BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dasar laut Indonesia sangat kompleks dan tidak ada negara lain yang mempunyai topografi dasar laut begitu beragam selain Indonesia. Karakteristik ini menjadikan lautan Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia, memiliki 8.500 species ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota terumbu karang sehingga dasar laut Indonesia pada dasarnya menyimpan potensi sumber daya alam bawah laut yang dapat dijadikan modal untuk pembangunan nasional. Agar dapat memanfaatkan potensi ini dibutuhkan suatu data pendukung yang memberikan informasi terkait kedalaman air laut. Salah satu sumber data untuk mengetahui kedalaman laut adalah peta batimetri. Peta batimetri adalah peta topografi dasar laut yang mempresentasikan kedalaman laut dan digambarkan dengan garis kontur atau gradasi warna. Peta batimetri banyak digunakan untuk keperluan kelautan seperti pemetaan terumbu karang, navigasi pelayaran, penentuan daerah penangkapan ikan, pembangunan pelabuhan nelayan dan masih banyak lagi. Salah satu contoh penggunaan peta batimetri adalah untuk perancangan dermaga, peta batimetri digunakan untuk merencanakan penempatan dermaga pada kedalaman tertentu sesuai dengan spesifikasi kapal yang dapat bersandar. Ironisnya ketersediaan peta batimetri wilayah Indonesia masih dirasa kurang, baik dari segi luas wilayah cakupan maupun skala petanya. Hanya beberapa wilayah perairan di Indonesia memiliki peta batimetri yang cukup lengkap. Hal ini dikarenakan wilayah perairan Indonesia yang terlalu luas dan biaya yang terbatas dari pemerintah untuk melakukan pengukuran kedalaman laut. Teknologi penginderaan jauh menawarkan alternatif menyediakan data kedalaman guna pembuatan peta batimetri. Teknologi ini bisa mempermudah dalam penyajian data kedalaman suatu perairan tanpa harus melakukan pengukuran 1
2
kedalaman langsung ke lapangan. Prinsip dasar kegiatan pemetaan batimetri menggunakan teknologi penginderaan jauh adalah adanya perbedaan panjang gelombang cahaya yang menembus air (penetrasi) dengan kemampuan berbeda. Perbedaan panjang gelombang yang dipancarkan dengan yang diterima oleh sensor satelit memberikan nilai piksel yang ada pada citra, dari nilai piksel ini dapat dianalisis prediksi kedalaman perairan. Penelitian mengenai data kedalaman dengan menggunakan teknologi citra satelit menggunakan metode Jupp sudah banyak dilakukan. Penelitian tersebut umumnya dilakukan pada perairan yang relatif tenang, seperti Kepulauan Seribu, Jakarta. Perairan ini tergolong relatif tenang karena perairan ini banyak dikelilingi oleh pulau-pulau besar. Selain perairan yang relatif tenang Indonesia memiliki perairan dinamis yang disebabkan perairan menghadap laut terbuka. Sebagai contoh perairan seperti ini adalah perairan Pantai Sadeng. Penelitian ini dimaksud untuk mengaplikasikan metode Jupp untuk menghasilkan data kedalaman dari citra Landsat 7 ETM+ dalam rangka penentuan peta batimetri wilayah Pantai Sadeng, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. I.2 Rumusan Masalah Perairan Pantai Sadeng yang terletak di selatan pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia memiliki jenis perairan yang relatif dinamis karena pengaruh oseanografi Samudra Hindia terhadap Pantai Sadeng. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap kecerahan, penetrasi cahaya, serta penentuan kedalaman. Berdasarkan situasi tersebut, maka dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana akurasi batasan kedalaman hasil penerapan metode Jupp untuk perairan dinamis dalam hal ini perairan di Pantai Sadeng. I.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1. Menentukan nilai kedalaman perairan Pantai Sadeng dari citra Landsat 7 ETM+.
