BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan. Diciptakannya Adam dan Hawa yang kemudian ditempatkan di bumi merupakan cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia menurut ajaran agama Islam adalah sebagai pemimpin khalifah Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut “Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat Al Isra ayat 70 yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Keinginan suatu keluarga khususnya suami istri untuk mendapatkan anak adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu,
1
Universitas Sumatera Utara
2
tidak ada penghalang dari sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil. Upaya keras pasangan yang ingin memiliki keturunan yang dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian besar, pada akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan mengadopsi atau mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup dalam keluarga tersebut. Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, Bangsa Arab sebelum Islam (jahiliah). Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya, bahkan beliau tidak lagi memanggilnya berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah menjadi nama Zaid bin Muhammad. Rasulullah juga mengumumkan pengangkatan Zaid sebagai anak angkatnya di depan kaum Quraisy dan menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.1 Kutaibah bin Sa’id menceritakan dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa “Kami tidak memanggil (Zaid Bin Haritsah) melainkan kami panggil Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Al-Qur’an “Panggillah mereka dengan
1
Abdul Aziz Dahlan (et. al.), Eksiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1996, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
3
nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.2 Hal ini juga dikuatkan dengan dengan firman Allah Surah Al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang berbunyi “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”3 Jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan ayah dan ibu angkat dan akan angkat tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab, dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Dengan demikian, pe-nasab-an Zaid bin Haritsah menjadi Zaid bin Muhammad tersebut dibantah oleh ketentuan dalam hadits dan Al Qur’an.4 Mengenai pengangkatan anak dalam perkembangan hukum di Indonesia proses pengangkatan anak pada awalnya diatur berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 7 April 1979 No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dikatakan antara lain bahwa :
2
Muslim, Shahih Muslim, Juz 15, Hadits No. 6215, Dar Al Manar, Kairo, 2003, hal. 163, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI, Jakarta, 2000. 4 Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005, hal 84. 3
Universitas Sumatera Utara
4
“Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri, dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri”. Dengan demikian, setiap kasus pengangkatan anak harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri.5 Namun, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menyebutkan ada penambahan dalam kewenangan Pengadilan Agama tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.6 Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk dapat dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah atau nasab/keturunan.7 Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut. Dengan mengangkat anak dalam suatu keluarga diharapkan supaya ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya. Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari 5 Muderis Zaini,.. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 112. 6 Musthofa Sy., Pengangkatan Anak: Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008, hal 62. 7 Ibid, hal 78
Universitas Sumatera Utara
5
pengangkatan anak tersebut. Arif Gosita mengatakan bahwa masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan dihargai.8 Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain adalah : 1. Ingin mempunyai keturunan 2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena kesepian; 3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya; 4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan pengangkatan anak; 5. Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.9 Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh kerena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum
8 9
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hal. 42. Shanti Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 29
Universitas Sumatera Utara
6
Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya. Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi : “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.10 Pengertian pasal ini mengandung makna bahwa anak angkat harus dan tetap mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua angkatnya sebagai pengganti warisan dalam menjaga keseimbangan hak dalam keluarga. Jadi, dalam hal ini anak angkat tetap mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya akan tetapi bukan dalam bentuk warisan melainkan dalam bentuk Wasiat Wajibah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 di atas sebagai wujud keadilan antara sesama anggota keluarga.11 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, telah mengamanatkan bahwa pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas
10
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta (1991/1992), hal. 104 A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 254. 11
Universitas Sumatera Utara
7
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Pegawai negeri mempunyai peranan yang sangat penting karena pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kelancaran pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional terutama sekali tergantung pada kesempuraan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung juga dari kesempurnaan pegawai negeri (sebagai bagian dari aparatur negara).12 Dalam menjalankan kehidupan sebagai warga masyarakat pegawai negeri sipil juga membutuhkan kehidupan dalam berkeluarga yang lengkap, di mana di dalamnya terdapat anggota keluarga dari sebuah perkawinan dengan adanya anak sebagai curahan buah cinta kasih. Namun demikian, terdapat pula pegawai negeri sipil yang telah melangsungnya perkawinan tetapi belum memiliki anak. Padahal anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Kondisi ini juga mendorong pasangan suami isteri pegawai negeri sipil tersebut melakukan juga upaya pengangkatan anak. Dalam merealisiasikan
