BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Dalam ilmu politik, karakter terkecil dari kegiatan politik biasanya terdiri dari tiga orang yang berinteraksi. Kenapa tiga orang dan bukan dua? Dalam hubungan dua orang, interaksinya bersifat langsung: ”aku” berinteraksi dengan ”aku kedua”. Sedangkan pada hubungan tiga orang, ia memiliki semua karakteristik yang dimiliki dua orang; dan dengan ditambahkan ”aktor ketiga”, suasana menjadi lebih kompleks. Ada lompatan jumlah nuansa ungkapan dan makna. Pada tataran ini, ada kemungkinan dua aktor akan bersekongkol melawan aktor ketiga. Politik berkembang apabila seseorang aktor diberikan kesempatan untuk mewasiti dua atau lebih aktor lain; sebuah situasi dimana dua aktor dapat mengurangi kekuasaan aktor lain. Ini memperlihatkan adanya suatu hubungan yang melibatkan peran ”penguasa” dan ”yang dikuasai”, sekalipun tingkat interaksi itu sangat informal. Secara interaksional, ia memang berada pada domain komunikasi. Namun, pada saat yang sama, komunikasi politik telah menjembatani dua disiplin dalam ilmu sosial: komunikasi dan politik. Setiap sistem politik, sosialisasi dan perekrutan politik, kelompok-kelompok kepentingan, penguasa, peraturan, dan sebagainya dianggap bermuatan komunikasi.
1
Sebab, jika fenomena politik hanya hendak dilihat dari kacamata interaksi, sebenarnya ia sudah cukup bisa didekati dengan komunikasi yang mengandung banyak varian di tubuhnya, seperti dramaturgi, cultural studies, interaksionisme simbolik, etnometodologi, semiotika, dekonstruksi, ataupun agains method-nya Paul Feyerabend. Di zaman dimana ilmu saling silang bersilang, lintas batas, zamanlah yang menentukan apakah komunikasi politik sebagai bagian dari ilmu pengetahuan bisa bertahan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan dan pencarian kebenaran, bukan dalam sebuah jendela dari sekian banyak jendela untuk melihat suatu realitas fisik yang tunggal, tetapi dalam sebuah dunia yang egaliter dan pluralitas yang rendah hati. Politik seperti halnya komunikasi adalah proses, politik melibatkan pembicaraan. Pembicaraan ini bukan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol, kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian (Nimmo, 2000:8). Ilmuwan politik Mark Roeloffs mengatakan dengan cara sederhana, politik adalah pembicaraan; atau lebih tepat kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. Ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi ”hakikat pengalaman politik dan bukan hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa politik adalah kegiatan komunikasi antar orang-orang, (Roelofs dalam Nimmo, 2000:8).
2
Beberapa ilmuwan melihat komunikasi politik sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan politik. Karena itu komunikasi politik dianggap memiliki fungsi yang sangat istimewa karena meletakkan basis untuk menganalisis permasalahan yang muncul dan berkembang dalam keseluruhan proses dan perubahan politik suatu bangsa. Bahkan Plano (Mulyana, 2007:29) melihat bahwa ”komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Komisi untuk studi masalah komunikasi yang dibentuk oleh UNESCO pada tahun 1980 menyelenggarakan sebuah kajian yang menghasilkan sebuah rekomendasi global yang diberi judul Many Voices One World atau Aneka Suara satu Dunia. Salah satu amatannya adalah pernyataan yang tegas bahwa komunikasi secara keseluruhan tidak dapat dimengerti apabila tidak dihubungkan dengan dimensi politik; masalah-masalahnya tidak dapat disesuaikan apabila tidak diperhatikan hubungan-hubungan politiknya. Kekuasaan adalah inti dari politik, karena kekuasaanlah yang menentukan apakah yang bersangkutan memang memegang ”kuasa” tersebut. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah dengan meletakkan komunikasi sebagai sebuah politik. Mengikuti Jurgen Habermas, teoritisi kritis dari Jerman, komunikasi adalah proses perebutan pengaruh yang paling demokratis yang pernah ada. Ada beberapa ”modal” untuk mempunyai kekuasaan. Beberapa yang cukup efektif adalah: Kekuatan fisik (termasuk militer), Uang (termasuk harta benda), Jabatan, Pemerasan.
3
Keempat ”modal” tersebut memang efektif dalam meraih kekuasaan, namun keempatnya adalah sarana yang tidak cukup fair dibanding komunikasi. Di dalam komunikasi mereka yang berebut kekuasaan harus mampu mempengaruhi orang banyak, baik dengan cara-cara yang karismatikal ataupun cara-cara yang intelektual. Disini kita melihat bahwa, komunikasi sebagai politik menjadi ”lahan” perebutan pemegang kekuasaan. Tak kurang dari akademisi Sibernetik yang mengabsahkan bahwa information is the power yang menegaskan bahwa penguasa informasi adalah pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Komunikasi dipahami sebagai sebuah media ( medium is the message ) untuk mengabsahkan kekuasaan. Selain daripada itu, Dan Nimmo mengatakan bahwa banyak aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi. Komunikasi politik adalah kegiatan komunikasi yang dinggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi-kondisi konflik (Nimmo, 2000:9). Sementara itu Gerceau (dalam Nimmo, 2000:21) mengatakan komunikasi politik merupakan proses politik, karena itu bisa dipahami dan dipelajari sebagai pola interaksi yang berganda, setara, bekerja sama, dan bersaingan yang menghubungkan warga negara partisipan yang aktif dalam posisi utama pembuat keputusan. Ia mengemukakan bahwa beberapa hubungan itu tak langsung tetapi merupakan reaksi berantai yang sinambung secara layak, membentengi seluruh jarak politik, namun banyak pola yang bermakna hanya membentang separuh
4
jalan, baik dari kutub atau segmen tanpa dampak yang mudah tampak pada setiap kutub itu. Bahkan pola-pola segmentasi ini saling lingkup dan perilaku kondisi serta hubungan pada segmen-segmen yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakan Pemerintah adalah pelaksanaan pemilu langsung, yang pertama kali dilaksanakan masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri yang di gelar “Orde Gotong Royong”, Pemilu langsung merupakan sejarah baru dalam perpolitikan Indonesia dan terutama bagi para pemilih. Pasalnya, baru pertama kali dilaksanakan dalam sistem pelaksanaan yang berbeda dengan sistem Pemilu-Pemilu sebelumnya. Keadaan pemilih di Kabupaten Konawe pada Pemilihan Legislatif yang menggunakan hak pilihnya adalah 150.802 ( 81% ) dan pada Pemilihan Presiden yang menggunakan hak pilihnya adalah 136.118 ( 72% ). Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Legislatif adalah 35.989 ( 19% ), dan pada Pemilihan Pesiden adalah 52.881 ( 28% ). Wajib pilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap pada Pemilihan Legislatif adalah 186.791 dan pada Pemilihan Presiden adalah 190.999. Pemilu 2014 jelas menunjukkan bahwa jumlah golput cukup tinggi. Terlepas dari persoalan golput, dari beberapa kali Pemilu sebelumnya, tampak masing-masing Parpol memperoleh dukungan suara yang cukup bervariasi dari basis massa yang terpola sebagaimana tesis pemilihan tiga aliran yang pernah
