BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam Undang-undang dasar pasal 33 ayat 3 telah dijelaskan bahwa sesungguhnya segala sumber daya berupa air, tanah dan kekayaan alam yang ada didalamnya merupakan milik bangsa Indonesia dan dipergunakan sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat Indonesia. Sepattutnya Indonesia yang secara berdaulat memiliki kekayaan alamnya. Sesungguhnya jika kita telah berhasil menguasai kekayaan bangsa ini kita dapat berdaulat secara utuh baik secara politik maupun ekonomi. Akan tetapi, hal yang terjadi dalam prakteknya sangat jauh dari Undang-undang dasar 1945. terjadi banyak privatisasi dan deregulasi mengenai sector ekonomi di Indonesia. Privatisasi ini malah dilakukan pada sektor-sektor penting yang menyumbangkan devisa yang tiada ternilai jika dipergunakan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia sendiri. Sektor sumber daya air, telekomunikasi, pendidikan dan kesehatan, merupakan sektor yang penting dan sesungguhnya dijamin oleh negara kesediannya tetapi dengan alasan efektivitas dan meningkatnya persaingan negara memerikan akses masuk kepada sektor swasta terlebih swasta asing. Seperti kita ketahui Indonesia sangat kaya akan sumber daya mineral dan migas. Salah satunya ialah daerah blok cepu. Pengelolaan blok cepu ini pada awalnya diserahkan kepada pihak PT. Pertamina yang merupakan salah satu BUMN. Namun,. Terjadi penyerahan hak pengelolaan blok cepu oleh Humpuss Patragas (HPG) milik Tommy Soeharto. Pemberian konsesi dillakukan melalui penandatanganan kontrak bantuan teknis yang dikenal dengan Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan HPG pada tanggal 3 Agustus 1990. peristiwa ini dimungkinkan terjadi mengingat pengaruh politik Tommy yang begitu kuat saat itu. Karena itu, pemberian kontrak TAC Blok Cepu kepada HPG sangat kenal dengan proses KKN.1 Tarik ulur dalam negosiasi pelelolaan Blok Cepu akirnya berujung pada penandatanganan Joint Operating Agreement (JOA) pada 15 Maret 2006. penandatanganan kesepakatan ini menjadi anti-klimaks dari proses panjang perjuangan mengembalikan pengelolaan Blok Cepu kepada Indonesia. Kesepakatan para pihak yang menetapkan ExxonMobil (EM) pada posisi puncak dalam organisasi pengelola Blok Cepu memperbesar kepemilikan atas sumber daya minyak blok cepu setelah sebelumnya mereka juga telah menandatangani kontrak kerja sama pada 17 spetember 2005. KKS memperpanjang keikutsertaan EM dalam pengelolaan Blok Cepu hingga 2030 I.2 perumusan Masalah Bagaimana pengaruh sumber daya alam dalam menentukan politik suatu negara dan konteks lokal yang terjadi di Indonesia dalam Pengelolaan Blok cepu Oleh Exxon Mobil ? I.3 Kerangka Teori 1
Marwan Batubara. Tragedi dan Ironi Blok Cepu Jakarta:Bening citra 2006 hal 3-4
Betapa besar kompetisi antarmanusia demi kesuksesan diri tersebut digambarkan Harold L wilensky dalam The Early Impact of Industrialization on Society, adanya industrialisasi dan modernisasi dngan kompleksitas perubahan sesungguhnya merupakan pergeseran dalam peran-peran. Jika sebelum era industri masyarakat memiliki ethos “who you are” tetapi kemunculan industri mengubahnya menjadi “what you can do or learn to do” (William A. Fauce 1967:83)2 Demi menuruti kemauan industrialisasi, sumber daya alam yang pasif tadi dieksploitasi secara luas. Semakin berhasil manusia mengeksploitasi sumber daya alam, semakin sukses manusia mengendalikan kehidupannya dan semakin banyak pula material income yang didapatkan. Hanya saja ekologi yang menjadi persoalan ialah ketika pabrik-pabrik dan pusatpusat ekonomi didirikan dengan mengorbankan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan posisi lingkungan sabagai penyedia bahan baku maupun lingkungan sebagai objek dari proses industrialisasi. I.4 Tujuan Penulisan