BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Kemiskinan di kalangan nelayan merupakan sebuah kondisi yang lazim ditemui pada desa nelayan di Indonesia. Kemiskinan yang begitu melekat pada nelayan, khususnya nelayan tangkap dan buruh nelayan telah direspon oleh pemerintah dengan berbagai program. Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan kepada nelayan telah diterapkan, seperti Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP), Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK), dan Program Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (BLM-PUMP). Program BLM-PUMP merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang memberikan stimulus modal usaha perikanan tangkap berdasarkan potensi sumberdaya perikanan. Tujuan program adalah memperbaiki sumber-sumber pendapatan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan skala kecil yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Penerima Program PNPM Mandiri Perikanan Tangkap, serta Kelompok Nelayan, guna mendorong peningkatan fungsi kelembagaan ekonomi nelayan sebagai pranata ekonomi, hingga dapat mempermudah akses terhadap permodalan. Dalam desain program BLM-PUMP, bantuan modal usaha produktif berupa infrastruktur alat tangkap senilai Rp.100.000.000 ditujukan sebagai insentif bagi nelayan untuk berorganisasi. Itu sebabnya sasaran program berupa kelompok, bukan berupa perorangan. BLM-PUMP memiliki misi untuk memantapkan pranata ekonomi nelayan. Selama ini, nelayan masih dianggap sebagai komunitas tanpa pembela (Yustika, 2003: 76). Penataan pranata ekonomi nelayan diharapkan dapat meningkatkan keberdayaan nelayan dalam wadah organisasi KUB. Realitas pemanfaatan BLM-PUMP menunjukkan kecenderungan kegagalan pemanfaatan BLM-PUMP secara kelembagaan. Mayoritas KUB gagal menghidupkan aktivitas organisasi KUB. Padahal tujuan utama BLM-PUMP adalah nelayan mampu berorganisasi secara mandiri guna memecahkan berbagai masalah dan mengembangkan
1
potensi bersama. Alih-alih menghidupkan KUB sebagai pranata ekonomi nelayan, kegiatan KUB justru nyaris tidak berjalan pasca bantuan diberikan. Berdasarkan kondisi perairan tangkap, KUB pemanfaat BLM-PUMP terbagi menjadi dua, yakni KUB di perairan umum, dan KUB di perairan pesisir. Realitas pemanfaatan BLM-PUMP menunjukkan perbedaan dinamika dalam usaha menghidupkan aktivitas organisasi KUB. Pada beberapa KUB di perairan umum menunjukkan dinamika keberhasilan menjalankan organisasi KUB pasca penerimaan BLM-PUMP. Salah satunya ditemui pada KUB Sejahtera. Sedangkan pada KUB di perairan pesisir mayoritas gagal menjalankan organisasi KUB pasca penerimaan BLM-PUMP. Dalam pemanfaatan BLM-PUMP, perbedaan tidak hanya dilihat dari berjalannya aktivitas organisasi pada setiap KUB. Namun perbedaan juga dilihat dari peluang menjalankan organisasi KUB dalam memenuhi unsur-unsur penggerak aktivitas organisasi. Unsur-unsur penggerak tersebut baik berupa infrastruktur alat tangkap, kapasitas (personal, komunitas, dan sistem) yang menentukan kepemimpinan dan keterlibatan berorganisasi, dan komitmen-komitmen terhadap komunitas yang diaktualisasikan dalam kelompok, serta jejaring ekonomi sebagai representasi struktur ekonomi nelayan KUB. Hal tersebut dapat dilihat dari realitas pemanfaatan BLM-PUMP pada KUB di perairan umum, yang memiliki peluang lebih besar dalam menjalankan organisasi KUB, berbeda dengan KUB di perairan pesisir. Hal ini tidak terlepas dari relasi-relasi ekonomi yang terbangun dalam jejaring ekonomi nelayan. Perbedaan peluang dalam memenuhi unsur penggerak organisasi disebabkan oleh orientasi ekonomi nelayan sebelum tergabung dalam KUB. Pada nelayan di perairan pesisir, umumnya aktivitas ekonomi dalam hal permodalan, pemasaran dan relasi-relasi sosial yang terbangun berorientasi pada tokeh sebagai patron nelayan. Secara teknis, nelayan di perairan pesisir membutuhkan peralatan tangkap yang lebih modern. Hal ini sesuai dengan karakteristik perairan tangkap. Besarnya kebutuhan alat tangkap dan permodalan pada nelayan pesisir menjadi penyebab disparitas kepemilikan sumberdaya modal yang berakhir pada relasi ketergantungan nelayan terhadap tokeh. Nelayan di perairan umum intensitas ketergantungan terhadap tokeh lebih rendah, atau hanya berupa relasi pemasaran kepada penampung. Penggunakan alat tangkap 2
tradisional dan tingkat kebutuhan modal operasional yang tidak terlalu besar masih bisa dipenuhi keluarga nelayan secara mandiri. Hal ini mengakibatkan ketergantungan ekonomi terhadap tokeh atau penampung tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan intensitas ketergantungan nelayan pesisir terhadap tokeh. Pada akhirnya, pola-pola ekonomi yang dijalankan baik pada nelayan perairan umum dan nelayan perairan pesisir berdampak pada aktivitas organisasi KUB dalam pemanfaatan BLM-PUMP. Ketergantungan nelayan baik pada tokeh ataupun penampung akibat ketimpangan kepemilikan sumberdaya modal dan akses pasar berdampak pada dinamika KUB dalam usaha menghidupkan aktivitas organisasi. Apalagi jika dilihat dari 2.600 Nelayan yang memiliki kartu nelayan, 1.645 diantaranya adalah nelayan pekerja (buruh nelayan) yang tidak memiliki alat tangkap. Dengan kondisi struktur ekonomi dan sosial yang identik dengan ketimpangan dalam pemilikan sumber daya modal, tidak mengherankan
jika
proses
pemanfaatan
BLM-PUMP
dalam
kaitannya
dengan
menghidupkan organisasi KUB akan semakin variatif kinerjanya karena tidak hanya berkaitan dengan kemampuan mengorganisir keanggotaan nelayan di dalam KUB, namun lebih luas juga berkaitan dengan peran tokeh selaku pemilik sumberdaya yang mengatur artikulasi kegiatan ekonomi nelayan KUB.
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran di atas, permasalahan yang dirumuskan pada penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana variasi kinerja organisasi KUB dalam pemanfaatan BLM-PUMP? 2. Mengapa terjadi variasi kinerja organisasi KUB dalam pemanfaatan BLM-PUMP serta apa implikasinya terhadap keberlanjutan pemanfaatan program ?
3
I. 3. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengidentifikasi variasi kinerja organisasi KUB dalam pemanfaatan BLMPUMP berdasarkan kondisi infrastruktur alat tangkap, kapasitas, serta jejaring ekonomi yang terbentuk dari jenis perairan tangkap KUB. 2) Untuk mengetahui penyebab munculnya variasi kinerja organisasi KUB serta mengetahui implikasinya terhadap keberlanjutan pemanfaatan program BLM-PUMP.
I.4. Manfaat Penelitian 1) Secara teoritis, guna memberikan sumbangan pemikiran kritis terhadap program dan kebijakan pembangunan masyarakat nelayan yang berbasis infrastruktur dan kapasitas (personal, komunitas, dan sistem), serta jejaring ekonomi dalam peningkatan kesejahteraan nelayan. Serta sebagai kontribusi memperkaya khasanah pemikiran sosiologis dalam memahami dan menganalisis implikasi struktur ekonomi dan struktur budaya terhadap penerapan dan pemanfaatan program kebijakan masyarakat nelayan, khususnya pada nelayan pemanfaat BLM-PUMP di Kabupaten Indragiri Hilir. 2) Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bahan evaluasi dalam penerapan program BLM-PUMP pada masyarakat nelayan khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir, serta bahan pertimbangan dalam pelaksanaan program BLM-PUMP kedepannya dalam usaha meningkatkan kesejahteraan di kalangan nelayan.
I. 5. Penelitian Terdahulu Penelitian yang mengkaji tentang program penanggulangan kemiskinan nelayan cukup banyak. Berikut akan disajikan beberapa hasil penelitian yang mengkaji berbagai program penanggulangan kemiskinan nelayan. Hasil penelitian terdahulu ini digunakan sebagai bahan perbandingan guna menunjukkan persamaan dan perbedaan, serta kekurangan dan kelebihan dengan penelitian mengenai pemanfaatan Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (BLM-PUMP) dalam KUB.
