BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Allah telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, di mana Allah telah menyampaikan ide tentang penciptaan manusia itu kepada para malaikat. Kemudian para malaikat menyampaikan rasa keberatan atas kehendak Allah untuk menciptakan manusia karena justru akan menimbulkan kerusakan di muka bumi juga akan melahirkan kerugian bagi sesama manusia yang lain. Para malaikat menyanggah: “Bukankah kami selalu memuji-Mu dan selalu bertasbih kepada-Mu”. Mendengar hal ini Allah berseru kepada sekalian malaikat: “Aku (Allah) mengetahui apa-apa yang tidak engkau ketahui” (Q.S. al-Baqarah: 30).1 Untuk itulah maka Allah menetapkan aturan-aturan yang berupa hukum untuk mengontrol perbuatan manusia. Dengan adanya berbagai permasalahan yang muncul dan terus berkembang itulah manusia berusaha untuk mencari jalan keluarnya di lapangan hukum, baik itu berupa hukum wad’î maupun hukum taklîfî.2 Akan tetapi semua permasalahan itu belum tentu dapat ditemukan ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah seiring dengan telah terhentinya wahyu. Padahal berdasarkan pada penelitian para ulama al-Qur’an merupakan sumber hukum yang lengkap dan bersifat universal
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Karya Toha Putra, 1992), 5. 2 Hukum wad’î adalah firman Allah yang berhubungan dengan sebab adanya yang lain atau berfungsi sebagai syarat, penghalang adanya yang lain atau batalnya sesuatu. Sedangkan hukum taklîfī adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik atas dasar iqtidâ’ ataupun takhyîr. Ahmad Abdul Madjid, Usûl Fiqh (Pasuruan : Garuda Buana Indah, 1994), 8.
1
2
serta selalu relevan untuk diterapkan di sepanjang zaman.3 Di samping itu hukum Islam yang diundangkan bukan sekedar untuk menakuti manusia dan menunjukkan kekuasaan Allah semata, akan tetapi sebagai bukti bahwa Allah benar-benar mencurahkan sifat kasih dan sayang-Nya dan sebagai bukti bahwa hukum Islam itu diundangkan adalah untuk kemaslahatan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
< َ =ِ?@َAَBDْ @ِ Fً ?َ G ْ َرJ I ك ِإ َ AَMDْ N َ ْ َأرAَPَو “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”4 Berangkat dari prinsip untuk mencari kemaslahatan inilah maka para ulama dan para pakar hukum Islam berupaya untuk mengembangkan hukum Islam dan berusaha untuk mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Adapun metode yang lazim digunakan oleh para ulama adalah qiyâs, istihsân, maslahah mursalah, dan sadd al-dharî’ah. Di antara metode tersebut di atas para mujtahid memilih mana yang tepat untuk dipergunakan dalam rangka mengembangkan hukum Islam, akan tetapi perhatian yang paling besar dari para mujtahid tertuju pada metode penetapan hukum dengan menggunakan maslahah mursalah. Maslahah mursalah merupakan dalil shara’ setelah al-Qur’an, al-Hadîth, ijma’ dan qiyas. Akan tetapi, keberadaan maslahah mursalah untuk dijadikan dasar mengambil kesimpulan hukum Islam justru menjadi pertentangan di
3
Al-Qur’an dan al-Sunnah melengkapi sebagian besar dari hukum Islam, kemudian para sahabat dan tâbi’în menambahkan berbagai macam hukum untuk menyelesaikan kemusykilankemusykilan dalam masyarakat, maka hukum Islam dapat dikatakan sebagai hukum- hukum yang bersifat umum yang diterapkan pengembangannya sesuai dengan situasi dan kondisi. Hasby AshShiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), 29. 4 Al Quran dan Terjemahannya, 315.
