1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia telah menghasilkan karya-karya seni budaya yang luar biasa.
Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik. Pengetahuan tradisional Indonesia seperti batik, tenun, wayang, tarian, yang ada sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan tradisional lainnya. Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya. Salah satunya adalah kebudayaan dari suku Karo. Menurut M.O. Parlindungan, Suku Karo yang merupakan bagian dari ras Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang menjadi negara India. Adat istiadat dan aksesoris pakaian yang mereka miliki sampai sekarang masih memilki persamaan dengan pakaian suku Karo, misalnya pernak-pernik dan warna kain tenun. Kehidupan masyarakat suku Karo, tidak terlepas dari penggunaan kain tenun, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Tenun pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung kekuatan
Universitas Sumatera Utara
2
yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian, penggunaan tenun khususnya ulos oleh suku bangsa Batak dan uis pada suku Karo memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan tenunnya. Uis Karo merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat dan budaya Suku Karo dari Sumatera Utara. Selain digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo. Uis Karo didominasi warna merah dan hitam, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang berwarna emas, dan putih. Secara umum uis terbuat dari bahan kapas yang kemudian dipintal dan ditenun secara manual dan diwarnai menggunakan zat pewarna alami. Pembuatannya secara tradisional tidak jauh berbeda dengan pembuatan ulos Toba, yaitu menggunakan gedogan. Uis Karo merupakan bagian dari pengetahuan tradisional, karena uis dibuat secara bertahap oleh masyarakat Karo secara turun temurun sejak dahulu di Sumatera Utara. uis terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing mempunyai makna, fungsi, waktu dan kegunaannya tersendiri. Uis Karo pada dasarnya adalah sebuah produk kebudayaan materi dalam suatu kurun sejarah peradaban suku Karo hingga masa kini. Sejarah awal mula uis belum diketahui dengan pasti sejak kapan. Masanya dipastikan setelah leluhur orang Batak mengenal benang sebagai bahan baku pembuat uis, yaitu terbuat dari
Universitas Sumatera Utara
3
tanaman kapas. Menurut catatan sejarah, uis sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India ke Nusantara. Pada mulanya fungsi uis adalah untuk menghangatkan badan, tetapi kini uis memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Karo. Uis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku Karo. Setiap uis mempunyai nama yang berbeda, makna masing-masing, artinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Sekarang uis memiliki fungsi simbolik untuk berbagai aspek kehidupan masyarakat Karo dan menjadikan uis menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat masyarakat Karo. Ada beberapa jenis uis Karo seperti Uis Beka Buluh, Uis Gatip Jongkit, Uis Gatip, Uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Benang Iring, Uis Ragi Barat, Uis Nipes Mangiring, Uis Arinteneng dan Perembah. Dilihat dari kacamata senirupa, uis adalah suatu karya kriya tenun yang memiliki nilai tertentu, hal ini bisa dilihat dari motif yang terkandung pada uis. Kekhasaan uis Karo dalam berbagai hal menjadikannya sebagai sebuah identitas budaya suku Karo. Kekhasan tersebut terlihat pada motif ragam hiasnya yang merupakan refleksi budaya Karo yang kaya akan makna. Pada sehelai uis Karo terdapat ragam hias. Uis Karo juga memiliki keaslian, keunikan, serta teknik pembuatan yang khas membuat karakternya kuat dan berbeda dengan kain tenun asli Nusantara lainnya. Kini penggunaan uis Karo sekarang sudah lebih luas, bukan hanya untuk kebutuhan adat dan agama, namun juga sudah mulai dikembangkan kegunaannya pada fashion.
Universitas Sumatera Utara
4
Dalam perkembangannya, uis juga diberikan kepada orang bukan dari suku Karo. Hal ini bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima uis, misalnya pemberian uis kepada Presiden atau pejabat yang berkunjung ke tanah Karo diiringi ucapan (berkat atau pasu-pasu). Uis juga menjadi simbol persaudaraan antara masyarakat suku Karo yang merantau ke luar kota termasuk ke luar negeri. Perkembangan industri kreatif dan trend fashion di era globalisasi ini juga memberikan efek kepada uis Karo. Ide-ide baru berserta gagasan baru dari kebudayaan global mempengaruhi indutri uis Karo. Sekarang industri kreatif menggunakan bahan dasar uis Karo untuk menciptakan produk-produk fashion bertema budaya lokal. Mereka memodifikasi uis Karo dalam bentuk desain dan fungsi. Bentuk-bentuk komodifikasi ini terjadi dalam bentuk motif, warna, desain, proses produksi, dan fungsinya. Modifikasi uis Karo termasuk dalam fenomena komodifikasi budaya. Kata komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi (dapat diperjualbelikan) dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari nilai ekonomi yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan nilai untung dan rugi. Produk-produk kerajian modifikasi uis Karo tidak lagi memperlihatkan nilai-nilai adat luhur dari simbol-simbol sakral yang penuh dengan makna dan nilai di dalam uis Karo tersebut. Para pelaku industri lebih mengedepankan ambisi dan motif keuntungan semata. Karena itu penelitian yang mendalam tentang
Universitas Sumatera Utara
5
komodifikasi uis Karo dipandang perlu dilakukan untuk mendeskripsikan, menjelaskan dan dalam perspektif kajian budaya. Berdasarkan pemaparan yang penulis deskripsikan diatas, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut : “Komodifikasi Kain Tradisional Karo pada Era Globalisasi”
1.2
Pokok Permasalahan Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan.
Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana bentuk komodifikasi kain tradisional Karo? 2. Mengapa terjadi komodifikasi kain tradisional Karo? 3. Apakah dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Tujuan Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan berbagai macan bentuk-bentuk komodifikasi kain tradisional Karo. 2. Untuk menganalisis alasan terjadinya komodifikasi kain tradisional Karo . 3. Untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo?
Universitas Sumatera Utara
6
1.3.2 Manfaat Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam tesis ini adalah: 1. Menambah referensi tulisan mengenai uis Karo. 2. Sebagai salah satu upaya pelestarian uis Karo. 3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut dalam seni kriya tekstil. 4. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain di bidang tenun tradisional Indonesia. 5. Pengembangan ilmu estetika, semiotika dan komodifikasi bagi pendidikan.
