BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Waduk Sermo adalah satu-satunya waduk yang berada di D.I. Yogyakarta. Luasnya kurang-lebih 157 ha, terletak di Desa Hargowilis, Kokap, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta.
Waduk yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada
tanggal 20 November 1996, dibuat dengan membendung Kali Ngrancah. Untuk pembangunan waduk ini, Pemda Kulon Progo melakukan transmigrasi massal alias “bedol desa”. Sebanyak 100 KK ditransmigrasikan ke Tak Toi Bengkulu dan 7 KK ditransmigrasikan ke Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit Riau. Tujuan pembangunan waduk ini adalah untuk suplesi sistem irigasi daerah Kalibawang yang memiliki cakupan areal seluas 7.152 Ha. Sistem irigasi tersebut merupakan interkoneksi dari beberapa daerah irigasi diantaranya Clereng, Pengasih, dan Pekik Jamal. Selain itu waduk sermo juga menjadi objek wisata alam yang menarik di Kulon Progo. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Waduk Sermo mengalami penurunan fungsi dan kinerjanya. Tingginya laju sedimentasi mempengaruhi perubahan kapasitas tampungan waduk. Sehingga menyebabkan berkurangnya volume efektif dan tingkat operasional waduk. Cahyono dkk,(2008)
melakukan
peniltian tentang sedimentasi waduk sermo sehingga dapat diketahui bahwa dalam waktu ±1 tahun terjadi sedimentasi sebanyak 861.582,912 m3 yang tersebar pada dasar bendungan(tersebar di 86,62% dari permukaan dasar bendungan, dengan ketebalan rerata adalah 0,647 m). oleh sebab itu perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja pengelolaan Waduk sermo sehingga pemanfaatan waduk secara optimal dapat tercapai. Dengan pengelolaan waduk yang baik diharapkan waduk Sermo dapat memenuhi berbagai kebutuhan air sesuai dengan kegunaanya.Untuk menjamin fungsi waduk tetap optimal dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pengamanan dan
1
2
penyelamatan waduk serta daerah di sekitarnya. Daerah-daerah yang bervegetasi terutama kawasan sabuk hijau, harus dilindungi dan harus tetap dijaga kelestariannya. Berkurangnya luas lahan vegetasi di daerah tersebut, akan memberikan dampak negatif terhadap siklus hidrologi waduk. Salah satu upaya pengawasan pemanfaatan lahan di kawasan waduk dan sekitarnya dapat dibantu dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh, salah satu upaya pengawasan untuk memonitor pemanfaatan lahan di kawasan waduk dan sekitarnya dibantu dengan menggunakan citra penginderaan jauh yang memiliki resolusi temporal yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memonitoring perubahan penggunaan lahan yang terjadi (Ahmada, 2013). Citra Landsat 8 merupakan citra yang diperoleh dari satelit Landsat 8 sebagai generasi penerus satelit Landsat 7ETM+ yang mengalami kerusakan pada sensornya sehingga proses scanning pada citra landsat 7ETM+ tidak sempurna (stripping). Karakteristik dari citra Landsat 8 hampir sama dengan citra Landsat 7ETM+, hanya saja citra Landsat 8 memiliki jumlah band yang lebih banyak dari citra Landsat 7 ETM+ yaitu 11 band, sedangkan citra Landsat 7 ETM+
hanya memiliki 8
band.Pengamatan dengan citra Landsat ini dimaksudkan untuk memetakan dan memantau perubahan kondisi sabuk hijau (green belt) dan penggunaan lahan di sekitar kawasan Waduk Sermo I.2. Tujuan Tujuan pengerjaan proyek ini adalah untuk pemantauan kawasan sabuk hijau Waduk Sermo mengunakan data citra Landsat 7ETM+ tahun 2001 dan Landsat 8 tahun 2013. I.3. Manfaat Manfaat dari proyek ini adalah : 1. Untuk menghasilkan informasi spasial mengenai perubahan luasan sabuk hijau dan perubahan penggunaan lahan. 2. Sebagai informasi yang dapat digunakan oleh pemerintah maupun instansiinstansi terkait untuk meningkatkan fungsi dan kinerja waduk Sermo.