Tujuan disusununya makalah ini ialah untuk memebrikan pemahaman umum bahwa sumebr daya alam memainkan peran yang sangat penting dalam politik serta unsure yang penting dalam kelangsungan suatu negara. I.5 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan ialah studi literature dari berbagai sumber seperti buku untuk penguasaan konsep dan teori serta jurnal-jurnal untuk mengetahui fakta-fakta terbaru mengenai kasus yang diangkat I.6 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Menjelaskan latar belakang serta konteks politik sumber daya alam mengenai pengelolaan Blok Cepu, salah astu sumber daya minyak Indonesia Bab II : Pembahasan Membahas secara mendalam mengenai proses-proses politik terjadinya pengelolaan sumber daya alam minyak di Indonesia dan berdampak terhadap terhambatnya proses demokratisasi di Indonesia. Bab III : Kesimpulan 2
Rachmad K. Dwi Susilo. Sosiologi Lingkungan Jakarta: Rajawali Press 2008
Penulis mencoba memberikan kesimpulan tentang masalah yang dibahas dalam makalah ini.
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Sumber Daya Alam dan Hambatan terhadap Demokrasi Para ilmuwan politik percaya bahwa minyak merupakan barang yang langka. Maksudnya ialah, minyak merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan. Minyak memiliki posisi yang strategis dalam posisi tawar-menawar bagi suatu negara. Namun, dampaknya yang terjadi ialah bahwa peningkatan penerimaan negara terhadap hasil minyak berkorelasi negatif terhadap demokratisasi yang terjadi di negara itu. Dalam tulisannya does Oil Hinder Democracy ? Michael L. Ross memberikan gambaran gejala-gejala yang terjadi akibat peningkatan penerimaan pemerintah terhadap proses demokrasi di banyak negara. Gejala yang dialami Indonesia disebutkan seperti suatu “kutukan sumber daya” (resource curse) karena banyak negara miskin dan terbelakang didalam negara berkembang secara paradoks memiliki sumber daya alam yang banyak. Terdapat pula bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa sumber daya tersebut telah menghambat pertumbuhan negar tersebut dan dampaknya cenderung negatif bagi negara tersebut. Michael L. Ross mengungkapkan tiga konsep untuk menganalisis gejala pengaruh sumber daya alam terhadap kemunduran demokrasi khususnya di negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang dapat dibilang kaya. Diantaranya ialah negara yang memiliki sumber daya alam yang banyak cenderung akan tumbuh menjadi negara pengungut rente. Mekanisme sebab dari konsep negara pemungut rente ini ialah bahwa negara dapat menerapkan pengambilan pajak dari ekspor sumber daya yang dimiliki negaranya. Dengan adanya sumber pajak dari luar negeri mereka dapat mengurangi efek pajak bagi warga negara mereka, dengan begitu pemerintah telah memegang lebih sedikit kewajiban dari pajak masyarakat. Kemudian pemerintah ini cenderung tidak akuntabel terhadap pengeluarannya.3 Argumentasi yang logis dari efek ini ialah bahwa permintaan representatif dan prinsip akuntabilitas yang lebih tinggi akan akan muncul didalam masyarakat yang diberikan kewajiban pajak yang lebih tinggi oleh negara. Selain itu, pajak diberbagai negara maju mengindikasikan bahwa negara tersebut telah maju dan sejahtera secara ekonomi.4 Lalu komponen yang kedua dari efek negara pemungut rente ialah efek pengeluaran. Pemasukan negara dari minyak akan memberikan dampak terhadap pengeluaran untuk pemerintah sendiri semakin besar serta pengeluaran terhadap birokrasi pemerintahan. Hal ini jelas merupakan efek laten yang negatif terhadap demokrasi yang ditimbulkan oleh penerimaan negara dari minyak sebagai contoh ialah bahwa pemerintah Arab Saudi mempergunakan penerimaan minyak bumi mereka untuk program yang dapat menolong mereka dari tekanan keinginan untuk berdemokrasi.
