1
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Keluarga adalah dua individu atau lebih yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam
perannya
masing-masing,
dan
menciptakan
serta
mempertahankan suatu kebudayaan. (Salvicion dan Ara Celis (1989). Karena semua orang itu tidak sama, dan berkewajiban serta hak di setiap keluarga berbeda, struktur interaksi peran juga berbeda-beda dari satu rumah tangga ke rumah tangga yang lain, walaupun adapula persamaanpersamaan dalam hal-hal tertentu, maka perlu pula untuk mengetahui masa kehidupan keluarga atau “daur kehidupan keluarga”. Masa remaja, anak masih bergantung pada kedua orang tuanya dalam beberapa hal antara lain mengenai nasehat-nasehat yang harus diterima, biaya-biaya misalnya untuk Pendidikan. “Pada masa ini sudah terjadi perbedaan apa yang harus dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki lebih bebas menentukan apa yang akan dilakukan sedangkan anak perempuan kurang bebas dan lebih banyak mendapatkan pengawasan dari orang tuanya. Pada masyarakat barat masa remaja dilalui padausia 13 tahun ke 19 tahun, biasanya mereka disebut
sebagai“teenagers”
ketika
mereka
baik
laki-laki
maupun
2
perempuan telah mencapai usia 18 tahun dan telah tamat dari sekolah menengah atas” ( Collins, 1985 : 325 ) Pertumbuhan generasi suatu bangsa pertama kali berada di tangan ibu. Di tangan seorang ibu pulalah pendidikan anak ditanamkan dari usia dini. Neuman (1990) berpendapat bahwa usia 20-22 bulan merupakan masa penting hubungan ibu-anak dan pembentukan diri individu, yang disebut Neuman primal relationship. Para ahli social learning berpandangan bahwa apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya merupakan proses yang diadopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Cara ibu mengasuh sangat berperan, apakah dengan penuh kelembutan,kesabaran dan kasih sayang ataukah dengan caci maki,kekerasan, dan amarah serta penolakan akan membentuk perilaku anak. Terabaikannya peran ibu sebagai pendidik dan pembimbing anakanak, dapat menyebabkan anak-anak yang terabaikan pula, hal ini dimungkinkan karena ibu kurang meluangkan waktunya. Semisal ibu yang lebih senang berkarir di luar rumah ketimbang di dalam rumah yang secara full time mengasuh anak-anaknya. Memang tidak seratus persen benar jika ibu yang full time berada di rumah akan menjadikan anakanaknya sebagai generasi yang berkualitas. Bagaimanapun pencapaian kualitas waktu yang diluangkan berhubungan langsung dengan kuantitas
3
waktu yang diluangkan ibu untuk mengasuh dan membimbing anakanaknya. Seorang Ibu yang berprofesi sebagai pedagang tentunya memiliki suatu peran ganda. Peran ganda yang diemban wanita pedagang tersebut selain menjadi guru untuk anaknya dalam hal pembinaan, juga berperan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga. Untuk berperan seperti itu tentunya memerlukan suatu pertimbangan yang baik oleh seorang ibu, keseimbangan antara kegiatan dan pembinaannya sangat diperlukan untuk menghindari suatu hal yang menyebabkan ketimpangan terhadap suatu proses pendidikan dan komunikasi anak. Kenyataan menunjukkan bahwa wanita pedagang sebagai bagian dari komunitas sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian, baik dalam skala makro maupun mikro (rumah tangga). Pendapatan mereka cukup signifikan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, mulai dari pembiayaan pendidikan, kebutuhan sehari-hari, kesehatan, pembelian kekayaan lain seperti kekayaan yang bergerak: kendaraan bermotor, juga perabot rumah tangga dan perhiasan, barang elektronik dan kekayaan tidak bergerak yang berupa tanah dan rumah. Berdasarkan
penjelasan
diatas
maka
pembahasan
studi
perempuan dalam berbagai literatur memberi berbagai macam perspektif menyangkut fungsi, peran dan kedudukan perempuan baik didalam lingkungan keluarga maupun rumah tangga maupun di dalam lingkup
4
sektor masyarakat. Pembagian kerja secara seksual antara perempuan dan laki-laki pada beberapa kasus memperlihatkan adanya perubahan dan perkembangan yang signifikan yang memandang pembagian fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah tangga tidak lagi harus bersifat kaku dan mutlak Di Makassar khususnya di pasar sentral memperlihatkan bahwa sebagian besar dari pedagang yang melakukan aktifitas perdagangan adalah mayoritas kaum wanita yang telah berkeluarga. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian besar wanita pedagang di pasar sentral memiliki aktifitas yang sangat padat menyangkut pembagian fungsi mereka didalam dan diluar rumah. Pembagian fungsi ini memerlukan manajemen waktu yang sangat akurat dan tepat serta seimbang sehingga fungsi wanita tersebut dalam hal aktifitas perdagangan dan pembinaan keluarga utamanya anak dapat berjalan baik dan seimbang. Wanita Pedagang yang memiliki anak berangkat dari berbagai fenomena diatas memberikan motivasi kepada penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan terhadap Peran Ganda Wanita Pedagang, yang berlokasi di pasar sentral makassar kecamatan Wajo. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas tersebut rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian mencoba menggambarkan dampak
5
kegiatan pedagang perempuan terhadap pembinaan anak, sehingga dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pembagian waktu wanita pedagang ibu rumah tangga ? 2. Faktor-faktor pendukung atau penghambat peran Ganda Ibu ? 1.3 Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Dari Penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui pembagian waktu ibu rumah tangga pedagang dalam melakukan pekerjaanya. b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mendukung
atau
menghambat peran ganda ibu rumah tangga. 1.3.2 Kegunaan Penelitian a.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelasaikan studi pada tingkat srata satu(S1) pada jurusan sosiologi
fakultas ilmu
Sosial dan ilmu politik di Universitas Hasanuddin. b. Sebagai bahan bacaan dan sekaligus sebagai literatur untuk penelitian selanjutnya. 1.4 Kerangka Konseptual Keluarga merupakan komponen terkecil dari sebuah masyarakat, dimana sebuah keluarga merupakan sebuah sistem yang memiliki fungsi yang saling berkaitan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya, sehingga setiap anggota keluarga harus mempertahankan
6
struktur yang ada sehingga sistem tersebut dapat berjalan dengan baik dan apabila tidak ada gangguan dari pihak lain maka sistem itu akan dapat di pertahankan. Dalam hal ini setiap anggota keluarga harus berjuang untuk mempertahankan dan bisa saling menyesuaikan diri dengan anggota yang lainnya. Selain itu manusia adalah mahkluk sosial yang selama hidupnya akan banyak berinteraksi dengan orang lain dari pada menyendiri karena kodrat dan keterbatasan seorang manusia, sehingga menyebaban manusia mempunyai naluri yang kuat untuk saling membutuhkan sesamanya untuk saling mengisi, melengkapi dan menyempurnakan keterbatasan
tersebut.
Manusia
tidak
dapat
hidup
tanpa
tanpa
berhubungan
dan berinteraksi antara manusia satu dengan manusia
lainnya, maka dari itu adanya saling ketergantungan antara sesamanya ini disebabkan karena adanya interaksi sosial yang merupakan proses sosial, dan syarat-syarat yang utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial, maka dari interaksi sosial tersebut lahirlah reaksi-reaksi sosial sebagai akibat adanya hubungan-hubungan yang terjadi dan dari reaksi-reaksi itu mengakibatkan bertambah luasnya sikap dan tindakan seseorang (Soekanto, 1999:114). Fungsi – fungsi keluarga pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi – fungsi pokok yakni fungsi yang sulit dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi – fungsi lain atau fungsi sosial, relatif lebih
7
mudah
berubah
atau
mengalami
perubahan.
Lebih
jauh,
(Drs.H.Khairudin,H.SS, 2008:48-49). menjelaskan tentang fungsi sosial keluarga dalam tiga jenis; Fungsi biologik.Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologik orang tua ialah melahirkan anak. Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini pun juga mengalami perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang lebih sedikit. Fungsi afeksi. Dasar cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, dari hubungan kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak. Fungsi sosialisasi. Menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak.Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajari pola – pola tingkah laku,sikap,keyakinan,cita-cita,dan nilainilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiaannya. Perdagangan
adalah
semua
tindakan
yang
tujuannya
menyampaikan barang untuk tujuan hidup sehari-hari, prosesnya berlangsung dari produsen kepada konsumen. Orang yang pekerjaannya memperjualbelikan
barang
atas
prakarsa
dan
resiko
dinamakan
pedagang. Perdagangan dibedakan atas perdagangan besar dan perdagangan kecil. Dalam perdagangan besar jual beli berlangsung
8
secara
besar-besaran.
dijual/disampaikan
Dalam
langsung
perdagangan
kepada
besar,
konsumen
barang
atau
tidak
pengguna,
sedangkan dalam perdagangan kecil, jual beli berlangsung secara kecilkecilan dan barang dijual langsung kepada konsumen. Sementara itu, pedagang sendiri jenisnya bermacam-macam. Ada pedagang keliling, pedagang asongan, pedagang dari pintu ke pintu (door to door), pedangang kios, pedangang kaki lima, grosir (pedagang besar), pedagang supermarket dan sebagainya. Pedagang keliling adalah pedagang
yang
menawarkan
barang
dagangannya
dengan
cara
berkeliling berbeda dengan Pedagang Asongan yang menawarkan barang dagangannya dengan cara menempatkannya di kotak kecil yang mudah dibawa dan dipindah-pindahkan. Selain itu adapun Pedagang Kaki Lima yang menawarkan barang dagangannya dengan cara menggelarnya di trotoar atau di tepi jalan yang ramai dan dilingkup sebuah pasar yang besar terdapat pula Pedagang Grosir yang dalam menawarkan barang tidak langsung berhadapan dengan calon pembeli. Pedagang grosir tidak langsung menawarkan barang kepada calon pembeli sebagaimana pedagang eceran, melainkan calon pembelilah yang mendatangi pedagang grosir. Pada dasarnya Setiap warga dalam masyarakat mempunyai kesempatan dan memiliki keinginan untuk mencapai status dan penghasilan yang yang lebih tinggi. Keinginan untuk mengubah nasib,
9
dari nasib yang kurang baik menjadi nasib yang lebihbaik merupakan impian
setiap
orang.
Perubahan
sosial
ekonomi
dan
budaya
memungkinkan terjadinya pergeseran peran wanita sehingga wanita memiliki kesempatan untuk lebih terlibat dalam pasar kerja Perubahan sosial ekonomi dan budaya tersebut telah mengubah wanita yang semula mengelompok pada kategori bukan angkatan kerja menjadi angkatan kerja yang siap memasuki pasar kerja Dari berbagai jenis pedagang diatas tentunya terdapat wanita pedagang yang memegang fungsi untuk menawarkan barang daganganya di area perdagangan tersebut. Wanita Pedagang biasanya memiliki fungsi yang tidak jauh beda dengan pedagang lainnya merekapun menyiapkan dan menawarkan barang daganganya kepada pembeli yang datang ke tempat berjualannya. Hal ini berarti wanita memiliki 2 posisi atau status dalam kegiatan bekerja yaitu dalam pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan langsung. Dari kegiatan wanita pedagang tentunya membutuhkan suatu pembagian bentuk perhatian dan waktu terhadap keluarganya utamanya yang menyangkut pembinaan anak yang berpengaruh terhadap masa depan anaknya serta kegiatan perdagangannya yang tentunya hasil dari penjualan digunakan untuk membantu pembiayaan keluarga misalnya kebutuhan sehari, pendidikan dan rekreasi.
10
Sebagai skema operasional konsep digambarkan sebagai berikut : Gambar I. Kerangka Konseptual
WANITA PEDAGANG ( Lingkup Pasar Sentral Makassar )
Peranan Ibu Rumah Tangga :
Peranan dalam perdagangan
- Melahirkan anak dan merawat keluarga
- Membeli dan Menawarkan
- Membentuk kepribadian anak
- Meningkatkan pendapatan
- Menanamkan nilai nilai keagamaan dan sosial
- Berinteraksi dengan pedagang
- Mengatur urusan rumah tangga lainya
- Mengatur keuangan hasil Usaha
-
barang
dan pembeli
Pembagian waktu Faktor – faktor pendukung dan penghambat
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga 2.1.1 Definisi Keluarga Menurut Departemen Kesehatan (1988), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga serta beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Sudiharto, 2007). Menurut WHO (1969), keluarga merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan (Setiadi, 2006). Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya (Sudiharto, 2007). 2.1.2. Struktur Keluarga Menurut Setiadi (2006), struktur kelurga terdiri dari bermacammacam, antara lain: 1. Patrineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah.
12
2. Matrineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri dari anak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu. 3. Matrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. 4. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami. 5. Keluarga kawin, adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri. 2.1.3 Fungsi Keluarga Ruang lingkup tanggung jawab pendidikan dalam lingkungan keluarga ditentukan atas fungsi-fungsi. Menurut Nur’aeni (2010) ada 8 fungsi keluarga dalam tanggung jawab pendidikan, yaitu : 1. Fungsi Edukasi Fungsi edukasi terkait dengan pendidikan anak secara khusus dan pembinaan anggota keluarga pada umumnya. Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa “keluarga adalah pusat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak”. Fungsi pendidikan amat fundamental untuk menanamkan nilai-nilai dan sistem perilaku manusia dalam keluarga. 2. Fungsi Sosialisasi
13
Fungsi sosialisasi bertujuan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat. Anak adalah pribadi yang memiliki sifat kemanusiaan sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Menarik untuk memaknai pendapat Karl Mannheim yang dikutip oleh MI Soelaeman (1994), bahwa “anak tidak didik dalam ruang dan keadaan yang abstrak, melainkan selalu di dalam dan diarahkan kepada kehidupan masyarakat tertentu.”. Dengan demikian anak memiliki prinsip sosialitas, disamping prinsip individualitas. Prinsip sosialitas, mengharuskan anak dibawa dan diarahkan untuk mengenali nilai-nilai sosial lingkungannya oleh orang tuanya. 3. Fungsi Proteksi Tujuan dari fungsi proteksi yaitu untuk melindungi anak bukan saja secara fisik, melainkan pula secara psikis. Secara fisik fungsi perlindungan ditujukan untuk menjaga pertumbuhan biologisnya sehingga dapat menjalankan tugas secara proporsional. Disamping itu fungsi proteksi psikis dan spiritual yaitu dengan mengendalikan anak dari pergaulan negatif dan sikap lingkungan yang cenderung menekan perkembangan psikologinya. 4. Fungsi Afeksi Fungsi ini terkait dengan emosional anak. Anak akan merasa nyaman apabila mampu melakukan komunikasi dengan keluarganya dengan totalitas seluruh kepribadiannya. Kasih sayang yang dicurahkan kepada
14
anak akan memberi kekuatan, dukungan atas kehiduapn emosionalnya yang berpengaruh pada kualitas hidupnya di masa depan. 5. Fungsi Religius Yang dimaksud adalah fungsi keluarga untuk mengarahkan anak ke arah pemerolehan keyakinan keberagamaannya yang benar. Keluarga menjadi kendali utama yang dapat menunjukkan arah menjadi Islam yang kaffah atau sekuler. 6. Fungsi Ekonomis Fungsi ini berkaitan dengan pemenuhan selayaknya kebutuhan yang bersifat materi. Secara normatif anak harus dipersiapkan agar kelak memikul tanggung jawab ekonomi keluarga, membangun kepribadian yang mandiri bukan menjadi objek pemaksaan orang tua. 7. Fungsi Rekreasi Memberikan
wahana
dan
situasi
yang
memungkinkan
terjadinya
kehangatan, keakraban, kebersamaan dan kebahagiaan bersama seluruh anggota keluarga. 8. Fungsi Biologis Faktor biologis adalah faktor alamiyah manusia. Faktor ini meliputi perlindungan kesehatan, termasuk juga memperhatikan pertumbuhan biologisnya serta perlindungan terhadap hubungan seksualnya.
