BAB I PENDAHULUAN
A). Latar Belakang Masalah Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (primer) yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh setiap manusia di dunia untuk mempertahankan hidupnya. Seiring dengan pertambahan penduduk yang tiap tahun kian meningkat, diiringi pula oleh kenaikan permintaan akan kebutuhan pangan. Berbagai cara akan ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pangan yang berkualitas, sesuai dengan standard tertentu, dan merata. Perkembangan dalam bidang pertanian khususnya penerapan teknologi dan inovasi sangat diperlukan dalam proses pemenuhan kebutuhan pangan suatu negara untuk menjamin cadangan ketersediaan bahan pangan dapat tercukupi. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga ketersediaan bahan pangan terus ditingkatkan. Tantangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah dapat dirasakan saat ini, komoditas pertanian telah menjadi sektor terpenting. Dalam hal ini, sektor pertanian berbeda dengan sektor lainnya, karena pada dasarnya bersifat multi-dimensional dengan kemungkinan dampak politis dan sosial yang cukup luas. 1 Guna mencukupi kebutuhan akan pangan banyak negara yang
1
H.S Kartadjoemena, GATT WTO dan hasil Uruguay Round, Jakarta: UI Press, 1998 cetakan kedua, Hlm. 108
1
melakukan kegiatan ekspor dan impor bahan pangan, sehingga diwujudkan dalam bentuk kerjasama ekonomi khususnya perdagangan antar negara baik secara regional, bilateral maupun multilateral. Dengan adanya kegiatan perdagangan tersebut, maka untuk menghindari kecurangan, menciptakan keadilan (Fairness), dan arus perdagangan barang dan jasa menjadi lancar tanpa hambatan maka dibentuklah WTO. WTO terbentuk mulai 1 Januari 1995 2 merupakan suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen, sebagai lembaga penerus GATT. Dengan terbentuknya WTO, maka GATT sebagai organisasi Internasional berakhir. GATT 1947 kini diintegrasikan ke dalam salah satu perjanjian yang merupakan ANNEX perjanjian WTO, yakni Multilateral Agreement on Trade in Goods. 3 Perkembangan masalah dan prospek perdagangan hasil pertanian dalam perundingan Putaran Uruguay 4 jelas bukan sesuatu hal yang baru. Pembicaraan mengenai perdagangan hasil pertanian dalam Putaran Uruguay tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan lain. Seperti diketahui, dalam Deklarasi Punta del Este 5 yang dikeluarkan pada pertemuan menteri-menteri perdagangan negara-negara anggota 2
Dr. Hata, SH., MH., Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006 Hlm. 87 3 Syahmin AK., SH.,MH., Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, Hlm. 51-52 4 Putaran Uruguay merupakan perundingan multilateral untuk menata kembali aturan main di bidang perdagangan internasional, berlangsung sejak September 1986 hingga akhir April 1994. Perundingan tersebut merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem GATT dan mencegah semakin meningkatnya kecenderungan proteksionisme di berbagai negara penting, terutama di Negara maju. (Op. Cit., H.S Kartadjoemena, Hlm. 3) 5 Deklarasi Punta del Este diselenggarakan di Punta del Este, Uruguay pada September 1986 dan merupakan dasar perundingan Uruguay Round. Dekalarsi tersebut menentukan substansi yang akan dirundingkan maupun cara atau modalitas dari pengendalian perundingan. (Ibid, Kartadjomena Hlm. 6)
2
GATT pada September 1986, terdapat 15 pokok pembicaraan yang disetujui untuk dirundingkan. Di dalam ke-15 pokok pembicaraan ini termasuk pokok-pokok pembicaraan yang bertahun-tahun dibicarakan, seperti pertanian, barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara tropis, tekstil dan pakaian jadi, serta industri yang mengolah sumber daya alam. 6 Perundingan Uruguay Round di bidang pertanian merupakan perundingan yang paling penuh dengan kontrovensi. Hal yang lebih serius lagi adalah bahwa kontrovensi di bidang pertanian merupakan hal yang sangat kritis terhadap sistem perdagangan dunia karena melibatkan 