BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Timor-Leste adalah negara merdeka dan berdaulat yang mempunyai konstitusi Republik Demokrasi Timor-Leste (RDTL). Kemerdekaan yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2002 mengamanatkan bahwa cita-cita bangsa dan negara adalah mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, bangsa, dan negara Timor Leste. Pengelolaan tanah maupun sumber-sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (bumi, air dan ruang angkasa) ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi merupakan karunia Tuhan dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Manusia akan senantiasa memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan bahkan untuk pemakaman. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia menjadikan tanah sangat bernilai, setiap orang/badan ingin memilikinya. Sehingga sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan. Hal ini akan menyebabkan terjadi peningkatan permintaan akan tanah. Seiring dengan perkembangan jumlah manusia yang ada di muka bumi maka semakin meningkat pula kebutuhan akan tanah. Namun disisi lain jumlah tanah tidak menjadi bertambah, sehingga mendorong manusia untuk memperdayakan tanah menjadi lebih produktif. Akan tetapi dalam usahanya untuk memperdayakan tanah tersebut terkadang mengakibatkan ketidak sesuaian dalam penggunaan ataupun pemanfaatannya. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya ketidak sesuaian peruntukan tanah ataupun bahkan akan menimbulkan adanya tanah terlantar. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasarkan perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujutkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Timor-Leste, serta menperkuat harmoni sosial. Selain itu,
2
optimalisasi pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah TimorLeste diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan pertahanan pangan. Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujud nyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak Tanah. Hal ini dapat berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Negara Timor-Leste belum memiliki hukum resmi yang mengatur tentang hakhak atas tanah secara terperinci. Akan tetapi untuk pemegang hak tertentu seperti Hak Guna Bangunan, Timor-Leste mengadopsi hukum yang diberlakukan di Indonesia. Menurut hukum yang diterapkan di Indonesia, negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahterahan bagi pemegang haknya juga harus ditunjukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika pemegang Hak menelantarkan tanahnya, peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, pengunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak
3
orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara
tanahnya,
mengusahakannya
dengan baik, tidak
menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapatkan hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang Agraria yang telah diamanatkan oleh undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Untuk itu perlu dikaji ulang mengenai keberadaan tanah terlantar tersebut. I.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dihasilkan perumusan masalah yaitu: 1.
Apa yang menjadi penyebab pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya?
2.
Bagaimana keberadaan tanah terlantar di Timor-Leste di tinjau dari peraturan pemerintah? I.3. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah, agar supaya penelitian
yang dilaksanakan lebih fokus dan terarah sehingga tidak menyimpan dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena tanah merupakan sumberdaya yang tidak elastis, dan sangat dibutuhkan oleh manusia, maka keadaan tanah terlantar itu menjadi permasalahan yang tidak sederhana. Tanah terlantar yang digunakan untuk menjadi objek yang diteliti adalah tanah dengan status Hak Guna Bangunan yang
4
berada di Subdistrito Cristo Rei, Subdistrito Dom Aleixo, Subdistrito Nein Feto, Subdistrito Vera Cruz, dan Subdistrito Metinaro. Penelitian ini lebih dititik beratkan menjadi 3 aspek, yaitu : 1.
Aspek fisik yang meliputi luas bidang yang di terlantarkan di Distrito Dili termaksud status hak dan jenis pengunaannya serta kesesuaiannya terhadap kebijakan tata ruang Distrito Dili.
2.
Faktor ekonomi, sikap dan/atau alasan pemilik tanah tidak membangun tanahnya.
3.
Aspek institusi, kesesuaian terhadap peraturan-peraturan yang mengatur tentang tanah terlantar, tindak lanjut dari pemerintah atas keberadaan tanah terlantar tersebut di Distrito Dili. I.4. Tujuan Penelitian Selain memetakan, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berdasarkan 3
aspek di atas penyebab tidak di bangunnya tanah oleh pemilik tanah dan juga dikaji terhadap Rencana Tata Ruang dan Tata Guna Tanah yang sudah dibuat oleh pemerintahan Distrito Dili. I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Dapat digunakan didalam ilmu pengetahuan sebagai referensi di bidang administrasi pertanahan.
2.
