BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Hakekat lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang adalah untuk melindungi para korban dimana para pelaku dapat dihukum secara maksimal. Maksimal dalam hal ini diharapkan, proses hukum melalui lembaga peradilan mampu memberikan efek jera bagi para pelakunya. 1 Namun seiring perkembangan waktu, permasalahan isu perdagangan orang (khususnya perempuan dan anak) dari waktu ke waktu belum mampu terpecahkan sampai saat ini. Tingkat pemahaman dan daya tangkal masyarakat (perempuan dan anak), tidak mampu menghempang indikasi upaya-upaya para pihak yang tega memanfaatkan sisi kedangkalan pengetahuan dan keluguan dari ketidakmampuan 1
Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Point d “bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama”, serta Penjelasan UU N0. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang alinea 6 dan 7 “UndangUndang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang”. Alinea7 “Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
ekonomi para target, meskipun secara kasat mata itu bisa dipastikan oleh pemangku Negara dan pelaku bisa menyebabkan kesengsaraan dan kenestapaan pada setiap orang yang akan melewati dan menjalani perekrutan dan ajakan terhadap pencarian tenaga kerja tersebut. Perdagangan orang kerap terjadi dalam lingkup jejaring kejahatan terorganisir, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dampak dari kejahatannya, telah menjadi ancaman bagi masyarakat, bangsa dan negara. Semakin hari jumlah korban semakin besar jumlahnya 2, meskipun dalam beberapa pemberitaan dan media on line atau jejaring sosial 3 selama ini kerap menghiasi mass media atau media elektronik, pemahaman dan kewaspadaan dalam diri masyarakat belum mampu memberikan keyakinan akan dampak pemberitaan. Kejahatan perdagangan orang atau yang di kenal dengan istilah “Human Trafficking” 4 merupakan satu bentuk kejahatan tindak pidana yang sangat sulit diberantas dan dalam kesepakatan internasional, bentuk kejahatan ini dikenal dengan sebutan “perbudakan modern” dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bentuk 2
Unicef for every child Health, Education, Equality, Protection Advance humanity, “Lembar Fakta tentang Eksploitasi Seks Komersial Seks dan Perdagangan Anak” www.humantrafiking/indonesia/id/factsheet_CSEC_traffiking_indonesia_Bahasa_Indonesia.pdf diakses pada tanggal 17 Februari 2014, pukul 15.07 wib. 3 Sindo news.com, Polisi Bongkar Penjualan Orang Melalui Dunia Maya/Jumat, 7 Desember 2012 4 Human trafficking mempunyai arti yang berbeda bagi setiap orang. Awalnya pengertian perdagangan manusia terutama perempuan dan anak, selalu dikaitkan secara eksklusif dengan prostitusi, dengan sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan pada aspek ini. Namun kemudian perdagangan didefenisikan sebagai perpindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan , didalam suatu Negara atau ke laur negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan, sehingga mempunyai defenisi itu mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan. Lihat Ruth Rosenrnberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, (Jakarta: ICMC dan Acils, 2003) hal. 11.
kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Mulai dari perkembangan modus operandinya, baik dengan cara membujuk, merekrut, mengirim, menampung dan tidak jarang juga dilakukan dengan cara kekerasan, pemaksaan, serta teror sampai dengan cara penculikan. Bentuk pemaksaan lainya juga kerap dilakukan dengan menyalagunakan kekuasaan terhadap kedudukan yang rentan atau dengan perjanjian utang sampai dengan tujuan pelacuran. Berdasarkan “Victims of Trafficking and Violence Protection Act 2000” yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Indonesia pernah dikategorikan dalam posisi Tier-2 (sebelumnya Tier-3) 5. Artinya pemerintah Indonesia meskipun telah meratifikasi beberapa Konvensi yang di keluarkan oleh PBB, namun masih dianggap sebagai negara yang tidak peduli dan tidak memiliki komitmen yang memadai dalam mengatasi permasalahan perdagangan orang (trafiking). Dan perkembangan isu kejahatannya, dalam Protokol PBB-Palermo yang ditanda tangani di Sisilia-Italia, mendeklarasikan perdagangan orang (Trafiking) merupakan kejahatan dengan nilai keuntungan terbesar ke-3 (tiga) setelah kejahatan senjata dan peredaran narkotika, menitiktekankan secara politik bagi negara yang menghormati kesepakatan Internasional itu bertanggung jawab melaksanakan kewajibannya. Penyadaran dalam media sosialisasi dilakukan, dengan titik penyadaran dampak dan akibat langsung sebagai upaya menggugah tanggungjawab bersama agar dapat menurunkan angka calon korban yang bisa saja mengalami penderitaan fisik
5
Sulistyowati Irianto, dkk, “Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, (Yayasan Obor Indonesia-Jakarta, 2006), hal 3
seperti cacat, kerusakan organ tubuh, gangguan reproduksi, HIV/ AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) bahkan sampai kepada kematian 6, secara mental dan pisikhis korban juga kerap mengalami depresi, trauma dan goncangan yang fase penyembuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama. 7 Penyebab pola tingkat kejahatan perdagangan orang
