dan merupakan jalur gempa bumi yang kuat. Sementara itu di belakang jalur penunjaman akan terjadi aktivitas vulkanisme dan terbentuknya cekungan pengendapan. Batas antar lempeng yang saling mendekat hingga mengakibatkan tumbukan dan salah satu lempengnya menunjam ke bawah lempeng yang lain (subduct) disebut batas konvergen atau batas lempeng destruktif. b. Pergerakan lempeng saling menjauh Pergerakan lempeng saling menjauh akan menyebabkan penipisan dan peregangan kerak bumi hingga terjadi aktivitas keluarnya material baru yang membentuk jalur vulkanisme. Meskipun saling menjauh, kedua lempeng ini tidak terpisah karena di belakang masing-masing lempeng terbentuk kerak lempek baru yang berlangsung secara kontinyu. Batas antar lempeng yang saling menjauh hingga mengakibatkan terjadinya perluasan punggung samudra disebut batas divergen atau batas lempeng konstruktif. c. Pergerakan lempeng saling melewati Pergerakan lempeng yang saling melewati terjadi karena gerak lempeng sejajar dengan arah yang berlawanan sepanjang perbatasan antarlempeng Pada pergerakan ini kedua perbatasan lempeng hanya bergesekan. Oleh karena itu, tidak terjadi penambahan atau pengurangan luas permukaan. Namun, gesekan antarlempeng ini kadang-kadang dengan kekuatan dan tegangan yang besar sehingga dapat menimbulkan gempa yang besar. Batas antar lempeng yang saling melewati dengan gerakan yang sejajar disebut batas menggunting (shear boundaries).
7
Teori tektonik lempeng sebagian besar berdasarkan pada dugaan perbedaan sifat-sifat deformasi dari litosfer dan astenofer. Karena perbedaan deformasi ini, maka jika ada suatu tekanan (stress) yang diberikan sepanjang suatu bagian dari lempeng maka tekanan tersebut dapat tersebar sampai ke bagian lempeng yang jauh. Tekanan tersebut dapat membuat patahan pada lapisan batuan litosfer. Akibat dari patahan tersebut terjadi getaran yang efeknya bisa dirasakan sampai permukaan bumi atau lebih dikenal sebagai gempa bumi. Analisis deformasi adalah suatu usaha utama dalam penelitian gempa dewasa ini. Analisis deformasi gempa bumi dapat dilakukan secara geometrik dan interpretasi fisik. Bidang ilmu geodesi lebih banyak membahas analisis deformasi secara geometrik. Menurut Chzanowski, dkk (1986) analisis geometrik dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu : a. Pergeseran Analisi pergeseran menunjukkan perubahan posisi menggunakan data perbedaan posisi yang didapat dari perataan kala berbeda. b. Regangan Analisis regangan menunjukkan perubahan posisi, bentuk dan ukuran suatu benda yang didapat dari perataan kala berbeda. Untuk melakukan analisis deformasi diperlukan sebuah survey defromasi untuk mengetahui perubahan posisi dari area deformasi. Survey defromasi bisa dilakukan dengan bermacam-macam metode. Salah satu dari metode yang digunakan adalah menggunakan data ukuran Global Navigation Sattelite System (GNSS) tipe geodetik dengan akurasi yang tinggi.
1.8.2 Geodinamika Kepulauan Sangihe Kepulauan Sangihe berada di antara lempeng-lempeng bumi yang aktif bergerak. Salah satu dari lempeng aktif yang berada di Kepulauan Sangihe adalah Lempeng Sangihe. Lempeng Sangihe memanjang dari timur Kepulauan Sangihe hingga Bagian selatan Provinsi Sulawesi Utara. Silver and Moore (1978) dalam “The Molluca Sea Collision Zone, Indonesia” menggambarkan arah pergerakan lempeng tersebut. Hasil penelitian dari Silver and Moore ditampilkan dalam Gambar I.1.