3
3. Dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi, untuk memperbaiki tata guna lahan di sekitar waduk sermo. I.4. Batasan Masalah Pada penelitian ini di berikan batasan batasan sebagai berikut : 1. Perubahan lahan yang diteliti dalam selang waktu 12 tahun dengan menggunakan data citra Landsat 8 tanggal 24 juni 2013 dan citra Landsat 7 tanggal 1 juli 2001. 2. Kelas penggunaan lahan yang di teliti adalah tanah terbangun, tubuh air, kebun, dan hutan. 3. Metode yang di gunakan dalam klasifikasi penggunaan lahan adalah klasifikasi terkontrok (supervised classification) dengan metode maximum likelihood. 4. Daerah penelitian mencakup daerah sekitaran kawasan waduk sermo yang meniliki batas administrasi desa Hargowilis, Hargotirto, Kalirejo, Hargorejo dan Tawangsari
I.5. Landasan Teori
I.5.1. Waduk Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2010 tentang bendungan, waduk adalah wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan. Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur. Struktur ini menghambat aliran sungai sehingga menciptakan danau buatan atau waduk. Waduk berfungsi untuk melestarikan sumberdaya air dengan cara menyimpan air saat kelebihan air yang biasanya terjadi pada musim penghujan dan mengeluarkan air pada saat dibutuhkan. Air yang ditampung dalam waduk dapat digunakan untuk
4
pembangkit listrik, irigasi, kebutuhan rumah tangga (cuci, mandi, dan minum), mengendalikan banjir, dan rekreasi. Beberapa bendungan dibangun dengan tujuan untuk memenuhi fungsi lebih dari satu hal (multipurpose dam) (Imhof, 2006). Sistem tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen air umumnya telah direncanakan sehingga kedalaman, volume, luas, debit inflow dan outflow dapat diketahui secara pasti. Gambaran umum tentang waduk dapat dilihat pada gambar I.1.
Gambar I.1. Gambaran umum waduk (Imhof, 2006) Proses sedimentasi meliputi erosi material tertentu karena terbawa angin atau aliran air oleh sungai dan air hujan, kemudian material tersebut dibawai menuju waduk. Seiring berjalannya waktu, waduk akan terisi oleh endapan sedimen, dan akhirnya memadat pada dasar waduk. Semakin banyaknya endapan sedimen maka waduk akan menjadi kurang efektif sehingga tidak dapat lagi beroperasi sebagaimana yang direncanakan.Sedimentasi yang dinggi dapat berpengaruh terhadap perubahan kapasitas tampungan waduk sehingga menyebabkan berkurangnya volume efektif waduk.Gambar I.2 mengilustrasikan pengumpulan sedimen di dalam waduk.
5
Gambar I.2. Pengumpulan sedimentasi di dalam waduk (BBWS Serayu Opak)
I.5.2. Sabuk Hijau Sabuk hijau (greenbelt) adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memiliki tujuan sebagai pemisah antara areal waduk dan area non waduk sekaligus sebagai areal strategis sebagai penyangga keberadaan waduk untuk melindungi dari laju sedimentasi yang menyebabkan pengdangkalan waduk. Pembuatan sabuk hijau dimaksudkan untuk melindungi bendungan, waduk, PLTA dan bangunan pelengkap lainnya ,fungsi sabuk hijau, yaitu : a.
Mencegah erosi pada lereng waduk dan menahan lumpur memasuki waduk.
b.
Memperbaiki kualitas lingkungan dan dapat bermanfaat untuk pengembangan pariwisata.
c.
Menjaga kestabilan tanah lereng bukit dan mengurangi tanah longsor di sekitar waduk.
d.
Dapat memberikan hasil budidaya hutan bagi masyarakat di sekitar waduk, seperti buah-buahan, kayu bakar, rumput sebagai makanan ternak dan lain sebagainya. Untuk menjamin fungsi waduk tetap optimal dan berkelanjutan, kegiatan
pengelolaan harus ditekankan pada upaya pengamanan dan penyelamatan waduk serta daerah di sekitarnya. Pada Keppres 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
6
Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang memiliki manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Dinyatakan pula bahwa kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
I.5.3. Penginderaan Jauh Pengindraan jauh adalah ilmu dan teknologi untuk memperoleh infomasi atau fenomena yang dikaji tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut. Alat yang digunakan untuk merekam adalah sensor dengan wahana berupa satelit atau pesawat udara(Lillesand dan Keifer , 2000). Menurut Lindgren dalam Susanto (1994) pengindraan jauh adalah teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis infomasi tentang bumi. Infomasi tersebut berbentuk radiasi eletromagnetik yang dipantulakan atau dipancarkan oleh permukaan bumi. Danoedoro(1996) menjelaskan bahwa sebuah platform penginderaan jauh dirancang untuk beberpa tujuan khusus. Tipe sensor dan kemapuannya, platform, penerima data, pengirim dan pemrosesan harus dipilih dan di rancang sesuai dengan tujuan tersebut dan beberapa faktor lain seperti biaya, waktu dan sebagainya. Setiap aplikasi penginderaan jauh mempunyai kebutuhan khusus mengenai luas cakupan area, frekuensi pengukuran dan tipe energi yang akan dideteksi. Oleh karena itu sebuah sesnsor harus memberikan resolusi spasial, spektral, dan temporal yang sesuai dengan kebutuhan aplikasi. Gambar I.3. menggambarkan tentang konsep pengindraan jauh.