1.4
Kajian Pustaka Penelitian ini memfokuskan bagaimana Proses komodifikasi budaya
terhadap uis Karo dalam berbagai perspektif kajian budaya. Penelitian ini akan menjelaskan gambaran umum uis Karo, berbagai bentuk komodifikasi terhadap uis Karo, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak sosial, budaya ekonomi serta makna komodifikasi uis Karo tersebut di era globalisasi. Konteks dari penelitian komodifikasi uis Karo ini adalah dimana kondisi industri kreatif yang dipengaruhi oleh ide-ide globalisasi dalam fenomenda kapitalisasi pada dimensi kebudayaan. Objek materi dari penelitian ini adalah uis Karo sebagai karya kebudayaan masyarakat Karo yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi dan memilki suatu potensi sebagai komoditi yang bernilai ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
7
Referensi yang tersedia adalah literatur - literatur kepustakaan teoritis dan berbagai wacana mengenai komodifikasi uis Karo. Kajian dan Penelitian yang terkait dengan komodifikasi uis Karo belum pernah dilakukan sebelumnnya. Karena itu penelitian ini merunjuk pada berbagai penelitian yang terkait dengan komodifikasi tenun di luar uis Karo. A.A. Ngr Anom Mayun K. Tenaya (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali Di Tengah Perkembangan Industri Kreatif Fashion Di Denpasar” mengangkat sebuah fenomena komoditisasi terhadap artefak budaya yaitu kain tenun tradisional Songket Bali. Pada mulanya hak produksi dan konsumsi Songket Bali secara terbatas hanya dimiliki secara eksklusif oleh keluarga bangsawan dan para pendeta Hindu Bali. Tenaya menjelaskan Songket Bali dahulu ditenun secara khusus dengan menggunakan bahan-bahan berkualitas seperti benang emas, benang perak dan sutra. Dengan meningkatnya sektor pariwisata dan industri kreatif di Bali, Songket Bali menjadi sebuah objek komodifikasi. Unsur estetika Songket Bali yang dilatarbelakangi oleh budaya Bali yang adiluhung mengalami pedangkalan makna, daur ulang, parodi, kekacauan tanda dan seterusnya. Proses ini menjadikan Songket Bali sebagai komoditi dan Proses demokrasi menjadikanya milik semua lapisan masyarakat. Dalam tesis ini, Tenaya memfokuskan pada pembahasan mengenai bentuk komodifikasi kain tenun Songket Bali faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi kain tenun Songket Bali dan dampak dan makna komodifikasi kain tenun Songket Bali. Metode penelitian yang digunakannya pada tesis ini adalah
Universitas Sumatera Utara
8
metode kualitatif, dengan alat analisis teori-teori kritis yaitu Teori Komodifikasi, Teori Perubahan Sosial dan Budaya, Teori Simeotika dan Teori estetika Post Modern. Tenaya mendeskripsikan berbagai bentuk komodifikasi Songket Bali, kemudian faktor perubahan struktur sosial masyarakat, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, pengaruh media dan globalisasi, serta berkembangnya pariwisata dan industri kreatif fashion di Bali. Dampak komodifikasi Songket Bali secara sosial budaya adalah memperkuat kecenderungan membentuk masyarakat yang makin konsumtif dan erosi budaya, serta secara ekonomi adalah peluang bagi peningkatan
pendapatan
masyarakat
melalui
industri
kreatif
fashion.
Komodifikasi Songket Bali juga mengandung makna-makna lain seperti makna sakral ke profan, egalitarian, kesejahteraan, kreativitas, pelestarian, identitas, dan estetika. Kajian yang dilakukan Tenaya menjadi sangat relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan karena memberikan pemahaman tentang komodifikasi pada artefak budaya, khususnya pada komodifikasi tenun. Penelitian Tenaya tersebut telah memberi inspirasi untuk melakukan penelitian terhadap objek lain yaitu komodifikasi pada uis Karo. Persamaan antara kajian Tenaya dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Tenaya di atas adalah Songket Bali sedangkan penulis menggunakan objek uis Karo. Langa Lambertus (2013) dalam tesisnya “Komodifikasi Warisan Budaya Tenun Ikat Masyarakat Bena, Kabupaten Ngada, Flores Dalam Era Globalisasi“
Universitas Sumatera Utara
9
menjelaskan suatu pergeseran nilai dan fungsi warisan budaya berupa tenun ikat masyarakat Bena yang diakibatkan oleh perkembangan dunia Pariwisata. Lambertus menjelaskan awalnya budaya tenun ikat memiliki nilai-nilai budaya berfungsi sebagai kelengkapan berbagai upacara dalam ritus-ritus budaya Bena maupun Ngadha, kemudian bergeser menjadi produk yang bernilai ekonomis dalam bentuk barang dagangan atau komoditas. Pergeseran tersebut terjadi pada berbagai tahapan baik produksi, distribusi maupun tahapan konsumsi. Penelitian Lambertus difokuskan pada masalah-masalah, berbagai bentuk komodifikasi warisan budaya tenun ikat, faktor-faktor yang mendorong terjadinya komodifikasi dan dampak dan makna komodifikasi. Teori yang dipakai Lambertus pada menganalisa penelitian ini adalah menggunakan teori komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori semiotika. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan multidimensional. Lambertus menemukan pemahaman tentang komodifikasi warisan budaya khususnya tenun ikat dalam era globalisasi yang dikaitkan dengan pengembangan pariwisata, dengan harapan akan berdampak terhadap berbagai kebijakan, program dan kegiatan pariwisata budaya. Data penelitian dalam tesis Lambertus, diperoleh melalui teknik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam terhadap nara sumber yang ditentukan secara purposif serta studi dokumen terkait. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori semiotika.
Universitas Sumatera Utara
10
Hasil penelitian Lambertus menunjukan bahwa komodifikasi telah merambah semua aspek kehidupan tenun ikat Bena (produksi, distribusi dan konsumsi) dengan bentuk-bentuk komodifikasi seperti komodifikasi produksi tenun ikat Bena, komodifikasi distribusi tenun ikat Bena, dan komodifikasi konsumsi tenun ikat Bena. Bentuk-bentuk komodifikasi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yaitu terbatasnya sumber daya produksi tenun ikat Bena, adanya orientasi ekonomi, dan idiologi/pandangan hidup masyarakat Bena, faktorfaktor eksternal yang mempengaruhi komodifikasi tenun ikat Bena adalah globalisasi dan pengembangan pariwisata. Dampak komodifikasi adalah dampak ekonomi, dampak sosial, dan dampak budaya. Sementara makna komodifikasinya adalah makna efisiensi, makna inovasi, dan makna pelestarian. Persamaan antara kajian Lambertus dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Lambertus di atas adalah tenun ikat masyarakat Bena sedangkan penulis menggunakan objek uis Karo. Penulis mengadopsi proses bentuk komodifikasi pada tesis Tenaya dan Lambertus. Bentuk komodifikasi pada kedua tesis mereka adalah komodifikasi produksi (komodifikasi desain, motif dan warna pakem), komodifikasi distribusi, dan komodifikasi konsumsi. Sandra Niessen (2009) dengan bukunya “Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia” mendeskripsikan mengenai tenun di Sumatera Utara khususnya didaerah Samosir, Simalungun, Karo, Si Tolu Huta, Holbung/Uluan dan Silindung. Buku ini memilki isi mengenai berbagai jenis uis Karo dari bentuk, desain, dan fungsi.