4
Penelitian Chorneles (2012) mengenai Program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di Kelurahan Malalayang 1 Timur, Kecamatan Malalayang Kota Manado. Penelitian ini mengkaji bagaimana pelaksanaan Program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP) yang menjadi stimulan bagi nelayan dalam menciptakan pranata ekonomi yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB), yang kemudian dapat digunakan sebagai wahana dalam meningkatkan kesehjateraan masyarakat nelayan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, secara teknis program ini telah mendorong terciptanya organisasi nelayan yakni melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB). KUB merupakan media bagi nelayan untuk mendapatkan bantuan yang disalurkan berupa perahu motor dan alat tangkap. Melalui KUB berbagai hambatan dan tantangan dan permasalahan nelayan terkait aktivitas ekonomi dikomunikasikan dalam forum pertemuan rutin setiap bulannya. Dalam mekanisme organisasi KUB terdapat Rencana Usaha Bersama yang dibimbing oleh pendamping yang diutus dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Pada dasarnya RUB ini menjadi semacam MOU diantara nelayan yang tergabung dalam KUB dalam mengembangkan potensi-potensi perikanan di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini diungkapkan pula temuan, koordinasi antara Kelompok Usaha Bersama bersifat langsung dari Kelompok Usaha Bersama kepada Dinas Kelautan dan Perikanan. Sehingga pihak pemerintahan pada level desa dan kelurahan tidak dilibatkan. Pada penelitian Chorneles ini, indikator keberhasilan program hanya sebatas formalitas tersalurkannya bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan kepada Kelompok Usaha Bersama saja. Sedangkan proses lebih lanjut dari program BLM-PUMP terhadap kesehjateraan nelayan masih belum jelas. Hal ini mengakibatkan penelitian ini belum cukup jelas untuk memberikan gambaran mengenai pelaksaan BLM-PUMP, khususnya pada tahapan bagaimana program PUMP dapat menjadi mesin penggerak ekonomi nelayan yang mampu meningkatkan sumber-sumber pendapatan, dan meminimalisir faktor-faktor yang mengakibatkan nelayan berada pada kondisi kemiskinan. Persamaan penelitian Chornelis dengan penelitaian ini adalah sama-sama ingin melihat bagaimana pelaksanaan program BLM-PUMP dilakukan. Meskipun demikian perbedaan konteks masyarakat yang diteliti, akan berimplikasi terhadap perbedaan 5
penjelasan-penjelasan yang akan digunakan. Dalam penelitian ini peneliti menyadari perbedaan dimensi struktur ekonomi dan struktur sosial dan kultural akan berpengaruh terhadap dinamika pemanfaatan BLM-PUMP. Penelitian ini berfokus pada keberlanjutan pemanfaatan program oleh KUB, yakni melalui aktivitas menjalankan organisasi. Usaha dalam menghidupkan organisasi KUB akan banyak dipengaruhi oleh aspek yang menentukan keberhasilan pemanfaatan Program BLMPUMP, yakni masalah kapasitas sebagai dimensi sumber daya manusia, jejaring ekonomi dan masalah infrastruktur. Kondisi ketiga aspek tersebut akan digunakan oleh peneliti guna mengukur keberhasilan pemanfaatan Program BLM-PUMP yang bertujuan untuk mensejahterakan dan mengurangi angka kemiskinan pada nelayan yang tergabung dalam KUB. Penelitian Bahrudinnor (2007) mengenai pemberdayaan masyarakat nelayan di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini mengambil fokus mengenai sumber daya manusia dan kelembagaan dalam proses pemberdayaan masyarakat nelayan. Pemberdayaan masyarakat nelayan yang dilakukan dilihat dari berbagai bentuk program representatif dalam memberdayakan nelayan melalui peningkatan sumber daya manusia dan usaha menumbuhkan wahana kelembagaan di kalangan nelayan. Hasil penelitian Bahrudinnor tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan sumber daya manusia dilakukan dengan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotawaringin Barat bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) STIE Pangkalan Bun. Pemberdayaan masyarakat dilakukan pula dengan pembinaan melalui koperasi, Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), dan pengelolaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Berbagai program telah dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat, meskipun hasilnya belum memuaskan. Kondisi tersebut disebabkan oleh sangat kuatnya cengkraman tengkulak dalam aktivitas ekonomi nelayan. Hal ini mengakibatkan lembaga ekonomi seperti KUD dan PPI kurang maksimal hasilnya, akibat kalah bersaing dengan tengkulak yang telah menguasai jaringan permodalan dan penjualan. Guna menetralisir 6
peran tengkulak, berbagai program pemberdayaan yang ditujukan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dilakukan yakni pelatihan kewirausahaan. Selain itu, guna memantapkan struktur ekonomi nelayan, juga didirikan kelembagaan nelayan berupa Koperasi, Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Persamaan penelitian Bahrudinnor dengan penelitian ini adalah sama-sama ingin melihat peran berbagai program pembangunan yang disalurkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan sumber daya dan kelembagaan nelayan. Selain itu, kesamaan kondisi struktur ekonomi dan struktur sosial dalam kaitannya dengan tengkulak, membuat penelitian ini sekiranya memiliki dasar asumsi penjelasan mengenai pentingnya melihat secara kompeherensif mengenai pengaruh program terhadap kondisi sumber daya manusia dan kelembagaan. Sedangkan perbedaannya, penelitian ini memfokuskan pada satu program yakni pelaksanaan Program BLM-PUMP. Selain itu, peneliti juga tertarik mengkaji aspek lain, yakni masalah infrastruktur, jaringan dan kapasitas yang semula dipengaruhi oleh relasi permodalan dan pemasaran dengan para tokeh, tentu akan terdampak dengan adanya penetrasi Program BLM-PUMP. Penelitian Muliawan (2008) tentang pemberdayaan pembudidaya ikan melalui Dana Penguatan Modal di Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Penelitian ini berfokus pada pengelolaan Dana Penguatan Modal (DPM), dan melihat sejauh mana manfaat Dana Penguatan Modal (DPM) serta mengetahui peran pemerintah, bank pelaksana, masyarakat, unit pelayanan pengembangan
(UPP), serta pendamping teknis
dalam melaksanakan program dana penguatan modal (DPM) dalam memberdayakan pembudidaya ikan di Danau Batur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, program DPM pada dasarnya mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tingkat keterlibatan masyarakat yang tinggi dalam program dan tingkat kemampuan dan kemauan pengembalian dari nelayan yang tinggi. Pada akhirnya atensi masyarakat yang tinggi ini telah berdampak pada peningkatan pendapatan nelayan sasaran program DPM. Persamaan penelitian Muliawan dengan penelitian ini dapat dilihat dari karakter program penanggulangan kemiskinan nelayan yang dilihat. Program DPM dan BLM-PUMP adalah dua program penanggulangan kemiskinan pada nelayan yang menjadikan kelompok 7
nelayan sebagai sasaran, bukan individu. Namun demikian, pada program DPM peran kelebagaan formal seperti pemerintah dan bank penyalur lebih dominan ketimbang kelompok nelayan. Berdasarkan kekurangan itulah program BLM-PUMP disalurkan, yakni guna menumbuhkan kemandirian di kalangan nelayan dalam memanfaatkan bantuan yang diberikan pada Kelompok Usaha Bersama (KUB). Oleh karena itu, dalam penelitian ini juga akan dikaitkan dengan aspek kapasitas, jejaring ekonomi dan infrastruktur yang kemungkinan mengalami perubahan akibat adanya pelaksanaan program BLM-PUMP.
1.6. Kerangka Konseptual 1.6.1. Tokeh dan Struktur Kemiskinan Masyarakat Nelayan Pembangunan seringkali diartikan sebagai proses transformatif dalam mengubah berbagai kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. Kondisi paling kontras yang menjadi momok dalam pembangunan adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan merupakan kondisi kekurangan dan ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan dasar akibat implikasi proses ekonomi, sosial, hingga budaya, yang tidak konstruktif terhadap peningkatan kualitas hidup baik dari sisi kemakmuran maupun kesehjateraan. Berdasarkan penyebabnya, kemiskinan terdiri atas tiga bentuk, yakni kemiskinan natural, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (Sumodiningrat, 1998: 26). Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kelangkaan sumber daya atau tingkat perkembangan teknologi yang rendah (Suyanto, 1996:2). Dalam kemiskinan natural terdapat dua dimensi, yakni dimensi kemiskinan sebagai bawaan, dan kemiskinan sebagai bentuk adaptasi logis masyarakat. Dimensi bawaan kemiskinan natural terjadi akibat lahir dalam kondisi keluarga miskin, lalu kemudian berada pada lingkup sosial miskin pula sehingga kemiskinan menjadi sebuah kelaziman. Dimensi adaptasi kemiskinan natural terjadi akibat bentuk adaptasi masyarakat terhadap kondisi-kondisi fisik dan nonfisik yang melatarbelakangi kemiskinan. Misalnya kondisi keterisoliran wilayah, sulitnya mobilitas baik fisik maupun nonfisik akibat keterbatasan aksesibilitas, ketimpangan penguasaan sumberdaya potensial, yang berujung pada kesenjangan sosial.