semakin marak dan
subur itu disebabkan karena faktor kemiskinan, lapangan kerja terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, pola hidup yang instan atau konsumtif serta faktor budaya yakni perkawinan dini, dan ditambah lemahnya sistem penegakan hukum, sehingga melanggengkan makin tingginya kejahatan itu. Rekam jejak data terhadap kasus perdagangan orang, tercatat 70% modus perdagangan orang dilakukan lewat penempatan tenaga kerja yang illegal (kedalam dan luar negeri) dan 20% menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dimana penyebabnya adalah factor kemiskinan. 8 Dampak praktek pelanggengan tindak kejahatan perdagangan orang semakin marak dan berkembang, diyakini dan terungkap dari pemerintah, modus tindakannya dilakukan secara terorganisir dan
6
International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Database Counter-Traffi cking & Labour Migration Unit, (Maret 2005 – Juni 2011): Data tersebutmenggambarkan fakta-fakta kekerasan yang dialami oleh korban baik secara fisik, psikis, dan medis: Terkait dengan data medis, dari keseluruhan korban sebanyak 3,943 orang, terdapat 1,431 ditemukan mengidap infeksi menular seksual (PMS), 41 orang terkena HIV positive, 115 terkena Hepatitis B. 7 Ibid: Terkait dengan psikis korban, 30% korban dari total korban mengalami Post-trauma stess symtoms, 73% mengalami Depression symtoms seperti merasa bersalah, sulit tidur, berat badan menurun drastis, dan tidak tertarik untuk melakukan kegiatan apapun dll. 8 Sambutan Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam Rakornas Perlindungan perempuan dan anak Tgl 21 July 2013 (Denpasar-Bali)
sindikat berjaringan, bertujuan untuk mengeksploitasi korban demi keuntungan pelaku. 9 Konsep kebijakan hukum (criminal policy), terhadap isu perdagangan orang (trafiking) secara tegas, Negara telah menyusun komitmennya dalam berbagai kebijakan tertulis guna melakukan perlindungan, pencegahan dan penegakan hukum dalam semua lini, niat baik dan komitmen itu tertuang dalam beberapa kebijakan yaitu : Tabel. 1 Acuan Kebijakan Hukum Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Nasional Lokal UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pers Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak 10 UU No. 2 Tahun 2007 Tentang Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang Kepolisian 11 RAP Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Pergubsu No. 53 Tahun 2010 ttg RAP Perlindungan Saksi dan Korban 12 Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pergubsu No. 54 Tahun 2010 ttg Gugus Pemberantasan Trafiking 13 Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu UU No. 14 Tahun 2009 tentang Pergubsu No. 20 Tahun 2012 tentang 9
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bahan dalam Rapat Kerja Komite III DPD RI, (Jakarta: 18 Mei 2010), hal 7 10 Pasal 4-14 Bab III Pencegahan Trafiking (Izin bekerja), Pemberian suart jalan dan surat pindah, pembentukan gugus tugas task force trafiking 11 Pasal 13, “Tugas pokok Kepolisian RI (Memelihara keamanan, 2. Menegakan Hukum 3 Memberikan Perlindungan dan Pengayoman dan Pelayanan Kepada Masyarakat” 12 Pasal 3 (titik point hak yang diterima korban dan calon korban perdagangan untuk memperoleh penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi dan kepastian hukum”) 13 Pasal 56-63 Bab VI-VII (Pencegahan dan Penanganan, KerjasamaInternasional dan Peran Serta Masyarakat)
Ratifikasi Protokol Palermo untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-anak melengkapi Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir PP No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
PSO Pelayanan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak di Provsu
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Medan Reg No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn sebagai bukti penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang dalam memaksimalkan putusan pengadilan
Pepres No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas
Penanggulangan kejahatan pada sisi penegakan hukum (penal policy), memiliki keterbatasan hanya accidental semata, sifatnya mengurangi gejala kejahatan sementara saja (kurrien am symptom), tidak sebagai obat dalam penyelesaian penyakit masyarakat. Artinya kedudukan hukum pidana (penal policy)
hanya
dibutuhkan setelah kejadian terjadi yang bisa saja, saat proses penanganan dan penegakan hukum dalam upaya pencarian keadilan, korban merasa tidak puas dan tidak tuntas. Frekuensi perkembangan kasus kejahatan perdagangan orang dari waktu kewaktu, khususnya di Sumatera Utara dalam setiap tahun, perkembangannya meningkat secara tajam. Hal ini dimungkinkan secara geografis Sumatera Utara merupakan satu wilayah strategis sebagai tempat “penyalur, tujuan dan transit” dalam proses perdagangan orang. Hasil temuan perkembangan data kejahatan perdagangan orang dari 5 tahun terakhir terangkum dalam Tabel yaitu :
Tabel. 1 Rekapitulasi Data Kejahatan Perdangan Orang dalam 5 Tahun Terkhir Polda/Sej
Biro
PP, PKPA
ajaran
Anak dan
Pusaka
WCC/LBH
Indonesia
-Apik
KKSP
KPAID
Total
KB
2009
6
2010
5
3
2
11
1
3
31
1
1
3
1
3
3
12
2011
16
6
2
4
-
3
3
34
2012
18
21
3
14
-
-
9
65
2013
4
24
34
1
-
-
6
69
Total
