BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Setiap bisnis menghadapi tantangan yang setara antara pertumbuhan pendapatan dan pengelolaan risiko. Hal ini disebabkan setiap keputusan bisnis mengandung elemen risiko didalamnya. Salah satunya adalah di dalam proses pembuatan sebuah produk. Mulai dari keputusan untuk menetukan bahan baku, kadar, kemasan, dan lainnya, terdapat berbagai jenis risiko. AJI-NO-MOTO® sebagai salah satu brand penyedap rasa dibuat melalui proses fermentasi dengan bahan baku utama tetes tebu pilihan. Berstandar internasional dan dibawah lisensi Ajinomoto Co. Inc., Jepang sebagai perusahaan pertama yang memproduksi penyedap rasa sejak 1909. Namun, pada awal Januari 2001, PT Ajinomoto diharuskan menarik seluruh produk AJI-NO-MOTO dari pasar karena menggunakan babi sebagai salah satu bahan pembuatannya.
I.2 Tujuan •
Mengidentifikasi risiko yang terjadi
•
Melakukan pengukuran dan pemetaan risiko
•
Menganalisis penanganan risiko
I.3 Rumusan Masalah Sehubungan dengan akan berakhirnya sertifikat Halal dari MUI untuk AJI-NOMOTO pada September 2000, maka PT Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan sertifikat Halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOMMUI Pusat (2 orang), LPPOMMUI Jatim, BPOM, Balai POM Surabaya dan dari Departemen Agama pada tanggal 7 Agustus 2000. Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa memutuskan bahwa 1
Bactosoytone tidak dapat digunakan sebagai bahan dalam media pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. PT Ajinomoto Indonesia diminta untuk mencari alternatif bahan pengganti Bactosoytone.
Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT Ajinomoto Indonesia mengganti Bactosoytone dengan Mameno dalam tempo 2 bulan. LPPOMMUI melakukan audit sehubungan dengan penggantian Bactosoytone dengan Mameno pada 4 Desember 2000. Mereka memutuskan Mameno dapat digunakan dalam proses pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG.
Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000. LPPOMMUI menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 18 Desember 2000, bahwa produk yang menggunakan Bactosoytone dinyatakan Haram.
MUI mengirim surat kepada PT Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 untuk menarik semua produk Ajinomoto yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23 November 2000 (Produk yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan Mameno). Namun, pada tanggal tersebut perusahaan sudah memasuki libur bersama Natal dan Tahun Baru. Sekertaris Umum MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000, bahwa produk AJI-NO-MOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak mengkonsumsi bumbu masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober hingga 16 November 2000.
Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran Deperindag, Depag, MUI, GPMI (Pengusaha Makanan dan Minuman), Dirjen POM, dan YLKI pada 2 & 5 Januari 2001 yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia harus menarik seluruh produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain yang tidak bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001.
2
BAB II TEORI
II.1 Pengertian Risiko Risiko adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang berpotensi untuk terjadi yang mungkin dapat menimbulkan kerugian pada suatu perusahaan. Risiko timbul karena adanya unsur ketidakpastian di masa yang akan datang. Risiko memiliki sifat dinamis dan memiliki interdependensi satu sama lain. II.2 Identifikasi Risiko Untuk dapat mengidentifikasi risiko dengan tepat, kita perlu mengetahui jenis-jenis risiko, yaitu: 1. Risiko kredit/investasi: timbul akibat dari kegagalan pemenuhan kewajiban oleh
debitur atau counterparty. 2. Risiko pasar: timbul karena adanya pergerakan variable pasar yang bervariasi. 3. Risiko likuiditas: muncul karena ketidakmampuan dalam menempatkan/mengolah liability. 4. Risiko kepatuhan: disebabkan oleh kegagalan mematuhi dengan atau tanpa menerapkan hukum, peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya. 5. Risiko operasional: muncul karena ketidakmampuan dan/atau tidak berfungsinya
proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem atau masalah-masalah eksternal lainnya. 6. Risiko Hukum: akibat dari kelemahan masalah hukum.
