BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) merupakan penguat rasa yang penggunaannya cukup luas di masyarakat, mulai dari produk makanan ringan hingga masakan olahan. Luasnya penggunaan MSG seringkali tidak disertai dengan pencantuman kadarnya pada kemasan (Erb, 2003), bahkan penggunaan MSG untuk konsumsi rumah tangga tidak memiliki takaran yang jelas. Konsumsi MSG di Indonesia rata-rata 0,6 g per hari (Prawirohardjono et al., 2000). Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi MSG di negara-negara Asia yang mencapai 1,2-1,7 g per hari. Sedangkan di wilayah Eropa, rata-rata konsumsi MSG berkisar antara 0,3 – 0,5 g per hari (Beyreuther et al., 2007). Ditinjau dari citarasa yang dihasilkan, MSG mampu menambah kuatnya rasa makanan sehingga menyebabkan meningkatnya nafsu makan (Yamamoto et al., 2009). Selain itu, penambahan MSG akan meminimalkan penggunaan jumlah bahan bumbu masak sehingga dipandang lebih hemat secara ekonomi. Akan tetapi, penambahan MSG pada makanan, sebagaimana penambahan bahan kimia pada umumnya, bukan berarti tanpa efek samping. Penelitian mengenai dampak MSG bermula dari penemuan fenomena Chinese restaurant syndrome serta beberapa efek MSG terhadap fungsi organ (Husarova, 2013). Organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) telah menyatakan bahwa kadar MSG pada masyarakat relatif aman, namun
1
2
beberapa penelitian preklinik pada hewan menunjukkan bahwa MSG dosis tinggi yang diberikan secara oral, subkutan, maupun intraperitoneal menyebabkan kerusakan organ-organ. Beberapa di antaranya adalah kerusakan hepatoseluler dari organ liver (Bhattacharya et al., 2011), gangguan sensorik pada saraf perifer dari otot-otot pengunyah (Cairns et al., 2002), kerusakan struktur nefron pada ginjal (Abbas & Abd El-Haleem, 2011), serta kerusakan cerebellum (Eweka & Om’iniabohs, 2011; Prastiwi et al., 2015). Namun, secara berbeda, konsumsi MSG bermanfaat dalam meningkatkan nafsu makan dan memacu pertumbuhan pada penelitian terhadap babi baru lahir (Rezaei et al., 2013). Penelitian lain menyatakan bahwa MSG tidak berhubungan dengan derajat keparahan pada model tikus asma (Yoneda et al., 2011). Dengan demikian, MSG yang dikonsumsi pada kadar “relatif aman” belum menunjukkan bukti terhadap kerusakan organ (Freeman, 2006). Namun, MSG adalah zat yang hampir dikonsumsi setiap hari sehingga konsensus terkait kadar MSG yang aman masih terus diperbaharui seiring dengan semakin banyaknya penelitian untuk membuktikan batas keamanannya (Beyreuther et al., 2007). Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatorik dengan jumlah terbanyak di otak. Glutamat berperan dalam proses belajar, plastisitas sinaps, dan pembentukan memori (Wang & Qin, 2010; Onaolopo & Onaolopo, 2011). Monosodium glutamat yang dikonsumsi secara berlebihan berpotensi meningkatkan kadar glutamat dalam darah hingga menjadi zat toksik yang sampai pada otak sehingga menyebabkan kematian neuron melalui aktivasi reseptor asam amino eksitatorik yang berlebihan (Smith, 2000; Balazs et al., 2006; Prastiwi et al., 2015).
