1
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang semakin banyak ditemukan. Menurut Coresh et al. (2007), sekitar 13% populasi dewasa di Amerika
Serikat
mengalami
penyakit
ginjal
kronis
(Chronic
Kidney
Disease/CKD). Tingginya jumlah penderita diabetes melitus dan obesitas berpotensi meningkatkan jumlah penderita CKD. Oleh karena itu, penyakit ginjal menjadi masalah kesehatan masyarakat yang bersifat global yang akan berdampak tidak hanya pada pasien secara individu, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Fibrosis ginjal merupakan kondisi lanjutan dari penyakit ginjal kronis, yang berdampak pada terjadinya penyakit ginjal terminal (End Stage Renal Disease/ESRD). Fibrosis ginjal juga dapat terjadi akibat proses peradangan akut dan merupakan kerusakan ginjal tahap awal yang dapat berujung menjadi ESRD. Fibrosis ginjal pada obstruksi traktus urinarius kronis diketahui merupakan penyebab terbanyak ESRD pada anak. Selain itu, kegagalan proses penyembuhan akibat cedera atau penyakit yang mendahului seperti diabetes mellitus dan hipertensi dapat mengakibatkan fibrosis (Liu, 2006). Terjadinya
fibrosis
mengakibatkan
ketidakmampuan
ginjal
dalam
menjalankan fungsinya bagi tubuh. Fungsi ginjal antara lain adalah menghasilkan urin, memelihara keseimbangan cairan dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, metabolisme vitamin D, serta menstimulasi fungsi sumsum
2
tulang dengan menghasilkan hormon eritropoietin yang penting dalam produksi sel darah merah. Gangguan pada fungsi-fungsi tersebut akan berdampak negatif pada fungsi normal tubuh secara keseluruhan, salah satunya adalah penimbunan zat-zat sisa metabolisme yang berakibat toksik dan dapat mengakibatkan kematian (Schnaper, 2005). Fibrogenesis ginjal terjadi akibat kegagalan proses penyembuhan luka yang terjadi setelah cedera. Sebagian besar tipe sel di ginjal, meliputi fibroblast, sel epitel tubulus, perisit, sel endotel, sel otot polos vaskuler, sel mesangial dan podosit berperan dalam patogenesis fibrosis ginjal (Boor et al., 2007 ; Zeisberg dan Neilson, 2010 ). Proses fibrosis ginjal dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk, yaitu glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisial ginjal. Fibrosis tubulointerstisial paling banyak berkembang menjadi ESRD (Nangaku, 2004). Peristiwa seluler yang terjadi pada fibrosis tubulointerstisial meliputi infiltrasi sel-sel inflamasi, aktivasi dan ekspansi fibroblast, produksi dan deposisi komponen matriks ekstraseluler (ECM) dalam jumlah besar, atrofi tubulus dan penipisan mikrovaskular. Hal-hal tersebut mengakibatkan destruksi parenkim ginjal dan hilangnya fungsi ginjal (Liu, 2011). Pada tubulointerstisial, terjadinya fibrosis diawali dari adanya cedera jaringan yang akan mengakibatkan timbulnya inflamasi. Proses inflamasi memicu infiltrasi sel-sel inflamasi, seperti sel T dan makrofag, yang kemudian menginduksi produksi sitokin-sitokin profibrotik dan faktor pertumbuhan. Tahap selanjutnya adalah aktivasi miofibroblast yang terutama berasal dari fibroblast
3