2 (dua) pusat kekuatan ekonomi utama, yakni AS dan UE 7. Berbagai kendala dihadapi dalam setiap perundingan yang membahas masalah di bidang pertanian. Peran 2 (dua) kekuatan ekonomi utama tersebut sangat besar dalam pengambilan keputusan di tingkat multilateral. Terlebih lagi dari sikap AS dan UE mendesak agar negara-negara berkembang untuk dapat membuka pasar sebesar-besarnya untuk produk manufaktur dengan penurunan tarrif pada sektor perindustrian. Sebaliknya negara-negara berkembang menginginkan akses pasar yang lebih besar bagi produk pertanian mereka di AS dan UE, berupa penghapusan kebijakan subsidi dan menurunkan tingkat tarrif . 8
6
Suhadi Mangkusuwondo, Perdagangan dan Pembangunan: Tantangan, Peluang, dan kebijakan Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1992 hlm. 196 7 Uni Eropa (disingkat UE) adalah organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang beranggotakan negara-negara Eropa. Sejak 1 Juli 2013 telah memiliki 28 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht) pada 1992 (http://id.wikipedia.org/wiki/Uni_Eropa diakses pada 4 September 2013 pukul 9:40 am ) 8 http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm BBC News, (Tuesday, 29 July 2008). World trade talks end in collapse diakses pada 4/9/2013 pukul 12:55PM
3
Dalam hal ini UE menjadi kendala dalam perundingan bidang pertanian, dengan tetap mempertahankan pemberian subsidi kepada petani di negara-negara anggota UE. Hal yang dilakukan oleh UE telah menjadi faktor penghambat bagi negara-negara berkembang untuk memasuki pasar pertanian, sehingga produk pertanian negara-negara tidak dapat bersaing dengan produk pertanian UE. Sehingga tercipta perdagangan yang tidak adil, dan mencerminkan tindakan proteksi negara dan regional pada sektor pertanian. Meskipun perundingan tentang sektor pertanian di tingkat WTO telah dimulai sejak putaran Uruguay Round pada September 1986. Dalam perundingan tersebut memiliki agenda tentang pembukaan pasar bagi setiap negara, penurunan tarrif perdagangan, dan bantuan ekspor bagi produk-produk pertanian. Pada November 2001, para anggota WTO mengadakan pertemuan di Doha, Qatar dan menyetujui the Doha Development Agenda yang memiliki tujuan untuk membuka negosiasi, untuk membuka pasar pertanian, barang-barang manufaktur, dan jasa. 9 Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang. Sehingga bersamaan dengan lahirnya WTO pada 1 Januari 1995, maka perjanjian pertanian (AoA) pun mulai efektif diberlakukan. Dengan penandatanganan AoA tersebut, perdagangan produk pertanian secara internasional dan dalam negeri diatur secara ketat dalam kerangka WTO. AoA merupakan isu baru dalam Uruguay
9
http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/country_profiles/2430089.stm, BBC News (Wednesday, 15 February 2012). Timeline: World Trade Organization, diakses pada 4 September 2013 pukul 12:12pm
4
Round, selain jasa dan HAKI. Dengan menempatkan AoA dalam kerangka WTO, secara otomatis WTO memiliki peran sebagai pengendali dan penentu sektor pertanian di negara-negara anggota. Karena, WTO merupakan sebuah peranjian yang bersifat legally binding (mengikat secara hukum). 10 AoA merupakan hasil dari Uruguay Round yang digelar antara tahun 19861994. Ada tujuh 11 putaran sebelumnya tidak dimasukkan sektor pertanian sebagai agenda pembahasan. Sehingga Uruguay Round adalah putaran perdana yang memberikan perhatian pada liberalisasi pertanian yang mengharuskan negara anggota meningkatkan akses pasar, mengurangi bantuan domestik serta subsidi pasar. Perundingan di bidang pertanian meliputi tiga pilar utama, yaitu subsidi/bantuan domestik (domestic support), promosi/subsidi ekspor (export promotion/subsidy), akses pasar (market access). Perjanjian mengenai pertanian masuk ke dalam WTO sebenarnya atas perjuangan negara sedang berkembang. Pada masa putaran Uruguay, negara berkembang merasa bahwa peraturan perdagangan internasional hanya menguntungkan negara maju karena aspek yang dicakupnya memberikan keuntungan komparatif kepada produk negara maju. GATT artikel XVI Section B menyatakan bahwa dengan pemberian subsidi pada setiap produk ekspor akan memberikan dampak kerugian bagi negara lain. Hal ini dikarenakan produk yang menerima subsidi akan memiliki daya saing yang lebih 10
Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian: Ancaman atas Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani, Jakarta: Institue for Global Justice, 2003 Hlm. 72 11 Geneva 1947, Annecy 1948, Torquay 1950, Geneva 1956, “Dillon Round” Geneva 19601961, “Kennedy Round” Geneva 1964-1967, “Tokyo Round” Geneva 1973-1979 ( M Hawin, Bahan Ajar Hukum Dagang Internasional, Fakultas Hukum UGM: Yogyakarta, 2012)
5
baik, dilihat dari segi harga dan kualitas, jika dibandingkan dengan produk yang tidak mendapatkan subsidi. 12 Sehingga perdagangan yang seperti itu sudah pasti akan menimbulkan ketidakadilan dan persaingan yang tidak sehat, karena adanya perlakuan istimewa yang diterapkan dalam perdagangan tersebut. UE meskipun kategori 2 kekuatan ekonomi terbesar dunia, namun di sisi lain UE sangat melindungi sektor pertaniannya. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Uni Eropa CAP merupakan kebijakan pertanian Uni Eropa yang telah disepakati pada tahun 1950-1960-an. Kondisi Eropa pasca perang sangat jauh berbeda kondisi Eropa saat ini. Pada awalnya kebijakan pertanian tersebut dibuat sebagai akibat adanya trauma pasca perang dan kelaparan yang terjadi sebagian besar wilayah Eropa, yang mana untuk menjamin ketersediaan pangan pasca perang Eropa maka masing-masing negara diwajibkan memberikan subsisi kepada petani yang memproduksi produk gandum, anggur, dan susu. 13 Sehingga untuk menangani masalah krisis pangan pasca perang, maka Eropa membuat kebijakan pertaniannya yang dikenal dengan CAP, merupakan kemitraan antara pertanian dan masyarakat, antara Eropa dan para petaninya. CAP sendiri dibentuk tahun 1958 guna meningkatkan produksi, menjamin pendapatan yang layak bagi petani namun tetap menawarkan harga pangan yang terjangkau masyarakat, serta menstabilkan pasar hasil pertanian di UE (Masyarakat Ekonomi Eropa). Melalui
12
Legal Text: The General Agreement on Tarrifs and Trades (GATT 1947) http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_01_e.htm, diakses pada 10:17am 10/09/2013 13 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/05/15/186501/Eropa-UlangKesalahan-Sama diakses pada 10/9/2013 pukul 10:55am
6
CAP, UE memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan bersama menyangkut harga, peraturan, harmonisasi administrasi, subsidi, dan perlindungan pasar pertanian dari persaingan internasional. 14 Namun, pada 30 Juli 1962 negara anggota UE sepakat untuk membentuk usaha bersama dalam kerangka CAP. 15 Adapun tujuan CAP yang tercantum dalam The Treaty of Rome adalah untuk meningkatkan produltivitas pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani, stabilitas pasar, serta memberikan jaminan akan ketersediaan pangan dan harga yang layak bagi konsumen. 16 Sehingga CAP Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan pertanian yang sangat proteksionis di dunia serta memiliki dampak merusak terhadap ketahanan pangan di negara-negara berkembang. Kebijakan CAP UE didukung oleh anggaran sebesar 40 milyar Euro per tahun. 17 Dukungan CAP terhadap petani tersebut berbentuk pembayaran langsung, harga-harga intervensi, fasilitas-fasilitas penyimpanan untuk surplus produksi, dan subsidi-subsidi ekspor. Subsidi-subsidi ekspor CAP tersebut memungkinkan produksi Uni Eropa mampu bersaing dengan produksi petani di negara berkembang. Berbagai
14
Common Agricultural Policy, http://www.indonesianmission-eu.org/website/page309611537200308257532339.asp diakses 4/12/2013 4:45pm 15 Perkembangan Uni Eropa, 16 The Treaty of Rome, http://ec.europa.eu/economy_finance/emu_history/documents/treaties/ rometreaty2.pdf diakses pada 8:56am 19/9/2013 17 Common Agricultural Policy, Ibid