8
Gambar I.1 Arah Pergerakan Lempeng Sangihe (Silver and Moore, 1978) Pada Gambar I.1 diidentifikasi bahwa arah pergerakan Lempeng Sangihe adalah ke arah tenggara menuju Laut Maluku. Pergerakan lempeng ini akan bertemu dengan pergerakan lempeng halmahera yang berada di barat Pulau Maluku. Lempeng halmahera dentifikasi bergerak ke arah barat menuju Laut Maluku. Dari arah pergeseran ini, maka dapat diketahui bahwa kedua lempeng tersebut bergerak menuju arah yang sama. Pergerakan lempeng sangihe ke arah tenggara diperkiran akibat dari pergerakan lempeng yang lebih besar yaitu lempeng Eurasia yang juga bergerak ke arah tenggara. Sementara lempeng Halmahera lebih dipengaruhi oleh pergerakan lempeng pasifika yang mendesak ke arah barat laut. Pada penelitian oleh Bock, dkk (2003) berjudul “Crustal Motion in Indonesia from Global Positioning System Measurements” dicantumkan beberapa arah dan kecepatan pergerakan lempeng di Indonesia. Hasil penelitian tersebut dicantumkan dalam Gambar I.2.
9
Gambar I.2 Arah dan Kecepatan Pergerakan Lempeng di Indonesia (Bock. dkk, 2003) Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diidentifikasi besar dan arah pergerakan lempeng yang berada di dekat Kepulauan Sangihe. Untuk lempeng sangihe bergerak ke arah tenggara dengan kecepatan sekitar 4 cm / tahun. Sementara lempeng halmahera diidentifikasi bergerak ke arah barat dengan kecepatan sekitar 8 cm / tahun. Arah pergerakan lempeng hasil penelitian Bock, dkk ini sesuai dengan arah pergerakan lempeng sangihe yang diteliti oleh Silver dan Moore pada tahun 1978. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pergerakan lempeng di Kepulauan Sangihe dipengaruhi oleh pergerakan lempeng sangihe ke arah tenggara menuju Laut Maluku.
1.8.3 Global Navigation Sattelite System (GNSS) Global Navigation Sattelite System merupakan teknologi yang berbasis satelit. Teknik dasar GNSS adalah untuk mengukur jarak antara receiver dengan satelit yang mengorbit di atas permukaan bumi. Perkembangan teknologi GNSS menjadi semakin pesat beberapa tahun belakangan dengan diluncurkannya beberapa satelit GNSS. Pada
10
awalnya teknologi GNSS dibangun dan dioperasikan oleh Departemen Pertanahan Amerika Serikat (Parkinson adn Spilker 1996). Satelit GNSS pertama diberikan nama Global Positioning System (GPS) yang diluncurkan pada tahun 1978. Hingga saat ini, beberapa negara telah mengembangkan teknologi GNSS nya sendiri seperti Rusia yang meluncurkan satelit GLONASS. Serta satelit GALILEO milik Uni Eropa dan COMPASS milik China. Masing- masing satelit GNSS terdiri dari 3 buah segment yaitu segemen angkasa, segmen kontrol dan segmen pengguna.
Gambar I.3 Jenis Segmen dalam GNSS (El-Rabbany, 2002) Segmen angkasa terdiri dari satelit-satelit GNSS yang memiliki orbit di angkasa. Masing-masing satelit GNSS memancarkan sinyal yang mengandung beberapa komponen. Komponen tersebut ialah dua gelombang pembawa, dua kode digital dan sebuah pesan navigasi. Kode dan pesan navigasi ditambahkan ke dalam gelombang pembawa dalam bentuk modulasi biner dua fase (Wells, D.E , 1987). Segmen kontrol merupakan tempat stasiun pemantau dan pengendali mengoreksi informasi yang ada pada sinyal satelit. Segmen kontrol menentukan informasi broadcast ephemeris yang digunakan dalam perhitungan koordinat. Segment kontrol secara spesifik terdiri atas Ground Control Stations (GCS), Monitor Stations (MS), Prelaunch Compatibillity Stations (PCS) dan Master Control Stations (MCS) (Abidin, 1999). Segmen pengguna merupakan perangkat penerima yang digunakan oleh pengguna untuk dapat mengakses data koordinat GNSS. Seiring berkembangnya teknologi yang memanfaatkan GNSS, jumlah pengguna pun semakin meningkat. Data
11
koordinat dari GNSS dapat digunakan untuk beberapa kepentingan seperti navigasi. Aplikasi lain dari penggunaan GNSS adalah melakukan analisis deformasi lempeng bumi tektonik dengan memanfaatkan data GNSS berketelitian tinggi.