Universitas Sumatera Utara
11
Fadlin Muhammad Djafar pada jurnalnya “Songket Melayu Batubara: Eksistensi Dan Fungsi Sosio budaya” mengkaji keberadaan dan fungsi Songket Melayu Batubara di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara. Kajian budayanya bertumpu kepada eksistensi (etnografi, teknologi, dan organisasi) dan fungsi sosiobudaya, dengan pendekatanpendekatan antropologi. Penelitian ini menjelaskan Songket Melayu Batubara di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri umum dan khusus dalam konteks dunia Melayu seperti kesamaan secara konseptual, aktivitas dan dalam bentuk artefak adalah memiliki kesamaan-kesamaan dengan budaya Songket di kawasan Melayu lainnya, seperti yang ada di Semenanjung Malaysia. Kesamaan-kesamaan itu boleh dilihat melalui ide yang terkandung di dalam Songket, motif-motif, warna, dan cara pembuatannya. Persamaan ciri khas dan perbedaan kebudayaan Songket Batubara dengan kawasan lainnya adalah dikaji sesuai dengan lingkungannya. Songket dan kain tenunan tradisional di Sumatera Utara menggunakan tiga jenis alat, yaitu: okik untuk Songket, partonunan untuk Ulos, uis dan Abit Batak, serta alat tenun bukan mesin (ATBM) seperti yang disarankan pemerintah Indonesia. Ciri khas lainnya bahwa tenunan Songket Batubara selain digunakan oleh masyarakat Melayu, ia juga digunakan oleh masyarakat Karo, Batak Toba, Simalungun pada acara-acara kebudayaan. Fungsi Songket secara fisik adalah untuk baju, kain samping, sarung, selendang, bantal, bag, dompet dan lainnya. Fungsi sosial budaya Songket di antaranya adalah untuk penjaga kontinuitas dan
Universitas Sumatera Utara
12
stabilitas budaya Melayu, juga sebagai wahana integrasi dan masuknya seorang menjadi Melayu, penguat identitas Melayu, sebagai penunjuk strata sosial dan sebagai ungkapan rasa cinta serta fungsi lainnya. Penelitian
ini
menjelaskan
Songket
di
kawasan
Batubara
juga
mencerminkan strata sosial orang yang menggunakannya. Kalangan atas biasanya memakai Songket yang berkualitas dan berhargarelatif mahal. Sementara kelas sosial menengah dan sosial ke bawah menggunakan Songket sesuai dengan kemampuan ekonominya. Sehingga Songket yang diproduksi ada yang berharga relatif dari termahal sampai termurah. Dalam mengkaji industri uis Karo di masyarakat saat ini, penulis menggunakan skripsi Leavanny Laurie S “Analisis Bauran Pemasaran Dalam Meningkatkan Penjualan Kain Tenun Tradisional Karo Pada Trias Tambun Kabanjahe” sebagai referensi pustaka. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk : (1) mengetahui strategi bauran pemasaran kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe, (2) mengetahui tingkat penjualan kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe, dan (3) mengetahui peranan bauran pemasaran dalam meningkatkan penjualan kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe. Buku “Estetika : Sebuah Pengantar” tulisan A.A.M. Djelantik terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Buku “Estetika” karya Dharsono (Sony Kartika) terbitan Rekayasa Sains dan Jurnal Netty Juliana “Kreasi Ragam Hias
Universitas Sumatera Utara
13
uis Bara” dipergunakan sebagai mengaji unsur-unsur estetika pada visual ragam hias modifikasi uis Karo. Dalam mengkaji berbagai jenis uis Karo, corak, makna dan bentuk ragam hiasnya penulis menggunakan buku A.G.Sitepu yang berjudul “Ragam Hias (ornamen tradisional) Karo”, “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo”, dan “Mengenal Aksara-Merga-Orat Tutur Seni Kerajinan dan Ornamen Karo”. Pada ketiga buku tersebut dijelaskan berbagai macam uis Karo, berikut coraknya, dan maknanya. Penulis juga menggunakan buku Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat Batak Karo dan Laporan Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi Ornamen Tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980 sebagai referensi tambahan dalam mengkaji penerapan ragam hias pada uis Karo. Referensi dalam mengkaji berbagai budaya tradisional masyarakat Karo, penulis menggunakan buku “Pilar Budaya Karo” tulisan Sempa Sitepu, Bujur Sitepu, A.G. Sitepu yang diterbitakan Forum Komunikasi Masyarakat Karo Sumatera Utara, kemudian buku “Intisari Adat Istiadat Karo Jilid I”, “Sejemput Adat Budaya Karo” yang disusun oleh U.C. Barus dan Drs. Mberguh Sembiring, S.H, kemudian buku “Tanah Karo: Selayang Pandang” karya Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, dan buku “Mengenal Suku Karo” karya Roberto Bangun. Buku-buku karya Drs. Sarjani Tarigan, MSP juga dijadikan sebagai referensi tambahan dalam mengenal masyarakat Karo seperti “Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme” (2008), “Seminar Kebudayaan Karo dan
Universitas Sumatera Utara
14
Kehidupan Masa Kini” (1986) dan “Mengenal Rasa, Karsa dan Karya Kebudayaan Karo” (2016). Dalam mengkaji makna pemberian uis Karo, penulis menggunakan buku Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru, tulisan Pdt. Dr. E.P. Gintings terbitan Abdi Karya tahun 1999 dan tulisan Andi Satria Putranta Barus (2016) “Memaknai Yesus lewat pemakaian uis dalam Adat suku Karo”. Untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo, penulis menggunkan teori semiotika dan hipersemiotika yang diambil dari buku “Semiotika Komunikasi Visual” karya Sumbo Tinarbuko terbitan Jalasutra Yogyakarta tahun 2008 dan “Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna” karya Yasraf Amir Piliang terbitan Jalasutra Yogyakarta tahun 2003.
1.5
Konsep Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun
teori. Dalam penelitian ini akan dikemukakan dua konsep yang mendukung penelitian, yaitu konsep komodifikasi pada uis Karo dan globalisasi pada masyarakat Karo.