8
Kemiskinan struktural adalah kondisi kemiskinan akibat struktur sosial dan struktur pembangunan yang belum mampu mengakomodir kebutuhan, potensi dan permasalahan masyarakat. Esensi permasalahan kemiskinan struktural adalah perbedaan akses terhadap sumber daya potensial, yang divalidasi oleh struktur sosial yang ada. Solusi atas kemiskinan struktural seringkali berupa penanganan kemiskinan secara kelembagaan struktural. Pola pengentasan kemiskinan struktural seringkali ditandai oleh marginalisasi kaum miskin melalui eleminasi berdasarkan prosedur administrasi formal. Contoh kemiskinan struktural dapat dilihat dalam penanganan berbagai kebijakan pendidikan dan kesehatan bagi kaum miskin. Kemiskinan kultural merupakan kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh cara hidup, sikap maupun konsepsi yang berlaku umum di kalangan masyarakat dan mendapatkan legitimasi kultural. Kemiskinan kultural ditandai oleh sifat marginal, apatis, fatalis, pasrah pada nasib, boros, dan inferior (Usman, 2012: 128). Konsepsi budaya tentang hidup ini berpengaruh terhadap cara hidup masyarakat dan adaptasi kerja yang cenderung berorientasi sesuai kebutuhan (subsisten), ketimbang produktifitas. Kemiskinan seakan menjadi momok dalam setiap bentuk masyarakat, baik di negara-negara maju maupun negara berkembang dan terbelakang, di perkotaan atau di perdesaan, baik bagi kalangan petani, maupun nelayan. Khusus kemiskinan di kalangan nelayan, realitasnya menunjukkan penyebab dan dinamika yang berbeda dengan bentukbentuk kemiskinan pada petani, maupun bentuk masyarakat lain. Langkah awal untuk mengidentifikasi kemiskinan di kalangan nelayan melalui penelaahan kelompok aktivitas yang menggantungkan kehidupan pada sumberdaya kelautan dan perikanan. Kelompok aktivitas tersebut diantaranya: 1. Nelayan tangkap, yakni kelompok masyarakat yang memanfaatkan perairan sebagai mata pencaharian untuk menangkap berbagai komoditas perikanan. 2. Nelayan pengumpul atau penampung, yakni kelompok masyarakat yang pada umumnya memiliki pekerjaan baik sebagai nelayan ataupun sekedar mengumpulkan (membeli) hasil tangkapan nelayan.
9
3. Nelayan buruh, yaitu kelompok masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dengan menjual tenaga sebagai sumberdaya dalam memanfaatkan komoditas perikanan. 4. Nelayan budidaya, yakni kelompok masyarakat yang bekerja pada sektor budidaya dan pengolahan atau diversifikasi perikanan. Jika dilihat dari struktur ekonomi masyarakat nelayan, maka dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga aspek (Kusnadi dalam Yustika, 2003: 64-65). Pertama dilihat dari kepemilikan alat tangkap, nelayan terbagi atas nelayan pemilik, dan buruh nelayan. Nelayan pemilik adalah kelompok nelayan yang memiliki sumber daya modal dan alat tangkap, seperti perahu motor, jaring, dan perlengkapan lain, yang dengan kelebihan kepemilikan modal dapat mempekerjakan kelompok buruh nelayan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Buruh nelayan adalah nelayan pekerja yang tidak memiliki faktor produksi kecuali tenaga, sehingga menggantungkan diri baik dalam hal kebutuhan keseharian maupun keperluan melaut kepada nelayan pemilik. Kedua, berdasarkan skala investasi modal usaha. Struktur ekonomi nelayan dibagi menjadi dua, yakni nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan besar adalah nelayan yang unit usaha baik dalam segi modal finansial, alat tangkap, pekerja dan skala usaha besar. Sedangkan nelayan kecil adalah nelayan yang unit usahanya terbatas, atau cenderung berdasarkan ikatan keluarga saja. Ketiga, berdasarkan adopsi teknologi, nelayan dibedakan menjadi nelayan modern, dan nelayan tradisional. Nelayan modern merupakan nelayan dengan menggunakan alat tangkap modern dan canggih dalam memenuhi target tangkapan, sedangkan nelayan tradisional adalah nelayan dengan alat tangkap tradisional, sesuai dengan orientasi usaha yang dijalankan yang pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Faktor esensial yang selama ini dianggap berdampak pada kemiskinan nelayan adalah kondisi kekurangan sumberdaya produksi (alat tangkap). Dalam setiap kebijakan masyarakat nelayan, faktor kepemilikan alat tangkap sangat penting dalam peningkatan produktifitas yang berdampak pada peningkatan penghasilan. Namun demikian, produktifitas tidak selalu relevan dengan kondisi kemiskinan nelayan. Substansi permasalahannya bukan semata pada produktifitas, namun justeru pada lemahnya posisi 10
tawar (bargaining position) nelayan atas produktifitas yang dihasilkan akibat ketimpangan kepemilikan sumber daya produksi. Pada dasarnya dinamika aktivitas ekonomi nelayan ditentukan oleh dua aktor ekonomi, yakni nelayan sebagai produsen hasil tangkapan dan tokeh sebagai pihak yang memasarkan hasil tangkapan nelayan (Kusnadi, 2013: 33). Keberadaan tokeh dalam konteks masyarakat nelayan di Kabupaten Indragiri Hilir telah menjadi pranata ekonomi lokal nelayan yang tidak hanya beroperasi dalam domain relasi-relasi ekonomi namun berlanjut dalam domain relasi sosial nelayan. Ketimpangan struktur kepemilikan modal dan alat tangkap merupakan faktor dominan yang menyebabkan nelayan membangun relasi dengan tokeh. Dalam struktur paling dasar dari masyarakat nelayan, diisi oleh buruh nelayan yang pada umumnya memiliki keterbatasan terhadap akses sumber daya produksi (alat tangkapan). Di sisi lain, bagi nelayan yang memiliki keterbatasan sumberdaya produksi, tenaga dan keahlian merupakan satu-satunya hal yang dapat mereka jual kepada tokeh guna meneruskan eksistensinya. Dengan kata lain, relasi yang terbangun dan dijalankan dengan tokeh merupakan gambaran adaptasi fungsional nelayan untuk dapat bertahan. Relasi yang dibangun nelayan dan tokeh didasari atas keterbatasan dan kebutuhan. Tokeh sebagai pemilik modal memerlukan nelayan dalam mencari komoditas yang ia perlukan. Dalam hal ini, strategi yang digunakan tokeh adalah memberikan kesempatan kerja dengan memberikan pinjaman alat tangkap dan modal atau sekedar memberi modal dengan harapan nelayan menjual hasil tangkapan kepadanya. Bagi nelayan, keterbatasan modal dan tuntutan pemenuhan kebutuhan menjadi pendorong dalam menjalankan relasi dengan tokeh. Tenaga, keahlian dan hasil tangkapan merupakan sumberdaya potensial yang diberikan kepada tokeh. Relasi yang dibangun nelayan bersama tokeh merupakan hasil adaptasi fungsional nelayan baik dalam menyikap tekanan dalam aktivitas melaut, maupun tekanan dalam kebutuhan harian. Biaya operasional melaut yang semakin tinggi, resiko ketidakmenentuan hasil tangkapan, pemenuhan kebutuhan harian dan berbagai tekanan lainnya mendorong nelayan membangun relasi dengan tokeh sebagai katup penyelamat sekaligus meminimalisir resiko ketidakmenentuan aktivitas ekonomi. Dalam konteks ini berlaku pandangan bahwa 11
kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan intensitas kekurangan, melainkan juga berkenaan dengan durasi (Seabrook, 2006: 40). Guna meminimalisir resiko ketidakmenentuan atau memperpendek durasi kekurangan dimasa paceklik tangkapan, nelayan seringkali mengandalkan pinjaman permodalan melalui tokeh. Bagi buruh nelayan, relasi yang dibangun dengan tokeh menjadi salah satu peluang kerja yang berarti dalam memenuhi kebutuhan. Keberadaan tokeh dalam jejaring ekonomi nelayan pesisir merupakan kondisi yang lazim. Relasi dengan tokeh terbangun atas dua hal yakni adaptasi fungsional yang mengatur arus modal dari tokeh kepada nelayan, serta konsekwensi logis berupa arus komoditas dari nelayan kepada tokeh (Setiawan, 2012: 108). Selain itu, tokeh telah menjadi pranata ekonomi lokal nelayan melalui servis dalam beberapa hal, yakni: 1. Pemberian penghidupan subsistensi dasar dengan turut melanggengkan pekerjaan nelayan dengan membeli hasil tangkapan, meskipun dengan harga yang rendah dibandingkan harga pasaran, namun relatif stabil. 2. Pemberian jaminanan menghadapi krisis subsistensi yang ditimbulkan oleh permasalahan nelayan seperti krisis saat cuaca buruk dimana nelayan tidak dapat melaut namun tetap memberikan pinjaman yang berguna menyerap kerugian nelayan akibat tidak melaut. 3. Pemberian perlindungan dari tekanan dan kebutuhan aktivitas melaut melalui pinjaman modal dan pemberian alat tangkap. Meskipun tokeh sebagai pranata ekonomi lokal memberikan berbagai bantuan terhadap nelayan, namun tidak dapat mengesampingkan bahwa relasi ekonomi dan sosial yang dijalankan tersebut dibangun didalam struktur ekonomi dan sosial yang identik dengan ketimpangan kepemilikan sumberdaya modal dan akses terhadap pasar. Dalam struktur ekonomi dan sosial yang terdapat ketimpangan kepemilikan, akan berdampak pada kemungkinan potensi keuntungan yang hanya dapat dinikmati oleh pemilik modal sekaligus menciptakan ketergantungan bagi pihak lain yang tidak memiliki modal. Dalam kondisi ini, sangat sulit bagi nelayan untuk meningkatkan kesejahteraan.