1.8.4 Penentuan Koordinat menggunakan Satelit GNSS Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah metode pengikatan ke belakang dengan jarak. Penentuan posisi dengan teknologi GNSS dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode absolut dan metode relatif. Penentuan posisi secara absolut tidak digunakan dalam penelitian ini karena menghasilkan data ukuran yang kurang teliti dibandingkan dengan penentuan posisi secara relatif. Proses penentuan posisi relatif ini juga bisa disebut penentuan posisi differensial. Pada penentuan posisi secara relatif minimal dibutuhkan dua buah receiver GNSS. Posisi yang diperoleh dari pengukuran di suatu titik akan dikoreksi menggunakan titik lain yang telah diketahui koordinatnya dan dijadikan sebagai titik acuan. Penentuan posisi dengan metode relatif tersebut dapat mereduksi dan/atau mengeliminasi kesalahan yang mungkin terjadi dalam suatu pengukuran GNSS sehingga menghasilkan data ukuran yang lebih teliti. Penentuan posisi secara differensial dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan pada banyaknya differencing yang dilakukan yaitu single difference, double difference dan triple difference (Abidin,1999). Dalam penelitian ini digunakan metode Penentuan posisi dengan Double Difference (DD) Pengamatan double difference (DD) memiliki beberapa karakteristik antara lain dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan satelit. dapat mereduksi efek dari kesalahan orbit dan bias ionosfer pada data pengamatan baseline yang tidak terlalu panjang. Oleh karena itu data posisi yang diberikan menjadi lebih teliti dan menjadi umum digunakan dalam survei GNSS. Berikut persamaan matematis yang merepresentasikan penentuan posisi double difference apabila digunakan dua buah receiver (di titik G dan H) yang mengamat pada dua buah satelit (S dan T). 1
𝜙𝐺𝐻 𝑆𝑇 = 𝜆 𝑑𝐺𝐻 𝑆𝑇 − 𝑁𝐺𝐻 𝑆𝑇 + 𝜙𝑖𝑜𝑛 + 𝜙𝑡𝑟𝑜𝑝 + 𝑚𝑢𝑙𝑡𝑖𝑝𝑎𝑡ℎ + 𝑛𝑜𝑖𝑠𝑒…………….(I.1)
12
1.8.5 International GNSS Service (IGS) IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG) pada tahun 1993 dan operasi formalnya dimulai tahun 1994. IGS beranggotakan organisasi dan badan multinasional yang menyediakan data GNSS, informasi orbit GNSS, serta data dan informasi pendukung penelitian geodetik dan geofisika lainnya. Disamping itu, IGS juga turut membangun spesifikasi dan standar nasional yang berkaitan dengan data dan informasi GNSS (IGS, 2004). Untuk mencapai tujuannya, saat ini terdapat lebih dari 350 stasiun GNSS dual frekuensi yang beroperasi secara terus-menerus. Di Indonesia sendiri terdapat 3 buah stasiun
IGS
yang
beroperasi
masing-masing
dengan
kode
bako
milik
BAKOSURTANAL yang berada di Cibinong, Jawa Barat. Lalu ada stasiun bnoa di Benoa, Bali dan btng di Bitung, Sulawesi Utara yang keduanya dimiliki oleh PGF. Masing-masing stasiun IGS dilengkapi receiver GNSS, menghasilkan data raw orbit dan data tracking. Produk dari IGS mendukung kegiatan saintifik seperti pengembangan dan perluasan International Earth Rotation Service (IERS), International Reference Frame (ITRF), memantau deformasi dari lempeng bumi dan variasi dari kenaikan muka air laut. Sebagai contoh, untuk penggunaan di pemantauan geodinamik yang menggunakan metode GNSS. Pada proses pengolahan data IGS dari stasiun terdekat dapat disertakan dengan data hasil pengamatan GNSS. Tujuannya adalah untuk menyamakan koordinat dari stasiun tersebut ke nilai ITRF nya. Data pengamatan GNSS tersebut dapat dianalisis dengan ketelitian maksimum dan bobot penghitungan yang minimun, dan juga hasil pengolahan tersebut akan terdefinisikan dengan baik dalam ITRF yang merupakan reference frame global (IGS, 2004).