1.5.1
Komodifikasi pada Uis Karo Uis Karo merupakan salah satu kebudayaan masyarakat suku Karo di
Sumatera Utara. Uis Karo merupakan seperangkat pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan budaya masyarakat Karo. Pada zaman dahulu sebelum suku Karo
Universitas Sumatera Utara
15
mengenal tekstil buatan luar, Uis(kain) artinya dalam bahasa Karo adalah pakaian sehari-hari hingga perkembangannya membuat uis Karo menjadi berbagai jenis, corak dan fungsi. Pada umumnya uis dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara manual menggunakan gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM). Pembuatan benang pada sebagai bahan dasar uis Karo pada awalnya menggunakan zat pewarna alami dan tidak menggunakan bahan kimia pabrikan. Namun ada juga beberapa diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan pewarna alami dan dijadikan uis. Uis Karo memiliki warna dan motif yang berhubungan dengan penggunaannya atau dengan pelaksanaan kegiatan budaya. Beberapa diantara uis tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya digunakan dalam kegiatan ritual budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi. Komodifikasi adalah sebuah proses yang mengubah sebuah objek benda atau kebendaan yang awalnya bukan untuk diperdagangkan kemudian menjadi komoditas perdagangan (Pilliang, 2006). Komodifikasi atau Commodification adalah sebuah istilah yang awalnya populer pada kisaran tahun 1977 yang menjelaskan sebuah konsep fundamental dari pemikiran Marxisme tentang bagaimana kapitalisme berkembang. Karl Marx memberi makna, apa pun yang diproduksi dan untuk diperjualbelikan. Produk dari kerja yang dibuat bukan untuk dipergunakan, tetapi
Universitas Sumatera Utara
16
untuk diperjualbelikan. Sebagai komoditas ia tidak hanya penting untuk berguna, tetapi juga berdaya jual (Smith & Evans, 2004). Kata komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang bernilai ekonomi (dapat diperjualbelikan) dan modifikasi yang berarti perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari paham kapitalisme yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan nilai untung dan rugi. Perkembangan Industri kreatif di era globalisasi ini juga memberikan efek kepada uis Karo. Ide-ide baru berserta gagasan baru dari kebudayaan global mempengaruhi indutri kretif uis Karo. Demikian pula industri kreatif yang menggunakan bahan dasar uis Karo untuk menciptakan produk-produk baru yang mampu memenuhi permintaan masyarakat. Pada penggunaan produk yang menggunakan memodifikasi uis Karo memiliki suatu perubahan dalam bentuk desain dan fungsi. Bentuk-bentuk komodifikasi ini terjadi dalam bentuk motif, warna, desain, proses produksi, dan fungsinya. Aspek yang dikomodikasi pada uis Karo meliputi, nilai-nilai artistik, nilai-nilai makna, berserta nilai material uis Karo. Uis yang dimodifikasi oleh pelaku kreatif umumnya hanya memodifikasi jenis uis yang masih dipakai oleh masyarakat Karo pada umumnya seperti Uis Nipes, Uis Beka Buluh, dan Uis Julu. Nilai-nilai jual estetika dalam pendekatan modifikasi mendorong pelanggaran aturan-aturan tradisional. Bentuk, fungsi, dan makna uis Karo telah mengalami pergeseran seiring dengan berkembangnya budaya masyarakat Karo yang makin modern dan sangat menjunjung ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
17
1.5.2
Globalisasi pada masyarakat Karo Globalisasi
merupakan
sebuah
fenomena
sosial
modern
yang
diterjemahkan sebagai proses intergrasi manusia yang melewati batas-batas negara (Pieterse, 2000). Proses integrasi manusia ini tidak hanya terjadi dalam wilayah ekonomi, tetapi juga dalam wilaya budaya dan identitas. Menurut Kearney (1995) globalisasi berkaitan erat dengan ide “deteritorialisasi” yang mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi, konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari ikatan lokal. Globalisasi telah menyeret hal-hal yang bersifat lokal dan terikat dalam karateristik asal-usul menjadi sesuatu yang bersifat global dan beredar bebas melewati batas-batas lokal. Salah satu dampak dari globalisasi adalah ketimpangan budaya. Ketimpangan budaya adalah suatu kenyataan bahwa masuknya unsur-unsur golobalisasi tidak terjadi secara serempak. Unsur-unsur yang terkait dengan teknologi masuk sedemikian cepatnya, sedangkan unsur-unsur sosial budaya, seperti masyarakat perkotaan yang yang begitu cepat menyerap dan menerima unsur-unsur globalisasi, dibanding dengan masyarakat perdesaan yang lambat menerima unsur-unsur globalisasi. Akibat dari perbedaan lama cepatnya masuk unsur globalisasi tersebut masyarakat mengalami ketimpangan. Modernisasi sangat berkaitan erat dengan globalisasi. Dapat dikatakan bahwa penyebaran pengetahuan dan teknologi pada kehidupan manusia pada
Universitas Sumatera Utara
18
abad-21 tidak akan terlepas dari teknologi canggih seperti internet. Sejak diluncurkan, internet telah menjadi kebutuhan disetiap wilayah di seluruh dunia. Melalui media penyebaran dan pencampuran informasi kebudayaan sangat cepat keseluruh belahan dunia. Dickens (2004) mengatakan bahwa globalisasi berhubungan dengan penyebaran budaya kontemporer. Semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonism, masyarakat akan cenderung menganut prinsip pragmatisme sehingga terjadi erosi budaya dengan lenyapnya identitas budaya asli nasional dan tradisional. Pada kajian budaya ini, globalisasi merupakan faktor utama yang melatarbelakangi komodifikasi kebudayaan pada masyarakat Karo. Globalisasi menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena sosial seperti komodifikasi budaya, perkembangan media, lunturnya nilai-nilai adat budaya, pariwisata dan gaya hidup.
1.6
Landasan Teori Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis cultural studies. Adapun teori-teori yang digunakan, yaitu (1) Teori Komodifikasi, (2) Teori Perubahan Sosial dan Budaya, (3) Teori Hipersemiotika, dan (4) Teori Estetika Posmodern.
Universitas Sumatera Utara
19
1.6.1
Teori Komodifikasi Teori Komodifikasi diperkenalkan oleh Karl Marx dalam Encyclopedia of
Marxism, yang berarti transformasi hubungan, sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual. Dengan kata lain komodifikasi adalah sesuatu yang awalnya tidak termasuk ke dalam area pasar berubah menjadi sesuatu yang komersial, menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Salah satu komoditas yang dapat diperjualbelikan adalah kebudayaan. Kebudayaan tersebut mencakup nilai baku budaya dan nilai material budaya tersebut. Menurut Piliang (2003) komodifikasi tidak saja menunjuk pada barangbarang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke bidang seni dan kebudayaan pada umumnya.