Dapat dijadikan sebagai masukan bagi Kantor Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan di Timor-Leste (Direcçao Nacional de Terras, Propriedades E Serviços Cadastrais). I.6. Tinjauan Pustaka Sumarto (2010) melakukan penelitian tentang penyediaan tanah untuk
pemukiman di Kabupaten Kendal studi kasus pengkaplingan tanah di Kelurahan Langenharjo. Kajian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya. Analisis data dilakukan
5
dalam bentuk analisis kuantitatif melalui pengkategorian dan pengkodeaan berdasarkan jenis data yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukan bahwa mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap pemilik tanah kapling tidak membangun tanahnya yaitu oleh biaya pembangunan, sarana dan prasarana di sekitar lokasi tanah yang diterlantarkan kurang memadai. Setiawan (2008) meneliti mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian di Kecamatan Karangmalang Sragen. Studi implementasinya adalah menkaji mengenai alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian tersebut apakah telah sesuai dengan tata guna tanah dan tata ruang pemerintahan daerah setempat atau belum. Hasil penelitian sebagian besar tidak sesuai dengan tata ruang pemerintahan daerah setempat. Efendi (2008) dalam penelitiannya menganalisis perubahan penggunaan tanah terhadap rencana umum tata ruang Kota Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang Tahun 2002-2011. Penelitian menggunakan analisis spasial overlay secara time series berupa peta penggunaan tanah kawasan berbasis ijin perubahan penggunaan tanah faktual tahun 2002-2007 skala 1:10.000 untuk mengetahui arah gerak penggunaan tanah persawahan dan perumahan serta mengidentifikasi penyebab perubahan penggunaan tanah. Hasil penelitian tentang arah gerak penggunaan tanah persawahan dan perumahan dan penyebab perubahan penggunaan tanah yaitu berkembangnya pembangunan serta pmbangunan gedung-gedung perbelanjaan. Arum Lestari (2007) tentang pembuatan sistem informasi tanah HGU yang diidentifikasi terlantar di Jawa Tengah. Hasil pemelitian menyimpulkan bahwa pemberdayaan tanah yang baik adalah pemberdayaan tanah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh lahan itu sendiri. Dengan pemberdayaan lahan yang baik dimana pemberdayaan tanah yang sesuai dengan potensinya akan memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari lahan tersebut sehingga pada akhirnya akan meningkatkankesejahteraan masyarakat itu sendiri. Hermenegildo Gomes (2012) dalam penelitiannya dengan judul “Kebijakan Pemerintah Timor-Leste Terhadap Hak Kepemillikan Atas Tanah Dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum Dan Tercapainya Keadilan” membahas tentang kebijakan pemerintah Timor-Leste terhadap hak kepemilikan atas tanah. Tujuannya
6
adalah untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi warga negara dan kebijakan pemerintah Timor-Leste terhadap hak kepemilikan atas tanah untuk mencapainya keadilan bagi warga negara. Hasil penelitian adalah: kebijakan pemerintah TimorLeste terhadap hak kepemilikan atas tanah sudah dapat mewujudkan perlindungan hukum kepada warga negara Timor-Leste. Hal ini terungkap pada peraturan perundang-undangan sebanyak 6 buah yang berlaku sebagai hukum positif di TimorLeste serta RUU hak kepemilikan atas tanah sebagai hasil suatu kebijakan pemerintah Timor-Leste sudah membahas pada aspek-aspek, seperti: warga negara subjek hukum hak milik atas tanah, terdapat prosedur dalam hal pengurusan tanah serta terbentuknya lembaga yang mengurus masalah tanah, yakni : Direcçao Nacional de Terras, Propriedades e Serviços Cadastrais berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang No.1 Tahun 2003 tentang Regulasi Hukum Bagian I : Harta Benda Tidak Bergerak dan publikasi pada jornal da Republica RDTL, tanggal 10 Maret 2003. Gastao Freitas (2013) melakukan penelitian tentang “Wewenang Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah Dan Bangunan Di Timor-Leste (Direcçao Nacional De Terras, Propriedade E Serviços Cadastrais) Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum” menyimpulkan bahwa: kewenangan Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais dalam pelaksanaan pendaftaran tanah telah mewujudkan kepastian hukum. Hal ini di karenakan semua diatur berdasarkan aturan hukum positif yang berlaku dan di pertegaskan lagi dalam Peraturan Menteri Kehakiman. Namun dalam hal pendistribusian sertifikat belum menjamin kepastian hukum dikarenakan belum disahkannya Proposta de Lei No. /2010 Regime Especial para a Definicao da Titularidade dos Bens Imoveis oleh Presiden. Dengan melihat pada peraturan perudang-undangan yang berlaku di TimorLeste sebanyak 4 sebagai hukum positif dan Proposta de Lei No. /2010 Regime Especial para a Definicao da Titularidade dos Bens Imoveis belum dijadikan sebagai hukum positif dan diveto oleh presiden agar dapat direvisikan kembali oleh Parlamen Nasional untuk memperkuat atau mewujudkan kepastian hukum terhadap hak kepemilikan.