12
SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
8
pengangkatan anak tersebut pihak pegawai negeri sipil yang bersangkutan juga berhadapan dengan statusnya sebagai pegawai negeri yang dalam membiayai kehidupan keluarga dari gaji yang dibayarkan oleh pemerintah. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 7 UU No. 43 Tahun 1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian bahwa : 1) Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya. 2) Gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. 3) Gaji pegawai negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji pegawai negeri harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga pegawai negeri yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji pegawai negeri yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar pegawai negeri maupun antara pegawai negeri dengan swasta. Sedangkan gaji yang layak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan dapat mendorong produktivitas dan kreativitas pegawai negeri. Dengan
kata
lain,
dalam
hal
pemeliharaan
anak
dalam
keluarga
pegawai negeri sipil menerima tunjangan dalam daftar gaji yang diperuntukkan bagi anak. Tunjangan anak diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mempunyai anak atau anak angkat yang berumur kurang dari 21 tahun, belum pernah kawin, tidak
Universitas Sumatera Utara
9
mempunyai penghasilan sendiri dan nyata-nyata menjadi tanggungan pegawai negeri sipil
yang bersangkutan yaitu sebesar 2% dari gaji pokok untuk tiap-tiap anak
sebanyak-banyaknya 2 orang anak sudah termasuk anak angkat. 13 Tunjangan anak yang dimaksud adalah tunjangan
yang diberikan kepada
pegawai negeri yang mempunyai anak (anak kandung, anak tiri dan anak angkat) dengan ketentuan, antara lain : 1. Belum melampaui batas usia 21 tahun, 2. Tidak atau belum pernah menikah, 3. Tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan 4. Nyata menjadi tanggungan pegawai negeri yang bersangkutan.14 Guna memperoleh tunjangan anak dari seorang pegawai negeri sipil harus dibuktikan dengan adanya kelangkapan berupa : 1. Surat Keterangan Kelahiran Anak dari pejabat yang berwenang pada Kantor Catatan Sipil/lurah/camat setempat, 2. Surat Keputusan Pengadilan yang memutuskan/mensahkan perceraian dimana anak menjadi tanggungan penuh janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang bercerai, 3. Surat Keterangan dari lurah/camat bahwa anak-anak tersebut adalah perlu tanggungan si janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang suami/isterinya meninggal dunia, 13 14
Annonomous, Tunjangan Keluarga / KP4, http://www.inkepeg.net/ Diakses Maret 2012 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
10
4. Surat Keputusan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak (hukum adopsi) untuk tunjangan anak bagi anak angkat (apabila pegawai mengangkat anak lebih dari 1 anak angkat, maka pembayaran tunjangan anak untuk anak angkat maksimal 1 anak) Hal ini tentunya bagi pegawai negeri sipil diperlukan adanya suatu upaya lain yang dilakukan agar anak yang diangkat oleh seorang pegawai negeri sipil tersebut dapat memperoleh tunjangan dalam daftar gaji sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kondisi inilah yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai keberadaan anak angkat dalam keluarga pegawai negeri sipil dan kaitannya dengan keberadaannya di dalam daftar gaji pegawai negeri sipil yang bersangkutan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut akan ditelaah lebih lanjut tentang pengaruh penetapan pengadilan agama terhadap hak anak angkat atas tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian
dengan judul “Pengaruh Surat Penetapan
Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21/Pdt.P/2010 Pengadilan Agama Medan)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
dapat
dikemukakan
beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak bagi Pegawai Negeri Sipil muslim di Pengadilan Agama ?
Universitas Sumatera Utara
11
2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim dilihat dari pandangan hukum Islam ? 3. Apakah akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajuan pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim di Pengadilan Agama. 2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama atas pengangkatan anak 3. Untuk mengetahui akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim D. Manfaat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya, terutama mengenai pengaruh penetapan pengadilan
terhadap hak anak atas
tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil. 2.
Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada pasangan pegawai negeri sipil yang akan melaksanakan pengangkatan anak, agar lebih mengetahui tentang persyaratan yang harus
Universitas Sumatera Utara
12
dipenuhi, hak dan kewajibannya dalam pengangkatan anak serta pengaruh penetapan pengadilan terhadap hak anak atas tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan,
tidak ada
kesamaan dengan penelitian ini. Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas ,masalah tentang pegawai negeri sipil, seperti penelitian yang dilakukan oleh : 1. Rachmad Surya Lubis (002105004), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditinjau dari Kitab UU Hukum Acara Pidana (suatu penelitian di Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah 3 Kisaran). 2. Bambang Sutedjo (027005029), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Reformasi Kepegawaian Dalam Otonomi Daerah Studi Pembinaaan Pegawai Negeri Sipil Kota Medan. 3. Syukri Rahmat (017011060), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Hak Janda dari Pegawai Negeri Sipil Setelah Terjadinya Perceraian.