12
Relasi yang dibangun nelayan bersama tokeh memiliki makna keberlanjutan pekerjaan, namun bukan rahasia, dimana kesempatan kerja telah menjadi efek yang sama dengan pengangguran, jika hasil yang didapat, tidak dibayar dengan jumlah yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan. Kondisi ini menggambarkan dalam kemiskinan nelayan penuh dengan ketimpangan terhadap akses sumber daya modal dan produksi. Sehingga mengentaskan kemiskinan nelayan hendaknya dibangun atas logika distribusi kepemilikan alat tangkap dengan turut mempertimbangkan struktur ekonomi dari pranata informal yang telah mengakar, yakni keberadaan neleyan pemilik atau tengkulak.
1.6.2. BLM-PUMP sebagai Program Penanggulangan Kemiskinan Nelayan Berbasis Aset Program BLM-PUMP adalah bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kelautan dan Perikanan. BLM-PUMP perikanan tangkap yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2011, dengan memberikan bantuan modal usaha untuk nelayan skala kecil yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Melalui BLMPUMP, diharapkan dapat menjadi pendorong perkembangan usaha penangkapan ikan, berkembangnya kewirausahaan nelayan, dan menjadikan KUB sebagai lembaga ekonomi perdesaan. Adapun tujuan dari program BLM-PUMP adalah sebagai berikut : a. Meningkatkan pendapatan nelayan melalui kegiatan pengembangan usaha nelayan kecil di perdesaan. b. Menumbuhkembangkan kewirausahaan nelayan di perdesaan. c. Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi nelayan menjadi mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (SK Dir Jen Perikanan Tangkap, NO 37/KEP-DJPT/2013, Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan PUMP-PT, KKP, 2013). BLM-PUMP adalah program kebijakan penanggulangan kemiskinan nelayan berbasis aset dan jalur kelembagaan.
Penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan
melalui pemberian modal usaha berupa infrastruktur alat tangkap yang diharapkan dapat menjadi aset produktif bagi nelayan dalam melaksanakan aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan produktifitas sekaligus nilai manfaat dari produktifitas sebagai konsekwensi akumulasi dari kepemilikan aset. Unsur utama dalam melihat kesejahteraan maupun 13
kemiskinan adalah Pendapatan. Pendapatan merupakan arus mengalirnya uang dalam sebuah rumah tangga. Oleh karena itu, dalam usaha peningkatan pendapatan nelayan harus berorientasi pada masalah esensial nelayan, yakni kepemilikan faktor produksi dan sumberdaya modal. Sumber pendapatan nelayan dapat diperoleh dari tiga sumber utama yakni pendapatan dari aktivitas melaut, kepemilikan aset-aset, dan santunan dari pemerintah. Dari tiga sumber pendapatan tersebut, penghasilan yang berasal dari aktivitas melaut merupakan sumber utama pendapatan nelayan, khususnya nelayan tangkap dan nelayan buruh. Sedangkan pendapatan yang bersumber dari pendayagunaan aset pada umumnya hanya didapat oleh nelayan pengumpul atau penampung yang memiliki aset (infrastuktur alat tangkap) yang berlebih serta digunakan untuk merangkul nelayan buruh sebagai sumber pendapatan nelayan pengumpul. Pada dasarnya, struktur ekonomi nelayan telah timpang berdasarkan kepemilikan infrastruktur alat tangkap yang berfungsi sebagai sumber pendapatan nelayan. Nelayan identik dengan keterbatasan aset (infrastruktur alat tangkap) sehingga pendapatan yang diperoleh dari aktivitas melaut sangat kecil dan tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan. Di sisi lain, sistem ekonomi pendayagunakan aset cenderung dimiliki oleh tokeh namun dalam relasi ekonomi dengan nelayan menciptakan lebih banyak ketergantungan dibandingkan membantu nelayan buruh atau nelayan tangkap. Hal ini dapat terjadi karena hasil yang didapatkan oleh nelayan buruh lebih kecil dibandingkan dengan usaha atau tenaga yang ia keluarkan. Bagi nelayan buruh, santunan merupakan salah satu sumber penghasilan yang diharapkan dapat membantu mereka. Namun dalam berbagai kasus, berbagai program dan kebijakan yang bersifat santunan cenderung gagal mendorong golongan miskin untuk mandiri dikarenakan sifat santunan yang lebih banyak digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dibandingkan dipergunakan untuk pengembangan usaha produktif. Guna memperbaiki sumber pendapatan nelayan diperlukan kebijakan yang mampu mendorong distribusi pendapatan. Hal ini mengingat komposisi pendapatan terbesar dari nelayan pengumpul adalah hasil kontribusi nelayan buruh. Oleh sebab itu, kebijakan tersebut harus berbasis aset dalam usaha meminimalisir ketergantungan nelayan buruh dan sebagai 14
bentuk distribusi pendapatan melalui restrukturisasi kepemilikan aset, khususnya alat tangkap. Kemiskinan di kalangan nelayan tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi dan struktur sosial nelayan. Berdasarkan kondisi geografis, nelayan di Kabupaten Indragiri Hilir memiliki dua kategori struktur ekonomi yang terbentuk atas kondisi perairan tangkap, yakni perairan pesisir dan perairan umum. Struktur ekonomi dan struktur sosial tersebut dominan ditandai oleh relasi dependensi terhadap tokeh yang merupakan gambaran ketimpangan kepemilikan aset infrastruktur alat tangkap sebagai sumber daya potensial yang menentukan distribusi pendapatan. Nelayan identik dengan keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal dan posisi tawar, serta kesulitan akses pasar (Siswanto, 2008: 85). Oleh karena itu, kebijakan terhadap nelayan harus berorientasi pada aset yang memungkinkan nelayan berdaya dalam aktivitas ekonomi, ketimbang sekedar mengurangi kesulitan hidup nelayan. Problema kehidupan nelayan berkenaan dengan lemahnya sistem permodalan, rendahnya posisi tawar, hingga permasalahan akses pasar tidak akan terpecahkan sejauh program-program kebijakan tidak didesain guna pemecahan permasalahan aset ekonomi nelayan. Kebijakan yang memungkinkan pemecahan permasalahan aset nelayan akan berdampak tidak hanya pada produktifitas nelayan, tapi juga sejalan dengan penguatan bargaining power melalui kepemilikan aset. Pada umumnya, tingkat kesejahteraan dihitung dari indikator pendapatan. Sedangkan aset atau kepemilikan, jarang dipertimbangkan sebagai indikator kesejahteraan. Permasalahan kemiskinan dalam mainstream kecilnya pendapatan jelas bisa dipecahkan dengan usaha-usaha meningkatkan produktifitas.