7
I.7. Landasan Teori Dalam subjudul ini diuraikan teori-teori yang digunakan sebagai acuan dalam pemecahan masalah yang ada dalam penelitian ini: I.7.1. Tanah Terlantar I.7.1.1. Definisi Dan Ruang Lingkup Tanah Terlantar; menurut Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais yang dianut dari Peraturan RI Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan pendatagunaan Tanah Terlantar, definisi tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengolahan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan pemerintahan yang dipakai. Sedangkan ruang lingkup tanah terlantar adalah tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengolahan dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum di peroleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. I.7.1.2. Kriteria Tanah Terlantar; Dalam Lei No 1 / 2003, de Marco Regime Juridico dos Bens Imoveis I parte : Titularidade dos Bens Imoveis (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Aset-aset dan harta benda yang tidak bergerak) memberikan wewenang kepada Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais untuk mengatur tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah terlantar yang mana masih mengadopsi Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 yang menyebutkan kriteria tanah terlantar terdapat tiga bagian yaitu: 1.
Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai a. Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. b. Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam
rangka
penggunaannya
tidak
dipergunakan
sesuai
dengan
8
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana maksud dari point (a), apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. c. Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam point (a), apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanahpertanian yang baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksudkan dalam point (c) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya sebagian, maka hanya sebagian tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. e. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaanya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam point (a), apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. f. Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau hak Pakai sebagaimana dimaksudkan pada point (e) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. 2.
Tanah Hak pengelolaan a.
Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian pelimpahan kewenangan tersebut.
b.
Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksudkan pada poin (a) pada tanah Hak Pengelolaan yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.
3. Tanah Yang Belum Dimohon Haknya
9
a. Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik. b. Jika hanya sebagian dari bidang yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksudkan di poin (a) pada tanah yang belum dimohon haknya yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar. I.7.1.3. Tindakan Terhadap Tanah Terlantar; Pemerintahan Timor-Leste belum menetapkan dengan resmi peraturan tentang sangsi yang tegas untuk pemegang hak tanah yang diterlantarkan. Tetapi jika tanah yang diterlantarkan digunakan atau dibangun oleh orang atau pihak lain dan terjadi permasalahan tanah maka pemerintah turun tangan dengan merujuk pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang Aset-aset dan harta benda yang tidak bergerak. I.7.2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Salah satu permasalahan pertanahan yang perlu mendapat perhatian adalah masih terdapatnya bidang-bidang tanah yang keadaannya terlantar. Jika tidak ditangani dengan penuh perhatian, hal ini pada gilirannya akan mengganggu jalannya pembangunan, mengingat persediaan tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan tanah untuk pembangunan yang semakin meningkat. Di daerah pedesaan, keberadaan tanah terlantar akan mengganggu kelestarian swasembada di bidang pangan. Sedangkan di daerah perkotaan, keberadaan tanah terlantar akan menyebabkan tumbuhnya daerah-daerah kumuh, yang mengurangi estetika perkotaan dan mengurangi efisiensi pengunaan tanah serta dapat menyebabkan masalah-masalah sosial yang tidak dikehendaki. Di samping itu keberadaan tanah terlantar, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan akan mengurangi arti dan peran tanah yang berfungsi sosial. Adalah menjadi kewajiban masyarakat baik perorangan maupun badan hukum yang
10
mempunyai hubungan hukum terhadap tanah, untuk senantiasa memelihari, menambah kesuburan serta mencegah kerusakannya, yang bertujuan untuk sebesarbesar kesejahteraan masyarakat. Akibat hukum dari ditelantarkannya tanah sudah diatur di dalam Undangundang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dassar pokok-pokok Agraria (UUPA). Ketentuan-ketentuan tersebut adalah antara lain: 1. Pasal 15 yang menyatakan bahwa memelihari tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum denga tanah; 2. Pasal 27 yang menentukan bahwa Hak Milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena ditelantarkan; 3. Pasal 34 yang menyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan. 4. Pasal 40 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan. Menurut ketentuan-ketentuan di atas apabila tanah ditelantarkan, maka hak atas tanah itu hapus demi hukum. Dalam pada itu kriteria yang dapat dijadikan ukuran bahwa sebidang tanah ditelantarkan sehingga menjadi tanah terlantar belum ditentukan secara tegas. Dalam penjelasan pasal 27 Undang-undang Pokok Agraria yang sudah disebut di atas hanya disebutkan bahwa: “Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”. Tidak adanya kriteria yang jelas mengenai tanah terlantar menyebabkanketentuan hukum mengenai tanah terlantar tidak dapat diterapkan dengan baik. Sehubungan dengan itu dipandang perlu untuk mengadakan ketentuanketentuan yang menetapkan kriteria yang lebih jelas mengenai tanah terlantar dan bagaimana melakukan penilaian sehingga ketentuan di dalam Undang-undang Pokok Agraria tersebut di atas dapat diterapkan serta tindakan-tindakan apa yang dapat dikenakan terhadap tanah itu sehingga dirasakan sebagai sanksi bagi pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu. Mengingat sebab-sebab ditelantarkannya tanah bermacam-macam dan tidak perlu dapat disalahkan kepada pemegang hak, sedangkan keadaan dan kemampuan
11
para pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu juga bermacam-macam, maka pengaturan dalam peraturan pemerintah ini memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa untuk pemegang hak yang tidak dapat menggunakan tanahnaya sesuai ketentuan yang berlaku karena tidak mempunyai kemampuan ekonomi (golongan ekonomi lemah) tanahnya tidak akan dinyatakan sebagai tanah terlantar, melainkan akan dibantu untuk mendayagunakan tanah itu; 2. Bahwa untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar, maka diperlukan pernyataan tertulis dari Menteri atau atas nama Menteri bahwa sebidang tanah telah ditelantarkan; 3. Bahwa kepada pemegang hak atau pihak yang menpunyai hubungan hukum dengan tanah diberikan kesempatan yang seluas luasnya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk menghindari tanahnya dinyatakan sebagai tanah terlantar. 1.7.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Tanah dalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan atau dimiliki baik yang sudah ada ha katas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhur untuk mengingatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan
yang lebih berkeadilan, menjamin
keberlanjutan sistem kemasyrakatan dan kebangsaan Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energy.