3
Aktivasi yang berlebihan terhadap reseptor asam amino eksitatorik menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca2+ yang memicu serangkaian proses yang menyebabkan nekrosis sel dan meningkatnya kadar reactive oxygen species (ROS). ROS inilah yang menyebabkan kerusakan pada sebagian besar komponen sel
yang
bermanifestasi
sebagai
kerusakan
membran
sel,
sitotoksik,
mutagenositas, serta modifikasi enzim (Singh et al., 2003). Jika proses tersebut terjadi di otak, maka neurotoksin yang diakibatkan oleh konsumsi MSG dapat merusak bagian-bagian dari otak, salah satunya adalah cerebellum. Cerebellum berperan dalam pengaturan aktivitas serta koordinasi motorik. Dalam pengaturan fungsi cerebellum, sel Purkinje memiliki peran penting karena jumlahnya yang paling banyak. Selain itu, sel Purkinje juga berperan sebagai sel penghantar sinyal utama pada cortex cerebellum (Guyton & Hall, 2011). Pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa pemberian MSG dengan dosis 3,5 mg/g BB selama 10 hari secara intraperitoneal menyebabkan penurunan jumlah sel Purkinje pada cerebellum serta gangguan koordinasi motorik pada tikus (Prastiwi et al., 2015). Penelitian lain menunjukkan bahwa dosis letal pemberian MSG pada 50% subjek tikus dan mencit adalah 15.000 – 18.000 mg/kg BB (Walker & Lupien, 2000). Pemberian MSG secara oral pada tikus dengan dosis 3 mg/g BB selama 14 hari menimbulkan efek neurotoksik yang menyebabkan perubahan degeneratif pada sel Purkinje dan astrosit cerebellum pada pengamatan imunohistokimia tanpa kuantifikasi jumlah sel (Hashem et al., 2011). Meskipun persentase MSG yang masuk ke sirkulasi darah hanya sekitar 13-28% jika dilewatkan saluran pencernaan (Burrin & Stoll, 2009), metode pemberian MSG
4
secara oral lebih dapat diterapkan karena sesuai dengan cara penggunaannya di masyarakat (Reeds et al., 1996). Sejauh ini penelitian mengenai pemberian MSG secara oral baru menunjukkan adanya pengaruh pada sel saraf cerebellum, namun penghitungan jumlah sel Purkinje cerebellum belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas dampak pemberian MSG per oral dengan dosis 1 mg/g BB, 2 mg/g BB, dan 4 mg/g BB selama 30 hari terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum serta pengaruhnya terhadap koordinasi motorik pada tikus Wistar jantan.
I.2. Perumusan Masalah Monosodium glutamat (MSG) merupakan bahan penyedap rasa makanan yang secara luas digunakan di masyarakat. Pengaruh monosodium glutamat terhadap munculnya kerusakan pada beberapa organ telah dibuktikan melalui penelitian. Meskipun konsumsi MSG tidak selalu menimbulkan keluhan fisik secara langsung, penelitian terhadap keamanan konsumsi MSG terus dilakukan. Hal ini didasari oleh tingginya intensitas konsumsi MSG pada sebagian makanan olahan maupun seluruh makanan dalam kemasan, di mana MSG dikonsumsi hampir setiap hari selama bertahun-tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengaruh pemberian MSG per oral terhadap fungsi koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan?
2.
Bagaimana pengaruh pemberian MSG per oral terhadap jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan?
5
3. Bagaimana hubungan jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan dengan fungsi koordinasi motorik?
I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji seberapa besar pengaruh pemberian MSG secara oral terhadap koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan. I.3.2. Tujuan khusus 1.
Mengukur kemampuan koordinasi motorik tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan pada pemberian MSG per oral.
2.
Menghitung jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan pada pemberian MSG per oral.
3.
Mengkaji hubungan antara koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje cerebellum tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan.