26
3
2. Mengevaluasi akurasi batasan kedalaman hasil penerapan metode Jupp untuk perairan dinamis dalam hal ini perairan di Pantai Sadeng. I.4 Pembatasan Masalah Pembatasan masalah pada penelitian ini meliputi : 1. Data pembanding kedalaman hasil dari citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan adalah data kedalaman global dari General Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO). 2. Penelitian ini mengabaikan pengaruh pasang surut. 3. GEBCO melakukan pengukuran kedalaman di tahun 2003 sedangkan data citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002. Hal-hal yang terkait dengan penambahan kedalaman selama rentang waktu tersebut diabaikan. I.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dengan diketahui akurasi data kedalaman wilayah perairan Pantai Sadeng maka dapat diketahui potensi citra Landsat 7 ETM+ (Enchanced Thematic Mapper plus). I.6 Tinjauan Pustaka Anshary (2002) telah menguji kemampuan citra Landsat 7 ETM+ untuk memetakan perairan dangkal di Kepulauan Seribu dan memperoleh rata-rata kesalahan kedalaman pada peta batimetri sebesar 1,35 meter. Dalam penelitian ini juga diperoleh kemampuan citra Landsat 7 ETM+ untuk memetakan topografi dasar laut masih terbatas pada perairan dangkal (shallow water) saja dan belum bisa digunakan untuk mempresentasikan topografi dasar laut di perairan dalam (deep water). Noegroho (2003) melakukan penelitian mengenai pembuatan batimetri secara sederhana di perairan Kepulauan Seribu dengan menggunakan faktor pasang surut air laut. Metode yang digunakan untuk pembuatan peta batimetri penelitian ini adalah metode Jupp. Penelitian Noegroho (2003) menyempurnakan penelitian yang telah dilakukan Anshary (2002) dengan mereduksi hasil kedalaman terhadap muka surutan
4
peta dan muka laut rata-rata yang diperoleh melalui proses perhitungan pasang surut. Analisis kedalaman dilakukan dengan cara membandingkan nilai kedalaman dari citra sebelum direduksi terhadap nilai kedalaman citra setelah direduksi di tiap-tiap daerah penetrasi. Pembandingan titik kedalaman ini mengambil sample 10 titik kedalaman. Hasil dari pembandingan diperoleh perbedaan kedalaman untuk Depth Of Penetration 1 (DOP1) sebesar 2,17 meter, daerah DOP 2 sebesar 1,82 meter, daerah DOP 3 sebesar 0,66 meter dan daerah DOP 4 sebesar 0,36 meter. Dari penelitian ini disimpulkan reduksi pasang surut lebih berpengaruh terhadap ketelitian kedalaman hasil estimasi dari citra satelit pada zona kedalaman 0 hingga 5 meter, yaitu DOP 1 dan DOP 2. Wahyuningrum (2007) melakukan penelitian mengenai pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan data Landsat 7 ETM+. Daerah penelitian ini berlokasi di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Algoritma yang digunakan merupakan algortima yang dirumuskan oleh Van Hengel dan Spitzer (1991). Algoritma ini berguna untuk mentransformasi nilai citra satelit untuk menghasilkan nilai kedalaman air laut. Agar mendapatkan nilai kedalaman absolut, nilai kedalaman relatif diregresikan dengan nilai pengukuran lapangan. Nilai perbedaan antara kedalaman relatif dengan kedalaman absolut pada kedalaman di bawah 5 meter memiliki rata-rata kesalahan lebih dari 40 %. Kemudian rata-rata kesalahan ini menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman antara 5 sampai 7 meter mempunyai rata-rata kesalahan 22% dan 23%, pada kedalaman 7 hingga 9 meter mempunyai rata-rata kesalahan 17% dan 14% dan pada kedalaman di atas 9 meter rata-rata kesalahan semakin menurun. Dari penelitian ini disimpulkan algoritma yang dirumuskan Van Hengel dan Spritzer dapat digunakan untuk menghasilkan nilai kedalaman laut pada perairan yang memiliki kedalaman di atas 9 meter. Paulus, dkk., (2010) mengevaluasi citra Quickbird untuk pemetaan batimetri jurang bawah laut dengan menggunakan data perum. Lokasi penelitian Karang Lebar dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsistensi algoritma Jupp (1988) pada dua lokasi gobah yang direkam dalam satu
5
liputan citra. Sebanyak 140 titik perum hasil dari pengukuran lapangan di Karang Lebar dipasangkan dengan nilai-nilai digital dari kanal 1,2 dan 3 citra Quickbird. Koefisien determinansi dicari, agar memberikan gambaran tentang kemampuan kanal 1, 2 dan 3 citra Quickbird untuk menjelaskan variasi kedalaman perairan disepanjang jalur perum. Hubungan variasi kedalamannya dengan variasi nilai digital kanal 1, 2 dan 3 citra satelit Quickbird. Kanal 2 dan 3 memberikan korelasi terbaik sehingga dipakai untuk estimasi kedalaman citra. Langkah analisis hasil penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur kedalaman sejumlah titik jurang bawah laut di perairan Pulau Panggang. Setelah data kedalaman direduksi terhadap pasang surut dan sejumlah koreksi lainnya, nilai kedalaman ukuran lapangan dibandingkan dengan nilai kedalaman hasil estimasi citra. Hasil penelitian ini, pemetaan batimetri menggunakan metode Jupp jurang bawah laut daerah Karang Lebar tidak konsisten pada jurang bawah laut Pulau Panggang dan memberikan nilai kedalaman yang lebih dari nilai kedalaman hasil pengukuran lapangan hal ini dikarenakan estimasi kedalaman berdasarkan Depth Of Penetration (DOP) yang sama. Vanderstraete, dkk., (2002) melakukan penelitian mengenai pemetaan terumbu karang daerah Laut Merah dengan menggunakan citra Landsat 7 ETM+. Penelitian ini menggunakan metode Jupp untuk menganalisis kedalaman perairan laut merah. Penelitian ini menghasilkan adanya perbedaan data kedalaman dari citra Landsat 7 ETM+ dengan 100 titik sample data kedalaman hasil pengukuran lapangan. Rata-rata kesalahan dari data kedalaman terhadap data pengukuran kedalaman di lapangan sebesar 1,2 meter dengan RMS error sebesar 2,4 meter. Perbedaan kedalaman ini dikarenakan adanya kesalahan atmosfer pada citra yang tidak terkoreksi dan tidak dilakukannya koreksi terhadap kolom perairan. Nurkhayati
(2005)
melakukan
pemetaan
batimetri
perairan
dangkal
menggunakan citra Quickbird di perairan Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Untuk mendapatkan kedalaman perairan dari citra Quickbird, Nurkhayati (2005) menggunakan teknik pengolahan metode rasio linear yang dikembangkan Stumpf. Data input yang digunakan adalah nilai reflektansi citra hasil perhitungan dengan menggunakan band math, data kedalaman perairan dangkal aktual yang
6
didapat dari pengukuran kedalaman menggunakan alat Echosounder. Hasil penelitian ini menyebutkan pemetaan kedalaman perairan dangkal dari citra multispektral Quickbird menggunakan metode rasio linear terbatas samapai kedalaman 28 meter dengan kondisi perairan jernih. Perhitungan metode ini menggunakan rasio saluran biru karena merupakan rasio terbaik yang digunakan untuk menghitung nilai kedalaman perairan. I.7 Landasan Teori I.7.1
Penginderaan jauh 1.7.1.1 Teori dasar penginderaan jauh. Penginderaan jauh (remote sensing)
adalah ilmu dan seni yang bertujuan memberikan informasi mengenai obyek, daerah, maupun gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dari alat berupa sensor yang dipasang pada wahana (platform) pasawat terbang, satelit, dan sebagainya tanpa terlibat langsung dengan obyek, daerah, maupun gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 2000). Menurut Avery (1985) penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh, menentukan dan menganalisis obyek dengan sensor pada posisi pengamatan daerah kajian. Sistem kerja penginderaan jauh bekerja dengan cara satelit/wahana memancarkan radiasi elektromagnetik ke obyek kemudian dipantulkan oleh obyek, radiasi elektromagnetik hasil pantulan dari obyek direkam oleh alat yang disebut sensor. Pada Gambar I.1 .menunjukkan sistem perekaman citra satelit mulai dari pancaran gelombang elektromagnetik dari sumber sampai menghasilkan data citra satelit.