12
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosialekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara. Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumannya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung olehNegara. Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, pengunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari pemegang Hak Pengolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakan dengan baik, tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Meskipun yang bersangkutan belum mendapat ha katas tanah, apabila menelantarkan tanahnya maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.
13
Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional. 1.7.4. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.24 Tahun 2002 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 8 (1) Jangka waktu minimal untuk dilakukan identifikasi sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Hak Milik, 5 (lima) Tahun; b. Hak Guna Usaha, 5 (lima) Tahun; c. Hak Guna Bangunan, 3 (tiga) Tahun; d. Hak pakai, 3 (tiga) Tahun; e. Hak Pengelolaan, 5 (lima) Tahun; Sejak diterbitkannya sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. (2) Jangka waktu identifikasi terhadap penguasaan tanah oleh perusahaan berdasarkan: a. Izin lokasi/ SIPPT, 1 (satu) Tahun sejak surat keputusan perpanjangan yang berakhir; b. Pencadangan tanah/ SP3L dan rekomendasi Bupati/ Walikota sejak berlakunya keputusan ini. (3) Dalam melaksanakan identifikasi terhadap bidang tanah yang telah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat menentukan prioritas jenis hak atas tanah yang akan diidentifikasi sesuai dengan kondisi daerah setempat atau petunjuk Kepala Badan Pertanahan Nasional. (4) Jangka waktu pelaksanaan identifikasi terhadap Hak Milik yang berasal dari Hak Milik Adat, akan ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
14
Pasal 22 1) Kepala Badan Pertanahan Nasional atas usul kepala Kantor Wilayah Badan Pertanian Nasional Propinsi menetapkan bidang tanah sebagaimana dimaksud pasal 20 sebagai tanah terlantar. 2) Sebelum mengeluarkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Pemegang Hak atas tanah atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah diberikan kesempatan untuk mengalihkan Hak Atas Tanah atau dasar penguasaan tanah dalam waktu 3 (tiga) bulan melalui pelelangan umum sesuai ketentuan pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. 3) Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam rangka pendayagunaannya. Pasal 23 1) Pengaturan pendayagunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (3) berupa: a. Kemitraan; b. Redistribusi tanah; c. Konsolidasi tanah; d. Pemberian hak atas tanah kepada pihak lain. 2) Pelaksanaan pengaturan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) Terhadap obyek tanah terlantar yang pengaturannya melalui proses redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan pemberian hak pada pihak lain, kepada bekas pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanahnya diberikan ganti rugi sesuai ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998.