5
dikembangkan oleh Geertz sejak tiga puluh tahun yang lalu (Geertz, 1983). Dengan demikian, preferensi seseorang sebagai politisi dan pemilih, termasuk pemilih pemula terhadap sebuah Parpol dimaksud Geertz, tampak signifikan dengan latar dan identitas pemilih. Dalam proses dinamika sosial politik dan perubahan
budaya dengan
berbagai dampaknya dewasa ini, maka besar dugaan telah terjadi perubahan dalam konteks preferensi pemilih dan tingkat partisipasi publik. Dalam artian, preferensi seseorang terhadap Parpol tertentu, tidak lagi persis didasari oleh kerangka antropologis tiga pilah Geertz. Demikian pula tingkat partisipasi publik dalam menggunakan hak pilihannya, juga diduga mengalami pergeseran yang cukup signifikan antara kinerja aparat eksekutif dan legislatif dengan tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Dalam perspektif akademis, penggunaan hak memilih cenderung dipengaruhi oleh tiga macam teori voting yang dapat dikelompokkan dalam tiga mashaf besar, yakni: teori voting dari mashaf sosiologis, psikologis dan ekonomis atau rasional. Meskipun ketiga pendekatan tersebut masing-masing berbeda dalam melihat perilaku pemilih dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya (Kristiadi, 1996, Nadjib, 1999; Supriyanto, 2004). Demikian pula tingkat partisipasi
publik
dalam
mengikuti
dinamika
politik
dengan
berbagai
konstalasinya. Oleh karena itu, penting dilakukan riset oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe untuk mengetahui tingkat rasionalitas pemilih dalam memilih pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden pada tahun 2014.
6
1.2.RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam riset ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pemilih di Kabupaten Konawe pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014. 1.3. TUJUAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi Perilaku Pemilih di Kabupaten Konawe pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil kajian tersebut adalah menjadi kontribusi penting bagi pengembangan kajian ilmu sosial, terutama kajian dalam perspektif sosio kultural yang selain dapat menambah khasanah kepustakaan, juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti selanjutnya yang bermaksud mengkaji lebih jauh perihal Pemilu dan polarisasi perilaku pemilih. Dan tentu saja secara praktikal, hasil penelitian sangat berguna bagi konstituen, elite politik lokal, Parpol, KPU Kabupaten Konawe dalam rangka upaya merancang pelaksanaan Pemilu ke depan yang lebih baik lagi agar tingkat partisipasi pemilih semakin meningkat. 1.4. TINJAUAN PUSTAKA 1.4.1. Perilaku Sebagai Tindakan Sosial Perilaku politik dalam sudut pandang sosiologi dapat dikategorisasikan sebagai salah satu bentuk atau wujud perilaku sosial, khususnya yang berkaitan dalam kehidupan politik. Menurut Weber bahwa tindakan sosial (social action)
7
adalah tindakan yang memiliki makna subjektif (a subjektive meaning) bagi dan dari aktor pelakunya (Johnson, 1985; Parsons, 1985; Nashir, 2000; Sanders,2004). Tindakan sosial itu adalah seluruh perilaku manusia yang memiliki arti subjektif dari yang melakukannya, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diutarakan secara lahir maupun secara diam-diam, yang oleh pelakunya diarahkan kepada tujuannya. Sehingga, tindakan sosial itu bukanlah perilaku yang kebetulan, tetapi yang terstruktur atau memiliki pola tertentu dan makna-makna tertentu. Weber secara khusus mengklasifikasikan tindakan sosial yang memiliki arti-arti subjektif itu ke dalam empat tipe. Pertama instrumentally rational (Zweckrational) yaitu tindakan yang ditentukan oleh harapan-harapan yang memiliki tujuan untuk menggapai sesuatu yang diinginkan. Kedua value rational (wertrational) yaitu tindakan yang didasari oleh keyakinan mengenai nilai-nilai yang penting seperti etika, estetika, agama dan lain-lainnya yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam kehidupannya. Ketiga, affectual (especially emmotional) yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi kejiwaan dan perasaan yang melakukannya. Dan keempat, traditional yaitu tindakan yang ditentukan kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging. Salah satu wujud dari perilaku sosial dalam kehidupan masyarakat adalah perilaku politik sebagai perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik, untuk membedakannya dari perilaku ekonomi, keluarga, agama dan budaya. Sedangkan politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
8
Para ilmuan politik kontemporer berpandangan bahwa politik ialah proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang mengikat bagi masyarakat. Dengan demikian, perilaku politik berarti suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses dan pelaksanaan keputusan politik bagi pemerintah dan masyarakat. Warga negara memang tidak memiliki fungsi menjalankan pemerintahan, tetapi mereka memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang menjalankan fungsi pemerintahan itu (Budiardjo, 1981; Surbakti, 1992). Di belakang setiap organisasi, kelompok dan lembaga-lembaga terdapat beberapa individu konkrit yang membuat pelbagai keputusan. Karenanya individu bukanlah subjek pasif yang semata-mata bereaksi terhadap nilai-nilai di luarnya dan kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya. Aktor-aktor itu juga tidak hanya tanggap terhadap struktur yang telah mapan, tetapi juga melakukan perubahan
pada kondisi-kondisi struktural itu. Karena itu, dalam memahami