3
7. Risiko reputasi: muncul terkait dengan masalah publikasi atau persepsi-persepsi
negatif. 8. Risiko strategi: timbul akibat lemahnya pembentukan dan penerapan strategi
perusahaan, lemahnya pengambilan keputusan dalam dunia bisnis dan kesenjangan reaksi dalam menghadapi perubahan. II. 3 Risiko Barang dan Jasa & Risiko Pembelian/Pengadaan Dalam suatu manajemen, bagian operasional merupakan bagian dari manajemen yang paling banyak mengeluarkan biaya. Untuk menghindari penggunaan biaya yang berlebihan di bagian operasional maka perlu adanya identifikasi terhadap risiko-risiko.
RISIKO OPERASIONAL DAN PRODUKSI Resiko yang dapat muncul dari produk atau jasa disebabkan oleh berbagai macam hal
yang akan berdampak pada biaya, reliability, bahkan terhadap masyarakat. 1. Konsekuensi Mundane Failure
Adalah kesalahan yang biasa terjadi dalam suatu proses produksi yang dampaknya juga tidak terlihat signifikan, namun jika kesalahan tersebut terus menerus terjadi, dampaknya dapat terakumulasi dan pada akhirnya akan menimbulkan kerugian financial bagi perusahaan.
2. Catastropic Failure Kegagalan produk dan jasa yang berakibat pada penarikan produk dari pasar atau yang menimbulkan masalah hukum.
3. Penerapan Product Liability di Eropa
Hukum mengenai Product Liability telah distandardisasi di seluruh Uni Eropa berdasarkan revisi pedoman pada General Product Safety.
4
Tujuan utama dari pedoman ini adalah memastikan produk yang terdapat di pasaran adalah produk yang aman–dalam arti penggunaan yang tepat dan sesuai fungsi serta dalam kondisi normal.
4. Kegagalan Pelayanan Jasa Terdapat tiga tipe perusahaan jasa: a. Pelayanan jasa yang juga melibatkan produk fisik b. Pelayanan jasa yang terlibat langsung dengan pelanggan c. Pelayanan jasa murni
5. Risiko Finansial dalam Badan Pemerintahan Salah satu risiko terbesar dalam badan pemerintahan daerah adalah keterbatasan atau kekurangan dana.
6. Cara Mencapai Reliabilitas dan Konsistensi Terdapat tiga cara dalam pendekatan kualitas : 1. Failure area (non-responsive) dengan risiko complain dan penarikan dari pasaran
(paling berisiko). 2. Inspection mode (reactive) pemeriksaan kualitas dari produk akhir sebelum
dikeluarkan ke pasar. 3. Prevention mode (planned) penerapan sebuah sistem yang melingkupi seluruh area
dimana permasalahan dalam kualitas dapat muncul (risiko paling kecil).
7. Pemanfaatan Sistem Manajemen untuk Pengendalian Risiko Elemen-elemen dalam manajemen sistem kualitas yaitu sebagai berikut : 5
Pemahaman terhadap proses utama Memiliki struktur organisasi Memiliki prosedur tertulis Menyimpan dokumentasi Melakukan pemeriksaan rutin Mengidentifikasi kegagalan dan memperbaikinya Melakukan pengembangan yang berkelanjutan Komunikasi yang baik Mengijinkan sebuah perusahaan eksternal untuk menilai sistem secara rutin
8. Pengelolaan Manusia, Teknologi dan Desain Dalam Keterlibatannya terhadap Risiko Operasi dan Produksi a. Pengelolaan manusia o
Multifunction team; diterapkan pada masalah-masalah yang melibatkan batasbatas fungsional atau melewati batas-batas fungsional dalam perusahaan.