15
2.2 Konsep Wilayah Domestik Dan Publik Latar belakang munculnya wilayah domestik dan publik ditengarai bersumber dari pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin yang secara populer dikenal dengan istilah gender. Pembagian kerja gender tradisional (gender base division of labour) menempatkan pembagian kerja, perempuan dirumah (sektor domestik) dan laki-laki bekerja di luar rumah (sektor publik). Pembagian kerja yang demikian ini dianggap baku oleh sebagian masyarakat dan diperkuat oleh Undang-Undang Perkawinan. Pembagian kerja seperti ini oleh kaum feminis sering disebut dengan istilah pembagian kerja seksual, yaitu suatu proses kerja yang diatur secara hirarkhis, yang menciptakan kategori-kategori pekerjaan subordinat yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan stereotipe jenis kelamin tertentu. Pembagian kerja seksual ini telah melahirkan kerja-kerja khas perempuan yang secara hirarkhis menempati tempat subordinat, sehingga karena itu ia dihargai lebih rendah. Kerja-kerja khas untuk tiap jenis kelamin umumnya dikaitkan dengan peran seksualnya, sehingga dikenal istilah kerja produktif untuk laki-laki dan kerja reproduktif untuk perempuan (Rustiani, 1996: 59-60). Kerja produktif adalah suatu proses kerja yang menghasilkan sesuatu. Dalam masyarakat kapitalis biasanya sesuatu yang dihasilkan itu diartikan dengan nilai tukar. Dalam diskusi gender, konsep kerja produktif ini
16
seringkali diasosiasikan sebagai pekerjaan publik (sektor umum). Oleh karena itu, kerjakerja domestik yang dilakukan perempuan, misalnya memasak, yang juga menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi keluarga, seringkali dianggap bukan sebagai kerja produksi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerja reproduktif sebenarnya bisa dilihat dari berbagai segi. Konsep kerja reproduksi memiliki tingkat abstraksi teoritis yang berbeda-beda: reproduksi sosial, reproduksi biologis dan reproduksi tenaga
kerja.
Reproduksi
sosial
berkaitan
dengan
upaya-upaya
mempertahankan suatu sistem sosial. Dalam hal ini, pokok dasarnya adalah merinci struktur apa saja yang harus direproduksi agar reproduksi sosial dapat berlangsung secara utuh. Reproduksi biologis artinya perkembangan fisik umat manusia atau pengembangbiakan umat manusia. Sementara yang dimaksud dengan reproduksi tenaga kerja adalah perawatan sehari-hari pekerja dan calon tenaga kerja, dan alokasi pelaku-pelaku dalam berbagai posisi di dalam proses pekerjaan. Reproduksi tenaga kerja komponen dasarnya berasal dari reproduksi biologis. Kedua konsep reproduksi yang disebut terakhir sering diasosiasikan dengan pekerjaan domestik atau kerumahtanggaan (Rustiani, 1996: 58). Pembakuan peran seperti ini menyimpan sejumlah kerugian bagi perempuan bahkan bagi peradaban manusia. Pertama, keseimbangan kehidupan akan terganggu bila terjadi kondisi-kondisi darurat yang
17
menyebabkan pembagian peran tersebut tidak dapat berjalan normal. Kedua, peradaban manusia akan berjalan mundur dan bahkan bisa menuju kehancuran manakala perempuan sebagai salah satu pilar penyangga peradaban dibiarkan berada dalam keadaan bodoh, tertinggal informasi dan terbelenggu dengan urusan rumah tangga semata. Ketiga, pembakuan peran secara kaku hanya akan menyebabkan keresahan dikalangan perempuan. Dasar penciptaannya sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan akal, hati nurani dan sikap, tentu akan bertabrakan dengan realita yang ditemuinya. Keempat, lahirnya beban dan konflik psikologis dalam diri perempuan bila bersentuhan dengan lahan publik, misalnya bekerja atau menuntut ilmu dengan kondisi yang kurang normal, padahal ia telah berupaya menjalankan tugas domestiknya dengan baik. Perempuan menjadi ragu-ragu dan setengah-setengah dalam melangkah. Kelima, pembakuan peran akan menimbulkan ketergantungan psikologis yang fatal pada diri perempuan. Perempuan cenderung malas dan enggan berbuat di luar tugas yang telah digariskan padanya. Hal ini berbahaya jika terjadi kondisi darurat. Ketergantungan psikologis ini akan membuat perempuan takut dan gamang menghadapi realita kehidupan. Ini merupakan sindrom cinderella complex yang banyak menghinggapi perempuan-perempuan Barat pada saat ini. Di satu sisi mereka ingin mengaktualisasi diri sebagai jiwa yang merdeka, namun di sisi lain mereka merasa takut dan gamang
18
dalam menghadapi resiko kehidupan yang keras. Keenam, kurang terhargainya aktivitas perempuan di sektor publik karena dianggap hanya sebagai tugas sampingan. Ini menyebabkan perempuan tidak optimal dalam proses aktualisasi dirinya. 2.3 Konsep dan Peran Gender Secara historis, konsep gender pertama kali digulirkan oleh Sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, dan menyusui). Sedangkan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks seperti maskulin dan feminim. Menurut Heyser (1991) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 80), ia mendefinisikan ’gender’ is the socially constructed roles ascribed to men and women, yang artinya adalah ’gender’ merupakan konstruksi sosial dalam hubungan pria dan wanita yang dibentuk oleh masyarakat melalui proses internalisasi dan sosialisasi dari suatu generasi ke generasi berikutnya Pembatasan budaya yang diciptakan oleh masyarakat membuat perempuan tidak sebebas laki-laki dalam hal mencari dan memilih pekerjaan. Dengan adanya hal tersebut membuat perempuan harus selektif dalam memilih pekerjaan. Sehingga aneh apabila masyarakat menemukan seorang perempuan bekerja sebagai, kuli bangunan, penarik
19
becak motor, tukang becak, karena dianggap melanggar kodrat perempuan. Hal ini didukung dengan anggapan bahwa perempuan dianggap memiliki kemampuan fisik dan intelektual yang lebih rendah daripada laki-laki. Dengan keadaan seperti diatas terjadi ketimpangan bahwa perempuan selalu diposisikan berada dibawah laki-laki/posisi nomor dua dan harus menurut pada perintah kaum laki-laki. Sebenarnya apabila diamati, tentu saja kondisi ini tidak lepas dari pengaruh gender. Pembagian kerja berdasarkan gender membuat perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih panjang (double-burden). Pembatasan budaya tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa sebab, karena dari awal antara perempuan dan laki-laki memang telah dibuatkan sekat oleh masyarakat, berupa pelabelanpelabelan yang sangat erat dengan konsep gender. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah, penurut, emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, jantan, rasional, dan perkasa. Sehingga apabila konsep yang dianut dalam suatu masyarakat sangat bias gender laki-laki, maka kaum perempuannya akan kurang dapat mengembangkan diri karena adanya berbagai pelabelan-pelabelan made in masyarakat tersebut. Pada dasarnya diskriminasi gender dalam kultur kerja tidak hanya terjadi pada level kantoran (laki-laki sebagai bos dan perempuan sebagai sekretaris), namun juga dalam pembagian kerja di luar konteks rumah
20
tangga dan sektor informal, serta menyentuh hampir semua kerja produktif ekonomis yang dilakukan kaum perempuan, khususnya di Indonesia. Padahal bila dikaji lebih dalam tidak ada salahnya perempuan mempunyai pekerjaan, meskipun tidak berkarier. Karier biasanya lebih banyak menuntut persiapan pendidikan dan persiapan mental sedangkan pekerjaan tidak begitu memerlukan persyaratan-persyaratan khusus. Defenisi tentang kerja sendiri sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut (Briggite, 1997 : 14). Bila menempatkan kerja perempuan pada konteks sosialnya, perlu diingat bahwa konteks tersebut akan selalu mengalami perubahan sosial, baik cepat maupun lambat, menyangkut aspek kehidupan yang terbatas maupun yang sangat luas, dirasakan oleh sebagian masyarakat maupun seluruh masyarakat. Sehingga pada gilirannya semua ini mempengaruhi bentuk kerja perempuan dan hubungan sosial baik antar-gender maupun didalamgender yang sama dari kelas sosial yang berbeda. Pada kasus perempuan atau wanita pedagang yang rata-rata berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi kelas menengah ke bawah, selain bekerja sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai ‘bread winner’ disamping suaminya. Bagi perempuan golongan ini,
21
peranan ganda seorang perempuan telah mereka terima sebagai kodrat perempuan. Atau dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang melanda mereka dan keluarganya menyebabkan perempuan-perempuan dari golongan ini tidak dapat begitu saja menyerahkan kelangsungan hidup keluarga kepada suami mereka. Menurut pendapat Rahma Sugiharti dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 47) mengatakan bahwa wanita sesungguhnya merupakan sumber daya ekonomi yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pria. Keberadaan wanita dalam rumah tangga bukan sekedar sebagai pelengkap fungsi reproduksi saja, namun lebih dari itu wanita terbukti memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejateraan rumah tangga serta masyarakat. Menurut Standing (1978) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 48) berpendapat akibat perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi pelan-pelan partisipasi tenaga kerja wanita tanpa terkecuali wanita yang telah berumahtangga tampak mulai meningkat, wanita dapat dijadikan sumber daya ekonomi yang tidak kalah penting dibandingkan dengan pria, dan juga dapat memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan ekonomi rumah tangga (keluarga). Namun, tidak bisa dipungkiri muncul masalah-masalah yang dihadapi wanita yang bekerja di luar
rumah
(sektor
publik),khususnya
bagi
wanita
yang
telah
berumahtangga dan mempunyai anak. Masalah – masalah tersebut dapat
22
terjadi diakibatkan oleh adanya perbedaan ’peran gender’ antara pria (laki – laki) dan perempuan (wanita) yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan norma sosial dan nilai social budaya masyarakat yang bersangkutan. Peran kodrati merupakan sifat bawaan biologis sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria dan wanita. Perempuan (wanita) diberikan peran kodrati yang dikenal sebutan ’Lima M’ (menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dengan air susu ibu, dan menopause). Sedangkan laki – laki (pria) diberikan peran kodrati dengan sebutan ’Satu M’ (membuahi sel telur wanita) (Arjani, 2002 dan Agung Aryani, 2002) dalam (Sudarta, 2007: 5). Contoh – contoh ’peran gender’ berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain yang disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 6), antara lain sebagai berikut:
Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, yang berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan daripada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
23
Masyarakat
Sumatera
Barat
menganut
sistem
kekerabatan
matrilineal, yang berarti hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting daripada hubungan keluarga dengan garis pria (ayah).
Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/bilateral, yang berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
Contoh – contoh ’peran gender’ berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 6), antara lain sebagai berikut:
Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria, tetapi sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa.
Contoh – contoh ’peran gender’ yang dapat ditukarkan antara pria dan wanita, (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, : 6), antara lain sebagai berikut:
Mengasuh anak, mencuci pakaian, dan lain – lain yang biasanya dilakukan oleh wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria (ayah).
Mencangkul, menyembelih ayam, dan lain – lain yang biasa dilakukan oleh pria (ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu).
24
Menurut Bemmelen (2002) dalam (Sudarta, 2007: 6) ada beberapa ’ciri gender’ yang dilekatkan masyarakat pada pria dan wanita, antara lain sebagai berikut:
Perempuan memiliki ciri – ciri, yakni: lemah, halus atau lembut, dan emosional.
Laki – laki (pria) memiliki ciri – ciri, yakni: kuat, kasar, dan rasional. Namun dalam kenyataannya, ada wanita yang kuat, kasar, dan
rasional. Begitu juga sebaliknya ada juga pria yang lemah, lembut, dan emosional (Bemmelen, 2002) dalam (Sudarta, 2007: 7). Beberapa status dan peran yang dianggap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita, antara lain sebagai berikut:
Perempuan 1. Ibu rumah tangga 2. Bukan Pewaris 3. Urusan rumah tangga (sektor domestik)
Pria 1. Kepala keluarga/rumah tangga 2. Pewaris 3. Pencari nafkah (sektor publik) Namun dalam kenyataannya, banyak juga ditemukan perempuan
ikut terjun ke dalam sektor publik untuk mencari nafkah bagi keluarganya bersama – sama dengan laki – laki, seperti: buruh pabrik, pegawai dalam
25
suatu kantor, dan lain sebagainya (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003) dalam (Sudarta, 2007: 7). Ada berbagai masalah – masalah yang dihadapi oleh perempuan (wanita), khususnya bagi wanita yang telah berumahtangga dan mempunyai anak ketika ia memutuskan ikut terjun bekerja di luar rumah (sektor publik), antara lain sebagai berikut: a. Pandangan Masyarakat Fenomena perempuan bekerja di luar rumah oleh banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat biasanya mengikuti sepak terjang perempuan bekerja dengan menggunakan ”kaca pembesar” dan langsung menilai pantas atau tidaknya berdasarkan
nilai
–
nilai
yang
berlaku
(konstruksi
sosial
masyarakat). Baik itu di dunia Timur maupun Barat, perempuan digariskan untuk menjadi istri dan ibu, sehingga menimbulkan stereotype (pelabelan negatif) yang dikenakan/diberikan kepada perempuan yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten, terkecuali untuk tugas rumah tangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka
(suami)
lebih
tinggi
dan
mempunyai
hak
untuk
mengendalikan perempuan (Chrysanti Hasibuan - Sedyono, 1991)
26
dalam (Gardiner, dkk., 1996:218). Stereotype yang dianggap kodrat telah melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Akibatnya, lahir pembagian kerja secara seksual. Laki-laki mendapat porsi yang lebih menguntungkan daripada perempuan (Arief Budiman,1981) dalam (Irvanus Edwin, 2002). Pelabelan negatif (stereotipe) ini dapat dilihat secara nyata dalam lingkungan masyarakat Indonesia, misalnya: di lingkungan masyarakat Jawa, dimana perempuan disebut sebagai ’konco wingking’ (teman di belakang), bahkan ada pameo ’swargo nunut neroko katut’ (ke surga atau ke neraka, istri hanya mengikuti suami). Hal – hal tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas tentu sangat bertolak – belakang dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier (bekerja di luar rumah), seperti: agresif, ambisius, produktif, dan sebagainya. Dari sinilah berawal memunculkan isu bahwa perempuan bekerja di luar rumah hanyalah sekedar menjalankan pekerjaan (do a job) dan bukan berkarier (make a career) tidak seperti laki – laki yang sejak masih anak – anak telah biasa menerima pertanyaan: ”Kalau besar nanti, kau mau jadi apa?” (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996:218). Nilai – nilai tradisional yang ada dalam masyarakat dapat menjadi tekanan sosial bagi perempuan ketika ia memutuskan
27
bekerja di luar rumah (sektor publik), misalnya: perempuan Jawa dari kalangan bangsawan akan tetap mengingat masak, macak, manak (memasak, bersolek, dan melahirkan anak) sebagai tugas utamanya, dan melewati proses mawas diri dan konflik batin sebelum memutuskan menjadi wanita karier. Dan juga bila seorang perempuan bekerja di luar rumah (sektor publik), sering ia dianggap harus tunduk pada penilaian suami atau orangtuanya tentang apa yang patut dan apa yang tidak patut dikerjakannya. Proses semacam ini juga dialami oleh perempuan dari kalangan kelas menengah lainnya di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih mengaitkan kesejahteraan keluarga (rumah tangga) dengan peranan ibu sebagai ’ratu rumah tangga’ di dalam suatu keluarga (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996: 219). b. Peran Ganda Peran ganda perempuan merupakan masalah yang sering dihadapi perempuan yang bekerja di sektor publik (domain public), khususnya
bagi
perempuan
yang
telah
berumah
tangga
(berkeluarga) dan bahkan setelah dirinya mempunyai anak – anak (Chrysanti Hasibuan – Sedyono, 1991) dalam (Gardiner, dkk., 1996: 220).