kehidupan politik, maka diperlukan perhatian khusus pada nilai-nilai, motivasimotivasi dan persepsi individual dari aktor-aktor itu. Perilaku Politik adalah tindakan individual dan kelompok dalam melakukan tindakan-tindakan politik yang terkait dengan kesadaran dan tujuan politik dari aktor yang memainkannya. Bahkan tingkah laku politik merupakan hasil dari pertemuan faktor-faktor struktur kepribadian, keyakinan politik, tindakan politik individu dan struktur serta proses politik menyeluruh. Kesadaran yang dimaksud di sini adalah sebuah landasan ideologi yang tertuang dalam visimisi dari sebuah Partai Politik untuk diperjuangkan melalui taktik dan strategi tertentu. Karena itu seorang politisi, politikus dan politikolog akan berpikir dan
9
bertindak dalam kerangka landasan idealisme dan orientasi yang khas (Martin, 1993; Alfaruq, 2000). Yang pasti, keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi perilaku politik seseorang atau kelompok dapat dicermati dari adanya dua model analisis teori yang menelaah perilaku yang selama ini berkembang di Indonesia. Pertama, Geertz yang melihat pola perilaku politik dengan orientasi sosio-religius santri dan abangan. Kedua, model Jackson yang melihat faktor pola hubungan antara pemimpin dan pengikut dalam perilaku politik. Dalam pandangan sosiologis pengelompokan sosial mempengaruhi perilaku politik seseorang misalnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi, kelas sosial, agama dan ideologi (Geertz, 1983; Mulkhan, 1989; Taqwa, 1996; Nashir, 2000) Dengan demikian, tingkah laku politik tidak berdiri sendiri karena terkait dengan faktor-faktor lain yang melekat dalam suatu sistem politik. Ada empat faktor atau variabel yang berpengaruh. Pertama, kekuasaan yakni cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain melalui sumber-sumber di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat itu. Kedua, kelompok yakni tujuan-tujuan dikejar oleh perilaku-perilaku atau kelompok politik. Ketiga, kebijakan yakni hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan yang biasanya dalam bentuk perundang-undangan, dan keempat budaya politik yakni orientasi subjektif dari individu terhadap sistem politik. Sedangkan perilaku politik yang dilakukan oleh aktor, juga dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, lingkungan
10
sosial politik yang langsung mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama sekolah dan kelompok pergaulan. Ketika, struktur kepribadian tercermin dalam sikap individu. Dan keempat lingkungan politik langsung berupa situasi yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak dilakukan suatu kegiatan. 1.4.2. Perilaku Pemilih (Voting Behavior) Ada tiga macam teori voting yang dapat dikelompokkan dalam tiga mashaf besar, yakni: teori voting dari mashaf sosiologis, psikologis dan ekonomis atau rasional. Ketiga pendekatan tersebut masing-masing berbeda dalam melihat perilaku pemilih dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya (Kristiadi, 1996, Nadjib, 1999; Supriyanto, 2004). Pendekatan sosiologis dengan paradigma defenisi sosial sebagaimana diuraikan terdahulu tampak lebih komprehensif dan fleksibel, ketimbang paradigma fakta sosial yang cenderung deterministik, terutama pada Marxian dan Weberian. Marx yang terlalu menekankan pada peranan kelas sebagai faktor yang menentukan preferensi politik. Kemudian sangat dipercaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan pengelompokan politik, karena partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan sesuai dengan kepentingan ekonomi masing-masing. Untuk konteks Indonesia, maka refleksi peranan kelas dimaksud, mungkin ada pada pemilihan kelompok yang berkuasa yang disebut birokrat dan rakyat sebagai kelompok yang dikuasai serta pengelompokan secara primordial.
11
Sementara itu, pendekatan psikologis menekankan bahwa voting ditentukan oleh tiga aspek, yakni: keterikatan seseorang kepada partai politik tertentu, orientasi seseorang kepada calon Presiden, gubernur,bupati/walikota atau anggota parlemen dan orientasinya terhadap isu-isu politik. Dengan demikian, identifikasi kepartaian merupakan fokus utama pandangan psikologis dalam menjelaskan perilaku seseorang untuk memilih sebuah Parpol. Namun menurut Kristiadi bahwa studi-studi tentang voting yang dikembangkan atas dasar pendekatan kedua mashaf tersebut tampaknya kurang memuaskan para sarjana. Karena
itu beberapa sarjana lain
mencoba
mengembangkan teori voting dengan menggunakan pendekatan ekonomis atau rasional yang menekankan pemberian suara ditentukan berdasarkan untung rugi. Sementara kerangka tiga pilah Geertz sejak 30 tahun lalu tampak tidak faktual lagi. Hal ini selain karena faktor dinamika sosial dan perubahan budaya, juga karena ontologis kajian Geertz lebih terfokus pada budaya Jawa. Secara empirik, hal ini pun telah dibuktikan dengan sebuah hasil penelitian yang pernah dilakukan Taqwa (1996) tentang “Perilaku Politik Umat Islam”. Menurut Taqwa dalam studi kasusnya di Lekkong Enrekang bahwa gencarnya mobilisasi politik Golkar yang bersifat persuasif-intimidasi yang ditopang oleh ABRI ketika itu, telah mempercepat perubahan perilaku memilih dari PPP ke Golkar. Demikian pula dari hasil penelitian Peribadi dan Megawati (2004) tentang “Pemilu, Perilaku Politisi dan Preferensi Pemilih” di Kota Kendari yang dominan dipengaruhi oleh sikap dan perilaku pemilih serta unsur-unsur yang sifatnya pragmatis.
12
Uraian-uraian teoritis tersebut dapat ditandaskan bahwa perilaku Pemilih tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai unsur motivasi seseorang dalam memberikan suaranya. Perilaku Pemilih harus dilihat sebagai tindakan sosial dan variabel lainnya harus dilihat sebagai sistem sosial atau struktur sosial yang saling terkait. Variabel tersebut dapat diasumsikan fungsional terhadap perilaku Pemilih. Secara visual, hubungan multi-variabel dapat dilihat dalam bagan kerangka pemikiran berikut ini. 1.4.3. Komunikasi politik Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari di manapun mereka berada. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidak dapat di pungkiri dalam interaksi manusia. Dengan adanya komunikasi yang baik dalam suatu interaksi maka efektifitas kehidupan dapat berjalan lancar dan berhasil. Begitu juga sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi akan menghambat efektifitas yang diinginkan. Menurut Lexicographer (2006), komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan oleh keduanya. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi di antara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku, (dalam Zubair : 2008).
