1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Berdasarkan
Survei
Demografi
dan
Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu (yang berkaitan
dengan
kehamilan,
persalinan,
dan
nifas)
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes 2013). Berdasarkan 2014,
angka
Profil
Kesehatan
kematian
ibu
Kabupaten
pada
tahun
Bantul
2013
tahun
mengalami
kenaikan dibanding pada tahun 2012. Pada tahun 2013 sebesar 96,83/100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun
2012
sebesar
52,2/100.000
kelahiran.
Hal
ini
menunjukkan adanya penurunan dalam pelayanan kesehatan ibu.
Kematian
persalinan kegiatan
ibu
yang
yang
banyak
sebenarnya
efektif
berkesinambungan,
terjadi dapat
seperti
pemberian
pada
masa
dicegah
pemeriksaan
gizi
yang
sekitar melalui
kehamilan
memadai,
dan
lain-lain. World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun
2005
bahwa
prevalensi
anemia
pada
kehamilan
secara global sebesar 41,8% dan pada umumnya terjadi
2
pada
trimester
ketiga.
Anemia
merupakan
salah
satu
faktor risiko terjadinya kematian ibu melahirkan. Upaya pencegahan anemia pada ibu hamil di Kabupaten Bantul dilaksanakan melalui program pemberian Tablet Fe kepada ibu hamil sebanyak 90 tablet yang terbagi dalam tiga kali
pemberian
mendapatkan
selama
tablet
kehamilannya.
besi
(Fe1
dan
Ibu
Fe3)
hamil
di
yang
Kabupaten
Bantul pada tahun 2013 mencakup Fe1 sebanyak 93,84% dan Fe3 sebanyak 87,37%. Cakupan tablet besi tersebut sudah diatas target 85%. Walau cakupan pemberian Fe pada ibu hamil di Kabupaten Bantul sudah mencapai target, namun pada kenyataannya ternyata pembagian tidak merata di seluruh Puskesmas (Dinkes Bantul 2014). Berdasarkan data Riskesdas 2013, anemia defisiensi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi anak balita sebesar 28,1%, anak usia 5-12 tahun
29%,
dan
ibu
hamil
37,1%.
Angka
tersebut
mendekati masalah kesehatan masyarakat berat (severe public health problem) dengan batas prevalensi anemia ≥40% menurut WHO. Pada bayi, anemia defisiensi besi masih menjadi masalah defisiensi nutrien tersering pada anak
di
berkembang
seluruh seperti
dunia,
termasuk
Indonesia.
Secara
negara-negara epidemiologi,
3
prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa kanak-kanak, anak sekolah, dan masa remaja karena
adanya
percepatan
tumbuh
pada
masa
tersebut
disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang, dan kehilangan darah akibat menstruasi (Lubis, Windiastuti, Amalia & Amelia 2009). Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2007
menunjukkan
bahwa
prevalensi
anemia
defisiensi
besi pada anak balita di Indonesia sekitar 40 – 45%. Sementara
data
SKRT
pada
tahun
2001,
menunjukkan
prevalensi anemia defisiensi besi pada bayi usia 0 – 6 bulan
sebesar
sebesar
64,8%,
61,3%, dan
pada pada
bayi anak
usia
6
balita
–
12
bulan
sebesar
48,1%
(Sutaryo 2004). Tingginya anemia defisiensi besi pada bayi ini tidak terlepas dari tingginya prevalensi pada wanita
hamil.
prevalensi sebesar
Data
anemia
40,1%.
SKRT
defisiensi
Prevalensi
tahun besi anemia
2001 pada
menunjukkan wanita
meningkat
hamil dengan
bertambahnya usia gestasi, pada trimester I sebesar 10%, pada trimester II sebesar 14%, dan pada trimester III sebesar 33% (Ringoringo, Wahidayat, Sutrisna, Setiabudy, Suradi, Setiabudy & Bardososono 2008).
4
Defisiensi mortalitas
besi
maternal,
pada
wanita
keguguran
hamil bayi
meningkatkan
baik
prenatal
ataupun saat perinatal, kelahiran prematur. Empat puluh persen
kematian
maternal
dengan
anemia.