Universitas Sumatera Utara
13
Dengan demikian penelitian tentang “Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,15 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.17 Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama, maka pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki dua kewenangan, Pertama: kekuasaan relatif (relative competentie) yang diistilahkan oleh Ridhwan Syahrani sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan Agama yang
15
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. Ibid., hal. 203 17 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 16
Universitas Sumatera Utara
14
satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,18 dan Kedua: kekuasaan mutlak (absolute competentie).19 Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini, tentunya dalam Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan. Pengadilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan ”perkara perdata tertentu ”dikalangan”golongan tertentu yakni orang-orang Islam”. Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan Agama mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian mengalami penyeragaman setelah berlakunya UU No 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006, perkara perdata itu adalah bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kemudian dengan yang sekarang telah dirubah Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama kewenangan Pengadilan Agama juga mengalami perluasan. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich yang dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”20 Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai polapola kebudayaan (culture pattern).21
18
Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hal. 30 19 Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 205-206. 20 Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19. 21 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
15
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan jika dewasa ini, peradilan agama mengalami perluasan kewenangan mengingat “…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan dengan cara dan tempat penyelesaiannya.”22 Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan dapat diselesaikan melalui jalur hukum, tidak dengan cara main hakim sendiri.23 Eman Suparman mengutip pendapat Friedman mengatakan bahwa, perluasan kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem.24 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.25 Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang 22
David N. Schiff, “Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial”, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan “Sociological Approaches to Law”, terj. Rnc. Widyaningsih dan Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 287. 23 Eman Suparman. Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, 2010, hal 13. 24 Ibid., hal 14 25 Ibid., hal 14
Universitas Sumatera Utara
16
menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia. Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa : Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.26 Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsurunsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.27
26
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55. 27 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
17
Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak oleh pegawai negeri sipil dan akibat hukumnya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam suatu keluarga merupakan anak angkat. Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun sosialnya. Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan (anak). Memiliki keturunan (anak) merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan (anak), maka solusinya adalah dengan mengangkat anak. Di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
Universitas Sumatera Utara
18
bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Selanjutnya di dalam Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Universitas Sumatera Utara
19
Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.28 Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut proporsi yang sebenarnya secara mendetail, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak. Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa Pengangkatan anak terdiri atas : 1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan 2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia meliputi : 1. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan 2. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
28
Rianto Sitorus, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (SK Menteri Sosial RI NO.13 / HUK / Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, FH, USU Medan, 2008.
Universitas Sumatera Utara
20
Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan uang serta penyerahannya sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan anak.29 Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal ini sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak. Hal ini tentunya juga tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengangkatan anak yang dalam batas-batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak. Kelihatan jelas perbaikan segi fisik, meteriilnya. Hal yang sulit diketahui, dijajaki adalah peningkatan segi mental, spiritual kesejahteraannya. Kecukupan kemakmuran materiil tidak dapat dipakai sebagai ukuran kepastian adanya kebahagiaan, kemakmuran spritual yang lestari. Permasalahan mental, spritual akan timbul apabila anak sudah mulai berpikir kritis. Hal ini apabila tidak ditangani secara bijaksana akan menimbulkan pertentangan-pertentangan antar orang tua dan anak angkat, yang dapat berakibat perpecahan hubungan orang tua dan anak yang lebih muda. Salah satu faktor pendukung perpecahan ini adalah hubungan orang tua dan anak yang tidak asli serta tidak alamiah (keputusan pengadilan antara lain). 30
29
30
Rianto Sitorus, Op.Cit, hal 12. Shanty Delliana, Op.Cit, hal. 34
Universitas Sumatera Utara
21
2.
Konsepsi Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut : 1.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31 Di dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga catatan sipil.32
2.
Anak angkat adalah Anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh seseorang. Pengangkatan anak orang lain oleh seseorang yang menjadikan anak adopsi (anak angkat) itu berstatus sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik dalam lingkungan Hukum Adat maupun dalam lingkungan Hukum Perdata berdasarkan undang-undang.33
31
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5. 33 Ibid., hal. 5. 32
Universitas Sumatera Utara
22
3.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.34
4.
Surat Penetapan Pengadilan adalah adalah surat penetapan yang dikeluarkan pengadilan untuk mengasahkan adanya peristiwa pengangkatan anak.
5.
Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6.
Pengadilan Agama adalah bagian dari peradilan umum yang berwenang mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam.
G. Metode Penelitian 1.
Sifat dan Jenis Penelitian Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan
penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji di Pengadilan Agama Medan. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
34
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Melalui Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal . 45. Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Universitas Sumatera Utara
23
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.35 Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan. Namun demikian, pnelitian ini juga didasarkan pada pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada normanorma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenarankebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undanagn yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. 2.
Sumber data Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang
diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Peraturan perundang-undangan 35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
24
b. Teori hukum perkawinan dan keluarga 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia. Selain itu, sebagai data pendukung diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Medan tentang pengangkatan anak dan pengaruhnya bagi pegawai negeri sipil muslim dalam daftar gaji. 3.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai
berikut : a.
Penelitian kepustakaan (library research) Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan
pengaruh surat penetapan
Universitas Sumatera Utara
25
pengadilan atas warga negara Indonesia beragama Islam bagi pegawai negeri sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan. b.
Penelitian Lapangan (field research) Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian yaitu tentang pengaruh surat penetapan pengadilan atas warga negara indonesia beragama Islam bagi pegawai negeris sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan. Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Medan. Metode yang digunakan yaitu wawancara dengan narasumber baik responden maupun informan. Responden yaitu menyatakan responden merupakan
pemberi
informasi
yang
diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan. 36 Informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian. 37 4.
Alat Pengumpulan Data Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 36
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71, 37 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
26
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang berhubungan dengan pengaruh surat penetapan pengadilan atas warga negara indonesia beragama islam bagi pegawai negeri sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan b. Wawancara38 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)39. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview). 5.
Analisis Data Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder
secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
38
Herman Warsito, Op.Cit, hal 71. Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara. 39
Universitas Sumatera Utara