13
Ilmu komunikasi sebagai ilmu pengetahuan sosial yang bersifat multidisipliner, tidak bisa menghindari perspektif dari beberapa ahli yang tertarik pada kajian komunikasi, sehingga definisi dan pengertian komunikasi menjadi semakin banyak dan beragam. Masing-masing mempunyai penekanan arti, cakupan, konteks yang berbeda satu sama lain, tetapi pada dasarnya saling melengkapi
dan
menyempurnakan
makna
komunikasi
sejalan
dengan
perkembangan ilmu komunikasi. Menurut Frank E.X. Dance dalam bukunya Human Communication Theory terdapat 126 buah definisi tentang komunikasi yang diberikan oleh beberapa ahli dan dalam buku Sasa Djuarsa Sendjaja Pengantar Ilmu Komunikasi dijabarkan tujuh buah definisi yang dapat mewakili sudut pandang dan konteks pengertian komunikasi. Definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Komunikasi adalah suatu proses melalui seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Hovland, Janis & Kelley:1953 2. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain. Melalui penggunaan simbol-simbol seperti katakata, gambar-gambar, angka-angka dan lain-lain. Berelson dan Stainer, 1964 3. Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat
14
apa atau hasil apa? (Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?) Lasswell, 1960 4. Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih. Gode, 1959 5. Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego. Barnlund, 1964 6. Komunikasi adalah suatu proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan.Ruesch, 1957 7. Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya. Weaver, 1949, (dalam Zubair 2008). Kita lihat dari beberapa definisi tersebut saling melengkapi. Artinya Setiap pelaku komunikasi dengan demikian akan melakukan empat tindakan: membentuk, menyampaikan, menerima dan mengolah pesan. Keempat tindakan tersebut lazimnya terjadi secara berurutan. Membentuk pesan artinya menciptakan sesuatu ide atau gagasan. Ini terjadi dalam benak seseorang melalui proses kerja sistem syaraf. Pesan yang telah terbentuk ini kemudian disampaikan kepada orang lain. Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Bentuk dan mengirim pesan, seseorang akan menerima pesan yang disampaikan oleh orang lain. Pesan yang diterimanya ini kemudian akan diolah melalui sistem syaraf dan diinterpretasikan. Setelah diinterpretasikan, pesan tersebut dapat menimbulkan tanggapan atau reaksi dari orang tersebut. Apabila ini terjadi, maka si orang tersebut kembali akan
15
membentuk dan menyampaikan pesan baru. Demikianlah keempat tindakan ini akan terus-menerus terjadi secara berulang-ulang. Pesan adalah produk utama komunikasi. Pesan berupa lambang-lambang yang menjalankan ide/gagasan, sikap, perasaan, praktik atau tindakan. Bisa berbentuk kata-kata tertulis, lisan, gambar-gambar, angka-angka, benda, gerakgerik atau tingkah laku dan berbagai bentuk tanda-tanda lainnya. Komunikasi dapat terjadi dalam diri seseorang, antara dua orang, di antara beberapa orang atau banyak orang. Komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Artinya komunikasi yang dilakukan sesuai dengan keinginan dan kepentingan para pelakunya, (dalam Zubair : 2008). Pada perkembangannya, komunikasi juga melahirkan apa yang disebut komunikasi politik. Jika dilihat dari pengertian komunikasi di atas, tak heran jika ia sanggup merangkul studi politik. Namun, kenapa ia berada di bawah studi komunikasi dan tidak studi politik? kita harus melihat karakter ilmu politik itu terlebih dahulu. Secara formal objek komunikasi politik adalah dampak atau hasil yang bersifat politik (political outcomes) di samping sebagai salah satu fungsi yang menjadi syarat untuk berfungsinya sistem politik. Jika komunikasi politik dilihat sebagai jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik juga adalah proses penciptaan kebersamaan dalam makna (the commoness in meaning) tentang fakta dan peristiwa politik. Objek material komunikasi politik menurut Sartori (Mulyana, 2007:30) adalah: ”dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena politik dan dimensi politis
16
dari komunikasi” sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Gurevith dan Blumler (Mulyana, 2007:30) yang mengemukakan empat komponen dalam komunikasi
politik,
yaitu:
1.
Lembaga-lembaga
poltik
dalam
aspek
komunikasinya, 2. Institusi media dalam aspek politiknya, 3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi, dan 4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi. Komunikasi politik mempelajari mata rantai antara komunikasi dan politik atau jembatan metodologis antara disiplin komunikasi dan politik. Namun, jika disimak dari berbagai literatur, komunikasi politik telah menjadi kajian tersendiri sejak diakui oleh organisasi ilmiah International Communication Association bersama divisi lain, seperti divisi sistem informasi, komunikasi antar pribadi, komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya, komunikasi instruksional dan komunikasi kesehatan (Mulyana, 2007:29). Namun demikian, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki komunikasi politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Menurut Plano dkk (1989 dalam Kamus Analisa Politik) komunikasi politik adalah penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan
17
lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen. 1.4.4. Partisipasi Politik Secara khusus partisipasi diartikan sebagai penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan dalam pencapaian
tujuan
organisasi
serta
mengambil
bagian
dalam
setiap
pertanggungjawaban bersama (Lane,1971 dalam Rahman, 1998). Surbakti (1990) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum serta ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Beliau mengetengahkan dua pendekatan dalam melihat partisipasi politik, yakni: yang dominan melakukan kegiatan politik berdasarkan pendekatan kelembagaan adalah lembaga politik yang dilaksanakan oleh elit politik sesuai dengan peran dan fungsinya. Sedangkan berdasarkan pendekatan perilaku (behavioralisme), individulah yang secara aktual mengendalikan lembaga politik. Sehubungan dengan itu, Blau mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial yaitu pertama, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu tersebut. Tujuan yang
18
diinginkan itu dapat berupa ganjaran intrinsik (seperti kasih sayang, kepuasan dan kehormatan) atau ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang, atau jasa). Perilaku manusia yang di bimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu, mendasari pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial (Johnson, 1985; Poloma, 1987). Dengan demikian, berarti kepekaan, kepedulian dan partisipasi seseorang atau sekelompok orang dalam politik adalah didasari dengan kedua tujuan dimaksud Paling tidak, partisipasi politik oleh masyarakat dan pemerintah sebagai aktor didorong oleh empat faktor yaitu: pertama, adanya stimulus untuk berpartisipasi dari lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. Kedua, karakteristik seseorang yang bersumber dari lingkungan sosial politik yang secara langsung mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Ketiga, karakteristik kepribadian seseorang yang tercermin dari sikap individu, dan Keempat, lingkungan sosial politik langsung yang kondusif, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika handak melakukan suatu kegiatan (Budiarjo, 1981).