1.8.6 Perangkat Lunak GAMIT dan GLOBK GAMIT merupakan paket analisis data GNSS yang dikembangkan oleh MIT, Harvard-Smithsonian Centre for Asrophysics, Scripps Institution of Oceanography dan Australian National University. GAMIT salah satunya berfungsi utuk melakukan
13
estimasi koordinat stasiun serta kecepatannya serta melakukan representasi dari deformasi setelah aktifitas seismik. GAMIT dioperasikan menggunakan sistem operasi LINUX dimana versi terakhirn yang diluncurkan adalah versi 10.50 (Herring, 2015). Dalam pengolahannya, GAMIT memerlukan delapan jenis input data, yaitu (Herring, 2015) : a. Raw data dari pengamatan GNSS. b. L-file, yang berisi koordinat dari semua stasiun pengamatan atau titik ikat yang digunakan dalam bentuk koordinat geosentrik. c. File station.info yang berisi informasi stasiun yang dipakai seperti lokasi stasiun, tinggi antenna, model antenna, model receiver, waktu pengamatan, serta firmware yang digunakan. d. File session.info yang berisi infromasi dari data yang akan diolah. Informasi tersebut antara lain DOY, sesi pengamatan, sampling rate, dan nomor satelit. e. File navigasi, bias berupa RINEX (Receiver Independent Exchange Format) Navigation Messages maupun efemeris yang disediakan IGS. f. File sestbl yang membuat control table mengenai karakteristik proses yang dijalankan oleh GAMIT. g. File sittbl yang digunakan untuk memberikan konstrain pada setiap stasiun pengamatan yang digunakan. h. File GPS ephemeris yang diperoleh dari IGS dalam format SP3. Hasil akhir dari pengolah data GNSS menggunakan GAMIT adalah : a. Q-file, berisi semua informasi hasil pengolahan data pengamatan GNSS dengan GAMIT. Data ini disajikan dalam dua versi Biasses-free Solution dan Biasses-fixed Solution. b. H-file yang berisi hasil pengolahan dengan Loosely Constraint Solution berupa parameter-parameter yang digunakan serta matriks varian kovarian pada pengolahan lanjutan dengan GLOBK. c. Autcln.summary-file yang berisi tentang data statistic hasil editing dengan autcln.
14
GLOBK merupakan paket program untuk melakukan analisis dan pengolahan lanjutan dari data pengukuran GNSS setelah diolah menggunakan GAMIT. GLOBK memerlukan file input berupa h-file yang dihasilkan dari pengolahan menggunakan software GAMIT. Kunci dari h-file yang digunakan dalam GLOBK adalah matriks varian kovarian dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring, 2006). GLOBK dapat menjalankan tiga mode aplikasi yaitu : 1. Mengkombinasikan hasil pengolahan individual untuk menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan lebih dari satu hari; 2. Mengkombinasikan hasil pengamatan bertahun-tahun untuk menghasilkan koordinat stasiun; 3. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individu. Data ini akan digunakan untuk menggeneralisasikan data time series dari pengamatan harian atau tahunan.
1.8.7 Perataan Jaring pada GAMIT/GLOBK Perangkat lunak GAMIT menggunakan konsep perataan loosely constarained network dengan menggunakan free-network quasi observation. Dengan melibatkan matriks varian kovarian sebagai persamaan hitungan kuadrat terkecil. Berikut merupakan model matematis yang belum mengalami iterasi La = F (Xa) …………………………………………………………………(I.2) Apabila terdapat dua receiver masing-masing pada stasiun G mempunyai vektor koordinat XG, YG, ZG dan stasiun H dengan vektor koordinat koordinat XH, YH, ZH. Dilakukan pengamatan terhadap dua satelit a dan b maka persamaan double difference dirumuskan sebagai berikut : 𝜌𝐺𝑎 = √[𝑋 𝑎 (𝑡) − 𝑋𝐺 ]2 + [𝑌 𝑎 (𝑡) − 𝑌𝐺 ]2 + [𝑍 𝑎 (𝑡) − 𝑍𝐺 ]2