3 4
Giacomo Luciani. Allocation vs. Production states : A Theoritical Framework dalam Beblawi dan Luciani Michael L. Ross. Does Oil Hinder Dwemocracy ? World Politics 53 (April 2001)
Selain efek negara pemungut rente, efek negara cenderung sebagai sumber represi jika mereka memiliki sumber daya minyak yang melimpah. Warga negara pada negara yang kaya akan sumber daya alam mungkin saja pada hakikatnya menginginkan dmokrasi seperti warga engara diseluruh dunia. Akan tetapi, kekayaan sumber daya alam dapat memungkinkan pemerintah untuk membelanjakan penerimaannya lebih kepada untuk menjaga keamanan internal dan mencegah kepopuleran aspirasi demokratis. Lebih jelas lagi efek represif ini menjaga demobilisasi masyarakat dalam masuknya aspirasi demokratis yangdapat menyerang masyarakat. Kemudian dampak yang terjadi jika penerimaan pemerintah tinggi dari minyak akan berdampak pada modernisasi dibanyak sektor masyarakat. Teori modernisasi yang membuat spesialisasi pekerjaan, urbanisasi dan level pendidikan yang lebih tinggi. Modernisasi pada hakikatnya membawa masyarakat lebih edukatif dan sadar akan hak dan kewajibannya. Akan tetapi kasus yagn terjadi di Kuwait dan Libya telah memberikan gambaran bahwa tetap memiliki pemerintahan yang otoriter meski tetap berpendirian demokratis dan modernisasi tetap terjadi disana. Pada intinya modernisasi tetap menjaga masyarakat untuk tidak termobilisasi berbagai isu demokratis. II.2Krisis Energi dan Meningkatnya Kebutuhan Sumber Daya Minyak Krisis energi tahun 1970 telah lewat dan telah terjadi perubahan yang sangat besar terhadap sumber daya minyak pada tahun 2002 harga minyak menjadi $24 per barel. Dunia mengalami peningkatan produksi minyak dan masyarakat dunia tidak khawatir tentang kelangkaan minyak lagi. Tak ada lagi dibenak mereka tentang konservasi energi dan penghematan untuk pembangunan berkelanjutan. Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada para ilmuwan yang dapat menggenjot kembali produksi minyak dengan cara mencari ladang-ladang minyak baru bagi konsumsi dunia. Sebenranya waktu ini merupakan waktu yang tepat untuk merumuskan diberlakukannya sumber energi baru bagi manusia karena menurut Departemen Energi Amerika puncak produksi minyak global diperkirakan 25 tahun lagi and setelahnya akan terjadi penurunan produksi hingga akhirnya cadangan minyak menurun dan selebihnya hilang –karena minyak bumi merupakan sumber daya alam takterbaharukan.5 Namun, ditengah-tengah kejadian meningkatnya produksi minyak dunia banyak ahli geologi dan konsultan minyak mempublikasikan bahwa akan terjadi puncak produksi minyak kurang dari tahun 2010. selain itu, sebuah studi yang menuai kontroversi yaitu Science and Scientific American telah menekan para perusahaan minyak yang tidak melaporkan cadangan minyak sebenarnya pada media. Padahal politisi dan pembuat kebijakan sangat kurang terhadap informasi tersebut. Hal itu memungkinkan terjadi kesalahan pada pembuatan kebijakan karena estimasi cadangan minyak ini yang cenderung berubah-ubah dan berbeda tergantung siapa yang menentukannya.