19
Bagan 1 : Kerangka Pemikiran
Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2014
Perilaku Pemilih Kabupaten Konawe
Penyelenggara Pemilu Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Daftar Pemilih Tetap Relawan Demokrasi
20
1.5. METODE PENELITIAN 1.5.1 Pendekatan Tipe penelitian yang digunakan adalah studi korelatif yang berusaha mencari akibat yang terjadi pada suatu variabel oleh adanya sebab dari variabel lain. 1.5.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, yang mengambil lokasi di 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Unaaha dan Kecamatan Lambuya. Dengan pertimbangan bahwa 4 Kecamatan tersebut mewakili 4 daerah pemilihan yang ada di kabupaten Konawe. 1.5.3 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 1.5.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah wajib pilih yang berada di Kabupaten Konawe yang berjumlah 186.791. 1.5.3.2 Teknik Penarikan Sampel Teknik penentuan sampel dilakukan dengan multi stage sampling karena akan membagi di 4 Kecamatan yang berada di 4 Daerah Pemilihan di Kabupaten Konawe yaitu Kecamatan Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Unaaha dan Kecamatan Lambuya. Untuk menentukan besarnya anggota sampel ditentukan dengan menggunakan Yamane ( Rakhmat, 1991:81 ).
21
n=N
N d 2+1
Keterangan : n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi D = 10 % dengantingkat kepercayaan 90 %
𝑛=
186.791 186.791 0,1 2 + 1
𝑛=
186.791 1.868,91
𝑛 = 99,94 Dengan demikian besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 100 wajib pilih sebagai responden. Sampel akan dibagi dalam 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sampara, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Unaaha dan Kecamatan Lambuya. 8.757
Kecamatan Sampara = 45.909 x 100 = 19 Orang Kecamatan Wonggeduku =
14.394 45.909
x 100 = 31 Orang
17.468
Kecamatan Unaaha = 45.909 x 100 = 38 Orang 5.290
Kecamatan Lambuya = 45.909 x 100 = 12 Orang
22
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah kuesioner dan dokumentasi. 1.5.5 Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif. Analisis yang dilakukan terhadap data responden kemudian hasilnya di deskripsikan untuk menjawab rumusan masalah. Analisis yang dilakukan adalah analisis tabel frekuensi dan persentase, kemudian analisis korelasi parsial. Untuk melihat bagaimana tingkat keeratan hubungan maka digunakan pedoman interpretasi koefisien korelasi dari Sugiyono (1994:149) yaitu pada tabel berikut ini. Tabel 1 : Pedoman Intrepretasi Korelasi Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat Rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000
Sangat Kuat
23
BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2.1. Profil Kabupaten Konawe Kabupaten Konawe secara geografis terletak pada 02o45 04o30 lintang selatan dan 121o15 123o15 bujur timur, dengan batas wilayah : Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Timur Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe Utara Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Konawe yang beribukota di Unaaha memiliki luas 679,245 Km2 yang terbagi dalam 375 Desa dan 30 Kecamatan, di antaranya Kecamatan Wawonii selatan, Kecamatan Wawonii Barat, Kecamatan Wawonii Tengah, Kecamatan Wawonii Timur, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kecamatan Wawonii Timur Laut, Kecamatan Wawonii
Utara, Kecamatan Sampara, Kecamatan
Bondoala, Kecamatan Besulutu, Kecamatan Kapoiala, Kecamatan Lambuya, Kecamatan Uepai, Kecamatan Puriala, Kecamatan Pondidaha, Kecamatan Wonggeduku, Kecamatan Amonggedo, Kecamatan Wawotobi, kecamatan Meluhu, Kecamatan Konawe, Kecamatan Unaaha, Kecamatan Anggaberi, Kecamatan Abuki, Kecamatan Latoma, Kecamatan Tongauna, Kecamatan Asinua, dan Kecamatan Routa. Komoditi unggulan Kabupaten Konawe yaitu sektor perkebunan, pertanian, dan jasa. Sektor perkebunan komoditi unggulan adalah kakao, kopi, kelapa,
24
cengkeh, jambu mente, lada dan pala. Sub sektor pertanian komoditi yang di unggulkan berupa jagung dan ubi kayu. Sub sektor jasa pariwisatanya yaitu wisata alam dan budaya. 2.2 Profil KPU Konawe 2.2.1 VISI Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2.2.2 MISI 1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan
kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan
Umum; 2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; 3. meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efesien dan efektif; 4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
25
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis; Tugas dan wewenang Dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut : 1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum; 2. menerima, meneliti dan menetapkan partai-partai politik Yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum; 3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum dari tingkat pusat sampai di tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS; 4. menetapkan jumlah kursi Anggota DPR, DPRD I, DPRD II untuk setiap daerah pemilihan; 5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II; 6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum; 7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum;
26
Dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan wewenang KPU sebagai dimaksud dalam pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum. Dalam penyelenggaraan Pemilu, KPU bekerja berdasarkan tahapan jadwal Pemilu Legislatif dan tahapan jadwal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 berdasarkan jadwal yang dikeluarkan KPU seperti pendaftaran pemilih dan pendaftaran penduduk berkelanjutan, pemetaan daerah pemilihan dan penetapan jumlah kursi DPR, dan DPRD, pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Daerah DPR, DPD, DPRD, penetapan daftar pemilih tetap (DPT), proses pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu 2014 dan kampanye peserta pemilu. Untuk mengawasi jalannya Pemilu, di bentuk Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia. Disamping Panwaslu ada juga pemantau Pemilu baik dari dalam maupun di luar negeri. Pemantau Pemilu dari dalam negeri mempunyai struktur organisasi berjenjang dari pusat hingga ke daerah yang akre-ditasinya diberikan oleh KPU. Secara kesuluruhan terdapat 112 Lembaga Pemantau Pemilu yang mendaftar untuk berpartisipasi sebagai pemantau, dengan rincian 90 berasal dari pemantau dalam negeri dan 22 berasal dari pemantau luar negeri yang lulus akreditasi dan mendapat sertifikat sebagai pemantau Pemilu 2009. Di tengah sempitnya waktu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
27
Setelah Pemilu Legislatif tahun 2009. Anggota KPU Pusat berjumlah 7 orang. Kemudian anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara berjumlah 5 orang dan anggota KPU Kabupaten Konawe berjumlah 5 orang. Untuk periode tahun 20082012 anggota KPU adalah Sukiman Tosugi,S.Sos, Ir. Hajaratul A. Taridala, Rudiasin,A.Md, Suhardin dan Bislan,S.Ag. dan untuk periode 2013-2018 yang beranggotakan Sarmadan,S.Sos, M.Si, Bislan,S.Ag, Aswar ,S.Sos, M.Si, Hasim, SP, dan Ulil Amrin, SE. M.AP 2.3 Analisis Data Responden Untuk kebutuhan analisis data responden akan dipaparkan beberapa aspek yang meliputi : Jenis Kelamin, Usia Responden, Status Kawin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Jenis Pekerjaan dan Penghasilan. Aspek pertama berdasarkan Jenis Kelamin dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2 : Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin JENIS KELAMIN JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Laki-Laki 54 54 Perempuan 46 46 TOTAL 100 100% Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Tabel 2, menunjukkan bahwa jenis kelamin pada penelitian ini terdiri atas 2 kategori. Dari kategori jenis kelamin tersebut responden terbanyak adalah lakilaki yaitu berjumlah 54 orang atau 54 % dan responden perempuan berjumlah 46 orang atau 46 %. Selanjutnya adalah pemaparan distribusi responden menurut Usia Responden.
