BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Kota Bandung memiliki daya tarik yang luar biasa dalam bidang pariwisata. Sejak jaman penjajahan Belanda, Bandung menjadi daerah tujuan wisata karena keindahan alamnya dan cocok sebagai tempat beristirahat. Namun tak hanya karena keindahan alamnya, kini Kota Bandung mendapat banyak julukan. Tidak hanya sebagai daerah tujuan wisata, namun juga disebut sebagai kota pendidikan, kota fashion, kota kuliner dan kota wisata belanja. Hal ini dibuktikan dari jumlah pengunjung yang meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir terutama di waktu akhir pekan. Jumlah pengunjung Kota Bandung meningkat menjadi 10 juta jiwa di tahun 2012 dari tahun sebelumnya yang mencapai 6,7 juta jiwa (Pikiran Rakyat, 12 September 2012). Pengunjung sebagian besar berasal dari luar kota seperti Jakarta dan sekitarnya. Fenomena ini merupakan potensi dan juga masalah bagi Kota Bandung. Di satu sisi, citra kota sebagai daerah tujuan wisata berbelanja meningkatkan kontribusi PAD Kota Bandung secara signifikan. Di sisi lain, fenomena ini membawa dampak buruk seperti kemacetan lalu lintas, tata ruang yang buruk dan tumbuhnya sektor informal. Saat ini, aktifitas sektor formal perdagangan pakaian dan kuliner terpusat di beberapa tempat di Kota Bandung. Deretan factory outlet (FO), café dan rumah makan terlihat di sepanjang Jalan Riau, Jalan Dago, dan Jalan Martadinata. Mall besar seperti Cihampelas Walk, Bandung Supermall, Paris van Java dan Bandung Indah Plaza tersebar di kawasan perkotaan Bandung. Pusat perbelanjaan dapat ditemui di Pasar Baru Trade Center di Jalan Otto Iskandar Dinata, ITC Kebon Kalapa di Jalan Dewi Sartika dan Kings Shopping Center di Jalan Kepatihan. Pusat-pusat
1
perbelanjaan tersebut berada di kawasan komersial pusat kota di sekitar Alun-alun Kota Bandung. Kawasan komersial ini seakan menjadi etalase Kota Bandung dan penggerak roda perekonomian sektor perdagangan terbesar. Terpusatnya kegiatan tersebut berdampak pada kemacetan di beberapa ruas jalan yang disebabkan oleh tumbuhnya parkir on-street dan munculnya pedagang kaki lima (sektor informal) secara sporadis. Sektor informal di era krisis moneter menjadi sektor yang luar biasa berperan dalam menyelamatkan perekonomian Kota Bandung. Sektor ini dapat menyerap banyak tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dan mampu memberikan kontribusi pendapatan daerah yang besar. Sektor informal yang berkembang sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir ini mayoritas pekerjanya berasal dari luar daerah di Jawa Barat. Hal ini disebabkan sektor formal kurang dapat menampung pekerja dari kawasan hinterland atau dari kota sekitar Bandung ini. Perkembangan sektor informal sejak awal kurang mendapatkan perhatian sehingga dalam perkembangannya menjadi kurang terkendali karena minimnya pengawasan. Keberadaan PKL di satu sisi memberikan dampak manfaat yang cukup besar bagi perkembangan perekonomian (Kuswardani dan Haryanto, 2005). Di sisi lain, keberadaannya dapat sangat mengganggu masyarakat disebabkan aktifitasnya yang dilakukan di trotoar bahkan di bahu jalan sehingga seringkali menimbulkan ketidaknyamanan bagi pejalan kaki hingga menyebabkan kemacetan lalu lintas. Dari segi tata ruang, kehadiran sektor ini membawa dampak buruk seperti menimbulkan kemacetan
lalu
lintas,
masalah
sampah,
kekumuhan
dan
kesemrawutan.