5
Jeremy Rifkin. The Hydrogen Economy Cambridge: Polity Press (2002) hal 14-16
Meski para ahli geologi telah setuju ada 875 miliar barel jumlah dari seluruh cadangan minyak dunia, konsumsi minyak terus dilakukan. Argumen yang salah ialah terjadi pemahaman terhadap kata “cadangan” minyak. “Cadangan” berbeda dengan “sumber”. “Cadangan” berarti segala sumber minyak yang diketahui jumlahnya yang ada di lapangan dan dapat diproduksi (ekstrak) dengan segala macam teknologi dan jangka waktu yang dapat dilihat dan dapat ditentukan harga komersilnya. Sedangakan “sumber” berarti sebuah estimasi teoritis dari semua total minyak bumi yang ada di dunia. Sayangnya, berhubungan dengan tumbuhnya perasaan skeptis terhadap jumlah cadangan minyak bumi yang tidak jelas perkiraannya hal ini malah disengaja oleh negara. Estimasi yang berbeda ini sesungguhnya sangat penting dalam arena geopolitik yang damaknya dapat dirasakan hingga puluhan tahun. Dalam realitasnya terjadi peningkatan eksplorasi minyak dari tahun 1970, 1980 hingga hari ini. Berhubungan dengan argumen para ahli ekonomi bahwa kenaikan harga minyak sebenarnya akan memberikan dampak kepada timbulnya eksplorasi-eksplorasi baru sumber minyak dunia. Akan tetapi, hal tersebut nampaknya tidak terjadi karena pada kenyataanya produksi dunia cenderung berkurang dan eksplorasi menunjukan belum ditemukannya sumber minyak baru selain dengan cara menggenjot produksi minyak pada tempat yang telah ada. Hal ini diakui dari laporan U.S Geological survey concurs. Penurunan temuan cadangan minyak yang dapat dibuktikan menjadi sangat penting dalam proyek peningkatan konsumsi minyak dalam dua decade mendatang. Dengan populasi manusia diperkirakan dari 6.5 miliar menjadi 7.5 miliar pada tahun 2020, tekanan dari permintaan minyak serta kebutuan cadangan minyak menjadi sangat intensif. Peningkatan populasi akan membawa dampak percepatan proses urbanisasi yang berarti lebih banyak bahan bakar untuk transportasi, pemanasan, listrik, dan produksi industri agrikultur. Kebutuhan energi dari polulasi yang terus berkembang akan semakin mendesak ketegangan yang tidak terduga dari sisa cadangan minyak bumi. Sangat mustahil terjadi untuk mengatakan setiap orang di dunia akan menikmati akses terhadap jumlah minyak per kapita seperti yang pernah dinikmati oleh AS selama masa keemasaan minyak. Bila Cina mengonsumsi minyak seperti AS pada waktu zaman keemasan minyak jumlah konsumsi Cina akan sebesar 81 juta barel per hari. Jumlah tersebut lebih dari 10 juta barel dari produksi minyak pada tahun 1997. meskipun Cina dan India mempertinggi konsumsi energi mereka kepada level per kapita seperti Korea Selatan, dalam majalah Fortune dikatakan dua negara tersebut akan memerlukan total 119 juta barel per hari. Jumlah tersebut hampir 50 persen dari permintaan minyak dunia pada tahun 2000.6 Naiknya permintaan minyak pada negara industri dan berkembang akan menjadi faktor serius dalam pertahanan geopolitik pada masa awal abad 21. dapat ditekankan pula bahwa isu tidak hanya berkembang dalam habisnya minyak bumi tetapi juga dalam kasus bahwa kita telah dekat pada puncak produksi minyak bumi yang telah menjadi pelancar perkembangan industri. 6
Ibid, 23