o
Cell manufacturing; mengurangi kesenjangan atau jarak di dalam organisasi dan member setiap orang kendali terhadap produk akhir dimana setiap sel (bagian) dalam organisasi bertindak sebagai sebuah complete profit centre dan memiliki chief executive-nya masing-masing
o
Reward system; pekerja diberi penghargaan berupa bagian kepemilikan terhadap perusahaan (share)
o
Employee Share Ownership Programe (ESOPs)
o
Performance Relative Pay (PRP)
6
b. Pengelolaan Teknologi o
Computer Aided Design (CAD)
o
Computer Integrated Manufacture (CIM)
o
Penggunaan bar code
o
Proses produksi dengan computer
o
Pengenalan sistem penanganan otomatis dan robotic
o
Penggunaan inovasi-inovasi baru
c. Pengelolaan Disain dan Pengembangan o
Concurrent engineering
o
Benchmarking
RISIKO PEMBELIAN Dalam pembelian, isu-isu utama tentang risiko berkaitan dengan kualitas dan ketersediaan, serta konflik kepentingan. Adanya risiko ini dibagi dalam 2 kategori : 1. Risiko dari pemasok 2. Risiko dari kebijakan pengadaan yang dimiliki perusahaan Berikut adalah jenis-jenis risiko yang berkaitan dengan pemasok: •
Single sourcing of supplies: banyak perusahaan menginginkan satu pemasok untuk setiap produk yang dibeli.
•
Oligopolies: suatu pasar dengan sedikit pemasok yang menyediakan risiko kepada muara bisnis.
•
Reverse auctions: sebuah model yang berbeda dari single sourching. Di sini, para pemasok menawarkan harga termurah untuk sebuah komoditi atau komponen. 7
•
Partnership sourcing and supplier development: para pemasok akan lebih dalam terlibat dalam bisnis kliennya.
•
Outsourcing and sourcing from aboard Sourcing dari perusahaan-perusahaan lain dan dari luar negeri membawa banyak manfaat. •
Reputation issues: perusahaan harus berhati-hati agar tidak memasok bahan
baku dari para pemasok yang telah mendapatkan image yang buruk. •
Supllier unreliability: hal yang memicu timbulnya ketidakpercayaan terhadap pemasok, misalnya seperti masalah keuangan dan masalah kualitas.
•
Just in time: mengurangi persediaan di gudang dan menghindari dated stock.
•
Overstocking: dengan overstocking, perusahaan dapat memenuhi lonjakan pesanan. Akan tetapi jika tidak adanya lonjakan pesanan maka persediaan yang tersimpan juga akan banyak.
•
Conflicts of interest: kadang perusahaan mengalami masalah mengenai persoalan memuaskan pemasok atau pelanggan.
•
Corruption Risks
•
Controlling price hikes: risiko beberapa industri mengarah kepada perubahan harga dari bahan-bahan mentah dan ketika harga mengalami kenaikan, maka profitabilitas mereka akan terancam.
Cara yang dapat digunakan perusahaan untuk mengurangi risiko pembelian: 1. Supplier assessment •
Dimulai dengan formulir yang dilengkapi prospective supplier.
•
Perusahaan mengunjungi pemasok dari waktu ke waktu.
•
Perusahaan perlu melakukan inspeksi penerimaan.
2. Vertical integration Menerapkan kekuasaan kepada pemasok atau distributor untuk mengefisiensi supply chain. 3. E-Business 8
Memesan kepada pemasok melalui jaringan computer, pesanan sering dicetuskan oleh gudang pelanggan atau sistem perencanaan produksi.
BAB III PROFIL PERUSAHAAN
PT Ajinomoto Indonesia merupakan produsen bumbu masak merek Ajinomoto. Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Jepang dimana Ajinomoto pusat merupakan salah satu dari 36 perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia. Di Indonesia, AJI-NOMOTO® telah dijual selama 40 tahun dan telah menjadi bumbu masak andalan di dapur IbuIbu Indonesia. Dari tahun ke tahun perkembangan dan inovasi produk terus dilakukan, terbukti dengan munculnya beragam produk bumbu mulai dari bumbu kaldu penyedap "MASAKO®", bumbu praktis siap saji "SAJIKU®", dan bumbu masakan Asia "SAORI®". Selain itu, produk minumannya yaitu minuman susu fermentasi "CALPICO®" dan minuman kopi susu "BIRDY®".
Filosofi: Menciptakan kehidupan yang lebih baik secara global dengan memberikan kontribusi bagi kemajuan yang berarti dalam bidang Makanan dan Kesehatan serta berkarya bagi kehidupan. Visi dan Misi: Menjadi basis kekuatan Grup Ajinomoto untuk memanfaatkan kesempatan bisnis di pasar Islam dengan menciptakan produk - produk / bisnis yang unik dalam bidang makanan (utamanya difokuskan pada segmen bumbu masak) yang dapat merealisasikan filosofi "Eat Well Live Well", sehingga bisnis kita akan membuat lingkungan di bumi lebih terpelihara.