7
hambatan impor Uni Eropa juga telah merebut peluang ekspor kaum petani di negaranegara berkembang. 18 Di negara berkembang yang sebagian besar merupakan negara agraris, sektor pertanian merupakan faktor terpenting untuk mewujudkan ketahanan pangan. Tidak hanya untuk ketahanan pangan, namun untuk menekan angka pengangguran, sehingga adanya hubungan erat antara pertumbuhan pertanian dengan pengurangan kemiskinan pada negara-negara tersebut. Sehingga untuk memperoleh keuntungan maka para petani berupaya untuk menghasilkan panen yang berkualitas agar dapat diekspor ke negara-negara lain. Namun usaha negara berkembang tidak dapat menikmati keuntungan tersebut. Meskipun UE sebagian besar terdiri atas negara maju secara ekonomi, dengan adanya CAP yang sangat melindungi kesejahteraan petani, maka pemberian subsidi terhadap produk lokal sangat diutamakan. Pada awalnya subsidi itu dipergunakan untuk melipat-gandakan produksi pertanian. Dampaknya adalah kelebihan produksi dalam bentuk apa yang disebut lautan susu, gunung mentega dan masih banyak lagi, yang tidak mampu lagi ditampung pasar. 19 Akibat dari kelebihan produksi tersebut, maka UE mengekspor ke negara non UE, negara berkembang dengan harga yang lebih murah. Sehingga yang lebih dirugikan adalah negara berkembang, karena pasar domestiknya dibanjiri oleh produk-produk pertanian dari UE. Sehingga negara berkembang mengalami kesulitan
18
John Madeley, “Loba, Keranjingan Berdagang : Kaum Miskin Tumbal Perdagangan Bebas” (Yogyakarta ; Cindelaras, 2005) diterjemahkan oleh JD. Bowo Santosa, hlm. 105 19 Subsidi Bidang Pertanian Uni Eropa, http://www.dw.de/subsidi-bidang-pertanian-uni-eropa/a4482770-1, diakses pada 4/12/2013 5:04pm
8
untuk memasuki pasar UE, karena produk dari negara berkembang tidak dapat berkompetisi dengan produk UE yang telah mendapatkan subsidi. Dengan produk lokal yang berkualitas maka para pembeli di UE akan lebih memilih produk lokal dari pada produk import. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian negara-negara akan memberikan perlakuan khusus dalam bidang pertanian. Hal tersebut dilakukan guna melindungi produk pertanian dalam negerinya dari produk import, sebagai akibat dari perdagangan internasional. Dalam hal ini CAP telah melukai para petani di negara-negara berkembang dengan dua cara, yaitu menghancurkan produsen-produsen di negara berkembang dengan dumping dan subsidi barang-barang di pasar lokal mereka dan mengurangi potensi ekspor pertanian ke negara-negara berkembang baik ke negara-negara Eropa maupun pasar-pasar pada negara ketiga. Subsidi yang diberikan oleh UE atas produk pertaniannya telah merugikan petani di negara berkembang mencapai US$17 miliar setiap tahunnya. 20 Subsidi merupakan bagian dari hambatan perdagangan internasional. Dengan subsidi pertanian Uni Eropa telah memberikan dampak buruk bagi negara berkembang. Subsidi Uni Eropa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup petani di Uni Eropa, sehingga para petani dapat menjual hasil panennya ke luar negeri dengan harga murah (dumping).
20
VivaNews: Antique, Elly Setyo Rini, Subsidi Pertanian Rugikan Negara Berkembang, Jum'at, 5 Juni 2009 http://o.cangkang.vivanews.com/news/read/63958subsidi_pertanian_rugikan_negara_berkembang diakses pada 11:00am 13/09/2013
9
Subsidi dan dumping yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap bidang pertanian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan aturan WTO. Maka dari itu, perundingan di bidang pertanian merupakan perundingan yang paling penuh dengan kontrovensi. Kontrovensi tersebut tidak hanya berasal dari level internasional saja, melainkan beberapa dari internal Uni Eropa. CAP dianggap berbahaya dan akan merugikan jika tetap dijalankan serta tidak disesuaikan kembali. Oleh sebab itu, CAP harus segera diubah dan diselaraskan dengan aturan-aturan WTO agar tercipta perdagangan yang adil.
B). Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian yang terpapar dari latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan pokok dalam studi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk pelanggaran yang dilakukan UE dengan adanya CAP terhadap Agreement on Agriculture WTO? 2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh CAP terhadap negara berkembang khususnya Indonesia? 3. Bagaimanakah upaya negara berkembang khususnya Indonesia dalam menghadapi kebijakan pertanian Uni Eropa (CAP)?
10
C). Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran yang dilakukan Uni Eropa dengan CAP terhadap WTO, 2. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari CAP terhadap negara berkembang khususnya Indonesia, 3. Untuk mengetahui bentuk upaya-upaya yang dilakukan oleh negara berkembang khususnya Indonesia dalam menghadapi kebijakan pertanian UE.
D). Manfaat Penelitian Penelitian ini akan sangat berguna baik untuk para praktisi maupun akademisi: 1. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum di bidang ekonomi dalam rangka penyempurnaan aturan-aturan yang baik dalam kebijakan pertanian Uni Eropa. 2. Kegunaan Teoritis Penelitian ini pun akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan
11
ekonomi yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang.
E). Keaslian Penelitian Penelitian tentang kebijakan pertanian WTO (AoA / Agreement on Agriclutural ) maupun kebijakan pertanian Uni Eropa (CAP / Common Agricultural Policy) telah banyak dilakukan oleh para peneliti, namun penelitian tersebut ditinjau dari prespektif yang berbeda sehingga dalam dunia pengetahuan tidak ada satu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti yang memiliki persamaan prespektif atau sudut pandang. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Dalam bagian keaslian penelitian ini, peneliti mencoba membuat tabel perbedaan dengan peneliti sebelumnya yang mengambil tema yang sama. Berikut tabelnya: No Nama Peneliti 1
Ardhilla Parama'arta
Jenis Penelitian Thesis 2009
Judul Penelitian
Fokus Penelitian
Diplomasi Uni Eropa Pada perundingan Sektor Pertanian WTO 20012005 (Studi Kasus: Common Agricultural Policy / CAP)
1. Upaya UE dalam memperjuangkan CAP di Forum WTO 2. Kontroversi CAP Uni Eropa di WTO 3. Posisi UE terhadap isu pertanian dalam Doha Development Agenda
12
2
Imelda Diana
3
Fenita Oktaviana
Thesis 2007
Kebijakan Pertanian Bersama Uni Eropa dalam Liberalisasi Perdagangan Dunia
Tinjauan mengenai Agreement on Agriculture (AoA) WTO terhadap Common Agricultural Policy (CAP) Uni Eropa
1. Proses perundingan internasional yang berkaitan dengan perdebatan CAP antara Uni Eropa dengan negaranegara lainnya dalam kerangka WTO. 2. Dampak CAP dalam proses liberalisasi ekonomi dunia 3. Dampak internal dari Uni Eropa terhadap CAP 1. Dampak yang ditimbulkan oleh CAP terhadap negara berkembang (Indonesia), 2. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh UE dengan CAP terhadap AoA WTO, 3. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Negara berkembang (Indonesia) dalam menghadapi kebijakan pertanian UE.
13
F) Tinjauan Pustaka Pada bagian ini memuat uraian secara sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitan pertama dari Ardhilla Parama'arta dengan judul Diplomasi Uni Eropa Pada perundingan Sektor Pertanian WTO 2001-2005 (Studi Kasus: Common Agricultural Policy / CAP), dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa diplomasi yang digunakan oleh Uni Eropa untuk memperjuangkan kepentingan konstituen domestiknya, karena sektor pertanian merupakan suatu kebijakan yang sangat dibutuhkan oleh Komisi Eropa untuk mendanai dan mendukung produktivitas pertanian. Sehingga subsidi ekspor dan bantuan domestik merupaka dua hal pendukung dalam CAP yang sangat berperan penting dalam pertanian Eropa. Penelitian kedua oleh Imelda Diana dengan judul
Kebijakan Pertanian
Bersama Uni Eropa dalam Liberalisasi Perdagangan Dunia. Dalam penelitiannya, beliau memaparkan mengenai CAP yang ditinjau dari perspektif internal dan eksternal. Dari internalnya, perdebatan CAP di antara anggota Uni Eropa sendiri seperti Inggris, Prancis, lalu pro-kontra dalam CAP, serta pencemaran lingkungan dan perkembangan bioteknologi. Dari segi eksternalnya, GATT dan WTO yang mana Uni Eropa dengan CAP-nya harus mengurangi subsidi ekspor pertanian, serta pengurangan proteksionisme dengan pemotongan berbagai bentuk subsidi. Dalam penelitiannya, penulis lebih memfokuskan pada dampak yang ditimbulkan oleh CAP terhadap negara berkembang, serta mengenai bentuk-bentuk proteksionisme yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan CAP-nya, dan upaya yang 14
dilakukan oleh negara berkembang dalam menghadapi CAP Uni Eropa dalam perdagangan Internasional.