28
Rahma Sugiharti dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 49) berpendapat bahwa adanya kecenderungan, setiap kali wanita akan bekerja dan mengembangkan diri serta kariernya di dunia publik, mereka harus menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa apabila wanita itu ingin mengembangkan karier atau berkecimpung di dunia publik, mereka dituntut untuk tetap dan selalu tidak melupakan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Dan acap kali terjadi dalam mayarakat kita bahwa bila dalam keluarga dimana suami – istri bekerja di dunia publik dan terjadi keretakan dalam keluarganya/rumah tangganya,
maka
pada
wanitalah
segala
kesalahan
akan
ditimpakan. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa kendati masyarakat telah semakin berkembang ke arah masyarakat industri, namun pandangan umum tentang wanita yang bekerja belum disamakan dengan pria. c. Beban Kerja Ganda (Double Bourden) Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Dimana konsekuensinya menjadi banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan
29
rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Bagi kalangan keluarga menengah ke bawah beban yang sangat berat tersebut harus ditanggung oleh perempuan itu sendiri. Terlebih – lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja di sektor publik (diluar rumah) untuk membantu keuangan suami yang tidak memadai dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari – hari di dalam keluarga/rumah tangganya, maka mau tidak mau dirinya harus memikul beban kerja ganda (double bourden) itu (Fakih, 1996: 21). Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis ’pekerjaan perempuan’, misalnya: semua pekerjaan
domestik,
dianggap
dan
dinilai
lebih
rendah
dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai ’pekerjaan lelaki’, serta dikategorikan sebagai ’bukan produktif’ sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak, kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu.
30
Hal
–
hal
inilah
yang
mengakibatkan
memperkuat
pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan (Fakih, 1996: 21 – 22). Ketiga permasalahan tersebut di atas dapat terjadi disebabkan oleh karena masih adanya nilai – nilai sosial budaya di dalam masyarakat kita yang umumnya belum siap menerima pergeseran nilai perubahan sosok wanita masa kini (Rahma Sugihartati) dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 49). Untuk
itulah,
perlu
adanya
’konsep
sosialisasi
androgini
(androgyny)’ yang diterapkan di dalam suatu keluarga untuk dapat mencegah terjadinya ketidakadilan gender (gender inequalities) baik bagi kaum laki – laki dan terutama bagi kaum perempuan (Megawangi, 1999: 114).
Sosialisasi Androgini (Androgyny) Proses
sosialisasi
untuk
pembentukan
identitas
gender
dikembangkan oleh beberapa psikolog feminis, yaitu dengan memperkenalkan “konsep pendidikan androgini (androgyny)”. Dimana konsep tersebut cukup marak menjadi bahan diskusi para feminisme pada 1970 – an. Konsep androgini berasal dari bahasa Latin, yaitu : andro yang berarti pria, dan gyne yang berarti perempuan. Jadi, yang dimaksud dengan pendidikan androgini adalah pendidikan yang memperkenalkan konsep bebas gender kepada anak laki-laki dan perempuan. Konsep pendidikan
31
androgini berbeda dengan konsep pendidikan yang konvensional yang berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan berbeda. Bagi para kaum feminis, konsep pendidikan konvensional ini akan terus melanggengkan perbedaan peran gender (Megawangi, 1999: 114). Konsep androgini berasumsi bahwa anak laki-laki dan perempuan mempunyai potensi yang sama untuk menjadi maskulin atau feminin. Oleh karena itu perlu diperlakukan sama. Apabila anak laki-laki dan perempuan menginternalisasi peran – peran yang sama, maka diharapkan tidak ada lagi yang berstereotip gender (Megawangi, 1999: 114). Menurut mereka yang setuju dengan pendidikan androgini, anak-anak yang dibesarkan secara androgenous akan mempuyai kepribadian yang menguntungkan, karena akan lebih banyak kesempatan dan pilihan yang dimiliki, terutama oleh kaum wanita. Dalam masyarakat yang lebih menilai tinggi pekerjaan sektor publik daripada sektor domestik (pengasuhan anak dan pekejaan rumah tangga); pendidikan androgini dianggap sebagai cara yang tepat untuk mempersiapkan para wanita agar mampu/dapat bersaing dengan para pria di sektor publik. Sedangkan para pria yang telah dibesarkan secara androgenous, mereka juga akan diberi pilihan yang lebih beragam dalam menentukan jenis – jenis pekerjaan
32
yang akan ditekuninya, terutama pada bidang – bidang yang tadinya didominasi oleh kaum perempuan (Megawangi, 1999: 115). Menurut Letty Cottin P. dalam bukunya ‘Growing Up Free: Raising Your Child in the 80’s’ dalam (Megawangi, 1999: 114 – 115) menjelaskan tentang bagaimana para orang tua dapat menerapkan pendidikan androgini, antara lain:
Para orangtua harus menghindari segala komunikasi yang mempunyai sinyal – sinyal yang berbau gender pada anaknya, seperti : pemberian mainan, baju-baju, dekorasi kamar yang mempunyai stereotip gender.
Kedua orangtua harus bebas dari segala peran – peran berstereotype gender serta harus sama – sama berperan dalam pengasuhan anak, dan dalam pencarian nafkah.
Menjaga segala kemungkinan yang ada tentang stereotype gender agar jangan masuk ke dalam benak pikiran anak – anaknya , misalnya : pengaruh dari televisi, buku-buku bacaan, lingkungan, dan sebagainya. Bern (1972) dalam (Megawangi, 1999: 114) berpendapat bahwa setiap anak yang disosialisasikan secara androgenous, akan menghasilkan identitas gender yang berkaitan dengan kualitas feminin. Identitas ini akan menolak segala pendapat yang mengatakan
bahwa
difrensiasi
kerja
berdasarkan
gender.
33
Perempuan hanya dapat melakukan pekerjaan tertentu, dan pria melakukan pekerjaan tertentu pula. 2.4 Peran Ganda Perempuan Adanya
anggapan
bahwa
kaum
perempuan
memiliki
sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, sehingga mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dengan membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air, hingga memelihara anak. Dikalangan keluarga miskin beban berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Apalagi jika perempuan tersebut harus bekerja, maka beban kerja yang dipikulnya menjadi double atau ganda. Rahma Sugiharti dalam (Suyanto & Hendrarso, 1996: 49) berpendapat bahwa adanya kecenderungan, setiap kali wanita akan bekerja dan mengembangkan diri serta kariernya di dunia publik, mereka harus menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah tangga. Hal ini berarti bahwa apabila wanita itu ingin mengembangkan karier atau berkecimpung di dunia publik, mereka dituntut untuk tetap dan selalu tidak melupakan tugas mereka sebagai ibu rumah tangga. Dan acap kali terjadi dalam mayarakat kita bahwa bila dalam keluarga dimana suami – istri
34
bekerja di dunia publik dan terjadi keretakan dalam keluarganya/rumah tangganya, maka pada wanitalah segala kesalahan akan ditimpakan. Keadaan semacam ini menunjukkan bahwa kendati masyarakat telah semakin berkembang ke arah masyarakat industri, namun pandangan umum tentang wanita yang bekerja belum disamakan dengan pria. Pada kehidupan perempuan atau wanita pedagang, sangat memungkinkan bahwa mereka biasanya selalu mengalami kelebihan bobot kerja. Dimana mereka harus bekerja ekstra, baik di ruang lingkup domestik maupun publik guna membantu mengurus dan menyediakan berbagai kebutuhan keluarganya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mau tidak mau mereka yang rata-rata berasal dari keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah harus ikut berpartisipasi guna membantu pendapatan ekonomi keluarga. Namun akan timbul masalah apabila nantinya tidak terjadi pembagian kerja yang adil dan sikap tenggang rasa dalam keluarga, sehingga perempuan dalam keluarga lama kelamaan akan mengalami ketidakadilan gender. Sekarang peran ganda perempuan Indonesia, terutama yang tercermin dari kehidupan perempuan atau wanita pedagang, bukanlah menjadi problematika lagi. Saat ini yang menjadi problematika bagi mereka adalah bagaimana cara melestarikan kesempatan mereka untuk tetap dapat eksis beperan ganda, yakni sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus bread winner, serta mendapat perlakuan yang sama dengan
35
laki-laki dalam berbagai kesempatan dan bidang, termasuk dalam pekerjaan. Yang kemudian akan berdampak pada peran dan pola relasi gender yang positif diantara keduanya. Secara umum peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik, sebagai ibu rumah tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja (Rustiani, 1996: 60). Konsep ini agaknya dapat menyelesaikan permasalahan pembakuan peran seperti yang selama ini dipahami sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang tidak dapat ditawar. Dengan konsep peran ganda seperti ini, perempuan tidak lagi melulu harus berkutat disektor domestik tetapi juga dapat merambah sektor publik. Pada kenyataannya, data statistik di seluruh dunia memang selalu menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan dalam pasar kerja dan politik selalu lebih kecil dari laki-laki. Data statistik ini dipakai untuk menunjukkan bahwa ada kesenjangan struktural antara laki-laki dan perempuan yang dalam hal ini kaum perempuan selalu berada dalam kondisi keterpurukan. Data statistik memang dapat memberikan sebuah visualisasi tentang keadaan perempuan sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Akan tetapi, dengan hanya mengandalkan data statistik
36
semata-mata, tanpa mengkaji konteks di balik data statistik tersebut, maka informasi yang berharga untuk menganalisis kondisi perempuan akan hilang. Asumsi yang dipakai pada konsep kesetaraan ini mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan harus mempunyai kapasitas, kesukaan dan kebutuhan yang sama, sehingga idealnya mereka harus meraih tingkat kesehatan, pendidikan, pendapatan, partisipasi politik yang sama pula. Secara implisit di sini tidak diakui adanya perbedaan biologis yang mempengaruhi potensi kemampuan antara laki-laki dan perempuan. Padahal kalau ditilik secara cermat kemampuan manusia bisa dipandang dalam sifatnya yang universal dan spesifik. Kemampuan universal adalah kemampuan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan dalam kapasitas dan potensinya yang sama. Karena itu pada kemampuan yang bersifat universal ini, konsep kesetaraan 50-50 ini sangat mungkin untuk dicapai. Sedangkan kemampuan spesifik adalah kemampuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan karena adanya keragaman biologis. Perempuan dengan sifat khas femininnya, misalnya, menjadikan hal
tersebut
sebagai
faktor
yang
mempengaruhi
dalam
proses
pemilihannya untuk terjun dalam kegiatan publik. Dengan adanya keragaman biologis ini menyebabkan kesetaraan 50-50 tidak tepat, karena sarana untuk mencapai itu tidak sama antara laki-laki dan perempuan (Megawangi, 1999: 29-30).
37
Konsep
peran
ganda
yang
semula
diharapkan
dapat
memberdayakan perempuan dalam perjalanannya justru seringkali menimbulkan banyak kebingungan. Ini terjadi karena paradigma yang dipakainya masih belum bisa melepaskan diri dari corak berpikir dikotomis. Ruang publik dan domestik dipisahkan secara diametral. Jika pada akhirnya keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor dipilah-pilah dengan kategori peran ganda maka tidak mustahil hal ini akan melahirkan mentalitas dikotomis. Pemilahan seperti ini akan melahirkan kepribadian terpecah (split personality) dan tentu akan menjadi masalah besar. Perempuan seharusnya dibiarkan menjadi dirinya sendiri di mana pun ia berada, tanpa harus terkotak kotak pada ruang publik atau domestik. Pemilahan secara dikotomis justru sangat kontraproduktif terhadap kemandirian perempuan itu sendiri. Perempuan boleh memiliki banyak peran (multi peran) selama ia punya komitmen terhadap kebenaran dan keadilan. Keterpurukan pada dikotomi semacam ini dapat diatasi bila paradigma yang digunakan diubah dengan cara pandang pada sisi kemanusiaan yang bersifat universal. Salah seorang tokoh feminis, Naomi Wolf,
mengatakan
bahwa
upaya
untuk
memperbaiki
kehidupan
perempuan membutuhkan keberanian untuk secara terus-menerus mensosialisasikan gagasan feminis secara rasional dan simpatik. “Menjadi feminis” bagi Wolf harus diartikan “menjadi manusia”, karena
38
feminis adalah sebuah konsep yang mengisahkan harga diri pribadi dan harga diri seluruh kaum perempuan (Wolf, 1997 dalam www. Kunci.or.id). Laki-laki dan perempuan tidak dilihat sematamata pada kelaki-lakiannya dan keperempuannya, tetapi dilihat secara umum sebagai manusia. Keduanya merupakan agen keadilan dan kebenaran serta mempunyai peluang yang sama dalam membangun peradaban. Konsep yang bersandar pada paradigma semacam ini lebih memfokuskan perbincangan pada pemahaman yang komprehensif dan integral terhadap wilayah-wilayah peran itu sendiri. Jika perempuan mengkonsentrasikan diri dalam peran domestik, tidak berarti ia harus meninggalkan peran publiknya, demikian juga sebaliknya. Konsep peran komprehensif universal tidak hanya berlaku bagi perempuan tapi juga laki-laki. Dengan demikian peran keduanya bisa produktif dan bermanfaat bagi semua pihak. Laki-laki dan perempuan dari sisi kemanusiaan mengemban kewajiban kodrati yang sama, yakni sebagai hamba Tuhan dan khalifah di muka bumi. Dengan bersandar pada asumsi dasar bahwa Tuhan
menciptakan
sesuatu
dengan
berpasang-pasangan,
maka
keberadaan laki-laki dan perempuan dengan segenap potensinya diharapkan dapat berkoeksistensi secara sinergis mewujudkan tugas mulia yang diembannya. Keberadaan laki-laki dan perempuan bukan dipahami sebagai sesuatu yang dipertentangkan (dikotomis) tetapi sebagai hal yang
39
berpasangan. Konsep “paritas” (keberpasangan) diharapkan dapat memberikan alternatif wacana untuk memahami relasi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian kecenderungan wacana tidak hanya berkutat pada “kesumpekan” gender yang dikotomis. Keberpasangan dapat pula dianalogikan dengan kunci. Kunci adalah kesatuan antara anak kunci dan lubang kunci. Sebuah anak kunci tentu hanya akan benar-benar fungsional untuk membuka atau menutup sesuatu jika ia dimasukkan pada lubang yang memang ditetapkan untuk dimasukinya. Anak kunci bisa saja masuk pada lubang-lubang kunci lain yang bukan pasangannya, tapi ia hanya bisa masuk dan tidak dapat diputar. Pintu terkunci pun bisa saja dibuka tanpa kunci dengan cara dibongkar atau didobrak (Risang Ayu, 1999: 63-64). Bentuk
kunci
tentu
jelas
berbeda
dengan
lubang
kunci.