9
Nilai-nilai Perusahaan: •
Mematuhi peraturan pemerintah dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat. •
Memperhatikan dan memenuhi kebutuhan konsumen.
•
Komunikasi dua arah yang terbuka dan jujur.
•
Disiplin dan bertanggung jawab.
•
Perbaikan dan kemajuan dimulai dari kegiatan sehari-hari, sehingga setiap
individu serta organisasi perusahaan dapat tumbuh dan berkembang bersamasama.
Nilai-nilai MSDM:
1. Penciptaan Nilai Melalui “Value Chain” a. Selalu melakukan komunikasi aktif dengan organisasi atau orang terkait b. Melakukan aktivitas berdasarkan pola pikir bahwa proses selanjutnya adalah pelanggan. 2. "GENBA SHUGI" c. Melakukan aktifitas dengan menyadari STPDCA {See (lihat), Think (Pikir), Plan (Rencana), Do (Laksanakan), Check (Periksa), Action (Tindakan)} dan selalu bertanya Kenapa? Kenapa? Kenapa? 3. Inisiatif d. Menciptakan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan diri. e. Melakukan aktifitas dengan memiiliki komitmen yang kuat untuk mencapai hasil sesuai dengan tujuan.
10
III.1 Berdirinya Ajinomoto Grup Indonesia 1969 : PT AJINOMOTO INDONESIA didirikan 1970 : Pabrik Mojokerto mulai beroperasi 1970 : Mulai menjual AJI-NO-MOTO® 1982 : Mulai mensual L-LYSINE® 1986 : Mulai menjual AJI-PLUS® 1987 : PT AJINEX INTERNATIONAL didirikan 1989 : Mulai menjual MASAKO® untuk eceran 1989 : Mulai menjual TENCHO® dan Aspartame 1993 : PT Ajinomoto Sales Indonesia (ASI) mulai beroperasi 1994 : PT Ajinomoto Calpis Beverage Indonesia (ACBI) didirikan 1996 : Mulai menjual CALPICO® Soda 1997 : Mulai menjual BIRDY® 1999 : Mulai menjual SAJIKU® 2005 : Mulai menjual SAORI® 2006 : Mulai menjual CALPICO® Mini
III.2 Struktur Perusahaan
11
BAB IV ANALISIS
12
IV.1 Sistem Produksi Produk Ajinomoto (MSG)
Tahap a
n-
tahapan pembuatan Ajinomoto:
13
1. Pada tahapan ini, PT Ajinomoto menggunakan hasil-hasil pertanian alami sebagai bahan baku seperti tebu. Tebu diperas untuk mendapatkan tetes tebu (molase) yang nanantinya akan difermentasi menjadi asam glutamat.
2. Setelah mendapatkan tetes tebu, tahapan berikutnya yaitu proses fermentasi tetes tebu tersebut untuk mendapatkan asam glutamat. Pada tahapan ini yang menjadi kasus risiko produksi dari PT Ajinomoto adalah mereka menggunakan bacto-soytone sebagai media pengembang biakkan bakteri yang nantinya akan digunakan untuk proses fermentasi. Bacto-soytone itu dihasilkan dari ekstraksi daging babi. Dan hal tersebut yang menjadi kontroversi dan diharamkan oleh MUI.
14
3. Pada tahapan ketiga, asam glutamat yang telah dihasilkan dari bakteri fermentasi pada tahapan sebelumnya, diisolasi melalui proses pengkristalan. Dengan mengasamkan kaldu fermentasi, asam glutamat terkristalkan.
Berikutnya lempengan kristal glutamat dipisahkan dari kaldu fermentasi yang asam.
4. Kemudian pada tahapan ke empat, asam glutamat diubah menjadi monosodium glutamat (MSG). Dengan menambahkan natrium hidroksida (food grade), asam glutamat kemudian diubah menjadi monosodium glutamat. Monosodium glutamat memiliki kelarutan dan stabilitas yang sangat baik sebagai bumbu masak. Dibandingkan dengan asam glutamat, monosodium glutamat lebih mudah larut dalam air serta kecil kemungkinannya untuk menyerap uap air dan memiliki rasa yang kuat.