II.3 Aspek Politik Penguasaan Energi di Indonesia Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satu diantaranya ialah sumber daya migas. Minyak bumi dan gas yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia ini pada hakkatnya merupakan seluruh kekayaan yang dimiliki Indonesia dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Namun, pengelolaan yang awalnya memang diserahkan kepada Pertamina sebagai salah satu BUMN menjadi diberikan kepada perusahaan swasta yaitu PT Humpuss Patragas (HPG). Dalam konsesi yang diberikan kepada HPG sebenarnya telah terjadi kontrroversial. HPG diberikan konsesi melalui Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan HPG pada tanggal 3 Agustus 1990. dalam kontrak TAC sesuai UU No. 8/1971, posisi Pertamina adalah sebagai pelaksana Kuasa Pertambangan dan Usaha Migas atas mandat dari pemerintah.7 Sedangkan HPG bertindak sebagai kontraktor pelaksana tugas yang membantu eksploitasi minyak di Blok cepu sehingga hasil produksinya dapat meningkat. Oleh sebab itu, dalam kontrak ini Pertamina berperan sebagai pengelola dan HPG sebagai pelayan. Belakangan karena mengaku mengalami kesulitan modal, HPG menjual 49% sahamnya kepada Ampolex, perusahaan minyak asal Australia pada bulan Mei 1996. Ampolex diakuisisi oleh Mobil pada bulan Desember 1996, sehingga 49% saham HPG berpindah tangan ke Mobil. Lalu pada tahun 200 terjadi malapetaka dengan dijualnya seluruh sisa saham HPG (51%) kepada Exxon Mobil (PT. Mobil). Dengan demikian, maka seluruh saham HPG di Blok Cepu menjadi milik Exxon Mobil. Konsekuensinya, peran yang dulu dimainkan HPG berpindah sepenuhnya ketangan EM. Meski demikian, pemilikan EM atas 100% samah HPG tersebut sama sekali belum mengubah isi TAC dimana peramina sebagai pengelola dan HPG (yang digantikan Exxon Mobil) sebagai pelayan. Didalam proses panjang ini sebetulnya telah terjadi berbagai tekanan dan konspirasi yang licik untuk tujuan Blok Cepu dikuasai oleh Exxon Mobil. EM sendiri berhasil menjadi pengendali Blok Cepu setelah berupaya selama hampir delapan tahun (sejak 1998). Upaya ini dilatarbelakangi oleh ambisi untuk menguasaai sumber migas yang sangat besar di Blok Cepu, yang khusus untuk daerah Banyu Urip saja, mempunyai cadangan minyak sebesar 2.6 miliar barel dan gas sebesar 14,91 TCF (triliun cubic feet). Bhakan berdasarkan survei dan kajian oleh HPG pada tahun 1995, potensi Blok Cepu secara keseluruhan mencapai 10,96 miliar barel minyak dan 62,64 TCF gas. Dengan recovery rate 30%, maka potensi cadangan migas Blok Cepu dapat mencapai 3,28 miliar minyak dan 18,89 TCF gas. Jika harga minyak 60 dolar AS/barel dan harga gas 3 dolar AS/mmbtu, maka pendapatankotor dari kedua jenis SDA tersebut adalah 196,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.400 triliun. Kalapun recovery rate turun menjadi hanya 20%, maka pendapatan kotor yang diperoleh menjadi hanya 20%, maka 7
Batubara, Op.Cit. hal 5-6
pendapatan kotor yang diperoleh menjadi 128,2 miliar dolar AS + 37,58 miliar dolar AS= 165,74 miliar dolar AS aau sekitar Rp 1.500 triliun. Inilah factor terpenting yang menjadi motivasi EM untuk menguasai Blok Cepu.8 Ikut campurnya Pemerintah AS dalam negosiasi Blok Cepu, juga negosiasi dalam pengelolaan minyak dalah hal yang dapat dimengerti mengingat kepentingan AS yang sangaat besar untuk menguasai akses minyak diberbagai dunia. Dalam konteks politikekonomi, minyak merupakan factor utama dari system ketahanan nasional. Aktivitas ekonomi suatu negara sangat bertumpu pada ketersediaan minyak. Terutama bagi negaranegara maju, minyak merupakan penyokong utama yang memungkinkan bekerjanya industri. Nilai minyak justru kian menjadi strategis karena minyak tidak terbaharukan dan persediaannya kian menipis. Bukan sesuatu yang mengherankan jika negara-negara maju seperti AS selalu menempatkan minyak sebagai bagian terpenting dari kebijakan poitik dan bahkan pertahanan mereka. Negara-negara industri senantiasa berupaya menjaga pasokan minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Karena nagka konsumsi yang besar, sementara