………………(I.3)
𝜌𝐻𝑏 = √[𝑋𝑏 (𝑡) − 𝑋𝐻 ]2 + [𝑌𝑏 (𝑡) − 𝑌𝐻 ]2 + [𝑍𝑏 (𝑡) − 𝑍𝐻 ]2
………………(I.4)
15
Koordinat stasiun G dianggap memiliki suatu pendekatan yaitu (𝑋𝐺0 , 𝑌𝐺0 , 𝑍𝐺0 ) sehingga diperoleh nilai XG, YG, ZG seperti pada persamaan (I.5), (I.6), (I.7) 𝑋𝐺 = 𝑋 0𝐺 + 𝑑𝑋𝐺 ……………………………………………..………………(I.5) 𝑌𝐺 = 𝑌 0𝐺 + 𝑑𝑌𝐺 ……………………………………………..………………(I.6) 𝑍𝐺 = 𝑍 0𝐺 + 𝑑𝑍𝐺 …………………..………………………...………………(I.7) Kemudian persamaan (I.3) dan (I.4) dibuat menjadi linear sehingga membentuk persamaan berikut 𝜌𝐺𝑎 (𝑡) = 𝜌𝐺𝑎 + 𝑐𝑥 𝑎 (𝑡)𝑑𝑋𝐺 + 𝑐𝑦 𝑎 (𝑡)𝑑𝑌𝐺 + 𝑐𝑧 𝑎 (𝑡)𝑑𝑍𝐺 ………..……...…......(I.8) 𝜌𝐻𝑏 (𝑡) = 𝜌𝐻𝑏 + 𝑐𝑥 𝑏 (𝑡)𝑑𝑋𝐻 + 𝑐𝑦 𝑏 (𝑡)𝑑𝑌𝐻 + 𝑐𝑧 𝑏 (𝑡)𝑑𝑍𝐻 …….…........………..(I.9) Selanjutnya dilakukan subtitusi persamaan (I.8) dan (I.9) ke dalam persamaan matriks residu, menghasilkan penyelesaian double difference menjadi persamaan berikut : ∆∇𝐿𝐺𝐻𝑎𝑏 (𝑡) + ∆∇𝑟𝐶𝐺𝐻 𝑎𝑏 (𝑡) = ∆∇𝜌𝐺𝐻 𝑎𝑏 (𝑡) + ∆∇𝑐𝑥 𝑎𝑏 (𝑡)𝑑𝑋𝐺 + ∆∇𝑐𝑦 𝑎𝑏 (𝑡)𝑑𝑌𝐺 + ∆∇𝑐𝑧 𝑎𝑏 (𝑡)𝑑𝑍𝐺 − 𝜆∆∇𝑁𝐺𝐻 𝑎𝑏 ....(I.10)
Selanjutnya penerapan metode parameter berbobot pada persamaan I.2 menjadi persamaan (1.11) L’a = Xa ……….........………….……….……………………........……....(I.11) Maka didefinisikan matriks bobot sebagaimana matriks (I.12) dan peramaan matriks residu pada persamaan (I.13) berikut ini : 𝑃=[
𝑃1 0
0 ]……………………………………………………………......(I.12) 𝑃2
V = AX + L …………………………………………………………………(I.13) Dalam hal ini matriks A, X dan L dapat dilihat dalam persamaan berikut : A = [∇𝑐𝑥𝐺𝐻𝑎𝑏 (𝑡) ∇𝑐𝑦𝐺𝐻𝑎𝑏 (𝑡)
∇𝑐𝑧𝐺𝐻𝑎𝑏 (𝑡) -λ ] …………………………(I.14)
L = [∆∇𝐿𝐺𝐻 𝑎𝑏 (𝑡) − ∆∇𝜌𝐺𝐻 𝑎𝑏 (𝑡)] …………………………………………..(I.15)
16
𝑑𝑋𝐺 𝑑𝑌𝐺 X=[ ] ………………………………………………………………(I.16) 𝑑𝑍𝐺 ∆∇N𝐺𝐻 Maka hasil persamaan observasi yang telah dilinearisasi menjadi persamaan berikut : 𝑋0 − 𝑋𝑏 L’ = [ 𝑌0 − 𝑌𝑏 ] ……………………………………………………………..(I.17) 𝑍0 − 𝑍𝑏
1.8.8 Evaluasi Hasil Perataan GAMIT/GLOBK Perangkat lunak GAMIT melakukan analisis terhadap dua buah output yaitu postfit nrms dan nilai fract. Posfit nrms merupakan perbandingan nilai varian aposteriori dan varian apriori untuk bobot. Nilai postfit nrms dapat dinyatakan dalam persamaan berikut (Herring, dkk., 2006). √𝑥 2
σ̂2
Postfit nrms = √(𝑛−𝑢) dan 𝑋 2 = 𝜎2
….………………………….………….(I.18)
Jika, σ̂ 2 : varian aposteriori untuk unit bobot 𝜎 2 : varian apriori untuk unit bobot n : jumlah ukuran u : ukuran minimum Nilai postfit nrms dalam perataan GAMIT dinyatakan memenuhi nilai standard apabila bernilai kurang dari 0.25 m. Apabila nilai yang dihasilkan tidak sesuai standard maka diindikasikan adanya bias dan kesalahan yang terjadi (Herring, dkk., 2006). Selain menggunakan nilai postfit nrms, evaluasi juga dilakukan dengan cara menghitung nilai fract. Nilai fract merupakan perbandingan antara nilai adjust dan nilai normal. Nilai fract dapat dinyatakan dalam persamaan berikut fract =
𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙
……………………………………………………………….(I.19)
17
Jika, adjust : nilai perataan yang diberikan pada parameter hitungan formal : ketidakpastian pada pemberian bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil Nilai fract tidak boleh lebih besar dari 10. Perbandingan nilai adjust dan nilai formal yang besar dapat diindikasi sebagai kejanggalan pada nilai adjust dan perlu tidaknya dilakukan iterasi.