3
kalangan para ahli usûl. Sebagian dari mereka menerima dan sebagian yang lain menolak. Buku Kaidah-Kaidah Hukum Islam karya Abdul Wahhab Khallaf menyebutkan bahwa di antara argumen dari para ulama yang menolak untuk menggunakan maslahah mursalah, yang pertama adalah : bahwa shari’at harus menjaga manusia dengan nas-nas melalui petunjuk qiyas. Yang kedua, menentukan hukum dengan menggunakan maslahah mursalah berarti telah menentukan hukum dengan mengikuti hawa nafsu, terutama di kalangan para pemimpin5 Di antara ulama yang berselisih pendapat tentang kehujahan maslahah mursalah sebagai metode istinbat adalah ulama dari golongan Zâhirîyah, Ash’ârîyah, sebagian dari ulama Shî’ah, ulama Mâtûrîdîyah, sebagian ulama Hanâbilah dan Mâlikîyah.6 Dalam skripsi ini penulis mencoba mengkaji tentang pandangan alShawkânî terhadap maslahah mursalah yang dibahas dalam kitab Irshâd alFuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq Min ‘Ilm al-Usûl, yang mana kitab ini adalah karya terbesar al-Shawkânî dalam bidang Usûl al-fiqh. Dalam kitab ini al-Shawkânî mengemukakan pendapat secara obyektif tanpa menunjukkan fanatisme madhhabnya.7 Karena keobyektifannya inilah kitab Irshâd al-Fuhûl dipakai sebagai salah satu pedoman di perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan dikaji di pesantren-pesantren salaf yang beraliran Shâfî’îyah (Sunni).8
5
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 129. 6 Abdul Aziz Dahlan ”As Shawkani”, Suplemen Ensiklopedi Islam, Vol.2, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 189. 7 Ibid. 8 Ibid.
4
Sejauh ini memang sudah banyak karya tulis dan kitab yang membahas tentang maslahah mursalah. Akan tetapi belum ada yang membahas secara spesifik tentang pendapat al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah. Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis tergerak untuk menulis skripsi ini dengan judul PANDANGAN AL-SHÂWKANÎ TERHADAP MASLAHAH MURSALAH (Kajian Kitab Irshâd al-Fuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq Min ‘Ilm al-Usûl).
B.
Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahpahaman antara penulis dengan pembaca, maka perlu dikemukakan arti dari istilah-istilah penting yang ada dalam karya tulis ini. 1.
Maslahah secara etimologis adalah lawan dari kata mafsadah. Maslahah berarti manfaat, guna, dan faedah.9
2.
Mursalah mempunyai arti sama dengan kata mutlaqah, artinya adalah yang “terlepas”. Maksudnya terlepas dari ketentuan dalil yang telah ada.
3.
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shawkânî (1173-1250 H), sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam adalah seorang ulama yang menganut aliran Shî’ah Zâydîyah.10
4.
Irshâd al-Fuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usûl adalah kitab usul fiqh karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shawkânî .
9
Rahmat Syafe’i, Ilmu Usul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 117. Dahlan ”As Shawkani”, Suplemen Ensiklopedi Islam, 189.
10
5
C.
Rumusan Masalah 1.
Bagaimana pengertian maslahah mursalah menurut al-Shawkânî?
2.
Bagaimana kehujjahan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum menurut al-Shawkânî?
3.
Bagaimana relevansi maslahah mursalah al-Shawkânî dengan hukum Islam di Indonesia?
D.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah: 1.
Untuk mengetahui pengertian maslahah mursalah menurut persepsi alShawkânî
2.
Untuk mengetahui kehujjahan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum menurut al-Shawkânî.
3.
Untuk mengetahui bagaimana relevansi maslahah mursalah al-Shawkânî dengan hukum Islam di Indonesia.
E.
Kegunaan Penelitian Dalam setiap penelitian diharapkan dapat memberi manfaat atau kegunaan, adapun studi ini diharapkan berguna untuk:
6
1.
Kegunaan Teoritis Untuk menambah pengetahuan tentang konsep maslahah mursalah menurut salah satu ulama, di mana maslahah mursalah adalah sebagai maqâsid al-sharî’ah.
2.
Kegunaan Praktis Sebagai bahan acuan dan bahan kajian untuk diteliti lebih lanjut dan diharapkan dapat memberikan sumbangsih kepada masyarakat untuk lebih jauh memahami hukum Islam dan mengetahui pendapat dari salah seorang tokoh, khususnya al-Shawkânî.
F.
Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu penelitian dengan lebih ditekankan pada karya-karya pustaka. Penelitian ini
merupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang
memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/topik kajian, sehingga penulis lebih bebas dalam menyusun formatnya sesuai kebutuhan.11 Dalam hal ini penulis mengkaji dan menelaah karya al-Shawkânî khususnya dalam bidang Usūl fiqh. Pembahasan ini lebih difokuskan lagi pada konsep maslahah beserta dengan maslahah mursalahnya yang terangkum dalam kitab Irshâd alFuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usûl.