produksi dalam negeri tidak mencukupi, mereka juga mengandalkan pasokan minyak dari negara lain. Kebutuhan konsumsi Amerika Serikat sendiri mencapai sekitar 25% dari angka konsumsi minyak dunia, jauh lebih beasr dari produksi minyak yang dihasilkannya yang sekitar 6%. Menlu AS Condoleezza Rice dihadapan komite Senat yang menangani hubungan internasional pada awal april 2006 mengakui, politik energi mempengaruhi bentuk diplomasi AS diseluruh dunia. Seraya menunjuk Cina, Rice mengatakan perebutan kekayaan enegi global menigkatkan persaingan antara AS dan banyak negara di dunia. Semunya mengincar kekayaan energi di banyak kawasan yang menemukan kekayaan alam yang lazim disebut sebagai emas hitam9 Wajar jika akses pada sumber-sumber minyak dunia menjadi kata kunci bagi strategi geopolitik AS. Masalahnya, AS tidak berkompetisi sendirian. Ia juga harus bersaing dengan negara-negara maju yang juga memiliki konsumsi yang tinggi dalam hal sumber daya minyak. Analisis lain ialah bagaimana strategi AS untuk menguasai Iraq dengan menganggap Iraq sebagai pemilik senajata pemusnah massal. Padahal dibalik itu AS menggulingkan Saddam dengan tujuan memudahkan jalan AS menguasai sumber daya minyak di Iraq dengan dibantu Inggris selaku sekutunya.10 TOTAL KONSUMSI ENERGI PRIMER PER ORANG (2002) DALAM JUTA BTU NEGARA JUMLAH Brazil 48,7 Cina 33,3 8 9
Batubara Loc. Cit.hal 101 Kompas, 25 April 2006
10
Dibalik Perang Irak http://www.pesanharunyahya.com diakses pada tanggal 26 Maret 2008
Jerman India Jepang Amerika Serikat
173,1 13,3 172,3 339,1
Sumber: EIA11 Ironisnya, perubahan ini terjadi bukan saja karena upaya EM dan tekanan pemerintah AS tetapi juga oleh bantuan yang sistematis dari pejabat-pejabat dan oknumoknum pemerintahan Indonesia sendiri. Pemerintah memang berulangkali mencoba meyakinkan bahwa proses Joint Operation Agreement menempatkan EM dan Pertamina dalam posisi yang sejajar. Namun dengan duduknya EM pada posisi-posisi strategis seperti general manager dan manager pada beberapa divisi kunci sedangkan Pertamina hanya diberi jabatan pada posisi komisaris yang tidak memiliki akses langsung pada kebijakan operasional dilapangan dan manajer pelengkap pada beberapa divisi, maka kendali Blok cepu pada praktiknya berada di tangan EM. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI mempengaruhi peta sengketa Blok Cepu. Bagi EM sendiri perkembangan ini dianggap sebagai penyegaran kembali setelah sebelumnya lobi-lobi yang dilakukan pada pemerintahan Megawati dan Gus Dur dirasa telah menemui kebuntuan. Hanya selang beberapa bulan setelah SBY dilantik, disela-sela sidang APEC pada November 2004 di Santiago, Chili, Presiden Bush menyempatkan diri untuk bertemu dengan SBY. Agenda pembicaraan didominasi mengenai kontrak-kontrak perusahaan minyak AS di Indonesia. Speperti penuturan Menteri Sekertaris kabinet sudi Silalahi yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut bahwa Bush tidak secara to the point menyebutkan Cepu dan Tuban. Akan tetapi, memang sempat dibicarakan mengenai evaluasi kontrak-kontrak perusahaan minyak yang ada di Indonesia.12 Pada akhirnya penandatanganan Joint Operating Agreement ditandatangi secara resmi oleh EM dan Pertamina. Sempat terjadi kendala akibat Dirut Pertamina Widya Purnam selama ini sangat keras mempertahankan posisi Pertamina sebagai operator Blok Cepu. Akan tetapi, secara mendadak Widya Purnama dicopot adri jabatannya sebagai Dirut Pertamina digantikan oleh Ary Sumarno. Penandatangan yang dilakukan ini bertepatan dengan kunjungan Menlu AS Condoleezza rice kesejumlah lokasi di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2008.