Namun
demikian,
permasalahan
produktifitas tidak akan terpecahkan sejauh permasalahan aset dan kepemilikan yang menentukan jalannya proses ekonomi dan sosial masih lemah. Menurut Sherraden, masalah penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan kebijakan yang berbasis aset. Kebijakan yang berbasis aset dilakukan guna memperbaiki sumber-sumber pendapatan masyarakat miskin. Aset merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan. jadi pada dasarnya kebijakan berbasis aset
merupakan upaya untuk tidak 15
semata-mata memberikan tunjangan, namun juga sebagai bentuk investasi, dan memantapkan segi-segi kepemilikan bagi masyarakat miskin (Sherraden, 2006: 23-41). Posisi aset sangat urgens dalam menentukan status sosial individu. Secara teoritis ekonomis aset memiliki dua bentuk yakni aset produktif dan aset nonproduktif. Dalam keadaan ini aset sangat menentukan karena berkaitan pula dengan tingkat produktivitas. Hubungan aset dan pendapatan sendiri menjadi sangat penting mengingat aset berkaitan langsung dengan sumber daya potensial untuk perputaran ekonomi. Aset menurut Sherraden terbagi menjadi dua, yakni aset nyata dan aset tidak nyata. Aset nyata adalah sumber daya potensial yang berbentuk dan berfungsi secara fisik, seperti rumah atau bangunan, infrastruktur dan lain sebagainya. Sedangkan aset tidak nyata adalah sumber daya potensial yang tidak nampak, namun melekat dalam sebuah relasi sosial individu dalam bidang sosialekonomi. Sebagai
sebuah
kebijakan,
BLM-PUMP
dalam
mengurangi
kemiskinan
berorientasi pada aset nelayan. Kebijakan BLM-PUMP yang memungkinkan tumbuhnya aset produktif sebagai insentif bagi tumbuh dan berkembangnya aktivitas ekonomi nelayan dapat dilihat dalam mekanisme penyusunan Rencana Usaha Bersama. RUB, pada umumnya dibuat atas dasar kebutuhan fisik nelayan akan aset infrastruktur alat tangkap. Salah satu faktor esensial dalam akumulasi aset guna mencapai akses dan pertumbuhan dalam lingkup ekonomi dan sosial adalah faktor institusional atau kelembagaan. Faktor kelembagaan tersebut penting dalam usaha menciptakan regulasi baik secara formal maupun nonformal guna mencapai tujuan bersama. Peran kelembagaan akan berdampak terhadap peningkatan aset dan kapabilitas nelayan sebagai aspek pengembangan sumber daya yang fungsional dalam mencapai akses terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Prof Sunyoto Usman, kinerja lembaga dapat dilihat melalui penelaahan tiga aspek yakni infrastruktur, kapasitas, dan jejaring ekonomi sebagai penentu kinerja kelembagaan KUB.
1.6.2.1. Infrastruktur Kebijakan
merupakan
pola
pembangunan
yang
umum
digunakan
dalam
menanggulangi masalah kemiskinan. Salah satu aspek umum dalam kebijakan pembangunan 16
adalah permasalahan infrastruktur. Pada masyarakat nelayan, permasalahan infrastruktur khususnya berkaitan dengan alat tangkap sangat penting dalam perkembangan ekonomi nelayan. Kebijakan infrastruktur berguna dalam pengembangan fisik dan perubahan orientasi faktor-faktor produksi nelayan. Kebijakan infrastruktur dalam BLM-PUMP merupakan manifestasi program peningkatan kesejahteraan berbasis aset. Dalam proses pembangunan masyarakat yang menyangkut unsur perubahan dan pembaharuan, paling tidak ada dua pihak yang berperan, yakni pihak dari luar komunitas dan masyarakat, dalam hal ini adalah pemerintah dengan berbagai instrumen kelembagaan dan program-program, serta pihak internal yakni komunitas atau masyarakat itu sendiri (Soetomo, 2009:235). Infrastruktur, merupakan komponen vital dalam pembangunan. Pengadaan infrastruktur oleh pemerintah sangat penting guna mengurangi tekanan ekonomi yang dialami nelayan dari aktor ekonomi lain, khususnya tokeh. Dalam pandangan developmentalis, infrastruktur merupakan prasyarat utama dalam pembangunan. Infrastruktur berguna dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat sebagai objek pembangunan. Hal yang terpenting dari infrastruktur nelayan meliputi infrastruktur penangkapan dan penjualan. Infrastruktur penangkapan berupa perahu motor, peralatan tangkap, perbengkelan dan penyediaan kebutuhan nelayan lain. Infrastruktur penjualan yang terpenting adalah keberadaan TPI. Infrastruktur penangkapan dan penjualan nelayan berguna dalam proses restrukturisasi ekonomi nelayan dalam mengurangi tingkat ketergantungan terhadap tengkulak. Pada dasarnya, masyarakat nelayan identik dengan masyarakat patron-klien. Jika nelayan menguasai lautan, maka patron pada umumnya menguasai pasar dari penjualan tangkapan nelayan (Kusnadi, 33: 2013).
1.6.2.2. Kapasitas Kapasitas merupakan implikasi proses sosial budaya di dalam masyarakat. Oleh karena itu pembangunan masyarakat harus berorientasi pada kapasitas individu sebagai aktor yang membentuk masyarakat. Pembangunan kapasitas dapat berupa pengembangan wawasan dan peningkatan pengetahuan untuk merespons dinamika lingkungan, peningkatan
17
skill, peningkatan akses terhadap informasi, dan peningkatan akses terhadap pengambilan keputusan (Soetomo, 2009: 252). Pandangan lain mengenai kapasitas merujuk pada bentuk intangible asset berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman yang berguna dalam pekerjaan dan menumbuhkan ide dalam menghadapi berbagai tantangan (Sherraden, 2006:137). Human capital atau yang dalam pembahasan ini disebut dengan kapasitas personal sangat penting menunjang proses ekonomi, khususnya sebagai daya tanggap atau respon terhadap berbagai tantangan dan peluang yang dihadapi. Kapasitas terkait dengan kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kondisi baik potensi atau masalah yang berorientasi pada pemecahan masalah. Pengambangan kapasitas mengandung tiga unsur pokok yakni pengembangan sumber daya manusia, pengembangan institusional, dan pengembangan organisasional (Soetomo, 2009: 255). Masing-masing unsur tersebut akan menghasilkan out put berupa
kapasitas personal,
kapasitas komunitas dan kapasitas sistem. Bekerjanya ketiga aspek tersebut akan mempengaruhi respon dan adaptasi terhadap suatu kebijakan. Adapun konsep kapasitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah kapasitas sebagai bentuk aset tidak nyata (intangible asset) menurut Sherraden.