Pilliang menjelaskan bagaimana sebuah artefak
budaya mengalami Proses komersialisasi dan diperdagangkan. Komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, juga merambah pada kehidupan seni dan budaya. Kapitalisme telah berhasil membuat seni dan budaya patuh pada hukum-hukumnya. Kebudayaan yang tadinya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek sentimental seperti nilai religi, atau penghormatan kepada leluhur, upacara adat, dan termasuk kekeluargaan sekarang menjadi bergeser. Nilai yang dominan adalah nilai komersial, yakni motivasi mendapatkan untung. Produsen penghasil suatu produk kebudayaan dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan produknya dengan selera pasar.
Universitas Sumatera Utara
20
Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari konsumsi massa, masyarakat komoditas atau masyarakat konsumenlah sebagai penyebabnya Menurut Dobie (2009), komodifikasi juga adalah pengaruh kapitalisme pada psikis konsumen yang menilai barang bukan lagi dari kegunaannya (use value), namun dari merek (sign value) dan nilai tukar (exchange value). Kita membayar bukan karena sesuatu itu berguna, namun untuk mengesankan orang lain atau menaikkan harga diri. Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, uis Karo telah muncul menjadi objek dari suatu komodifikasi budaya. Pada penelitian ini teori komodifikasi diposisisikan sebagai teori dasar dan digunakan sebagai landasan kajian untuk menganalisis bentuk dan fungsi komodifikasi uis Karo dalam perkembangan industri kreatif pada masyarakat Karo.
1.6.2
Teori Perubahan Sosial dan Budaya Kebudayaan memilki peran yang kuat dalam dinamika sosial di
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Herskovits juga mengemukakan bahwa budaya bersifat fleksibel dan memiliki banyak kemungkinan pilihan dalam kerangka kerjanya. Salah satu paradoks jelas yang dimiliki budaya adalah caranya menggabungkan stabilitas dengan perubahan
Universitas Sumatera Utara
21
dinamis yang berkelanjutan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan pengaruh external. Perubahan ini dibenarkan melalui berbagai mekanisme budaya dan disesuaikan dengan berbagai norma yang sudah ada sebelumnya; jika tidak, budaya akan kehilangan koherasi dan stabilitas yang dibutuhkan. Perubahan sosial merupakan perubahan pada kehidupan masyarakat yang berlangsung terus-menerus. Perubahan yang dialami masing-masing masyarakat tidaklah sama, ada yang cepat, ada yang mendominasi dan ada pula yang tersendat. Perubahan ini tidak akan pernah berhenti, karena tidak ada satu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu pada suatu masa. Perubahan tersebut dapat mengarah pada kemajuan maupun kemunduran. Pada intinya bahwa perubahan pada hakikatnya merupakan fenomena manusiawi dan fenomena alami. Perubahan adalah suatu proses yang menyebabkan terjadi perbedaan dari keadaan semula dengan sesudahnya. Perubahan dapat diketahui apabila ada perbedaan dari bentuk awal dan bentuk akhir. Perubahan ini terjadi sesuai sifat dasar manusia yang selalu ingin melakukan perubahan, karena manusia memiliki sifat selalu tidak puas terhadap apa yang telah dicapainya. Manusia selalu mencari suatu hal yang baru untuk mengubah keadaan agar kehidupannya menjadi lebih baik sesuai dengan keinginannya. Menurut Soejono Soekanto (1990) perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut: 1. Sistem pendidikan formal yang maju.
Universitas Sumatera Utara
22
2. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan berkeinginan untuk maju. 3. Sistem yang terbuka dalam lapisan masyarakat. 4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. 5. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang- bidang kehidupan tertentu yang terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan kejenuhan. 6. Penduduk yang Heterogen adalah Masyarakat yang terdiri atas kelompokkelompok sosial yang mempunyai latar kebudayaan yang berbeda beda dan ideology yang berbeda pula. 7. Orientasi ke masa depan yang lebih baik. 8. Adanya kontak dengan masyarakat luar yang menyebabkan terjadinya pencampuran budaya. Sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, manusia dibekali akal-budi untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan berbekal akal-budi tersebut manusia memiliki tujuh kemampuan yang berfungsi untuk: menciptakan, mengkreasi, memperlakukan,
memperbarui,
memperbaiki,
mengembangkan,
dan
meningkatkan segala hal dalam interaksinya dengan alam maupun manusia lainnya (Herimanto dan Winarno, 2009). Ketujuh kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti menciptakan kebudayaan, kemudian memperbaharui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan kebudayaan. Kebudayaan yang telah dihasilkan oleh manusia sering menjadi awalnya terjadinya perubahan sosial, yang berarti perubahan sosial berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan.
Universitas Sumatera Utara
23
Menurut Kingsley Davis (Soerjono Soekanto, 2000) perubahan-perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan yang mencakup semua bagian kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian, ilmu pengetahuan, tekhnologi, filsafat dan perubahan dalam bentuk aturan organisasi sosial. Perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu saling bersangkut-paut dengan cara-cara baru di dalam suatu system masyarakat. Dalam penggunaan istilah perubahan sosial dan perubahan budaya, perbedaan di antara keduanya tidak terlalu diperhatikan. Di samping itu, kedua istilah tersebut seringkali ditukar-pakaikan, kadangkala digunakan istilah perubahan sosial budaya agar dapat mencakup kedua jenis perubahan tersebut. Pada penelitian ini teori perubahan sosial dan kebudayaan digunakan sebagai landasan kajian untuk menganalisis faktor-faktor penyebab komodifikasi pada uis Karo.
1.6.2.1 Teori Perubahan Sosial Menurut Teori Klasik Karl Marx Karl Marx adalah salah satu tokoh sosiologi klasik. Dia memahami fenomena perubahan sosial secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri. Pemikirannya membawa khasanah berpikir ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi memasuki sejarah umat manusia yang bernama modernisasi. Karl Marx merumuskan dinamika perubahan sosial dan budaya sebagai produk dari sebuah produksi (materialisme). Perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial-
Universitas Sumatera Utara
24
budaya. Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan teknologi dan penemuan sumber daya baru yang berguna dalam aktivitas produksi salah satunya adalah kebudayaan. Karl Marx juga berpendapat perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan materiil. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial. Komodifikasi terhadap seni budaya masyarakat Karo yaitu uis Karo adalah salah satu dari fenomena perubahan sosial dan budaya, hal ini dilihat dari uis Karo dipandang sebagai suatu produk massal, dimana semakin suburnya nilai-nilai individualisme yang sangat erat berdampingan dengan faham kapitalisme. Penggunaan teori perubahan sosial dan budaya dalam kajian budaya ini menjelaskan bagaimana terjadinya berbagai faktor penyebab komodifikasi terhadap uis Karo.