7
Gambar I.1. Sistem kerja penginderaan jauh (Sutanto, 1994)
Sedangkan komponen-komponen dalam sistem penginderaan jauh dibedakan sebagai berikut (Lillesand dan Kiefer, 1990) : 1. Sumber tenaga 2. Atmosfer 3. Interaksi antara tenaga dan obyek 4. Sensor Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing komponen dalam penginderaan jauh: 1. Sumber tenaga, Berdasarkan sumber tenaga, sistem penginderaan jauh dibedakan menjadi dua yaitu: a. Sistem penginderaan
jauh pasif,
sistem penginderaan
jauh
yang
menggunakan tenaga pancaran obyek dan pantulan sinar matahari. b. Sistem penginderaan
jauh
aktif,
sistem
penginderaan
jauh
yang
menggunakan sumber tenaga buatan. 2. Atmosfer. Atmosfer membatasi bagian spektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Lapisan udara yang terdiri atas berbagai jenis gas, seperti O2, CO2, nitrogen, hidrogen dan helium dapat menyerap, memantulkan dan
8
melewatkan radiasi elektromagnetik. Didalam inderaja terdapat istilah jendela atmosfer, yaitu bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Keadaan di atmosfer dapat menjadi penghalang pancaran sumber tenaga yang mencapai ke permukaan bumi. Gelombang elektromagnetik yang biasa digunakan dalam penginderan jauh ialah spektrum tampak yang dibatasin oleh gelombang 0,4 µm hingga 0,7 µm. Gambar I.2 menujukkan kondisi cuaca yang berawan dapat menyebabkan sumber tenaga tidak dapat mencapai permukaan bumi.
Gambar I.2. Interaksi atmosfer dengan gelombang elektromagnetik (Sumber: www.wikipedia.org) 3. Interaksi antara tenaga dan obyek. Interaksi tenaga dengan obyek atau benda sesuai dengan kekekalan tenaga. Ada tiga interaksi apabila tenaga mengenai suatu benda, yaitu dipantulkan, diserap, dan diteruskan. Interaksi antara tenaga dan obyek dapat dilihat dari rona yang dihasilkan oleh citra satelit. Tiap-tiap obyek memiliki karakterisitik yang berbeda dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Objek yang mempunyai daya pantul tinggi akan terilhat cerah pada citra, sedangkan obyek yang daya pantulnya rendah akan terlihat gelap pada citra. Contoh: Permukaan puncak gunung yang tertutup oleh salju mempunyai daya pantul tinggi yang terlihat lebih cerah, daripada permukaan puncak gunung yang tertutup oleh lahar dingin. 4. Sensor
9
Sensor merupakan alat perekam obyek bumi. Sensor memancarakan gelombang elektromagnetik ke obyek, gelombang elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan obyek akan ditangkap kembali oleh sensor sehingga dapat menghasilkan citra sesuai dengan wujud aslinya. Sensor dipasang pada wahana (platform). Wahana sensor dapat berupa balon udara, pesawat, maupun satelit. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai sensor dengan wahana satelit. Satelit penginderaan jauh dapat dibedakan berdasarkan kegunaan utamanya, yaitu: a. satelit sumber daya bumi, b. satelit sumber daya laut, c. satelit cuaca dan d. satelit penginderaan benda antariksa. Satelit sumber daya bumi digunakan untuk merekam data-data mengenai sumber daya yang ada di bumi. Satelit sumber daya dibedakan menjadi dua, yaitu satelit berawak dan satelit tidak berawak. Satelit berawak membawa sensor fotografik yang keluarannya berupa foto satelit, sedangkan satelit tidak berawak membawa sensor nonfotografik yang hasil berupa citra satelit maupun data digital. Berdasarkan atas tenaga elektromagnetik yang digunakan satelit tidak berawak dapat dibedakan atas empat kelompok (Sutanto, 1994) yaitu: a. Sensor satelit generasi pertama yang menggunakan spektrum tampak dan perluasannya, misal satelit Landsat (seri satelit Landsat-1, Landsat-2, Landsat-3). b. Satelit sumber daya bumi generasi kedua, misalnya Landsat-4 (TM), Landsat-5,
Landsat
berikut
yang
membawa
sensor
yang disebut
“Multispektral Resource Sampler, SPOT, MOS-1, ERS-1. c. Satelit yang menggunakan infra merah termal, yaitu satelit Landsat dan Heat Capacity Mapping Mission (HCPMM). d. Satelit yang digunakan spektrum gelombang mikro, misal satelit SEASAT.