15
5. Tahapan berikutnya yaitu membersihkan larutan monosodium glutamat dengan menggunakan karbon aktif untuk menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan.
6. Pada tahapan ini, larutan monosodium glutamat dikonsentrasikan dengan pemanasan dan kristal monosodium glutamat terbentuk.
16
7. Tahapan berikutnya, kristal monosodium glutamat digetarkan dan dipindahkan kemudian dikeringkan dengan udara panas.
8. Kristal monosodium glutamat yang dihasilkan kemudian ditimbang dan dikemas.
9. Ajinomoto siap dikirimkan ke tempat konsumen.
17
Dari sistem produksi monosodium glutamat Ajinomoto di atas, yang menjadi risiko produksi dari perusahaan terdapat pada tahapan kedua dimana dilakukannya proses fermentasi yang menggunakan bakteri fermentasi dalam jumlah yang cukup banyak. Perusahaan menggunakan bactosoytone yang diekstraksi dari daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging sapi karena lebih ekonomis. Bactosoytone itu digunakan sebagai media pengembang biakan bakteri yang akan digunakan untuk memfermentasi tetes tebu (gula) menjadi asam glutamat. Hal ini yang menjadi kontroversi sehingga MUI mengaharamkan produk Ajinomoto yang menggunakan bactosoytone ini.
IV.2 Identifikasi Risiko Berikut adalah identifikasi risiko yang kami lakukan terkait kasus Ajinomoto ini: Entrepreneurial Risk Kasus Ajinomoto ini termasuk jenis risiko entrepreneurial yang diakibatkan karena perusahaan gagal membuat keputusan bisnis yang tepat dan memprediksi keputusan tersebut sehingga mengalami kerugian yang cukup signifikan. Strategic Risk Risiko ini muncul akibat kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan pimpinan perusahaan, dengan menggunakan Bactosoytone yang mengandung unsur binatang babi, agar proses produksi menjadi lebih ekonomis. Financial Risk Kasus ini sangat mempengaruhi keuangan perusahaan karena kerugian yang dialami mencapai 55 milliar rupiah. Padahal, berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2001 yang kami peroleh, Ajinomoto Group mengalami loss sebesar 11.5 milliar yen.
18
Compliance Risk Kasus ini juga menyangkut tentang risiko kepatuhan, yaitu risiko yang berhubungan dengan kepatuhan perusahaan terhadap aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum untuk meningkatkan pengendalian risiko perusahaan sebagai perusahaan publik. Dalam kasus ini, perusahaan gagal mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh MUI mengenai bahan-bahan yang tidak boleh digunakan untuk membuat produk makanan. Reputation Risk PT Ajinomoto Indonesia sebagai perusahaan publik dituntut untuk selalu mengawasi dan mengendalikan kegiatan bisnisnya agar tidak sampai terjadi hal-hal yang berdampak buruk pada pandangan masyarakat terhadap perusahaan. Namun sayangnya, kasus ini membuat persepsi negatif di kalangan masyarakat mengenai produk Ajinomoto yang menggunakan babi sebagai salah satu bahannya. Padahal mayoritas konsumennya beragam Islam yang mengharamkan babi. Sehingga setelah kasus ini muncul, reputasi Ajinomoto cenderung menurun.