1.6.3
Teori Estetika Posmodern Estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keindahan dan semua aspek dari apa yang disebut keindahan (Djelantik, 1999). Objek yang menjadi sasaran analisis estetika setidak-tidaknya mempunyai tiga aspek dasar, yaitu bentuk, gagasasan, dan pesan. Pendekatan ini juga menjadi dasar teori estetika klasik dalam mengukur keindahan sebuah objek. Menurut Pilliang, pada era klasik, estetika mengutamakan makna (form, follow, meaning), pada era modern maka fungsilah yang lebih diutamakan (form,
Universitas Sumatera Utara
25
follow, function), sedangkan pada era postmodern ada perubahan yang begitu revolusioner, seolah-olah estetika merupakan arena permainan (form, follow, fun). Pada era pascaindustri, muncul petanda-petanda baru dan makna pun berkelimpahan. ERA/TEKS Klasik/ pramodernisme
PRINSIP
RELASI/PERTANDAAN (MODEL SEMIOTIKA) Penanda/ makna ideologis
Bentuk Mengikuti Makna Modernisme Bentuk Penanda/ fungsi Mengikuti Fungsi Posmodernisme Bentuk Penanda/ penanda (makna) ironis Mengikuti Kesenangan Tabel 1.1 : Hubungan antara Era/Teks, Prinsip dan Relasi/Pertandaan dalam estetika. (Sumber: Piliang 1998,1999)
Dalam komodifikasi budaya, teori estetika postmodern juga digunakan untuk mengkaji karya-karya seni dan kebudayaan. Piliang dalam bukunya ” Dunia Yang
Dilipat” (2010), bahwa pada era postmodern, salah satunya, ditandai
dengan munculnya kebudayaan daur ulang. Pengertian daur ulang merupakan suatu produk baru yang tidak memiliki keotentikan atau sama sekali tidak baru, melainkan berasal dari proses pengulangan kebudayaan. Pengulangan kebudayaan berasal produk masa lalu diasimilasikan dengan kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat, historisisme, rekonstruksi, duplikasi namun juga menciptakan sinergi unik untuk menarik perhatian. Pengulangan dalam dunia fashion menjadi bagian dari tren, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul akan
Universitas Sumatera Utara
26
muncul kembali. Pengulangan dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama
dengan
kebaruan
yang
berupa
gagasan,
kemajuan
teknologi
visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada produk fashion komodifikasi uis Karo yaitu baju kemeja hasil modifikasi uis Karo yang memakai ragam hias uis Karo. Kemeja ini memilki kesan, makna dan pesan pencitraan visual yang memunculkan kebudayaan asli Karo yang sejatinya tidak dipakai pada kemeja.
Gambar 1.1 : Komodifikasi Uis Karo pada fashion kaum laki-laki. (Sumber : Mamre Klasis Kabanjahe 2010-2015)
Pengulangan kebudayaan sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali makna atas eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta seniman/desainer, dan semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi modernitas dengan pemaknaan kembali sesuai dengan wacana berfikir era form-follow-meaning. Fashion adalah bagian dari kebudayaan kapitalis, fashion juga mengalami hukum ekonomi, dimana segala sesuatu bergerak, berputar dan bergeser dalam waktu dan percepatan yang bersaing. Percepatan bersamaan di dunia fashion ini,
Universitas Sumatera Utara
27
menyebabkan setiap orang seperti panik bersaing dan terus menerus memperbaharui dirinya setiap tahun, bulan atau musim melalui barang-barang fashion yang terbaru. Menurut Baudrillard, estetika Posmodern juga ditandai dengan kekacauan makna, dimana terjadi keterputusan pada rantai penandaan. Kesimpangsiuran makna ini disebut schizophrenia, dimana bentuk-bentuk dipermainkan dalam kerangka perubahan, perceraian, pergeseran, ketimbang keselesaian, kesatuan dan integritasnya. Idiom-idiom di atas bukan merupakan hak prerogatif posmodernisme, meskipun pada diskursus posmodernisme semua idiom tersebut menjadi konsep yang dominan. Dalam konteks seni posmodern, konsep-konsep estetika itu secara luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna (atau antimakna) pada bahasa estetik seni. Pengenalan dan pendefinisian konsep-konsep itu secara sistematis sangat penting, sehingga ia dapat menjadi bahan dalam pengembangan idiom-idiom estetik yang lebih kaya (Piliang, 2003: 67). Mengacu pada pendapat Piliang di atas, dalam penelitian ini menggunakan teori estetika posmodern yang dipakai untuk mengkaji uis Karo sebagai objek estetik, Teori ini juga dipakai pada penelitian ini untuk menganalisis bentuk komodifikasi uis Karo dalam perkembangan dunia berpakaian pada masyarakat Karo.
Universitas Sumatera Utara
28
1.6.4
Teori Hipersemiotika Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hiper diartikan sebagai di
atas, berlebihan, di luar atau melampaui batas. Menurut Piliang dalam buku “Semiotika
dan
Hipersemiotika:
Kode,
Gaya,
dan
Matinya
Makna’,
Hipersemiotika bisa diartikan sebagai semiotika berlebihan atau semiotika yang melampaui batas. Piliang juga menyebutkan bahwa hipersemiotika adalah sebuah ilmu tentang produk tanda. Teori hipersemiotika merupakan sebuah teori tanda yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard. Piliang (2012: 61) menjelaskan bahwa pendekatan teori semiotika, khususnya semiotika paling mutakhir (hipersemiotika), seperti yang dikembangkan oleh para pemikir post-strukturalis, bisa dijadikan sarana penelusuran, pemahaman kode-kode bahasa estetik yang tersembunyi dibalik bentuk-bentuk seni posmodern. Piliang pada bukunya Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna menjelaskan bahwa pendekatan teori semiotika khususnya hipersemiotika, dapat dijadikan sarana penelusuran, pemahaman kode-kode bahasa estetik yang tersembunyi dibalik bentuk-bentuk seni posmodern. Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika, yang di dalamnya berbagai hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme. Kekuatan hipersemiotika (hyper-sign) merupakan kekuatan utama dari apa yang disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti wacana desain, sastra, media, iklan, fashion, dan termasuk produk budaya hasil komodifikasi.