10
1.7.1.2. Pengertian Citra Digital. Citra digital didefenisikan sebagai penyajian hasil kegiatan penginderaan jauh dalam fungsi intensitas cahaya f(x,y) dalam 2 dimensi, dimana f(x,y) menyatakan nilai intensitas cahaya tersebut x menyatakan baris, y menyatakan kolom. Secara sederhana sebuah citra berbentuk matrik dengan elemen terkecil yang disebut piksel (Djurjani dan Kartini, 2004). Cara memperoleh citra digital pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 cara, yaitu: 1.
Melalui format data analog yang kemudian didigitasi. Cara ini menggunakan media penyimpanan data awal berbentuk foto (citra) atau gambar. Agar data analog tersebut dapat dijadikan data digital harus dilakukan konversi dari data analog ke digital melalui proses digitasi.
2.
Data penginderaan jauh yang sudah dalam format digital dan dihasilkan dari sensor digital disimpan dalam bentuk disk optis. Konsep pengumpulan data dari sensor adalah mendeteksi energy elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan obyek melalui atmosfer.
Suatu obyek dapat direkam dengan cara penyiaman bagian demi bagian obyek di permukaan bumi dan informasi pantulan tiap bagian dicatat oleh komputer. Proses perekaman dimulai dari ujung kiri atas kemudian menuju ke kanan sampai pojok kanan obyek, kemudian kembali lagi ke kiri dan mulai lagi dengan baris baru. Tiap baris pada gambar yang dihasilkan terdiri dari sekumpulan sel-sel penyusun gambar yang disebut piksel. Tiap piksel mewakili satu luasan tertentu pada permukaan yang direkam dan tiap piksel merupakan data yang mempunyai aspek spasial ( luasan yang terwakili) dan aspek spektral (besaran pantulan yang tercatat). Analisis citra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a.
Analisis secara visual, analisis ini menggunakan unsur-unsur interpretasi citra yang meliputi rona/warna, ukuran, pola, tekstur, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi.
b.
Analisis secara digital, analisis ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer.
11
I.7.1.3 Sistem penginderaan jauh Landsat. Satelit Landsat-1 diluncurkan untuk pertama kali pada tahun 1972. Misi program Landsat-1 adalah merekam data permukaan bumi “multispektral” dengan resolusi tinggi secara digital dengan beberapa nilai spektral dan menggunakan beberapa saluran sensor pada lokasi yang sama secara serentak. Didalam oseanografi dan sumber daya kelautan penginderaan jauh digunakan untuk beberapa manfaat (Sutanto, 1994), yaitu: 1. Mendeteksi organisme laut 2. Penentuan pola kekeruhan air dan sirkulasi air 3. Pemetaan perubahan garis pantai 4. Pemetaan perairan dangkal 5. Studi arus dan gelombang Pada tahun 1991 satelit Landsat mencapai seri lima. Selama kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan sensornya, sehingga kelima sensor tersebut dikelompokkan menjadi 2 generasi. Generasi I adalah Landsat 1 hingga Landsat 3 dan generasi II adalah Landsat 4 dan Landsat 5. Landsat generasi I terdiri dari 2 macam sensor RBV (Return Beam Vidicon) dan MSS (Multispektral Scanner) dengan resolusi 79 meter. Berat satelit 815 kg dan diluncurkan dalam orbit lingkar pada ketinggian 920 km. Orbit satelit melalui 9° kutub utara dan kutub selatan, mengelilingi bumi 1 kali dalam 103 menit selang 2760 km pada ekuator sehingga menghasilkan 14 kali orbit dalam satu hari. Landsat generasi II yaitu Landsat 4 dan Landsat 5 merupakan pengembangan dari Landsat generasi I yaitu dalam hal peningkatan resolusi spasial, kepekaan radiometri, laju pengiriman data dan fokus, penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi. Diluncurkan tanggal 16 Juli 1982 dan 1 Maret 1964 dengan membawa dua macam sensor juga yaitu MSS dan TM (Thematic Mapper). Landsat 6 diluncurkan tanggal 5 Oktober 1993 dengan sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) tapi gagal mengorbit. Sensor ETM tersebut adalah pengembangan dari sensor TM (Thematic Mapper) dengan adanya penambahan saluran pankromatik (0,1 hingga 0,9µm) yang didesain mempunyai resolusi spasial 15x15 meter. Enam saluran multispektral memiliki resolusi spasial 30 meter dan saluran termal memiliki resolusi 60 meter jadi satelit ini memiliki 8 saluran atau band.