28
Tabel 3 : Distribusi Responden Menurut Usia Responden USIA JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) < 17 Tahun 1 1 17-25 Tahun 17 17 26-35 Tahun 34 34 36-45 Tahun 29 29 46-55 Tahun 13 13 >55 Tahun 6 6 TOTAL 100 100% Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Tabel 3, menunjukkan bahwa usia responden terdiri atas 6 kategori. Kategori pertama adalah usia responden <17 Tahun yaitu berjumlah 1 orang atau 1 %, usia responden 17-25 tahun yaitu berjumlah 17 orang, usia responden 26-35 tahun yaitu berjumlah 34 orang, usia responden 46-55 tahun yaitu berjumlah 13 orang, dan usia responden >55 tahun adaah sebanyak 6 orang. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa usia responden yang dominan di lokasi penelitian adalah 2635 tahun yaitu 34 %. Ini berarti umur yang dominan dalam wilayah sampel responden adalah umur produktif dan sangat membutuhkan banyak aktifitas keseharian dan informasi yang berkaitan dengan perkembangan daerah, lapangan pekerjaan dan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Tabel 4 : Distribusi Responden Menurut Status Kawin STATUS KAWIN JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Belum Kawin 26 26 Kawin 73 73 Janda 1 1 Total 100 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Tabel 4, menunjukkan bahwa status perkawinan responden terdiri atas 3 kategori. Kategori responden yang pertama adalah belum kawin yaitu berjumlah
29
26 orang atau 26 %, kemudian kategori responden kawin yaitu berjumlah 73 orang atau 73 % dan kategori responden janda/ duda adalah 1 orang atau 1 %. Tabel 5 : Distribusi Responden Menurut Agama AGAMA JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Islam 98 98 Katolik 1 1 Protestan 1 1 Total 100 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Tabel 5, menunjukkan bahwa responden berdasarkan agama yang dianut terdiri atas 3 kategori. Yaitu responden yang menganut agama Islam berjumlah 98 orang atau 98 %, responden yang menganut agama katolik berjumlah 1 orang atau 1 % dan responden yang menganut agama kristen protestan adalah 1 orang atau 1 %. Tabel 6 : Distribusi Responden Menurut Pendidikan PENDIDKAN JUMLAH (Org) Tamat SD 6 Tamat SLTP 8 Tamat SLTA 45 Tamat Akademi/Diploma 6 Tamat S1 30 Tamat S2 4 Tamat S3 1 Total 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 6 8 45 6 30 4 1 100
Pendidikan dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai kualitas sumber daya manusia di suatu daerah. Semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk, maka akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu dengan mengkaji tingkat pendidikan,
30
akan dapat digambarkan potensi penduduk dan perkembangan suatu daerah dalam proses pembangunan di segala bidang. Tabel 6, menunjukkan bahwa responden pada lokasi penelitian di Kabupaten Konawe berdasarkan pendidikan terdiri atas 7 kategori. Rseponden yang dominan ada pada kategori tamat SLTA yaitu berjumlah 45 orang atau 45 %, kemudian tamat S1 yaitu berjumlah 30 orang atau 30 % dan tamat SLTP berjumlah 8 orang atau sebanyak 8 %. Kemudian untuk Tamat Akademi/ Diploma sebanyak 6 orang atau 6 % dan Tamat S2 adalah 4 orang atau 4 %, hal ini tidak mengherankan karena Kabupaten Konawe sudah memiliki Perguruan Tinggi. Tabel 7 : Distribusi Responden Menurut Pekerjaan PEKERJAAN JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Kerja 78 78 Tidak Kerja 22 22 Total 100 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Tabel 7, menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini yang memiliki pekerjaan berjumlah 78 orang atau 78 % dan yang tidak memiliki pekerjaan 22 orang atau 22 %. Hal ini tentunya berhubungan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki responden di Kabupaten Konawe. Berikutnya adalah pembahasan mengenai jenis pekerjaan yang dimiliki responden dalam penelitian ini.
31
Tabel 8 : Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan JENIS PEKERJAAN JUMLAH (Org) Petani 9 Pedagang 3 Wiraswasta 29 Pegawai swasta 5 PNS 24 Profesional 2 Pelajar/Mahasiswa 10 Ibu Rumah Tangga 12 Pensiunan PNS 1 Tenaga Kontrak/Honorer 4 Kepala Desa 1 Total 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 9 3 29 5 24 2 10 12 1 4 1 100
Lebih dominannya pekerjaan sebagai wiraswasta dilatarbelakangi oleh lokasi yang strategis untuk berdagang dan sudah menjadi pekerjaan turun temurun yaitu sebesar 29 %, namun pekerjaan responden sebagai PNS juga cukup tinggi yaitu 24 %, hal ini tentunya karena tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden sudah maju dan tinggi. Dengan latar belakang profesi pekerjaan dan pendidikan yang sudah baik sudah pasti mereka tidak asing lagi pengetahuan mengenai kepemiluan. Tabel 9 : Distribusi Responden menurut Penghasilan PENGHASILAN JUMLAH (Org) Tidak memiliki penghasilan 22 < 1 Juta 25 1 Juta - 2 Juta 21 >2 Juta - >3 Juta 17 >3 Juta 15 Total 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 22 25 21 17 15 100
Dengan penghasilan diatas 1 juta, akan mendorong masyarakat untuk memiliki alat komunikasi dan barang elektronik untuk memenuhi kebutuhan 32
informasi mereka. Hal ini sejalan dengan Teori McLuhan, disebut teori perpanjangan alat indra, menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indra manusia; telepon adalah perpanjangan telinga dan televisi adalah perpanjangan mata. Secara operasional dan praktis media adalah pesan. Ini berakibat bahwa akibat-akibat personal dan sosial dari media yakni karena perpanjangan diri kita timbul karena skala baru yang dimaksudkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh teknologi baru. Media adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia. Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Jadi antara besarnya penghasilan dan perilaku memilih memiliki hubungan. Tabel 9, menunjukkan bahwa responden yang memiliki frekuensi tertinggi adalah responden dengan penghasilan diatas 1 juta yaitu sebanyak 25 orang atau 25 %, kemudian responden yang tidak memiliki penghasilan sebanyak 22 orang dan responden yang memiliki penghasilan 1 juta sampai 2 juta sebanyak 21 orang. 2.4 Alasan Memilih/ Tidak Memilih dalam Pemilu Partisipasi politik wajib pilih pada pemilu sebelum tahun 2014 cukup tinggi, yaitu 80 %, hal ini terlihat pada tabel berikut.