1.6.2.3. Jejaring ekonomi Aspek jejaring ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan keseluruhan dari sistem permodalan hingga jaringan pemasaran yang mengakomodir penjualan hasil tangkapan nelayan. Fleksibilitas jejaring ekonomi tersebut dalam usaha perikanan dipengaruhi oleh pengaturan sumber daya potensial. Seseorang atau kelompok yang memiliki sumber daya memiliki kontrol, kekuatan mengikat kelompok kecil, dan peluang lebih besar terhadap keuntungan dalam jaringan pemasaran (Rudiatin, 1997: 12). Menurut Eisenstadt dan Roniger pola jaringan ekonomi nelayan pada umumnya terbagi menjadi dua bentuk, yakni jaringan secara vertikal yang membentuk hubungan patron-klien, jaringan secara horizontal yakni membentuk hubungan pertemanan, serta variasi dari pola tersebut berupa hubungan ketetanggaan dan brokerage (dalam Rudiatin, 1997: 20). Sejauh ini proses pembangunan terdapat kecenderungan dilaksanakan oleh aktor 18
informal (secara vertikal) yakni keberadaan tengkulak dan penampung ikan. Keberadaan tengkulak tersebut telah mampu mengakuisisi pembangunan pemerintah yang berimplikasi pada nelayan tidak mampu mengoptimalkan potensi hasil tangkapan. Proses akuisisi pembangunan ini merupakan proses distribusi pelayanan terhadap nelayan dengan penyediaan infrastruktur tangkapan seperti alat tangkap dan perahu motor dan modal melaut sekaligus sebagai jaringan pemasaran. Pola jaringan ekonomi yang berbentuk patron-klien pada umumnya diatur oleh mekanisme pasar yang menjalankan regulasi berdasarkan hak istimewa (privelese) bagi pemilik sumber daya, sedangkan nelayan cenderung terabaikan (Siswanto, 2008: 80). Faktor utama yang menyebabkan penguasaan jejaring ekonomi oleh tengkulak adalah ketimpangan kepemilikan sumber daya. Selama ini ketidakberdayaan nelayan dikarenakan lemahnya penguasaan modal, tidak memiliki akses terhadap pasar, hingga tidak adanya infrastruktur yang mengakomodir nelayan. Ketergantungan nelayan dalam jejaring ekonomi kepada tengkulak berimplikasi terhadap rendahnya bargaining position nelayan dalam penentuan harga. Oleh karena itu, proses kemiskinan nelayan tidak semata berkaitan oleh faktor internal kapasitas nelayan, namun juga akibat relasi yang tidak seimbang tersebut (Yustika, 2003: 68).
1.6.3. Pemberdayaan dan Partisipasi dalam BLM-PUMP Kondisi infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi yang menentukan kinerja organisasi KUB perlu ditunjang dengan aspek pemberdayaan nelayan. Hal ini mutlak dilakukan mengingat nelayan sebelum tergabung dalam organisasi KUB cenderung bergantung kepada tokeh. Pemberian bantuan infrastruktur alat tangkap sebagai aset produktif nelayan pada dasarnya merupakan startegi distribusi faktor produksi yang diharapkan dapat memutus mata rantai ketergantungan. Namun demikian, perlu ada usaha menghidupkan kelembagaan KUB, guna mendukung usaha transformasi dari tokeh selaku pranata ekonomi nelayan menjadi KUB sebagai pranata ekonomi nelayan. Dalam konsep pemberdayaan termuat makna menghilangkan ketergantungan dari aktor-aktor eksternal pembangunan. Ketergantungan tersebut dapat hilang dengan mengikuti empat proses pemberdayaan dalam mengatasi kemiskinan, yakni pertama, menghilangkan 19
rasa ketidakberdayaan dan meningkatkan kesadaran kritis atas posisi dalam struktur sosial masyarakat. Kedua, memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif. Ketiga, menumbuhkan rasa kebersamaan dalam mengubah nasib kemiskinan. Keempat ikut terlibat secara penuh dalam setiap realisasi program dan kebijakan (Nugroho, 1995: 34-35). Dalam pemberdayaan masyarakat nelayan, harus benar-benar mempertimbangkan kategori atau jenis nelayan. Didalam pemberdayaan, tidak mungkin permasalahan yang beragam dipecahkan secara seragam. Oleh karena itu, model-model pemberdayaan dalam setiap kebijakan yang dijalankan pada masyarakat nelayan harus bersifat bottom up dan open menu. Prinsip kebijakan dalam pemberdayaan adalah proses dimana anggota suatu masyarakat, meningkatkan kapasitas personal dan institusional mereka untuk mengelola sumberdaya guna menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi sendiri (Alfitri, 2006: 28-29). Dalam pelaksanaan Program BLM-PUMP mengedepankan aspek pemberdayaan dan partisipasi nelayan. Pada dasarnya setiap program pengentasan kemiskinan harus mendukung dan menunjang berkembangnya potensi masyarakat melalui peranserta, produktivitas dan efesiensi, pengentasan kemiskinan yang dilakukan secara bertahap, berkelanjutan dan terpadu didasarkan pada prinsip kemandirian, yakni bagaimana agar masyarakat miskin dapat menolong diri mereka sendiri (Sumodiningrat, 1998:37). Program BLM-PUMP ditujukan guna mendorong kemandirian ekonomi nelayan, dalam wadah kelembagaan yakni Kelompok Usaha Bersama (KUB) sebagai sasaran program, bukan individu. Melalui KUB sebagai media kelembagaan atau pranata ekonomi nelayan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas nelayan dalam hal keorganisasian yang berguna secara sosial dan ekonomi. Kelompok Usaha Bersama merupakan wahana yang idealnya dapat mengakomodir akses pertukaran informasi pasar (jejaring ekonomi) guna meningkatkan nilai jual hasil tangkapan nelayan. Selain itu, pertukaran teknologi maupun penyediaan infrastruktur guna mencapai efektifitas dan efesiensi kerja, serta KUB sebagai titik tolak akses terhadap permodalan. Program BLM-PUMP sebagai kebijakan pembangunan masyarakat nelayan secara langsung diarahkan pada usaha untuk mencapai akses terhadap sumber-sumber ekonomi 20
yang akan berdampak pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi masyarakat nelayan hingga bisa keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu, program BLM-PUMP berusaha menyentuh masalah esensial nelayan yakni memberi stimulus terhadap usaha-usaha meningkatkan aset dan kapasitas masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB). Skema : Alur Kerangka Berfikir BLM-PUMP sebagai Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Aset Kemiskinan Nelayan
BLM-PUMP Struktur Ekonomi Nelayan
Relasi dependensi nelayan dengan tokeh atau penampung pemilik modal
1 KUB Dapatkah KUB Mandiri ???
1. Pemberian Infarstruktur alat tangkap sebagai aset produktif nelayan. 2. Kelembagaan KUB yang diharapkan sebagai pranata ekonomi nelayan yang mandiri.
Pemberdayaan 1. Keterbatasan kepemilikan alat tangkap. 2. Resiko ketidakmenentuan hasil tangkapan. 3. Ketergantungan permodalan dan pemasaran.
Permodalan dan pemasaran merupakan domain ekonomi yang dikuasai oleh pemilik modal baik berupa tokeh atau penampung
Jika gagal, organisasi KUB tidak akan berjalan, KUB gagal menjadi pranata ekonomi nelayan, dan kembali pada tokeh sebagai pranata ekonomi lokal.
1. Pendayagunaan infrastruktur alat tangkap secara kolektif dan terkoordinir dalam KUB. 2. Kapasitas (personal, komunitas dan sistem ) dalam KUB memadai. 3. Jejaring ekonomi yang konstruktif melalui reoreintasi pola permodalan dan pemasaran guna memutuskan mata rantai ketergantungan dari tokeh.
Jika berhasil, organisasi KUB akan berjalan, dan menjadi pranata ekonomi nelayan yang mandiri.
Keterangan skema 1.1 : - Alur kerangka berfikir dimulai dari keterbatasan nelayan di kolom kiri bawah. 21
- Lingkaran besar menunjukkan struktur ekonomi dimana terdapat relasi dependensi nelayan terhadap tokeh dalam permodalan dan pemasaran. - Lingkaran kecil menunjukkan KUB yang berada dalam struktur ekonomi yang identik dengan relasi dependensi. - Kolom pojok kanan bawah merupakan proses akhir yang menunjukkan keberhasilan pemanfaatan BLM-PUMP secara kelembagaan. - Kolom tengah bawah menunjukkan kegagalan pemanfaatan BLM-PUMP secara kelembagaan dan kembali ke struktur ekonomi dimana tokeh menjadi pranata ekonomi nelayan.