Keberadaannya dinilai sudah mengganggu kenyamanan dan keindahan kota, meski disatu sisi eksistensinya tetap dibutuhkan sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat kecil (Jurnal Pendidikan Profesional, 2008). Dalam menghadapi kondisi tersebut, terkesan keberpihakan pemerintah selama ini hanya memperhatikan, memprioritaskan dan mengutamakan sektor formal, ketimbang sektor informal (Budihardjo, 1993). Padahal keberadaan sektor ini merupakan potensi penggerak ekonomi kota. Permasalahan PKL juga muncul karena 2
belum adanya ruang/tempat yang mewadahi secara layak para PKL di dekat pusatpusat kegiatan yang juga membutuhkan keberadaan mereka (Sulistyarso, 2004). Tindakan pemerintah saat ini hanya sebatas penertiban yang sering berakhir ricuh. Selain penertiban, perlu dilakukan penataan dan pembinaan terhadap sektor informal. Pedagang kaki lima (PKL) sebagai sektor informal tidak dapat dikendalikan jumlahnya atau dicegah keberadaannya karena sektor ini sejatinya sudah menjadi kebutuhan sehari-hari penduduk kota. Umumnya, sektor ini menempati ruang terbuka publik seperti trotoar, taman bahkan badan jalan. Permasalahan kemudian muncul ketika terdapat konflik kepentingan antara PKL dengan sesama pengguna ruang publik. Keberadaan PKL memunculkan ketidaknyamanan pejalan kaki yang menggunakan trotoar. Selain itu pengguna jalan terganggu akibat kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan PKL yang menggunakan badan jalan. Ruang terbuka publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian ways), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis, dan bermakna. Responsif dalam arti ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis, artinya ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Okupasi PKL dan parkir on-street pada ruang terbuka publik khususnya jalan dan trotoar merupakan permasalahan utama di kawasan komersial Kota Bandung. Pemerintah kota melalui Perda Kota Bandung No. 4 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan PKL telah mengatur area yang diperbolehkan untuk aktivitas PKL. Salah satu kawasan yang melarang adanya aktivitas PKL yaitu kawasan tujuh titik dimana kawasan ini berada di kawasan komersial pusat Kota Bandung. Kawasan tujuh titik terdiri dari Jl. Kepatihan, Jl. Asia Afrika, Jl. Dalem Kaum, Jl. Otto Iskandar Dinata, Jl. Dewi Sartika, Jl. Merdeka dan area sekitar Alun-alun Bandung. Namun dalam penerapannya, peraturan daerah ini belum secara signifikan
3
diimplementasikan dilihat dari kondisi saat ini dimana PKL masih menempati ruangruang publik. Upaya Pemerintah Kota Bandung telah tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL serta diimplementasikan dalam Peraturan Walikota Nomor 888 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perda yang mengatur PKL. Pada kenyataannya, perda dan perwal tersebut belum mampu untuk mengatasi masalah PKL di Kota Bandung. Penertiban yang dilakukan terkadang disertai dengan tindakan pemaksaan dan kekerasan dari petugas ketertiban. Setelah pelaksanaan penertiban, para PKL kembali menempati ruang-ruang terbuka publik bahkan dengan jumlah yang lebih banyak. Selain itu, arahan zonasi PKL dalam perwal yang mengatur zona yang diperbolehkan dan dilarang berdagang masih dilanggar oleh PKL. Mereka ingin pemerintah menyediakan ruang untuk berjualan di tempat yang banyak pembelinya. Persoalan PKL tak pernah tuntas karena pemindahan PKL ke lokasi yang baru justru mematikan nafkah pedagang karena ketiadaan pembeli. Maka tak heran, kendati PKL sudah direlokasi, tetap saja kembali ke tempat semula karena alasan ketersediaan pembeli. Penataan PKL di ruang terbuka publik diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pemecahan solusi di Kota Bandung untuk menciptakan kenyamanan bagi pengunjung, pengguna kendaraan, masyarakat setempat dan Pemerintah Kota Bandung. Jalan Kepatihan dipilih menjadi wilayah studi perencanaan ini karena jalan ini merupakan jalan yang sangat strategis dan memiliki fungsi penting dalam aktivitas kota di sektor perdagangan dan jasa. Di jalan ini berdiri dua pusat perbelanjaan besar yang menjadi magnet kawasan yaitu Kings Shopping Center dan Yogya Kepatihan. Akibat aktifitas dari dua pusat perbelanjaan tersebut, di sepanjang Jalan Kepatihan dan area sekitarnya tumbuh aktifitas PKL yang menjadi salah satu permasalahan kawasan komersial tersebut. Tingginya minat pengunjung menyebabkan kawasan ini semakin padat hingga tidak ada lagi lahan kosong dan para PKL tumpah ruah ke 4
badan
jalan.