interstisial dan perisit. Miofibroblast kemudian memproduksi ECM seperti fibronektin, kolagen tipe I dan kolagen tipe III. Aktivasi miofibroblast ditandai dengan adanya ekspresi alpha smooth muscle actin (α-SMA) (Hinz et al., 2007). Ekspresi α-SMA berhubungan dengan tingkat keparahan fibrosis ginjal dan dapat memprediksi penurunan fungsi ginjal (Hewitson, 2009). Terjadinya fibrosis ditandai dengan peningkatan level marker fibrosis, antara lain adalah transforming growth factor beta-1 (TGF-β1). TGF-β1 merupakan sitokin yang berperan dalam patomekanisme biomolekuler yang mendasari progresifitas penyakit ginjal (Border dan Noble, 1994). TGF-β1 bekerja sebagai stimulator pembentukan ECM melalui 4 proses, yaitu 1) stimulasi sintesis komponen ECM, 2) stimulasi sintesis integrin, yaitu reseptor membran yang memungkinkan sel mengenali molekul ECM tertentu pada membran basalis maupun sel lain, 3) menghambat sintesis protease inhibitor yang berfungsi memecah ECM, dan 4) mengurangi sintesis enzim ECM-degrading protease yang memecah ECM. Disamping itu, TGF-β1 juga menstimulasi produksi faktor pertumbuhan (growth factor) seperti basis fibroblast growth factors (bFGF) dan platelet derived growth factors (PDGF) yang juga menstimulasi pembentukan protein matriks ekstraseluler (Trihono, 2011). Interaksi TGF-β1 dan sinyal molekulnya yaitu Smads, memiliki peran sangat penting pada fibrogenesis ginjal. Komponen Smads yang berperan dalam perkembangan fibrosis ginjal adalah Smad2 dan Smad3, sedangkan protein Smad7 berperan sebagai inhibitor. TGF-β1 berperan dalam meningkatkan sekresi inhibitor protease yang merupakan stimulator poten bagi akumulasi ECM
4
(Roberts dan Sporn 1996). Jumlah TGF-β1 di daerah tubulointerstisial ginjal berkorelasi dengan tingkat inflamasi dan atrofi sel (Trihono, 2011). Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) merupakan model fibrosis tubulointerstisial ginjal yang telah banyak dikerjakan. Fibrosis interstisial pada UUO diawali dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi, yang kemudian memproduksi sitokin-sitokin yang bertanggung jawab terhadap apoptosis tubulus, proliferasi dan aktivasi fibroblast menjadi miofibroblast. Miofibroblast bersifat kontraktil dan mampu menghasilkan ECM dalam jumlah besar (Chevalier et al., 2009). Penelitian pada mencit neonatus menunjukkan bahwa fibrosis interstisial berkembang mulai hari ke-5 sampai dengan hari ke-12 setelah UUO, dan semakin parah pada hari ke-19 (Cachat et al., 2003). Durasi UUO yang lebih panjang dan blokade ureter yang sempurna mengakibatkan kerusakan yang lebih parah (Provoost dan Molenaar, 1981). Pada kelinci, UUO menyebabkan peningkatan serabut kolagen tipe I, III dan IV, fibronektin dan proteoglikan heparin sulfat. Akumulasi kolagen tipe I dan III terlihat pada hari ke-7 dan hari ke-16 (Sharma et al., 1993). Pada UUO, TGF-β1 memiliki peranan penting dalam menimbulkan fibrosis. Mekanisme aksi TGF-β1 dalam proses fibrogenesis melibatkan protein Smad2 dan Smad3. Penelitian pada tikus dengan UUO menunjukkan bahwa blokade aktivasi Smad2/3 melalui peningkatan ekspresi Smad7 dapat mencegah fibrosis ginjal (Lan et al., 2003). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sato et al. (2003) yang menyatakan bahwa pada mencit yang tidak memiliki gen Smad3,
5
akumulasi kolagen tipe I yang timbul lebih rendah dibandingkan mencit wildtype setelah UUO 14 hari. Kelebihan UUO sebagai model fibrosis tubulointerstisial ginjal meliputi tidak adanya toksin eksogen, lingkungan ‗uremik‘ yang dapat diminimalisir, serta dapat dimanfaatkannya ginjal kontralateral sebagai kontrol (Chevalier, 2009). Selain itu, waktu yang diperlukan untuk menimbulkan fibrosis juga lebih singkat, yaitu berkisar antara 7-14 hari. Vitamin D, selain dikenal memiliki peran penting dalam metabolisme mineral tulang, juga berperan dalam berbagai fungsi biologis tubuh yang lain, diantaranya dalam sistem imun, sistem kardiovaskular, sistem reproduksi dan pengendalian insulin. Sumber utama vitamin D pada manusia adalah paparan sinar ultraviolet pada kulit yang akan mengubah 7-dehidrokolesterol menjadi kolekalsiferol (Gangula et al., 2013). Vitamin D3 (kolekalsiferol) merupakan prepro-hormon steroid yang memerlukan modifikasi enzimatik di hepar dan ginjal agar memiliki aktivitas biologis maksimal sebagai hormon, yaitu 1,25(OH)2D3 atau kalsitriol. Aktivitas kalsitriol diperantarai oleh reseptor protein spesifik yang disebut Vitamin D Receptor (VDR). Ikatan antara VDR dengan 1,25(OH)2D3 kemudian membentuk struktur heterodimer dengan reseptor-asam retinoat (RXR), kemudian berikatan dengan daerah spesifik pada genom yang disebut Vitamin D response elements (VDRE). Lebih dari 200 gen dikontrol oleh jalur ini, termasuk gen yang meregulasi proliferasi, diferensiasi dan apoptosis (Haussler et al., 2008). Vitamin D juga diketahui memiliki efek renoprotektif. Vitamin D aktif (1,25(OH)2D3) mensupresi fibrosis ginjal dengan menghambat transduksi sinyal
6
Smad-TGF-β melalui interaksi langsung dengan Smad3 (Ito et al., 2013). Penelitian pada sel mesenkim multipoten menunjukkan bahwa 1,25(OH)2D3 mampu menurunkan ekspresi kolagen tipe I dan III, serta faktor profibrotik TGFβ1. Namun sebaliknya, 1,25(OH)2D3 mampu meningkatkan ekspresi antagonis TGF-β1 (BMP-7) dan MMP8 yang merupakan faktor pemicu pemecahan kolagen (Artaza dan Norris, 2009). Pemberian 1,25(OH)2D3 juga diduga mencegah pembentukan miofibroblast ginjal dengan menginduksi pembentukan Hepatocyte Growth Factors (HGF) oleh hepar (Li et al., 2005). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada fibrosis interstisial ginjal dengan model UUO, vitamin D memiliki peran dalam menurunkan atau mencegah timbulnya fibrosis. Pada mencit dengan UUO 7 hari yang tidak mengekspresikan VDR, akumulasi kolagen yang terjadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok mencit dengan VDR (+). Ekspresi TGF-β1 juga lebih banyak pada mencit dengan VDR(-) dibandingkan mencit dengan VDR (+). Pada penelitian tersebut, kalsitriol diduga menghambat fibrosis ginjal dengan mensupresi Sistem Renin Angiotensin (Renin Angiotensin System/RAS) (Zhang et al., 2010). Sebelumnya, Tan et al. (2006) mengemukakan bahwa pemberian suatu analog kalsitriol yaitu paricalcitol, dapat mengurangi timbulnya fibrosis interstisial ginjal pada model UUO 7 hari, yang ditandai dengan penurunan akumulasi kolagen, penurunan ekspresi TGF-β1 dan reseptornya, serta penurunan ekspresi α-SMA. Beberapa mekanisme sasaran aksi 1,25(OH)2D3 dalam mencegah fibrosis juga telah diteliti (Li et al., 2005 ; Ito et al., 2013), namun
7
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk semakin memperjelas mekanisme aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal. Pada penelitian ini, vitamin D aktif diberikan dalam rentang waktu 14 hari sejak UUO. Pemilihan waktu 14 hari merujuk pada beberapa penelitian terdahulu yang tersebut di atas yaitu parameter-parameter fibrosis pada hari ke-14 tampak lebih masif dibandingkan pada hari sebelumnya. Mencit merupakan spesies hewan coba yang memiliki banyak persamaan dengan manusia selain tikus. Pada mencit, lebih mudah terjadi modifikasi genom (Chevalier et al., 2009), sehingga lebih tepat untuk mengkaji efek genomik vitamin D. Jenis kelamin mencit yang digunakan dalam penelitian harus sama, untuk mengurangi pengaruh hormon seks baik estrogen maupun testosteron yang keduanya memiliki efek berlawanan terhadap perkembangan sel di ginjal, dimana estrogen bersifat renoprotektif sedangkan testosteron bersifat memicu fibrosis ginjal. Pada penelitian ini dipilih mencit jantan. Vitamin D diberikan dalam 3 dosis yaitu 0,125 μg/kgBB, 0,25 μg/kgBB dan 0,5 μg/kgBB melalui injeksi intra peritoneal (i.p).