12
Sistem satelit Landsat 7 diluncurkan tanggal 15 Desember 1998 dan membawa sensor ETM+. Penambahan pada sensor ini yaitu adanya 2 sistem model kalibrasi untuk gangguan radiasi matahari (sun synchronous) dengan ketinggian 705 km di atas ekuator setiap jam 10.00 WIB, lintasan 1 kali mengelilingi bumi selama 99 menit dengan pengulangan waktu rekaman pada tempat yang sama setiap 16 hari. Satelit Landsat 7 menggunakan sensor ETM+ untuk merekam permukaan bumi. Sensor ETM+ adalah peningkatan dari sensor TM pada satelit Landsat band 4 dan 5 yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas data penginderaan jauh untuk mendukung kegiatan di bidang penelitian dan aplikasi. Peningkatan tersebut meliputi penambahan saluran pankromatik dan 2 kisaran band inframerah thermal. Sensor ETM+ didesain untuk mengumpulkan, menyaring dan
mendeteksi radiasi bumi
seluas 185 km. Citra Landsat 7 beroperasi pada ketinggian 705 km dari permukaan bumi. Pada Gambar I.3 menijelaskan mengenai lintasan orbit Landsat 7.
Gambar I.3. Lintasan orbit Landsat 7 (Landsat 7 dataset, 2002) Adapun karakteristik orbit Landsat 7 adalah near polar, near circular dengan orbit sun synchronouspada inklinasi 98,2°. Near polar berarti satelit mengorbit pada daerah ekuator dengan inklinasi rendah. Near circular dengan orbit sun synchronous yaitu orbit satelit yang menyamakan pergerakan satelit dengan orbit, presisi bidang orbit dan pergerakan satelit mengelilingi matahari sedemikian rupa sehingga satelit tersebut akan melewati lokasi tertentu di permukaan bumi selalu pada waktu lokal yang sama setiap kalinya. Terdapat 233 lintasan orbit dengan overlap samping bervariasi antara 7% pada ekuator dan mendekati 84% pada 81° lintang utara
13
maupun lintang selatan. Karakter saluran Landsat 7 ETM+ bisa dilihat pada Tabel I.1.
Tabel I.1. Karakter saluran Landsat 7 ETM+ Panjang Resolusi Spasial gelombang 1 0,45-0,52 30 meter 2 0,52-0,6 30 meter 3 0,63-0,69 30 meter 4 0,76-0,9 30 meter 5 1,55-1,75 30 meter 6 2,08-2,35 60 meter 7 10,40-12,50 30 meter 8 0,520-0,9 15 meter (Sumber : Djurjani dan Kartini, 2004) Band
Dari Tabel I.1 dapat diketahui pengaruh jenis panjang gelombang terhadap resolusi spasial. Data citra Landsat 7 ETM+ sekarang dapat diunduh dari internet pada alamat situs earthexplorer.usgs.gov. Namun data citra pada tahun 2003 sampai tahun sekarang telah mengalami kerusakan pada sensor SLC (Scan Line Corrector) sehingga data Citra Landsat 7 ETM+ dari tahun 2003 sampai sekarang terdapat stripping atau garis-garis hitam pada hasil perekamanya. Stripping ini merupakan bagian dari area yang tidak terekam oleh satelit. Kondisi ini menyulitkan proses intepretasi citra. Citra Landsat 7 ETM+ memiliki 8 band dengan panjang gelombang yang berbeda-beda dan kegunaan yang berbeda-beda. Hal ini ditunjukkan pada tabel I.2
Tabel I.2. Kegunaan tiap-tiap band citra Landsat 7 ETM+ Band
Panjang
Spektra
Kegunaan
Biru
Penetrasi tubuh air, analisis
Gelombang (µm) 1
0,45 sampai 0,52
penggunaan lahan. 2
0,52 sampai 0,6
Hijau
Membedakan tanaman sehat atau tidak sehat.
14
3
0,63 sampai 0,69
Merah
Membedakan jenis tanaman, memudahkan
pembedaan
tanah dan tanaman. 4
0,76 sampai 0,9
Infra Merah Dekat
membedakan daratan dan perairan,
membedakan
tanaman dengan air. 5
1,55 sampai 1,75
Infra Merah Tengah I Menunjukkan kadungan air pada tanaman.
6
2,08 sampai 2,35
Infra Merah Thermal
Membedakan formasi batuan dan pemetaan hidrotermal.
7
10,4 sampai 12,5
Infra Merah Tengah
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi.
8
0,5 sampai 0,9
Pankromatik
Mempertajam citra resolusi 15 meter
(Sumber : Landsat 7 dataset, 2002) Pada tabel I.2, band 4 sangat baik digunakan untuk membedakan wilayah daratan dengan perairan. Band 4 ini digunakan sering digunakan untuk kegiatan masking pada pengolahan citra sedangkan untuk kegiatan klasifikasi citra sering mengggunakan kombinasi warna merah, hijau dan biru.
1.7.1.4 Data Landsat 7. Data yang dihasilkan pada citra Landsat 7 ETM+ merupakan data dengan format raw, artinya pada data ini belum dilakukan koreksi radiometri dan koreksi geometri. Data tersebut dikelompokan ke dalam level 0. Adapun pembagian level data pada citra Landsat 7 adalah sebagai berikut :
1.
Level 0
Data level 0 pada citra Landsat 7 adalah data asli yang diturunkan secara langsung dari hasil perekaman oleh sensor. Pada level 0 ini terdapat data level 0R yang merupakan data mentah yang belum terkoreksi secara radiometri maupun geometri. Untuk mengkoreksi data tersebut, bisa dilakukan menggunakan parameter kalibrasi pada citra yang ada.