33
Tabel 10 : Keikutsertaan dalam Pemilu sebelum tahun 2014 PEMILU JUMLAH (Org) Tahun 1999 3 Tahun 2004 12 Tahun 2009 20 Tahun 2004 dan 2009 45 Tidak Memilih Sebelum 20 2014 Total 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 3 12 20 45 20 100
Tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Konawe dalam proses penyelenggaraan Pemilu sebelum tahun 2014, tampak pemilih cukup antusias datang ke TPS untuk menggunakan hak pilih dalam rangka memilih Caleg-caleg yang dianggap layak untuk menjadi wakil rakyat ataupun Presiden RI. Betapa tidak, 80 persen responden yang langsung menjawab bahwa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu sebelum tahun 2014. Sebaliknya, hanya 20 persen yang menyatakan secara tegas bahwa mereka tidak memilih atau tidak menggunakan hak suaranya. Tabel 11 : Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Tahun 2014 PEMILU JUMLAH (Org) Legislatif dan Presiden 90 Legislatif 4 Presiden 2 Tidak Memilih 4 Total 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 90 4 2 4 100
Terlihat bahwa antusias responden dalam menggunakana hak pilihnya pada Pemilu Tahun 2014 sangat signifikan yaitu sebesar 96 % dan yang tidak menggunakan hak pilihnya hanya 4 % saja. Mereka yang menggunakan hak pilihnya terbagi dalam 3 kategori yang pertama adalah responden yang
34
menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden yaitu sebesar 90 %, yang kedua adalah responden yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Legislatif saja yaitu 4 % dan yang ketiga adalah responden yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Presiden saja yaitu 2 %. Alasan responden menggunakan hak pilihnya hanya pada salah satu pemilu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 12 : Alasan Memilih Pemilihan Legislatif Tahun 2014 JUMLAH (Org) Figur dan Profil Partai Politik 1 Figur dan Partai Calon 1 Visi Misi 2 Total 4 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 ALASAN
PERSENTASE (%) 1 1 2 4
Tabel 12, menunjukkan bahwa alasan memilih pada Pemilihan Legislatif saja karena responden percaya terhadap figur dan profil partai politik yang mereka dukung, responden yang menjawab adalah 1 %. Ada juga jawaban menarik lainnya dari 1 % responden lainnya yang menjawab bahwa alasan memilih hanya pada Pemilihan Legislatif saja adalah karena percaya pada figur dan Partai Calon. Alasan lainnya adalah Visi Misi yang dimiliki Calon Legislatif, alasan ini diberikan oleh 2 % responden dalam penelitian ini. Berikutnya akan kita lihat tabel 13. Tabel 13 : Alasan Memilih Pemilihan Presiden Tahun 2014 ALASAN JUMLAH (Org) Figur dan Profil Partai Politik 1 Visi Misi 1 Total 2 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 1 1 2
35
Alasan responden yang menjawab alasan mereka memilih hanya pada Pemilihan presiden saja dapat dilihat pada tabel 13 yaitu 1 % menjawab karena Figur dan Profil Partai Politik dan 1 % lainnya menjawab dengan alasan karena visi misi calon Presiden. Berikutnya akan kita lihat alasan responden yang tidak menggunakan hak pilihnya sama sekali dalam Pemilu Tahun 2014. Tabel 14 : Alasan Tidak Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Tahun 2014 ALASAN JUMLAH (Org) Tidak Terdaftar dalam DPT 2 Berhalangan karena Urusan 2 Pekerjaan Total 4 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
PERSENTASE (%) 2 2 4
Pada tabel 14, terlihat bahwa ada 2 % responden yang tidak menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap atau DPT Kabupaten Konawe sementara 2 % lainnya memilih alasan berhalangan karena memiliki urusan pekerjaan. Hal ini bisa menjadi motivasi bagi KPU Kabupaten Konawe untuk lebih meningkatkan kinerja penyelenggara agar semua wajib pilih yang ada di Kabupaten Konawe tidak ada lagi yang terlewatkan. Tabel 15 : Alasan Memutuskan Untuk Tidak Menggunakan Hak Pilih pada Pemilu Tahun 2014 ALASAN JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Pengaruh Keluarga 1 1 Pilihan Sendiri 9 9 Total 10 10 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Alasan lain yang juga menjadi pertimbangan untuk tidak menggunakan hak pilih adalah karena pengaruh dari keluarga sebesar 1 % dan karena pilihan dari dalam diri sendiri adalah sebesar 9 %. Ini menunjukkan bahwa di responden
36
di Kabupaten Konawe masih ada yang kurang menyadari bahwa suara mereka sangat berharga bagi kemajuan Kabupaten Konawe. Tabel 16 : Pandangan Mengenai Pemilu Tahun 2014 PERSENTASE PANDANGAN JUMLAH (Org) (%) Hak Sebagai Warga Negara 78 78 Kewajiban Sebagai Warga Negara 22 22 Total 100 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Pandangan mengenai pemilu tahun 2014 tergambar pada tabel 15 dimana 78 persen responden menganggap bahwa menggunakan hak pilih merupakan hak mereka sebagai warga negara sedangkan 22 persen menganggap bahwa hak pilih mereka adalah kewajiban sebagai warga negara Republik Indonesia, yang memiliki peran penting untuk ikut serta dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi dalam berbagai segi. Dari pilihan menggunakan hak pilih atau tidak menggunakan hak pilih, kita akan melihat tanggapan responden mengenai anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden yang telah terpilih. Tabel 17 : Aspirasi Pemilu Tahun 2014 ASPIRASI JUMLAH (Org) PERSENTASE (%) Ya 78 78 Tidak 22 22 Total 100 100 Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015 Setelah penggunaan hak pilih pada Pemilu Tahun 2014, makan akan muncul pemenang pemilu yang selanjutnya menjadi wakil rakyat di DPRD, DPD DPRD Provinsi, DPR RI, sebesar 78 persen responden menganggap bahwa wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden yang telah terpilih sudah sesuai dengan aspirasi yang telah mereka salurkan pada hari pemilihan namun sebanyak