44
57
43
24
12
7
24
Sumber : Biro PP, Anak dan KB Setda Provsu
Bagi beberapa korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang diatas, hukum tidak lebih dari setumpuk aturan yang dibingkai dengan perpaduan serta alunan kata-kata yang indah. Yang syarat dengan bahasa para dewa namun miskin makna ketika dibenturkan dengan realitas dalam penegakan hukumnya. Hukum dipandang seakan kehilangan ruhnya, jika harus bertatap muka dengan segelintir malaikat pencabut nyawa yang diberi oleh title penguasa atau kekuasaan, akan tergilas hingga rasa keadilan bagi para korban kerap terabaikan sebut saja, seperti pantauan penegakan hukum terhadap beberapa korban dalam table di 2 (dua) tahun terakhir mengalami beberapa kendala yakni : a. Diawal 2012, terhadap nasib seorang Pembantu Rumah Tangga asal Jawa Tengah yang telah diperbudak selama 25 tahun. 14 Dengan modus pengangkatan anak, namun diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Hampir 7 bulan lamanya nasibnya terombang-ambing dalam upaya pencarian jati diri dan keluarganya serta keadilan yang diharapkannya. Hingga akhirnya saat korban telah menemukan jati diri keluarga yang sebenarnya. Pengharapan 14
Harian Media Indonesia, tanggal 14 Maret 2012, Hal. 10
bisa berkumpul dan bertemu kembali terkendala karena urusan prosedur penyidikan dan proses pemberkasan yang belum selesai, yang hingga akhirnya setelah 7 bulan menunggu korban kembali kekampung halamnnya, hingga saat ini, setelah 2 (tahun) proses pengaduan pintu keadilan atas perlakuan majikan yang diterimanya kerap tidak kunjung bisa terbuka (Polresta melakukan SP3 laporan korban Tersangka meninggal dunia); 15 b. Pertengahan tahun 2012 lalu, 7 (tujuh) gadis belia, asal NTT yang bermaksud mencoba mengadu nasib, karena tawaran yang mengaku pengusaha asal Medan untuk bekerja di Medan dan Malaysia yang ditawarkan bekerja sebagai penjaga Toko dan Pembantu Rumah Tangga. Namun kesepakatan yang ditetapkan antara pencari kerja dan pengusaha tidak sesuai dengan yang dijanjikan, akhirnya para calon tenaga kerja berusaha melarikan diri dan meminta perlindungan PPA Polresta Medan. Namun perjuangan dalam upaya pengharapan perlindungan, yang mereka terima sedikit panjang dan rumit, bahkan berliku-liku ketika mereka telah memasuki ranah dalam pemeriksaan sebagai korban dari pihak Polresta Medan, hingga mereka berhasil dipulangkan ke kampung asal pengaduan tidak pernah ditindak lanjuti 16; c. Sama halnya pada pertengahan 2013 lalu, 6 (enam) perempuan pencari kerja yang berasal dari berbagai Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera. Mereka terpaksa harus melewati rintangan, saat berupaya menyelematkan diri dari sekapan majikan yang ingin mempekerjakan mereka tanpa kesepekatan awal. Mereka telah ditawarkan dan diiming-imingi disalah satu Toko Pemilik Yayasan Tenaga Kerja, meskipun penolakan dan juga ketidak mauan korban, dikarenakan tidak sesuai dengan pekerjaan yang telah dijanjikan, mereka justru mendapatkan penyiksaan dari sang majikan hendak mengurungkan niatnya meminta pulang. Saat mereka tetap komit melakukan penolakan tidak bersedia bekerja perlakukan kasar dan bahkan penyekapan dalam ruang isolasipun tak terelakan para korban, tanpa diberi makan dan minum hingga berhari-hari. Akhirnya saat memiliki kesempatan mereka berhasil melarikan diri dari tempat penampungan dan berupaya mencari keadilan di Polresta Medan, hingga kini kasus tidak mampu diproses secara hukum oleh pihak aparat 17; d. Awal tahun 2014, 5 (lima) korban yang merupakan gadis belia yang hendak diperdagangkan ke negri jiran tetangga. Pihak imigrasi Tanjung Balai berhasil menggagalkan penyeludupan saat hendak melakukan penyebrangan, guna meminta perlindungan dan penegakan hukum para korban mencari keadilan di 15 16 17
Dokumen P2TP2A Sumut Tahun 2012 Dokumen Pusaka Indonesia Tahun 2012 Ibid Tahun 2013
Renakta Polda Sumatera Utara, proses perekrutan hingga proses pengiriman ke Malaysia dengan passport resmi yang dikeluarkan merupakan jaringan yang luar biasa yang mampu mulus dalam pengurusan berbagai persyaratan pengiriman TKI illegal. Guna kemaksimalan dalam pengungkapan sindikat serta treatment dalam upaya efek jera, pengaduan tertulis dilakukan di Renakta Poldasu, setelah 3 bulan lebih pengajuan pengaduan proses pemeriksaan masih seputaran pemeriksaan saksi belum masuk dalam tahap pemeriksaan yang lebih maju di Renakta Polda Sumut (Tersangka tidak diketahui keberadaannya); 18 e. Akhir Februari 2014, terungkapnya penyekapan terhadap 22 orang korban (pekerja Walet dan Rumah Tangga) asal NTT di Kompleks Family No. 77-79 Jl. Brigjend Katamso, Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor, sebagai bukti adanya perbudakan modern yang dilakukan warga Medan selama 3-4 tahun lamanya terhadap pekerjanya. Mereka dipekerjakan dalam dunia usaha sang majikan dan disisi lainnya mereka juga dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa pernah di beri upah. Kasus terungkap setelah jatuhnya salah satu korban yang sengaja dikembalikan oleh majikan ke tempat asal, karena merasa keberatan akan perlakuan yang mereka terima pihak keluarga melaporkan kebiadaban dari majikan tersebut, peristiwa ini membuktikan pelegalan perbudakan yang berada ditengah-tengah masyarakat Medan; 19 Berangkat