15
2. Level 1 Pada data level 1 ini terbagi menjadi dua tipe data, yaitu data level 1R dan level 1G. Pada level 1R, data sudah terkoreksi radiometri dengan menggunakan sistem perhitungan pada saat satelit melintas pada orbitnya menggunakan parameter kalibrasi. Namun, pada level 1R ini belum dilakukan koreksi geometri. Pada level 1G, data yang dihasilkan sudah terkoreksi radiometri dan geometri. Data Landsat 7 1G mempunyai format yang disebut dengan geoTIFF yang menunjukan kumpulan dari data-data yang mempunyai format *TIFF. Data ini memberikan informasi kartografis dan geodetik yang berhubungan dengan pencitraan geografis. Setiap saluran dari data Landsat 7 pada format geoTIFF berada pada keadaan Grey scale, uncompressed, dan 8 bit string unsigned integer (Suhattanto, 2002). Notasi yang digunakan untuk data Landsat 7 Level 1G adalah :
L7fppprrr_rrrYYYYMMDD_AAA.TIF Keterangan : L7
: menunjukan misi Landsat 7
f
: menjelaskan format data ETM+ (1 atau 2)
ppp
: menunjukan kolom pertama dari citra
rrr_rrr
: menunjukan baris pertama dan terakhir dari citra
YYYYMMDD : waktu pencitraan AAA
: tipe data
TIF
: menunjukan ekstensi dari data.
1.7.1.5 Pengolahan awal citra. Sebelum diolah lebih lanjut citra Landsat harus terlebih dahulu melalui beberapa proses koreksi. Pada saat dikirim ke bumi data Landsat mengalami distorsi. Distorsi yang terjadi ada dua macam yaitu distorsi geometri dan distorsi Radiometri. Distorsi geometri disebabkan oleh beberapa faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakan satelit, kecepatan satelit, rotasi satelit, gerakan cermin pada sensor, juga kelengkungan sensor, sedangkan distorsi radiometri disebabkan oleh nilai digital yang tidak selalu tepat kaitannya dengan tingkat energi obyek secara geometri sehingga letak kenampakan pada citra benar bila dikaitkan
16
dengan letaknya pada peta (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berikut ini uraian lebih lanjut mengenai koreksi-koreksi tersebut. 1. Koreksi Geometri. Koreksi geometri adalah pekerjaan transformasi dari citra penginderaan jauh agar mempunyai skala dan sistem proyeksi seperti peta (Djurjani dan Kartini, 2004). Maksud dari koreksi ini adalah membawa sistem koordinat citra (baris, kolom) ke dalam sistem koordinat pada peta (x,y) dengan sistem proyeksi peta tertentu. Konsep koreksi ini adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga data citra digital yang ditransformasikan dapat dilihat Gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam sensor dengan menggunakan titik kontrol tanah (Ground Control Point). Koreksi geometri terdiri dari 2 langkah yaitu transformasi koordinat dan interpolasi nilai spektral. Sumber-sumber kesalahan geometri citra: a. Kesalahan Instrumen b. Distorsi Panoramik c. Perputaran Bumi d. Tidak ratanya daerah perekaman, termasuk adanya variasi ketinggian. Koreksi geometri bisa dilakukan dengan cara image to map dan image to image. Untuk melakukan koreksi geometri pada cara image to map harus diketahui terlebih dahulu koordinat tanah (GCP), sedangkan koreksi geometri dengan metode image to image dilakukan dengan menggunakan citra lain yang sudah terkoreksi atau terektifikasi. Bentuk fungsi persamaan transformasi yang digunakan pada penelitian ini adalah fungsi polynomial orde satu. Ketelitian transformasi dapat dilihat dari nilai RMS (Root Mean Square) Error-nya. Adapun rumus perhitungan RMS Error (El-Sheimy, 2001) dapat adalah sebagai berikut :
RMS Error =
…….. …………………………………(I.1)
17
Keterangan : pi = nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra. ai = nilai piksel yang dihasilkan pada citra acuan (base image) n = jumlah titik kontrol tanah. 2. Koreksi Radiometri. Koreksi radiometri diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral obyek yang sebenarnya. Koreksi radiometri citra ditujukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena kesalahan awal penyiaman (scanning start). Baris atau bagian baris yang bernilai sesuai dengan nilai yang seharusnya dikoreksi dengan cara mengambil nilai piksel atau baris di atas atau di bawahnya, kemudian dirata-ratakan. Kesalahan radiometri disebabkan oleh : a. Kesalahan sistem optik yang disebabkan karena perubahan kekuatan sinyal, optik atau lensa buram. b. Kesalahan
yang
disebabkan
adanya
gangguan
energi
radiasi
elektromagnetik pada atmosfer yang dipengaruhi oleh hamburan atau serapan atmosfer, dan amplitudo yang tidak linier. c. Kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari terhadap obyek (bumi). Koreksi radiometri citra ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pada koreksi ini diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu citra seharusnya nol, maka nilai penambah (offset) dianggap sebagai hasil rambatan atmosfer (Djurdjani dan Kartini, 2004). Kondisi koreksi radiometri dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a.
Penyesuaian histogram,
b.
Penyesuaian regresi dan
c.
Metode kalibrasi bayangan.
Salah satu metode koreksi radiometri yang sering digunakan adalah koreksi radiometri dengan penyesuaian histogram. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana karena dengan hanya melihat histogram setiap band secara
18
independent. Dari histogram dapat diketahui nilai piksel terendah band tersebut. Asumsi dari metode ini adalah proses koding digital oleh sensor, obyek yang memberikan respon spektral paling lemah atau tidak memberikan respon sama sekali seharusnya bernilai 0. Apabila nilai piksel diatas nol maka nilai tersebut dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengarahkan seluruh nilai pada band tersebut pada offset , seperti yang ditunjukkan gambar I.4.