Jika dikaitkan dengan teori pada risiko operasional dan produksi serta pembelian maka identifikasi risikonya adalah sebagai berikut: Risiko Produksi Risiko ini timbul karena perusahaan tetap menggunakan bakteri bactosoytone yang merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator parcine yang berasal dari pangkreas babi. Walaupun secara ilmiah semua zat dari bakteri tersebut nantinya akan terurai, MUI tetap menjatuhkan fatwa haram pada Ajinomoto. Catastrophic Failure Adanya catastrophic failure, yaitu kegagalan produk yang mengakibatkan penarikan produk dari pasar atau yang menimbulkan masalah hukum. Pada kasus ini, PT ajinomoto diharuskan menarik semua produknya, dalam jangka waktu 3 minggu 19
terhitung dari 3 Januari 2001. Diperkirakan PT Ajinomoto menarik 3500 produknya dari pasaran. Kegagalan ini mengakibatkan Ajinomoto menalan kerugian 55 milliar rupiah karena kehilangan sertifikat halalnya yang mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyedap rasa tersebut. Belajar dari kesalahan, Ajinomoto memanfaatkan sistem manajemen untuk pengendalian risiko, mendapatkan ISO 9001 nya pada tahun 2008. Mendapatkan kembali Sistem Jaminan Halal (SJH) dari MUI tahun 2005. Selain itu, perusahaan juga melakukan usaha untuk kembali mencapai realibilitas dan konsistensi, pada awalnya dengan failure area, yaitu menarik semua produknya seperti yang telah kami jelaskan diatas juga mengganti penggunaan bakteri bactosoytone dengan mameno. Sekarang mereka melakukan inspection dan prevention mode dengan memberikan nomer hotline dan juga website interaktif. Pengelolaan manusia, teknologi dan desain dalam keterlibatannya terhadap risiko operasi dan produksi, melakukan pengelolaan SDM mereka seperti yang tercantum pada profil perusahaan yaitu value chain, genba shugi dan inisiatif. Melalui bagian research and development-nya terus mengembangkan teknologi yang efektif, efisien dan ramah lingkungan, sesuai dengan CSR mereka. Sedangkan untuk risiko pembelian, sebenarnya tidak terlalu signifikan pada kasus ajinomoto ini. Mereka mempekerjakan pekerja dari pusat ajinomoto dan juga beberapa dari kantor cabang, dalam hal ini Indonesia. Untuk memperkecil risiko pembelian mereka yang memang sudah kecil mereka bisa melakukan supplier assessment, vertical integration dan Ebusiness. E- business ini menurut kami paling mencolok, dengan supply chain dan logistic yang baik ajinomoto dapat memperbesar jangkauan penjualan mereka. IV.3 Pengukuran Risiko Kerugian yang dialami PT Ajinomoto akibat kasus ini adalah: •
Penarikan produk secara massal dan mengganti kerugian distributor. Ajinomoto menderita kerugian total 55 miliar rupiah karena harus mengeluarkan biaya sebagai usaha proaktif mendatangi pedagang dan pengecer untuk menarik produknya yang diperkirakan mencapai 3.500 ton dan menggantinya sesuai dengan harga pasar. Tidak hanya di Indonesia, Singapura sebagai negara pengimport bumbu masak Ajinomoto dari Indonesiapun menarik produk ini dari pertokoan negeri tersebut.
•
Turunnya saham Ajinomoto sebesar 30 poin di bursa. 20
•
Penyegelan gudang Ajinomoto dan penutupan sementara pabrik, namun semua karyawan tetap masuk kerja untuk menarik produk dari pasar dan mengatur penerimaan barang di pabrik agar tidak beredar lagi di pasar. Seluruh karyawan bahumembahu agar persoalan yang menimpa perusahaan segera selesai.
•
Enam petinggi perusahaan PT. Ajinomoto Indonesia diperiksa oleh Polda Jatim, yaitu: Manajer Kontrol Kualitas Haryono, Manajer Teknik Yoshiko Kagama, Manajer Produksi Sutiono, Manajer Perusahaan Hari Suseno, Kepala Departemen Manajer Cokorda Bagus Sudarta, dan Manajer Umum Yosi R. Purba.
Dari berbagai kerugian diatas dapat ditinjau bahwa ukuran dampak risikonya, adalah: o Probability Kasus ini merupakan jenis risiko dengan probability yang improbable atau kemungkinan terjadinya kecil. Jika perusahaan tetap mematuhi ketentuan yang ada dan tetap menjaga kepercayaan masyarakat, maka risiko ini bisa dihindari. o Severity Dilihat dari jumlah kerugian yang dialami perusahaan, yaitu sebesar 55 milliar rupiah, maka risiko ini dapat diklasifikasikan sebagai risiko dengan dampak yang serious atau besar. Perusahaan tetap dapat melanjutkan proses bisnis namun membutuhkan upaya dan materi yang tidak sedikit.