11
M. Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 18.
7
2.
Data Penelitian Data yang diperlukan oleh penulis dalam penelitian ini terdiri dari: data tentang batasan-batasan maslahah menurut al-Shawkânî. Data tentang kehujjahan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum menurut al-Shawkânî serta data tentang penerapan maslahah mursalah alShawkânî dalam hukum Islam di Indonesia. Data - data tersebut diperlukan karena pokok bahasan penulis adalah mengacu pada hal-hal yang sudah tertuang dalam rumusan masalah, sehingga analisa-analisa penulis mengenai rumusan masalah mempunyai dasar data-data konkret yang tidak diragukan kevalidannya.
3.
Sumber Data Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah buku-buku karya al-Shawkânî yang menjadi rujukan dalam penulisan, antara lain: Irshâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Usûl dan Nayl al-Awtâr yang memuat tentang hadith-hadith yang ditulis oleh al-Shawkânî. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku dan kitab-kitab yang penulis rujuk untuk melengkapi bahan data primer yang meliputi: ’Ilm Usûl al-Fiqh karya Abdul Wahab Khallaf, Kitab al-Bayân karya Abdul Hamid Hakim, Jurnal Hukum el-Qisth dari UIN Malang, kitab Usûl al-Fiqh al-Islâmî karya Wahbah al-Zuhayli, al-Mustasfâ min ‘Ilmi al-Usûl karya Imâm al-Ghazâlî, Usûl al-Fiqh karya Abû Zahrah, serta buku-buku lain yang relevan dengan penelitian ini.
8
a.
Metode Analisa Data Penulis
mengumpulkan
data
yang
digunakan
untuk
merumuskan hasil penelitian berupa konsep maslahah al-Shawkânî yang bersumber dari kitab Irshâd al-Fuhûl, konsep maslahah alGhazali (450 H – 505 H) yang bersumber dari kitab al-Mustasfâ dan al-Shâtibî (730 H – 790 H) yang bersumber dari kitab al-Muwâfaqât serta
literatur
lain
yang
berkaitan.
Setelah
memilih
dan
menyederhanakan data-data yang sudah terkumpul sehingga menjadi suatu bentuk data yang masih kasar, penulis menyusun data tersebut dan menyajikannya sedemikian rupa kemudian ditarik kesimpulan. Hal ini dimaksud untuk memperoleh gambaran data yang jelas sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu dapat membantu pemecahan masalah yang ada dan dapat dipakai untuk memperjelas kesimpulan. Dengan mengacu kepada hal tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data menggunakan teknik non statistik. Teknik yang dimaksud adalah analisis deskriptif. Dalam analisis deskriptif, data yang dianalisa berupa kata-kata, sehingga laporan penelitian ini akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian. Data-data tersebut kemudian dianalisis dan disajikan agar dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan penelitian.12
12
Ibid, 89.
9
Sedangkan untuk menarik kesimpulan dari penelitian ini maka penulis berusaha untuk mereview temuan-temuan penelitian yang terdahulu yang relevan dengan permasalahan penelitian melalui proses berfikir dari umum ke khusus.
G.
Telaah Pustaka Untuk mendukung data-data yang penulis sajikan dalam skripsi ini, maka penulis melakukan studi dan telaah pustaka. Dari hasil penelitian dan studi pustaka terhadap skripsi-skripsi hasil karya mahasiswa terdahulu, penulis belum menemukan skripsi yang membahas tentang pandangan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah, tetapi penulis hanya menemukan skripsi yang berjudul Maslahah dalam KHI.13 dan skripsi yang membahas tentang perbedaan konsep maslahah menurut al-Ghazali (450 H – 505 H) dan al-Shatibi (730 H – 790 H).14 Untuk itu skripsi ini penulis sajikan untuk menambah wacana tentang maslahah mursalah.
H.
Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini maka penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan garis besar sebagai berikut. Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pola dasar dari skripsi yang berfungsi untuk memberikan gambaran secara umum dari seluruh isi skripsi, meliputi: 13
Atik Lum’atul Hauro, “Maslahah Dalam KHI”, Skripsi (STAIN Ponorogo, 2003). Ahmad Mubarok, “Maslahah menurut al-Ghazalî dan al-Shatibî” (studi komparatif) Skripsi (STAIN Ponorogo, 2003). 14
10
latar belakang, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika pembahasan. Bab kedua adalah maslahah mursalah sebagai metode penetapan hukum, bab ini berfungsi sebagai landasan teori yang bertujuan untuk membandingkan pandangan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah dengan ulama selain dirinya. Bab ini berisi
pengertian maslahah, pembagian maslahah dalam
pandangan ahli usûl, kemudian karena sebagai landasan teori adalah konsep maslahah menurut al-Ghazâlî dan al-Shâtibî, maka selanjutnya penulis menjelaskan tentang maslahah mursalah menurut al-Ghazâlî dan al-Shâtibî yang meliputi pengertian maslahah mursalah, batasan-batasan maslahah mursalah dan kehujjahan maslahah mursalah, dalam bab ini penulis menjabarkan tentang alasan-alasan para ulama yang menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah hukum dan argumen ulama yang menolak untuk menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Secara garis besar, bab ini berfungsi sebagai landasan teori yang bertujuan untuk menunjukkan perbedaan konsep maslahah mursalah menurut para ulama terutama ulama pembawa arus besar maslahah mursalah dengan pendapat alShawkânî. Bab ketiga adalah maslahah mursalah menurut al-Shawkânî, bab ini sebagai inti dari pembahasan dalam skripsi. Isi dari bab ini adalah biografi Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shawkânî, dalam hal ini dijelaskan tentang nasab dan tempat kelahirannya, riwayat pendidikannya, aqidah dan aliran madhhabnya. Kemudian maslahah mursalah menurut al-Shawkânî, yang mencakup pada pengertian maslahah mursalah, maslahah dan maslahah
11
mursalah dalam bab qiyas, maslahah mursalah al-Shawkânî dalam bab istidlâl, kemudian kehujjahan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum. Bab keempat berisi analisa terhadap pendapat al-Shawkânî tentang maslahah mursalah, dan penerapan maslahah mursalah al-Shawkânî dalam hukum Islam di Indonesia. Bab ini membahas relevansi pendapat al-Shawkânî dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, merupakan inti dari penulisan skripsi ini. Bab kelima adalah sebagai bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saransaran.
12
BAB II
MASLAHAH MURSALAH SEBAGAI METODE PENETAPAN HUKUM
A.
Pengertian maslahah Maslahah secara bahasa berarti kebaikan, faedah, guna atau manfaat. Terma maslahah seakar dengan kata al-sulh dan al-salâh
(dDe@ح \اie@)ا
sebagai lawan kata dari al-fasad. Dengan demikian, dari sisi ilmu shorof kata maslahah pola dan maknanya sama dengan manfa’ah. Dalam bahasa Indonesia kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) menjadi “maslahat” yang berarti sesuatu yang mendatangkan faedah, guna atau kebaikan.15 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan), faedah, guna. Contoh: perbaikan jalan itu membawa maslahah bagi rakyat. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, dan kepentingan. Contoh: seorang dermawan banyak beramal untuk kemaslahatan manusia.16 Dalam bahasa Arab maslahah berarti perbuatan yang mendorong manusia pada kebaikan, atau dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan, seperti
15 16
Istibsjaroh,”Dawabith al-Maslahah,” el qisth, 1 (2004), 23. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 720.
13
menghasilkan keuntungan. Maslahah juga bisa diartikan dengan menolak atau menghindarkan, seperti menolak kerusakan. Berarti maslahah bisa dimaknai dari dua sisi yaitu menarik atau menghindarkan. Pemberian makna maslahah juga bisa dari dua bentuk, yaitu dalam bentuk hakiki adalah kesenangan dan kenikmatan. Dan dalam bentuk majazi maslahah adalah sebab yang mendatangkan kesenangan dan kenikmatan.17 Dengan begitu maka kesimpulan penulis maslahah merupakan ungkapan yang bersifat umum, artinya bisa berupa benda, perbuatan, ataupun berupa perantara, asal bisa memberikan manfaat atau kegunaan pada manusia maka itu dinamakan dengan maslahah. Sedangkan dalam buku-buku bacaan seperti dalam buku fiqh ataupun usul fiqh yang membahas tentang maslahah, kita sering menemukan kata masâlih, maslahah, masâlih al-mursalah, limasâlih al-anâm, jalb al-masâlih, dan lain sebagainya. Kata masâlih merupakan bentuk jamak dari kata maslahah.18 Karena jamak berarti sesuatu yang jumlahnya lebih dari satu, maka maslahah artinya beberapa kepentingan atau beberapa manfaat.