Gambar I.4. Koreksi radiometri dengan penyesuaian histogram (Djurdjani dan Kartini, 2004). 1.7.1.6 Pemetaan batimetri menggunakan teknologi penginderaan jauh. Penginderaan jauh optik menawarkan suatu alternatif baru untuk pengukuran kedalaman laut tanpa harus ke lapangan. Pengukuran kedalaman laut dengan penginderaan jauh masih terbatas, yaitu maksimal hingga kedalaman 25 meter pada perairan jernih, kemampuannya akan semakin lemah pada perairan keruh. Pemetaan batimetri dengan penginderaan jauh memiliki keterbatasan utama berkenaan dengan resolusi spasial yang kurang memadai sehingga bahaya pelayaran seperti singkapan batu atau karang tidak terdeteksi. Keterbatasan lain adalah akurasi dari perkiraan kedalaman dari citra berada pada kisaran 1-2 meter yang pada umumnya sangat kurang memadai untuk tujuan navigasi perairan dangkal (<25 meter) (Edward dan Clark 2000). Konsep dasar yang mendasari penginderaan jauh
19
dalam pemetaan kedalaman adalah adanya perbedaan panjang gelombang cahaya yang akan menembus air dengan kemampuan berbeda. Ketika cahaya menembus air, interaksi akan menipis dengan kolom air.
............................................................................................................. (I.2) Loge(Id) = log e(I0) – pk ………………………………………………………..………………………(I.3)
Keterangan: Io
: intensitas cahaya yang menembus air
k
: koefisien attenuasi (penipisan), yang terkanjung pada panjang gelombang.
Id
: intensitas cahaya yang tertinggal
P
: kedalaman air
Beberapa metode untuk memprediksi kedalaman laut dalam penginderaan jauh (Edwards dan Green, 2000) yaitu: 1. Metode Benny dan Dowson. Ada tiga asumsi yang melandasi teori ini, yaitu: a. Perlambatan atau penipisan cahaya adalah fungsi eksponensial dari kedalaman. b. Kualitas air dianggap sama sehingga koefisien penipisan (k) tidak berubah pada citra warna substrat atau habitat dasar konstan. 2. Metode Jupp. Metode ini menggunakan asumsi yang sama seperti metode Benny dan Dawson. Dua langkah dalam penentuan kedalaman dengan menggunakan metode Jupp, yaitu: a. Menghitung daerah penetrasi kedalaman (depth of penetration zones atau DOP) b. Interpolasi dalam daerah DOP ( Jupp, 1988)
20
3. Metode Lizenga. Asumsi pertama dan kedua sama dengan metode sebelumnya, namun metode ini tidak menganggap waktu substrat atau habitat dasar sama berdasarkan perhitungan perbandingan koefisien penipisan untuk pasangan band atau saluran. Berdasarkan penelitian terhadap penerapan ketiga metode tersebut dari Caicis Bank diperoleh hasil korelasi kedalaman terukur dengan kedalaman terukur dengan kedalaman prediksi untuk masing-masing metode seperti ditunjukkan dalam Tabel I.3. Tabel I.3. Korelasi antara metode kedalaman Metode Benny dan Dawson (1983) DOP terinterpolasi (Jupp 1988) DOP terkalibrasi (Jupp 1988)
Korelasi person n (banyak tempat yang product moment diuji) 0,52 750
Lizenga (1978)
0,71
750
0,91
384
0,53
750
(Sumber: Edward dan Green, 2000) Tabel I.3 diperoleh korelasi antara kedalaman yang diperkirakan dan kedalaman sebenarnya pada metode Benny dan Dawson (1983) dan Linzenga (1978) yaitu berkisar di angka 0,5. Angka korelasi tersebut terlalu lemah untuk memprediksi kedalaman, maka metode Benny dan Dowson (1983) dan Linzenga (1978) tidak direkomendasikan untuk pemetaan batimetri. Sebaliknya metode Jupp merupakan metode yang paling akurat. Berikut ini uraian lebih lanjut mengenai penentuan kedalaman dengan metode Jupp menggunakan citra satelit Landsat TM (Jupp, 1988). Tahap-tahapannya, yaitu: 1. Menghitung daerah penetrasi kedalaman DOP (Depth of Penetration). Daerah penetrasi kedalaman untuk citra Landsat telah diteliti pada penelitian di Great Barrier Reef dan memperoleh hasil seperti ditunjukkan dalam Tabel I.4.