7
Gambar I.3. Konsep Penginderaan Jauh Sumber : (National Space Development Agency of Japan, 1996) Radiasi elektomagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh obyek merupakan sumber data untuk pengindraan jauh. Alat yang digunakan untuk merekam radiasi elktromagnetik yang dipantulkan atau di pancarakan oleh obyek disebut sebagai sensor, sedangkan vehicle yang membawa sensor disebut platform atau wahana yang berupa satelit atau pesawat udara (Harintaka, 2007). Data pengindraaan jauh menggambarkan obyek di permukaan bumi relative lengkap dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letak di permukaan bumi dalam liputan yang luas. Citra pengindraan jauh adalah gambaran suatu obyek, daerah, atau fenomena, hasil rekaman pantulan dan atau pancaran obyek oleh sensor pengindraan jauh, dapat berupa foto atau data digital (Purwadhi, 2008). Rossiter (1994) dalam Meinardy (2001) menyebutkan beberapa faktor yang menguntungkan jika mengunakan metode penginderaan jauh dalam pemantauan lahan: 1. Biaya yang relativ murah dan cepat dalam mengumpulkan infomasi terkini meliputi wilayah geografis yang luas. Sebagai contoh : Landsat 5 meliputi wilayah seluas 185x160 km dengan resolusi 30 m setiap 18 hari sekali.
8
2. Satu-satunya cara praktis untuk mengumpulkan data dari daerah yang sulit dijangkau 3. Pada skala kecil, fenomena regional yang tidak terlihat dari daratan dapat terlihat jelas, comtohnya kerusakan alam dan struktur geologi lainnya 4. Metode yang murah dan cepat dalam membuat peta dasar (base map) untuk menutupi kekurangan dan survei lapangan 5. Mudah dimanipulasi dengan komputer, dan dapat dikombinasikan dengan perangkat lain dalam GIS (Geographical Infomation System).
I.5.4. Satelit Landsat Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang di kembangkan oleh NASA ( the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pada tahun 1970-an (Purbowaseso, 1996). Citra dari satelit Landsat telah banyak digunakan oleh pemerintah, masyarakat, industri, maupun pendidikan di seluruh dunia. Citra landsat digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti pada bidang pertanian, kehutananan, pemetaan,
oseanografi, sumberdaya alam, dan
penelitian perubahan iklim. Satelit Landsat pertama kali diluncurkan dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite), kemudian berganti nama menjadi Landsat 1. Seri satelit Landsat hingga saat ini telah sampai pada Landsat 8. Dari Landsat 1 sampai dengan Landsat 8 telah terjadi perubahan sensor sehingga satelit Landsat dikelompokkan menjadi beberapa generasi. Generasi pertama terdiri dari Landsat 1, Landsat 2, dan Landsat 3. Generasi kedua terdiri dari Landsat 4 dan Landsat 5. Generasi ketiga terdiri dari Landsat 6, dan Landsat 7 ETM+, serta generasi terakhir adalah Landsat 8 (U.S. Geological Survei). Waktu pengoperasian satelit Landsat dapat dilihat pada tabel I.2.