G). Metode Penelitian Dalam suatu penelitian jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan penggunaan metode. Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada batasan-batasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendali. 21 Adapun susunan dari metode penelitian yang dibuat oleh penulis sebagai berikut: 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian thesis ini merupakan penelitian yuridis normati, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau datam sekunder belaka melalui studi dokumen. Penelitian yuridis normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, metode penelitian ini dipergunakan untuk membuat uraian secara jelas, sistematis, nyata dan tegas yang kemudian dianalisa untuk mendapatkan fakta-fakta yang diinginkan. Kemudian untuk melihat pengaruh
21
Dr. Johnny Ibrahim, S.H., M.Hum., Teori & Metodologi Peneltian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing: Surabaya hlm. 294
15
ketentuan-ketentuan AoA dalam WTO terhadap ketentuan kebijakan pertanian Uni Eropa serta dampak yang ditimbulkan dari CAP. 2. Bahan Penelitian a. Bahan Hukum Primer, GATT, WTO, AoA, dan Treaty of Rome. b. Bahan Hukum Sekunder, berupa textbook, buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar, tulisan ilmiah, dan bahan-bahan lainnya yang ada relevansinya dengan masalah yang akan diteliti. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti: Kamus besar bahasa Indonesia, Black’s law dictionary, dan Encyclopedia of international law. 3. Analisis Bahan Hukum Adapun metode analisa data dilakukan dengan analisa kualitatif, yaitu suatu cara pendekatan dengan menghubungkan faktor-faktor dan gejala-gejala yang berhubungan dengan penelitian sehingga didapatkan hasil atau jawaban yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
H). Sistematika Penulisan Bab I
: Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari sub bab-sub bab, yang meliputi sub bab pertama tentang Latar Belakang Masalah kebijakan pertanian Uni Eropa yang bertentangan dengan kebijakan pertanian WTO, serta kebijakan perdagangan WTO lainnya. Kemudian sub bab
16
kedua mengenai Identifikasi Pokok Masalah. Pada sub bab ketiga merupakan Tujuan Penulisan. Lalu dibagian sub bab keempat adalah Manfaat Penelitian. Sub bab kelima merupakan keaslian penelitian yang mana peneliti membuat tabel tentang penelitian yang sejenis namun berbeda dalam hal fokus penelitian. Sub bab keenam adalah tinjauan pustaka, sub bab ini merupakan penjabaran dari tabel keaslian penelitian yang dibuat oleh peneliti, sehingga adanya uraian yang membedakan anatar peneliti yang satu dengan yang lainnya. Sub bab ketujuh adalah metode penelitian, yang mencakup paparan tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menelaah permasalahan yang diteliti. Sub bab yang terakhir dari bab ini adalah sistematika penulisan yang berisi mengenai pemaparan secara singkat dari susunan penulisan. Bab II
: Pada bab ini merupakan bab yang berisi konsep-konsep, teori-teori, peraturan-peraturan, yang mana bab II ini akan menjadi acuan dalam menganalisa pokok permasalahan yang ada, sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan analisa dan mencari jawaban.
Bab III : Merupakan metodologi penelitian. Bab III ini diperjelas kembali tentang cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh data sehingga dapat mengolahnya, serta memudahkan penyelesaian pada bab IV.
17
Bab IV : Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Agreement on Agriculture (AoA) yg diatur di dalam perjanjian WTO dan pengaruhnya terhadap kebijakan pertanian Uni Eropa, serta dampak yang ditimbulkan dari CAP. Bab V : Merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis.
18