15
1.7.5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. a. Penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini dilakukan dengan tahapan: 1. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar; 2. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar; 3. Peringatan pada pemegang hak; 4. Penetapan tanah terlantar. b. Apabila hasil identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar disimpulkan terdapat tanah yang diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah memberitahukan kepada
pemegang hak dan sekaligus memberikan
peringatan. c. Peringatan dimaksud, merupakan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (1) bulan sejak tanggal diterbitkan surat peringatan tersebut, pemegang hak mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar penguasaannya. d. Dalam surat peringatan pertama, disebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud. e. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan peringatan pertama, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama. f. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir, dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua. g. Tindakan konkret yang harus dilakukan Pemegang Hak sebagaimana dimaksud, antara lain:
16
1. Mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; 2. Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah kepada Kepala sesuai dengan peraturan yang berlaku; 3. Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan izin/ keputusan/ surat dari pejabat yang berwenang. h. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pemegang hak, tanah hak atau dasar penguasaan atas tanahnya ditetapkan menjadi tanah terlantar, yang sekaligus hapus haknya, putus hubungan hukum dan tanahnya ditegaskan dikuasai langsung oleh Negara. i. Kriteria tidak mematuhi peringatan antara lain: 1. Tidak menggunakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya; 2. Masih ada tanah yang belum diusahakan sesuai dengan surat keputusan atau dasar penguasaan tanah; 3. Masih ada tanah yang penggunaannya tidak sesuai dengan surat keputusan atau dasar penguasaan tanah; 4. Tidak ada tindakan lanjut penyelesaian pembangunan; 5. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan surat keputusan atau dasar penguasaan tanah atau; 6. Belum mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan tanah. j. Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar kepada Kepala dinyatakan dalam keadaan status quo sejak tanggal pengusulansampai diterbitkan penetapan tanah terlantar. k. Tanah terlantar berstatus quo tidak dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah dimaksud. l. Tanah Negara bekas tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala, dikuasai langsung oleh Negara dalam hal ini Badan Pertanahan Narional Republik
17
Indonesia, merupakan tanah cadangan umum Negara yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan Negara melalui: 1. Reforma Agraria; 2. Program strategi Negara; dan 3. Cadangan Negara lainnya. m. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diputuskan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas pemegang Hak atas benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan. n. Apabila bekas pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban, maka benda-benda diatasnya tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh Negara. o. Kepala Kantor Wilayah menyusun laporan pelaksanaan penertiban tanah terlantar secara berkala tiap bulan, triwulan dan tahunan, dan disampaikan kepada kepala. p. Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dilaporkan secara berkala kepada Presiden. 1.7.6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomer 5 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. Berdasarkan PP No. 11 tahun 2010 tentang Penerbitan dan pendayagunaan tanah terlantar, sebagai tindak lanjut dari peraturan itu maka dikeluarkan oleh BPN peraturan Kepala BPN yang baru, PERKABAN 5 2011 yang ditujukan sebagai pedoman dalam melakukan Penerbitan Tanah Terlantar yang dilaksanakan oleh jajaran BPN di seluruh Indonesia. Peraturan ini berisi tentang: Pembentukan sebuah unit kerja yang diberi nama Tim Nasional yang mempunyai tupoksi membantu Kepala BPN RI untuk mengurus dan mengelola TCUN (Tanah Cadangan Umum Negara), TCUN ini adalah tanah Negara bekas tanah terlantar yang sudah masuk dalam data base Tim. Tata cara pendyagunaan TCUN yang meliputi: a. Ketersedian TCUN b. Kepastian objek TCUN c. Pengamanan TCUN
18
d. Pengaturan dan Peruntukan TCUN e. Basis data yang dipakai f. Pengawasan dan Pengendalian TCUN g. Pelaporan h. Dan Biaya i. Lampiran yang diperlukan untuk mengelola TCUN (6 lampiran) Tanah Cadangan Umum Nasional (TCUN) adalah tanah Negara bekas tanah terlantar yang telah ditetapkan berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar, TCUN ini dikelola oleh Tim Nasional yang dibentuk oleh Kepala BPN RI, adapun syaratsyarat dari pengelolaan TCUN ini adalah: a. Tidak dalam objek sengketa (baik sengketa fisik maupun sengketa yuridis) b. Telah diamankan kondisi tanahnya baik itu secara administrasi maupun fisik setelah tanah itu dinyatakan terlantar (kewajiban pemeliharaan ini ada pada Kepala Kantor Pertanahan) c. Tanah dialokasikan secara Nasional d. Kesesuaian tanah daya dukung wilayah yang tidak bertentangan dengan RTRW e. TCUN hanya dikelola berdasarkan pertimbangan Tim Nasional yang dibentuk oleh Kepala BPN RI f. Peruntukan TCUN ini tidak boleh untuk bekas Pemegang Hak tanah yang lalu atau yang mempunyai hubungan hukum denganya. I.7.7. Tata Guna Tanah I.7.7.1. Pengertian Tata Guna Tanah; Istilah Tata Guna Tanah juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Ada beberapa definisi tentang tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan: a.
Tata Guna Tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, pengguanaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga di peroleh manfaat yang optimal, seimbang dan seimbang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.
19
b.
Tata Guna Tanah adalah kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
c.
Tata Guna Tanah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakasai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar skala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tertib pengunaan tanah, sedangkan dipihak laintetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku. Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
1.
Adanya serangkaian kegiatan
2.
Pengunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
3.
Adanya tujuan yang hendak dicapai. I.7.7.2. Asas Tata Guna Tanah; Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada
tiga prinsip: 1. Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use) Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agrarian dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu. 2. Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production) Prinsip dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak. 3.