Outcome
saat bayi
perinatal pada
ibu
berhubungan hamil
yang
menderita anemia 30 – 45 % lebih buruk dibanding ibu hamil
yang
tidak
anemia,
dan
bayi
yang
dilahirkan
memiliki kurang dari satu setengah dari kadar normal besi bayi yang dilahirkan tersebut (WHO 2001). Faktor risiko lain terjadinya Anemia Defisiensi Besi pada bayi adalah apakah bayi konsumsi ASI atau susu formula yang telah difortifikasi besi, pendidikan ibu yang rendah, dan jumlah paritas (jarak kelahiran dekat) yang tinggi. Bayi membutuhkan 270-280 mg Fe pada tahun pertama kehidupan, sekitar 0,8 mg Fe/hari. Susu murni memiliki kandungan Fe yang sangat rendah, yaitu 0,8 mg/1000 ml dan jumlah Fe yang diserap hanya 10%. Pengganti ASI (PASI) yang sudah diperkaya Fe memiliki kandungan Fe 11-12 mg/1000 mL sedangkan jumlah Fe yang diserap hanya 4%. Dalam ASI mengandung 0,3 mg Fe/1000mL namun
jumlah
(Ringoringo,
Fe
yang
Wahidayat,
diserap Sutrisna,
Setiabudy & Bardososono 2008).
dapat
mencapai
Setiabudy,
50%
Suradi,
5
Mengingat kebutuhan Fe yang tinggi dan efek jangka panjang defisiensi besi pada bayi usia 0 – 6 bulan, American
Association
of
Pediatrics
merekomendasikan
pemberian suplementasi zat besi pada bayi yang lahir aterm
pada
usia
4
bulan
(Ringoringo,
Wahidayat,
Sutrisna, Setiabudy, Suradi, Setiabudy & Bardososono 2008). Penelitian Dijkhuizen, Wieringa, West, Martuti & Muhilal di Jawa Barat tahun 2001 menunjukkan bahwa dari 90
bayi
berusia
rata-rata
4,2
bulan
yang
mendapat
suplementasi besi 10 mg/hari selama 6 bulan ternyata yang mengalami ADB hanya 28% dibandingkan dengan 87 bayi berusia 4,2 bulan yang tidak mendapat suplementasi besi
angka
ADB
sebesar
66%.
Beberapa
penelitian
menunjukkan kadar Hb, VER, feritin, saturasi transferin mulai menurun pada usia 2-3 bulan. Raspati, Reniarti & Susanah
(2010)
menjelaskan
bahwa
terdapat
perubahan
metabolisme yang terjadi pada bayi setelah dilahirkan. Selama drastis dari
6
-
8
dari
kadar
minggu
terjadi
aktivitas
oksigen
yang
penurunan
eritropoiesis meningkat,
yang
sangat
sebagai
akibat
sehingga
terjadi
penurunan kadar Hb. Karena banyak zat besi yang tidak dipakai, maka cadangan besi akan meningkat. Selanjutnya terjadi
peningkatan
aktivitas
eritropoiesis
disertai
masuknya besi ke sumsum tulang. Berat badan bayi dapat
6
bertambah dua kali lipat tanpa mengurangi cadangan besi. Pada
bayi
cukup
bulan
keadaan
tersebut
dapat
berlangsung sekitar 4 bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan hanya 2 - 3 bulan. Setelah melewati masa tersebut kemampuan bayi untuk mengabsorbsi
besi akan sangat
menentukan dalam mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan
hematologi,
pemeriksaan
biokimia
status besi, dan pemeriksaan sumsum tulang. Baku emas untuk diagnosis Anemia Defisiensi Besi adalah biopsi atau aspirasi sumsum tulang. Namun karena pemeriksaan tersebut bersifat invasif, maka jarang dilakukan. Untuk kepentingan skrining, dilakukan pemeriksaan hematologi karena
pengerjaannya
yang
mudah
dan
relatif
murah.
Pemeriksaan ini juga merupakan prediktor awal anemia. Pemeriksaan biokimia status besi juga menjadi indikator defisiensi besi (Wu, Lesperance & Bernstein 2002). Sejauh
penelusuran
pustaka
yang
dilakukan,
uji
korelasi antara ibu hamil aterm dan bayi berusia tiga bulan
di
Bantul,
khususnya
di
RS
PKU
Muhammadiyah
Bantul, belum pernah dilakukan. Karena itu, diperlukan studi
untuk
mengetahui
korelasi
antara
ibu
hamil
7
trimester
III
dan
bayi
berusia
tiga
bulan
tersebut
mengingat pentingnya pemeriksaan status besi pada ibu melahirkan
dan
bayi
yang
dilahirkan
agar
dapat
mengurangi dampak anemia bagi ibu maupun bayi, serta agar dapat dilakukan tindak lanjut lebih jauh.
I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan maka
rumusan
“Apakah
masalah
terdapat
hamil aterm
latar
belakang dalam
korelasi
penelitian
penelitian
antara
serum
tersebut,
ini
adalah
feritin
ibu
dengan serum feritin bayi usia 3 bulan di
RS PKU Muhammadiyah Bantul”.
I.3 Tujuan Penelitian Mengetahui adanya korelasi antara feritin serum ibu hamil trimester III dengan feritin serum bayi usia 3 bulan di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
8
I.4. Keaslian Penelitian Berdasarkan
pencarian
literatur,
didapat
penelitian sebelumnya mengenai korelasi antara feritin serum ibu hamil dengan bayi yang dilahirkan, antara lain: 1.