1.8.9 Uji Kesebangunan Jaring Uji kesebangunan jaring dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa adanya kemungkinan perubahan bentuk jaring yang digunakan pada masing-masing periode pengamatan. Pengujian dilakukan terhadap jaring pemantauan deformasi secara global (Widjajanti, 1997). Berikut beberapa tahapan yang harus dikerjakan untuk melakukan uji kesebangunan jaring deformasi : 1. Membentuk model hitungan berdasarkan pasangan titik pantau atau parameter deformasi dari kedua periode. Model hitungan ini berupa persamaan syarat yang ditunjukkan pada persamaan I.20 UdVd + d = 0 ………………………………………………….…….(I.20) Ud : matriks koefisien koreksi pengamatan d
: vektor pergeseran titik pantau
Vd : vektor koreksi pergeseran
2. Menghitung nilai korelat pergeseran K Nilai korelat pergeseran dihitung dengan persamaan I.21 dam I.22 K = (Ud Qd UdT)-1 d ……………………………………………(I.21) 𝑄 (𝑓) Qd = [ 0
0 ] 𝑄 (𝑘)
……………………………………………(I.22)
Q(f)
: matriks kofaktor parameter periode pertama
Q(k)
: matriks kofaktor parameter periode kedua
3. Menghitung nilai koreksi pergeseran titik objek Vd dan ̅̅̅ 𝑉𝑑 Perhitungan nilai koreksi pergeseran dilakukan menggunakan persamaan I.23 dan I.24
18
Vd = -Qd UdT K
……………………………………………..(I.23)
̅̅̅ 𝑉𝑑 = Qd-1 Vd
…………………………………………….(I.24)
4. Menghitung varian nilai pergeseran dengan persamaan I.25 dan I.36 2 : 𝜎0𝑑 =
Varian apriori pergeseran
2 Varian aposteriori pergeseran : 𝜎̂0𝑑 =
2(𝑗)
̂0 𝜎
2(𝑘
̂0 +𝜎 2
𝑉𝑑𝑇 𝑄𝑑−1 𝑉𝑑 𝑟
…………...…(I.25)
……………….(I.26)
5. Menyusun hipotesis Ho
2 2 : bentuk jaringan tidak mengalami perubahan ( 𝜎̂0𝑑 = 𝜎0𝑑 )
Ha
2 2 : bentuk jaringan mengalami perubahan ( 𝜎̂0𝑑 > 𝜎0𝑑 )
6. Menetapkan taraf uji (𝑎0 ) 7. Menentukan nilai batas 𝐹1−∝,∞,𝑟 dari tabel fungsi Fisher dengan argument 𝑎0 dan r (jumlah persamaan syarat). 8. Menguji hipotesis nol (Ho) dengan menggunakan persamaan I.27 ̂2 𝜎
Hipotesis nol ditolak jika : 𝜎0𝑑 2 > 𝐹1−∝,∞,𝑟 …………………………(I.27) 0𝑑
Apabila H0 diterima, mengindikasikan bahwa tidak terjadi pergeseran pada jaring pantau deformasi. Sebaliknnya, apabila H0 ditolak, menunjukkan adanya pergeseran pada jaring pemantauan.