Fungsionalisasinya pun tidak seperti sayap yang serempak, tapi justru lubang kunci yang kelihatannya diam dan submisif yang mengaktifkan kunci. Karena itu cara kerja kunci adalah dinamika keharmonisan yang lebih tidak kasat mata jika dibandingkan dengan dinamika keharmonisan sayap burung. Keberpasangan laki-laki dan perempuan sering mengalami penyederhanaan hanya sebagai keberpasangan sayap burung, padahal tidak selalu demikian. Sering terjadi keberpasangan kunci-lah yang lebih cocok. Dari kompleksitas keberpasangan laki-laki dan perempuan tersebut, ada satu hal yang pasti bahwa kelemahan selalu mengandalkan
40
kelebihan dalam segi lain. Seandainya memang kelemahan perempuan yang sebenar-benarnya masih ada, maka tentu itu bukan kelemahan dari segi kualitas fisik (Risang Ayu, 1999: 65). Hebatnya laki-laki yang sanggup bekerja fisik terus-menerus tanpa terhalang oleh menstruasi tentu tidak dapat dibandingkan dengan hebatnya perjuangan perempuan dalam melahirkan anak. Dalam banyak bidang pekerjaan, mekanisasi telah membuat pekerjaan otot berganti menjadi pekerjaan memencet tombol saja. Ini jelas menetralisasi kelemahan fisik perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah sebanding, sejajar tapi tidak sama. Lakilaki dan perempuan adalah diri yang satu yang menempati dua raga yang berbeda. Perbedaan ini jika dikaji lebih dalam akan bermuara pada pengalaman kerinduan akan keutuhan. Pengalaman kerinduan ini sama proporsinya antara laki-laki dan perempuan. Kerinduan akan keutuhan yang horisontal ini penting dalam kacamata spiritual. Hanya melalui Tuhan, manusia baik laki-laki atau pun perempuan dapat memahami kerinduan akan keutuhan yang lebih besar, yaitu kerinduan transenden. Kerinduan untuk selalu bersama-sama dan selalu utuh dengan Yang Mutlak (Risang Ayu, 1999: 25). Keyakinan dan upaya untuk merealisasikan bahwa laki-laki dan perempuan adalah satu diri merupakan suatu pembebasan paling radikal yang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan sebagai seorang
41
manusia. Keyakinan ini dapat membebaskan laki-laki dan perempuan dari penjara raganya yang sementara, dikotomi menjadi kesatuan yang utuh, pasangan
manusia.
Dari
interaksi
saling
mengutuhkan
dan
mengimanenkan kembali antar pasangan manusia maka kemampuan bertanggungjawab, kedewasaan bersikap, dan ketenangan akan dapat tercapai (Risang Ayu, 1999: 57). Bila ini ditarik pada konteks gerakangerakan yang peduli kaum perempuan maka akan tampak benang merahnya. Ide dasar gerakan tersebut tentu sangat luhur, yakni untuk memanusiakan perempuan. Perempuan adalah juga manusia, sama dengan lakilaki. Keduanya
sama-sama
dititipi
ruh,
memiliki
potensi
untuk
cenderung ke arah kebaikan dan sebaliknya, berpotensi untuk mencapai ketinggian ilmu dan sebaliknya, dan berpotensi untuk mencapai kemuliaan
tertinggi.
Karena
itu,
dalam
konteks
memanusiakan
perempuan, perempuan harus diakui sebagai subjek yang punya kehendak, kebaikan, dan kebijakan dari dalam dirinya sendiri.
42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Dasar Penelitian Dalam penelitian nantinya, saya akan menggunakan metodologi penelitian kualitatif; Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi,motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. (Moleong, 2000:05). Adapun, Dalam metodologi tersebut terdapat beberapa cara, atau metode, dalam pengumpulan data. Salah satunya adalah studi kasus. Menurut Bogdan dan Biklen, Studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Surachmad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Kasus yang saya maksudkan dalam penelitian ini tidak lain adalah para pedagang wanita yang telah berkeluarga, atau ibu rumah tangga. Meski model analisis nantinya menggunakan studi kasus, tetapi mengenai cara atau metode pengumpulan data, teknik observasi dan
43
wawancara menjadi pilihan yang sesuai dengan metodologi penelitian kualitatif. Tetapi sebelum membahas mengenai teknik pengumpulan data tersebut, saya terlebih dahulu akan menjelaskan mengenai metode penentuan informan dan lokasi penelitian saya.
3.2 Informan dan Lokasi Penelitian 3.2.1 Informan Kriteria informan dalam penelitian saya adalah wanita yang sedang dalam ikatan pernikahan dan memiliki anak. Saya tidak menjadikan jumlah anak sebagai patokan, sebab yang paling utama adalah hubungan antara orang tua, anak dan pekerjaannya. Lebih jauh mengenai wanita yang saya maksud tidak lain adalah pedagang di Pasar Sentral. Penentuan informan di tetapkan secara sengaja (porposive sampling). Sebelum fokus ini tertuang dalam proposal penelitian, saya telah melakukan penjajakan lokasi penelitian, untuk mengetahui kondisi dan situasi pada tempat tersebut, termasuk pengamatan awal guna pencarian informan kunci. Dengan demikian informan kunci tersebut sebagai informan awal yang saya pilih secara sengaja dengan total 6 (Enam) informan, Fokus informan saya adalah Wanita yang Berdagang Pakaian, yaitu 2 Seorang Ibu Rumah Tangga sekaligus berperan langsung sebagai Wanita Pedagang, 2 Seorang Ibu Rumah Tangga dan
44
sebagai Wanita Pedagang tapi, tidak berperan langsung sebagai Wanita pedagang, dan 2 Seorang Ibu Rumah Tangga yang membantu ekonomi keluarga. Yang kegiatan tersebut di laksanakan di pasar sentral. 3.2.2 Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian bertempat di Pasar Sentral, dipilih karena, jika dibandingkan dengan pasar-pasar tradisional lainnya, Pasar Sentral
(sesuai
dengan
namanya)
adalah
pusat
barang-barang
diperdagangkan. Barang-barang yang dimaksud sangat beragam; barang primer seperti bahan makanan pokok dan pakaian, serta barang sekunder seperti barang pecah belah, aksesoris, dan lainnya. Dan karena itu, diasumsikan bahwa pasar-pasar lainnya (pasar tradisional) di Makassar mengambil barang dari Pasar Sentral. Dari asumsi tersebut maka kemungkinan,
tingkat
kesibukan
dalam
perdagangan
(khususnya
wanita/ibu rumah tangga) akan lebih tinggi dibandingkan perdagangan pada pasar tradisional lainnya. Saya fokus memilih informan wanita pedagang pakaian karena setelah saya melakukan penjajakan lokasi penelitian di Pasar Sentral, saya melihat kebanyakan dari wanita pedagang yang telah berkeluarga dan cenderung berjualan pakaian.
45
3.3 Metode Pengumpulan Data Adapun
metode
atau
cara
yang
saya
gunakan
dalam
pengumpulan data nantinya adalah pengamatan dan wawancara mendalam. Keduanya saya jelaskan sebagai berikut; 3.3.1 Teknik Pengamatan (observation) Pengamatan atau observasi adalah metode yang mewajibkan seorang peneliti berada di lokasi penelitian, dan berarti pula bahwa peneliti melakukan tatap-muka dengan informannya. Keharusan tersebut tercermin dari metode pengamatan itu sendiri, dimana mata, telinga serta perasaan ikut, atau disadari oleh peneliti, dalam pengumpulan data. Atas dasar itu pula, Buford Junker dalam Patton yang dikutip oleh Moleong (2000:127-128) membagi pengamatan dalam empat jenis; berperanserta secara lengkap, pemeranserta sebagai pengamat, pengamat sebagai pemeranserta, dan pengamat penuh. Berdasar jenis pengamatan tersebut, saya memillih untuk menerapkan pemeranserta sebagai pengamat, yang difahami; dimana peneliti selain sebagai pemeranserta, juga tetap sadar akan posisi selaku peneliti (Moleong, 2000:127-128). 3.3.2 Teknik Wawancara Mendalam (Depth-Interview) Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan melakukan tanya jawab langsung kepada informan yang berdasarkan pada tujuan penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan penulis adalah dengan cara mencatat berdasarkan pedoman pada daftar pertanyaan yang telah di
46
siapkan sebelumnya. Wawancara ini di lakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi. Untuk lebih mendalami apa yang dimaksud informan tentang ‘dunianya’, untuk itu, wawancara mendalam sebagai “cara mengumpulkan data atau informasi dengan langsung bertatap
muka
dengan
informan,
dengan
maksud
mendapatkan
gambaran lengkap tentang topik yang diteliti (Bungin [Ed], 2001:157-158), adalah model atau tipe wawancara yang akan saya gunakan nantinya. Selain metode diatas, saya juga menggunakan metode kajian literatur dan dokumentasi penelitian menggunakan alat bantu kamera. Kajian literatur atau dokumentasi yang di maksudkan penulis disini adalah peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang termasuk dengan masalah penelitian. 3.4 Teknik Analisa Data Seluruh hasil data yang akan dikumpulkan ataupun diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menggambarkan dan memaparkan seperti apa yang terjadi pada wanita pedagang di pasar sentral. Secara jelas dan mendalam yang kemudian hasil dari penggambaran masalah tersebut diinterpretasikan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan.
47
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Kota Makassar Kota Makassar secara administratif berkedudukan sebagai ibukota provinsi
Sulawesi
selatan
dan
sebagai
pengembangan
dan
pembangunan. Tahun 1971 resmi bernama Ujung Pandang, tetapi banyak kalangan terus berupaya untuk memakai kembali nama Makassar. Dan puncaknya adalah pada tanggal 13 Oktober 1999 lalu ketika nama yang sarat nilai historis itu resmi digunakan kembali. Makassar didirikan oleh dua kerajaan maritim, Gowa-Tallo ini kini sudah menjadi kota besar. Menyorot perkembangan kota Makassar dengan beragam fungsinya ada baiknya dikaitkan dengan masa lampau. Seakan tidak dapat meninggalkan sejarah, kota ini memenuhi harapan pendirinya yaitu sebagai kota niaga yang disegani. Menurut catatan perjalanan pelaut Portugis, Tomy Peres, pada 1513 nama Makassar sudah melambung sebagai bandar niaga yang kosmopolit. Makassar merupakan salah satu kota terbesar yang ada di Kepulauan Sulawesi. Secara administratif, kota makassar merupakan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan yang berada pada bagian barat Pulau Sulawesi. Kota Makassar memiliki luas 175.77 Km2 dengan ketinggian 0 – 25 mm dari permukaan laut yang terletak pada posisi 1990, 24’, 17’, 38’
48
Bujur Timur dan 50, 8’, 6’, dan 19’ Lintang Selatan dengan batas-batas geografis sebagai berikut : -
Sebelah Utara : Kabupaten Pangkajenne Kepulauan Sebelah Timur : Kabupaten Maros Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa Sebelah Barat : Selat Makassar
Sebagaimana kota-kota lainnya yang ada di Indonesia, Kota makassar bisa digolongkan termasuk kota yang memiliki iklim tropis, adapun iklim kota makassar rata-rata pertahun adalah sebagai berikut : - Kelembaban udara berkisar antara 71 % - 98 % - Curah hujan tahunan rata-rata 21 mm - Jumlah hari hujan berkisar 195 hari pertahun - Temperatur udara rata-rata sekitar 26,50 - 30,20 C - Kecepatan angin berkisar antara 3,9 - 5,8 knot/jam 4.2. Gambaran Lokasi dan Pedagang Makassar Mall (Pasar Sentral) Pada mulanya Makassar Mall sebelumnya merupakan kuburan Cina yang dibangun oleh warga Tionghoa sendiri. Karena kuburan ini terletak di tengah Kota sehingga menjadi masalah bagi warga kota. Sebagai respon dari pemerintah maka dari tahun 1974 kuburan cina diubah menjadi Pasar Sentral. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan kesepakatan atau ganti rugi antara warga Tionghoa dengan pemerintah kota Madya ujung Pandang. Hal tersebut sesuai yang dikatakan oleh tuan Shiu bahwa Pada waktu perubahan
49
lokasi dari kuburan cina menjadi pasar, kami warga Tionghoa dijanji oleh pemerintah untuk diberi keistimewaan dalam menepati lokasi pasar yang akan dibangun. Kemudian dalam rangka pembangunan kota, Pasar Sentral dikembangkan sehingga pada tanggal 27 September 1994 diubah namanya menjadi Makassar Mall. Peresmian Makassar Mall dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan H. Zaenal Basri Palaguna, dengan luas tanah 23.895 m dan luas bangunan 12.000 m menampung 1946 pedagang dari berbagai jenis usaha. Dalam mendukung kelancaran kegiatan perdagangan di Makassar Mall, dibentuk PD Pasar Unit I Makassar Mall dan PT.Anugrah Bahan Citra sebagai pengelola pasar yang memberikan kondisi infrastruktur pasar. Makassar Mall berada pada lintasan kota Makassar yang strategis, karena membentuk pola segitiga yang disebut “Minasaupa” akronim dari Sunggu Minasa, Maros serta Ujung Pandang ( sekarang Makassar). (Intan, 2001:44). Makassar Mall tersebut terletak di kelurahan Ende, Kecamatan Wajo tepatnya di jalan H. Agussalim, secara administratif, maka batas-batas lokasi Makassar Mall berdasarkan data yang diperoleh PD Pasar Unit I sebagai berikut: 1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Biringkanaya tepatnya Jl. Satangga.
50
2.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Makassar dengan Kecamatan Bontoala tepatnya di. Jl. Pajejenekang.
3.
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Mariso dan Kecamatan Tamalate tepatnya di Jl. K.H. Muh. Ramli.
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Makassar tepatnya di Jl. Hos Cokroaminoto.
Sesuai dengan batas-batas tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa lokasi tersebut sangat strategis, karena berada pada pusat kota sehingga memberikan prospek bagi pengembangan usaha perdagangan. Dengan lokasi yang strategis menumbuhkan minat para pedagang untuk mengambil tempat usaha di lokasi tersebut. Pedagang yang bermukim di lokasi itu terdiri dari pedagang Bugis Makassar, pedagang dari suku Jawa, pedagang etnis Tionghoa dan selebihnya dari pedagang etnis lain seperti Arab dan india. Pada lingkungan Makassar Mall atau kita kenal dengan sebutan Pasar Sentral. Interaksi sosial atau hubungan diantara pedagang sangat terlihat dengan melihat jumlah pedagang atau jumlah petak ruko pedagang. Data yang didapat penulis bahwa terdapat Ruko berjumlah 106, pada lantai dasar terdapat 808 petak usaha dagang, lantai satu terdapat 808 petak usaha dagang, Basement kering terdapat 426 petak usaha dagang, basement basah terdapat 816 petak usaha dagang, dan pada Pujasera terdapat 64 Petak. Jumlah tempat usaha berdasarkan
51
petak adalah 3028 petak usaha dagang yang terdapat di Pasar sentral. Lebih jelasnya dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel I. Jumlah Ruko dan Petak Pedagang Usaha Dagang
Jumlah
Keterangan
No 1.
Ruko
106
Toko
2.
Lantai Dasar
808
Petak
3.
Lantai II
808
Petak
4.
Basement Kering
426
Petak
5.
Basement Basah
816
Petak
6.
Pujasera
64
Petak
Sumber Data : PD Makassar Raya, 2011 Dari data diatas terlihat bahwa usaha yang digeluti oleh para pedagang Pasar Sentral Makassar berjumlah 3028. Dan jumlah tersebut lebih banyak usaha yang digeluti adalah usaha dagangan pakaian. Pasar Sentral memiliki enam Bagian wilayah dimana wilayah dibagi berdasarkan jenis usaha dagang. Ruko, lantai dasar adalah wilayah yang digunakan pedagang untuk menjual pakaian dan celana, pada wilayah lantai dua digunakan untuk menjual aneka macam kain seperti kain renda dan semacamnya. Wilayah basement kering digunakan untuk menjual barang dagangan campuran seperti baju, kain, celana, dan aksesoris
52
lainnya, basement basah digunakan pedagang untuk berjualan aneka macam makanan mentah, seperti ikan, sayur, dan daging. Setelah kebakaran pada tanggal 27 juni 2011, kini pasar sentral disebut penampungan, karena kondisinya yang tidak beraturan dan jumlah tempat atau kios kini bertambah, yang dulunya punya kios satu, atau dua kini bertambah, bahkan ada pedagang yang dulunya mempunyai kios atau tempat yang lebih dari dua kini hanya dapat setengah petak, itu di karenakan setelah kebakaran para pedagang berlomba – lomba untuk mengambil tempat atau kios. Hingga saat ini pemerintah
menjanjikan
pembangunan
pasar
sentral
tetapi
para
pedagang meminta tempat atau kesepakatan awal bahwa dengan di bangunnya pasar sentral para pedagang tetap berjualan di sekitar pasar sentral atau penampungan hingga pasar sentral di bangun. Kegiatan pedagang sejak 2011, tidak lagi menempati bangunan ( ruko ), proses perdagangan terjadi di areal jalan pasar sentral dengan bangunan semi permanen. Area perdagangan yang baru tersebut masih dihuni
oleh
hampir
pedagang
yang
telah
lama
dengan
usaha
perdagangan berupa pakaian dan aksesoris. Aktivitas keseharian wanita pedagang di tempat tersebut melakukan transaksi mendistribusikan barang hingga mengelola keuangan hasil usaha mereka sendiri.