21
Tabel I.4. Daftar kedalaman maksimal penetrasi (zi) band i Landsat TM Band I 1 2 3 4
Kedalaman Penetrasi (Zi) 25 meter 15 meter 5 meter 1 meter
(Sumber: Jupp 1988) 2. Interpolasi kedalaman dalam zona DOP. Perhitungan zona DOP hanya menghasilkan rentang kedalaman sebenarnya dari tiap piksel. Untuk mengetahui nilai kedalaman tiap piksel perlu dilakukan langkah interpolasi dalam wilayah zona DOP. Berikut ini diambil contoh untuk band 2: Nilai piksel band 2 dalam air dapat ditunjukkan dengan persamaan :
=
+(
2 k 2 z
)e
-
….............................................(I.4)
Keterangan: : nilai piksel band 2 dalam air L2
deepmean
: nilai piksel rata-rata dalam, untuk band 2 (sudah diketahui) : nilai piksel rata-rata untuk band 2 di permukaan air (tidak dipengaruhi pelemahan ) : koefisien pelemahan untuk band 2 yang masuk ke kolom air
z
: kedalaman air laut
Persamaan I.4 dapat ditulis dalam persamaan I.5 sebagai berikut: -
=
+(
-
2 k 2 z
)e
..............................(I.5)
22
Jika dimisalkan : = loge (
-
) .............................................................................(I.6)
Nilai pangkat dalam persamaan I.5 dapat dihilangkan dengan menggunakan logaritma natural dari kanan, sehingga menjadi : = loge (
) – 2 z .........................................................(I.7)
-
Pada bagian paling bawah TM band 2 , loge (
-
) akan menjadi
konstan. Untuk menyederhanakan persamaan 7 dimisalkan sebagai
sehingga
diperoleh persamaan regresi linear : =
-2 z ...........................................................................................(I.8)
Jika piksel terletak dalam zona DOP 2 yang berseberangan dengan zona DOP 1 maka akan mempunyai nilai,
yang dapat diperoleh dengan persamaan 8, yaitu:
..........................................................................................(I.9) Nilai minimal TM band 2 dalam DOP 2 (
) adalah :
+1……………………………………………………………………………………...(I.10)
= Sehingga :
+ 1) ………………………………………………(I.11)
= log e ( dan pelemahan koefisien
diperoleh dari TM band 2 dan
adalah penetrasi
kedalaman maksimal dari band 2. Untuk piksel yang lainnya yang ada dalam DOP zone 2 yang berseberangan dengan DOP zone 3 (zone berikutnya dengan koefisien pelemahan yang lebih besar) maka akan mempunyai nilai : =
(
-
...................................................................(I.12)
Dari persamaan (I.12) dapat didefinisikan dengan persamaan (I.13) =
–2
…………………………………………………………………..(I.13)
23
Persamaan 13 mempunyai nilai yang sama dengan persamaan (9), kecuali z3 yang menandakan bagian paling atas dari zona DOP 2 ( kedalaman dimana diperoleh pantulan yang maksimal dalam zona DOP 2 ). Dengan persamaan (9) dan (13) maka nilai
dapat diketahui, yaitu dengan persamaan (13), ...........................................................................................(I.14)
setelah nilai
diketahui, maka dapat dicari nilai dari +2
Setelah nilai
dan
, yaitu dengan :
......................................................................................(I.15) diketahui untuk tiap zona DOP, persamaan (8) dapat
digunakan untuk mencari nilai …..............................................................................(I.16) Persamaan untuk menghitung kedalaman tiap-tiap piksel adalah : …................................................................................................(I.17) I.7.2 General Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO) General Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO) merupakan organisasi ilmuwan geosains dan ilmuwan hidrografi yang bekerja untuk pengembangan dataset batimetri dan produk-produk dari hidrografi. GEBCO beroperasi dibawah naungan Intergovermental Oseanographic Commision (IOC) dari UNESCO dan International Hydrographic Organization (IHO). GEBCO bekerjasama dengan beberapa Organisasi hidrografi yang tersebar di seluruh dunia, kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas data kedalaman global. Data kedalaman yang disumbang dari beberapa organisasi hidrografi merupakan data kedalaman perairan dangkal wilayah pesisir dari beberapa wilayah dan berbentuk ECDIs skala kecil. ECDIs (Electric Chart Display Information System) adalah peta digital kedalaman laut yang telah disertifikasi IHO. Beberapa organisasi hidrografi yang telah bekerjasama dengan GEBCO adalah: - Intergeovernmental Oceanographic Commission (IOC).
24
- International Hydrographic Organization (IHO). - Nippon Foundation Indian Ocean Bathymetric Compilation (IOBC) project. - European Marine Observation and Data Network (EMODnet) hydrography. Gambar I.5 menunjukkan daerah proyek hasil kerjasama GEBCO dengan beberapa organisasi hidrografi.
Gambar I.5. Daerah proyek GEBCO Peta batimetri GEBCO mulai dirilis mulai tahun 1994 dan sering dijadikan referensi peta batimetri para ilmuwan internasional untuk keperluan penelitian yang terkait tentang Oseanografi laut. Jenis data batimetri global GEBCO adalah: 1. GEBCO_08 Grid, merupakan salah satu data batimetri dengan resolusi terbaik 30 arc second (1 kilometer di ekuator) yang tersedia secara bebas unduh untuk seluruh samudera dan lautan di bumi. Data GEBCO ini berupa grid yang berdasarkan jalur kapal sounding dengan menginterpolasi kedalaman laut menggunakan data satelit gravity. 2. GEBCO One Minute Grid, data batimetri dengan resolusi 1 menit (1,8 km di ekuator). Kontur batimetri ini diluar dari kontur batimetri dari Digital Atlas GEBCO.
25
Data GEBCO berbentuk grid-grid kedalaman. Data GEBCO mengasumsikan Mean Sea Level (MSL) sama secara global dan mean sea level ini dijadikan chart datum untuk kedalaman laut. Namun untuk beberapa daerah perairan dangkal chart datum yang digunakan menggunakan chart datum lokal. Data kedalaman laut diperoleh dari kegiatan sounding kapal dan daerah yang tidak ada data sounding dilakukan interpolasi kedalaman dengan bantuan satelit Altimetri. Data batimetri GEBCO dapat diunduh disitus www.gebco.net. Data GEBCO ini memiliki ekstensi netCDF. Data kedalaman GEBCO diunduh dengan menggunakan perangkat lunak seperti Generic Maping Tools (GMT). Perangkat lunak ini dapat diunduh dari internet.