9
Gambar I.3. Satelit Landsat (http://landsat.usgs.gov)
Tabel I.1. Waktu pengoperasian satelit Landsat (http://landsat.usgs.gov)
Satelit Landsat
Waktu Beroperasi
Landsat 1
23 Juli 1972 - 6 Januari 1978
Landsat 2
22 Januari 1975 – 22 Januari 1981
Landsat 3
5 Maret 1978 – 31 Maret 1983
Landsat 4
16 Juli 1982 – 1993
Landsat 5
1 Maret 1984 – 26 Desember 2012
Landsat 6
5 Oktober 1993 - gagal mencapai orbit
Landsat 7 ETM+ Landsat 8
15 Desember 1999 – sekarang (mengalami kerusakan sejak Mei 2003) 11 Februari 2013 – sekarang
I.5.4.1. Satelit Landsat 7 ETM+. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1999
dan
membawa
sensor
ETM+
di
Pangkalan
udara
Vandenberg,
California.penambahan pada sensor ini adalah adanya 2 sistem model kalibrasi untuk ganguan radiasi matahari (dual mode solar calibration system) dan juga lampu kalibrasi untuk fasilitas koreksi geometris. Landsat 7 mengelilingi bumi dengan orbit kutub selaras matahari (sun synchronous) dengan ketinggian 705 km diatas ekuator setiap jam 10.00 pagi, lintasan 1 kali mengililingi bumi selama 99menit dengan pengulangan waktu rekaman pada tempat yang sama setiap 16 hari. Karakteristik
10
data Landsat 7 yaitu data yang direkam sensor ETM+ adalah data format raw (data mentah). Pemanfaatan data satelit untuk mendeteksi land use dan land cover didasari bahwa pemikiran bahwa tipe-tipe lahan yang ad adapt dibedakan dengan memanfaatkan spectral pada citra multi kanal. Teknik ini juga merupakan cara yang paling praktis untuk meliputi perubahan disuatu lahan secara cepat dan mencakup wilayah yang luas (Wilkie dan Finn, 1996 dalam Meindary, 2001). Pada tabel dibawah ini dapat dilihat spesifikasi band Landsat ETM+ dan karakteristik sensor satelit Landsat 7 ETM+. Tabel I.2. Karakteristik sensor satelit Landsat 7 ETM+.
Band
Panjang
Resolusi
gelombang(mikrometer)
(meter)
Band 1 – Blue
0,45 – 0,52
30
Band 2 – Green
0,52 – 0,60
30
Band 3 – Red
0,63 – 0,69
30
Band 4 - Near Infrared (NIR)
0,77 – 0,90
30
Band 5 – SWIR 1
1,55 – 1,75
30
Band 6 - Thermal
10,40 – 12,50
60
Band 7 - SWIR 2
2,08 – 2,35
30
Band 8 - Panchromatic
0,52 – 0,90
15
Sejak 31 Mei 2003, sistem sensor Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan berupa kegagalan pemindaian (Scan Line Correction, SLC), sehingga data hasil pemindaian banyak yang hilang. Melalui sistem sensor yang menggunakan SLC-off, diperoleh citra digital dengan baris yang melompat – lompat, sehingga mengganggu pengamatan visual citra. I.5.4.2. Satelit Landsat 8.NASA melakukan peluncuran satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM) pada tanggal 11 Februari 2013. Satelit ini mulai menyediakan citra open access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perkembangan
11
baru dunia antariksa. NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai landsat 8. Pengolahan data arsip citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation and Science (EROS) canter. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan lipatan pada area yang sama setiap 16 hari sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan citra Landsat sebelumnya. Seperti dipublikasikan oleh USGS (2013), satellite Landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km (mirip dengan Landsat versi sebelumnya). NASA menargetkan satellite Landsat versi terbarunya ini dapat mengemban misis selama 5 tahun beroprasi (sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup kemungkian umur produksi landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang dicanangkan sebagaimana yang terjadi pada Landsat 5 (TM) yang awalnya di targetkan selamahanya beroprasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih berfungsi. Satellite Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrare sensor (TIRS) dengan jumlah Kanal sebanyak 11 buah,. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainya (band 10 dan 11) pada TIRS. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat spesifikasi citra Landsat 8. Karakteristik Landsat 8 hampir sama seperti Landsat 7 ETM+, baik resolusi (spasial, spektral, dan temporal), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik sensor yang dibawa, hanya ada beberapa penyempurnaan dari landsat 7 ETM+ seperti jumlah band, rentang spektrum, gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap oleh sensor dan nilai digital number (bit) dari setiap piksel citra. Perbedaan karakteristik Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 dapat dilihat pada Tabel 1.4.