dari
kasus-kasus
tersebut
diatas
upaya pencegahan
dan
perlindungan hukum dari pihak penegak hukum atau institusi pemerintah, terkesan tidak menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya secara maksimal”. Artinya hakikat hukum dan tujuan hukum dalam penegakan hukum bagi para korban perdagangan orang (penal) tidak tercapai 20. Sebagaimana diharapkan dalam konteks penindakan dalam penegakan hukum dalam memberi efek penjeraan setiap pelaku. Jeratan pasal dalam pemenuhan unsur tindak pidana Perdagangan Orang (Trafiking) cendrung tidak mampu terpenuhi, 18
P2TP2A Sumut, Op.cit 2014 Dokumen Polresta Medan, Tahun 2014 20 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Peradilan) termasuk interpretasi UU (Legisprudence) Vol. I, (Kencana Prenada Group, 2009), hal. 206 19
dalam mempermudah para penegak hukum terhadap pemenuhan unsur, dibeberapa kesempatan pembekalan telah tersosialisasi skematis yang digambarkan seperti dibawah ini 21: Skema. 1 Pemenuhan Unsur Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 2, ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 Unsur Sabjektif : Setiap Orang Unsur Objektif
Proses Merekrut
+
Mengangkut
Jalan/Cara Mengancam
+
Memaksa
Tujuan Prostitusi Pornografi
Memindahkan
D
Menculik
D
Kekerasan
Mengirim
A
Menipu
A
Eksploitasi Seksual
Menampung
N
Memalsukan
N
Kerja paksa
Menerima
Mencurangi
Perbudakan atau praktek
Berbohong
serupa perbudakan
Menyalagunakan kekuasaan 1
+
1
+
1
Untuk korban diatas 18 tahun 1 saja setiap kategori terpenuhi maka kasus tersebut memenuhi unsur trafiking, persetujuan korban tidaklah relevan
Kedudukan pencegahan dalam arti penegakan hukum (penal policy) adalah untuk menjamin upaya perlindungan para korban perdagangan orang tidak terlepas dari kemauan dan keinginan para alat-alat Negara yang berwenang dalam menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki para korban. Diperkirakan 21
Orang
Pasal 2 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
kemauan dan keinginan dari para pemangku kebijakan itu telah mampu melakukan upaya pencegahan dan perlindungan dapat dilihat dari wujud dan hasil keputusan yang diambil ditengah-tengah masyarakat 22. Hukum bukan merupakan kaidah yang bebas nilai, manfaat dan mudharatnya semata-mata tergantung kepada manusia yang menjadi pelaksananya. Satjipto Raharjo mengemukakan, bahwa hukum tidak berjalan sendiri-sendiri, karena hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan karena manusialah yang menjalankan hukum (cara manusia berhukum). Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagian manusia. Singkatnya hukum memiliki logika sendiri, tujuan sendiri dan kehendak sendiri dan hukum membutuhkan kehadiran manusia untuk mewujudkannya. Penanggulangan kejahatan lewat jalur kebijakan “non penal” bertindak sebelum terjadinya kejahatan dimana sasaran utamanya adalah penangan terhadap factor-faktor penyebab terjadinya kejahatan berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan perdagangan orang tersebut. Temuan
kasus
diatas
upaya
“preventive”
yakni
:
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi akan sangat membantu dalam memperkecil jumlah korban. Artinya konsep kebijakan penanggulangan kejahatan dalam upaya non-penal harus memiliki kedudukan yang strategis dan
22
M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik & Hukum edisi 2, (PT. Sofmedia, 2011) hal 56
tujuan bersama sehingga efektifitas dan intensitas dalam pengurangan korban meningkat. Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 56 menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan dalam pencegahan sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 57 disebutkan bahwa (1) Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. Berdasarkan data dan fakta rujukan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis, dari UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang berupaya komit untuk melibatkan semua unsur dalam pencegahan. Meskipun dalam praktek sehari-hari upaya pelibatan semua pihak itu cendrung melemah dan tidak maksimal berjalan. Pelibatan semua lini atau masyarakat dari tatanan kebiasaan masyarakat, sebagai modal besar dimana masih kuat menjunjung filosofi nilai-nilai budaya, yang bisa dijadikan kekuatan dan tolok ukur dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan peran serta dalam pencegahan kejahatan. Misalnya konteks tradisi batak yang masih menjunjung tinggi simbol “Anak ko ki hamaoraon diau” atau konsep dalihan
natolu 23 (somba marhula-hula, elek marboru dan manat mardongan tubu) dimana jika dimaksudkan makna dalam konsep yang tertanam “anak mu merupakan anak ku dan anak ku merupakan anak mu”. Secara kasat mata konsep rasa memiliki bersama atas keselamatan dan perlindungan dilakukan secara bersama-sama. Begitu pula konsep adat minang. Kearifan lokal yang tertanam sebagai norma yang berlaku di masyarakat yang diyakini kebenarannya sebagai acuan dalam bertindak dan berprilaku sehari-hari dan merupakan entitas dalam penentuan harkat dan martabat komunitasnya dalam adat minang yakni : “adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah” 24 yang dipandang mampu melakukan upaya pencegahan dalam pengendalian sikap dan prilaku bagi para anak dan remaja dalam pergaulan sehariharinya. Gambaran pola kerja pencegahan dan perlindungan UU No. 21 Tahun 2007 dalam upaya merangkul semua lini untuk terlibat dalam pencegahan sedini mungkin tindak pidana perdagangan orang yaitu :