17
Karena pada dasarnya, secara prinsip ada empat bentuk manfaat yaitu, kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya. Amir Syarifudin, Usul Fiqh 2 ,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),323. 18 Maslahah merupakan salah satu metode ijtihad atau interpretasi atas nas menurut teori ini (baca: maslahah mursalah) adalah menganggap makna yang mendasari atau makna yang tersembunyi dari nas dengan mengingat kepentingan bersama.M. Muslehudin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, Terj. Yudian W. Aswin (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 127.
14
Sedangkan kata maslahah yang ditambah dengan kata mursalah, maka akan memunculkan definisi yang beda, karena jika digunakan bersamaan dengan kata mursalah
maka maslahah artinya adalah kepentingan atau
kemanfaatan yang tidak terbatas, tidak terikat, atau kepentingan/kemanfaatan yang bisa diputuskan atau ditetapkan secara bebas.19 Dengan melihat pengertian dari maslahah secara bahasa di atas maka maslahah merupakan suatu perkara yang mampu mendatangkan kebaikan pada manusia. Artinya jika manusia dapat mengambil manfaat atau keuntungan dari suatu benda, maka dapat dikatakan bahwa benda itu mendatangkan maslahah pada orang yang menggunakannya, atau orang yang bisa merasakan kegunaan dan memperoleh kebaikan dari benda tersebut, dan begitu pula seterusnya. Maka secara umum, arti maslahah adalah segala sesuatu yang memberikan manfaat kepada manusia, baik dalam arti sesuatu yang menarik atau menghasilkan, seperti menghasilkan keuntungan atau suatu kesenangan, atau bahkan berarti sesuatu yang bermanfaat karena dapat menolak atau menghindarkan dari sesuatu yang tidak baik, seperti menolak bahaya dan menghindarkan dari kerusakan. Sedangkan maslahah secara istilah adalah perkara yang bersifat relatif, artinya ukuran kemaslahatan dari masing-masing orang berbeda dengan yang
19
Ibid.
15
lain. Sehingga definisi maslahah secara istilah menurut beberapa ulama juga berbeda-beda, sesuai dengan ukuran kemaslahatan masing-masing. Bahkan dalam bukunya ‘Ilm Usūl al-Fiqh, Abdul Wahab Khallaf menyebutkan definisi maslahah adalah sesuatu yang dishari’atkan oleh shâri’ yang terkandung dalam hukum-hukumNya dan bisa dijadikan sebagai ‘illat hukum.20 Hal ini berarti bahwa tidak ada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah (sebagai shâri’/pembuat hukum) yang tidak bermuara pada maslahah, artinya semua hukum-hukum Allah baik yang tercantum dalam alQur’an maupun al-Sunnah, jika diteliti lebih lanjut dan mendalam kita pasti akan dapat merasakan dan menemukan kemaslahatan yang ada di dalamnya. Berikut beberapa pengertian maslahah secara istilah menurut beberapa ulama, diantaranya: Al-Tufi,21 yang menyatakan maslahah adalah:
رةAmn@A آpqM@ح واie@ اr@دى اu?@ اvwx@ اyz{ }فB@ اvx~ AهG APوا دة اوAw رعA@
د اeP r@دى اu?@ اvwx@ ا@}ع اvx~ وd}@ اr@ اFدu?@ا pqM@ e AP r@دة واAwB@Aرع @~ آA@ اe AP r@ اxM rدة هA دةAB@A
ا@ آGم اAn
=< واD?@ا
20
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,terj. Noer Iskandar (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 124. 21 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazâlî, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), 26.