I.4. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian monosodium glutamat (MSG) secara oral terhadap fungsi koordinasi motorik dan jumlah sel Purkinje pada tikus Wistar (Rattus norvegicus) jantan belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan antara lain: 1. Eweka dan Om’Iniabohs (2007), dengan judul penelitian “Histological studies of monosodium glutamate on the cerebellum of adult wistar rats.” Pada
6
penelitian ini, diperoleh hasil bahwa pemberian 3 g dan 6 g MSG (tanpa mempertimbangkan berat badan dari masing-masing subjek) selama 14 hari menyebabkan kematian sel Purkinje dan sel granul cerebellum. Berkaitan dengan dosis MSG, peneliti tidak mempertimbangkan berat badan dari masing-masing subjek. Kematian sel Purkinje dan sel granul diketahui melalui pengamatan mikroskopis terhadap profil preparat histologis. Pada penelitian ini, juga didapatkan hasil bahwa semakin tinggi dosis MSG yang diberikan, semakin besar tingkat kerusakan sel, meskipun tidak diukur berapa volume kerusakan yang terjadi. Pada penelitian ini, tidak dilakukan penghitungan jumlah sel Purkinje cerebellum. 2. Hashem et al. (2011) dengan judul penelitian “The effect of monosodium glutamate on the cerebellar cortex of male albino rats and the protective role of vitamin C (histological and immunohistochemical study).” Penelitan tersebut menggunakan metode pemberian MSG secara oral yang dicampurkan dalam pakan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemberian MSG 3 g/kg BB atau setara dengan 3 mg/g BB selama 14 hari menyebabkan kerusakan neuron dan sel astrosit dari cortex cerebellum. Penilaian kerusakan dilakukan melalui pengamatan terhadap profil preparat histologis dan pemeriksaan imunohistokimia, namun peneliti tidak mengukur volume kerusakannya. Pemberian vitamin C mampu memberikan proteksi terhadap kerusakan tersebut. Pada penelitian ini, peneliti tidak melakukan penghitungan terhadap jumlah neuron dan sel astrosit pada cortex cerebellum.
7
3. Baad-Hansen et al. (2009) dengan judul penelitian “Effect of systemic monosodium glutamate (MSG) on headache and pericranial muscle sensitivity.” Penelitian dilakukan pada 14 sampel pria berusia lebih dari 18 tahun, dengan kriteria sehat jasmani dan rohani, tidak memiliki keluhan nyeri, serta tidak memiliki riwayat alergi MSG. Subjek penelitian mengkonsumsi MSG dengan dosis 75 mg/kg BB atau 150 mg/kg BB yang dicampurkan ke dalam minuman berasa manis bebas soda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 30 menit pemberian MSG didapatkan peningkatan level glutamat dalam plasma darah mencapai 395% pada dosis 75 mg/kg BB, dan semakin meningkat menjadi 556% pada dosis 150 mg/kg BB. Selain itu, pemberian MSG meningkatkan kejadian nyeri kepala dan nyeri pada regio kraniofasial. Peningkatan dosis berkorelasi positif dengan peningkatan frekuensi munculnya gejala. 4. Prastiwi et al. (2015) dengan judul penelitian “High dosage of monosodium glutamate causes deficits of motor coordination and the number of cerebellar Purkinje cells of rats.” Dari penelitian tersebut, peneliti mampu membuktikan adanya pengaruh pemberian MSG secara intraperitoneal dengan dosis 3,5 mg/g BB selama 10 hari terhadap penurunan fungsi koordinasi motorik dan berkurangnya jumlah sel Purkinje cerebellum. Penghitungan jumlah sel Purkinje dilakukan dengan metode stereologi nonbias dengan teknik fraksionator fisik. Cara pemberian MSG pada penelitian ini dilakukan secara intraperitoneal sehingga kurang lazim bagi monosodium glutamat yang biasa dikonsumsi secara oral. Dosis pemberian monosodium glutamat secara
8
intraperitoneal akan menimbulkan efek yang sama pada pemberian secara oral jika dosisnya lebih besar atau durasi pemberian perlakuan yang lebih lama. Oleh karena itu, penelitian yang akan dilakukan salah satunya berupaya menguji dosis yang lebih tinggi (4 mg/g BB) dengan durasi perlakuan yang lebih lama (30 hari).
I.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang pengaruh MSG bagi kesehatan, khususnya kesehatan otak yang mengatur pergerakan dan koordinasi motorik, sehingga masyarakat mengerti seberapa besar kadar MSG yang menyebabkan permasalahan bagi kesehatan.
2.
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi model penelitian yang berkaitan dengan pengaruh MSG terhadap cerebellum.
3.
Bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan mengenai pentingnya mencantumkan kadar MSG pada makanan kemasan serta peringatan mengenai batas aman konsumsi MSG.