23
Kebijakan Pencegahan Perdagangan Orang melalui pendekatan kearifan local (Deputi Bidang Perlindungan Perempuan-Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Tahun 2012 hal 26 24 Ibid, hal 14
Skema. 2 Rangkuman Kebijakan Kriminal UU No. 21 Tahun 2007 dalam upaya Pencegahan dan Perlindungan Korban Perdagangan Orang Pendekatan Non Penal (Pendekatan di luar hukum pidana)
Pola Pola Pencegahan dan Perlindungan UU No. 21 Tahun 2007
Pendekatan Penal (Penerapan Hukum Pidana) Pelaku (trafiker) Proses pemeriksaan
Setelah terjadi kasus
Pencegahan Sebelum terjadinya kasus Internasional Pemerintah Pusat
Perlindungan korban Polisi Jaksa
Pemerintah Daerah Gugus Tugas
P2TP2A atau PPT
Peran serta masyarakat
Hakim
Pemulangan Reintegrasi Sosial
Persidangan
Rehabilitasi Penjara, Administrasi dan Ganti
Kesehatan Sosial
Restitusi Rangkuman UU TPPO
Skema diatas cukup jelas menggambarkan adanya proses pelibatan berbagai pihak, guna sinergitas yang diharapkan dalam kebijakan secara integral, dalam upaya pencegahan kejahatan.
Secara luas kalau di hubungkan dalam konteks ”politik
sosial” adanya pemenuhan keterlibatan peran serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat dibutuhkan sebagai pihak yang terdepan, yang dapat mengetahui keberadaan atau terjadinya kejahatan pidana, khususnya perdagangan orang tersebut. Meningkatnya tingkat kejahatan merupakan satu persoalan yang berdimensi sosial dan kemanusiaan, dimana penyebabnya juga timbul dari berbagai multi kompleks permasalahan, penangannya juga melibatkan penanganan diluar dari
jangkauan hukum pidana. Hukum pidana tidak akan mampu melihat secara dalam tentang akar masalah terjadinya kejahatan di masyarakat. Pendekatan sosial atau sosiologis sebagai ilmu bantu dalam memadukan keampuhan hukum pidana tersebut. Dari kebijakan kriminal (criminal policy) khususnya kebijakan non penal sebagai upaya pencegahan dan penanganan dengan melibatkan masyarakat serta kerjasama terfokus baik Pusat, Daerah dan juga Internasional merupakan satu cara dan kunci yang tepat guna memperkecil tingkat kejahatan terjadi, apabila efektif dan sinergis berjalan penangan dan jumlah korban dapat berkurang dan tertangani. 25 Kebijakan kriminal yang baik bagaimana kebijakan itu mampu mengatur keselarasan dan ketertiban masyarakat. Melihat konteks kebijakan kriminal non penal lebih memberikan ruang sinergitas dari berbagai kepentingan dari kelompok masyarakat akan lebih memudahkan pencapaian tujuan kesejahteraan sebagai mana yang telah dirumuskan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) 26 sebagai sasaran fokus utama Negara dalam penurunan angka kemiskinan, peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapanganan kerja seluas-luasnya. Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas, sangatlah penting dan menarik untuk menggali, mengkaji dan membahas tentang potensi-potensi Criminal Policy dalam kajian tesis yang khusus membahas “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking)” (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara). 25
Lihat UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang , Bab VII Kerjasama dan Peran Serta Masyarakat Pasal 59-63. 26 RPJP Point 3 dalam Rancangan Awal RPJPN Tahun 2005-2025
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis membuat rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana Kebijakan Non Penal dalam regulasi secara Nasional dan Lokal khususnya Sumatera Utara terkait pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang (trafiking) ; 2. Bagaimana upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang di Sumatera Utara; 3. Apa kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non Penal dalam upaya pencegahan dan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking) di Sumatera Utara? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk Kebijakan Non Penal dalam regulasi secara Nasional dan Lokal (Sumatera Utara) terkait upaya pencegahan dan perlindungan korban perdagangan manusia (trafiking); 2. Untuk mengetahui upaya penguatan Kebijakan Non Penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang (trafiking) di Sumatera Utara;
3. Untuk mengetahui kelemahan dan kendala implementasi Kebijakan Non Penal dalam upaya pencegahan dan melindungi korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking) di Sumatera Utara.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian dapat memberi manfaat secara teori dan praktek yaitu : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya hukum pidana, khususnya tentang satu bentuk kejahatan terorganisir yang popular dengan nama “human trafficking”. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan bahan masukan bagi individu-individu maupun pihak lain yang berkepentingan, khususnya aparat penegak hukum, pemerintah provinsi, pemerhati masalah perdagangan orang, dalam upaya pencegahan sedini mungkin dalam mewujudkan upaya perlindungan korban dan antisipasi dini dalam tindak pidana perdagangan orang (trafiking).