Universitas Sumatera Utara
29
Untuk memahami makna komodifikasi uis Karo, teori hipersemiotika menjadi sangat penting, karena komodifikasi merupakan sebuah karya seni yang memiliki unsur-unsur postmodern yang bercirikan tanda-tanda yang melebihi realitas (hiperealitas) sehingga memunculkan pemaknaan baru (hipersemiotika). Hipersemiotika merupakan ilmu yang mengkaji pemaknaan baru sebagai bagian dari kajian budaya. Teori hipersemiotika dapat diterapkan dalam penelitian ini untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo.
1.7
Model Penelitian Model penelitian komodifikasi uis Karo dapat digambarkan dalam skema
atau model penelitian sebagai berikut : Globalisasi
Eksternal Songket Media Sosial Pariwisata
Bentuk komodifikasi
Kebudayaan Karo
Komodifikasi Kain Tradisional Karo
Faktor-Faktor penyebab komodifikasi
Internal
Mata Pencarian Penenunan & kesenian Pendidikan Pelestarian
Dampak dan makna komodifikasi
Skema 1.1 : Skema model penelitian
Universitas Sumatera Utara
30
Fenomena budaya di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana bentuk komodifikasi kain tradisional Karo pada era Globalisasi? (2) Mengapa terjadi komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo? dan (3) Apakah dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo?
1.8
Model Penelitian
1.8.1
Rancangan Penelitian Penelitian komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo merupakan suatu
penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan kajian budaya (cultural studies). Menurut Akhyar Yusuf lubis pada bukunya Dekonstruksi Epistimologi Modern: dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies, kajian budaya menaruh perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang muncul dari informasi media massa. Kajian budaya juga mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan sehingga kajian budaya adalah kajian yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Penelitian ini adalah sebuah penelitian kajian budaya, sehingga penelitian ini menghubungkan dengan ilmu-ilmu sosial pendukung. Hal ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya, seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial.
Universitas Sumatera Utara
31
Kajian ini juga bersifat multidisiplinner ilmu dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya, seperti globalisasi, fashion, teknologi, sejarah, sosial budaya, arkeologi, dan sebagainya. Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain. Penelitian yang mempergunakan pendekatan kualitatif tergolong penelitian kebudayaan
penekanannya
bukan
pada
pengukuran
melainkan
pada
pendeskripsian. Moleong pada bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena di masyarakat dengan cara mendiskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Suharsimi Arikunto pada bukunya Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna pada bukunya Teori, Metode,
dan
Teknik
Penelitian
Sastra
Dari
Strukturalisme
Hingga
Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, metode kualitatif memanfaatkan cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi dengan ciri-ciri terpenting dalam metode kualitatif terletak pada makna berserta pesan, dan pada proses tidak ada jarak antara subjek dan objek penelitian, bersifat terbuka dan ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
32
Penelitian fenomena budaya ini sama halnya dengan penelitian di bidang sosial lainnya. Secara garis besar penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap kerja lapangan, dan tahap penulisan laporan (Gorda,1997). Pada Tahap Persiapan dilakukan beberapa kegiatan yaitu (a) mengadakan studi pendahuluan baik aspek kepustakaan maupun empirik dalam rangka penyusunan usulan penelitian, (b) memilih lapangan atau lokasi penelitian (c) mengurus perizinan dan (d) mempersiapkan perlengkapan penelitian. Pada Tahap Kerja Lapangan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain (a) menentukan informan, (b) melakukan pengumpulan data, (c) mengolah dan menganalisis data (d) membuktikan atau menjawab pertanyaan penelitian dan (d) melakukan diskusi dalam ahli atau narasumber yang bersangkutan. Pada tahap penulisan laporan, peneliti harus memperhatikan pedoman penulisan laporan sesuai dengan sistematika penulisan yang ditentukan oleh perguruan tinggi
1.8.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada daerah mayoritas masyarakat Karo, seperti
Medan (padang bulan dan sekitarnya), Kabanjahe dan Berastagi. Ketiga lokasi tersebut dipilih melalui berbagai pertimbangan antara lain 1) Masyarakat Karo di Medan, Berastagi dan Kabanjahe adalah masyarakat yang menglobal dan sangat jelas terlihat pengaruh globalisasinya. 2) Diketiga daerah tersebut menjadi daerah komodifikasi uis Karo, 3) Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang pertumbuhan sektor ekonomi masyarakatnya sangat cepat,
Universitas Sumatera Utara
33
4) Di Kabanjahe dan Berastagi banyak dijual hasil komodifikasi uis Karo, Aksesibilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik dan tidak terlalu jauh dengan tempat peneliti, sehingga efektif dalam melakukan penelitian serta efisien sesuai dengan ketersediaan dana dan alokasi waktu penelitian.
1.8.3
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif oleh karena itu jenis data
yang diperlukan adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu berupa uraian atau deskripsi dalam bentuk kata-kata yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data kualitatif diperoleh dari hasil observasi lapangan, dan rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka berserta dokumen-dokumen, tesis, skripsi, buku, web, jurnal online, dan transkrip lainnya. Data dihimpun dengan terencana dan sistematis, data yang relevan atau bertalian, berkaitan, mengena dan tepat (Kartono, 1996). Data kuantitatif dibutuhkan untuk mendukung dan memberi penjelasan khususnya yang berkaitan dengan aspek ekonomi dari pariwisata dan industri kreatif.
1.8.4
Sumber Data Dalam penelitian ini, Sumber data dikelompokkan menjadi dua yakni
sumber data utama dan sumber data pendukung. Data utama merupakan data yang dikumpulkan dari narasumber berupa teks hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara dengan informan yang dijadikan sampel penelitian. Data ini dapat direkam atau dicatat oleh peneliti. Di samping itu, dilakukan pengumpulan
Universitas Sumatera Utara
34
data utama diperoleh dari pelaku pembuat uis Karo yang diproduksi oleh pelaku komodifikasi, desainer, pedagang, dan konsumen, di mana semua pihak tersebut dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kumpulan skripsi, tesis, jurnal hingga buku-buku kebudayaan Karo juga menjadi sumber data utama dalam penelitian ini. Data pendukung diperoleh dari sumber-sumber yang tersedia dalam referensi bacaan, media cetak, media online, ekshibisi industri kreatif. Data pendukung yang dikumpulkan berupa data yang diperoleh dari literatur yang ada hubungannya dengan judul penelitian, baik diperoleh dari perpustakaan, buku, dokumen, surat kabar, laporan penelitian, web page, jurnal ilmiah, dan foto-foto. Data pendukung ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.