IV.4 Pemetaan Risiko Diketahui: -
Total kerugian yang ditanggung perusahaan sebesar Rp 55 miliar
-
Masa penarikan produk di pasar dilakukan selama 3 minggu = 21 hari
-
Asumsi jumlah frekuensi penarikan produk yang terjadi selama 3 minggu sebanyak 100 kali
-
Sehingga besarnya kerugian yang ditanggung perusahaan setiap melakukan satu kali penarikan sebesar: Jumlah frekuensi : Total kerugian 21
100 : 55 miliar = 0,55 miliar
TABEL PEMETAAN RISIKO
Hari
Frekuensi
Total
ke-
Penarikan
Kerugian
Kerugian
1
3
0,55
1,65
2
12
0,55
6,6
3
3
0,55
1,65
4
4
0,55
2,2
5
20
0,55
11
6
0
0,55
0
7
5
0,55
2,75
8
2
0,55
1,1
9
8
0,55
4,4
10
5
0,55
2,75
11
5
0,55
2,75
12
2
0,55
1,1
13
4
0,55
2,2
14
4
0,55
2,2
15
2
0,55
1,1
16
7
0,55
3,85
17
3
0,55
1,65
18
5
0,55
2,75
19
3
0,55
1,65
20
2
0,55
1,1
21
1
0,55
0,55 22
Total
100
55
Dari hasil pemetaan risiko di atas bisa kita lihat bahwa frekuensi penarikan yang paling besar terjadi pada hari ke 5 yaitu sebanyak 20 kali penarikan produk yang dilakukan pada hari tersebut. Hal itu bisa dihubungkan dengan lokasi atau wilayah dari penarikan produk yang dilakukan. Pada hari ke 5, perusahaan melakukan penarikan produk di daerah Aceh, Sumatra yang mayoritas penduduk disana beragama Islam. Sehingga jumlah frekuensi penarikan produk pada hari ke 5 tersebut sangatlah tinggi. Karena disana lebih banyak penduduk yang merasa khawatir menggunakan produk MSG Ajinomoto yang disinyalir mengandung ekstrak daging babi. Pada hari ke 6, frekuensi penarikan yang dilakukan perusahaan adalah nol, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sedang mengamati dan mencari-cari lokasi mana lagi yang paling banyak membutuhkan perhatian lebih untuk dilakukannya penarikan produk ini sehingga biaya yang mereka tanggung bisa diminimalisir. Dari hasil pemetaan risiko di atas, bisa kita simpulkan bahwa banyak sedikitnya jumlah frekuensi penarikan yang dilakukan oleh Ajinomoto pada hari tertentu, dipengaruhi juga oleh wilayah penarikan produk yang dilakukan. Di wilayah yang penduduknya mayoritas 23
beragama Islam, frekuensi penarikannya lebih tinggi, sedangkan di kota-kota lain yang biasabiasa saja, jumlah frekuensi penarikan yang dilakukan tergolong cukup rendah.
IV.5 Risk Assessment Berikutnya kami akan menjabarkan risk assessment produksi dan operasi sesuai sandgrove 2005, PT ajinomoto mendapat ‘low risk’ begitu juga untuk risk assessment pembelian. Setelah mendapat fatwa haram MUI . PT ajinomoto melakukan pendekatan kualitas failure area, dengan melakukan penarikan kembali semua produk mereka yang ada di pasar. Setelah tertunda libur natal dan tahun baru PT ajinomoto pada tanggal 24 desember pihak MUI mengumumkan bahwa produk ajinomoto tidak halal dan untuk tidak mengkonsumsi produk ajinomoto yang diproduksi 13 oktober sampai 16 november tahun 2000.