1.8.10 Uji Pergeseran Titik Uji ini dilakukan apabila hasil uji kesebangunan ditolak dengan tujuan untuk mengetahui titik-titik pantau yang mengalami pergeseran. Dalam mendeteksi pergeseran setiap titik pantau deformasi dilakukan pengujian pada masing-masing titik pantau. Berikut merupakan tahapan uji pergeseran titik (Widjajanti, 1997) 1. Menyusun hipotesis Ho : titik ke-i tidak mengalami pergeseran Ha : titik ke-i mengalami pergeseran
19
2. Menetapkan taraf uji (αo). 3. Menentukan nilai batas dari tabel fungsi Fisher dengan argument αo. 4. Menghitung nilai Wdi untuk setiap titik pantau sesuai dengan persamaan I.28 dan I.29. 𝑊𝑑𝑖 =
𝑄𝑑𝑖−1 𝑉𝑑𝑖 𝜎𝑜𝑑 √𝑁𝑑𝑖
………..………………………………………….(I.28)
𝑁𝑑 = 𝑈𝑑𝑇 (𝑈𝑑 𝑄𝑑 𝑈𝑑𝑇 )−1 𝑈𝑑 ……...……………………………….(I.29) 5. Menguji hipoteis nol (Ho). Hipotesis diterima apabila nilai |Wdi| ≤ nilai tabel Fisher, apabila Ho diterima maka titik ke-I tidak mengalami pergeseran, sebaliknya jika Ho ditolak maka titik ke-I mengalami pergeseran.
1.8.11 Uji Signifikansi Beda Dua Parameter Setelan diketahui titik mana yang mengalami pergeseran, selanjutnya dilakukan uji signifikansi beda dua parameter untuk mengetahui apakah pergeseran titik tersebut signifikan secara statistik atau tidak. Uji statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji signifikansi beda dua parameter. Cara melakukan analisis adalah dengan menghitung beda dua buah parameter yang dihitung pada epoch berbeda dibagi dengan akar kuardrat masing-masing simpangan bakunya. Dalam model matematis dibuat menjadi persamaan berikut (Widjajanti,2010). 𝑡=
𝑥1 −𝑥2 2 +𝜎 2 √𝜎𝑥1 𝑥2
…………………………………………………….....………(I.30)
Terjadi perbedaan dua parameter secara signifikan apabila, t ≤ t (α/2,df). Jika, x1
: komponen koordinat pertama titik pantau deformasi
x2
: komponen koordinat kedua titik pantau deformasi
2 𝜎𝑥1
: simpangan baku komponen koordinat pertama titik pantau deformasi
2 𝜎𝑥2
: simpangan baku komponen koordinat kedua titik pantau deformasi
20
I.9 Hipotesis Penelitian Nursetiyadi (2015) telah menghasilkan nilai koordinat dan ketelitian masing-masing titik pantau deformasi di tahun 2014. Ketelitian komponen horizontal sebesar 1 s.d 7 mm dan ketelitian komponen vertikal sebesar 5 s.d 9 mm. Silver and Moore (1978) melakukan penelitian tentang pergerakan lempeng di Laut Maluku, Indonesia. Diidentifikasi pergerakan lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe adalah ke arah tenggara menuju Laut Maluku. Bock, dkk. (2003) melakukan penelitian tentang lempeng bumi tektonik di Indonesia menggunakan pengukuran Global Positioning System. Diidentifikasi pergerakan lempeng tektonik di sekitar Kepulauan Sangihe ke arah barat laut dengan kecepatan sekitar 40 mm per tahun. Pergerakan lempeng ini dipengaruhi oleh desakan lempeng pasifik, sementara lempeng Kepulauan Sangihe berdasarkan penelitian Silver and Moore dipengaruhi oleh lempeng Eurasia yang bergerak lebih lambat ke arah tenggara. Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut : 1. Ketelitian pengukuran komponen horizontal tahun 2015 antara 1 s.d 7 mm dan ketelitian komponen vertikal sebesar 5 s.d 9 mm. 2. Lempeng tektonik di Kepulauan Sangihe bergerak dengan kecepatan kurang dari 40 mm / tahun ke arah tenggara.