Paiva, Rondó, Pagliusi, Latorre, Cardoso & Gondim pada tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul “Relationship between the iron status of pregnant women and their newborns”. Pada penelitian ini, menggunakan penelitian diambil
metode terdiri
melalui
cross-sectional. dari
vena
95
dan
ibu
tali
Subjek
hamil.
pusat,
Darah
kemudian
dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap, besi serum, total iron-binding capacity, feritin serum, dan zinc protoporphyrin, dan saturasi transferin. Hasilnya, dari ibu hamil, 19% di antaranya anemia (97,9% anemia ringan dan 2,1% anemia sedang) dan 30,5% defisiensi besi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai parameter yang diperiksa antara bayi baru lahir di dalam tiga grup tersebut. Regresi linear multiple menunjukkan hubungan lemah antara
bayi
perbedaan
baru
lahir
variabel,
dengan
yaitu
ibunya.
penulis
hanya
Terdapat melihat
9
status besi ibu dan bayi dari kadar feritin serum. Selain itu, sample darah pada penelitian penulis diambil
dari
penelitian Cardoso
&
darah
Paiva, Gondim
vena,
dimana
Rondó, yang
berbeda
Pagliusi,
menggunakan
dari
Latorre,
sample
darah
tali pusat. Terdapat pula perbedaan dalam lokasi dan populasi penelitian tersebut dengan penelitian penulis. 2.
Penelitian oleh Douglas
pada tahun 2011 dengan
judul “Maternal and Infant Iron Status and First Year Illness.” Subjek dalam penelitian ini adalah 199 ibu hamil dan bayi. Status besi ibu ditentukan dengan
hemoglobin
pada
28
minggu
kehamilan,
feritin plasma post partum, dan reseptor tranferin plasma post partum. Status besi bayi ditentukan oleh reseptor transferin plasma dan feritin plasma dari darah tali pusat saat lahir dan darah vena bayi usia 4 bulan. Hasilnya, kadar besi ibu saat post partum tidak memiliki korelasi dengan kadar besi neonatus (r= 0,056; p=0,528) dan kadar besi bayi
pada
usia
4
bulan
(r=-0,137;
p=0,196).
Feritin plasma ibu melahirkan juga tidak memiliki korelasi bulan
dengan
feritin
(r=-0,195;
plasma
p=0,064).
bayi
usia
Perbedaan
empat dengan
10
penelitian
penulis
adalah
penulis
hanya
melihat
korelasi antara feritin serum ibu melahirkan dan bayi
usia
tiga
bulan.
Selain
itu,
terdapat
perbedaan antara lokasi dan populasi yang diteliti. 3.
Rios,
Lipschitz,
meneliti
tentang
Cook
&
Smith
“Relationship
pada of
tahun
1975
Maternal
and
Infant Iron Stores as Assessed by Determination of Plasma
Ferritin.”
Sejumlah
26
ibu
hamil
yang
mengunjungi University Hospital Obstetrical Clinic dipilih menjadi subjek penelitian ini. Darah ibu hamil
diambil
untuk
dilakukan
pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, besi plasma, iron binding capacity, dan feritin plasma. Pada bayi, dilakukan pemeriksaan dari darah saat berusia 1,5; 3; dan 6 bulan.
Hasilnya,
signifikan (r=0,30;
pada
p>0,05).
tidak
terdapat
feritin
plasma
Terdapat
korelasi
yang
ibu
bayi
perbedaan
dan lokasi
dan
populasi dengan penelitian penulis.
I.5 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi peneliti. Dapat yang
hasil
menambah
pengalaman
penelitiannya
nanti
dan
wawasan
baru,
diharapkan
dapat
11
mengatasi masalah yang terjadi pada ibu hamil dan bayi. 2. Manfaat bagi dokter dan RS PKU Muhammadiyah Bantul. Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
dijadikan
referensi terkait korelasi antara feritin ibu hamil aterm dengan bayi usia tiga bulan. 3. Manfaat bagi ibu hamil. Dapat
menambah
wawasan
tentang
risiko
anemia
saat kehamilan, khususnya defisiensi besi, sehingga diharapkan
dapat
meningkatkan
kesadaran
ibu
hamil
untuk rutin mengkonsumsi tablet Fe saat hamil sesuai anjuran tenaga kesehatan. 4. Manfaat bagi pemerintah. Hasil
penelitian
kontribusi
pada
pencegahan
anemia
diharapkan
program defisiensi
dapat
pemerintah besi
pada
memberikan terkait ibu
hamil
sehingga dapat mengurangi dampak buruk yang dapat terjadi pada ibu maupun bayi.