Dari rapat berikutnya dengan deperindag,depag ,mui,GPMI ,dirjen POM dan YLKI untuk seperti telah kami sebutkan diawal menarik semua produknya , bahkan yang tidak bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu. PT Ajinomoto melakukan penarikan besar besaran dan membayar ganti rugi kepada distributor dan pengecer. Kerugian ditaksir sebesar 55 milliar rupiah. Singapura yang juga mengimpor ajinomoto dari Indonesia juga dipaksa mengembalikan kembali produk yang ada di pasar. Walaupun tidak terlalu signifikan pada omzet penjualan. Kerugian yang didapatkan karena ingin berhemat (mengganti bakteri yang lebih ekonomis) Ajinomoto kehilangan tidak hanya uang tapi juga nama baik, pencitraan dan kepercayaan publik.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 24
V.1 Kesimpulan Kasus yang terjadi pada produk MSG Ajinomoto ini diakibatkan oleh adanya risiko strategic yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang ingin membuat proses produksi menjadi lebih ekonomis. Risiko ini berdampak serius karena selain merugi puluhan milliard rupiah, reputasi perusahaan juga menurun, terlihat dari turunnya nilai saham. Namun, PT Ajinomoto segera melakukan penanganan risiko dengan mendapatkan kembali sertifikat Halal dari MUI dalam waktu kurang dari satu bulan setelah batas waktu penarikan produk. Selain itu PT Ajinomoto juga terus melakukan CSR untuk meningkatkan kembali reputasinya di masyarakat. V.2 Saran Saran yang dapat kami berikan mengenai kasus ini terhadap PT Ajinomoto adalah: •
Entrepreneurial Risk Sebaiknya dalam mengambil keputusan terlebih dahulu melakukan penghitungan risiko yang mungkin terjadi ,sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis yang membahayakan perusahaan.
•
Strategic Risk Dalam membuat keputusan sebaiknya para petinggi perusahaan mengetahui mengenai manajemen risiko sehingga membantu memilih keputusan yang tepat ketika data telah tersedia.
•
Financial Risk Ajinomoto sendiri kembali sehat keuangannya setelah beberapa waktu , tapi harus memperkecil risiko yang lain(seperti risiko kepatuhan, strategis dan entrepeneurial) agar risiko keuangan ini tidak terjadi kembali.
•
Compliance Risk Ajinomoto sebaiknya mematuhi peraturan yang ada di pemerintah pusat maupun setempat ,sehingga tidak terjadi benturan dengan pihak yang berwajib karena hukum 25
yang ada sudah jelas dan ajinomoto bisa saja dituntut apabila hal seperti ini terjadi kembali. •
Reputation Risk Memberikan reputasi yang lebih baik. Seperti memberikan keterangan yang jelas mengenai cara produksi . Menjangkau kalangan muda yang baru berkenalan dengan produk
produk
ajinomoto.
Mempertahankan
sertifikat
halal
dan
ISO
mereka.Menyediakan hotline dan responsive terhadap keluhan ataupun pertanyaan pelanggan ,partner dan pengecer.
Dan saran lainnya •
Dalam melakukan penghematan biaya di cabang perusahaan yang berada di luar negeri sebaiknya memperhatikan kultur dan budaya setempat.
•
Diperlukan research and development yang lebih baik lagi agar tetap bisa menghemat secara ekononis tapi juga bisa memuaskan konsumen dengan baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
Hanggraeni, Dewi, SE, MBA. 2010. Pengelolaan Risiko Usaha. Lembaga Penerbit FEUI: Jakarta. www.ajinomoto.com www.ajinomoto.co.id http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-3819877/MSG-INDUSTRY-S-PROSPECTSFOR.html Referensi: ^ (id) Tempo interaktif: Penarikan Produk Ajinomo: PT Ajinomo Indonesia Merugi 30 Miliar. Tanggal 5 Janunari 2001 ^ (id) PT Ajinomoto Indonesia ^ (id) PT Ajinomoto Indonesia ^ (id) PT Ajinomoto Indonesia ^ a b c d e f (id)Liputan6.com: Fokus: Enzim Babi di Ajinomoto. Ramai-ramai Menarik Ajinomoto ^ PT Ajinomoto Indonesia ^ (id) Gatra: Tergelincir Enzim Babi. Tanggal 8 Januari 2001 ^ (id)Tempo interaktif: Penarikan Produk Ajinomot: PT Ajinomo Indonesia Merugi 30 Miliar. Tanggal 5 Janunari 2001 ^ (id)Gatra Edisi Cetak: Kasus Ajinomoto: Heboh Ajinomoto, Serahkan Pada Hukum. Tanggal 8 Januari 2001
27