16
“Adapun batasan maslahah menurut ‘urf adalah sebab yang mengarah pada kebaikan (al-salâh) dan manfaat, seperti berdagang yang mengarah pada datangnya keuntungan. Dan batasan maslahah menurut shara’ adalah sebab yang mengarah pada maksud atau tujuan yang dikehendaki oleh Shâri’ baik dalam bentuk adat ataupun ibadat. Kemudian maslahah terbagi atas maslahah yang dikehendaki oleh Shâri’ untuk dirinya sendiri seperti ibadah, dan maslahah yang dikehendaki oleh sekalian makhluk untuk kemanfaatan dan keteraturan perilakunya yang yang berlaku dalam adat kebiasaannya.” Dari rumusan tentang maslahah yang telah diuraikan oleh al-Tufi di atas dapat diartikan bahwa maslahah dapat dilihat dari dua segi yang pertama yaitu maslahah menurut ‘urf (umumnya masyarakat) dan yang kedua yaitu maslahah menurut shâri’ (pembuat hukum/Allah). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Tufi maslahah bukan hanya perkara yang dikehendaki oleh manusia saja, akan tetapi Allah sebagai pembuat hukum juga menghendaki adanya kemaslahatan. Adapun definisi dari maslahah secara istilah dalam pandangan masyarakat luas
adalah: perantara atau sebab yang dapat mendatangkan kebaikan dan
manfaat pada manusia. Dalam pandangan al-Tufi, sebagaimana contoh yang telah disebutkan, berdagang merupakan perkara yang mampu mendatangkan manusia pada kemaslahatan yang dikehendakinya, karena dalam pandangan kebanyakan orang berdagang merupakan perantara untuk mendapatkan keuntungan, sehingga ada semacam hubungan sebab akibat diantara keduanya. Dimana berdagang adalah sebab dan keuntungan adalah sebagai akibat. Dan karena inilah maka dalam pandangan manusia berdagang disebut maslahah,
17
artinya menjadi perantara bagi manusia untuk mendapatkan kemaslahatan hidup. Sedangkan pengertian maslahah menurut shara’ adalah sebab yang mengarah pada tercapainya tujuan yang dikehendaki oleh Shâri’, baik berupa adat, ibadat maupun muamalat. Kemaslahatan yang dikehendaki oleh Shari’ seperti inilah yang kadang tidak dapat dimengerti oleh manusia. Seperti kemaslahatan di balik di tetapkannya hukum qisâs atas orang yang membunuh, manusia tidak mengetahui ada apa hikmah dibalik di tetapkannya hukum qisâs. Jika orang mengatakan bahwa itu adalah untuk menjaga jiwa manusia, bukankah itu hanya sebatas dugaan mereka saja. Akan tetapi lebih lanjut ia menyebutkan bahwa tujuan yang dikehendaki oleh Shâri’ itu baik berupa adat maupun ibadat. Berarti dalam pandangan al-Tufi dalam ibadat pasti terkandung maslahah begitu juga dalam adat yang berlaku dalam masyarakat. Definisi al-Tufi tentang maslahah menurut shâra’ hampir sama meskipun tidak sama persis dengan definisi maslahah yang diutarakan oleh Abu Zahrah. Menurut Abu Zahrah maslahah adalah semua manfaat yang hakiki yang sesuai dengan tujuan shâri’, di dalamnya terkandung maksud untuk menjaga lima prinsip kebutuhan manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.22 Menurut hemat penulis inilah inti dari tujuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Abu Zahrah. Karena jika kelima
22
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Beirut : Dâr al-Fikr al-‘Arobî, 1985), 278.
18
perkara tersebut sudah dapat terjaga maka sudah pasti hidup manusia akan terasa sempurna. Sedang menurut al-Khawârizmi maslahah adalah :
D@ < اNAq?@ اp{
د ا@}عeP rD F{A~?@ا ا “Maslahah ialah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana /kerusakan/hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia).23 Dari definisi maslahah yang diungkapkan oleh beberapa ulama di atas, maka menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang menghendaki adanya kemaslahatan itu bukan hanya manusia saja akan tetapi Allah sebagai pembuat hukum untuk semua umat manusia juga menghendaki adanya kemaslahatan. Maka dari itu tidaklah mengherankan jika semua ulama menyatakan bahwa hukum Allah itu di dalamnya pasti terkandung maslahah. Hanya saja kemaslahatan yang dimaksud oleh manusia dan kemaslahatan yang dimaksud oleh Shâri’ berbeda, manusia menganggap maslahah adalah dampak yang menguntungkan dan memberikan manfaat untuk dirinya sendiri, sedangkan kemaslahatan yang dikehendaki oleh Shâri’ adalah untuk manusia secara keseluruhan. Adapun para ulama besar seperti al-Ghazâlî dan al-Shâtibî memberikan definisi maslahah sebagai berikut:
23
Suratmaputra,25.
19
1.