53
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan dan menggambarkan sisi kehidupan Pedagang perempuan mulai dari kehidupan keluarga mereka sampai pada pola hubungan kerja yang secara tidak langsung memberikan mereka strategi strategi dalam menjaga statusnya sebagai seorang
ibu
rumah
tangga.
sehingga
pada
tulisan
ini,
penulis
menekankan pada gambaran kehidupan dan pandangan mereka tentang dunia kerja yang digeluti, faktor pendorong mereka bekerja sebagai pedagang perempuan, dan gambaran tentang mereka dan keluarga. 5.1 Pandangan Dan Pembagian Kerja Sebagai Ibu dan Pedagang “Time is money”. Demikianlah peribahasa berbahasa Inggris yang menggambarkan bagaimana posisi waktu dalam kehidupan manusia. Dari peribahasa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya, bagi mereka yang hidup dengan mata pencaharian sebagai pedagang, waktu tidak dapat disia-siakan. Hal senada juga dapat menjadi kesimpulan berdasar peribahasa berbahasa Arab dengan arti; “waktu adalah pedang”. Jika para pedagang menyia-nyiakan waktu, maka mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar.
54
Hal berbeda terjadi jika posisi para pedagang juga sebagai ibu rumah tangga. Kemungkinan kerugian dapat timbul dari posisi keluarga (pembinaan anak) dan kemungkinan lain timbul dari posisi perdagangan (kerugian). Berdasarkan penelitian yang saya lakukan di Pasar Sentral terhadap enam orang informan yang berprofesi sebagai pedagang atau karyawan toko, pembagian waktu merupakan hal yang penting, atau diperhatikan dalam kehidupan mereka. Ini berlandaskan alasan mendasar bahwa Pasar Sentral adalah pusat perdagangan di Kota Makassar. Kehidupan ini dapat tergambarkan jika kita dapat “bertahan hidup” Perkembangan akan semua
yang menjadi kebutuhan kita seperti
makanan, minuman, pakaian, materi kepuasan seperti rumah, motor, mobil, adalah sesuatu yang diperlukan manusia secara tidak langsung. Keinginan akan pemenuhan kepuasan tersebut merupakan sumber dari seseorang melakukan sesuatu pekerjaan. Keterpaksaan melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan manusia merupakan hasil dari cara berpikir mereka. Baik dan buruk yang mereka lakukan adalah hasil dari kesadaran mereka tentang apa yang mereka kerjakan, mulai dari Pekerja Sipil, Karyawan Kantor, Penjaga Toko, Tukang Becak, Tukang Ojek, hingga Pekerja yang mengambil “semua jalan” untuk dapatkan materi pemenuhan hidup mereka seperti menjadi Pedagang ( Wanita Pedagang ). Kehidupan kerja dalam pandangan
55
mereka adalah semua pekerjaan sama yang membedakannya hanyalah bidang mereka masing-masing. Sehingga yang menentukan baik kehidupan yang dijalani seseorang adalah dengan melihat pekerjaan apa yang mereka kerjakan. Seperti yang diungkapkan Informan SR (30 Tahun) kepada peneliti : “nyamanji saya kerja begini, karena ini tommi kodong yang saya tau, apa tonji itu kalo hitung-hitung, jaga toko, memang iya, dari pagiki keluar ke toko, sampe sore, kitakan ibu-ibu jadi mauki tidak mau harus begini, ini juga isi waktuji, tambah-tambah penghasilan suami..” Pernyataan informan tentang kehidupan dan pandangan mereka akan dunia kerja memberikan kita kejelasan bahwa mereka juga menyadari apa yang mereka lakukan adalah sesuatu hal yang dapat dimengerti, dikarenakan ada ketentuan hidup yang mereka harus jalani sebagai ibu rumah tangga dan berkeluarga. Bukan pada persoalan tentang aturan saja yang membuat mereka melihat dunia kerjanya yang santai dan menyenangkan namun ada juga hal tentang pemenuhan kebutuhan psikis merupakan salah satu hal yang membuat mereka bertahan dalam pekerjaan mereka sebagai pedagang perempuan. hal tersebut merupakan nilai dalam kebudayaan manusia yang dijelaskan oleh koentjaraningrat (1974:31) bahwa Setiap masyarakat atau setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Malah
56
kebudayaan itu sendiri merupakan nilai yang tak terhingga bagi orangorang yang memiliknya. Dengan kata lain, seseorang akan bekerja setelah mengkaji dengan baik motif dan nilai untuk bekerja. Sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang selamanya dilandasi oleh suatu keinginan yang lahir akibat dorongan suatu kebutuhan yang ingin dipenuhi dalam menjalani kehidupan. Mereka (Wanita Pedagang) menyadari pentingnya peran ibu dalam berkeluarga, namun bagi mereka hal yang dapat memberikan kepuasan dalam hidup adalah terpenuhinya kebutuhan keluarga secara cukup dan menunjang kesejahteraan hidup keluarga mereka. Senada dengan hal ini, informan JB (34 Tahun) mengatakan kepada peneliti: “kita kerja begini, bukanji untuk mauki tambah kaya, atau apa, saya ini punya empat orang anak, yang satu sudah kuliah, yang tiga itu masih sekolah semua, baru kau taumi kalo anak-anak sekarang itu maunya bukan main, kita ini sebagai orang tuanya mau tidak mau harus penuhi semua maunya itu anak-anakta..” Pemenuhan kebutuhan yang dipenuhi oleh orang tua (perempuan pedagang) terhadap permintaan anak-anak mereka membuat mereka bekerja dan berusaha untuk menjadi orang tua yang peduli terhadap anak-anaknya. Beban tersendiri sebagai pedagang dan juga sebagai ibu rumah tangga mereka jalani dengan sebaik-baiknya. Satu hal yang pasti bahwa dalam menjalankan profesi sebagai perempuan pedagang, mereka memang dituntut untuk memahami dan
57
mengerti tentang peran seorang ibu. Seperti yang dijelaskan informan RI (24 Tahun) kepada peneliti: “kalo saya sebenarnya bagusji juga kalo kerjaki begini, lebih bagus lagi kalo bisaki seimbangkanki antara toko dengan anakta, karena saya ini jujur kerepotanka juga kalo mauka uruski anak-anakku, karena semua itu masih SD, belumpi makannya belumpi lagi antarki ke sekolah, tapi mau tidak mau kita harus bisa kerja, kita juga bisa jadi ibu..” Peranan sebagai seorang ibu tidak mereka lepaskan, dasarnya bahwa mereka dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus sebagai beban hidup yang mau tidak mau mereka harus jalankan. Pandangan akan pekerjaan mereka sebagai perempuan pedagang adalah sesuatu hal yang positif. Sesuatu pekerjaan yang menuntut mereka sebagai bagian dari
keluarga.
Menurut
penulis,
mereka
(perempuan
pedagang)
melakukan dan berprofesi sebagai pedagang bukan merupakan suatu hal tuntutan hidup, namun mereka bekerja seperti ini hanya untuk mencari waktu luang dalam keseharian mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal ini dijelaskan oleh informan ER (32 Tahun) kepada peneliti: “beginika kerja karena saya memang mau cari kesibukan, kalo misalkan kuantarmi anak-anakku kesekolah, tidak adami saya kerja, baru kerja beginikan tidak capek jaki, ka tinggal duduk jaki ditoko, tunggu orang datang beli barangta, itu terusji dibikin kalo kerja begini, makanya gampang memang kalo kerja begini, apalagi disinikan baku tau semua maki toh, makanya kalo ada gossip-gosip apa, kita bisa cerita-cerita, biasa sampe lupaki capekta,.”
58
Seperti juga yang dijelaskan informan JB (34 Tahun) kepada peneliti: “santai sekali begini, kerja beginiki tidak capek jaki, karena nuliatmi toh, duduk-duduk jaki begini, tunggu pembeli, biasa juga begini, ngantuk sendiri jaki di toko, makanya kerja beginika karena santai sekali,..” Dari pernyataan informan diatas, bahwa pekerjaan sebagai pedagang merupakan pekerjaan yang santai. Pola kerja dan aturan kerja merupakan keputusan mereka sendiri, sehingga dalam menjalankan aktifitas profesi, mereka memandang bahwa menjadi pedagang adalah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Dengan pola pembagian waktu yang mudah untuk diatur tersebut memungkinkan pekerjaan yang dilakukan di tempat dagang tidak mengganggu tugas seorang Ibu tersebut dalam membina anaknya. Namun ada juga informan yang memberikan jawaban atau tanggapan yang beda tentang pandangan mereka tentang pekerjaan sebagai perempuan pedagang. Seperti yang diungkapkan oleh informan RE (29 Tahun) kepada peneliti: “susah tongki kerja begini karena belum paki urus anak dirumah, tidak apa-apaji kalo ada bapakna di rumah, tapi kalo keluar tommi ada tong urusannya diluar, kita ini sebagai ibu khawatirki juga, kalo tiba-tiba di titipki di tetangga rumah, jadi susah memang kita kerja begini, dipikirki juga anak dirumah,..” Pernyataan informan ST (30 Tahun) kepada peneliti: “susah memang kalo kita kerja begini karena terbagiki waktuta sama keluargata, jadi kalo mauki ke toko, kita layaniki dulu
59
anak-anakta sama suamita dirumah, baru langsung ke toko, setelah itu baru langsungki ke toko jaga ini toko,..” Pernyataan informan diatas menjelaskan tentang menjadi seorang pedagang membuat mereka memikul beban tersendiri yang secara langsung menjadi beban ganda dalam hidup mereka (menjadi ibu dan seorang pedagang). Kedua informan diatas memandang pekerjaan yang dijalani adalah suatu pekerjaan yang susah yang berdasar dari kehidupan mereka. Menjalani kehidupan dengan beban ganda adalah sesuatu yang sangat susah, sehingga pada point ini peneliti memuji mereka sebagai manusia yang penuh dengan tanggung jawab, dan menempatkan mereka pada posisi tersendiri dalam pandangan peneliti tentang perempuan secara kodrati. Beban kerja ganda yang mereka pikul adalah satu hal yang mendasari penulis memuji mereka. Sehingga dalam konteks ini, perempuan tidak lagi dipandang sebagai seseorang yang hanya “diam” dan bekerja di rumah, tanpa harus beraktualisasi akan kreatifitas dirinya sebagai manusia yang bisa memberikan peran dalam keluarga untuk menunjang perekonomian keluarga. Selanjutnya informan NU (32 tahun) menjelaskan pandangan tentang profesi sebagai perempuan pedagang kepada peneliti: “..samaji semua pekerjaan, bedana Cuma gajina tinggi memang ka mereka itu sekolah tinggi, sarjana, kita ini kodong tammat sekolahji, tapi samaji semua toh, karna ada tonji yang
60
kita dapat disini, ada tonji kantorta disini, ada tonji gajita semua, mauki apa? ini tonji kodong yang bisaki kerja yang santai-santai, supaya bisaki urus juga keluargata dirumah,.” Selanjutnya dipertegas oleh Informan RS (38 Tahun) kepada peneliti: “tidak terlalu susahji kalo mauki kerja begini, karena kalo kerja beginiki tidak lupa tonji sama keluargata, baru kita inikan ibuibu harus tauki juga bagaimana memang jadi ibu, jangan kalo adami usahata begini, lebih pilihki tokota dijaga, daripada anakta dijaga..” Perempuan pedagang adalah suatu pekerjaan yang mereka pandang tidak terlalu susah dan tidak mudah. Peneliti menilai bahwa dalam penjelasan informan terdapat pesan bahwa mereka dapat menjalankan profesi mereka sebagai pedagang namun tidak melupakan dirinya sebagai seorang ibu, karena bagi mereka keluarga adalah suatu hal yang tidak dapat diganti dengan apapun. Pekerjaan yang dilakukan oleh mereka dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup mereka yang “kurang”. Pendapatan keluarga yang minim membuat mereka (perempuan dalam keluarga) ikut membantu suaminya atau dirinya sendiri dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka menganggap bahwa pekerjaan tersebut tidak beda dengan pekerjaan yang dilakukan orang lain, hakekatnya adalah semua pekerjaan yang dilakukan manusia merupakan sumber bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Pandangan akan dunia kerja yang mereka jalani membuat mereka me-menage waktu antara keluarga dan profesi mereka sebagai
61
pedagang. Dalam pengertian tertentu peneliti melihat dalam bentuk yang sederhana bahwa mereka dapat membagi waktu mereka antara keluarga dan profesi mereka sebagai pedagang.Selanjutnya dalam menjelaskan bagaimana mereka (Wanita Pedagang) membagi waktu antara pekerjaan dan status mereka sebagai seorang ibu rumah tangga, maka peneliti akan menjelaskan pembagian waktu dengan melihat jawaban dari beberapa informan yang sangat beragam tentang peran mereka sebagai ibu dan sebagai pedagang. 1. Hj.R A (46 Tahun) Dalam wawancara yang dilaksanakan tanggal 3 February 2012, Hj.R A mengatakan kepada peneliti: “kalau pagi itu saya yang pergi buka toko karna haji laki-laki lebih sering dirumah semenjak sudah kebakaran,tidak terlalu aktif’mi haji laiki-laki ditoko sekarang bedami keadaannya,tidak sama’mi dulu waktu masih didalam sentral”. Informan merupakan Ibu rumah tangga yang sekaligus berperan langsung sebagai Pedagang di Pasar Sentral, Mempunyai tiga anak yaitu (Im 21 Tahun) yang masih berstatus sebagai Mahasiswa, anak kedua (Nb 19 Tahun) yang bertamatan SMA dan tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan anak yang ketiga (Fd 17 Tahun) yang masih berstatus sebagai Pelajar kelas 2 SMA.