BAB III KESIMPULAN Peran Sumber daya alam dalam Politik saat ini menjadi sangat krusial. Terutama dimensi ekonomi politik Internasional. Kita telah melihat bagaimana peran sumber daya alam yang dapat menghambat demokrasi. Hal ini lantas terjadi pula di Indonesia sebagai 11 12
Kenneth B. Medlock global Crude Oil and Natural Gas : Geology, Geography, and Geopolitics Tempo Interaktif, 25 November 2005
negara yang menjunjung tinggi demokrasi telah tunduk kepada negara yang mengakui paling demokratis sedunia yaitu Amerika Serikat. Dalam setiap kebijakan luar negerinya AS selalu beralasan menempatkan kepentingan nasional dan perdamaian dunia. Akan tetapi kepentingan nasional ini telah mencederai proses demokrasi yang terjadi di Indonesia. Dunia saat ini memang sedang dilanda isu krisis energi. Krisis energi ini berdampak pada terbentuknya opini bahwa sumber daya alam sebagai penghasil energi utama merupakan kepemilikan strategis bagi suatu bangsa. Akan tetapi, kita diingatkan kembali dengan teori limit to growth bahwa sumber daya alam didalam perut bumi memiliki batas jika terus dieksploitasi demi kepentingan manusia. Energi mineral ini juga dapat menghasilkan pemanasan global yang dampaknya berpengaruh pada perubahan iklim global. Jelas sudah proses negosiasi yang terjadi di Blok Cepu antara pertamina dan EM tidak dilakukan murni berdasarkan kepentingan bisnis. Arome kepentingan politis kedua negara justru erlihat lebih kental. EM tampak benar-benar memanfaatkan posisinya sebagai erusahaan AS untuk menekan pemerintah Indonesia. Pemerintah AS pun tidak segan memberikan bantuan lobi dan berdiri dibelakan EM. Lobi presiden Bush terhadap SBY menegaskan hal tersebut. Padahal, ikut campurnya pemerintah suatu negara dalam negosiasi bisnis yang dilakukan perusahaan adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah sewajarnya hanya melakukan negosiasi terkait dengan kebijakan dengan pemerintah lain. Ikut terlibatnya suatu pemerintah dalam negosiasi bisnis perusahaan mengindikasikan ada kepentingan-kepentingan pragmatis tertentu dari pemerintah tersebut. Keputusan pemerintah dalam pengelolaan Blok Cepu melalui JOA merupakan kerugian teramat besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia terpaksa kembali kehilangan kesempatan emas untuk menuju kemandirian ekonomi. Keputusan pemrintah atas Blok cepu merupakan bukti nyata tidak adanya perubahan strategi dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam sejak empat puluh tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah masih dominannya kelompok mafia Berkeley yang ingin melanjutkan kebijakan ekonomi Indoensia sesuai dengan konsep IMF/Bank Dunia. Strategi kebijakan subordinasi Mafia Berkeley ini dapat terus berlanjut karena didukung oleh tidak adanya ketegasan dan kemauan politik (political will) dari pemimpin nasional untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri secara ekonomi. Sangat disesalkan pengorbanan asset yang sangat besar dari eksploitasi sumber daya alam lagi-lagi tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Giacomo Luciani. Allocation vs. Production states : A Theoritical Framework dalam Beblawi dan Luciani
L. Ross. Michael, Does Oil Hinder Dwemocracy ? World Politics 53 (April 2001) K. Dwi Susilo, Rachmad, 2008. Sosiologi Lingkungan Jakarta: Rajawali Press Batubara, Marwan et. Al. 2006. Tragedi dan Ironi Blok Cepu. Nasionalisme yang Tergadai. Jakarta: Bening Citra Rifkin, Jeremy. 2002 The Hydrogen Economy Cambridge: Polity Press hal 14-16 Dibalik Perang Irak http://www.pesanharunyahya.com diakses pada tanggal 26 Maret 2008