Prinsip penggunaan optimal (principle of optimum use) Prinsip ini menghendaki agra penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/ mengusahakan tampa merusak sumber alam itu sendiri. Dalam literature hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata
guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah daerah perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan penjelasan pasal 13 ayat
20
(5) PP No.16 Tahun 2004 tentang penatagunaan tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan danpemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) diwilayah perkotaan yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu dijelaskan sebagai berikut: Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya disingkat dengan LOSS. 1. Lestari Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan berdampak pada a.
Akan menjadi penghematan dalam penggunaan tanah
b. Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk mewarisi sumber daya alam kepada generasi yang akan dating. Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family of which many member are dead, some are living the large number still to born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang). 2. Optimal Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya. 3. Serasi dan seimbang Suatu ruangan atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah. Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning) 1. Aman Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
21
2. Tertib Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum. 3. Lancar Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi. 4. Sehat Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani. Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (pasal 2). I.7.7.3. Tujuan Tata Guna Tanah; Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut 1. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat. Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. 2. Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus. Maksudnya harus melaksanakan kewajibannya untuk memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akhirnya akan timbul kerusakan tanah. 3. Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah. Pengendalian ini di lakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah. Mangusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas nama warga masyarakat. 4. Jaminan kepastian hukum, penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan. Berdasarkan ketentuan PP N. 16 Tahun 2004 tentang penatagunaan tanah tujuan dari penggunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai salah satu kesatuan sistem untuk
22
kepentinggan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk: a. Mengatur pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW. b. Mewujudkan penguasaan, pengunaan dan pemanfaatan agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW. c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah. d. Menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan. I.7.8. Pendaftaran Tanah dan Bangunan Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais dibentuk tidak terlepas dari sejarah perjuangan Timor-Leste yaitu melalui beberapa tahap yakni tahap sebelum kemerdekaan dan tahap sesudah kemerdekaan. Melalui proses tersebut maka Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan awal mulai dibentuk dari Badan International dengan nama The National Directorate For Land and Properti (DNTP). Lembaga ini mempunyai fungsi dan tujuan untuk mengatur dan menyelesaikan konflik tanah yang terjadi di masa pemerintahan UNTAET di Timor-Leste. Selanjutnya pemerintahan Timor-Leste merubah Nama instansi tersebut ke bahasa Portugis dengan nama Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais Timor-Leste. Kewenangan Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan (Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais) di atur dalam Lei No 1 / 2003, de Marco Regime Juridico dos Bens Imoveis I parte : Titularidade dos Bens Imoveis (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Aset-aset dan harta benda yang tidak bergerak), peninggalan bangsa Portugis dan Indonesia serta orang asing di Timor-Leste dikuasai oleh negara.
23
Ketentuan Pasal 17 tentang instansi yang berwenang bahwa: 1. Direktorat pertanahan dan harta benda dari kementerian kehakiman merupakan satu-satunya yang berwenang melaksanakan undang-undang ini. 2. Menunggu sampai diberlakukan perundang-undangan yang mengatur pendaftaran gedung dan tanah, maka direktorat pertanahan dan harta benda dianggap sebagai instansi yang berwenang untuk melaksanakan pendaftaran harta benda tidak bergerak dan memprosesnya lebih lanjut. 3. Direktorat pertanahan dan harta benda harus mengajukan rancangan peraturan perundang-undangan seperti dimaksud dalam ayat diatas, dan suatu peraturan yang akan mengatur ketentuan seperti tercantum dalam pasal 15 sekaligus merancang peraturan pelaksanaannya. Direktorat pertanahan yang dimaksud diatas adalah berwenang dalam menjalankan tugas pemerintah dalam melaksanakan undang-undang yang dimaksud dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pendaftaran tanah dan harta benda tidak bergerak serta memprosesnya lebih lanjut. Direktorat pertanahan berhak mengajukan rancangan peraturan perundangan-undangan. Direktorat pertanahan yang dimaksud diatas adalah berwenang dalam menjalankan tugas pemerintah dalam melaksanakan undang-undang yang dimaksud dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pendaftaran tanah dan harta benda tidak bergerak serta memprosesnya lebih lanjut. Direktorat pertanahan berhak mengajukan rancangan peraturan perundangan-undangan. Pasal 84 tentang Kadaster properti Nasional bahwa: 1. Properti Nasional kadaster adalah database yang berisi semua informasi resmi tentang harta tak gerak yang dikumpulkan dengan cara survei kadaster. 