Kegiatan tersebut
menimbulkan kemacetan,
ketidaknyamanan
pengunjung, timbunan sampah dan kekumuhan. Penataan ruang terbuka publik di kawasan komersial sebagai tempat beraktifitas PKL sangat dibutuhkan dalam upaya revitalisasi kawasan perkotaan. Meningkatnya PAD dari sektor ekonomi perdagangan selayaknya diimbangi dengan meningkatnya kualitas ruang publik, sarana dan prasarana perkotaan. Perlunya penataan ruang terbuka publik sebagai tempat beraktifitas PKL mutlak dilakukan sebagai upaya meminimalisasi dampak negatif keberadaan PKL. Suatu tindakan merencanakan dan mengatur kegiatan PKL pada suatu lingkungan tertentu secara langsung atau tidak langsung akan memberikan pengaruh terhadap karakter lingkungan yang ditempatinya yang kemudian dapat dikategorikan sebagai tindakan urban design. Diharapkan dengan adanya upaya penataan ruang dalam wujud rancang kota (urban design) dapat mengurangi konflik kepentingan antara PKL dengan sesama pengguna ruang publik lainnya. Upaya tersebut diharapkan pula dapat mendukung visi Kota Bandung sebagai kota jasa yang menjunjung tinggi kedisiplinan akan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota.
I.2. Perumusan Masalah Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, diketahui permasalahan utama Jalan Kepatihan adalah munculnya aktifitas PKL yang berkembang secara sporadis, tidak teratur, kumuh serta tidak terencana di kawasan fungsional pusat kota. Selain itu belum ada arahan penataan ruang dalam wujud urban design untuk menempatkan PKL dalam ruang terbuka publik. Pemerintah Kota Bandung melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan telah berupaya mengatur penataan ruang publik, namun masih belum dijabarkan secara rinci terutama dari aspek fisik dan aktifitas PKL. Keberadaan PKL di Jalan Kepatihan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi mereka yang menggunakan jasanya. Namun keberadaan PKL di jalan 5
ini menimbulkan permasalahan terutama terkait munculnya konflik kepentingan antara PKL dengan sesama pengguna ruang terbuka publik sehingga mengganggu ketertiban dan ketentraman umum. Secara sistematis, rumusan masalah tersebut disusun sebagai berikut. 1. Terganggunya kelancaran berlalulintas kendaraan bermotor dimana kemacetan lalu lintas yang terjadi di ruas Jalan Kepatihan diakibatkan oleh aktifitas PKL dan area parkir kendaraan yang menggunakan badan jalan. 2. Ketidaknyamanan masyarakat dalam menggunakan ruang terbuka publik dikarenakan PKL menempati trotoar sehingga menyulitkan para pejalan kaki dan juga konsumen. Selain mengurangi kenyamanan, hal ini dapat membahayakan keselamatan pejalan kaki. 3. Belum adanya kesesuaian fungsi kawasan sebagai pusat perbelanjaan (kawasan komersial) pada ruang terbuka publik, ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya dan fisik lingkungan. 4. Berkurangnya estetika kawasan karena aktifitas PKL yang menimbulkan kesemrawutan, timbunan sampah, sanitasi yang buruk dan kekumuhan. Kondisi sarana dan prasarana ruang terbuka publik pun belum memadai. Dari penjabaran perumusan masalah diatas, muncul suatu hipotesis perencanaan yaitu
Perlunya penataan ruang terbuka publik di Jalan Kepatihan
dalam wujud urban design dari segi elemen fisik dan aktifitas. Konsep penataan yang digunakan sebagai pendekatan perancangan kawasan yaitu konsep pedestrian mall.
I.3. Maksud dan Tujuan Menilik permasalahan yang telah disebutkan di atas, maksud dari perencanaan ini adalah sebagai upaya menyertakan PKL sebagai salah satu elemen penting yang wajib dipertimbangkan dalam setiap perencanaan dan penataan ruang terbuka publik khususnya di kawasan komersial. Keberadaan PKL telah menjadi satu kesatuan dari bagian ruang terbuka publik sehingga perlu dipertimbangkan rancangan kriteria
6
penataan lokasi serta bentukya. Penataan yang dimaksud tidak hanya berfokus pada elemen fisik, namun juga meliputi elemen aktifitas. Tujuan dari penataan ruang terbuka publik di Jalan Kepatihan ini antara lain : 1. Menciptakan ruang terbuka publik di kawasan komersial dengan konsep pedestrian mall yang nyaman dan kondusif. Kenyamanan yang dimaksud adalah kualitas sarana dan prasarana yang mendukung, penataan PKL dan kelancaran berlalu lintas. Kondusif yang dimaksud adalah kondisi yang tenang dan tentram dalam kegiatan beraktifitas masyarakat. 2. Membangun citra Kota Bandung yang bersih dan tertib sesuai slogan Kota Bandung “Bermartabat” Kota Jasa yang Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. 3. Memberikan alternatif solusi penyediaan ruang bagi PKL di ruang terbuka publik agar dapat meningkatkan pendapatan dan memaksimalkan potensi ekonomi daerah Kota Bandung dalam sektor informal dengan imagenya sebagai kota wisata belanja.