12
Tabel I.3. Karakteristik sensor satelit Landsat 8
Band
Panjang gelombang
Resolusi
(mikrometer)
(meter)
Band 1 - Coastal aerosol
0,43 – 0,45
30
Band 2 – Blue
0,45 – 0,51
30
Band 3 – Green
0,53 – 0,59
30
Band 4 – Red
0,64 – 0,67
30
Band 5 - Near Infrared (NIR)
0,85 – 0,88
30
Band 6 - SWIR 1
1,57 – 1,65
30
Band 7 - SWIR 2
2,11 – 2,29
30
Band 8 – Panchromatic
0,50 – 0,68
15
Band 9 – Cirrus
1,36 – 1,38
30
Band 10 - Thermal Infrared (TIRS) 1
10,60 – 11,19
100
Band 11 - Thermal Infrared (TIRS) 2
11,50 – 12,51
100
Tabel 1.4. Perbedaan karakteristik Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 (http://landsat.usgs.gov) Spesifikasi
Landsat 7 ETM+
Landsat 8
Tinggi Orbit
705 km
705 km
Jenis Orbit
Inklinasi 98.2,
Inklinasi 98.2,
Sun-synchronous
Sun-synchronous
Sensor
ETM+
(Enhanced OLI (Onboard Operational Land
Thematic Mapper)
Imager) + TIRS (Thermal Infrared Sensor)
Luas Liputan per scene
185 km x 185 km
185 km x 185 km
Resolusi Temporal
16 hari
16 hari
Periode Orbit
99 menit
99 menit
Kuantitas Data
8 bit ( 0 – 255)
16 bit (0 – 65535)
13
Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khusus, banyaknya band penyusun RGB komposit pada landsat 8 dan spesifikasi band baru yaitu band 1,9,10, dan 11, membuat warna objek menjadi lebih bervariasi. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada landsat 7 ETM+, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini lebih unggul untuk membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman yang berbeda. Band 9 lebih sensitif dalam mendeteksi awan cirrus. Band 10 dan 11 bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Tingkat keabu-abuan (digital number) pada landsat 8 memiliki interval yang lebih panjang yaitu 16 bit (0-65535) , dengan ini tampilan citra akan lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi objek-objek di permukaan bumi.
I.5.5. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer, (1998) penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan jenis kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu, sedangkan penutup lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakkan yang ada di permukaan bumi. Penggunaan lahan memperlihatkan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Informasi penggunaan lahan antara lain dapat digunakan sebagai dasar pembuatan rencana tata ruang. Pada data penginderaan jauh, informasi mengenai penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsirkan secara langsung oleh citra akan tetapi perlu dideteksi terlebih dahulu dari kenampakkan penutupan lahan, kemudian dilakukan kegiatan survei lapangan untuk pengecekkan (Ahmada, 2013). I.5.6. Pengolahan data Landsat 1.7.6.1 Koreksi citra Sebelum di olah lebih lanjut, data atau citra Landsat harus terlebih dahulu melalui proses koreksi. Pada saat ditranmisikan ke bumi, data
14
landsat mengalami distorsi dengan berbagai cara. Distorsi yang terjadi ada dua macam yaitu distorsi geometrik dan distorsi radiometrik. Distorsi geometrik disebabkan oleh beberapa faktor seperti variasi tinggi satelit, kecepatan satelit, ritasi bumi, gerakan cermin pada sensor , juga kelengkungan sensor , sedangkan distorsi radiometrik disebabkan oleh nilai digitalyang tidak sellu tepat kaitanya dengan letaknya pada peta (Lillesand dan Kiefer, 1998) berikut uraian lebih lanjut tentang koreksi-koreksi tersebut: 1. Koreksi Radiometrik. Koreksi radiometrik merupakan pembetulan citra akibat kesalahan radiometrik, yaitu kesalahan yang berupa pergeseran nilai keabu-abuan piksel citra, yang disebabkan oleh kesalahan optik karena ganguan energi radiasi gelombang elektromagnetik pada atmosfer, dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001). Maksud dari koreksi ini adalah untuk meningkatkan kualitas citra visual dan untuk memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pancaran spectral obyek yang sebenarnya, berupa pengisian kembali baris yang kosong maupun karena kesalahan awal pelarikan (scanning start). Kesalahan radiometrik disebabkan karena adanya gangguan atmosfer pada saat radiasi elektromagnetik melewati atmosfer sebanyak dua kali yaitu matahari ke target dan target kematahari. Proses yang terjadi pada saat itu adalah terjadinya penurunan intensitas radiasi elektromagnetik karena penyerapan atau absorbs dan proses yang kedua adalah terjadinya penyebaran arah atau hamburan radiasi elektromagnetik. 2. Koreksi Geometrik.Koreksi geometrik merupakan pembetulan posisi citra akibat kesalahan geometrik yang disebabkan konfigurasi sensor dan perubahan ketinggian, posisi, serta kecepatan wahana karena gerak rotasi dan lengkung bumi. Koreksi geometrik mempunyai tiga tujuan, yaitu melakukan rektifikasi citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi, registrasi posisi citra dengan citra lain atau mentransformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal, dan registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta
15
yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu (Purwadhi, 2001) . Koreksi geometrik terdiri dari tiga prosedur, yaitu : 1. Memilih titik kontrol di lapangan atau disebut sebagai titik GCP ( Ground Control Point) dengan syarat tersebar merata ke seluruh citra, relatif permanen, dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek. 2. Proses tranformasi koordinat dengan menggunakan model persamaan tertentu, umumnya berupa persamaan polynomial baik orde 1, 2, maupun 3. 3. Menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Square Error) dari titik kontrol yang dipilih. Nilai RMSE diusahakan tidak lebih dari 1 piksel (Eikvil et al,2009). Algoritma perhitungan RMSE menurut El-Sheimy (2001) adalah sebagai berikut : ∑
RMSE = √
...............