2. Direktorat Nasional Pendaftaran tanah dan bangunan Kementerian Keadilan adalah entitas yang memiliki otoritas untuk membentuk, mengelola dan memperbaharui Properti Nasional Kadaster Ketentuan Pasal 84 bahwa properti kadaster adalah database yang berisikan semua informasi resmi tentang harta benda tidak bergerak yang dapat diambil melalui proses survei kadaster. Survei kadaster yang dimaksud dalam hal proses pengambilan data untuk pembaharuan dan pembentuk kadaster nasional yang dilakukan oleh Direcção Nacional De Terras, Propriedade E Serviços Cadastrais. Selanjutnya dipertegas dalam ketentuan Pasal 85 tentang survei kadaster secara sistematis bahwa:
24
Survei kadaster sistematis adalah pengumpulan data pada harta tak gerak yang dilakukan oleh Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan, di daerah koleksi yang berdampingan dan sebelum dipilih, sesuai dengan pengaturan prosedural tertentu dan dengan tujuan pembuatan kadaster Properti Nasional. Survei kadaster yang dimaksud adalah survei kadaster secara sistematis berupa pengumpulan data di daerah yang dipilih berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan dalam program pemerintah yang dilaksanakan oleh Direcção Nacional De Terras, Propriedade E Serviços Cadastrais sesuai dengan prosedural tertentu yang bertujuan untuk pembentukan kadaster properti nasional. Ketentuan Pasal 86 tentang Informasi yang di kumpulkan bahwa: 1. Di setiap bidang koleksi, survei kadaster sistematis akan mengumpulkan semua informasi yang diperlukan untuk membuat kadaster Properti Nasional, termasuk yang berikut: a. Administrasi lokasi setiap paket dari harta tak gerak; b. Identifikasi batas-batas tiap bidang; c. Geografis koordinat satu landmark dari setiap bidang tanah; d. Geometris sketsa parsel, dengan referensi geografis; e. Secara geografis direferensikan lokasi paket itu; f. Jenis paket sesuai dengan spesifikasi teknis; g. Diperbarui informasi tentang kepemilikan dan data lain yang relevan. 2. Setiap bidang tanah harus memiliki Nomor Identifikasi unik. 3. Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan harus mengidentifikasi dan menandai daerah koleksi. Dalam ketentuan ini bahwa Direcção Nacional De Terras, Propriedade E Serviços Cadastrais dalam melakukan survei kadaster secara sistematis akan mengumpulkan data dan informasi yang dapat mendukung proses pembuatan kadaster properti nasional melalui administrasi lokasi yang dilakukan dan mengidentifikasikan batasbatas bidang tanah serta memberikan petak atau gambar pada setiap informasi sesuai dengan spesifikasi teknis dan setiap bidang tanah harus mempunyai nomor identifikasi lapangan. Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan berada di bawah wewenang Mentri Kehakiman. Menteri
kehakiman dalam
menjalankan
tugasnya
diatur
berdasarkan
DECRETO-LEI Nº.12/2008 ESTATUTO ORGÂNICO DO MINISTÉRIO DA JUSTIÇA secara umum menentukan bahwa pembentukan kementerian dan lembaga yang terdiri dari berbagai kementerian, termasuk kementerian kehakiman, untuk
25
memastikan kinerja pemerintah dalam koordinasi, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan disetujui untuk bidang hukum dan keadilan. Ketentuan Pasal 2 tentang tugas Menteri Kehakiman salah satunya adalah mengatur dan menyediakan informasi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dan bangunan seluruh wilayah nasional dan mempromosikan langkah-langkah yang diperlukan dalam pengaturan pelaksanaannya. Tugas yang dimaksud diatas dalam hal pelaksanaan pembangunan seorang Menteri khusus Menteri Kehakiman yakni dalam mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan mengambilkan langkah-langkah yang tepat dalam menentukan kebijakan, serta menciptakan mekanisme untuk memastikan dan menjamin hak asasi manusia. Khususnya mengatur dan menyediakan informasi pendaftaran tanah dan bangunan di seluruh wilayah nasional di limpahkan kepada Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais. Menteri Kehakiman telah membentuk struktur organisasi kementerian yang diatur dalam ketentuan Artigo 4º (Pasal 4 tentang sStruktur Organisasi.) Artigo 4º 1. São serviços da administração directa do Estado: a. O Director Geral; b. O Gabinete de Inspecção e Auditoria; c. Direcção Nacional de Assessoria Jurídica e Legislação; d. Direcção Nacional dos Direitos Humanos e de Cidadania; e. Direcção Nacional dos Registos e do Notariado; f. Direcção Nacional dos Serviços Prisionais e deReinserção Social; g. Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais; h. Direcção Nacional de Administração e Finanças. 2. Os serviços previstos no número anterior são chefiados por um Director Nacional, directamente dependente do Ministro da Justiça. Terjemahannya: Pasal 4 1. Pelayanan administrasi negara langsung: a. Direktur Jenderal; b. Kantor Inspeksi dan Audit; c. Direktorat Nasional Penasihat Hukum dan Perundangundangan; d. Direktorat Nasional Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan; e. Direktorat Nasional Registry dan Notaris; f. Nasional Direktorat Pelayanan Penjara dan Kesejahteraan Sosial; g. Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan; h. Direktorat Nasional Administrasi dan Keuangan.