37
22 persen menganggap bahwa wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden tidak mewakili aspirasi mereka. 2.5 Perilaku Memilih Pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2014 Perilaku wajib pilih dalam menggunakan hak pilihnya telah tergambar pada pembahasan sebelumnya, dimana dari 100 responden yang menjawab Kuesioner yang diberikan oleh KPU Kabupaten Konawe, ternyata 96 persen menggunakan hak pilihnya pada hari pemilihan. Hal ini merupakan angka yang signifikan yang menunjukkan bahwa minat wajib pilih di Kabupaten Konawe tinggi untuk membantu perkembangan daerahnya. Kemudian riset ini mencoba mencari faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku memilih pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2014. Ada 4 faktor yang dihubungkan dengan alasan memilih yaitu Penyelenggara Pemilu, Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, DPT dan Relawan Demokrasi. Tabel selanjutnya akan membahas mengenai hal ini. Tabel 18 : Perilaku Memilih ALASAN MEMILIH Penyelenggara Pemilu Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih DPT/DPktb/Pindah Memilih Relawan Demokrasi Sumber : Data hasil olahan kuesioner, 2015
0,84 1,73 0,274 0,234
Tabel 18 menberikan hasil yang mengejutkan, karena hubungan yang ditunjukkan tidak begitu signifikan. Pertama melihat hubungan antara alasan memilih dengan penyelenggara pemilu yaitu 0,84 yang artinya tingkat hubungannya sangat rendah. Hal ini bisa disebabkan karena yang menjadi responden kami hanya 38 persen yang pernah menjadi penyelenggara pemilu. 38
BAB III PENUTUP
3.1. Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Perilaku Memilih pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014 sangat signifikan yaitu sebesar 96 %, artinya dari 100 responden dalam penelitian ini ada 96 responden yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa antusias untuk memberikan suara pada hari pemilihan sangat tinggi. 2. Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan antara alasan memilih dengan penyelenggara pemilu, sosialisasi dan pendidikan pemilih menunjukkan hasil bahwa hubungannya sangat rendah.kemudian analisis korelasi antara alasan memilih dengan daftar pemilih tetap dan relawan demokrasi menunjukkan hasil bahwa hubungannya rendah. Ini artinya bahwa hubungan antara alasan memilih dengan penyelenggara pemilu, sosialisasi dan pendidikan pemilih, daftar pemilih tetap serta relawan demokrasi tidak begitu signifikan.
39
3.2. Saran Berdasarkan kesimpulan, dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe perlu meningkatkan kinerjanya berhubungan dengan peningkatan angka partisipasi pemilih 2. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Konawe meningkatkan lagi kinerjanya pada aspek peningkatan kinerja penyelenggara pemilu mulai dari KPPS, PPS dan PPK. Aspek Sosialisasi pun harus ditingkatkan lagi, mulai dari sosialisasi kepada pemilih pemula, pemilih perempuan hingga pemilih dengan usia tua. Daftar Pemilih Tetap harus dimaksimalkan dalam pelaksanaan pendataan di tingkat desa/ kelurahan. Dan fungsi relawan demokrasi pun harus ditingkatkan.
40
DAFTAR PUSTAKA Alfaruq Dkk,
2000. Akrobat Politik, Investigasi Jurnalistik Membongkar Skenario dan Intrik Politik, diantar oleh Kristiadi, Rosda, Bandung. Almond, Gabriel dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi Di Lima Negara, PT. Bina Aksara, Jakarta. Amal, Ichlasul (Ed). 1996. Teori-teori Mutakhir Partai Politik, PT. Tiara Wacana Yagya, Anggota IKAPI BPS Kota Kendari. 2008. Kota Kendari Dalam Angka, Katalog BPS: 1403.7471 Gaffar, Afan, 1988. Javanese Voters, A Case Study Of Election Under A Hegemony Party System, Disertasi, The Ohio State University. Geertz, Cliford, 1983. Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan YIIS, Pustaka Jaya, Jakarta. Goodman, Douglas, J. Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi Moderen, Edisi, Keenam, Kencana. Kristiadi, J., 1996. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia, Prisma, Little John, W. Stephen. 1996. Theories Of Human Communication (Fifth Edition), wadsworth Publishing Company: California. Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial, No 3 Tahun XXV Maret 1996, LP3ES, Jakarta. Malkhan, Munir, Abdul, 1989. Perubahan Perilaku Politik dan Umat Islam 1965-1987, Dalam Perspektif Sosiologis, Rajawali Pers, Jakarta. Martin, Roderick,BN.1993. Sosiologi Kekuasaan, Rajawali Press, Jakarta. Maskur, 2008. “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama Studi Atas Dialog Umat Islam dan Kristen Di Kota Cilegon Banten. Muhadjir, Noeng, 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit: Rake Sarasin P.O. BOX 83, Yogyakarta. Mulyana, Deddy dan Solatun, 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Remaja Rosda Karya. Bandung. Natosusanto, Nugroho,1993. Menegakan Wawasan Almamater. UI Press. Jakarta Nimmo, Dan. 2000. Komuniaksi Politik: Komunikator: Pesan dan Media. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rahman Arifin, 1998. Sistem Politik Indonesia, SIC. Surabaya Kerja sama dengan LPM IKIP Malang. Rakhmat, Jalaluddin, 2005. Metode Penelitian Komunikasi: Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Remaja Rosdakarya. Bandung. Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik, 2004. Mengawasi Pemilu, Mengawal Demokrasi, Murai Kencana, Jakarta. Surbakti, Ramlan, 1990. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana, Jakarta. Uchana, Onong Effendy, 1997. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Remaja Rosadakarya. Bandung. Yan, R. K., 1995. Studi Kasus (Desain dan Metode) Terjemahan, Rajawali Press, Jakarta.
41