I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu pemberian vitamin D aktif (1,25(OH)2D3) mencegah fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO). Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
8
1.
Apakah kadar TGF-β1 pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan dengan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D?
2.
Apakah fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D?
3.
Apakah fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D lebih rendah dibandingkan mencit jantan yang tidak diberi vitamin D?
4.
Apakah terdapat hubungan antara dengan kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast pada mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D?
I.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk membuktikan manfaat pemberian vitamin D aktif (1,25(OH)2D3) dalam mencegah fibrosis ginjal pada mencit jantan dengan Unilateral Ureteral Obstruction (UUO) Tujuan Khusus 1.
Mengkaji kadar TGF-β1 pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D
2.
Mengkaji fraksi area kolagen pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D
9
3.
Mengkaji fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D
4.
Untuk mengkaji hubungan antara kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast pada ginjal mencit jantan dengan UUO yang diberi vitamin D
I.4. Keaslian Penelitian Pemberian
vitamin
D
untuk
pencegahan
fibrosis
telah
banyak
dipublikasikan. Ada beberapa penelitian yang terkait dengan pemberian vitamin D dan fibrosis ginjal serta perbedaannya dengan penelitian ini. 1.
Zhang et al. (2010) : mencit dengan VDR (-) memperlihatkan kerusakan ginjal yang lebih parah dibandingkan mencit dengan VDR (+), ditandai dengan atrofi tubulus dan fibrosis interstisial setelah 7 hari UUO. Pada pemberian losartan, tidak terdapat perbedaan fibrosis pada mencit dengan VDR (+) dan VDR (-). Hal ini menunjukkan bahwa VDR menghambat fibrosis ginjal dengan mensupresi sistem renin angiotensin. Pada penelitian ini, tidak dilakukan knock-out terhadap VDR, durasi UUO 14 hari (kronis), dan tidak menggunakan losartan atau ACE-inhibitor lain.
2.
Li et al. (2005): Pemberian 1,25-dihydroxyvitamin D3 menghambat aktivasi miofibroblast di interstisial ginjal dengan menginduksi Hepatocyte Growth Factors (HGF) in-vitro.
10
Pada penelitian ini, dilihat efek pemberian 1,25(OH)2D3 terhadap kolagen dan miofibroblast melalui jalur TGF-β1. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara in-vivo. 3.
Hirata
et
al.
(2002):
pemberian
vitamin
D
aktif
mencegah
glomerulosklerosis pada tikus dengan nefrektomi sub total. Pada penelitian ini, model yang digunakan adalah UUO, dan fibrosis yang diamati adalah fibrosis interstisial ginjal. 4.
Penelitian Kuhlmann et al. (2004) menyebutkan bahwa pemberian 1,25Dihydroxyvitamin D3 mengurangi hilangnya podosit dan hipertrofi podosit pada tikus dengan nefrektomi subtotal. Pada penelitian ini, selain menggunakan model UUO, yang diamati adalah kadar TGF-β1, fraksi area kolagen dan fraksi area miofibroblast.
5.
Penelitian Tan et al. (2006) menyebutkan bahwa paricalcitol dosis 0,1 μg/kg dan 0.3 μg/kg injeksi subkutan menghambat fibrosis interstisial ginjal pada mencit dengan UUO 7 hari. Pada penelitian ini, digunakan kalsitriol, diberikan dalam 3 dosis yaitu 0,25µg/kgBB,
0,125µg/kgBB,
dan
0,5µg/kgBB
melalui
injeksi
intraperitoneal (i.p), diamati setelah 14 hari UUO.
I.5. Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi kepada masyarakat umum dan tenaga kesehatan mengenai pentingnya vitamin D dalam memelihara kesehatan ginjal
11
2.
Memberikan informasi ilmiah mengenai sasaran aksi vitamin D dalam mencegah fibrosis ginjal sehingga dapat dijadikan dasar untuk penelitian lanjutan di bidang yang relevan.