26
2. Layanan yang diberikan di paragraf sebelumnya dikepalai oleh seorang Direktur Nasional, melaporkan langsung kepada Menteri Kehakiman. Susunan yang dimaksud diatas adalah untuk menjalankan program pemerintah dalam hal kementerian kehakiman yang terdiri dari pelayanan administrasi secara langsung dibawah masing-masing direktorat yang dikepalai oleh seorang direktur yang meliputi : Direktur Jenderal, Kantor inspeksi Audit, Direktorat nasional Penasehat Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan, Direktorat Nasional Register dan Notaris, Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan dan Direktorat Nasional Administrasi dan Keuangan yang dikepalai oleh seorang direktur dan melaporkan kegiatan yang dilakukan oleh direktorat kepada Menteri. Menteri kehakiman telah membentuk suatu struktur organisasi yang terdiri dari beberapa Direktorat Nasional salah satunya adalah Direktorat Nasional Pendaftaran Tanah dan Bangunan (Direcção Nacional de Terras, Propriedade e Serviços Cadastrais). I.7.9. Tanah Kapling Tanah kapling sering disebut juga tanah matang atau tanah siap bangun. Menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Comlpete Edition memberikan pengertian mengenai kapling dan kapling tanah matang, sebagai berikut: 1. Kapling yaitu sebagian bagian tanah yang dipetak-petakan dengan ukuran tertentu (biasanya dipersiapkan untuk bangunan, kapling siap bangun) 2. Kapling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapan sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian I.7.10. Sistem Administrasi Pertanahan Administrasi pertanahan berkaitan dengan 4 komoditas yaitu kepemilikan, nilai, penggunaan dan pembangunan tanah yang keseluruhannya dalam konteks pengelolaan sumber daya tanah. Sebuah sistem administrasi pertanahan yang baik akan menghasilkan manfaat yang baik walaupun tidak dapat diukur secara langsung. Manfaat-manfaat ini antara lain ( Anonim, 1996):
27
1. Menjamin kepemilikan dan keamanan penguasaan tanah. 2. Dukungan untuk perpajakan dan properti. 3. Memberikan keamanan kredit. 4. Mengembangkan dan memantau pasar tanah. 5. Perlindungan tanah oleh negara. 6. Mengurangi sengketa tanah. Hampir semua negara berurusan dengan pengelolaan tanah. Mereka harus berhubungan dengan empat fungsi yaitu kepemilikan tanah, nilai tanah, pengunaan tanah, dan pembanguan tanah. Masing-masing tanah yang berbeda akan menempatkan berbagai penekanan pada empat fungsi tersebut tergantung pada dasar budaya dan tingkat pengembangan ekonomi negara mereka, (Enemark, 2009). Sistem administrasi pertanahan merupakan insfrastruktur yang penting untuk menfasilitasi pelaksanaan kebijakan pertanahan di negara maju dan berkembang. Sistem administrasi pertanahan berkaitan dengan sosial, hukum, ekonomi, dan kerangka teknis bagi pengelola tanah dan administrator dalam beroperasi. Sistem ini mendukung pasar tanah yang efisien berkaitan dengan administrasi pertanahan sebagai sumber daya alam untuk menjamin pembangunan berkelanjutan (Enemark, 2009). Sistem administrasi pertanahan modern akan memberikan sebuah dasar insfrastruktur dan mendorong intergrasi dari empat fungsi, yakni: a. Kepemilikan tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk menjamin akses-akses terhadap tanah dan menciptakan komoditas diatas tanah, alokasi, rekaman dan keamanan, survey pemetaan kadaster dan hukum untuk menentukan batas-batas persil, menciptakan properti bari atau mengubah sifat-sifat yang ada, penggalihan harta atau penggunaan dari suatu pihak ke pihak yang lain melalui penjualan, sewa atau keamanan kredit, pengelolaan dan ajudikasi dan sengketa mengenai hak atas tanah dan batas-batas persil tanah. b. Penilaian tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penilaian nilai tanah dan properti, perhitungan dan pengumpulan pendapatan melalui perpajakan, manajemen dan ajudikasi atas penilaian tanah dan sengketa perpajakan.
28
c. Penggunaan tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk mengkontrol penggunaan lahan melaui penerapan perencanaan kebijakan dan peraturan penggunaan lahan serta pengolahan dan ajudikasi konflik penggunaan lahan. d. Pengembangan tanah: proses dan lembaga-lembaga yang terkait untuk membangun presarana fisik baru, pelaksanaan perencanaan pembangunan, akusisi tanah publik, pengambilalihan, perubahan pemanfaatan lahan melalui perijinan pengkaplingan tanah sebagai upaya penyediaan tanah untuk pemukiman dan distribusi biaya pembangunan.