I.4. Sasaran Sasaran dari perencanaan penataan ruang terbuka publik di Jalan Kepatihan ini antara lain: 1. Mengidentifikasi karakteristik elemen fisik dan elemen aktifitas PKL dan pengunjung di Jalan Kepatihan. 2. Melakukan pendekatan konsep pedestrian mall dalam penataan PKL di ruang terbuka publik dalam wujud urban design.
I.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang lingkup spasial dan ruang lingkup substansial. Ruang lingkup spasial menjelaskan batasan-batasan
7
wilayah studi, sedangkan ruang lingkup substansial menjelaskan tentang jenis dan kedalaman analisis.
I.5.1. Lingkup Spasial Ruang lingkup wilayah spasial dalam perencanaan ini adalah Jalan Kepatihan yang berada di kawasan komersial Kota Bandung yang dibatasi oleh Jalan Otto Iskandar Dinata (barat) dan Jalan Dewi Sartika (timur): Jalan Kepatihan ini terletak di Kelurahan Balong Gede, Kecamatan Regol, Kota Bandung. Lokasi studi ini dipilih berdasarkan pertimbangan urgensi masalah yang telah menjadi permasalahan utama di Kota Bandung. Tingkat kualitas ruang terbuka publik menurun dan sudah berlangsung lama sehingga memerlukan penanganan yang cepat. Untuk lebih jelas mengenai orientasi wilayah studi perencanaan terhadap Kota Bandung dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar I.1. Orientasi Wilayah Studi Terhadap Kota Bandung Sumber : http://penataankota.blogspot.com
8
Gambar I.2. Lokasi Amatan Perencanaan Sumber : Google Map diakses 2011 I.5.2. Lingkup Substansial Penataan ruang terbuka publik di Jalan Kepatihan termasuk dalam kategori perancangan kota (urban design) yang menerapkan perencanaan dan perancangan tata bangunan dan lingkungan yang meliputi elemen fisik dan aktifitas. Pembagian lingkup substansi yang akan dibahas, didasarkan pada sasaran yang ingin dicapai. Adapun kajian-kajian teori maupun substansi yang mendukung tercapainya maksud dan tujuan perencanaan, yaitu mencakup : a) Materi pendukung dalam melakukan kajian; terdiri dari konsep rancang kota (urban design), konsep pedestrian mall, ruang terbuka publik, materi pendukung lainnya dalam mempermudah pencapaian tujuan. b) Fokus kajian atau pembahasan dalam studi ini dibatasi beberapa aspek, yaitu : 1. Ruang terbuka publik (tipe koridor) meliputi jalan dan jalur pedestrian. 2. PKL meliputi PKL yang berada di trotoar dan badan jalan Jl. Kepatihan serta PKL yang berada di sub jalan.
9
3. Penataan ruang terbuka publik meliputi penataan elemen fisik yaitu sirkulasi dan parkir, jalur pedestrian, aktifitas pendukung dan penandaan (signage), sedangkan penataan elemen aktifitas meliputi fungsi dan aktifitas pengguna ruang terbuka publik termasuk di dalamnya PKL. 4. Penataan ruang terbuka publik didasarkan pada konsep pedestrian mall yang menekankan aspek kenyamanan dan keamanan bagi pengguna ruang publik.
I.6. Manfaat a) Manfaat untuk ilmu perencanaan wilayah dan kota 1. Gambaran, pelajaran dan pengalaman mengenai konsep penataan ruang terbuka publik di kawasan komersial yang menyertakan PKL sebagai elemen penting dalam perancangan ruang terbuka publik. 2. Masukan untuk perencanaan dan penelitian selanjutnya. b) Manfaat untuk pemerintah dan instansi terkait 1. Gambaran, pelajaran dan pengalaman mengenai konsep penataan ruang terbuka publik di kawasan komersial yang menyertakan PKL sebagai elemen penting dalam perancangan ruang terbuka publik. 2. Masukan untuk penyusunan perencanaan yang terkait dengan aktifitas PKL di perkotaan. c) Manfaat untuk pihak lain 1. Gambaran, pelajaran dan pengalaman mengenai konsep penataan ruang terbuka publik di kawasan komersial yang menyertakan PKL sebagai elemen penting dalam perancangan ruang terbuka publik. 2. Informasi kepada peneliti lain yang berminat untuk lebih mendalami masalah PKL di perkotaan.
10
I.7. Kerangka Pikir
Gambar I.3. Kerangka Pikir Sumber : Data diolah, 2013
11