1.7. Metode Penelitian 1.7. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lima Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang tersebar pada empat desa yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Empat desa tersebut adalah Desa Lahang Baru (KUB Karya Baru dan KUB Karya Maju), Desa Simpang Tiga (KUB Sejahtera), Desa Panglima Raja (KUB Bawal), dan Desa Concong Luar (KUB Tenggiri). Pemilihan empat desa tersebut sebagai lokasi penelitian didasari pada karakteristik perairan tangkap yakni perairan umum dan perairan pesisir. Bentuk perairan tangkap tersebut pada dasarnya membentuk karakteristik aktivitas nelayan yang berbeda. Perairan pesisir umumnya merupakan desa nelayan, yang mayoritas penduduknya memanfaatkan sektor perikanan sebagai sumber mata pencaharian. Sedangkan wilayah perairan umum pada umumnya merupakan desa dimana aktivitas ekonomi sebagai nelayan hanya ditekuni oleh sebagian kecil masyarakat saja, karena hanya sebatas pemanfaatan sungai dan parit. Perbedaan karakter perairan tangkap tersebut bertujuan untuk mengakomodir variasi dan dinamika pemanfaatan BLM-PUMP pada KUB yang memiliki perbedaan karakteristik perairan tangkap, dengan pola aktivitas nelayan yang berbeda. Keragaman pola aktivitas nelayan tersebut akan mempengaruhi bentuk dan usaha pemanfaatan BLM-PUMP dalam menjalankan organisasi KUB. Dalam penelitian ini, Desa Lahang Baru dan Desa Simpang Tiga merupakan desa dengan karakteristik perairan umum dan Desa Panglima Raja dan Desa Concong Luar merupakan desa dengan karakteristik perairan pesisir. Pemilihan Lima KUB sebagai objek penelitian ini dilakukan atas pertimbangan dan masukan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hilir, yang mana 22
berdasarkan sebaran alokasi pemohon dan penerima BLM-PUMP 2012, empat desa tersebut merupakan desa dengan jumlah pemohon dan penerima BLM-PUMP rata-rata terbanyak. Dengan standarisasi pemohon dan penerima BLM-PUMP harus telah didirikan dan beraktivitas organisasi selama satu tahun, semestinya telah terbentuk dinamika organisasi pada KUB-KUB tersebut. Namun, dalam realitas pemanfaatan BLM-PUMP pasca bantuan disalurkan, jumlah pemohon dan penerima BLM-PUMP yang diasumsikan menentukan kompetitifitas KUB tidak berbanding lurus dengan kinerja organisasi KUB. Hal tersebut menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui aspek-aspek penentu kinerja organisasi KUB, yakni mengenai infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi pada setiap KUB.
I. 7.2. Kebutuhan dan Jenis Data Kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan merupakan sebuah realitas umum yang terjadi di kalangan nelayan. Melekatnya kemiskinan di kalangan nelayan banyak dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan struktur sosial yang mengalami kesenjangan antara pemilik modal dan nelayan yang tidak memiliki modal. Secara umum realitas ketimpangan struktur permodalan dominan terjadi pada nelayan yang berada pada perairan dibandingkan dengan nelayan yang berada pada wilayah perairan umum. Kondisi ini berimplikasi terhadap dinamika nelayan dalam organisasi KUB. Terkait hal tersebut peneliti berasumsi perlu ada usaha yang logis, sistematis dan kompeherensif dalam memahami pemanfaatan program BLM-PUMP berdasarkann realitas struktur ekonomi dan struktur sosial yang berbeda. Kemiskinan yang begitu identik dengan nelayan, tidak terlepas dari kondisi infrastruktur, kapasitas, dan jejaring ekonomi yang identik dikuasai oleh tokeh. Program BLM-PUMP sebagai program yang mendorong tumbuhnya wahana kelembagaan nelayan benar-benar harus mempertimbangkan kondisi pranata informal yang telah mengakar tersebut. Penetrasi program PUMP dan kondisi pranata ekonomi yang sebelumnya dikuasai oleh tokeh disinyalir akan menjadi tantangan dalam pemanfaatan program BLM-PUMP oleh KUB. Paling tidak, keberadaan program BLM-PUMP akan mengubah atau mempengaruhi aspek infrastruktur, kapasitas, dan jejaring ekonomi nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan.
23
Guna mengetahui bagaimana pelaksanaan dan pemanfaatan program BLM-PUMP dalam KUB, maka akan dihimpun informasi berupa penjelasan, pengalaman dan pengetahuan pengurus dan nelayan yang tergabung dalam KUB pemanfaat BLM-PUMP tahun 2012. Guna mendalami berbagai informasi relevan, dipergunakan teknik penelitian kualitatif deskriptif dalam menghimpun informasi mengenai pemanfaatan program BLMPUMP dalam KUB serta kondisi infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi yang mendukung dalam pemanfaatan BLM-PUMP dalam KUB. Deskripsi tersebut ditujukan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan berdasarkan aspek-aspek relevan yang menentukan keberhasilan dalam pemanfaatan BLM-PUMP, yakni infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi. Lalu, dilihat tendensi-tendensi, hingga diinterpretasikan guna melihat penyebab terjadinya tendensi sebagai faktor penentu kinerja organisasi KUB. Keseluruhan data yang didapat dari informan diinterpretasikan. Melalui proses tersebut, diharapkan dapat disusun pengetahuan yang bersifat ideografik (Mantra, 2008: 28).
1.7.3. Unit Analisis dan Informan Penelitian Dalam penelitian ilmu sosial terdapat beberapa lingkup objek penelitian yang berguna memfokuskan kajian penelitian. Lingkup objek penelitian yang disebut pula dengan unit analisis yang dapat berupa unit mikro, meso hingga makro. Lingkup analisis akan berkonsekuensi terhadap ruang lingkup informasi penelitian yang akan dicari dan kesimpulan yang akan diambil. Pada dasarnya unit analisis menentukan kompleksitas penelitian. Pada penelitian ini yang menjadi unit analisis penelitian berupa kelompok, yakni Kelompok Usaha Bersama (KUB) selaku pemanfaat BLM-PUMP. Sasaran program BLM-PUMP adalah kelompok (Kelompok Usaha Bersama). Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba memahami nelayan dalam kaitannya dengan keanggotaannya di dalam KUB. Dalam kajian sosiologis, kolompok keorganisasian dipandang sebagai sistem kesatuan interaksi yang permanen, dan berorientasi pada tujuan bersama. Sehingga memahami pemanfaatan BLM-PUMP pada KUB berarti memahami nelayan sebagai unit integral dalam kelompok. Melalui unit analisis kelompok diharapkan dapat memahami secara mendalam berbagai kondisi infrastruktur, kapasitas (personal, komunitas dan sistem), serta jejaring 24
ekonomi yang mempengaruhi dinamika pemanfaatan BLM-PUMP pada KUB. Pemahaman mendalam pada tingkat kelompok atau KUB ini disesuaikan pula dengan dua tipologi perairan tangkap nelayan yang diharapkan dapat mengakomodir berbagai perbedaan struktur ekonomi dan struktur sosial nelayan dalam pemanfaatan BLM-PUMP di Kabupaten Indragiri Hilir. Informan dalam penelitian ini ditetapkan secara purposive yakni dengan menetapkan kriteria keterlibatan nelayan dalam organisasi KUB. Teknik pemilihan informan dilakukan dengan mengidentifikasi nelayan yang tergabung pada KUB yang mengetahui dan terlibat baik secara aktif yang termanifestasi dalam kepengurusan KUB, maupun nelayan anggota sebagai pemanfaat BLM-PUMP. Adapun Kriteria informan yang akan dijadikan sumber informasi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Informan kunci (Key informant) yakni informan yang mengetahui dan menguasai berbagai informasi keorganisasian KUB dalam pemanfaatan BLM-PUMP. Informan kunci ini berupa nelayan yang tergabung dalam kepengurusan KUB, baik berupa ketua, sekretaris, bendahara dan pihak-pihak yang termuat dalam struktur organisasi KUB, maupun nelayan anggota KUB yang secara langsung terlibat sebagai pemanfaat BLM-PUMP dalam KUB. 2. Informan tambahan yaitu pihak pelaksana (operator) program sebagai pemangku tanggung jawab dalam penyaluran BLM-PUMP di tingkat kabupaten. Informan tambahan merupakan Tim Teknis Pelaksana Program BLM-PUMP terdiri atas ketua (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan), sekretaris (Kepala Bidang Perairan dan Masalah Pesisir), dan anggota PPTK (Pendamping Perikanan Tenaga Kontrak). Informan dalam penelitian ini tersebar dalam lima KUB yang terdapat di empat desa. Pemilihan KUB didasarkan pada representatifitas atas dua tipologi perairan tangkap nelayan, yakni perairan pesisir dan perairan umum. Penetapan informan pada tiap-tiap KUB diutamakan nelayan pengurus KUB, baik berupa ketua, sekretaris dan bendahara. Tujuannya adalah sebagai langkah awal dalam menggali informasi pemanfaatan program dalam KUB. Informasi awal pemanfaatan BLM-PUMP ditekankan pada usaha dan kegiatan KUB dalam menjaga keberlangsungan kegiatan keorganisasian KUB pasca mendapatkan bantuan. 25