1.8.5
Penentuan Informan Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap,
memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001). Teknik penentuan informan sangat penting karena informan yang memberikan informasi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa penentuan informan sebagai sumber data lebih banyak menggunakan pertimbangan realitas sosial,
Universitas Sumatera Utara
35
artinya informan-informan yang mewakili masyarakat dipilih secara purposive sampling yaitu pemilihan informan berdasarkan kriteria tetentu. Subyek yang diambil dalam penelitian fenomena budaya ini adalah para informan yang mengetahui mengenai bentuk, fungsi, jenis dan makna simbolis yang terkandung dalam bebrbagai jenis uis Karo dalam perpektif budaya. Karena itu penelitian ini membutuhkan informan yang berkemampuan sebagai ahli uis Karo maupun budayawan Karo. Penelitian ini juga
membutuhkan informasi
mengenai komodifikasi uis Karo dari pihak pertama dalam industri fashoin. Mereka memiliki kemampuan sebagai perancang busana khususnya berhubungan dengan uis Karo. Untuk memberikan sudut pandang yang lebih lengkap, penelitian ini juga membutuhkan informasi yang diperoleh dari “informan sambil lalu” seperti ibu-ibu rumah tangga, masyarakat Karo dan konsumen komodifikasi uis Karo untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai konsumsi dan preferensi mereka terhadap produk-produk komodifikasi uis Karo
1.8.6
Instrumen Penelitian Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan
sebagai instrumen utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti terjun ke lapangan untuk melakukan studi dokumen dan wawancara agar mendapatkan data yang akurat. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan pokok yang bersifat terbuka, informasi dari informan dan pertanyaan yang dapat kemungkinan dikembangkan.
Universitas Sumatera Utara
36
Untuk teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih spesifik. Disamping itu, diperlukan instrumen bantu dalam pengumpulan data yakni pedoman wawancara, smartphone, serta alat tulis menulis untuk merekam pembicaraan pada saat wawancara dan kejadiankejadian (informasi) yang berhubungan dengan komodifikasi uis Karo.
1.8.7
Teknik Pengumpulan Data Ada tiga teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yakni (1) teknik
observasi, (2) teknik wawancara dan (3) studi dokumen. 1.
Teknik Observasi Observasi merupakan cara memperoleh data melalui pengamatan langsung
ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah. Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatan pencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan. Hasil observasi berupa dokumentasi berupa foto yang berhubungan dengan penelitian ini. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang dapat dijadikan data penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam hubungannya dengan komodifikasi, observasi dilakukan pada lokasi penelitian dengan mengamati aktivitas para pelaku komodifikasi uis Karo. Selain itu pengamatan dilakukan pula pada acara-acara adat Karo seperti pernikahan, peresmian rumah baru, kematian, pesta budaya dan sebagainya. Pada saat melakukan pengamatan, dilakukan pencatatan dan pemotretan fenomenafenomena mengenai komodifikasi uis Karo baik dalam tampilannya beserta fungsinya. 2.
Teknik Wawancara Wawancara merupakan suatu kegiatan percakapan dengan maksud dan
tujuan tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data lewat wawancara langsung dengan informan. Menurut Natsir (1988) pengumpulan data melalui wawancara adalah proses percakapan dalam bentuk tanya jawab antara peniliti dan informan. Pertanyaan kepada informan diajukan, baik secara lisan maupun tertulis dengan teknik tanya yang terstruktur dan tak terstruktur dibantu alat berupa daftar pertanyaan, alat perekam, dan alat tulis. Pada penelitian ini teknik wawancara yang dipakai ada dua macam teknik yaitu yang pertama, teknik wawancara terstruktur (structured interview) yaitu dengan cara mempersiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu, sehingga didapatkan data sesuai dengan informasi yang diinginkan. Teknik kedua yaitu teknik wawancara tak terstruktur (unstructured interview) yaitu wawancara yang
Universitas Sumatera Utara
38
dapat dilakukan secara lebih terbuka dan mendalam dengan memberikan kebebasan atau keleluasaan kepada informan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang bentuk mula-mula uis Karo, kemudian bentuk komodifikasi uis Karo, serta faktor-faktor penyebab komodifikasi uis Karo dan dampak dari komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo. 3.
Studi Dokumen Selain wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan studi
dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang berhubungan dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan komodifikasi uis Karo. Dokumen yang digunakan adalah buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, laporan penelitian, foto, kliping media massa, majalah, dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data pendukung untuk penelitian komodifikasi uis Karo.
1.8.8
Teknik Analisis Data Semua data yang telah dikumpulkan, baik data utama maupun data
pendukung akan diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian.
Kemudian
data
tersebut
diklasifikasi,
dianalisis
dengan
mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Cara menganalisis data tersebut
Universitas Sumatera Utara
39
dilakukan secara teknik analisis deskriftif kualitatif untuk menjelaskan bagianbagian dari keseluruhan data. Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi dari narasumber yang mengetahui mengenai seluk beluk bentuk asli uis Karo sampai perubahan pada komodifikasinya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Data yang berupa perbandingan bentuk-bentuk visual asli uis Karo dan bentuk komodifikasinya diklasifikasi berdasarkan teori komodifikasi dan estetika. Kemudian dilakukan penafsiran terhadap fungsi dan makna yang dikandung bentuk-bentuk visual dalam berbagai komodifikasi uis Karo tersebut dengan menggunakan teori estetika, dan hipersemiotika. Setelah diperoleh bentuk, dilakukan tafsiran terhadap fungsi dan makna dalam kain hasil komodifikasinya, yakni untuk mengetahui berfungsinya tampilan terhadap konsumen penikmatnya.
1.8.9
Penyajian Hasil Analisis Data Dalam penelitian ini, tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil
penelitian dalam wujud tulisan secara secara terstruktur dengan mengikuti kerangka penulisan secara sitematik. penyajian penelitian ini berupa laporan hasil penelitian formal dan informal. Penyajian informal adalah penyajian hasil analisis yang mempergunakan kata-kata yang bersifat deskriptif, naratif, dan argumentatif. Sementara itu, penyajian formal adalah penyajian analisis yang menggunakan gambar, dan foto. Kedua bentuk penyajian ini dituangkan dalam beberapa bab. Bab-bab awal terdiri dari tiga bab memuat perencana penelitian, kemudian diikuti
Universitas Sumatera Utara
40
oleh satu bab yang mendeskripsikan gambaran umum tentang uis Karo, beberapa bab tentang hasil penelitian dan diakhiri dengan bab penutup memuat kesimpulan dan saran. Penyajian dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena perubahan budaya masyarakat yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara