1
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan industrial Pancasila atau sering dengan sebutan hubungan industrial1 rawan konflik dan tidak selamanya harmonis. Perselisihan atau konflik senantiasa dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar manusia, bahkan mengingat subjek hukum pun telah lama mengenal badan hukum maka para pihak yang terlibat dalamnya pun semakin banyak.2 Dengan semakin kompleksnya corak kehidupan masyarakat maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa perselisihan pun semakin kompleks. Ketidakharmonisan dalam hubungan industrial antara lain disebabkan karena adanya
ketidaksetaraan
hubungan
antara
pekerja/buruh
dan
pengusaha.
Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha menjadikan hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang cenderung eksploitatif dan bersifat sepihak. Kesenjangan hubungan antara pekerja dan pengusaha semakin menguat karena mendapatkan pengaruh eksternal seperti ekonomi, sosial dan politik.3 Ketidakharmonisan hubungan pekerja/buruh dan pengusaha diwujudkan dalam bentuk perselisihan hubungan industrial. Menurut Pasal 1 angka 22 UU
1
Satu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yangterdiri dari unsur pengusaha ,pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. 2 Di Indonesia badan hukum antara lain terdiri dari perusahaan terbatas, badan hukum milik negara, perusahaan umum, perusahaan jawatan, yayasan, koperasi. 3 Ari Hernawan, 2011, Hak Dan Kewajiban Pekerja Dan Pengusaha Dalam Mogok Kerja di Indonesia, Disertasi Program Doktor, UGM, Yogyakarta, hlm. 369
2
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan pengertian tersebut bahwa perselisihan hubungan industrial dapat bersifat perorangan dan kolektif. Banyaknya perselisihan yang muncul dalam hubungan industrial, adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sekarang yang penting adalah bagaimana perselisihan hubungan indutrial tersebut dapat diselesaikan dan dicari solusinya dengan jalan damai sehingga tidak berlarut-larut yang stabilitas
ekonomi
terganggu,
sehingga
pada
dapat mengakibatkan
akhirnya
yang
dirugikan
pekerja/buruh sebagai golongan yang lemah. Pada tanggal 14 Januari 2006 Mahkamah Agung bersama Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) meresmikan Pengadilan Hubungan Industrial (selanjutnya ditulis PHI) pertama di Padang sebagai realisasi Pasal 55 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. PHI dibentuk dengan asas yang tidak beda dengan peradilan lainnya yaitu asas peradilan yang cepat, tepat, adil dan berbiaya murah. Pembentukan PHI tidak secara tegas diperintahkan oleh UUD N RI 1945 maupun UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Nomor 13 Tahun 2003 hanya mengatur tentang lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan saat ini secara yuridis PHI dibentuk melalui UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 24 ayat (5) UUD N
3
RI menyatakan bahwa “Susunan, Kedudukan, Keanggotaan, dan Hukum Acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan UU”. Oleh karena itu apabila berpegang pada ketentuan tersebut bahwa setiap pembentukan lembaga pengadilan dilakukan dengan UU tersendiri. PHI sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Selanjutnya Pasal 1 angka 1 menyatakan perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Kehadiran
PHI yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah untuk mengoptimalkan hubungan industrial yang harmonis dalam penyelesaian perselisihan sebagai pengganti dari proses penyelesian perselisihan perburuhan yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1957. Penyelesian perselisihan perburuhan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957 hanya terdapat dua jalan yang dapat ditempuh , yaitu : a. Menyerahkan penyelesaian perselisihan mereka secara sukarela kepada juru pemisah (perorangan ) atau sebuah badan/dewan pemisah untuk di selesaikan secara arbitrase sukarela (Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 1957);atau
4
b. Menyerahkan penyelesaian perselisihan itu kepada pegawai perantara (Pasal 3 UU Nomor 22 Tahun 1957). UU
hanya
membedakan
perselisihan
hak
dan
kepentingan
dan
menitikberatkan penyelesaian perselisihan perburuhan antara serikat buruh atau gabungan serikat buruh dengan majikan atau gabungan majikan, mengandung maksud bahwa perselisihan perburuhan perseorangan tidak mendapatkan perlindungan pada UU ini. Existing Pengadilan Negeri pada UU Nomor 22 Tahun 1957 sebagai fiat eksekutoria terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), bilamana putusan tidak bisa banding lagi, tidak ditaati secara sukarela, dan pelaksanaanya dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, dalam hal ini menurut Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kemudian berdasarkan SEMA Nomor 1 Tahun 1980 dilaksanakan sesuai wilayah hukum pihak-pihak yang akan melaksanakan putusan.4 Pada umumnya penyelesaian perselisihan perburuhan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai lembaga arbitrase wajib merupakan pilihan karena para pihak berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957 wajib terlebih dahulu menggunakan jasa perantara yang melaksanakan fungsi mediasi wajib dan konsiliasi wajib, pada akhirnya mereka tetap melanjutkan ke arbitrase wajib karena penyelesaian melalui P4 (arbitrase
4
S.F.Marbun. 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty , Yogyakarta, hlm. 49.
5
wajib) tanpa dipungut biaya (prodeo), sedangkan penyelesaian melalui pengadilan diperlukan biaya, disamping itu sejak tahun 1980 berdasarkan SEMA Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1980 Pengadilan Negeri tidak dibenarkan menangani lagi perselisihan perburuhan atas dasar perselisihan hak. Hal ini dipertegas dalam Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1980 dalam butir kelima sub a bahwa Pengadilan Negeri hanya dapat menyetujui atau menolak fiat eksekusi keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dengan demikian Surat Edaran MA itu disamping memberikan kemudahan untuk mendapatkan fiat eksekusi dari Pengadilan Negeri juga memberikan kedudukan yang kuat bagi Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan saat itu. Tujuan pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah terciptanya secara optimal hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan adil antara pihak pengusaha dengan pekerja/buruh sesuai dengan nilai-nilai Pancasila hal ini ada dalam konsiderans UU Nomor 2 Tahun 2004. Keberadaan PHI sebagai peradilan khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum baru berumur kurang lebih 9 tahun, namun demikian ternyata sudah banyak menuai kritik dan permasalahan. Lambannya penyelesaian PHI dan upaya hukum ke MA terkait dengan asas peradilan cepat belum tercapai. Hal yang positif dari UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah semakin
dipersingkatnya waktu penyelesaian perselisihan. Menurut
peraturan sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1957, penyelesaian perselisihan perburuhan dapat memakan waktu 3 sampai 4 tahun, hal ini dapat dibayangkan jangka waktu yang dibutuhkan para pihak guna mendapatkan putusan yang
6
berkekuatan hukum bila salah satu pihak merasa belum mendapatkan keadilan, demikian juga terhadap putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) karena ptusan P4P dianggap sebagai keputusan Tata Usaha Negara dan akhirnya memperpanjang proses penyelesaian perburuhan saat itu. Mendasarkan dari kondisi tersebut maka eksistensi PHI sangat diharapkan sebenarnya untuk terwujudnya Speed Administration of justice dengan tetap berpedoman pada keadilan substansial (hukum materiil) yang ada dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 yang secara nyata telah mengatur batas waktu yang harus ditaati oleh lembaga peradilan yaitu paling lama 50 hari kerja di tingkat pertama dan paling lama 30 hari pada tingkat Mahkamah Agung. Selama ini proses pemeriksaan di pengadilan memakan waktu cukup lama tidak sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, serta murah dan dengan alasan inilah pembentuk
UU memberikan jangka waktu yang pasti pada
pengadilan-pengadilan khusus tersebut termasuk PHI. Apabila dilihat dari data jumlah perkara yang masuk PHI di tahun 2006, sebanyak 142 perkara hanya 77 (54,2%) yang diputus tahun 2007 perkara masuk 208 ditambah sisa perkara tahun 2006 adalah 65, jadi total 273 yang dapat diputus 198 (72,5%) jumlah ini tidak signifikan terhadap proses cepat, tepat, murah dan adil sebagaimana amanat undang-undang, selain itu para pihak yang berperkara masih bisa mengupayakan kasasi pada tahun 2006 sebanyak 44 perkara yang memohonkan kasasi. Hal ini
7
menunjukan bahwa berperkara di PHI masih memakan waktu cukup lama sehingga pihak yang berperkara masih memilih jalan penyelesaian melalui Mediasi.5 Fakta hukum menunjukkan banyaknya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI di 33 wilayah PHI tersebar di masing-masing ibukota provinsi di seluruh Indonesia. Perselisihan hubungan industrial berdasarkan data sepanjang tahun 2011 terdapat 1.198 perkara yang masuk ke PHI, dan sisa perkara tahun 2010 terdapat 448 perkara, sehingga jumlah perkara yang ditangani oleh PHI sebanyak 1.646 perkara. Perkara yang masuk ke PHI pada tahun 2010 terdapat 1.147 perkara yang berhasil diselesaikan oleh PHI sejumlah 1.069 perkara, sebanyak 997 perkara selesai karena diputus dan 72 perkara selesai karena dicabut, sehingga sisa perkara pada akhir Desember 2011 berjumlah 557 perkara (35,05%), sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Perkara Perselisihan Hubungan Industrial Yang Masuk Pengadilan Hubungan Industrial Tahun 2010 – 2011 Perkara Perkara Berhasil diselesaikan Sisa Perkara
Tahun 2010
1.147
1.069
78
2011
1.198
641
557
Sumber: Mahkamah Agung Republik Indonesia 2012.6 Memperhatikan dari tabel tersebut menunjukkan adanya perbandingan jumlah perkara yang diselesaikan dengan perkara yang ditangani selama tahun
5
Surya Perdana, 2008, Mediasi Merupakan Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan di Sumatera Utara, Disertasi, USU, Medan, hlm. 170-171. 6 Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Laporan Tahunan 2011”,www.mari.com, diakses tanggal 11 Juni 2013
8
2010, tergambar bahwa rasio penyelesaian perkara yang berhasil diselesaikan di PHI sebesar 64,95%. Perhitungan rasio penyelesaian perkara oleh PHI tahun 2011 mengalami penurunan sampai 15,46% dibandingkan tahun 2010, karena kondisi perekonomian semakin membaik pada tahun 2011, sehingga berpengaruh pada terjadinya perselisihan antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan. Terkait dengan upaya hukum ke MA bahwa proses penyelesaian kasasi melalui MA selama ini justru oleh sebagian masyarakat memberatkan MA dan hal ini ditengarai karena usaha penyelesaian perselisihan melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrasi tidak maksimal, artinya penyelesaian diluar pengadilan yang gagal akhirnya melimpah ke PHI yang dapat berakhir sampai ke MA.
Sementara
penyelesaian kasasi selambat-lambatnya 30 hari sejak penerimaan kasasi adalah suatu yang tidak mungkin dilakukan karena berkas dikirim ke MA selambatnya 14 hari. Hal ini bisa dilihat dari PHI Medan dari total perkara yang masuk PHI dari tahun 2006-2009 sebanyak 599 kasus, 329 kasus di antaranya kasasi tetapi hingga April 2010 hanya sekitar 30 kasus yang diputus oleh MA. Dari 30 kasus yang diputus oleh MA tersebut dan tidak satupun di antaranya yang berhasil dieksekusi oleh pengadilan sampai bulan April 2010, padahal eksekusi adalah ujung tombak keberhasilan PHI dalam menegakkan hukum dan kepastian hukum.7 Ini dapat menggambarkan beban semakin berat bagi MA apabila perkara perselisihan hubungan industrial sampai ke MA, dan keadilan bagi para yustisiabel semakin jauh dengan tidak berhasilnya eksekusi putusan.
7
CN.N.Megawati Tobing, "Catatan Otokritik Tentang Pengadilan Hubungan Industrial”, http//www.marhaennews.com, diakses 27 April 2011.
9
Biaya berperkara yang mahal apalagi apabila dikaitkan dengan lamanya penyelesaian perselisihan juga menjadi masalah, karena makin lama penyelesaian perselisihan mengakibatkan semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya resmi dan upah pengacara yang harus ditanggung. Melihat biaya perkara yang mahal, membuat orang berperkara di pengadilan menjadi terkuras segala sumber daya, waktu, dan pikiran (Litigation Paralyze People).8
Demikian juga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial bersifat formal dan teknis sering mengakibatkan penyelesaian perselisihan (sengketa) yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama padahal penyelesaian sengketa bisnis dituntut suatu penyelesaian yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal procedure. Penyelesaian yang lambat dalam dalam dunia bisnis mengakibatkan timbulnya biaya tinggi bahkan dapat menguras segala potensi dan sumber daya perusahaan yang bersangkutan. Menghadapi kenyataan lambatnya proses penyelesaian sengketa dan beratnya biaya yang harus dikeluarkan melalui proses litigasi, muncul kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemikiran upaya memperbaiki sistem peradilan.9 Rekruitmen Hakim Ad Hoc dan integritas Hakim PHI diragukan. Dampak pembentukan pengadilan khusus tercermin dari mulai diperkenalkannya Hakim Ad Hoc dalam setiap pengadilan khusus serta adanya pembatasan jangka waktu pemerikasaan di pengadilan disamping objek perkara. Rekruitmen Hakim yang
8 Peter Lovenheim, 1989, Mediate Don’t Litigate, Mc. Graw Hill Publishing Comp , New York, hlm. 23 9 Susanti Adi Nugroho. cp. cit., hlm. 160.
10
berasal dari unsur pekerja/buruh dan unsur pengusaha berpengaruh terhadap imparsial dalam pengambilan putusan. Susunan Hakim di PHI yang terdiri 1 hakim karir dan 2 hakim Ad Hoc adalah mewakili dua kepentingan yang bukan saja berbeda tetapi dapat bertentangan yaitu hakim Ad Hoc yang mewakili pekerja/buruh dan hakim Ad Hoc yang mewakili pengusaha. Dua kepentingan yang berbeda ini tidak jarang menyulitkan perkara. Sementara itu kebanyakan hakim Ad Hoc pada umumnya belum berpengalaman beracara di pengadilan karena masa pendidikan yang relatif singkat kurang lebih 3 bulan. Hal ini ikut mempersulit penegakkan hukum secara cepat.10 Jumlah hakim PHI sejak tahun 2006 baru memiliki tidak kurang dari 155 Hakim Ad Hoc di seluruh Indonesia dan 6 Hakim Ad Hoc di tingkat MA. Berbeda susunan majelis hakim pada pengadilan niaga yang terdiri dari dua hakim karir dan satu hakim Ad Hoc11. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa keberadaan hakim Ad Hoc di pengadilan khusus ini ternyata tidak efektif.12 Sebagai contoh misalnya pada waktu dibentuknya pengadilan niaga telah dilantik 13 hakim Ad Hoc, namun demikian dari ketiga belas hakim Ad Hoc yang dilantik tersebut yang berperan aktif terlibat dalam pemeriksaan perkara hanya satu hakim13.
10
Wawancara dengan Sugeng Santoso, Hakim Ad Hoc pada PHI Surabaya, 26 Maret 2014. Tata Wijayanta, ” Pelaksanaan Pasal 302 ayat (3) UU RI Nomor 37 Tahun 2004 Berkaitan Dengan Pelantikan Hakim Ad Hoc Dalam Perkara Kepailitan,” ”Legality” Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Vol. 15 No. 1, Maret - Agustus, 2007, hlm. 128-141. 12 Tata Wijayanta, 2004, Hakim Ad Hoc Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Setelah Berlakunya Perma RI Nomor 2 Tahun 2000, Laporan penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Universitas Gadjah Mada (UGM), hlm. 32. 13 Tata Wijayanta, 2008, Penyelesaian Kes Kebankrapan di Pengadilan Niaga Indonesia dan Mahkamah Tinggi Malaysia: Suatu Kajian Perbandingan, Tesis Doktor Falsafah Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi: Tidak Diterbitkan, hlm. 110. 11
11
Ketidakterlibatan hakim Ad Hoc tersebut dalam pemeriksaan perkara diantaranya dikarenakan kurangpahamnya para hakim Ad Hoc yang dilantik tersebut tentang hukum acara di pengadilan.14 Pemberlakuan Hukum Acara
Perdata
menjadi problematik. Pada
kenyataanya dengan sistem beracara di PHI yang menggunakan hukum acara perdata menjadi problematik, akan tidak mungkin dilakukan dengan cepat walaupun tanpa upaya banding untuk perselisihan tertentu. Pemberlakuan hukum acara perdata juga menjadi persoalan karena perkara perdata dengan perselisihan perburuhan sangatlah berbeda. Perkara perdata umumnya menyangkut harta benda, sedangkan
perselisihan
hubungan
industrial
menyangkut
pekerjaan
dan
penghidupan buruh beserta keluarganya. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab dan menjamin agar setiap pekerja/buruh tidak mudah kehilangan pekerjaanya dan penghidupannya. Oleh karena itu penanganan masalah ketenagakerjaan memerlukan penanganan khusus dengan hukum acara yang khusus bukan dengan hukum acara perdata .15 Hal yang lain hukum acara perdata digunakan secara kaku, hakim sering memposisikan diri layaknya hakim perdata di pengadilan umum yang menganggap dirinya bersifat pasif di pengadilan. Padahal kalau merujuk pada ketentuan Pasal 83 ayat (2 ) UU PPHI,” Hakim berkewajiban untuk memeriksa isi gugatan dan bila terdapat kekurangan hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan gugatanya”. Ketentuan ini mirip dismissal proses (pemeriksaaan
14
Ibid. Gindo Napdapdap,”Bubarkan Pengadilan Hubungan Industrial,” http,//kpsmedan.org./indekx. php?optin + com conyent &view=article&id…diakes tanggal 23 juli 2009. 15
12
pendahuluan) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun di Mahkamah Konstitusi yang intinya hakim PHI juga harus aktif untuk menemukan keadilan. Dapat dikatakan bahwa pengadilan hubungan industrial menganut asas hakim aktif. Kritik muncul terhadap peradilan ini bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia melainkan terjadi di seluruh dunia. Kritik yang dilontarkan masyarakat pencari keadilan, terutama dari kelompok ekonomi jauh lebih gencar. Kalangan ekonomi Amerika, menuduh bahwa hancurnya perekonomian nasional disebabkan oleh mahalnya biaya peradilan. Thony Mc. Adams dalam tulisannya mengemukakan bahwa Law Has Become a Very Big American Bussines and That Litigation Cost May be Doing Demage To Nations Company.16 Kenyataan atas kritik yang menganggap bahwa mahalnya biaya perkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan hanya terjadi di Amerika melainkan terjadi di semua negara termasuk Indonesia dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, walaupun ada batasan pengaturan dibawah 150 juta tanpa biaya (pro bono). Selanjutnya bahwa berhadapan dengan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yaitu melalui PHI, bagi pekerja/buruh tidak serta merta berarti dapat memperjuangkan keadilan dengan mudah. Putusan hakim yang berdasarkan pasal-pasal normatif menjadikan hak buruh sering terabaikan. Pekerja/buruh memerlukan energi ekstra, waktu serta biaya untuk memperjuangkan hak-haknya, termasuk apabila pekerja/buruh ternyata berhasil memenangkan gugatannya di PHI.
16
hlm.195.
Thony Mc. Adams, 1992, Law Bussines and Society, third edition, Irwin, Boston,
13
Putusan hakim untuk mempekerjakan kembali pekerja buruh sulit dilakukan karena pekerja/buruh sudah diperhatikan oleh pihak pengusaha selama perselisihan berlangsung. Hal ini bisa di contohkan beberapa pengalaman pada kasus pekerja/buruh outsourcing di Rumah Sakit Pusat Pertamina yang memenangkan gugatan untuk diangkat menjadi pekerja tetap, menemui kesulitan dalam pelaksanaan eksekusinya.17 Pekerja/buruh outsourcing yang pekerjaannya sangat tergantung dengan perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa juga terpengaruh oleh hal ini, seperti PHK yang dialami buruh outsourcing Koperasi Tosan Jaya yang bekerja di anak perusahaan Bakrie.18 Demikian juga pada kasus pergantian manajemen (Pasal 163 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yaitu yang terjadi antara Ma Kemba, dkk (4 orang) melawan PT. Multi Nabati Sulawesi. Putusan PHI Menado No. 20/G/2009/PHI.Mdo tanggal 7 September 2009 adalah menolak gugatan karyawan seluruhnya. Pertimbangan hukum majelis hakim adalah pekerjaan karyawan tidak berhubungan langsung dengan produksi dan perusahaan telah melunasi seluruh hak karyawan sesuai Pasal 163 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Putusan PHI Menado ini dikuatkan oleh Putusan MA. No. 306 K/Pdt.Sus/2011.19 Dalam
hal kelembagaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum sesuai dengan harapan masyarakat industrial khususnya pekerja/buruh, karena cenderung mengutamakan PHI sebagai lembaga litigasi dan
17 http:/www.hukumonline.com “Putusan PHI Buruh Hanya Menang di Atas Kertas," diakses dari pada 2 Juni 2010. 18 Putusan Mahkamah Agung No. 192 K7PHI/2007. 19 Putusan Mahkamah Agung No. 306 K/Pdt.Sus/2011.
14
kurang memberi peluang pada lembaga non litigasi sebagai lembaga penyelesaian wajib. Sehingga penerapan asas musyawarah dalam mencari penyelesaian perselisihan menjadi menyempit. Pengaturan mekanisme penyelesaian hubungan industrial, dengan mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial kenyataannya masih ada kelemahan-kelemahannya yaitu: (a) Terlalu formal, sehingga pekerja/ buruh cenderung merasa berat untuk berperkara; (b) Memakan waktu, dan biaya tidak sedikit sehingga cenderung merepotkan pekerja/ atau buruh; (c) Dengan mekanisme hukum acara perdata berarti menghadapkan pekerja/ buruh pada sistim penyelesaian konflik yang cenderung mahal dan perlu keahlian serta keterampilan khusus, sementara kondisi pekerja/ buruh umumnya dalam kondisi lemah. Untuk membuat surat gugatan saja masih belum paham dan sering salah walaupun sudah melalui advokasi serikat pekerja/buruh Memperhatikan dari beberapa kasus sebagaimana disebutkan wajarlah apabila
para
pelaku
bisnis
mencari
keadilan
(justitia
bellen)
dengan
mengembangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa untuk menyebarkan format pendistribusi keadilan tidak semestinya terkonsentrasi hanya pada satu lembaga yang bernama pengadilan20. Sementara Marc Galanter memberikan tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many rooms.21 Demikian juga
20
Satjipto Rahardjo, “Membangun Keadilan Alternatif...,” Harian Kompas, 2011, hlm. 2 Marc Galanter, 2010, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradilan Masyarakat Serta Hukum Rakyat , hlm.76 21
15
Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki adanya jalur alternatif di luar pengadilan.22 Masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan bukan saja melalui forum-forum yang disponsori oleh negara, akan tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti: rumah, lingkungan ketetanggaan, tempat kerja, kesepakatan bisnis, perusahaan dan sebagainya. Hak ini karena kenyataannya praktik penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara litigasi melalui lembaga PHI belum mampu merangkul kepentingan bersama bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsive. Memperhatikan dari kenyataan, pengalaman, dan pengamatan bahwa pengadilan kurang tanggap dan tidak responsip atau unresponsive dalam bentuk perilaku. Kritik ini didasarkan atas alasan bahwa pengadilan dalam memberikan kesempatan serta keleluasaan pelayanan hanya kepada lembaga besar dan orang kaya demikian juga dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Putusan PHI tidak menyelesaikan masalah, dan tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Banyaknya putusan yang tidak bisa dijalankan atau sulit dilaksanakan karena PHI tidak mempuanyai kekuatan memaksa untuk dilaksanakan. Hal ini antara lain mungkin disebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut:
22
Satjipto Rahardjo, loc. cit.
16
a. Salah satu pihak pasti menang dan pihak lain pasti kalah (win-lose). b. Keadaan kalah menang dalam berperkara tidak pernah membawa kedamaian, tetapi menumbuhkan bibit dendam dan permusuhan serta kebencian. c. Putusan pengadilan sering tidak memberi keadilan dan tidak bisa diprediksi
(unpredictable). Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dideskripsikan, tetapi dari deskripsi yang diutarakan di atas sudah dapat memberikan gambaran mengenai kegoyahan keberadaan peradilan sebagai kekuasaan kehakiman. Meskipun kedudukan dan keberadaannya sebagai pressure valve and the last resort dalam mencari kebenaran dan keadilan, namun kepercayaan masyarakat hubungan industrial sudah berkurang terhadap PHI. Jika kecaman yang diarahkan ke pengadilan dihubungkan dengan ungkapanungkapan yang melekat pada PHI tersebut, masih pantaskah mempertahankan PHI sebagai the last resort penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan sengketa bisnis pada masa mendatang? Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial baru sebagai alternative dan lebih memberikan keadilan kedua belah pihak? Memperhatikan dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan mengadakan penelitian tentang Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia.
17
Perumusan Masalah 1. Bagaimana eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam sistem peradilan di Indonesia? 2. Mengapa penyelesaian perselisihan melalui PHI belum menjadi pilihan yang tepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial ? 3. Bagaimana
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang dapat
memberikan keadilan ?
Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan maka tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis dan mengkaji eksistensi PHI dalam sistem peradilan di Indonesia. 2. Menganalisis, mengkaji dan mengevaluasi penyebab penyelesaian melalui PHI belum sebagai pilihan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tepat. 3. Menganalisis, mengkaji dan memilih prosedur penyelesaian perselisihan perselisihan hubungan industrial yang memberikan keadilan.
Manfaat Penelitian Secara umum suatu kajian ilmiah ditujukan untuk memberi kemanfaatan atau kegunaan sebagai hasil akhir dari kajian itu sendiri. Manfaat atau kegunaan yang diperoleh dari hasil kajian tersebut mencakup manfaat teoretis dan manfaat praktis: a. Manfaat Teoretis
18
Manfaat teoretis akan terwujud, jika tujuan penelitian disertasi ini dapat dicapai. Kontribusi teoretis terkait pengembangan ilmu, yaitu ilmu hukum yang menjadi basis kajian. Secara teoretis temuan penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan pemikiran dalam khasanah keilmuan Hukum Ketenagakerjaan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan politik
hukum
pembentuk
perundang-undangan
penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Khasanah keilmum hukum ini dibangun berdasarkan penelitian yang komprehensif, baik dari sisi filosofi, historis, sosiologis, normatif (legal), komparatif dan dari segi politik hukumnya . 2) Penemuan hukum tentang penyelesaian perselisihan yang memberikan keadilan dengan
musyawarah mufakat dalam Bipartit sebagai cara
penyelesaian perselisihan yang mendasarkan pada hubungan industrial Pancasila dan local wisdom. Penemuan penyelesaian ini dibangun berdasarkan penelitian yang komprehensif, baik dari sisi normatif (legal) , sosio-empirik maupun filosofis dan komparatif. b. Manfaat Praktis Kontribusi praktis terkait dengan kemanfaatan secara praktis dan pragmatis
dalam
penyusunan
kebutuhan
pembangunan
hukum
ketenagakerjaan antara lain: 1) Bagi lembaga pembuat peraturan perundang-undangan, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan kajian dan masukan dalam pembinaan
19
dan pembangunan hukum nasional di bidang ketenagakerjaan secara konstruktif dan konsisten dalam pembentukan peraturan perundangaundangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Penelitian diharapkan dapat memberikan masukan
dan arah kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam
pengaturan masalah ketenagakerjaan pada umumnya dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada khususnya. 2) Bagi masyarakat hubungan industrial , khususnya pada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) terkait dengan pelaku usaha dan pekerja/buruh, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan guna mengantisipasi terjadinya perselisihan antar pekerja/buruh dengan pengusaha dan menjadikan pilihan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang memberikan keadilan
bagi pihak yang
berselisih. 3) Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan kognitif, afektif dan spikomotor ilmiah mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di perusahaan yang memberikan keadilan yang seimbang lebih khusus lagi terkait lembaga penyelesaian perselisihan, dengan demikian penelitian dapat memperkaya khasanah ilmu hukum ketenagakerjaan.
20
Keaslian Penelitian Keaslian penelitian berisi uraian yang menggambarkan perkembangan dari penelitian-penelitian terdahulu untuk topik serupa atau yang terdapat relasi dengan topik yang diteliti. Setelah penulis melakukan penelusuran, pengkajian dan penelaahan berbagai penelitian bahwa penelitian disertasi yang berjudul "Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Dalam Sistem Peradilan di Indonesia" dengan tujuan meneliti latar belakang lahir dan keberadaan PHI, utamanya dari segi politik hukum pembentukannya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial belum pernah dilakukan, yaitu penelitian akan mengkaji argumen dibentuknya PHI melalui latar belakang dilihat dari risalah landasan filosofi , sosiologis dan normatif pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004. Penelitian juga memberikan alasan PHI bukan sebagai pilihan yang tepat dalam penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha dengan membandingkan penyelesaian perselisihan setelah berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2004 melalui PHI dan diluar PHI. Hal lain yang dicari dengan penelitian ini adalah mengetahui PHI belum menjadi pilihanyang tepat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait dengan konteks hubungan Industrial Pancasila. Dalam konteks hubungan industrial maka nilai-nilai sila dalam Pancasila senantiasa menjadi pedoman dalam hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha baik hak dan kewajiban maupun dalam hal terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Disisi lain selama ini PHI memutus perkara dengan mengedepankan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan
21
keadilan, sementara masalah ketenagakerjaan tidak bisa hanya didasarkan pada kepastian hukum, oleh karena itu masihkah PHI dapat sebagai pilihan/ alternatif rujukan bagi para pekerja dalam mencari keadilan dalam hal ini putusan yang memberi keadilan bagi para pihak. Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan menunjukan bahwa penelitian yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pernah dilakukan oleh beberapa peneliti pendahulu sebagai berikut: 1. Surya Perdana , Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum,USU, 2008, dengan judul Mediasi Adalah Salah Satu Cara Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan Di Sumatera Utara dengan fokus kajian Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan hasil penelitian bahwa Pengusaha dan tenaga kerja memilih mediasi sebagai pilihan utama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan karena penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan. 23 2. Susetiawan ,Disertasi Program Pascasarjana FISIP UGM, 2000 dengan judul Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara. Penelitian tersebut lebih mengkaji secara sosiologis konflik sosial antara pelaku antar dalam hubungan Industrial, yang meliputi nilai-nilai kultular, organisasi dan kondisi kerja di dua perusahaan tekstil di Yogyakarta. Pemaparan empiris tentang fenomenal industri di dua pabrik tekstil tersebut lebih menguraikan
23
Surya Perdana, op. cit., hlm. 351
22
bentuk organisasi perusahaan dan sistem kekuasaan dalam organisasi dalam mengatur perkembangan usaha,, tekanan struktur perusahaan terhadap kinerja buruh serta dinamika kehidupan buruh dan strateginya dalam menghadapi hidup. Penelitian oleh Susetiawan ini juga membuka konsep perkembangan hubungan industrial dalam prespektif sejarah di Eropa dengan situasi kehidupan politik yang menuju arah demokrasi sedang berlangsung, juga menggagas perkembangan industrialisasi dan konstruksi hubungan perburuhan di Indonesia.24 3. Wijayanto Setiawan, Disertasi Program Pascasarjana Unair Tahun 2006 dengan judul Pengadilan Perburuhan di Indonesia. Penelitian mengkaji konsepsi lama penyelesaian perselisihan perburuhan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan setelah berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , sebelum berlakunya UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Konsepsi baru penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004.Hasil penelitian bahwasanya Penyelesaian perburuhan oleh P4 berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1957 dikonsepkan dengan dua cara yakni arbitrase sukarela (voluntary Arbitration) dan arbitrase wajib (compulsary Arbitration). Setelah lahirnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , penyelesaian perselisihan perburuhan berubah konsep menjadi KTUN, berhubung putusan P4 dikategorikan sebagai KTUN. Dan penyelesaian
24
Susetiawan, 2000, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara, Disertasi Program Pascasarjana FISIP Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta, hlm. 301
23
perselisihan perburuhan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dikonsepkan melalui 2 sistem, yaitu melalui pengadilan khusus di dalam PHI dan diluar pengadilan melalui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi hubungan industrial.25 4. Erman Suparman dalam Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2004, dengan judul Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan dan fokus kajian Forum Arbitrase dipilih untuk penyelesaian sengketa komersil bagi kalangan atas dan para pihak akan terjamin kerahasiannya serta putusannya dianggap lebih memuaskan bila dibandingkan dengan proses pengadilan, dengan hasil penelitian bahwa Arbitrase merupakan salah satu penyelesaian perselisihan/ sengketa di perusahaan, selain penyelesaian perselisihan wajib melalui Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, PHI, dan MA.26 5. I Made Udiana dalam Disertasi Program Pascasarajana Unair Tahun 2013, dengan judul Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial. Penelitian menganalisis tentang filosofi hubungan industrial, pembentukan pengadilan hubungan industrial, menggali kompetensi absolut antara PHI dengan pengadilan lainnya dalam Perselisihan Hubungan industrial. Hasil penelitian menunjukan bahwa filosofi hubungan industrial Pancasila merupakan hubungan antara pelaku barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
25
Wijayanto Setiawan, 2006, Pengadilan Perburuhan di Indonesia, Disertasi Program Doktor pada Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 250-251 26 Erman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2004, hlm. 279.
24
pekerja/atau buruh dan pemerintah yang harmonis , dinamis dan berkeadilan dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dan kedudukan PHI secara fungsional merupakan pengadilan khusus di lingkungan PN sedangkan kompetensi absolut PHI yaitu bertugas / berwenang memeriksa mengadili dan memutus ditingkat pertama mengenai perselisihan hak, pertama dan terakhir perselisihan kepentingan, pertama perselishan PHK dan pertama dan terakhir perselisihan antar buruh dalam perlahan.27 6. Mashari dalam Disertasi dengan judul Rekonstruksi Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Nilai Keadilan Sosial, adalah Disertasi Pada Program Pascasarjana, UNDIP Tahun 2013 dengan fokus penelitian adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang secara non litigasi dan secara litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak berbasis nilai keadilan social hasil penelitian bahwa konstruksi model penyelesaian perselisihan hubungan industrial berbasis nilai keadilan sosial yang ideal, yakni konstruksi yang dibentuk berdasarkan proses dialogis antara konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial sosialis dengan konsep kapitalis.28 Memperhatikan dari beberapa penelitian terkait PHI yang sudah pernah dilakukan tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial baik litigasi maupun non litigasi, penulis melihat kajiannya berbeda dengan kajian peneliti ini,
27
I Made Udiana, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial, Disertasi Program Doktor, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 328. 28 Mashari , 2013, Rekonstruksi Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berbasis Nilai Keadilan Sosial, Disertasi Pada Program Doktor, UNDIP, Semarang, hlm. 428-430.
25
yang memfokuskan pada keberadaan PHI dilihat dari latar belakang politik hukum pembentukannya dan penyelesaian perselisihan yang bisa memberikan keadilan. Permasalahan-permasalahan tersebut belum pernah diangkat dalam penelitianpenelitian sebelumnya sehingga penelitian ini menurut penulis dapat dianggap memenuhi kaedah keaslian penelitian sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka, yang semua ini merupakan implikasi etika dari proses
menemukan
kebenaran
ilmiah,
sehingga
penelitian
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Walaupun memiliki perbedaan, penelitian sebelumnya diharapkan menjadi pengayaan dan penguatan penelitian ini. Penelitian melihat terhadap eksistensi PHI dan prespektif lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang memberikan keadilan dimasa mendatang .
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka adalah menguraikan secara sistematis mengenai asas-asas hukum, peraturan perundanga-undangan, pendapat pakar, dan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan materi penelitian yang diuraikan secara sistematis sehingga membentuk pola pikir tertentu yang mengarah terbentuknya teori baru. Guna menghindari perbedaan penafsiran istilah yang digunakan dalam penelitian ini serta memberikan pegangan pada proses penelitian, maka sebelumnya penulis menjelaskan terlebih dahulu definisi operasional dari berbagai istilah yang digunakan dijelaskan dalam uraian kalimat berikut. 1. Definisi Operasional
26
a. Eksistensi Menurut kamus besar Bahasa Indonesia eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Menurut Abidin Zaenal eksistensi adalah : “suatu proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”.29 Menurut Nadia Juli Indrani, eksistensi dapat dikenal juga dengan satu kata yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh atas ada atau tidak adanya kita. Seperti istilah “ hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama dan lain sebagainya.30 Eksistensi dalam tulisan ini juga memiliki arti yang berbeda, eksistensi yang dimaksud adalah
keberadaan PHI
sebagai lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam sistem peradilan di Indonesia, dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ludwig Binswanger merupakan seorang yang mendefinisikan eksistensial sebagai analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang aktual. Tujuannya
29 30
Abidin Zainal, www.word .com, Press.com. diakses 12 Juni 2014 Nadia Yuli Indriani, www.wordpress.com, diakses 15 Juni 2014.
27
ialah rekonstruksi dunia pengalaman batin.15 Jean Paul Sartre sebagai seorang filosof dan penulis Prancis mendefinisikan, “eksistensi kita mendahului esensi kita”, kita memiliki pilihan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita dan membentuk serta menentukan siapa diri kita. Esensi manusia adalah kebebasan manusia. Di mana hal yang ada pada tiap diri manusia membedakan kita dari apapun yang ada di alam semesta ini. Kita sebagai manusia masing-masing telah memiliki “modal” yang beraneka ragam, namun tetap memiliki kesamaan tugas untuk membentuk diri kita sendiri. Dalam filsafat eksistensi, istilah ekistensi diartikan sebagai gerak hidup manusia kongkrit. Kata eksistensi berasal dari bahasa latin ex-sistere ( ex berarti keluar dan tere berarti berdiri, tampil ) kata eksistensi diartikan manusia berdiri sendiri dengan keluar dari dirinya. Dalam pengertian inilah eksistensi mengandung corak yang dinamis. Dalam filsafat eksistensi, pengertian eksistensi digunakan untuk menunjukkan cara benda yang unik dan khas dari manusia yang berbeda dengan benda-benda lainnya, karena hanya manusialah yang dapat berada dalam arti yang sebenarnya di banding mahluk-mahluk atau benda-benda lain di dunia ini dan lebih spesifik lagi eksistensi lebih merujuk atau menunjuk pada manusia secara individual artinya “individu yang ini” atau “individu yang itu” dan bersifat kongkrit, kongkrit dalam arti bahwa manusia tidak diformulasikan berdasar rekayasa ide abstrak spekulatif seseorang untuk menyatakan definisi manusia secara umum. Eksistensi bukanlah suatu yang sudah selesai, tapi suatu proses terus menerus melalui tiga tahap, yaitu : dari tahap eksistensi estetis kemudian ke tahap etis, dan
28
selanjutnya melakukan lompatan ke tahap eksistensi religius sebagai tujuan akhir. Menurut Sukamto Satoto sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. Sjachran
Basah
mengemukakan
pengertian
eksistensi
dihubungkan dengan kedudukan, fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam lingkungan badan peradilan administrasi di Indonesia. Dalam penelitian ini apa yang dimaksud dengan eksistensi adalah dihubungkan dengan kedudukan, kewenangan, kekuasaan PHI dalam sistem peradilan di Indonesia dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.31 b. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.32 Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Memperhatikan hal tersebut maka dalam salah satu lingkungan peradilan dapat dibentuk pengadilan khusus atau diferensi/spesialialisasi. Kini, pengadilan khusus
31 32
Industrial
Ibid. Pasal 1 angka 17 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
29
tersebut dikenal dengan Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Pengadilan Niaga dalam hal ini pengadilan niaga Jakarta Pusat (UU Nomor 4 Tahun 1998 jo. UU Nomor 37 Tahun 2004), Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Nomor 26 Tahun 2000), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 30 Tahun 2002), Pengadilan Hubungan Industrial (UU Nomor 2 Tahun 2004) dan Pengadilan Perikanan (UU Nomor 31 Tahun 2004). Menurut Bagir Manan pengertian pengadilan khusus ini bukan hanya dari objek perkara, tetapi juga dari segi susunan majelis hakim yang terdiri hakim biasa (karir) dan hakim Ad Hoc (ahli), beracara khusus seperti tidak adanya upaya hukum banding dan penjadualan waktu penyelesaian perkara yang terbatas33. PHI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkup Pengadilan Negeri. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. c. Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat
yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dan gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisishan mengenai hak, perselishan kepentingan , perselisihan PHK, perselisihan antara
33
Website Tempo Interaktif, http://www.tempoiteractive.com, diakses 7 April 2011.
30
serikat buruh dalam perusahaan.34 Memperhatikan batasan tersebut maka diperoleh pemahaman bahwa timbulnya perselisihan hubungan industrial dikarenakan adanya pertentangan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang membuahkan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan karena pemutusan hubungan kerja (PHK), perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam perusahaan, empat hal itulah yang merupakan obyek perselisihan hubungan industrial.35 Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan , perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
36
. Perselisihan hak sering pula disebut perselisihan
normatif yaitu perselisihan terhadap hal-hal yang sudah ada pengaturan atau dasar hukumnya37 ini terjadi karena tidak tegasnya batasan/penjelasan dalam peraturan dan atau adanya perbedaan penilaian /penghargaan atas satu fakta hukum.38 Berdasarkan pengertian ini jelaslah bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil) merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan peraturan perusahaan serta peratur perundang-undangan yang berlaku. Menurut Imam Soepomo, perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya
34
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bandingkan dengan Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentag Ketenagakerjaan. 35 Susanti Adi Nugroho, 2007, Naskah Akademis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, MARI, hlm. 20 36 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004 37 Sehat Damanik, 2006, Hukum Acara Perburuhan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004, DSS Publising, Jakarta, hlm. 21 38 Susanti Adi Nugroho, 2007, op. cit., hlm. 21.
31
persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan39. Perselisihan hak sering disebut hukum atau normatif, yakni perselisih kolektif atau perselisihan perseorangan antara majikan atau serikat majikan dengan serikat mengenai pelaksanaan hubungan kerja.40 Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
41
Perselisihan ini sering disebut
perselisihan tidak normatif42. Perselisihan kepentingan atau disebut pula belangen geschil, menurut Iman Soepomo terjadi karena ketidaksesuaian paham dalam perubahan syarat-syarat dan atau keadaan perburuhan.43 Menurut Mumuddi Khan perselisihan kepentingan (interest disputes) adalah "involve dissagreement over the formulation of standars terms and condition of employment, as exist in a deadlock in collective bergaining negosiations". 44 Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah pemutusan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
39
Imam Soepomo, 1995, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm. 97. H.P. Rajagukguk, 2002, Peran Serta Pekerja Dalam Pengelolaan (Co Determination). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 74. 41 Pasal 1 angka 34 UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 42 Susanti Adi Nugroho, loc. cit. 43 Imam Soepomo, loc. cit. 44 Mumuddi Khan, 1989, Labour Administration Profile on the Philippines, ILO Asia & Pasific Regional Center for Labour Administration, Bangkok, hlm. 2 40
32
yang dilakukan oleh salah satu pihak.45 Pada dasarnya perselisihan ini terjadi karena adanya pertentangan pendapat atas dua hal yaitu tentang sah atau tidaknya pemutusan hubungan kerja dan besarnya pesangon, yang diantara keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Jika PHK yang telah dilakukan oleh pengusaha jelas dan kuat dasar hukumnya maka hal ini bahwa beban pengusaha untuk menyediakan pesangon sedikit, bahkan mungkin tidak ada PHK, sebaliknya , bila ternyata PHK tersebut dilakukan atas dasar tindakan sewenang-wenang pengusaha, maka ini berarti pengusaha harus menyiapkan pesangon yang cukup tinggi kepada pekerja/buruh karena ketentuan UU memang mengatur demikian. UU
sudah
menetapkan
bahwa
pengusaha,
pekerja/buruh,
serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, secara bersama-sama dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja, namun terjadinya PHK sering kali tidak dapat dihindari. Hubungan antara pekerja dengan pengusaha didasarkan atas kesepakatan untuk mengikat diri dalam suatu hubungan kerja, jika salah satu tidak menghendaki lagi untuk terikat maka sulit untuk mempertahan hubungan kerja yang harmonis di antara kedua belah pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/buruh dengan serikat pekerja/buruh lainnya hanya dalam satu perusahaan,
karena
tidak
adanya
persesesuaian
mengenai
keanggotaan,
pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.46 Biasanya ini terjadi karena
45 46
Pasal 1 angka 4 UU Nomor 2 Tahun 2004. Pasal 1 angka 5 UU Nomor 2 Tahun 2004
33
tarik menarik keanggotaan serikat pekerja dan perwakilan serikat pekerja/buruh dalam mewakili dihadapan pengusaha.47 Subjek perselisihan hubungan industrial ialah, pengusaha, pekerja/buruh perorangan, serikat pekerja/serikat buruh dan usaha-usaha sosial dan usaha-usaha yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah. Menurut Wirawan, perselisihan hubungan industrial terjadi karena masing-masing pihak rnempunyai kepentingan yang sering bertentangan satu sama lain, seperti pengusaha menginginkan pekerja bekerja dengan produktivitas setinggi mungkin dengan biaya produksi rendah. Hal ini tercermin dengan pembayaran upah pekerja serendah mungkin agar dapat menciptakan laba semaksimal mungkin. Pihak pekerja menginginkan upah setinggi mungkin dengan kerja seminimal mungkin. Pemerintah menginginkan proses barang dan jasa terpenuhi, pekerja puas dengan upah minimumnya, pengusaha mendapatkan keuntungan, dan pemerintah mendapatkan pajak untuk membiayai aktivitas pemerintahan. Kepentingan yang bertentangan inilah yang sering menimbulkan konflik atau perselisihan hubungan industrial.48 Menurut Charles D. Drake dalam Aloysius Uwiyono bahwa perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat terjadi karena didahului oleh pelanggaran
47 Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebenarnya bukan perselisihan hubungan industrial karena pada dasarnya perselisihan hubungan industrial adalah pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh bukan antar serikat pekerja/serikat buruh. Lihat juga dalam buku Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Cetakan I, Edisi Ketiga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 152. 48 Wirawan, 2010, Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian, Salemba Humanika, Jakarta, hlm. 224.
34
hukum dan juga dapat terjadi karena bukan pelanggaran hukum. Perselisihan perburuhan yang terjadi akibat pelanggaran hukum pada umumnya disebabkan karena : a. Terjadi perbedaan paham dalam pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini tercermin dari tindakan pekerja/buruh atau pengusaha yang melanggar suatu ketentuan
hukum.
Misalnya
pengusaha
tidak
mempertanggungkan
pekerja/buruh pada program Jamsostek) kalua sekarang BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan , membayar upah di bawah ketentuan standar minimum yang berlaku, tidak memberikan cuti dan sebagainya. b. Tindakan pengusaha yang diskriminatif, misalnya jabatan, jenis pekerjaan, pendidikan, masa kerja yang sama tetapi karena perbedaan jenis kelamin lalu diperlakukan berbeda.49 Perselisihan hubungan industrial juga dapat terjadi dengan didahului atau tanpa didahului suatu pelanggaran hukum yang tidak dapat didamaikan antara pengusaha dengan pekerja. Perselisihan hubungan industrial yang diawali dengan suatu tindakan pelanggaran hukum, perselisihan hubungan industrial demikian itu pada umumunya disebabkan oleh beberapa faktor: 1) Sebagai akibat terjadinya perbedaan faham tentang pelaksanaan hukum perburuhan. Hal ini tercermin dalam tindakan pengusaha atau pekerja yang melanggar suatu ketentuan hukum. Misalnya pengusaha membayar upah
49
hlm. 215.
Aloysius Uwiyono, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta,
35
pekerja di bawah ketentuan hukum yang mengatur upah minimum, atau pengusaha tidak memberikan cuti tahunan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau pekerja yang telah melakukan kerja lembur tidak dibayar upah lemburnya oleh pengusaha. Pelanggaran hak pekerja oleh pengusaha di sini merupakan faktor penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial. 2) Perselisihan hubungan industrial yang diawali dengan pelanggaran hukum ini, juga dapat disebabkan oleh terjadinya pembedaan perlakuan yang tercermin dalam tindakan pengusaha yang bersifat diskriminatif, karena gender, suku ,ras atau agama yang berbeda. 50 Perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh ketidaksepahaman tentang perbedaan pelaksanaan hukum perburuhan, pembedaan perlakuan, dan ketidaksepahaman dalam menafsirkan hukum perburuhan sebagaimana telah diuraikan di atas, disebut perselisihan hak atau hukum (conflict of rights).51 Perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh ketidaksepahaman tentang perubahan syarat-syarat kerja dikategorikan sebagai perselisihan kepentingan (conflict of interest ).52 Perselisihan hak hukumnya dilanggar, tidak dilaksanakan,
50
Charles D. Drake, 1981, Labor Law, 3th. ed., Sweet & Maxwell Ltd., London, hlm.
240. 51
T. Hanami dan R. Blanpain, 1987, Introduction, Remarks and A Comparative Overview, T. Hanami, ed., dalam Industrial Conflict Resolution in Market Economies: A Study of Canada, Great Briiain and Sweden Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer / Netherlands, hlm. 6. Lihat juga Xavier Blanc-Jouvan, 1971, The Settlement of Labor Disputes in France, Benjamin Aaron, ed., Labor Courts and Grievance Sculementin Western Europe, University Of California Press, Berkeley Los Angeles, hlm. 8-9. 52 Dennis R. Nolan,1990, Regulation of Industrial Disputes in Australia, New Zeland, and The United States", Whittier Law Review II ,Winter, hlm. 761.
36
atau ditafsirkan secara berbeda, sedangkan dalam perselisihan kepentingan, hukumnya belum ada karena dalam perselisihan kepentingan ini, para pihak memperselisihkan hukum yang akan dibentuk. d. Sistem Peradilan
Sistem peradilan adalah satu keseluruhan komponen peradilan pihak-pihak dalam proses peradilan , hierarki kelembagaan peradilan, hierarki kelembagaan peradilan umum, aspek-aspek yang bersifat prosedural yang berkaitan sedemikian sehingga terwujud satu keadilan hukum. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan. Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat.
Membahas sistem peradilan , maka landasan awal adanya tingkatan pada sistem peradilan di Indonesia ditetapkan di dalam konstitusi yaitu UUD 1945. Dalam Pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa:
37
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Melalui Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa terdapat tingkatan antara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang kemudian akan diatur dalam undang-undang. Undang-Undang mengenai kekuasaan kehakiman yang berlaku pada saat ini adalah UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam konsiderans “Menimbang” poin b dinyatakan tujuan UU Nomor 48 Tahun 2009 adalah dimaksudkan untuk melakukan penataan sistem peradilan yang terpadu agar mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa.
Mengenai tingkatan sistem peradilan di Indonesia, diatur secara terperinci dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 28 UU Nomor 48 Tahun 2009. Sesuai Pasal 24 UUD N RI 1945 jo. Pasal 18 dan Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009, terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan ini memiliki kompetensi yang berbeda dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Pasal 25 ayat (2) sampai dengan ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 menjelaskan mengenai kewenangan dari tiap lingkungan peradilan yang
38
kemudian diatur lebih lanjut melalui ketentuan perundang-undangan yang lebih khusus. Misalnya, untuk lingkungan peradilan umum dapat ditemukan ketentuannya dalam UU Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2004 dan UU Nomor 49 Tahun 2009. Mengenai jenjang dan proses dalam sistem peradilan di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undangundang menentukan lain.” Selanjutnya diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 48 Tahun 2009: “Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undangundang menentukan lain.” Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 24 UU Nomor 48 Tahun 2009: (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2)
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Dari rangkaian penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenjang pengadilan diperlukan untuk mengantisipasi ketidakcermatan yang mungkin dilakukan oleh hakim pada tingkatan sebelumnya dan memenuhi rasa keadilan. Jenjang pengadilan di Indonesia adalah pengadilan dalam tingkat pertama, pengadilan dalam tingkat banding, dan Mahkamah Agung. Badan peradilan lain yang terdapat dalam sistem peradilan di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi, yang menurut Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 29 UU Nomor 48 Tahun 2009 berwenang mengadili pada tingkat
39
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk hal: menguji undangundang terhadap UUD N RI 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD N RI 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang berlaku pada saat ini adalah UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2011.
2. Pendapat Pakar dan Hasil Penelitian Pembentukan hukum di Indonesia khususnya dari segi substansi hukum tidak hanya pada proses penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundangundangan, akan tetapi berjalan bersama pemberdayaan
berbagai putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pembentukan PHI berdasarkan landasan ontologis sebagai dasar keilmuan adalah upaya untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan the first philoshophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda, istilah dari kata Yunani “on” = “being” dan “logo” =”logic” sehingga ontologi adalah The theory of qua being atau teori tentang “keberadaan sebagai keberadaan”.53 Sementara Poejawitna menyatakan bahwa esensi dari sistematika filsafat sesungguhnya meliputi penyelidikan tentang hakikat “ada”, yakni ada umum, ada mutlak, ada terbatas dan ada khusus. Keseluruhannya meliputi hakikat adanya Tuhan, alam semesta, adanya makhluk
53
A. Mukti Fajar, 2007, Diktat Filsafat Ilmu Pengetahuan, Fak. Hukum UNIBRAW, Malang, hlm. 23.
40
pengetahuan Tuhan, nilai-nilai dalam kehidupan (budaya dan peradaban) dan nilainilai ke Tuhanan dan keagamaan54, terkait dengan mengkaji apa yang menjadi latar belakang hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Secara filosofis mengungkapkan dari segi kepentingan, kemanfaatan dan suasana kebatinan hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial saat ini yang memuat nilai-nilai keadilan, ontologi , filosofis berkaitan dengan satu ketentuan UU untuk menjawab mengapa ada ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 dibuat atas dasar asas pembentukan peraturan perundang-undangan. UU yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan adalah UU No 5 Tahun 2004 yang telah dicabut dengan UU Nomor 12 Tahun 2011. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Menurut Pieter M. Marzuki bahwa peraturan yang dibentuk oleh lembaga negara yang berwenang maksudnya adalah dalam bentuk legislasi. Adapaun peraturan tertulis yang dibentuk oleh pejabat negara yang berwenang yang dimaksudkan adalah regulasi. Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
54
Poejawitna, 1983, Pembimbing Kearah Filsafat, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11-19
41
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang. 3. Peraturan pemerintah. 4. Peraturan Presiden. 5. Peraturan Daerah. Memperhatikan uraian di atas maka pembentukan PHI harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Menurut Y. Sogar Simamora pembentukan peradilan di Indonesia beradasarkan pada asas peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Prinsip hukum dalam hal ini diperlukan sebagai pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul manakala aturan hukum yang tersedia tidak memadai.55 Pemikiran penulis bahwa wujud pembentukan peraturan-perundang-undangan sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang mencerminkan kesejahteraan manusia baik lahir maupun batin bagi rakyat Indonesia dan bertujuan untuk menegakkan keadilan yang merupakan pandangan hidup bangsa. Terkait dengan penelitian bahwa penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh harus berdasarkan hukum dan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum di samping kebenaran. Keadilan pada lembaga PHI dapat terwujud, apabila perselisihan tersebut diselesaikan oleh hakim yang
55
Y. Sogar Simamora,2005, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah , Disertasi Program Doktor, Unair, Surabaya, hlm. 22-23
42
memiliki sensitivitas terhadap persoalan buruh. Sensivitas ini perlu didukung semua pemangku kepentingan (stake holders), termasuk negara dalam memberikan perhatian kesejahteraan kepada para hakim.56 Menurut Mashari dampak penyimpangan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang tidak berbasis nilai keadilan sosial terhadap kesejahteraan pekerja, menimbulkan persoalan di bidang ketenagakerjaan dan implikasinya bagi kepastian berusaha di Indonesia. Terjadinya persoalan ini perlu dicarikan solusinya dengan membangun hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sosial yang mampu menyelesaikan antara kepentingan pekerja dan pengusaha sebagai bagian dari agenda peningkatan kesejahteraan pekerja. Kondisi hubungan industrial yang harmonis harus selalu ditumbuh-kembangkan menjadi lebih baik, yang pada gilirannya dapat peningkatan kesejahteraan pekerja melalui progam kepemilikan saham pekerja di perusahaan, sehingga segala daya upaya akan dilakukan oleh pekerja untuk meningkatkan kemajuan perusahaan dalam meraih untung sebesar-besarnya. Rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap perusahaan dari kaum pekerja akan semakin besar, karena pekerja merupakan salah satu pihak pemilik perusahaan sebagai tempat mereka bekerja57
Pada perkembangannya bahwa hubungan industrial dapat berlangsung dengan baik manakala berdasarkan ketentuan sebagaimana Pasal 103 UU Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan sarana hubungan industrial, yaitu yang terdiri dari: serikat pekerja/serikat buruh; organisasi pengusaha; lembaga kerja sama bipartit;
56 Abdul Khakim,2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5. 57 Mashari, op. cit., , hlm 315.
43
lembaga kerja sama tripartit; peraturan perusahaan; perjanjian kerja bersama; peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Hasil penelitian Susetiawan mengenai relasi atau hubungan industrial antara buruh, pengusaha dan negara
menunjukan bahwa nilai-nilai kultural
seperti “harmoni” dan “tolong menolong” telah diinstutisionalisasi dalam hubungan industrial di Indonesia. Ideologi kontemporer mengacu pada Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Elemen-elemen dalam pemahaman terhadap HIP adalah prinsip “harmoni” serta eliminasi terhadap konflik. Kedua nilai tersebut diinterprestasikan secara cukup berbeda oleh pengusaha dan manajemen di satu sisi dan para pekerja di sisi lain. Bagi para manajer dan pengusaha harmoni mengandung arti kondisi ”ketentraman industrial” dimana konflik absen karena dianggap “ deviasi patologis” dari sebuah tipe ideal hubungan industrial yang damai sehingga harus dieliminasi. Hal tersebut telah melegitimasi kontrol manajemen terhadap serikat pekerja/buruh pada tingkat perusahaan.58
Dalam era industrialisasi
perselisihan hubungan Industrial menjadi
kompleks, untuk menyelesaikannya diperlukan institusi yang mendukung penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat adil dan murah. Namun dewasa ini cara penyelesaian melalui peradilan mendapatkan kritik yang cukup tajam baik praktisi maupun teoritis hukum. Dalam hal ini S. Susanto meyatakan bahwa
58
Ari Hernawan, op. cit., hlm.40
44
peradilan modern syarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang ketat, oleh sebab itu keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokrasi.59 Alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak di luar pengadilan merupakan realita perubahan kecenderungan manusia dalam masyarakat yang harus diterima.60 Menurut Erman Rajaguguk, masyarakat khususnya kaum bisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa diluar pengadilan disebabkan karena tiga alasan, yaitu: Pertama, penyelesaian di pengadilan adalah terbuka , kaum bisnis lebih menyukai sengketa mereka diselesaikan tertutup tanpa diketahui publik. Kedua, sebagian masyarakat khususnya orang bisnis menganggap hakim selalu ahli dalam permasalahan sengketa yang timbul. Ketiga, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari pihak yang mana yang salah dan mana yang benar, sedangkan putusan penyelesaian sengketa diluar pengadilan akan dicapai melalui kompromi.61
Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memberikan warna baru dalam upaya penyelesaian perselisihan yaitu dengan melalui penyelesaian di luar pengadilan hubungan industrial yang meliputi Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrasi sementara penyelesaian perselisihan melalui pengadilan adalah PHI. Terkait penyelesaian
59
S. Susanto, “ Lembaga Peradilan dan Demokrasi”, Makalah pada seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan Dan restrukturisasi Global, FH UNDIP, 5 Pebruari 1996 60 Nevey Varida Ariani, ”Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di luar Pengadilan (Non Litigation Alternatives Busines Dispute Resolution),” Jurnal Rechtsvinding, Jakarta, Vol. 1 Nomor 2, 2012, hlm. 277-294 61 Erman Rajaguguk, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, hlm. 30
45
diluar pengadilan, Uwiyono menyimpulkan bahwa penyelesaian perselisihan alternatif sebagai mekanisme perselisihan perburuhan diluar pengadilan yang dijiwai semangat kerja sama, dapat memberikan peluang untuk menjaga kelangsungan hubungan antara pengusaha dan buruh yang sempat terganggu oleh terjadinya perselisihan perburuhan. Peluang untuk menjaga hubungan kerja sama ini tidak dimiliki oleh mekanisme penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaian perselsihan alternatif yang menekankan pada “win-win solutions”, bukan “ win lose solutions” dapat menekan atau memperkecil kemungkinan terjadinya pemogokan.62 Menurut Susetiawan, konflik harus berdampingan dengan harmoni. Konflik dapat ditangani tanpa menganggu harmoni, bilamana kepentingan-kepentingan semua pihak diperhitungkan dan satu keseimbangan antara mereka dicapai. Hal tersebut memerlukan sebuah pemerintahan yang serius dalam upaya mengangkat norma-norma legal yang melindungi kepentingan para buruh maupun pengusaha.63 Dalam hal ini Andari Yurikosari juga mengatakan bahwa untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut UU Nomor 2 Tahun 2004, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Ada empat cara yang dapat dilakukan dalam perundingan atau penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, yaitu melalui bipartit, konsiliasi, arbitrase, dan mediasi.64 Terkait dalam
62
Ari Hernawan, op. cit., hlm. 35 Ibid., hlm. 41 64 Jamal Wiwoho, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis , Vol. 32 Nomor 2, 2013, hlm. 141-150. 63
46
penyelesaian perselisihan antar pekerja dengan pengusaha, regulasi yang ada memerintahkan kewajiban musyawarah untuk mufakat dengan memberikan kedudukan yang seimbang dan tetap mempertahankan harmoni sebagai alternatif penyelesaian diluar pengadilan melalui penyelesaian bipartit.
Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian digunakan sebagai pisau analisis. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulatpostulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Dalam penelitian ini akan digunakan Teori negara kesejahteraan, Teori Keadilan dari John Rawls dan Teori Keadilan Pancasila. Untuk menjawab perumusan masalah pertama terkait dengan eksistensi PHI dalam sistem peardilan di Indonesia digunakan Teori Negara Kesejahteraan karena negara mempunyai tugas mengatur dan mengurus. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan / jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai - nilai Pancasila dan UUD 1945. Dari definisi hubungan industrial yang menampakan adanya 3 pihak yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah, menunjukan adanya unsur pemerintah sebagai intervensionis dalam hubungan pekerja/buruh dan pengusaha. Negara (dalam hal ini diwakili oleh pemerintah) adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan antar manusia di dalam masyarakat. Dalam tugas mengatur negara mempunyai kewenangan membuat regulasi untuk memberikan
47
kesejahteraan pekerja/buruh dalam hubungan industrial. Apakah PHI dalam sistem peradilan di Indonesia sudah sesuai dengan latar belakang pembentukannya? Perumusan masalah kedua dan ketiga terkait dengan mengapa mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI belum menjadi pilihan yang tepat dan bagaimana penyelesaian perselisihan yang memberikan keadilan digunakan teori Keadilan dari John Rawls dan Teori Keadilan Pancasila karena kedua teori tersebut menurut penulis paling tepat dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan bagaimana satu industrial
penyelesaian hubungan
yang memberikan keadilan. John Rawls yang dipandang sebagai
perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.65 Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula. Rawls menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses pemilihan
65
Ibid., hlm. 139-140.
48
prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi asali” (the original position). Di sini, posisi asali merupakan suatu tuntutan agar keadilan dalam arti fairness bisa didapatkan. Posisi asali ini juga berfungsi sebagai penghubung antara konsep person moral di satu pihak, dengan prinsip-prinsip keadilan di lain pihak. Berikut penulis uraikan teori yang digunakan dalam hubungannya dengan perumusan masalah dalam penelitian. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State) Teori negara kesejahteraan pertama di perkenalkan oleh J.M Keynes. Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme. Teori negara kesejahteraan pertama dianut oleh negara-negara Skandinavia seperti: Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia dan Eslandia merupakan negara yang telah lama menganut faham rezim kesejahteraan sosial demokrat. Dimana kunci perkembangannya ada pada posisi kaum petani yang relatif kuat pada masa pra-industri, sehingga kelas petani mampu mendiktekan agenda kebijakan sosial yang tidak hanya mencakup perlindungan terhadap kelas pekerja urban, tetapi juga kepentingan kelas petani pedesaan. Hal inilah yang mendorong berkembanganya rezim kesejahteraan yang lebih universal diantara negara-negara skandinavia baik dalam etnik, agama maupun bahasa. Paham negara kesejahteraan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok digunakan,
49
atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan. Apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam menata hidup manusia, termasuk hukum66. Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong perwujudan sebesar-besar kebahagiaan umat manusia. Negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan kebahagiaan atau kesejahteraan warganya melalui pelaksanaan fungsi-fungsi negara. Perkembangan peran negara67 telah terjadi sebagai akibat proses modernisasi dan
demokratisasi
sistem pemerintahan
negara.
Kegagalan legal
state
menyebabkan perubahan paradigma terhadap tanggung jawab negara, dari negara sebagai penjaga malam (night-watchman state) menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis68 bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang
66
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46 Faham negara mengalami perkembangan dari Political state menjadi Legal State dan akhirnya Welfare State. Ketiga faham tersebut semuanya memantaatkan kekuasaan yang dimiliki negara sebegai penentu kehendak terhadap aktifitas rakyat yang dikuasainya. Kekuasaan negara pada Political state dipegang oleh scorang Monarch yang absolute. Pada Legal state kekuasaan negara berada secara mutlak di tangan rakyat dalam pemerintahan liberal yang menguntungkan kaum borjuis. Negara Welfare state muncul sebagai jawaban atas ketimpangan, sosial yang terjadi dalam sistem ekonomi liberal. Negara memiliki freies ermessen, yaitu kebebasan untuk turut serta dalam seluruh kegiatan sosial, politik dan ekonomi dengan tujuan akhir menciptakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Lihat Mahfud dan Marbun, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty. Jakarta, hlm. 42. 68 Demokratis, karena dalam negara kesejahteraan tidak ada monopoli negara melainkan justru ada jaminan kemerdekaan serta menghargai inisiatif swasta. Kerjasama antara negara dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan tujuan negara kesejahteraan. Lihat T. Sumargono. 1991, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, PT Hanindita, Yogyakarta, hlm. 67. Bandingkan dengan kerjasama negara dan masyarakat dalam Riant Nugroho Dwidjowoto,2004, Komuniasi 67
50
minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, dan tidak ada rakyat yang masuk rumah sakit jiwa karena di PHK oleh pengusaha.69 Negara kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Negara kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak (equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality). Asas persahabatan atau kebersamaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan atau gotong royong.70 Fungsi Negara dalam bidang ekonomi, antara lain: (a) negara sebagai penjamin (provider) kesejahteraan rakyat, (b) negara sebagai pengatur (regulator), (c) negara sebagai pengusaha (entrepreneur) atau menjalankaa sektor-sektor tertentu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan (d) negara sebagai wasit (umpire) untuk merumuskan standar yang adil mengenai sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation)71. Menurut W. Friedman fungsi negara dalam faham negara kesejahteraan , negara boleh campur tangan dalam bidang perekonomian. Berbeda dengan negara kesejahteraan, negara penjaga malam yang berpendirian bahwa pemerintah
Pemerintahan: Sebuah Agenda Bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 102. 69 Pembagian kekayaan. distribusinya dapat dilakukan oleh hukum melalui beberapa cara, yaitu : In the first place it has generated a mass of laws, regulations by-law and procedure Secondly. Poverty Law, Planning law, pensions and benefit of every kind necessitate of a large number of tribunals and public authorities and the vesting of power in a diversity of state of officials and agencies". Lihat. C.G. Weeramantry, 1975, The Law in Crisis-Bridges of Understanding. Capemos Singapura, hlm 216. 70 R.M.A.B Kusuma,” Negara Kesejahteraan dan Jaminan Sosial”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Vol.3, Februari 2006, Jakarta, hlm. 160-175. 71 Wolfgang Friedmann, 1971, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Stevens -and Sons, London, hlm. 3.
51
sebaiknya tidak ikut campur dalam bidang perekonomian. Doktrinnya Laissez Faire (Leave it alone), yakni ajaran yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat meningkat bila pemerintah tidak ikut campur mengatasi perekonomian. Semboyannya adalah pemerintah yang terbaik adalah pemerintah yang tidak mencampuri urusan perekonomian "(The least government is the best government). Ideologi utama negara penjaga malam adalah unsur kapitalisme. Penganut paham demokratis yang lebih mementingkan kebebasan (liberty) dan pada kesetaraan hak (equality). Penganut paham ini menganggap bahwa dalam suatu negara yang demokratis, setiap individu harus bebas dari pengaruh pemerintah
agar
tercapai
produktivitas
dan
efisiensi
setinggi-tingginya.
Gagasannya adalah "Makin kecil kekuasaan pemerintah berarti makin besar kebebasan individu" (The less governmental power, the more individual liberty). Menurut penganut paham ini, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan untuk menentukan upah minimum dan mengatur kesehatan para pekerja, Penganut paham ini masalah-masalah sosial lainnya. Tokoh ekonom yang dianut adalah Thomas Robert Malthus (1766-1834) dan David Ricardo (1772-1823) yang mengajarkan bahwa gaji, harga barang, sewa dan keuntungan itu tergantung pada hukum ekonomi yang tidak dapat dikontrol oleh manusia. Campur tangan pemerintah atau serikat pekerja tidak efektif dan berakibat merusak tatanan.72 Menurut kaum kapitalis/liberalis ini pada akhir Perang Dunia Pertama mulai berubah. Mereka tidak lagi menganggap pemerintah sebagai musuhnya karena ada
72
R.M.A.B. Kusuma, op. cit., hlm. 161.
52
musuh baru yang harus dihadapi, yaitu perusahaan besar yang menindas saingannya dan adanya serikat pekerja yang makin kuat dan menggunakan senjata "hak mogok" dengan semaunya. Mereka meminta agar pemerintah ikut campur tangan mengatur persaingan usaha dan hubungan perburuhan. Tindakan-tindakan Presiden Amerika Serikat Franklin Delino Roosevelt tahun 1930-an yang didasarkan pokok pikiran yang tercantum dalam Neer Deaf73 telah meninggalkan paham Night-watchman state menup Regulatory State yang mengandung unsur Welfare State. Roosevelt memperkuat wewenang pemerintah untuk mengatur para pengusaha swasta dengan pernyataan bahwa "private economics is a public trust as well". Berbicara peran dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warga negara terjadi seiring dengan ideologi dominan yang dianut oleh masyarakat berhadapan dengan ideologi negara. Globalisasi yang telah dimulai pada abad ke15 ternyata tetap melanggengkan peranan kaum liberal kapitalistik untuk menguasai sistem perekonomian negara tertentu dan dunia. Misalnya negara-negara Barat dengan melakukan ekspansi kekuasaan ke negara-negara Timur dalam bentuk imperialisme. Perkembangan pemerintahan negara RI membuktikan bahwa meskipun beberapa kali UUD Indonesia mengalami perubahan (Kontitusi RIS (1949) UUD Sementara (1950) dan kembali ke UUD 1945 (1959) hingga hasil amandemen UUD
73
Roosevelt merumuskan New Deal sebagai suatu program yang mereformasi akeuangan dan perbankan dan membuat banyak program untuk membantu para penmelaksanakan jaminan sosial yang meliputi bantuan untuk para penganggur, jaminan untukusia lanjut, orang cacat dan sebagainya. Di dalamnya termasuk program Agricultural A. Administration Act (AAA) untuk memberikan subsidi kepada petani dan pembentukan ;'industrial Recovery Act (NIRA) untuk menstabilkan industri. Pada waktu itu juga dibentukEmergency Relief Administration yang dapat memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) orang miskin.
53
1945 tahun 2004) seiring dengan perkembangan demokrasi dan perubahan bentuk negara, namun secara historis konstitusional dapat dibuktikan bahwa negara hukum Indonesia menganut faham negara kesejahteraan.74 Demokrasi ekonomi menjadi ciri khas dari negara kesejahteraan tercermin pada Penjelasan UUD 1945 Pasal 33 (sebelum perubahan) yang berbunyi: "Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Pilihan Indonesia untuk berpaham negara kesejahteraan telah menjadi tekad bulat. Indonesia sebagai negara yang menganut paham negara kesejahteraan, maka negara dapat menggunakan hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelenggarakan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan sistem hukum nasional yang akan dipakai untuk mendukung pemenuhan tanggung jawab tersebut. Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia (PSHNI) dihadapkan pada fenomena kehidupan global atau gelombang globalisasi. Pernyataan-
74
Jimly Assiddiqie memerinci karaktristik negara hukum dengan menyebut 12 ciri.Karakteristik tersebut yaitu: (1) Supremasi hukum (Supremacy of Law); (2) Persamaan dalamHukum (Equality before the Law); (3) Azas legalitas (Due Process of Law): (4) Pembatasankekuasaan; (5) Organ-organ Eksekutif Independen: (6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak(7) Adanya Peradilan 1 ata Usaha Negara: (8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court): (9) Perlindungan Hak Asasi Manusia; (10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)-, (11) Berfungsi Sebagai Sarana Untuk Mewujudkan Tujuan Negera (Welfare Rechtsstaat) dan (12)Transparansi dan Kontrol Sosial. Lihat, Jimly Asshiddigie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 151-161.
54
pernyataan yang disebutkan dalam pasal-pasal beberapa UUD yang pernah berlaku dan pandangan para penyelenggara negara sebelum Orde Baru menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara kesejahteraan dan menginginkan diadakannya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan engan penggunaan tenaga kerja pada satu sisi investor semakin mengeluhkan iklim ketenagakerjaan di Indonesia yang tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya, diantaranya adalah "kaku" nya aturan-aturan hukum yang mengatur masalah ketenagakerjaan. Kekakuan tersebut terlihat dari aturan hukum mengenai penggunaan tenaga kerja, kebijakan upah minimum, prosedur PHK dan besarnya pesangon, dan lain-lain. 75 Perdagangan bebas diyakini memberi dampak negatif khususnya terhadap rakyat miskin, dampak tersebut antara lain : 1) Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan biaya, buruh akan semakin diperas; 2) Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk pertanian internasional; 3) Meningkatnya urbanisasi ke kota; 4) Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh undang-undang; 5) Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. 76
75
Hasil studi ILO secara konsisten mengajukan argumentasi bahwa pemerintah perlu| memasukkan penggunaan metode produksi berbasis-tenaga kerja ketimbang metode produksi'berbasis-peralatan' dalam kebijakan investasi publik. Selain itu kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja yang produktif dan langgeng merupakan salah satu pilar Agenda Pekerjaan yang Layak (Decent Work Agenda/DWA) yang diciptakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional. 76 Arimbi HP dan Emmy Hafild, Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam http://vvwvv.pacific.net.id/-dede_s/Membumikan.htm., diakses tanggal 16 Januari 2014.
55
Sementara menurut Aloysius Uwiyono jika dalam ekonomi pasar bebas kebijakan upah murah dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lunak, termasuk pengekangan terhadap hak-hak fundamental kaum buruh, justru menjadi faktor yang akan menghambat pasar bebas. Hal ini disebabkan kebijaksanaan tersebut menjadi indikasi adanya sosial dumping yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap pelaksanaan fair trade dalam pasar bebas.77Akibatnya, model ekonomi pasar demikian ini mendorong otonomi untuk berunding secara kolektif78 baik kepada kaum buruh maupun kepada para pengusaha. Kebebasan yang dimiliki buruh maupun pengusaha untuk merundingkan tingkat upah, syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya.79 Penggunaan teori negara kesejahteraan pada penelitian ini pesona karena posisi pengusaha lebih kuat daripada pekerja/buruh yang lemah atau subordinasi, untuk itu diperlukan campur tangan negara untuk memberikan keseimbangan . Teori ini berkaitan dengan tanggung jawab negara mewujudkan pembangunan ketenagakerjaan
sebagai regulator untuk
sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
77
dan
pembangunan
masyarakat
Indonesia
seluruhnya
untuk
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia ,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol.22 Jan-Peb, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2003, hlm. 13-28 78 Berunding kolektif sebagai hak merupakan bagian dari tiga dimensi konsep yang meliputi hak berorganisasi (right to organize), hak berunding (rights to bargain), serta hak mogok (rights to strike), diambil dari pendapat Werner Sengenberger dan Duncan Cambell, ed.,1994, International Labour Standarts and Economic Interdependence, International Institute for Labour Studies,Geneva, 1994. hlm. 246 79 Ibid.
56
meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh. Suatu negara dapat dinyatakan sebagai negara hukum apabila negara tersebut menggunakan instrument hukum sebagai landasan tindakan atau perbuatan penguasa maupun warga negaranya, sehingga jelas dasar legalitasnya, berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Negara hukum menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya, serta menggunakan hukum dalam menjamin keadilan bagi warganegaranya.80 Unsur-unsur negara hukum formal: (1) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;( 2) adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan; (3) adanya asas legalitas berpemerintahan: (4) adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.81 Maraknya produk legislasi dan regulasi yang beridiom kesejahteraan sosial pada tiga masa rezim pemerintahan, menunjukan bahwa negara kesejahteraan Indonesia masih mencari bentuk. Sebagaimana dinyatakan oleh Sudjito bahwa sebenarnya kita masih beda dalam pencarian , konsep negara hukum seperti apa yang cocok untuk Indonesia itu. Dengan kata lain, konsep negara hukum Indonesia itu belum jelas , karena masih berada dalam proses pencarian.82 Dalam proses pencarian bentuk itu, yang selanjutnya memperlihatkan tentang berdinamikanya tipe negara kesejahteraan Indonesia, dari mininal-kolektif bergerak pada minimal-
80
Ridwan HR. 2005, Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogyakarta, hlm.17 Ibid., hlm. 4. 82 Sudjito, 2013, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan, edisi revisi, TUGUJOGJA Pustaka, Yogyakarta, hlm. 46-47. 81
57
karitas hingga minimal-plural, dengan tampilan mainstream ideologi ekonomi dan politik yang terbelah dua dan bergerak dalam jalannya masing-masing. Hal ini jika dihubungkan dengan UUD 1945, maka pada periode pemerintahan tertentu terlihat tidak presisi dengan Pancasila yang berbasis kolektif.83 Secara historis dan kebutuhan akan tugas-tugas negara yang lebih luas, berawal dari konsep negara hukum formal kemudian berganti menjadi konsep negara hukum modern atau negara kesejahteraan (walfare state) yang lazim disebut sebagai negara hukum material. Perkembangan ini tidak lepas dari berkembangmya pola kehidupan sehari-hari warganegara yang tidak bisa lepas dari pola atau kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah), sehingga tugas dan fungsi negara tidak hanya sebatas sebagai pencipta hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban belaka. Melainkan harus ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum warga negaranya serta mencampuri hampir semua segi perkehidupan.84 Konsep negara kesejahteraan seringkali dipersepsikan berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang dari seseorang yang tengah memperbincangkannya. Ada yang mempersepsikan dari spektrum ekonomi (seperti Nicholas Bar),85 politik (Briggs), Ideologi (Titmuss).86 Terhadap pandangan-pandangan itu, terdapat elemen-elemen dasar yang dapat mempertautkan gagasan yang multi persepesi tersebut, hingga membentuk pemahaman awal atas pengenalan konsep negara
83
Tavip, “Dinamika Konsep Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia Dalam UUD 1945,” Jurnal Tapi, Vol 14 Nomor 2, 2011, hlm. 20 84 Ibid., hlm. 14-15. 85 Bar,1998, The Economics Of the Welfare State, Oxford. hlm. 777 86 A Briggs,” The Welfare State in Historical Perspective,” European Journal of Sociology, Eropa, 1961, hlm.57-70.
58
kesejahteraan. Elemen-elemen itu adalah negara (pemerintah), pasar dan masyarakat. Jika elemen-elemen dasar itu dielaborasi dan dikonstruksi, maka membentuk wujud dasar untuk mengenal konsep negara kesejahteraan, yaitu suatu konsep yang mendudukan peran pemerintah secara terukur dan berkomitmen terhadap persamaan sosial dan keadilan dengan mengacu pada tiga prinsip berikut ini: 1. Perbaikan dan pencegahan terhadap efek-efek yang merugikan fungsi ekonomi pasar, khususnya yang merugikan bagi kesejahteraan pihak yang secara ekonomi dan sosial dianggap kurang mampu; 2. Distribusi kekayaan dan kesempatan bagi semuanya secara adil dan merata; dan 3. Promosi terhadap kesejahteraan sosial dan sistem jaminan bagi yang kurang agar mampu memperoleh manfaat yang lebih besar. Mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di atas,
konsep negara
kesejahteraan memiliki enam tujuan dasar, yakni: pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja yang cukup, stabilitas harga, pembangunan dan ekspansi sistem jaminan sosial serta peningkatan kondisi kerja, distribusi modal dan kesejahteraan yang seluas mungkin, dan promosi terhadap kepentingan dan kelompok sosial dan ekonomi yang berbeda-beda87. Untuk kepentingan analisis, konsep negara kesejahteraan lebih ditekankan pada aspek tanggung jawab negara dalam penyelesaian perselisihan hubungan Indonesia.
87 Memahami bahwa konsep negara kesejahteraan seperti itu, maka karakter hukum pada negara kesejahteraan seharusnya adalah responsif (demokratis). Konsep hukum responsif dikemukakan oleh Nonet dan Zelsnick.
59
Paham negara kesejahteraan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Menurut Teori Utilitarianisme dari Jeremy Bentham apa yang cocok digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan. Apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat itu. Hal inilah yang mesti menjadi titik total dalam menata hidup manusia, termasuk hukum88. Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong perwujudan sebesar-besar kebahagiaan umat manusia. Negara memiliki peran yang sangat strategis untuk mewujudkan kebahagiaan atau kesejahteraan warganya melalui pelaksanaan fungsi-fungsi negara. Kebijakan pemberlakuan hukum ketenagakerjaan sangat dominan di negara berkembang mengingat peraturan perundang-undangan seringkali dijadikan instrumen politik bagi pemerintah ataupun elit penguasa. Hal ini dapat dijelaskan sebagai rangkaian yang tak dapat dipisah antara politik, hukum dan kekuasaan. Politik menghendaki penggunaan kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama, sedang
kekuasaan
itu
biasanya
dituangkan
dalam
berbagai
peraturan
perundangan.89 Selama ini diakui bahwa pengaruh kekuatan politik yang dominan yang akan menentukan karakter hukum yang terbentuk, sehingga warna hukum dapat menjelaskan kekuatan politik mana yang sedang dominan.90
88
C.J. Friedrich, op. cit., hlm. 46 Keterkaitan hukum, politik dan kekuasaan dapat dibaca dalam Iskandar Siahaan, 1984, Politik Dalam Perspektif Hukum, Ind Hill Co., Jakarta, hlm 14. 89
90
60
Achmad Ali berangkat dari hubungan antara politik dan hukum serta negara mengemukakan hukum (khususnya hukum tertulis) sebagai alat politik, merupakan hal yang universal. Terkait dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka peranan penguasa politik terhadap hukum sangat besar. 91 Implikasi yang dapat dijadikan ukuran terhadap konsep politik hukum dalam pengertiannya sebagai konsep kebijaksanaan negara di bidang hokum, di mana dalam perumusannya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wewenang dalam satu sistem politik tertentu.92 Kebijakan negara di bidang hukum tersebut antara lain: Pertama, kebijakan atau juga diistilahkan policy, harus lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan, melainkan tindakan yang direncanakan. Kedua, policy pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Misalkan, kebijakan untuk membai undang-undang harus diikuti oleh keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya. Ketiga, policy harus bersangkut paut dengan apa yang nyata dibutuhkan dalam masyarakatnya, bukan hanya sekedar keinginan individu maupun kelompok tertentu.
91
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologjs), Cet.I , Chart Pratama, Jakarta, hlm. 109. 92 Menurut David Easton, orang-orang yang terlibat tersebut antara lain para ketua adat para ketua suku, para eksekutif, legislator, hakim, administrator, monarki dan lainnya, sebagaimana dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 15.
61
Keberadaan hukum ketenagakerjaan sangat strategis dan mendasar, hal ini terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan semata, tetapi juga penuh dengan muatan sosial, ekonomi, dan politik yang juga berkaitan dengan masalah hak asasi manusia,93 dengan kata lain, bersifat multi dimensional.94 Selain pengaruh kepentingan politik elit penguasa, pengaruh politik ekonomi juga sangat menentukan hukum ketenagakerjaan: "Dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peraaan pemerintah menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi lebih besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan, "95 Pada hakikatnya tidak semua hal dalam hukum ketenagakerjaan dapat diserahkan pada mekanisme pasar,selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Peran pemerintah ditantang untuk menjalankan kebijakan ketenagakerjaan yang mampu mengakomodir semua kepentingan, baik pemodal, pekerja/buruh maupun pemerintah sendiri. "Government policy may to varying degrees, moderate or intensify the bias of globalization that favors capital rather than labor. Globalization challenges labor market and workplace procedures to deliver substantive outcomes
93
Bander Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi Pekerja Mandar Maju, Bandung, hlm 4 94 Sebagaimana dinyatakan oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea, bahwa perubahan dunia ketenagakerjaan di Indonesia saat ini bersifat multidimensional, yang berarti perubahan itumeliputi aspek kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pemerintahan. Lihat dalam Majalah Nakertrans Edisi 1/XXIV Pebruar.i 2004, Fenomena Baru Ketenagakerjaan,juga dapat diakses melalui http://www.nakertrans.go.id/newsdetail.php?id=139 (akses tgl. 7 Juli 2014). 95 Aloysius Uwiyono , op. cit., hlm. 41. Globalisasi merupakan bentuk kapitalisme global yang lahir setelah berakhirnya perang dingin di tahun 1989 dirnana banyaknya pibak yang mengumandangkan kejayaan kapitalisme global'. Negara yang paling sukses dalam hal adalah Amerika. Prasyarat untuk melaksanakan prinsip kapitalisme ini adalah dengan pembebasan pasar dan peraturan pemerintah yang berlebihan, penciutan dan restrukturisasi perusahaan-perusahaan dalam negeri.
62
(competitive wage levels, labor practices and regulation of industrial conflict) that are acceptable to employers and investors, employees, and goverments."96 Memasuki era globalisasi perdagangan dewasa ini, berdampak pada peran negara dalam mengatur hubungan industrial antara pengusaha dengan pekerja. Menurut Rossi dan Friedmann bahwa penilaian atas dampak adalah untuk memperkirakan apakah intervensi kebijakan menghasilkan efek yang diharapkan atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tetapi hanya beberapa jawaban yang mungkin masuk akal. Tujuan dasar dari penilaian dampak adalah untuk memperkirakan "efek bersih" dari sebuah intervensi kebijakan, yaitu perkiraan dampak intervensi yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses dan kejadian yang mungkin juga mempengaruhi perilaku atau kondisi yang menjadi sasaran suatu program yang sedang dievaluasi itu,97 Metode yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :98 1) Membandingkan problem/situasi/kondisi dengan apa yang terjadi sebelum intervensi kebijakan; 2) Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu program terhadap suatu area atau kelompok dengan membandingkan dengan apa yang terjadi di area atau kelompok lain yang belum menjadi sasaran intervensi; 3) Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai sebagai hasil/kegagalan dari intervensi kebijakan.
96
Stephen J. Frenkel dan David Peetz, “Globalization and Industrial Relations in Et Asia: A Three Country Comparison” , Industrial Relations Journal, Vol. 37. No.3 July, H. Blackwell Publisher, California.,1998, hlm 1-25 97 Rossi. P.H. and Friedmann, 1993, Evaluation: A Systemic Approach, Sage, Newbun. Cal, 2nd ed., hlm. 215. 98 Wayne Parsons, op. cit., hlm. 14.
63
4) Menggunakan model untuk memahami dan menjelaskan apa yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan masa lalu. 5) Pendekatan kualitatif dan mental untuk mengevaluasi keberhasilan/ kegagalan kebijakan dan program. 6) Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran tertentu dari sebuah program atau kebijakan. 7) Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai tujuan atau targetnya sudah terpenuhi. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila dikaitkan dampak kebijakan buruh murah untuk menarik para investor dapat mengakibatkan miskinnya pekerja, banyaknya pemogokan kerja dan hubungan industrial yang tidak harmonis serta dapat memengaruhi sistem perekonomian nasional yang lebih luas. Konsepsi minimnya campur tangan negara dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari teori ekonomi klasik Adam Smith. The Wealth of Nation (1776). Adam Smith mengemukakan sebuah model yang abstrak namun sistematik mengenai alam, logika, struktur, dan kerja dari tata kapitalistik. Smith menyatakan bahwa tata mekanisme pengaturan pasar otomatis menyangkut dua perkara sekaligus, yaitu pemenuhan individual dan kompetensi dalam penyediaan kebutuhan tata sosial. Smith, bahwa tangan tak nampak (invisible hand) bekerja dengan keuntungan individual dan memaksimumkan kesejahteraan ekonomi
64
masyarakat.99 Larangan campur tangannya negara dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, seharusnya dapat menciptakan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dapat diartikan kesejahteraan sosial, termasuk kesejahteraan pekerja. Realitas ekonomi politik memberi
fakta bahwa berbagai kebijakan
pembatasan negara dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terkait dengan liberalisme ekonomi, secara pragmatis tanpa mengingkari segi positifnya yang mendorong perilaku manusia untuk lebih terampil dan cerdik melihat peluang keuntungan. Suatu hal yang dikhawatirkan dari semakin luasnya pengaruh liberalisme adalah semakin meluasnya warga masyarakat yang termarjinalkan. Karakteristik liberalisme yang paling kedepan adalah individualisme yang jelasjelas bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar falsatah negara Indonesia, dan sebagai sumber ideal dari hubungan industrial. Teori Keadilan John Rawls Konsep keadilan tidak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli saja, banyak
para pakar dari berbagai disiplin ilmu memberikan jawaban apa itu
keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick dan Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan. Dari beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia,
99
Hunt, EK. 1979, History of Economic Thought: A critical perspective, diterbitkan oleh Adsworth Publishing Company, California, hlm. 38.
65
tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls (1921-2020). Terutama melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini. John Rawls adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar di bidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan-gagasan yang dituangkan di dalam A Theory of Justice (1971), Rawls menjadikan dirinya pijakan utama bagi perdebatan filsafat politik dan filsafat moral kontemporer dalam pemikirannya tentang keadilan.
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapihnya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.100 Para pemikir setelah Rawls hanya punya dua pilihan: Menyetujui atau tidak menyetujui Rawls. Tidak ada pilihan untuk mengabaikan Rawls sama sekali. Hal ini menurut Daniel dikarenakan jangkauan pemikiran Rawls yang sangat luas dan dalam, yakni upaya untuk melampaui paham utilitarianisme yang sangat dominan di era sebelum Rawls serta merekonstruksi warisan teori
100
John Rawls, 2006, Theory of Justice (Teori Keadilan )Dasar-dasar Filsafat Politik untuk mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, hlm 3-4.
66
kontrak sosial dari Hobbes, Locke dan Kant sebagai titik tolak untuk merumuskan sebuah teori keadilan yang menyeluruh dan sistematis 101
Pemikiran John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami, bahkan ketika pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap menganggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, penulis mencoba memberikan gambaran secara sederhana dari pemikiran John Rawls, khususnya dalam buku A Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara sederhana menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep keadilan John Rawls. Apa sebenarnya yang dimaksud Rawls dalam bukunya itu sebagai teori keadilan? Argumen-argumen apa yang Rawls pakai untuk mendukung teori keadilannya itu?
Pada bagian “Keadilan sebagai Fairness” dijelaskan tujuan utama Rawls merumuskan teori keadilannya. Selanjutnya, pada bagian “Posisi Asali” dijelaskan argumen-argumen Rawls untuk mendukung prinsip-prinsip keadilannya. Bagian “Prinsip-prinsip Keadilan” menjelaskan gagasan substantif Rawls tentang prinsipprinsip untuk menata masyarakat modern yang tertata secara baik berdasarkan konsepsinya mengenai keadilan sebagai fairness.
101
Norman, Daniel (Ed.), 1975, Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice , Oxford: Basil Blackwell, hlm. 45
67
a. Keadilan sebagai Fairness
Apa yang memungkinkan anggota-anggota dari suatu masyarakat secara bersama-sama menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang mengatur pembagian hak dan kewajiban di antara mereka? Apa yang bisa mendorong anggota-anggota masyarakat tersebut untuk terlibat secara sukarela dalam berbagai kerja sama sosial? Tentu saja, dalam suatu tatanan sosial yang totaliter, anggotaanggota dari masyarakatnya bisa saja secara terpaksa menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ditetapkan oleh rezim totaliter tersebut, karena mereka mungkin merasa takut. Akan tetapi, untuk kedua kalinya dikemukakan di sini, pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan munculnya kesukarelaan dari segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fariness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di dalamnya102 . Sampai di sini, pertanyaan belum sepenuhnya terjawab. Lantas, apa yang Rawls maksudkan dengan keadilan sebagai fairness? Mengapa fairness itu sedemikian penting dalam rumusan keadilan Rawls? Apa yang memungkinkan suatu keadilan sebagai fairness bisa muncul?
102
John Rawls, op. cit., hlm.4-5
68
Ketika berbicara tentang ketentuan-ketentuan sosial yang mengatur kehidupan bersama, Rawls sebenarnya sedang menekankan upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban di antara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial103. Demikian, kesepakatan yang fair adalah kunci untuk memahami rumusan keadilan Rawls. Masalahnya, bagaimana kesepakatan yang fair itu bisa diperoleh? Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya dengan suatu prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan prosedural murni”
104
. Dalam hal ini, apa yang
dibutuhkan oleh mereka yang terlibat dalam proses perumusan konsep keadilan
103
Ibid. Andrea Ata Ujan, 2001, Keadilan Dan Demokrasi (telaah Filsafat Politik John Rawls) Kanisius, Jogyakarta, hlm. 42. 104
69
hanyalah suatu prosedur yang fair (tidak memihak) untuk menjamin hasil akhir yang adil pula105
b. Posisi Asali
Rawls sebelumnya menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat iklim musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu menjamin distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah untuk memilih prinsip-prinsip keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi asali” (the original position). Rawls memunculkan gagasan tentang posisi asali dengan sejumlah catatan: Pertama, adalah penting untuk menegaskan terlebih dahulu bahwa Rawls melihat posisi asali sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi terjaminnya kadilan sebagai fairness. Namun, Rawls tidak pernah memandang posisi asali sebagai suatu yang riil, melainkan merupakan sebuah kondisi awal yang bersifat imajiner. Menurutnya, kondisi awal imajiner ini harus diandaikan dan diterima, karena hanya dengan cara ini tercapainya keadilan sebagai prosedural murni bisa dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner, bagi Rawls, posisi
105
John Rawls, op. cit., hlm 4-5
70
asali sudah merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep keadilan yang bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair106 .
Kedua, setiap orang yang berpartisipasi di dalam proses perumusan prinsipprinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut. Hanya saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi asali. Hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotesis ini, yakni mereka yang memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Ketentuan-ketentuan ilmiah ini membuka peluang bagi semua orang untuk masuk ke dalam proses musyawarah yang fair107
Rawls menegaskan bahwa semua pihak yang berada dalam posisi asali harus juga berada dalam keadaan “tanpa pengetahuan.” Melalui gagasan tentang “keadaan-tanpa-pengetahuan” tersebut, Rawls ingin menegaskan bahwa semua pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki pengetahuan mengenai berbagai alternatif yang dapat mempengaruhi mereka dalam proses perumusan dan pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Keadaan ketidaktahuan akan hal-hal partikular memang menjadi syarat penting untuk menjamin fairness. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut harus mampu
106 107
Ibid., hlm. 120 Ibid., hlm. 130-135
71
melakukan penilaian atas prinsip-prinsip keadilan yang senantiasa dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya108 .
Rawls juga menggambarkan bahwa dalam posisi asali tersebut semua pihak juga diandaikan bersikap saling-tidak-peduli dengan kepentingan pihak lain. Di sini dimaksudkan
bahwa
semua
pihak
berusaha
dengan
sungguh-sungguh
memperjuangkan apa yang dianggap paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama, mereka juga dianggap tidak saling mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain bagi dirinya sendiri. Gambaran ini secara sekilas menunjukan karikatur orangorang yang justru bertolak belakang dengan semangat kerja sama yang menjadi inti konsep keadilan sebagai fairness. Namun demikian, penggambaran Rawls tentang sikap saling tidak peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut sebenarnya lebih sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali mampu membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh orang lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana setiap pihak yang berusaha mengejar kepentingannya sendiri (rasional) di dalam posisi asali dan berada dalam keadaan “tanpa-pengetahuan” itu pada akhirnya dapat memilih prinsip-prinsip pertama keadilan yang mampu menjamin kepentingan semua pihak? Menurut Rawls, dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak akan memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa
108
Ibid., hlm. 136-142
72
menjamin distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini, “nilai-nilai primer” adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan membimbing semua pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama keadilan. Dengan nilai-nilai primer, Rawls memaksudkan semua nilai sosial dasar yang pasti diinginkan dan dikejar oleh semua manusia. Artinya, pelbagai manfaat yang dilihat dan dihayati sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh seseorang agar layak disebut manusia.
Gagasan Rawls tentang posisi asali tersebut sebenarnya merupakan refleksi dari konsep moral tentang person: setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai person yang rasional, bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Dalam pandangan Rawls, manusia sebagai person moral pada dasarnya memiliki dua kemampuan moral, yakni: 1) kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerja sama sosial; dan 2) kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Rawls menyebut kedua kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good. Kemampuankemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia sebagai person moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu sisi, serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain sisi109
109
Ibid., hlm 88
73
Dalam kondisi awal (posisi asali) sebagaimana dijelaskan di atas, Rawls percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang ditawarkannya daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Prinsip itu adalah: Semua nilai-nilai sosiai kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung110.
Bertolak dari prinsip umum di atas, Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: 1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; 2. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling tidak beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang111. Dengan demikian, untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order atau lexical order112. Dengan pengaturan seperti ini, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak bisa ditukar dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa prinsip keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan
110 111 112
Ibid., hlm. 62 Ibid., hlm. 60 Ibid., hlm. 63-64
74
pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain, penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi113. Bagi Rawls, pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan secara kelembagaan atas praktek-praktek kebebasan agar pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan kebebasan yang memang menjadi hak setiap orang114
Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidaksamaan dalam pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam perolehan nilai sosial dan ekononomi tidak harus selalu dimengerti sebagai ketidakadilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua justru terletak pada sisi ini.
Bagi
Rawls,
prinsip
“perbedaan”
dimaksudkan
untuk
menjamin
berlangsungnya suatu masyarakat yang ideal di mana keterbukaan peluang yang sama (dijamin melalui prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan sekelompok orang dan pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya. Oleh karena itu, adanya prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus
113 114
Ibid., hlm. 120 Andrea Ata Ujan, op. cit., hlm.74
75
jaminan atas hak dari kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk menikmati prospek hidup yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi dengan prinsip kesempatan yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa “kelebihan” berupa prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila membawa dampak berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang beruntung atau paling tidak beruntung115.
Konsepsi keadilan dalam institusi politik , Rawls memperlihatkan dukungan dan pengakuan yang kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut menuntut hak pastisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, diharapkan bahwa seluruh struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu menjamin kepentingan semua pihak. Dari sudut politik, konsepsi keadilan Rawls diformulasikan ke dalam tiga sendi utama:
(1) hak atas partisipasi politik yang sama; (2) hak warga untuk tidak patuh; dan (3) hak warga untuk menolak berdasarkan hati nurani.
Ketiga hal ini menjadi manifestasi kelembagaan dari prinsip keadilan pertama dalam teori kedilan Rawls. Rawls memandang hak atas partisipasi politik yang
115
Ibid., hlm. 75.
76
sama tersebut bisa terakomodasi dalam sebuah sistem politik yang tidak saja bersifat demokratis, tapi juga konstitusional. Sistem politik demokrasi konstitusional di sini dicirikan oleh dua hal utama: pertama, adanya suatu badan perwakilan yang dipilih melalui suatu pemilihan yang fair dan bertanggung jawab kepada pemilihnya, yang berfungsi sebagai badan legislatif untuk merumuskan peraturan-peraturan
dan
kebijakan-kebijakan
sosial;
dan
kedua,
adanya
perlindungan konstitusional terhadap kebebasan-kebebasan sipil dan politik, seperti kebebasan berpikir dan berbicara, kebebasan berkumpul dan membentuk organisasi politik116.
Bagi Rawls, sistem politik demokrasi konstitusional harus memberikan ruang bagi hak untuk tidak patuh (pada Negara), karena hak ini adalah konsekuensi logis dari demokrasi. Maksud hak untuk tidak patuh ini sebagai ‘suatu tindakan publik, tanpa kekerasan, berdasarkan suara hati tetapi bersifat politis, bertentangan dengan hukum karena biasanya dilakukan dengan tujuan menghasilkan perubahan hukum atau kebijakan pemerintah.117. Dalam hal ini, Rawls memandang bahwa ada ruang di mana hukum yang ditetapkan tidak bersifat adil sehingga warga negara boleh melakukan tindakan politik untuk menentang dan mengubahnya melalui cara-cara yang tidak menggunakan kekerasan. Jika hak untuk tidak patuh dimaksudkan sebagai tindakan politik untuk memperbaiki hukum yang tidak adil, maka hak untuk menolak berdasarkan hati nurani lebih dimaksudkan sebagai ruang yang diberikan
116 117
Ibid., hlm. 222. Ibid., hlm. 364.
77
kepada seseorang untuk tidak mematuhi hukum jika hal itu dipandang bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Misalnya, jika terdapat sebuah hukum yang meminta warganya untuk berperang sementara terdapat seorang warga yang memiliki keyakinan bahwa membunuh bertentangan dengan prinsip keadilan yang dipegangnya, maka dia berhak untuk menolak untuk ikut berperang 118.
Dari sudut penataan ekonomi, konsepsi keadilan Rawls menuntut suatu basis ekonomi yang fair melalui sistem perpajakan yang proporsional (dan bahkan pajak progresif jika diperlukan) serta sistem menabung yang adil sehingga memungkinkan terwujudnya distribusi yang adil pula atas semua nilai dan sumber daya sosial. Di sini perlu ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menikmati nilai-nilai dan sumber daya sosial dalam jumlah yang sama, tetapi juga memiliki
kewajiban
untuk
menciptakan
kemungkinan
yang
membawa
kemaslahatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi anggota masyarakat dalam generasi yang sama, tetapi juga bagi generasi yang satu dengan generasi yang lainnya. Bagi Rawls, kekayaan dan kelebihan-kelebihan bakat alamiah seseorang harus digunakan untuk meningkatkan prospek orangorang yang paling tidak beruntung di dalam masyarakat119. Pada akhirnya teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
1.
Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
118 119
Ibid., hlm. 370-380 Ibid., hlm. 260-285.
78
2.
Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3.
Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni: 1.
Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2.
Prinsip perbedaan (differences principle)
3.
Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya dan Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle. Darimana tiga prinsip tersebut dilahirkan? Pertama, keadilan adalah kejujuran (Justice as Fairness). Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawls mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda disatu pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?
79
Kedua, selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance). Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsikonsepsi mereka tentang kebaikan. Ketiga, posisi original (Original Position). Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. “Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle). Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”. Dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain: kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), kebebasan personal (liberty of conscience and though). kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property), Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
80
Kelima, prinsip ketidaksamaan (inequality principle), meliputi Difference principle (prinsip perbedaan). Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan dan Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. Jadi sebenarnya
ada
2
(dua)
prisip
keadilan
Rows,
yakni
equal
liberty
principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle, yang akhirnya berjumlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari kontruksi pemikiran Original Position. Teori Keadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah John Rawls yang memberikan pandangannya yakni keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki mengatakan keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negaara dan aturan-aturannya ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Lebih jauh Rawls berpendapat keadilan dilihat dari hak dan kewajiban dalam masyarakat. Menurut subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat , atau lebih tepatnya, cara-cara lembaga sosial secara mendasar bergantung pada bagaimana hak-hak dan kewajiban fundamental diterapkan pada
81
peluang ekonomi serta kondisi sosial dalam berbagai sektor masyarakat. Pandangan Rawls mengenai teori dan konsep keadilan diatas dapat dimaknai bahwa ; 1. Keadilan merupakan nilai kebajikan utama. 2. Negara memiliki peran yang utama menyelenggarakan keadilan, dan untuk dapat
menyelenggarakan
keadilan
para
penyelenggara
negara
atau
pemerintahan dituntut memiliki moral yang baik. 3.
Penyelenggara negara atau pemerintahan tidak hanya dituntut mampu membuat peraturan perundang-undangan yang baik, melainkan dituntut memiliki keberanian dan kemampuan untuk melaksanakan peraturan yang diciptakan.
4. Untuk mewujudkan keadilan, tiap warga negara dituntut untuk mentaati segala peraturan yang di susun 5. Keadilan memiliki tujuan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia
baik
secara individual maupun sosial. 120 Pendapat Rawls tersebut terlihat bahwa keadilan harus diwujudkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lain. Dengan demikian keadilan merupakan salah satu hal yang penting untuk diwujudkan. Menyangkut pengertian keadilan tidak akan pernah dikenal seluruhnya apabila hanya dideskripsikan secara individual. Hal ini dikarenakan setiap individu hanya akan menawarkan pendefinisiannya. Oleh karena itu, meski ada cara tunggal
120
Ibid.
82
mendefinisikan keadilan namun tidak ada teori tunggal mengenai keadilan yang sanggup memuaskan semua orang.121
Teori Keadilan Pancasila Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
121
Karen Lebacqz, 2011, Teori-Teori Keadilan, (terjemahan: Yudi Susanto), Nusa Media, Bandung, hlm. 1-2
83
Dalam rangka mencapai keberhasilan ide menunju keadilan sosial ini, maka Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas dari usaha mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa juga tidak bisa lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud dengan Gotong Royong? Menurut Soekarno : “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan amal ini, bersamasama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!Itulah gotong-royong! 122 Teks ini merupakan pernyataan Soekarno untuk mengajak masyarakat Indonesia memahami bagaimana bangsa Indonesia harus mencapai visi-misi dan tujuan negara Indonesia. Pernyataan ini jelas memberikan pemahaman baru dalam aspek sosiologis, bahwa sistem Gotong-Royong adalah bagian dari nilai kehidupan keluarga dan warisan budaya bangsa Indonesia yang berharga. Pernyataan tentang negara Gotong Royong hendak mengarah pada nilai kebersamaan dan persatuan bangsa. Inilah konsep negara yang dicita-citakan Soekarno, yakni membentuk suatu komunitas yang solid dan kuat. Komunitas yang terhimpun dari berbagai macam suku, agama, ras, bahasa, dan kebudayaan.
122
Soekarno, 1960, Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, Jajasan Empu Tantular, Djakarta, hlm. 92
84
Soekarno
sangat
memahami
karakter
asli
orang
Indonesia
yang
sesungguhnya memiliki kemampuan untuk maju dan mensukseskan pembangunan bangsanya. Mengapa? Karena Soekarno tahu dengan persis bahwa konsep Gotong Royong adalah milik masyarakat Indonesia sejak dahulu. Seluruh penjuru kepulauan Indonesia memiliki warisan dari nenek moyang mereka untuk bergotong royong. Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan sosial. Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan dapat memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh Soekarno dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk mencapai citacita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur. “Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insiyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, ahli-ahli dagang memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. 123
Bangsa Indonesia tetap membutuhkan partner dalam berjuang dan membangun negara yang adil dan makmur. Keadilan sosial tidak bisa dibangun oleh satu pihak saja, akan tetapi keadilan sosial adalah tanggungjawab semua bangsa Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial
123
Ibid., hlm. 136
85
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapatpendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tiga hal tentang pengertian adil. 124 (1) “Adil” ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya. (2) “Adil” ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang. (3) “Adil” ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”. Selanjutnya uraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri
124
Kahar Masyhur,1985, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, hlm.71.
86
individu.125 Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan
yang serasi antar
manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.126 Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai : “(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak. (2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusahapengusaha. (3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.127 Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama
125
Suhrawardi K. Lunis, 2000, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Cetakan Kedua, Jakarta, , hlm. 50. 126 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm.83. 127 Kahar Masyhur, op. cit., hlm. 71.
87
halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya Pandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (filosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat yang utama oleh para bapa pendiri bangsa. Hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari gagasan Soekarno dalam pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Akan tetapi dalam kenyataannya harapan Bung Karno kepada bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan ini malah tidak terwujud sebagaimana mestinya. Terbukti bahwa segala bentuk ketidakadilan dan penindasan terhadap bangsa Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai di manamana. 128 Masyarakat yang tertata baik dalam keharmonisan dan keadilan merupakan cita-cita semua bangsa. Semua orang dalam satu negara selalu menginginkan hidup dalam keadilan dan persamaan hak dengan berpedoman pada peri kemanusiaan. Dengan demikian segala aspek yang melingkupi hidup masyarakat sudah tentu harus ditata seadil mungkin. Undang-undang adalah sarana penataan semua warga negara Indonesia, dengan demikian haruslah disusun sedemikian rupa sehingga
128
Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI),1995, Risalah Sidang BPUPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, hlm 78.
88
dapat memenuhi norma keadilan. Termasuk dalam hal ini UU tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Menarik sekali bahwa konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran filosofis presiden Soekarno. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pidato kuliah umum tentang “Pancasila”, yang diselenggarakan “Liga Pancasila” di istana negara. Adapun menurut Soekarno arti dari kata keadilan sosial itu ialah: “Keadilan sosial ialah satu masyarakat atau sifat satu masyarakat adil dan makmur , berbahagia buat semua orang , tidak ada penghinaan , tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu Exploration Ed l,Home bar i,Home” 129
Pemikiran Bung Karno tentang keadilan sosial ini sungguh jelas, tepat, sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Soekarno sangat memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas membuktikan bahwa Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih.
129
Soekarno, op. cit., hlm. 145.
89
Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai keadilan sosial asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak bisa terlepas dari aspek “rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang persatuan bangsa ini sudah lama digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca dalam isi pidatonya: Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”.130 Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buatan negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.131 Salah satu tokoh yang kental dengan Pancasila adalah Notonagoro juga memberikan pendapat tentang keadilan yaitu tentang filsafat Pancasila adalah pengertian tentang isi pokok filsafat Pancasila itu sendiri, berikut penjabarannya yang dimulai dari sila 1 – 5: 1. Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa
130
Serial Pemikiran Tokoh-tokoh UGM Prof Noto Nagoro dan Pancasila (Analisis Tektual dan Kontekstual) 131 Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI), op. cit., hlm. 25.
90
Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat Tuhan yang hanya satu dan merupakan asal mula segala sesuatu dan bersifat abadi, maha sempurna, dan maha kuasa. 2. Sila II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang tersusun atas raga dan jiwa dengan daya cipta, rasa, dan karsa, serta hakekat manusia sebagai makhluk sosial. 3. Sila III, Persatuan Indonesia Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakekat yang satu, yaitu diri pribadi dengan ciri khas tersendiri. 4. Sila IV, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan. Kesesuaian sifat keadaan dengan hakikat rakyat sebagai warga negara ,bukan satu golongan. 5. S i l a V , Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.Kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakikat adil bagi masyarakat dan negara terhadap warganya , keadilan warga terhadap masyarakat dan negara. Notonagoro mengkaji Pancasila secara ilmiah, disebut Koento Wibisono dipengaruhi oleh metode aliran filsafat barat, karena Indonesia belum memiliki filsafat sebagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan oleh Prof. Notonagoro sebagai penunjang adanya Pancasila yang berfungsi untuk menuju satu hal yang ideal. Oleh karena itu, Notonagoro mempunyai kepedulian untuk mengembangkan Pancasila dari sudut “filsafati”. Menurut Notonagoro, pengertian Pancasila secara ilmiah ialah dasar negara yang mutlak dan obyektif melekat pada kelangsungan
91
negara, tidak bisa diubah dengan jalan hukum, merupakan pengertian umum abstrak dan umum universal.
132
Notonagoro mengungkapkan hal ini karena
keinginannya untuk mencari jalan keluar dari kesulitan mengenai dasar negara RI dalam pembicaraan di dalam konstituante. Ada 5 keadilan legalitas menurut Notonagoro sebagai berikut: 1. Keadilan distributif (membagi) Keadilan distributif adalah suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat penguasaannya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata dan merata, menurut keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. 2. Keadilan Komutatif (tukar menukar) Keadilan Komutatif adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya, suatu yang menjadi hak orang lain, atau sesuatu yang sudah semestinya diterima oleh pihak lain. Dengan adanya keadilan tukarmenukar terwujud interaksi saling memberi dan saling menerima. Keadilan komutatif timbul di dalam hubungan antarmanusia sebagai orang seorang terhadap sesamanya di dalam masyarakat. 3. Keadilan kodrat alam (sosial) Keadilan kodrat alam adalah suatu kebajikan tingkah laku manusia di dalam hubungannya dengan masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan
132
Ibid., hlm. 136
92
melaksanakan
segala
sesuatu
yang
menunjukkan
kemakmuran
dan
kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir dari masyarakat atau negara. 4. Keadilan konvensional Keadilan konvensional keadilan yang mengikat warga negara, sebab keadilan itu didekritkan melalui suatu kekuasaan (penguasa negara atau pejabat pemerintah). 5. Keadilan legalitas (keadilan hukum) Keadilan legalitas adalah mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila yang mana sila kelimanya sebagai berikut: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil itu menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila. Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya, sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “Keadilan Sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai: 1. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
93
2. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dari pengusaha-pengusaha. 3. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusahapengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar.133 Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu akan menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan individu yang lainnya. Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum di antara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam kelompok masyarakat hukum. Pelaksanaan
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial
dalam
menciptakan kesejahteraan pekerja perlu didasarkan pada pola pikir hukum progresif yang sangat berbeda dengan paradigma hukum positivistik. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu sendiri, sedangkan paradigma positivistik meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak atau ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Paradigma hukum progresif berfikir bahwa hukum boleh dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.
133
Ibid.
94
Sejalan dengan semakin meningkat dan kompleksnya permasalahan perselisihan hubungan industrial di era industrialisasi, maka cita-cita UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara normatif amatlah penting untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan secara optimal berdasarkan nilai-nilai Pancasila, serta perlunya penyediaan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan asas cepat, adil, dan murah. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berasaskan cepat, adil, murah, dan berkepastian hukum sangat ditentukan oleh kemampuan lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kemampuan lembaga-lembaga ini dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sangat tergantung pada kualitas para subjek hukum, khususnya pihak pengusaha dan pekerja. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selain ditentukan oleh kualitas para pelaku hubungan industrial, ditentukan kualitas peraturan perandang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan pemerintah, dan ideologi bangsa dan negara.134 Konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang melibatkan tiga unsur pendukung, yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Ketiga aspek ini saling terkait dalam upaya penyelesaian perselisihan industrial yang memberikan perlindungan hukum seimbang bagi para pihak. Ketiga unsur ini yang paling penting adalah pengusaha sebagai faktor kunci yang memiliki hubungan dengan
134
Departemen Tenaga Kerja, 2000, Penelitian Peranan Multi Serikat Pekerja Dalam Hubungan Industrial Pancasila, , Badan Perencana dan Pengembangan Tenaga Kerja Pusat Penelitian dan Pengembangan Tenaga , hlm. 5
95
pekerja.Terjadinya
perselisihan
hubungan
industrial
disebabkan
adanya
ketidakadilan dalam hal pengaturan hubungan industrial, dan ketidakadilan tersebut juga dapat terjadi pada proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial perlu menghilangkan segala ketidakadilan di setiap tahap jalannya hubungaan industrial, dari mulai pengaturan hubungan industrial sampai tahapan proses penyelesaian hubungan industrial. Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hirarkhis dan bersumber darinya, sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga harus bersumber dari Pancasila.135 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, dan dalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Pancasila juga sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, termasuk dalam pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut penulis dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam praktik kehidupan sehari-hari antara para pelaku produksi (pengusaha, pekerja/buruh, dan serikat pekeda/serikat buruh, dan pemerintah) tentu
135
Hamid Attamimi dalam Moh. Mahfudz MD, 2006, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES , Indonesia, hlm. 52
Membangun Politik Hukum
96
perlu adanya dukungan kondisi yang kondusif agar tumbuh dan berkembang sikap mental dan sikap sosial. Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua pihak secara nyata dalam pergaulan sehari-hari. Pembahasan mengenai PHI tidak bisa lepas dengan negara hukum . Deskripsi tentang teori negara hukum sebagai landasan teoritis dapat digambarkan hahwa lahirnya teori negara hukum muncul dari keinginan untuk membatasi dan mengawasi kekuasaan negara yang dipicu oleh teori kedaulatan hukum yang dipelopori antara lain adalah Imanuel Kant.136 Hak untuk bekerja dan hak dalam pekerjaan tidak hanya merupakan inti dari hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi juga dalam lingkup hak asasi yang fundamental.
137
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak posistif
(positive rights) karena untuk merealisasikan hak –hak yang diakui dalam konvenan tersebut diperlukan keterlibatan negara yang besar. Negara disini harus berperan aktif oleh karena itu hak-hak ini dirumuskan dalam bahasan “right to” (hak atas ) hak ekonomi, sosial, budaya menuntut tanggungjawab negara dalam bentuk obligation of result artinya pemerintah harus mengusahakan terciptanya kesempatan untuk merealisasikan hak tersebut. Beberapa hak ekonomi bagi pekerja yang penting meliputi hak atas keselamatan kerja, pengupahan yang adil, dan hak
136
S.F Marbun, 2003, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UI Press, Yogyakarta, hlm. 6. Lihat juga Wiratno, 1986, Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, PT Pembangunan, Jakarta, hlm. 182-185, lihat juga Solly Lubis, 1981, Ilmu Negara, Alumni Bandung, hlm. 526-528 137 Vincentius Hari Supriyanto, 2012, Kesejahteraan Pekerja Dalam Hubungan industrial Pada Perusahaan –Perusahaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 85.
97
untuk berpartisipasi di tempat kerja138. Pekerjaan dan penghidupan yang layak dikonstruksikan sebagai hak warga negara, artinya pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan kepentingan warga negara yang pemenuhannya dapat dituntut kepada negara untuk dipenuhi. Hubungan pengusaha dan pekerja adalah hubungan yang dinamis, sering ditemui jika terjadi perselisihan , penyelesaian perselisihannyapun sering tidak berpihak pada pekerja. Salah satu instrumen yang dapat melindungi pekerja yang kedudukannya subordinat adalah hukum yang merepresentasikan hak dan kepentingan pekerja dalam perselisihan hubungan industrial. Pada sisi lain dengan kompleksitasnya permasalahan dalam hubungan industrial , akan menyulitkan membentuk hukum yang dapat diterima oleh para pelaku dalam hubungan industrial seperti pengusaha dengan pekerja. Sistem hukum nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila bertujuan mengayomi manusia. Hukum harus menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan Pancasila.139 Pandangan Hamid S. Tamimi bahwa Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar hukum dan ideologi negara, maka harus dijadikan paradigma dalam pembangunan hukum termasuk semua upaya pembaharuannya. Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya,
138
Ibid., hlm. 22. Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum , Gramedia , Jakarta, hlm. 206 139
98
sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alat dan karenanya juga harus bersumber pada Pancasila.140 Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, berarti segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila . Pancasila sebagai recht idea dalam arti Pancasila sebagai sumber inspirasi dalam pembentukan satu peraturan perundang-undangan. Menurut peneliti dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam praktik kehidupan sehari-hari antara para pelaku produksi (pengusaha, buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat buruh, dan pemerintah) tentu perlu adanya dukungan kondisi yang kondusif agar tumbuh dan dan berkembang sikap mental dan sikap sosial. Dukungan yang kondusif ini harus menjadi perilaku semua pihak secara nyata dalam pergaulan sehari-hari. Sejalan dengan semakin meningkat perselisihan hubungan industrial, maka cita-cita Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara normatif amatlah luhur dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur mekanisme penyelesaian perselisih hubungan industrial secara non litigasi melalui lembaga Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, Arbitrage dan secara litigasi melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial dengan asas cepat
140
Hamid Attamimi , op. cit., hlm. 52.
99
tepat, adil. dan murah.141 Menurut Surya Tjandra,142 bahwa proses penyelesaian perselisihan melalui lembaga PHI di Indonesia saat ini dituntut tidak hanya harus adil dalam mengambil keputusan, tetapi juga harus sensitif dengan persoalan pekerja/buruh, sebagai pihak yang paling lemah dalam hubungan industrial. Karakter perselisihan hubungan industrial, semakin lama sebuah perkara selesai maka semakin tidak adil pula bagi pekerja/buruh putusan yang akan dihasilkan. Penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja/buruh harus berdasarkan hukum dan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum di samping kebenaran. Keadilan pada lembaga PHI dapat terwujud, apabila perselisihan tersebut diselesaikan oleh hakim yang memiliki sensitivitas terhadap persoalan buruh. Sensivitas ini periu didukung semua pemangku kepentingan (stake holders), termasuk negara dalam memberikan perhatian kesejahteraan kepada para hakim.143 Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 bertujuan untuk dapat mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang sosial sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut Agung Hermawan spirit undang-undang ini adalah menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadi adil, cepat dan murah.144 Ada du acara menyelesaiakan perselisihan yaitu diluar pengadilan melalui Biparti, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi dan melalui PHI.
141
Abdul Khakim, op. cit., hlm. 4 Surya Tjandra, 2007, Praktek Hubungan Industrial Panduan Bagi Serikat Buruh, Cetakan Penerbit Trade Union Rights Centre (TURC), Jakarta, hlm x. 143 Abdul Khakim, 2010, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (antara Peraturan dan Pelaksanaan), PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5. 144 Agung Hermawan, 2008, Masih Adakah Keadilan Bagi Buruh, Fikri Print Production, , LBH Bandung, hlm. 38. 142
100
Cara Penelitian Penelitian hukum adalah penelitian yang membantu pengembangan ilmu hukum dalam mengungkapkan suatu kebenaran hukum. Konsekuensinya untuk melakukan penelitian hukum, seseorang harus memahami penelitian itu sendiri dan memahami ilmu hukum.145 Penelitian mengenai Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia ini merupakan jenis penelitian hukum Doktrinal/Normatif yang didukung dengan wawancara dengan nara sumber. Pendekatan penelitian dilakukan dengan legal opproach/ pendekatan peraturan perundang-undangan , historis approach/sejarah dan pendekatan comparacy approach/perbandingan.. Menurut Soetandyo selama hukum ini dibilangkan sebagai norma entah yang telah dibentuk dan memiliki wujudnya yang positif (Ius constitutum) entah pula yang belum dipositifkan ( ius costituendum) maka selama itu pula penelitian hukum ini harus dibilangkan pula sebagai penelitian normatif. 146
Dalam penelitian doktrinal kebenaran konklusi dalam setiap silogisme deduksi
adalah kebenaran yang bersifat formal. Logika deduksi boleh juga disebut logika formal, artinya kebenaran konklusi akan ditentukan semata-mata oleh kebenaran prosedural yang secara formal ditempuh dalam penyusunan silogisme.147 1. Bahan/ Materi Penelitian
145 146
Sugeng Istanto, 2007, Penelitian Hukum , CV Ganda ,Yogyakarta, hlm. 29. Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum Konsep dan Metode,Setara Pess, Malang,
hlm. 77 147
Ibid., hlm. 101.
101
Sebagai penelitian hukum doktrinal/ normatif, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian sumber bahan hukum dan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier 148 atau sering disebut penelitian bahan pustaka dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder149 oleh karena itu dalam penelitian ini banyak dilakukan telaah dan kajian terhadap data sekunder yang diperoleh dari penelitian dan kiranya penyusunan dan perumusan hipotesis tidak diperlukan. Fokus penelitian ditujukan terhadap substansi atau materi dari perangkat atau kaedah hukum yang dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia150 yang mengatur tentang atau ada kaitannya dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan latar belakang pembentukan PHI atau politik hukum pembentukan peraturan penyelesaian perselisihan hubungan industrial 2. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum atau materi penelitian terdiri dari 3 macam bahan hukum151 yang meliputi: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri atas berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan
148
Ibid., hlm. 79-87. Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2002,Penelitian Hukum Normatif, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 24. 150 Ibid., hlm.15. 151 Ibid., hlm. 8. 149
102
peraturan perundang-undangan, perselisihan hubungan industrial dan pengadilan hubungan industrial. a. Undang-Undang Dasar N RI 1945 b. Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi Nomor 98 organisasi Perburuhan Internasional mengenai berlakuanya Dasar-dasar dari Hak Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama. d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. g. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. h. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. i. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Dan pemberhentian Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Dan Hakim Ad Hoc Pada Mahkamah Agung. j. Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor 1 tahun 1951 tentang Penyelesaian Pertikaian Perburuhan k. Keputusan Presiden Nomor 123 Tahun 1963 tentang Perusahaan– Perusahaan, Jawatan-Jawatan dan Badan-Badan yang Vital.
103
l. Keputusan Presiden Nomor 83
Tahun 1998
tentang Ratifikasi
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi. m. Instruksi Menteri Perburuhan No. PBU 1022-45/U.4191/1950 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. n. Surat Edaran MA No. 1 Tahun 1980 2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer diantara: a) Berbagai kepustakaan mengenai hukum Ketenagakerjaan Indonesia. b) Berbagai kepustakaan mengenai hubungan industrial Pancasila. c) Berbagai kepustakaan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan perbandingannya dengan negara lain. d) Berbagai kepustakan mengenai sistem peradilan di Indonesia e) Berbagai literature yang berisi pandangan ahli mengenai ketentuan perselisihan hubungan industrial dan cara menyelesaikannya. f) Berbagai berita maupun tulisan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial. g) Buku I sampai dengan VI Pembahasan RUU RI tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) h) Berbagai literatur dan tulisan tentang politik hukum perundangundangan. 3) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri atas:
104
a) Blacks Law Dictionary yang disusun oleh Henry Cambell Black b) Kamus Umum yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3.
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data
dalam penelitian ini dilakukan dengan studi
dokumen. Bahan penelitian ini dikumpulkan melalui berbagai pustaka dengan menggunakan studi dokumen yaitu dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan hukum terkait dengan materi penelitian baik dari peraturan perundangan, putusan hakim, laporan penelitian, dengan cara mempelajari data melalui buku literatur, jurnal yang kemudian dikaji dan dikelompokan kedalam konsepkonsep pokok untuk digunakan dalam menjawab permasalahan. Sebelum tahapan penelusuran isi dokumen, terhadap dokumen secara keseluruhan dilakukan penilaian.
4. Cara pengumpulan Data Cara Pengumpulan Data penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara metode dokumentasi sebagai berikut: a. Dilakukan pengumpulan bahan hukum-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer,sekunder dan tertier. b. Dilakukan kajian mengenai ketentuan-ketentuan tentang pembentukan UU PPHI dilihat dari risalah pembentukannya, jenis perselisihan hubungan industrial dan prinsip-prinsip penyelesaian perselisihan di dalam Hukum Ketenagakerjaan .
105
Dari proses pembentukan UU PPHI dapat diketahui kearah mana kebijakan pembentukan PHI dan melalui ketentuan jenis perselisihan dan cara penyelesaian penyelesaian perselisihan akan dapat diperoleh garis besar dari penyelesaian perselisihan seperti: 1) Berbagai asas pembentukan perundangan-undangan terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 2) Berbagai pengertian mengenai hubungan industrial 3) Berbagai pola hubungan industrial 4) Berbagai jenis perselisihan hubungan industrial 5) Cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial c. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai: 1) Pandangan dan komentar para ahli dan nara sumber mengenai hubungan industrial, perselisihan hubungan industrial, pembentukan PHI, penentuan dan penegakkannya. 2) Hubungan antara materi yg diatur dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan ketentuan lainya dalam Hukum ketenagakerjaan maupun bidang hukum lain yang mempunyai keterkaitan dengan ketentuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 3) Putusan–putusan PHI dilihat dari jenis dan eksekusi putusan terkait hak dan kewajiban pekerja/buruh dengan pengusaha Memperhatikan dari hasil penelitian tersebut maka dapat diketahui politik hukum pembentukan PHI, penentuan dan penegakkan PHI , luas dan lingkup materi yang diatur dan bagaimana hubungan materi-materi yang diatur dengan
106
bagian hukum ketenagakerjaan maupun bidang hukum lain yang berkaitan dengan ketentuan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akhirnya penelitian dapat diketahui tentang latar belakang pembentukan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, konteks hubungan industrial Pancasila, perselisihan dan cara penyelesaiannya perselisihan hubungan industrial yang dapat memberikan keadilan bagi pihak pekerja dengan pengusaha. 5. Analisis Data Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan pada kualitas nilai dari data yang diperoleh. Menurut Maria S. W Sumadjono menyatakan bahwa dalam penelitian hukum normatif yang mempergunakan data sekunder, penelitian pada umumnya bersifat deskriptif atau deskriptif eksploratif serta analisisnya bersifat kualitatif.152 Terkait penelitian ini adalah eksplorasi dan pencarian data penelitian ini didasarkan atau diukur dari kualitas nilai atau prinsip hukum tertentu. Analisis kualitatif dilakukan dengan mengelompokan data yang berupa bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berhubungan dengan eksistensi PHI ditinjau dari pembentukan perundang-undangan tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari segi norma hukum, politik hukum atau legal policy terbentuknya PHI, mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui litigasi yaitu PHI dan melalui non litigasi yakni Biparti Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrasi, serta bagaimana penyelesaian yang
152
Maria S.W. Soemardjono, 2001, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Sebuah Panduan Dasar, Cet. Ketiga ,Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 10
107
memberi
keadilan.
Analisis
dilakukan
dengan
mendiskripsikan
dan
mensistematisasi data yang diperoleh terkait dengan latar belakang pembentukan perundang-undangan, proses berperkara dalam UU PPHI, kedudukan dan kewenangan PHI, dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial selanjutnya dieksplikasi atau diuraikan secara naratif dan dievaluasi mengenai keberadaan PHI dalam sistem peradilan di Indonesia.