Informasi tersebut berguna untuk mendalami kondisi infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi KUB yang akan berdampak pada keberhasilan pemanfaatan BLM-PUMP oleh KUB. Adapun rincian informan kunci penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut: No
Nama
KUB
Keterangan
1
Ruzi
Karya Maju
Ketua
2
Nuar
Karya Baru
Ketua
3
Rosnawi
Karya Baru
Koordinator
4
Mustafa
Karya Baru
Sekretaris
5 6 7 8 9
Syafarudin M. Ilyas Syahmunir Mulyadi Herman
Karya Baru Sejahtera Sejahtera Bawal Tenggiri
Anggota Ketua Anggota Ketua Ketua
Dalam proses pengumpulan informasi, peneliti berfokus pada pengurus KUB dengan tujuan mengetahui pemanfaatan BLM-PUMP dalam KUB khususnya mengenai aktivitas keorganisasian KUB pasca mendapatkan bantuan. Aspek ini perlu didalami guna proses lebih lanjut yakni mengidentifikasi kondisi infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi yang berdampak pada bentuk pemanfaatan BLM-PUMP oleh KUB. Pada beberapa KUB, pendalaman informasi aktivitas KUB hanya dilakukan pada Ketua KUB sebagai informan tunggal. Hal ini disebabkan dalam penelusuran pada beberapa informan yang juga merupakan nelayan anggota KUB mengungkapkan informasi yang sama. Hal tersebut terjadi dikarenakan pada beberapa KUB, pemilihan keanggotaan KUB didasarkan pada ikatan kekeluargaan sehingga kecenderungan sikap, pemahaman dan aktivitas yang sama antara pengurus dan nelayan anggota. Guna mendapatkan informasi yang mendalam mengenai pengalokasian dana BLMPUMP di tingkat kabupaten, maka ditetapkan pula informan tambahan, yakni pihak Dinas Kelautan dan Perikanan, khususnya Tim Teknis Pelaksana Program BLM-PUMP. Adapun rincian informan tambahan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut:
26
No
Nama
Keterangan
1
Marduan
Sekretaris Tim Teknis Pelaksana BLM-PUMP
2
Burhanudin
Anggota Pendamping Perikanan Tenaga Kontrak
Penetapan Informan tambahan tersebut diperlukan dalam menghimpun informasi yang berkaitan dengan proses penyaluran BLM-PUMP yang terdiri atas pelaksanaan, pengelolaan dan capaian-capaian KUB pemanfaat BLM-PUMP. Informan tambahan berguna sebagai bagian dari triangulasi data. Melalui Tim Teknis digali informasi yang berfungsi sebagai kroscek data yang didapat dari pengurus dan nelayan KUB. Dalam struktur organisasi KUB, telah diatur arus pertanggungjawaban dari KUB kepada Tim Teknis, yakni berupa laporan bulanan data produksi dan data penghasilan serta laporan aktivitas keorganisasian KUB. Oleh karena itu, berbagai informasi keorganisasian yang didapatkan dari KUB akan diselaraskan dengan informasi yang didapat dari Tim Teknis. Hal ini diharapkan dapat menunjang kualitas dan validitas data.
1.7.4. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dibedakan atas dua kategori, yakni: 1. Sumber data primer, yaitu sumber data utama dari informan penelitian yang memiliki pengetahuan mengenai pemanfaatan BLM-PUMP dalam KUB. Sumber data primer berupa Tim Teknis Pelaksana Program BLM-PUMP, dan nelayan anggota KUB selaku pemanfaat. Data yang didalami berupa informasi mengenai bagaimana cara KUB memanfaatkan BLM-PUMP dimulai dari pembentukan KUB, penyusunan RUB, kegiatan keorganisasian pasca mendapatkan bantuan, hingga mendalami informasi tentang infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi dalam KUB. Sedangkan data yang bersumber dari Tim Teknis akan berfokus pada pelaksanaan program BLM-PUMP secara umum, hambatan dan tantangan, capaian, dan berbagai aspek teknis pengalokasian BLM-PUMP. 2. Sumber data sekunder didapat melalui pemanfaatan sumber-sumber tertulis seperti buku, dokumen yang didapat dalam penelitian. Sumber data sekunder ini terdiri atas, 27
dokumen yang didapat dari Tim Teknis yang berupa Profil KUB pemanfaat BLMPUMP, laporan pertanggungjawaban penyaluran BLM-PUMP, data produksi dan data penghasilan KUB, dan dokumentasi pembinaan KUB. Melalui KUB didapat pula data sekunder berupa, laporan produksi dan penghasilan bulanan, struktur keorganisasian KUB, catatan administrasi KUB, dan dokumentasi KUB. Data sekunder juga didukung hasil publikasi hasil penelitian, artikel, data statistik dan monografi lokasi penelitian.
1.7.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data disesuaikan dengan jenis data yang ingin dikumpulkan. Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu : 1. Wawancara mendalam. Wawancara dilakukan baik dengan wawancara tidak terstruktur,
yakni
melalui
pertanyaan
dalam
percakapan
informal
sambil
mengungkapkan secara rinci dan mendalam informasi yang diungkapkan informan. Teknik wawancara terstruktur dilakukan dengan wawancara yang disesuaikan dengan seperangkat pertanyaan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga berfokus pada permasalahan yang ingin diungkapkan oleh peneliti. Wawancara ini penting dilakukan untuk mengungkapkan seputar pemanfaatan Program BLMPUMP serta terkait kondisi infrastruktur alat tangkap, serta menemukan pola umum dari jejaring ekonomi hingga permasalahan kapasitas nelayan. 2. Observasi. Teknik ini bertujuan untuk mengungkap berbagai informasi yang tidak dapat terakomodir melalui pendayagunaan instrumen pedoman wawancara. Realiatas yang diobservasi berfokus pada aktivitas keseharian dalam keorganisasian KUB dan aktivitas keseharian nelayan. Melalui teknik ini dapat ditelusuri kapasitas baik pada level personal, komunitas, dan sistem. hal ini berupa keadaan fisik seperti sekretariat KUB, 3. Dokumentasi dilakukan guna mendapatkan gambaran visual mengenai kondisi fisik infrastruktur alat tangkap nelayan, dan akivitas keorganisasian KUB. Teknik ini memanfaatkan data monografi desa, notulen dan dokumentasi aktivitas KUB yang
28
terdiri atas struktur keorganisasian, catatan dan laporan produksi dan penghasilan nelayan. 4. Kepustakaan, yakni guna pendalaman terhadap buku-buku (referensi) untuk memilih sebuah konsep, teori dan pengertian-pengertian yang dibutuhkan sebagai landasan teori dalam penelitian.
1.7.6. Teknik Analisis Data Analisis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Analisis data pada penelitian kualitatif ini dilakukan dengan penggabungan data primer dan sekunder yang kemudian diklasifikasikan, yang selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan konsep teoritik yang dipergunakan. Analisis data dimulai dari proses pengumpulan, reduksi data, penyajian dan verifikasi data (Miles & Huberman, 1992: 18). Adapun proses analisis data dilakukan memelaui tahapan berikut: 1. Tahap reduksi data, yakni dengan memilah data primer dan data sekunder yang relevan dengan aspek yang ingin dikaji dan didalami pada penelitian. Pada tahap ini peneliti terlebih dahulu melakukan transkrip hasil wawancara, observasi dan menyesuaikannya dengan berbagai data sekunder berupa dokumen yang didapat. Hasil pemilahan data tersebut kemudian dibuat kategorisasi guna memfokuskan aspek yang dikaji sesuai domain yang ditentukan, yakni mengenai kondisi Infrastruktur, kapasitas dan jejaring ekonomi dalam pemanfaatan BLM-PUMP oleh KUB. 2. Tahap penyajian data, yaitu penulisan hasil reduksi data secara teks naratif, tabel, skema dan gambar sesuai kategori yang ingin ditampilkan dalam laporan penelitian. Data disajikan secara sistematis, agar mudah dipahami dan mudah ditarik kesimpulan. 3. Tahap verifikasi, yakni proses akhir dalam analisis dengan menarik kesimpulan melalui interpretasi tendensi-tendensi data sesuai hasil reduksi berdasarkan kerangka teoritik yang dibangun. Kesimpulan tersebut dibuat dengan memberikan deskripsi kemungkinan implikasi berdasarkan temuan-temuan dari aspek yang disampaikan.
29
Hal ini akan bedampak tidak hanya pada masukan terhadap proses penelitian berikutnya, namun juga terhadap kritik teori yang digunakan.
30