(1)
Keterangan : pi
: Koordinat yang dihasilkan pada citra
ai
: koordinat dihasilkan pada citra acuan (base image)
n
: jumlah titik kontrol tanah
1.5.6.2 Warna Komposit.Manipulasi warna untuk memperoleh warna yang sesuai, dapat dilakukan dengan membandingkan kombinasi band yang berbeda-beda secara visual (Lillesand dan Kiefer, 1998). Penyusunan komposit warna berjutuan untuk memperoleh gambaran visual yang lebih baiksehingga memudahkan dalam pengmatan objek sesuai dengan tujuan pekerjaan (Djurdjani dan Kartini, 2004). 1.5.6.3
Pemotongan
citra
(Cropping)cropping
citra
merupakan
tahapan
pemrosesan penginderaan jauh pada citra berupa pemotongan citra yang tujuanya adalah untuk mempersempit atau membatasi dareah penelitian yang akan dilakukan sehingga fokus pada obyek yang dikaji sesuai dengan kebutuhan tujuan penelitian. 1.5.6.4.Skema
klasifikasi.Skema
klasifikasi
adalah
pemilihan
kategori
penggunaan lahan yang akan digunakan untuk mengelompokkan nilai piksel ke
16
dalam kelas tertentu. Skema klasifikasi menurut USGS (1976)disajikan pada Tabel I.6. Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS. Tabel I.6. Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut USGS LEVEL I
LEVEL II
1. Urban or built-up land
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
2. Agricultural land
2.1 Croplands and pasture 2.2 Orchard, groves, vineyards, nurseries, ornamental holticultural areas 2.3 Confined feedings operations 2.4 Other agricultural land 3.1 Herbaceous range land 3.2 Shrub-brusland rangeland 3.3 Mixed rangeland 4.1 Deciduous forest land 4.2 Evergreen forest land 4.3 Mixed forest land 5.1 Stream and canal 5.2 Lakes 5.3 Reservoirs 5.4 Bays and estuaries 6.1 Forested wet land 6.2 Nonforested wet land 7.1 Dry salt flats 7.2 Beaches 7.3 Sandy areas other than beaches 7.4 Bare exposed rock 7.5 Strip mines, quarries, and gravel pits 7.6 Transitional areas 7.7 Mixed barren land
3. Range land
4. Forest land
5. Water
6. Wet land 7. Barren land
Residental Commercial and Services Transportation, communications and utilities Industrial and commercial complexes Mixed and commercial complexes Mixed urban or built-up land Other urban or built-up land
8. Tundra
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5
9. Perennial snow or ice
9.1 Perennial snowfields 9.2 Glaciers
and
Shrub and brush tundra Herbaceous tundra Bare ground tundra Wet tundra Mixed tundra
Penentuan kelas tergantung pada citra daerah penelitian karena tidak semua kelas yang ada dapat diklasifikasikan, maka pada penelitian ini menggunakan skema klasifikasi dengan modifikasi, seperti yang terlihat pada Tabel 1.7.
17
Tabel I.7. Pemilihan Skema klasifikasi LEVEL I
Modifikasi Kelas
1. Urban or built-up land
1. tanah terbangun
2. Agricultural land
2. kebun + tegalan
3. Forest land
3. hutan
4. Water
4. tubuh air
I.5.7. Klasifikasi Digital Klasifikasi citra adalah proses pengelompokkan piksel ke dalam kelas tertentu atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/ BV) piksel yang bersangkutan. Tujuan klasifikasi citra secara digital adalah untuk melakukan pengelompokkan secara otomatis dari setiap piksel ke kelas tertentu. Menurut Danoedoro (2012), Klasifikasi citra multispektral dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya, yaitu klasifikasi terkontrol (supervised
classification)
dan
klasifikasi
tidak
terkontrol
(unsupervised
classification). Klasifikasi digital yang dipakai pada penelitian ini adalah klasifikasi terkontrol (supervised classification) yang membagi kelas objek berdasarkan nilai piksel sampel dari tiap kelas. Klasifikasi terkontrol memerlukan training area atau daerah contoh. Proses klasifikasi terkontrol dengan metode yang berbeda akan mendasarkan perhitungan kedekatan nilai piksel terhadap kelas tertentu dengan algoritma dan dasar statistik yang berbeda. Ada tiga metode klasifikasi digital (Djurdjani dan Kartini, 2004), yaitu : a. Klasifikasi jarak minimum rata-rata kelas (minimum distance) Merupakan salah satu metode yang paling sederhana, yaitu dengan cara menentukan keanggotaan suatu pixel pada kelas tertentu yang dapat diketahui dengan menghitung jarak terpendek terhadap nilai rata-ratanya. Rumus yang dipakai adalah (Danoedoro, 2012): Jarak = √∑
................................................. (2)
18
Keterangan : = jumlah saluran = saluran tertentu = kelas obyek tertentu = vektor piksel pada saluran k = nilai rerata vektor piksel kelas c di saluran k
b. Klasifikasi Paralellepiped Proses klasifikasi dilakukan dengan cara memperhitungkan kisaran nilai digital dari masing-masing rangkaian kategori nilai piksel daerah contoh. Kisaran nilai piksel tertinggi dan terendah dimasukkan dalam bentuk empat persegi panjang yang merupakan batas kelas yang diuji. Rumus yang dipakai adalah : ≤
≤
.......................................................... (3)
Bila dipenuhi, piksel yang bersangkutan termasuk kelas c =
-
batas bawah ..................................... (4)
=
+
batas atas .......................................... (5)
Keterangan : = kelas yang akan ditentukan = nomor band citra = nilai rerata = nilai standart deviasi
c. Klasifikasi Maximum Likelihood Kegiatan penelitian ini mengfokuskan klasifikasi penggunaan lahan pada metode klasifikasi terkontrol dengan persamaan maximum likelihood. Algoritma maximum likelihood secara statistik dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan kemiripan setiap piksel dengan asumsi bahwa objek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal. Piksel diklasifikasikan sebagai kelas tertentu
19
bukan karena jarak eklidiannya, melainkan karena bentuk, ukuran, dan orientasi sampel berupa elipsoida. Ukuran elipsoida ditentukan oleh variansi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariannya (Danoedoro, 2012). Ketentuan yang dipakai adalah: = { 0,5 Ln (det Vc)} – {0,5 (X- µc)T Vc-1 (X- µc)} ........... (6)
Maka piksel yang bersangkutan termasuk kelas c. Keterangan : = jarak suatu kelas tertentu yang diberi bobot = suatu kelas tertentu X
= vektor piksel yang diklasifikasi
µc
= vektor rerata sampel kelas c
Vc
= matriks kovarian piksel-piksel pada sampel kelas c
I.5.7.1. Training area.
Pelaksanaan klasifikasi
terkontrol
(Supervised
Classification) memerlukan proses penentuan training area atau daerah contoh sebelum dilakukan klasifikasi. Penentuan training area dilakukan berdasarkan data pendukung lain berupa data lapangan, data penggunaan lahan, ataupun data foto udara. Training area dipilih pada lokasi yang menyebar pada citra. Pemilihan training area yang benar akan mempengaruhi kualitas hasil klasifikasi (Djurdjani dan Kartini, 2004). I.5.7.2. Hitungan statistik training area. Setelah training area ditentukan batasnya kemudian dilakukan hitungan statistik terhadap training area tersebut. Hasil hitungan statistik meliputi nilai statistik tunggal (univariate statistic) yang terdiri dari mean, nilai maksimum, nilai minimum, standar deviasi, serta varian dan nilai statistik citra banyak (multivariate statistic) yang terdiri dari varian kovarian serta korelasi antar band (Djurdjani dan Kartini, 2004). Rumus untuk menghitung nilai statistik adalah sebagai berikut : Mean (µk)
=
∑
.............................................. (7)
20
Varian populasi (Vark) =
∑
.................................... (8)
∑
Varian sampel (Vark)
=
Simpangan baku (Sk)
=√
.................................... (9) ................................................ (10)
Kovarian band k dan band l (covkl) = Korelasi band k dan band l (rkl)
∑
=
... (11) ................................ (12)
Keterangan : BV = nilai keabuan/nilai digital n
= jumlah piksel tiap band
I.5.7.3. Uji indeks separabilitas. Pemilihan training area akan berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi. Evaluasi tingkat separabilitas sampel dapat dilakukan metode pengukuran jarak Jeffries-Matusita (JM). Nilai yang dihasilkan dari evaluasi tersebut berkisar antara 0 sampai 2. Nilai indeks yang lebih dari 1,9 (mendekati 2) memiliki arti bahwa sampel memiliki separabilitas (keterpisahan) yang baik. Apabila nilai seperabilitas kurang dari 1, maka sampel
tersebut
harus
dikelompokkan
menjadi
satu
kelas,
karena
separabilitasnya buruk.
1.5.8. Uji ketelitian Klasifikasi Uji ketelitian klasifikasi bertujuan untuk memperoleh nilai kedekatan hasil klasifikasi dengan data ukuran sebenarnya. Uji ketelitian ini dilakukan agar dapat diketahui tingkat kepercayaan terhadap pemakaian hasil klasifikasi untuk analisis dan keperluan berikutnya. MenurutSutanto (1994) metode uji ketelitian klasifikasi dapat menggunakan point sampling accuracy dengan tahapan sebagai berikut : 1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji/sampel yang dipilih dari setiap kelas objek. 2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan
21
3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada kelas objek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Ketelitian analisis dibuat dalam beberapa kelas X yang dihitung dengan rumus (Short dan Nicholas, 1982) : MA =
................................................... (14)
Keterangan : MA
= ketelitian klasifikasi (Map Accuracy)
Xcr
= jumlah piksel kelas yang benar (Correct)
Xo
= jumlah piksel kelas X yang masuk kelas lain (Ommision)
Xco
= jumlah piksel kelas X tambahan dari kelas lain (Commision)
Akurasi hasil identifikasi diuji menggunakan tabel matrik konfusi (confusion matriks). Tabel matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi, dan keseluruhan penelitian pemetaan (Short dan Nicholas, 1982). Omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Tabel tersebut juga memberikan informasi nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) masing-masing kelas. Nilai overall accuracy minimal untuk memenuhi syarat batas penentuan hasil klasifikasi diterima atau tidak adalah ≥ 85% (Short dan Nicholas, 1982). Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas. Rumus untuk menghitung overall accuracy, dinyatakan sebagai berikut :
overall accuracy
................................................... (15)
Keterangan : diagonal
= banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas
22
= jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas Dihitung pula nilai user accuracydanprocedure accurracy. User accuracy adalah nilai yang menyatakan jumlah piksel pada suatu kelas klasifikasi, merupakan nilai yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Procedure accurracy merupakan nilai yang menyatakan jumlah data lapangan yang telah terklasifikasi secara benar pada suatu kelas klasifikasi. Skema sampling digunakan untuk menentukan titik uji atau sampelnya. Menurut Congalton (1999) sampling acak sederhana (simple random sampling) menyajikan hasil yang memuaskan. Pada sampling ini, setiap unit sampel dalam studi area memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Keuntungan utama dari sampling acak sederhana ini adalah sifat statistik yang baik dari hasil pemilihan secara acak. Melalui sampling ini diharapkan sampel training area dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga tidak ada kelas yang terabaikan. Conglaton dan Green (1999) merekomendasikan jumlah titik sampel untuk setiap kategori penggunaan lahan adalah 50 titik. Akan tetapi apabila wilayah pengamatan cukup besar misalnya lebih dari satu juta are atau 400 ribu ha, atau kelas penggunaan lahan yang ada pada daerah kajian cukup banyak (lebih dari 12 kelas) , maka jumlah titik sample ditingkatkan menjadi 75 hingga 100 titik sampel per kategori.
1.5.9. Analisis Perubahan Lahan Perubahan penggunaan lahan merupakan proses mengidentifikasi perubahan suatu obyek atau fenomena dengan membandingkan antara citra digital yang direkam dalam waktu yang berbeda. Perubahan pada citra yang berbeda waktu tidak hanya mengimplikasikan perbedaan dalam karakteristik unsur di permukaan bumi, tetapi juga dapat mencerminkan variasi normal yang belum terkarakteristikkan dan dapat diketahui pada suatu periode waktu ke waktu berikutnya (Ahmada, 2013). Berdasarkan hasil klasifikasi citra multi temporal kemudian dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan dengan cara melakukan teknik pengurangan (Image differencing) . Dengan cara ini, luas perubahan penggunaan lahan di kawasan Waduk Sermo dapat diketahui.