62
Informan Hj.R A yang sudah 15 tahun bekerja sebagai pedagang dan selama menjadi pedagang pakaian. Hj.R A lebih aktif mengerjakan aktifitas sebagai pedagang di bandingkan pekerjaan Rumah yang selayaknya dikerjakan oleh Ibu Rumah Tangga. Anaknya yang masih berstatus sebagai Mahasiswa juga biasanya ikut membantunya di pasar sentral. Pernyataan informan kepada peneliti memberikan gambaran bahwa dalam membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan lebih besar diberikan dan dibebankan kepada suami. Persoalan memberikan beban lebih kepada suaminya dikarenakan urusan keluarga yang diemban tidak lagi sama dengan waktu dulu, kemudian ditambahkan lagi anak-anaknya sudah cukup mandiri dalam menjalani kehidupan mereka sehingga beban sebagai seorang ibu, tidak terlalu membebani dirinya dalam menjalankan profesinya sebagai seorang pedagang. Selanjutnya informan Hj.RA, mengutarakan kepada peneliti: “..tidak terlalu bingungja kalo ke toko, kalo sudah selesai masakanki makanan anak-anakku kalo pagi, siapkanki kopi suamiku, baru langsung ka ke toko bukaki, kalo belumpa selesai dirumah, tidak keluar-keluar dari rumah, kalo sampema ditoko, tidak khawatirka juga karena besar-besarmi juga anak-anakku, natauji jalan kesini semua..” (Wawancara pada tanggal 03 february 2012) Informan Hj.R A, menjelaskan bahwa dalam kehidupannya sebagai seorang
pedagang,
informan
membagi
waktu
dengan
memulai
pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga sebelum berangkat dan
63
menjalani profesinya sebagai seorang pedagang di Pasar Sentral. Informan Menjelaskan kepada peneliti: “..mulaika buka ini tko sudah 15 tahun, Itu anakku biasakan memang’mi ditoko, dari SD sampenya Mahasiswa selalu ku ajak ke toko kalau pulang sekolah atau hari libur, jadi na’bantu’ma juga biasanya ditoko, adenya juga begitu, bahkan yang tamatan SMA, semenjak sudah kenna’ki musibah kebakaran tidak mau’mi lagi lanjutkan ke tingkat perguruan tinggi (Kuliah), na’bantu’ma juga ditoko”. (Wawancara pada 03 february 2012) Informan menjelaskan bahwa anak-anaknya telah diajarkan dan membiasakan mereka untuk membantu dirinya dalam menjalankan usaha dagang. Sehingga dirinya tidak lagi terlalu pikirkan apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Pembagian waktu yang dilakukannya terlihat bahwa Pagi hari dia menyiapkan segala bentuk keperluan
atau
kebutuhan
anak-anaknya
dan
suami
sebelum
menjalankan atau memulai profesinya sebagai seorang pedagang. Dan hal lain juga berdasar pada anak-anaknya tidak lagi seperti “anak kecil” yang perlu untuk dijaga, mereka (anak-anak informan) telah cukup mandiri untuk mengetahui dan mengerti apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh ibunya. 2. Informan M Y (26 Tahun) MY informan yang kesehariannya berperan sebagai Wanita Pedagang sekaligus Ibu Rumah Tangga, Suami (IW ,24 tahun) dan
64
mempunyai 2 Orang anak (AQ, 4 Tahun), (RQ, 1 Tahun). Informan mulai membuka usaha dagangan pada tahun 2006. Saat itu, peranan suaminya yang paling dominan dalam mengurus segala keperluan administrasi usahanya. Peranan suaminya mengelola usaha sampai sampai tahun 2007. Informan mengutarakan kepada peneliti: “ini usaha buka pertengahan tahun 2006, yang urus semua ini suamiku, dia urus surat-suratnya, kan kalo ambil stand dulu itu disini susah, makanya semuanya itu suamiku yang kerjaki, pas tahun 2007pi itu baru saya ambil alih semua, sampai di hitung-hitung uang” (Wawancara pada tanggal 05 february 2012) Awalnya dalam memulai usahanya, peran suami sangat besar dalam membangun usahanya, setahun berikutnya, mulailah MY turut andil menjalankan usaha penjualan barang yang dimiliki keluarganya. Seperti yang diungkapkan oleh informan kepada peneliti: “..saya dulu itu jaga rumahji kan masih kecilki anakku, makanya suamiku larangka ke toko, dia maunya dulu saya dirumahji, tidak usah urus toko, tapi pas bisami dibawa-bawa itu yang anakku yang pertama, baru biasaka bawa ke toko, bantu-bantu suamiku disana,..” (Wawancara pada 05 february 2012) Kehidupan sebagai pedagang yang sekarang dijalani membentuk dirinya tidak terlalu dekat dengan kedua anaknya. Persoalan tentang peranan dalam keluarga mulai berkurang setelah mengenal dan menjalankan usahanya. Anak-anak mereka lebih dekat secara emosional dibandingkan dirinya. Namun tak lepas dari itu peran sebagai seorang ibu
65
masih dijalankan oleh informan. Seperti yang diungkapkan oleh informan kepada peneliti: “..begituka sekarang tidak terlalu kuperhatikanki anakanakku, kalo pagi ia, kusiapkan ji semua sebelum berangkatka ke toko, pas saya sampai disini, biasa kutelpon tonji suamiku dan kutanyaki bagaimana anak-anak dirumah, kalo siang atau sore, kutanyaki anak-anak sudah makan atau belum..” (Wawancara pada tanggal 05 february 2012) Pekerjaan sebagai pedagang tidak secara langsung memberikan efek terhadap informan. Informan masih mengenal status dan perannya sebagai ibu rumah tangga, walaupun kesehariannya dipenuhi dengan kesibukan yang sangat padat. Kesibukan yang dijalani oleh informan mulai dari membeli barang (pakaian) dari jakarta, mengorder langsung dari distributor sampai pada tahap analisa keuangan usahanya dia lakukan sendiri. Hal-hal inilah (kesibukan) yang membuat informan tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Seperti yang diungkapkan informan kepada peneliti: “..“kalau masalah keuangan itu dulunya suami’ku yang atur, tapi sekarang dan semenjak sudah’ki terkena musibah kebakaran masalah keuangan saya’mi yang atur’ki,masalah konsumsi saya yang atur. Suami’ku tinggal minta,kalau tidak penting-penting amat jangan’mi di beli,keperluan di dapur saya semua yang tau..” (Wawancara pada tanggal 05 february 2012) Dikatakan lagi oleh informan: “..“anak-anak’ku lebih dekat sama bapak’nya kalau mau tidur bapaknya yang di cari bukan “saya”. Sampai tetangga’ku
66
saja bilang baru bangun tidur ku tinggal’mi sede’ ke sentral, jarang’ki sama saya karna memang lebih dekat’ki sama Bapaknya, tapi biasa tong’ji ku’bawa’ ke toko kalau rewel’ki sede’ apalagi kalau sibuk’ka di toko na’bantu’ja juga Bapak’nya jadi anak-anak di bawa ke toko” (Wawancara pada tanggal 05 february 2012) Dari pernyataan informan bahwa kesibukan sebagai perempuan yang mengelola usaha secara penuh memberikan efek tersendiri dalam keluarga mereka terutama pandangan anak-anak mereka yang lebih dekat dengan sosok ayah (suami). Secara sederhana, informan tidak begitu dekat dengan anak-anaknya persoalan tidak terlalu banyak meluangkan waktu dengan mereka walaupun ada juga hal-hal yang sepantasnya dilakukan oleh seorang ibu tetap dijalankan oleh informan. 3. NR (22 Tahun) Informan merupakan salah satu pedagang di Pasar Sentral. Informan telah memiliki satu orang anak yang masih berumur satu tahun. Suaminya bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan swasta di kota makassar. Usaha yang dijalankan oleh informan telah dilakukan sejak tahun 2006, usaha yang dilakukan oleh informan yaitu penjualan pakaian, dan ada juga tambahan usaha keluarga yaitu usaha penjualan pakaian pengantin dan salon kecantikan untuk pengantin. Kesehariannya adalah dengan mengerjakan semua hal yang berkaitan dengan persoalan usaha dagang yang dimilikinya. Semua hal tersebut membuat informan tidak
67
terlalu aktif dalam peran dan status sebagai seorang ibu. Informan menjelaskan kepada peneliti: “..pagi itu biasanya, makan rotiji sama susu, kan bisaji juga suamiku yang uruski anakku kalo pagi, kalo mauka makan siang atau malam, jarangka memasak dirumah, paling itu saya beli diluar makanan jadi, suamiku juga pengertianki, jadi tidak banyakji naminta-minta, karena beginimi kalo kerja beginiki sibuk sekali, belum paki urus barang, belumpaki jaga toko,jadi saya itu jarangka dirumah, makan sama sama suamiku anakku, baru kan ada juga dirumah salonku, jadi begitumi, saya itu kerja doubleki, saya biasa disini, biasaka juga dirumah, karena semua barang yang kubeli juga kan beda, baru kalo keuangannya juga harus beda, tapi biasa juga suamiku bantu-bantuka kalo memang sibuk skalika di salon..” (Wawancara pada tanggal 06 february 2012) Peran dalam keluarga sebagai orang tua (ibu), secara tidak langsung tergantikan oleh pekerjaan mereka sebagai pedagang. Terlihat bahwa semua masalah yang menyangkut usahanya, informan yang mengerjakan semuanya, namun tidak juga terlepas oleh bantuan suami jika memang bantuannya diperlukan oleh informan. Selanjutnya informan mengatakan kepada peneliti: “..itu salon dirumah, biasakan juga rame, jadi kalo lebih banyak orang dirumah, saya itu pilih dirumah, layani orangorang yang datang ke salon, jadi yang jaga toko itu kusuruhji minta tolong sama sepupuku untuk jaga toko disentral, sekarang standta belum bagus, karena masih diluar,itu’mi di bilang’ngi Penampungan, kaa’belumpi dalam gedung, jadi sekarang itu saya lebih ke salon dari pada ke tokoku disini,..” (Wawancara pada tanggal 06 february 2012) Dilihat dari pernyataan informan diatas dapat penulis katakan bahwa pekerjaan yang dijalani informan memberikan efek tersendiri yang
68
mempengaruhi kehidupan secara psikis akan status dan perannya sebagai ibu. Informan tidak lagi memberikan perhatian khusus terhadap anaknya dikarenakan waktu dalam kesehariannya dilimpahkan semuanya pada pekerjaan yang digelutinya. Mempertegas analisa peneliti diatas, informan mengutarakan kepada peneliti: “..kalo ke sentralka biasa sendirija, karena kalo kubawaki anakku, biasanya itu repotki, apalagi kalo ada pembeli atau orang yang datang ke toko baru nangis, kita ini harus memang jagai, kalo begitumi biasa kalo ke sentralka, itu anakku, kutitipki di tantenya kan dekat rumahji sama rumahku,..” (Wawancara pada 06 february 2012)
Seperti yang dikatakan bahwa peran sebagai ibu tidak terlalu diemban sepenuhnya oleh informan, yang secara umum, peran mereka secara emosional sangat ditekankan, sehingga dalam jiwa seorang anak akan terbentuk ketergantungan psikis terhadap ibunya. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh informan. Informan lebih memilih untuk menaruh sebagian besar waktunya kepada pekerjaannya ketimbang anaknya. Sehingga pada kesimpulannya informan lebih banyak menyempatkan waktu sebagai pedagang (profesi kerja) dari pada menjadi seorang ibu. 4. Hj.TN (23 Tahun) Hj.TN merupakan ibu rumah tangga yang telah memulai profesinya sebagai pedagang pakaian di pasar sentral sejak tahun 2009. Memiliki satu orang anak yang berumur 4 tahun, dan suaminya adalah Pegawai
69
Negeri Sipil pada salah satu instansi pemerintahan di kota Makassar. Kesehariannya sebagai ibu dan seorang pedagang dilakukannya dengan seimbang. Perannya tidak terlepas dari kesadaran dirinya akan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Informan sangat mengetahui apa yang harus dilakukan oleh dirinya terhadap pemenuhan segala kebutuhan hidup keluarganya. Informan mengutarakan kepada peneliti: “saya kalo mau ke toko, saya memang harus mempersiapkan semuanya dulu, baru ke toko, kayak kalo mau ke toko saya jam setengah enam subuh itu saya sudah bangun, kumasakkanki suamiku bubur atau nasi goreng yang nanti mau dimakan sama anakku, kalo itu sudah selesai baru saya siapkan baju kantornya suamiku, kusetrika, kan enak juga kalo selesaipi semua baru kita ke toko,..” (Wawancara pada tanggal 08 february 2012) Pembagian waktu antara pekerjaan dan perannya sebagai ibu terlihat dari pernyataan informan diatas. Sebelum beraktifitas akan profesinya sebagai pedagang informan harus lebih dulu menyelesaikan tugasnya sebagai seorang ibu. Menurut informan, tidak ada yang lebih penting waktu untuk keluarga jika kita dihadapkan pada pilihan pekerjaan atau keluarga. Informan menjelaskan kepada peneliti: “..kita ini harus pintar-pintarta bagi waktu, apalagi kalo adami anakta, jadi harus memang kita dahulukan memang keluargata, apalagi anakta masih kecil, jadi harus memang kasi perhatian, supaya kalo besar nanti dia tidak membangkang ke mamanya, jadi kita ini sebagai orang tua
70
harus memang harus dahulukanki keluargata, didunia yang paling penting itu keluarga tidak ada yang lebih dari itu,..” (Wawancara pada tanggal 08 february 2012) Menurut informan bahwa, perempuan pekerja khususnya yang berprofesi
sebagai
pedagang
hendaknya
memiliki
kemampuan
menajemen waktu yang baik antara pekerjaan dan perannya sebagai seorang ibu. Terlihat bahwa, informan lebih menekankan perhatiannya terhadap keluarganya. Ketakutan akan kehidupan keluarganya yang nantinya tidak dapat dia “rubah” akan kehidupan anaknya. Pekerjaan sebagai seorang pedagang, tidak luput dari pantauan dan pengawasan keuangan dari sang suami. Ikut andil dalam menajemen keuangan usaha, informan dan suaminya sama-sama merangkumkan dan menjalankan usaha bersama-sama. Seperti yang diungkapkan informan kepada peneliti: “..saya ini tidak bisa semuanya, makanya suamiku biasanya yang bantuka mengelola daganganku, jadi kalo ada susahku misalkan tidak bisaka ambil alih barang di toko sana, kusuruh suamiku yang pergi ambilki, biasa juga kalo saya pusing mau beli apa, biasanya saya juga diskusi sama suamiku apa yang bagus dibeli,..” (Wawancara pada tanggal 08 february 2012) Keseharian informan akan bentuk tanggung jawab akan perannya terlihat bagaimana informan tidak terlalu mendominasi dalam keluarga khususnya persoalan usaha dagangnya. Rasa akan “kuasa” dalam keluarga masih dipegang oleh informan, bahwa segala sesuatu harus
71
dimulai dari sang suami sebagai kepala keluarga. Sederhananya, menurut peneliti bahwa apa yang dilakukan dan diterapkan dalam aktifitas kesehariannya sebagai ibu dan pedagang adalah keseimbangan akan tanggung jawab sebagai orang tua, cerdas dalam menage waktu, dan sadar akan “kuasa” dalam keluarga. 5. SG (32 Tahun) Kehidupan sosok seorang ibu SG (32 Tahun) sebagai pedagang dimulai sejak tahun 2002. Pekerjaan yang dimulai dari usaha suaminya kini telah dijalankan penuh olehnya. Informan telah memiliki 2 orang anak, yang keduanya masih siswa di tingkat sekolah dasar dan menengah. Yang pertama masih duduk dibangku kelas tiga SMP disalah satu sekolah negeri di makassar, dan yang kedua masih duduk di kelas 6 SD. Awal dari pekerjaan tersebut (dagang) merupakan rintisan suaminya. Tahun 2007, suaminya mengalami gangguan kesehatan dimana sang suami tidak dapat terlalu bekerja, sehingga sejak tahun 2007, SG mulai menjalankan usahanya secara penuh. Aktifitas sehari-harinya berjalan seimbang dengan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Mulai dari keperluan barang dagangan sampai pada keperluan sekolah anak-anaknya yang notabene masih memerlukan bimbingan atau pengawasan orang tua menuju kedewasaan dan kemandirian diri. Informan mengatakan kepada peneliti:
72
“..saya itu tidak kusukaki kalo pekerjaanku bikinka lupa kelaurgaku, suamiku itu sakit-sakitki di rumah, dia tidak bisa terlalu capek kerja, makanya saya yang ambil alih semua pekerjaan disini,..kan ada anakku dua, yang satu masih smp dan satu mauki masuk lagi smp, semua itu ku-urusi mulai dari bikinkanki makanan, sampe antarki semua pergi sekolah, tapi biasa tong bapaknya yang antarki,..” (Wawancara pada tanggal 09 february 2012) Pembagian waktu antara keluarga dan pekerjaan dilakukan oleh informan, dimana informan lebih banyak meluangkan waktunya kepada keluarga
daripada
pekerjaannya.
Semua
persoalan
menyangkut
pendidikan anaknya sampai pada penyediaan barang di tokonya, semua dikerjaan olehnya. Namun, Untuk mengantisipasi hal ini, SG (32 Tahun) mengambil dan menggaji dua orang pekerja untuk menjaga toko usahanya sehingga informan tidak terlalu sibuk menjalankan perannya sebagai ibu dan sebagai pemilik usaha. Informan mengatakan kepada peneliti: “..kalo kerjaka begini, takutku itu kalo tidak kujampangngi lagi suamiku sama anak-anakku, kamma-kamanne, garringngi bapakna, anak-anakku harus memang diawasi, karena nutaumi sekrang kalo anak-anak abg apa ede de kalo tidak diperhatikanki cilakaki, makanya saya ini kukasi kerja orang dikampungnga yang tidak sekolahmi toh kupanggilki kesini untuk jaga tokoku disini, jadi kalo ada masalah atau apa, mereka tinggal bilang mami kesaya, tapi tiap hariji iya saya kesini, liatki tokonya, jam-jam 10 itu ke tokoma, baru pulangka lagi ke rumah jam 12, sorepi lagi baru kesinika lagi,.” (Wawancara pada tanggal 09 february 2012)
73
Tindakan atau strategi mengelola usaha yang dilakukan oleh informan dengan mengambil pekerja yang siap menjaga toko merupakan sesuatu tindakan yang membuahkan hasil. Informan tidak lagi terlalu menyisihkan
waktu untuk
mengurusi
usahanya.
Sehingga dalam
membagi waktunya, ibu dua orang anak ini lebih banyak menyisihkan waktunya dengan keluarga. 6. AT (26 Tahun) AT adalah seorang karyawan toko di salah satu usaha dagang Pasar Sentral. AT bekerja sejak tahun 2009 di toko Restu yang menjual bahan kain dan pakaian jadi. Kehidupan akan profesinya sebagai karyawan
telah
memberikan
arti
tersendiri
bagi
dirinya
dalam
menajemenkan waktu dalam keluarga dan pekerjaannya. Hidup dengan pendapatan yang sederhana, jam kerja yang padat memberikan efek tersendiri akan peran dan statusnya sebagai seorang ibu. Informan menjelaskan kepada peneliti: “..nda bisaki begini kalo mauki urus anak juga, karena tidak bisaki juga selalu uruski, karena disini itu tidak bisaki bawaki anakta, makanya biasaka itu khawatirki juga sama anakanakku dirumah, tapi banyakji orang dirumahku, makanya tidak terlalu khawatirja kalo ke toko, ka adaji neneknya dirumah,..” (Wawancara pada tanggal 12 february 2012) Informan adalah seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang masing-masingnya berumur 4 tahun dan 9 tahun. Suaminya adalah
74
pekerja harian di salah satu pabrik soda (minuman ringan) di makassar. Sehingga dalam kehidupannya, pekerjaan sebagai karyawan toko tidak dapat dilimpahkan ke suami yang juga bekerja sebagai buruh pabrik. Ada kekhawatiran tersendiri tentang pekerjaannya yang berdampak pada perannya sebagai ibu rumah tangga yang seharusnya dijalankan. Pembagian
waktu
dalam
peran
gandanya
terlihat
seperti
yang
diungkapkan informan kepada peneliti: “…saya kalo pagi, harus memang siapkan semua, biasanya kan suamiku pagi-pagi pergi ke pabrik, biasa di pabrikpi baru dia sarapan, kalo anakku kan yang satu masih sekolah, makanya kalo tiap malam itu kusiapkanmi memang nasi di meja, kalo pagi langsungmi namakan kalo mau pergi ke sekolah, kalo cepatja bangun biasanya itu saya kulayaniji suamiku bikinkaki makanan, kalo tidak langsungji pergi ke pabrik, baru kalo belumpa pergi, kutitip memang di neneknya untuk beli ikan, supaya kalo pulang sekolahki nanti anakku langsung namakan, tapi biasa tongi itu singgahki ditoko, baru disana kukasi uang makan, disinipi makanki,..” (Wawancara pada tanggal 12 february 2012) Pemenuhan kebutuhan hidup keluarga yang dilakukan oleh informan terlihat diatas bahwa materi yang diberikan oleh informan untuk kebutuhan pokok keluarga, informan yang menanggungnya. Mulai dari perannya sebagai ibu dilakukan dengan baik, perhatian akan anakanaknya yang diberikan sagat jelas bahwa tidak luput dari rasa kasih sayangnya. Informan menjelaskan kepada peneliti: “saya sama suamiku, sudah cerita memang uang yang saya dapat itu untuk makan hari-hariji memang, kalo gajinya suamiku itu untuk keperluan sekolahnya anakku, bayar cicilan televisi, bayar listrik, kalo ada disisa itumi yang saya tabung,.” (Wawancara pada tanggal 12 february 2012)
75
Dengan pembagian
pernytaan
peran
akan
informan kebutuhan
diatas,
tergambarkan
keluarga.
Istri
tentang
berperan
dan
menanggulangi semua kebutuhan hidup (makan) keluarga, sedangkan suaminya menutupi kekurangan pemenuhan kebutuhan seperti tagihan listrik, tagihan air, dan sebagainya. pembagian peran yang dilakukan mereka sangat ideal, pengertian sang suami terhadap istrinya akan samasama merasakan kerasnya hidup, jelasnya memberikan arti tersendiri dalam kehidupan mereka yang bahagia. Jelasnya, bahwa pembagian waktu menjadi ibu dan sebagai karyawan dia (informan) seimbangkan, dan tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai orang tua dan tanggung jawab sebagai pekerja. 7. GS (30 Tahun) GS adalah pekerja di salah satu toko pakaian di sentral. Informan merupakan pekerja yang telah menjalani hidupnya sebagai karyawan toko sejak tahun 2009. Memiliki satu orang anak yang masih berumur 3 tahun. Suaminya bekerja sebagai supir angkutan umum perkotaan. Pekerjaan yang dijalani oleh informan memberikan dirinya untuk melakukan pembagian waktu antara keluarga dan pekerjaan. Seperti yang dijelaskan oleh informan kepada peneliti: “...kerja beginika, mauja memang bantu-bantu suamiku, belumpi lagi kalo mau mainan anakku, kita ini sebagai mamanya harus memang penuhi maunya, tapi begitu tommi kalo memang kita ini kasian, yang sedikitji gajita, baru belum paki urus lagi keperluan keluarga, jadi saya ini kodong harus
76
pintar-pintar memang atur waktuki,untungnya masih satu’ji anak’ku,kaa’tdk terlalu banyak tong’ji tanggungan kasian” (Wawancara pada tanggal 15 february 2012) Kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, memberikan informan akan kecerdasan membagi waktu antara keluarga dan pekerjaannya. Selanjutnya dijelaskan oleh informan: “..untung baikji bosku, nabiarkanja bawaki anakku kesini, tapi harus memang tidak bikin repotja kalo saya bawa anakku kesini, tiap harika bawa kesini anakku, kan tidak ada orang dirumah kodong, suamiku itu siangji balik ke rumah, kembaliki lagi kerja, jam-jam 9 baru pulangki ke rumah, makanya tidak pernah ka itu tidak bawaki anakku, masih kecil kodong..” (Wawancara pada tanggal 15 february 2012) Pembagian waktu yang dilakukan oleh informan diatas sesuai dengan pernyataannya diatas, menggambarkan tentang pekerjaan-nya akan dua tanggung jawab yang dikerjakan bersamaan. Strategi yang dilakukan oleh informan memberi “jalan tersendiri” dalam melakukan aktifitasnya. Kesederhan-an menjalani kehidupan diwarnai dengan rasa santai dan bahagia oleh informan. Tanggung jawab sebagai seorang ibu dijalankan dengan sebaik-baiknya dan baginya bahwa menjadi seorang ibu dan pekerja tidak membuat hidupnya menjadi susah. Hal ini terlihat dari pernyataan informan kepada peneliti: “..tidak nasusaija kalo kerja beginika, karena sambil kerja beginiki, bisa tongki jaga anakku disini, makannya apa, semuanya kan bisaki kasiki, baru juga baguski kalo kita bawa kesini, senangki juga, anakku ki juga mendengarki saya, jadi enakji kalo kerja beginiki baru bawa anakta,..”(Wawancara pada tanggal 15 february 2012)
77
5.2 Faktor-faktor yang Mendorong Perempuan Menjadi Pedagang Di Pasar Sentral Makassar. Secara umum, seseorang bekerja sesuai dengan keahlian yang mereka punya. Semakin besar kualitas atau tingkat intelektualitas mereka maka semakin tinggi juga apa yang mereka peroleh dari pengetahuan yang mereka miliki. Senduk (2006:23) menjelaskan bahwa faktor lain diluar faktor ekonomi yang menyebabkan semakin banyaknya jumlah perempuan yang bekerja disektor publik karena munculnya keinginan perempuan untuk bekerja, untuk mengisi waktu, untuk kesenangan dan semakin tingginya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan yang menentukan besarnya pekerjaan yang mereka geluti. Melihat dari kehidupan pedagang perempuan maka secara langsung kita bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang mereka geluti adalah pekerjaan yang memang
tidak
mengandalkan
tingkat
intelektualitas
atau
tingkat
pendidikan, tapi kekuatan fisik yang berperan dalam profesi mereka. Ada juga berdasarkan tingkat ekonomi yang minim untuk pemenuhan kebutuhan
hidup,
faktor
lingkungan
dan
hasil
interaksi
mereka
(pergaulan). Pada sub bab ini, penulis akan menggambarkan factor-faktor yang mendorong perempuan menjadi pedagang, diantaranya adalah penunjang ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan melihat pekerjaan sebagai pedagang adalah pekerjaan yang “santai”.
78
Secara sederhana, Memenuhi kebutuhan hidup merupakan hal yang sulit dilakukan oleh manusia jika apa yang mereka hasilkan dari pekerjaan mereka tidak sesuai dengan besarnya kebutuhan yang ingin dipenuhi. Kenyataan yang penuh dengan perjuangan hidup memberikan pandangan tersendiri bagi mereka tentang apa yang mereka kerjakan. Informan NI (30 Tahun) sebagai seorang karyawan Toko menjelaskan kepada peneliti: “…sedikitji kodong kudapat disini, kalo kerjaki disini, sedikitji gajinya, tapi bisaji juga nahidupi semua keluarga, tambahtambah juga gajinya suamiku, kan suamiku supir pete-pete, baru kau taumi kalo sopir pete-pete..”(Wawancara pada tanggal 17 february 2012) Dari pernyataan informan diatas, penulis dapat gambarkan bahwa apa yang mereka kerjakan kurang untuk menutupi kebutuhan hidup. Pekerjaan yang dilakukan “berat” namun apa yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan (pendapatan). Selanjutnya, informan NI (30 Tahun) mejelaskan kepada peneliti: “..disini kodong berapaji kudapat kalo kerjaka, tapi mau diapa ini tonji yang bisa kita kerja, saya ini kalo sekolahka dari dulu tidak begini pasti kerjaku, mauki hidup makanya kita harus kerja memang asal halalji kerjata, saya disini kodong 700 Perbulan ribuji gajiku, baru barang-barangka sekarang mahal semua, anunya anakku apa, belumpi makanku, yang pentingji itu halalji semua,..”(Wawancara pada tanggal 17 february 2012)
79
Informan merupakan karyawan disalah satu toko di Pasar Sentral, pandangan akan pekerjaan sebagai pekerja terlihat dari pernyataannya akan kehidupan kerja yang terbilang susah dan berat. Pendapatan yang diperoleh olehnya tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan keluarga. Baginya apa yang dilakukan dan dikerjakan olehnya adalah bentuk partisipasinya dalam keluarga untuk menambah pendapatan suaminya yang bekerja sebagai supir angkutan umum. Pendapatan yang mereka peroleh tetap mereka syukuri untuk melajutkan hidup. Bentuk kenyamanan dan nuansa santai dalam kehidupan kerja mereka yang membuat mereka tetap bertahan dalam menjalankan profesi mereka sebagai pedagang perempuan. Tidak dipungkiri bahwa, apa yang menjadi standar hidup seseorang adalah bagaimana kebutuhan itu terpenuhi dan hasil pendapatan yang didapatkan dari pekerjaan mereka dapat ditabung atau digunakan untuk hari esok. Informan NI (30 Tahun) menjelaskan kepada peneliti: “..beginiki memang kalo tidak ada sekolahta, mau tidak mau haruski cari kerja yang gampang memang, iniji yang bisa dikerja, kalo tidak begini mauki kerja apa, tidak mungkin mauki kerja di perusahaan ka saya ini kodong Cuma sampe SMPji sekolahku, baru adami juga suamiku, adami anakku, kalo tidak kerjaka, tidak cukupki gajinya suamiku biayai ka berdua,..” (Wawancara pada tanggal 17 february 2012) Dari pernyataan informan diatas, Pengaruh akan tingkat pendidikan juga mempengaruhi mereka untuk bekerja sebagai pekerja atau
80
karyawan. Tingkat pendidikan yang minim tersebut yang membuat mereka menjadi seperti sekarang. Bukan pada persoalan bahwa mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik namun tuntutan dunia kerja sektor formal yang banyak menginginkan seorang pekerja yang memiliki kuantitas dan skil yang bagus. Penuturan yang sama oleh informan RI (29 Tahun) yang kesehariannya bekerja sebagai pekerja. Menuturkan kepada peneliti: “..sadarka memang kalo kita sekolah tinggi-tinggi pasti dapat tongki kerja yang bagus, tapi saya ini dari kecil memang paspasanji kodong keluargaku, makanya dulu itu sampe SMPji sekolahku, kelas dua berentima’, kan bukanji disini pertama saya kerja, pernahka dulu jadi klining servis di ada itu Yanti, 4 tahunka, sudah itu bantuka tanteku jual-jual pulsa di MTC, baru itu disinima’ kerja, kerja beginika itu bukanji memang mauki apa-apa, tapi eroki tallasa’..” (Wawancara pada tanggal 22 february 2012) Dunia kerja yang disuguhkan dalam kehidupan seseorang pada ujungnya akan mengarahkan pada tingkat pendidikan calon pekerja. Hal tersebut telah mereka (pedagang perempuan) mengerti. Rendahnya tingkat pendidikan mereka yang memaksa mereka terjun dalam profesi seperti itu. Jelas bahwa semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi juga rasa ingin bekerja sebagai bahan aplikatif akan pengetahuan yang mereka dapatkan. Keterbatasan akan pengetahuan dan skil yang dimiliki informan membuatnya mau tidak mau memilih menjadi karyawan di salah satu toko Grosir di Pasar Sentral.
81
Mereka ingin bekerja walaupun itu hanyalah suatu keterpaksaan bagi mereka untuk menjalani kehidupan ini. Tingkat pendidikan rendah dan ketidakmampuan ekonomi keluarga yang memaksa mereka untuk bekerja sebagai karyawan toko dan ini tidak membuat mereka menyerah dalam
melanjutkan
hidup.
sesuai
dengan
hal
tersebut
Seorang
perempuan merasa berperan dalam masyarakat, biasanya bila ia dapat tampil sejajar dengan laki-laki di bidang pekerjaan apapun, namun perlu disadari bahwa secara badaniah maupun psikologis perempuan berbeda dengan laki-laki (Nurland dalam Syamsir; 1987). Mereka memilih menjadi seorang pedagang adalah satu pilihan tertentu, dan sadar akan tingkat pengetahuan atau tingkat pendidikan mereka dalam merangkul dunia kerja. Keterbatasan pengetahuan mereka tidak membuat mereka tidak bekerja dan menjalani hidup. Jelasnya bahwa kesadaran mereka untuk pemenuhan kebutuhan sama besarnya dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki pada umumnya. Tidak salah jika seseorang susah untuk mendapatkan suatu pekerjaan disaat dirinya tidak memiliki kualitas pendidikan formal. Menurut penulis, Jika mereka (wanita pedagang atau pekerja) memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi maka mereka tidak akan memilih pekerjaan tersebut, dan hal itu terlihat dari data yang diperoleh.
82
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendorong perempuan memilih pekerjaannya, namun ada beberapa faktor lain yang mendorong mereka memilih pekerjaan tersebut sebagai pedagang perempuan atau pekerja (karyawan) diantaranya adalah pekerjaan ini cukup mudah untuk dikerjakan dan pendapatan yang didapat bisa membantu ekonomi keluarga. Penjelasan pada faktor ini, wawancara dilakukan pada informan yang memiliki usaha aktif (Wanita yang secara langsung mengelola usaha dagangan), usaha pasif (Wanita yang tidak langsung mengelola usaha dagangan) dan pekerja atau karyawan perempuan. Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis, jawaban informan terbilang hampir sama dalam memandang pekerjaan yang digelutinya. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan menggali jawaban informan akan hal-hal yang mendorong mereka bekerja sebagai perempuan pedagang. Dari sekian banyak informan pada penelitian ini, peneliti hanya menggambarkan dan menulis data tiga informan (pengusaha aktif) yang memiliki jawaban beragam. Berikut adalah data wawancara dari informan AN (36 Tahun) kepada peneliti: “..saya dari dulu itu, tidak ada saya kerja dirumah, pas sudah nikahka ke makassarma, tahun 1999, waktu itu masih belumpa tau apa-apa, suamiku dulu kerja di dinas pertanahan, naiki jabatanna disitumi mulaima mulaiki bujuk-bujuki suamiku untuk sewa stand di sentral, bukaki usaha inimi, kan kalo kerja begini
83
tidak susahji juga karena santai jaki karena ada tongki ambil orang untuk kerja bantuka disini,..” (Wawancara pada tanggal 23 february 2012)
Pernyataan informan diatas menggambarkan tentang dia memilih pekerjaan tersebut karena tidak ada lagi pekerjaan yang dia lakukan dalam aktifitas keluarga mereka. Hal yang mendorong informan untuk menggeluti dunia kerja sebagai seorang pedagang adalah rasa bosan akan aktifitasnya dalam keluarga yang hanya mengurus anak, dan melayani suami. Pendapatan suami yang cukup untuk membuka usaha dagangannya adalah kemauan individu yang secara tidak langsung mengartikan sebagai bantuan terhadap perekonomian keluarga. Seperti yang dijelaskan oleh informan: “..mauja bantu-bantu suamiku cari uang, bisaji iya kalo suamikuji kerja begini, ini maukuji memang usaha begini je, ka tidak adaka lagi kukerja dirumah, baru ini kan bisa tongki tambah-tambah uang, Alhamdulillah tidak adaji kodong kurang kalo mauki apa-apa, tapi sekarang nak, pas sudah kebakaran, saya ini mulaimi lagi sibuk-sibuk, untung adaji asuransi..” (Wawancara pada tanggal 23 february 2012)
Dorongan akan pemenuhan kebutuhan yang dijelaskan oleh informan diatas terlihat akan pengertian dan kemauan mereka dalam berdagang dengan tujuan membantu perekonomian keluarga sehingga dalam kehidupan keluarga mereka selalu dapat dipenuhi tanpa ada
84
kekurangan
tertentu.
Selanjutnya
informan
Hj.AM
(38
Tahun)
mempertegas kepada peneliti: “..disinika memang sudah lama, dagang beginika dulu dari uang di bank, pinjamka pake surat tanahnya rumahku dulu, bukaka begini karena tanteku dulu almarhum yang kasi tauka, kan sukseski memang dulu, baru dia di Surabaya, makanya dia suruh saya ambil uang di bank, baru ambil barang di tokona, kerja beginika karena memang tertarikka nakasitau tanteku dulu,..” (Wawancara pada tanggal 24 february 2012) Informasi akan usaha perdagangan merupakan faktor pendorong informan Hj. AM untuk terjun dalam usaha yang digelutinya. Pengalaman akan keberhasilan lingkungan keluarga merupakan pelajaran baginya yang secara langsung mendorong sehingga dia memilih pekerjaan tersebut sebagai profesinya. Jelasnya bahwa informan tertarik menggeluti usaha perdagangan adalah karena dorongan keluarga dekatnya yang memberikan ide tentang hal tersebut. Namun, bukan hanya itu yang mendorongnya, namun dorongan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih kompleks dalamnya. Misalkan kebutuhan anak-anaknya yang masih sekolah atau masih kuliah di salah satu perguruan tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh informan kepada peneliti: “..kerja beginiki memang karena saya ini mauku kasi sekolah anak-anakku, yang paling besar itu maumi selesai, baru sekarang itu anak-anakku itu kalo minta uang untuk kuliahnya itu banyak-banyak, ka untungji karna adaji gajina suamiku yang bisa ditambah-tambah, kalo tidak habiski,..” (Wawancara pada tanggal 24 february 2012)
85
Menambah
pendapatan
ekonomi
keluarga
adalah
bentuk
kesadaran informan akan kebutuhan keluarganya. Mereka bekerja karena ada “rasa sadar” akan tanggung jawabnya yang ditandai dengan “andilnya” dalam menggeluti dunia kerja. Mudzhar (2001:34) mengatakan bahwa perempuan bekerja hanya beralasan ekonomi, dimana mereka berupaya menambah penghasilan keluarga terutama jika penghasilan suami relatif kecil atau istri mempunyai kemampuan untuk bekerja dan memiliki waktu untuk usaha tersebut, untuk meningkatkan status dirinya atau memberdayakan dirinya, dan juga adanya motif instrinsik yang datang dari dalam diri perempuan untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan hidup mandiri dalam kehidupan masyarakatnya. Penjelasan teori diatas mengarah pada bagaimana seseorang wanita pekerja merasa akan bentuk tanggung jawab dalam keluarga yang menuntut mereka “membantu” dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sebelumnya, penulis menekankan bahwa seseorang bekerja atau memilih pekerjaan berdasarkan apa yang menjadi keahliannya dan pekerjaan yang dijalankan terbilang mudah. Sama dengan hal ini, mereka wanita pedagang bekerja hanya untuk mencari tambahan penghasilan dimana
aturan-aturan
santai
dan
tidak
mengikat
mereka
yang
membuatnya memilih profesi itu sebagai pekerjaan yang cocok baginya.
86
Selanjutnya dijelaskan oleh informan RS (23 Tahun) yang merupakan karyawan di salah satu toko di Pasar Sentral kepada peneliti: “..dari pada tidak ada saya kerja, begini mami, dipanggilja kerja disini sama ibu haji, ka dikampungka tidak sekolah, dirumahji, makanya ibu haji panggilka ke Makassar kerja disini (tokonya), bersyukurka juga, karena digajija disini, dan bisa tongki beliki keperluanta,..” (Wawancara pada tanggal 07, Maret, 2012)
Selanjutnya dipertegas oleh informan RS (23 Tahun) kepada peneliti : “mauja memang kerja disini..enakki disini, karena hajji baikji sama kita, tapi kalo ada salahta nategurki, tapi tidak dipecatji, tapi selama kerjaka disini tidak pernah saya lihat haji marahsama sama saya, karena bagus mungkin naliatka kerja, patuhja iya sama dia, baru memang tidak ketatki aturannya hajia,..” (Wawancara pada tanggal 07, Maret, 2012)
Pernyataan informan adalah gambaran tentang pilihan pekerjaan, dalam artian bahwa informan terdorong menjadi seorang karyawan (pekerja) dikarenakan faktor ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Aktifitas kerja yang digelutinya terlihat santai dan tidak terlalu disiplin dalam aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemilik usaha, sehingga bagi mereka kerja sebagai karyawan adalah pilihan bagi mereka yang sadar akan kebutuhan yang melangsungkan hidup mereka.
87
Ketidakmampuan atas skill atau keahlian yang minim membuat mereka tidak dapat atau kurang beruntung mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih memberikan pendapatan yang lebih besar. intinya, mereka bekerja hanya berdasar pada ekonomi keluarga yang jauh dari “target kebutuhan” dan beberapa faktor pendukung sehingga mereka memilih menjadi karyawan (pekerja). Pilihan pekerjaan seperti inilah yang menjadi jalan keluar untuk mencari solusi atau jalan keluar dalam memenuhi kekurangan kebutuhan hidup, baik dirinya sendiri maupun keluarganya. Dari penjelasan akan data penelitian diatas maka hal yang dapat ditarik bahwa faktor yang mendasar wanita pedagang memilih menggeluti dunia kerja dagang adalah faktor ekonomi, apakah itu menambah penghasilan keluarga (suami) atau pemenuhan kebutuhan hidupnya sendiri, kedua, mereka terdorong karena informasi akan pengalaman orang-orang disekelilingnya (dorongan motivasi dari keluarga), dan menambah aktifitas keseharian mereka, dan bagi mereka karyawan (pekerja) memilih pekerjaan tersebut karena sifat pemilik usaha (penghargaan, baik, dan mengeluarkan aturan yang tidak terlalu disiplin) dan rasa sadar akan tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu atau perempuan akan pemenuhan kebutuhan hidup, dan jelasnya bahwa mereka (karyawan) memilih pekerjaan seperti itu karena pilihan mereka sendiri untuk mengguluti dunia kerja.
88
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 6.1.1 Pembagian Waktu Ibu Rumah Tangga Pedagang Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap wanita pedagang pasar sentral kota Makassar tentang mengenai sikap, pandangan, pembagian waktu dan faktor yang mendorong mereka terhadap jenis pekerjaan yang mereka dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan sebagai wanita pedagang bukan karena suatu keterpaksaan akan tetapi pekerjaan sebagai pedagang merupakan pekerjaan yang sesuai dengan kemauan mereka sendiri yang secara bebas menentukan apa yang mereka harus kerjakan dan mendapatkan hasil atau pendapatan sehari-hari mereka dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Pekerjaan tersebut menuntun Wanita pedagang untuk cerdas mengatur waktu dalam menjalani kehidupan keluarga dan pekerjaan. Wanita pedagang yang sehari harinya menjalani aktivitas yang cukup padat mempengaruhi aspek yang berhubungan antara fungsinya sebagai ibu rumah tangga dan pedagang. Kesimpulan hasil penelitian bahwa beberapa dari mereka lebih mengarah dan memprioritaskan pekerjaannya ketimbang keluarga mereka, namun ada juga dari mereka yang lebih
89
memprioritaskan keluarga ketimbang pekerjaan yang digelutinya. Dengan kata lain pekerjaan sebagai wanita pedagang merupakan pekerjaan yang sama dengan pekerjaan lainnya dan berbeda hanya pada ruang, waktu dan pendapatan sehingga pekerjaan sebagai wanita pedagang harus ditekuni secara sungguh-sungguh karena merupakan alat yang dapat menutupi kebutuhan hidup mereka.
6.1.2 Faktor Pendorong Memilih Pekerjaan Sebagai Ibu Rumah Tangga Pedagang Faktor pendorong mereka untuk memilih Pekerjaan sebagai wanita pedagang karena pekerjaan sebagai wanita pedagang selain dianggap lebih santai dan lebih cepat memperoleh uang (pendapatan) juga merupakan jenis pekerjaan yang diperoleh dari dorongan keluarga, dan juga peluang pekerjaan disektor informal yang tidak membutuhkan latar pendidikan yang tinggi karena hanya mengandalkan kekuatan fisik saja namun pada dasarnya mereka memilih menggeluti pekerjaan ini dikarenakan ekonomi keluarga, apakah itu menutupi kekurangan kebutuhan hidup atau menambah pendapatan ekonomi keluarga.
90
6.2 Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan maka penulis menyarankan : 1. Pemerintah seharusnya dapat memberikan pelayanan bagi mereka (pedagang perempuan) dalam bidang pemasaran. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintah dapat menopang usaha dagang mereka ke arah yang lebih baik. 2. Pemerintah seharusnya dapat memberikan aturan-aturan tertentu soal
gaji atau pendapatan karyawan (pekerja perempuan)
sehingga ini dapat memberikan kehidupan yang layak bagi mereka sebagai seorang istri dan seorang ibu.
91
DAFTAR PUSTAKA Arief, Budiman (1981) Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia. Bungin, Burhan (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Bruce J (1983). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara. BKKBN
(1999) Kebijakan Nasional Penyediaan Alat dan Obat Kontrasepsi Dalam Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. (2007). Komunikasi Efektif Buku Bantu Bidan Siaga. Jakarta: Depkes RI. Faisal, Sanafiah, (2005). Format – Format Penelitian Sosial, Dasar – Dasar dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Fakih, Mansour, (1996). Analisis Gender dan Tranformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gardiner – Oey, Mayling, dkk. (1996). Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gunarsa, Singgih D. (1993). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Ihromi, T.O. (1990). Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ihromi,
T.O, dkk. (1991). Kisah Kehidupan Wanita Untuk Mempertahankan Kelestarian Ekonomi Rumah Tangga: Kajian Terhadap Wanita Golongan Berpenghasilan Rendah dan Menengah. Jakarta: Lembaga FE UI.
Khairuddin, H. Drs. (2008). Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Kountur, Ronny, (2007). Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: PPM. Listiani, dkk. (2002). Gender & Komunitas Perempuan Pedesaan (Kondisi Nyata yang Terjadi di Lapangan). Medan: Bitra Indonesia.
92
Megawangi, Ratna, (1999). Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Yogyakarta: Mizan Pustaka. M.I. Soelaeman, (1994). Pendidikan dalam keluarga. Edisi,. Penerbit Pustaka BKKBN. Moleong, Lexy. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan Ke13.Jakarta: Penerbit Rosdakarya. Moleong, Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Cetakan ke-20, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset. Rais, Amien, 1995. Kemiskinan Dan Kesenjangan Di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Rustiani, F., 1996, “Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender”, dalam Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996, Bandung:Yayasan Akatiga. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis – Manajemen. BPFE UST (Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa). Pandu,E Maria (2009) Sosiologi Keluarga. Diktat mata kuliah Sosiologi Keluarga, untuk Jurusan Sosiologi – fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Untuk kalangan sendiri. Setiadi, (2006) Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga Edisi Pertama. Yogyakarta:Graha Ilmu. Soekanto, Soerjono (2010). Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suyanto, Bagong & Hendrarso, Susanti, Emy. (1996). Wanita Dari Subordinasi dan Marginalisasi Menuju ke Pemberdayaan. Surabaya: Airlangga University Press. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka. Yacub, H. M. (1996). Wanita, Pendidikan dan Keluarga Sakinah. Medan: C.V. Jabal
93
Dokumen online : Rahmat. Alamat Situs: Hutasoit, Kennerton, 31 Mei 2007. Buruh Kebun, Penonton di Negeri Sendiri, (kennorthon. http://www.wordpress.com). Irvanus, Edwin, 2 November 2002. Dilema Peran Ganda Perempuan Bekerja, (http://www.sinarharapan.co.id/berita/ diakses 25 februari 2012). Rini, F. Jacinta, 28 Mei 2002. Wanita Bekerja, (http://www.epsikologi.com/ diakses 14 februari 2012). Rahima, Swara, 2006. Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung?, (http://www.duniaesai.com/gender/gender1.htm). Sudarta,
Wayan, 2007. Peranan Wanita Dalam Pembangunan Berwawasan Gender, (http://ejournal.unud.ac.id/diakses 03 maret 2012).
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/definisi perdagangan dan jenis pedagang www.lontar.ui.ac.id/Perilaku pencarian-Metodologi.pdf
94
LAMPIRAN DOKUMENTASI Gambar 1. Pasar Sentral Makassar
Gambar 2 : Wawancara Penelitian
95