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan informasi, pengamatan dan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian mengenai : “Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking)
(Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)” ini, belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawakan secara keilmuan akademis. Hasil penelusuran kepustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), ada beberapa judul yang berkaitan dengan permasalahan pencegahan isu perdagangan orang (trafiking) seperti : 1. Rosmaida Feriana, 2008, Upaya Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking); 2. Bambang Haris Samosir, 2007, Analisis Yuridis Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang setelah keluarnya UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Study Kasus Pengadilan Negeri Medan); 3. Hotlarasida Girsang, 2009, Penanggulangan Kejahatan Trafiking melalui UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 4. Saptono, 2009, Analisis Yuridis Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Trafiking in person sebagai transnational crime; 5. Daniel Mario H. Sigalingging, 2004 Pertanggung jawaban PJTKI dalam kasus human trafiking; 6. Rauli Siahaan, 2007, Wewenang Penyidik Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Trafiking; 7. Wawan Irawan, 2008, Analisis Yuridis Tindak Pidana Human Trafiking Sebagai Kejahatan Extra Ordinary Crime.
Hasil rekap penelusuran diatas dipastikan bahwa penelitian proposal ini memiliki perbedaan subtansi penelitian yang hendak diteliti dan sudah tentu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi Pencapaian tujuan penelitian dan dalam rangka menjawab permasalahan,
diperlukan beberapa teori dan konsep untuk menganalisis tanggung jawab pemerintah dalam mewujudkan kebijakan non penal dalam upaya mencegah lebih banyaknya korban tindak pidana dan keterlibatan peran serta masyarakat sebagai wujud partisipasi dalam pengurangan tindak kejahatan perdagangan orang (trafiking). 1.
Kerangka Teori Kerangka teori dalam penulisan ilmiah ini sangat penting, sebagai pisau
analisis bagi peneliti guna memecahkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan. Proses upaya pencegahan diberbagai tataran aparatur pemerintah masing-masing memiliki satu kebutuhan khusus namun terkadang upaya dan sasarannya memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Sama halnya dalam konteks hukum, yang dipandang memiliki banyak wajah, dikalangan ilmuwan hukum yang akhirnya tidak memiliki persepsi yang sama terhadap pengertiannya, 27 cendrung menjustifikasi
kendala
dan
kelemahan
gerakan
dalam
upaya
pencegahan/penanggulangan kejahatan (politik kriminal) yang tidak maksimal berperan di masyarakat. Dimana hal itu menunjukan sering sekali konteks teori dan prakteknya, tidak mampu menjawab satu permasalahan yang terjadi khususnya yang menyangkut kelompok-kelompok yang termarginalkan.
27
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, “Metode Penelitian Hukum konstelasi dan Refleksi” (Yayasan Obor, 2011), hal 173
Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana di kemukakan oleh G. Peter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah 28 “satu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam melakukan penanggulangan dilakukan melalui : a. Criminal policy is the science of responses “kebijakan kriminal merupakan ilmu tanggapan”. b. Criminal policy is the science of crime prevention “kebijakan kriminal merupakan ilmu pencegahan”. c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “kebijakan criminal merupakan kebijakan yang dapat merubah prilaku manusia untuk berbuat lebih baik”. d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “kebijakan criminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”. Konsep tersebut untuk memudahkan kita memahami teori kebijakan kriminal diatas, dirangkai dan digambarkan secara khusus dalam skema yaitu 29 :
28
Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, (Kencana Perdana Media group), 2011, hal 45 29 Peter Hoefnagles, The Other Side of Criminology, An Inversion of the concept of crime, (Kluwer-Deventer, Holland), 1972, hal 56
Skema. 3 Teori Pencegahan Peter Hoefnagels Science
Allied Science
DISCIPLINES
VICTIMOLOG Penology (Gen, theory of punishment, sentencing and effect of sentence)
Crime Antropology Crime Psychology
Gen Theory of crime process
Crime Sociology Crime Crime Statiscs
Etilogy Cause
THEORY GEN CRIMINOLOGY PRACTICE AND APLICATION
Crime Policy Influencing views of society on crime and i
Social Work Theory Journalis
Crim Policy
Law enforcement
Crim law application (practical criminology) Adm of crim justice in narrow sence (Crim legislation, crim jurisprudence, crim process in wide sense-Judicial, physical scientife, social scientife) Forensict psychiatry and psicology Forensic social work Crime, sentence execution and notice statice
Soc policy
Prevention without punistment Soc Policy
Community planning menthal healt Nat menthal healt soc work child welfare Administrative & civil law
Uraian konsep diatas menjelaskan bahwa akhir dari tujuan kebijakan kriminal bagaimana memampukan antara kebijakan sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) dengan upaya perlindungan (sosial
defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan dalam kebijakan kriminal (penal dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa kebijakan kriminal meliputi : 30 “criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of sosial policy” (Kebijakan kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislatife dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial “diterjemahkan oleh penulis). Sinergitas teori pencegahan diatas diakaitkan dengan rumusan latar belakang pola alur kinerja dari UU No. No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, erat kaitanya dengan konsep teori yang digambarkan G. Peter Hofnagels bagaimana semua disiplin ilmu menjadi bagian dari kebijakan kriminal sebagai upaya pencegahan kejahatannya yang ditempuh lewat: a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) secara penal; b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) secara non penal c. Mempengaruhi
pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punistment/mass media) yang juga merupakan pendekatan non penal. Kebijakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dari konsep diatas menekankan upaya pendekatan penanganan terhadap penyebab kejahatan itu terjadi 30
Ibid, hal 57
sebagai bagian masalah sosial secara langsung dan tidak langsung dapat menimbulkan tumbuh suburnya kejahatan sehingga dimungkinkan pencegahan non penal ini mempunyai kedudukan yang penting jika difungsikan dan diefektifkan dalam mengurangi korban perdagangan orang lebih banyak lagi. Sebagaimana dalam upaya peran media massa dalam melakukan pengaruh terhadap pandangan masyarakat sebagai bagian dalam pendekatan non penal, tidak secara mendalam penulis bahas dalam bagian penelitian ini. Harapannya bisa dilakukan penelitian khusus dikesempatan lain guna pembahasan yang lebih mendalam lagi untuk melengkapi penelitian tesis ini. Kerangka teori lainnya, sebagai bagian yang cukup penting dalam memberikan kemungkinan pada asumsi dan fakta dalam sinergitas upaya pencapaian kebijakan non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang adalah pendapat dari Jhon Baldoni yang dikemukakan oleh Achmad Ali, tentang optimalisasi pencapaian tujuan hukum terletak pada factor model kepemimpinan dan komunikasi. Komunikasi yang optimal bagian elemen yang cukup penting yang dapat membangun “trust” atau kepercayaan sub elemen yang satu dengan sub elemen yang lain, agar dapat bergerak sinergi dalam pencapaian sistem hukum tersebut. 31 2.
Kerangka Konsepsi Guna memberikan gambaran yang lebih jelas serta menghindari penafsiran
ganda terhadap penelitian ini, maka perlulah dibuat kerangka konsep agar tidak 31
Achmad Ali, dikutip secara tidak langsung “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judiciao Peradilan) termasuk interpretasi UU (Legisprudence) Vol. I, (Kencana Prenada Group,2009). hal. 204
terjadi pemaknaan ganda dalam penelitian. Guna memberikan pemahaman yang sama atas istilah yang berhubungan dengan penelitian ini, untuk itu diberikan pengertian operasional terhadap istilah-istilah tersebut, yaitu : 1.
Kebijakan adalah : Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana dalam melaksanakan suatu program, kegiatan, kepemimpinan, serta cara bertindak (dalam organisasi, pemerintahan) 32.
2.
Kebijakan Non Penal adalah : Upaya pencegahan tindak pidana diluar hukum pidana, yang lebih menitik beratkan pada upaya “preventive” (Pencegahan, penangkalan dan pengendalian) sebelum kejahatan itu terjadi 33. Dari defenisi diatas Kebijakan Non Penal yang dimaksudkan penulis juga meliputi upaya pencegahan diluar hukum pidana dari seluruh institusi yang bertujuan melakukan pencegahan dan perlindungan bagi korban dengan menitik beratkan kepada upaya-upaya preventif sehingga kejahatan itu tidak terjadi dan terulang kembali.
3.
Upaya adalah : usaha untuk mencapai suatu maksud atau tujuan, dalam memecahkan satu persoalan guna mencari solusi atau jalan keluar 34.
32
http://kamusbahasaindonesia.org/kebijakan, Kamus besar Bahasa Indoensia , diakses pada tanggal 16 Juli 2014, pukul 18.30 33 Dikutip secara tidak langsung dari Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru” Kencana Prenada Media Group, 2011. hal 46 34 http://kamusbahasaindonesia.org/kebijakan, Kamus besar Bahasa Indoensia , diakses pada tanggal 16 Juli 2014, pukul 18.30
4.
Pencegahan adalah : proses yang bertujuan menanggulangi, dimana penangannya berpusat kepada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.
5.
Perlindungan adalah : Proses atau cara yang di lakukan guna penyelamatan dari bahaya atau kejahatan 35. Perlindungan yang coba didalami penulis berdasarkan defenisi diatas adalah : Segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban sesuai dengan PSO TPPO (Prosedur Standart Oprasional Tindak
Pidana
Perdagangan
Orang)
berupa
(Rehabilitasi,
Reintegrasi,
Pemulangan dan Bantuan Hukum). 6.
Korban adalah : orang yang menderita, luka atau mati karena suatu kejadian atau peristiwa, perbuatan jahat 36 Selain pengertian tersebut diatas yang dimaksud penulis Korban juga adalah : Orang yang mencari keadilan dikarenakan penderitaan pisikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial akibat dari tindak pidana perdagangan orang.
7.
Tindak Pidana adalah : Setiap perbuatan atau tindakan yang berakibat merugikan korban yang telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.
8.
Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau perbuatan yang telah memenuhi unsur
35
proses
“perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
http://kamusbahasaindonesia.org/kebijakan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada tanggal 16 Juli 2014 36 http://kamusbahasaindonesia.org/kebijakan, Kamus Besar Bahas Indonesia, diakses pada tanggal 16 Juli 2014, pukul 18.30
pemindahan, dengan cara atau jalan “penerimaan, pengancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan prostitusi, pornografi, kekerasan seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek serupa yang mengakibatkan orang tereksploitasi. G.
Metode Penelitian Dalam penulisan karya ilmiah, metode penelitian merupakan suatu unsur
penting dan mutlak dilakukan guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini. 37 Penelitian ini menekankan pada prosedur penelitian kwalitatif secara utuh dengan mengambil model sampel terhadap pemikiran tentang kebijakan non penal dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang sebagai konsistensi kebijakan tertulis dan tidak tertulis dalam masyarakat. Adapun beberapa langkah yang digunakan dalam metode penelitian ini : 1.
Jenis dan Sifat penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian yuridis normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan konsep-konsep hukum, norma-norma hukum dan nilai-nilai keadilan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini, sejauh mana para pemangku kebijakan 37
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Opcit, 308
menerapkannya 38. Penelitian yuridis normatif mempergunakan bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai bagian data sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat dapat digolongkan ke dalam (Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier). 39 Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur efektivitas hukum yang mampu dipahami dan di operasikan di kalangan aparatur sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran SKPD terkait, Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memilki persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doktrin terhadap hukum. 40 Dimana dalam penulisan ini akan menguraikan mekanisme regulasi hukum dan sosial yang telah dihasilkan, sebagai bagian dari pelayanan masyarakat untuk melakukan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. 2.
Sumber Data Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif digolongkan
kedalam 3 (tiga) bagian yang diperoleh dari :
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia-Jakarta, 1986), hal 50 39 Ibid, hal. 51 40 Ibid, hal 53
a. Bahan hukum primer terdiri dari UU No. 44 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, PP No. 9 Tahun 2008 Tentang Tata cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perda Sumut No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 24 Tahun 2005 Tentang RAP Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Pergubsu No. 53 Tahun 2010 Tentang RAP Penanganan Tindak Pudana Perdagangan Orang, Pergubsu No. 54 Tahun 2010 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provsu, Pergubsu No. 20 Tahun 2012 Tentang PSO (Prosedur Standart Pelayanan) Terhadap Korban TPPO khususnya Perempuan dan Anak di Provsu serta Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn tentang Kasus pengabulan Hak Restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. b. Bahan hukum sekunder, seperti : Hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar dan pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum Tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder di luar bidang hukum yang relevan digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 41 Sedangkan bahan hukum dalam penelitian yuridis empiris berasal dari hasil observasi, wawancara mendalam (in-depth interview), dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada informan yang dianggap layak khususnya para pemangku kebijakan dan khususnya inisiator yang melahirkan kebijakan daerah dalam permasalahan isu yang dibahas. Dan jika dimungkinkan akan diperdalam lagi dengan focus group diskusi kepada para informan yang akan dijadikan sumber informasi. 3.
Teknik Pengumpulan Bahan Seluruh data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik study
kepustakaan (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap relevan. Selanjutnya pengumpulan data primer yang dilakukan melalui wawancara melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terlibat dalam mekanisme kebijakan non penal dalam pencegahan perdagangan orang yaitu : Kepolisian (Unit Sub Dit Renakta Polda Sumut dan PPA Polresta Medan), Biro PP, Anak dan KB setda Provsu, Dinas Sosial Provsu, Dinas Kesehatan Provsu, Dinas Tenaga Kerja Provsu, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara, Rumah Sakit Polda Bhayangkara Sumut dan Organisasi Sosial (LSM) sebagai unit yang dianggap penting
41
Soerjono Soekanto, Op.cit, hal 52.
penanggung jawab dalam upaya penyadaran dan pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Guna pengujian dan pengukuran kesadaran sikap dan pencapaian dari mekanisme regulasi yang ada, akan dikembangkan lebih lanjut sebagai tolok ukur dari kempauan pemahaman kelompok-kelompok penting yaitu tokoh masyarakat, agama dan adat, pihak jurnalis sebagai pihak yang dianggap cukup penting dalam peningkatan pemahan dari pencapaian media masa yang bertujuan pencegahan perdagangan orang secara non penal. 4.
Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara kwalitatif yang dilakukan mulai
dari proses pengumpulan data, identifikasi dan analisis dari bahan hukum sekunder terkait pencegahan dan penangan isu perdagangan orang secara nasional dan lokal. Lalu dilakukan study lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis bagaimana hukum dan kebijakan pencegahan itu bekerja dan diupayakan hingga berimplikasi kepada tujuan pencegahan yang diharapkan. Selanjutnya untuk mendapatkan data empirik tentang pengalaman makna dari tujuan hukum atau kebijakan terhadap otoritas dan tanggung jawab masing-masing pihak sehingga dapat diuraikan secara sistematis hubungan akar masalah dan strategi dalam membangun pendekatan sinergitas, dalam menemukan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. Studi lapangan ini dilakukan di lingkup institusi Pemerintahan baik Kepolisian dan SKPD terkait, serta organisasi sosial sebagai penggiat kemanusian dan tokoh masyarakat yang layak di wilayah hukum Provinsi Sumatera Utara.