Maslahah menurut al-Ghazâlî. Al-Ghazâlî yang memiliki nama lengkap Abu Hamid al-Ghazâlî (450 H – 505 H) seorang ulama pengikut madhab Shâfi’î24 dalam kitabnya al-Mustasfâ memberikan definisi maslahah sebagai berikut :25
AMx@و, }ةP p{ اودFBqMP vD < J اr{ رةAw rz{ F~De?@ا حi وD@ اAP ا@?}ةp{ ودFBqM?@ اvD نA{. @ ذrMB
دeP rD F{A~?@ اF~De?@A rMB <@ هAP =e~ r{ D@ا zM دz=D q~ وه
انFx? D@< اP
د ا@}عePو, ا@}ع Fx?@
ل اJ ه اqG n AP { z@AP وzDx وzD وzxqو F~DeP AzB{ة ودxqP
z{
لJ
ت ه اqn AP وآF~DeP
z{ “Maslahah adalah ungkapan dari suatu dalil yang berarti menarik manfaat dan menolak madārat, dan bukanlah itu yang kami maksud dengan maslahah, karena sesungguhnya menarik manfaat dan menolak kemadaratan itu adalah tujuan makhluk, dan kemaslahatan makhluk itu terletak pada tercapainya tujuan mereka, akan tetapi yang kami maksud dengan maslahah adalah menjaga kepada tujuan-tujuan shara’, dan tujuan shara’ itu ada lima perkara yaitu menjaga agama, akal, keturunan, harta. Maka segala setiap perkara yang mengandung unsur penjagaan terhadap lima perkara ini maka dinamakan dengan maslahah, dan setiap perkara yang dapat menghilangkan terhadap kelima perkara tersebut dinamakan dengan mafsadat, dan mencegahnya berarti maslahah”.
24
Abdullah M. Al-Husayn Al-Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam, terjemahan Abdul Basir. (Jakarta : Gaya Media Pratama : 2004), 11. 25 Al-Ghazâlî, al-Mustasfâ , vol I (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), 286.
20
Sebagaimana yang tersebut dalam kitab al-Mustasfâ maka setiap perkara yang bertujuan menjaga lima prinsip dasar manusia disebut dengan maslahah tanpa memilah-milah apakah manusia atau Allah yang hendak mewujudkan kamaslahatan. Pendapat ini berbanding terbalik dengan pendapat yang disampaikan oleh al-Tufi, karena menurut al-Tufi (657 H – 716 H) antara makhluk dengan Shâri’ itu memiliki pandangan yang berbeda untuk memperoleh dan mewujudkan kemaslahatan, kemaslahatan yang dikendaki oleh makhluk adalah tercapainya tujuan mereka sesuai dengan apa yang berlaku dalam adat istiadat mereka, dan kemaslahatan yang dikehendaki oleh Allah kebaikan yang dilakukan oleh makhluk seperti ibadah. Dari definisi yang berbeda-beda di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa maslahah adalah suatu perkara yang dipandang baik oleh akal
karena dapat mendatangkan kebaikan pada manusia dan
menghindarkannya dari keburukan atau kerusakan, tidak maslahah dibedakan antara perkara yang telah ditetapkan oleh shara’ atau tidak ditetapkan.
Sedangkan
tujuan
dari
ditetapkannya
hukum
yang
mengandung maslahah menurut al-Ghazâlî adalah memelihara jiwa, agama, akal, keturunan dan harta.26
26
Suratmaputra, 28.
21
2.
Maslahah menurut al-Shâtibî Dalam memberikan definisi al-Shâtibî (730 H – 790 H) mengartikan maslahah dari dua segi yaitu dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan shara’ kepada maslahah. Dari segi terjadinya maslahah dalam kenyataan, maka maslahah adalah:
{A= اوn AP D=م = وA?ن وAxJة اA=G مA= r@ اp} AP “Yaitu suatu yang kembali pada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifatnya(manusia)”. Definisi yang diungkapkan oleh al-Shâtibî ini adalah sebagai bukti kebenaran teori yang menyatakan bahwa tujuan dari ditetapkannya hukum Islam adalah untuk tercapainya kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Karena pada dasarnya tidak satu pun hukum yang dishari’atkan Allah baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah selain di dalamnya terdapat kemaslahatan. Sedang yang dimaksud dengan kemaslahatan dalam hidup manusia sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Shâtibî yaitu kesempurnaan hidup dan terpenuhinya semua kebutuhan dan sampainya manusia pada tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan dari segi tergantungnya tuntutan shara’ kepada maslahah itu sendiri maka menurut al-Shâtibî maslahah adalah:27
27
Al-Shâtibî, al-Muwâfât Fî Usûl al-Sharî’at, vol II (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, tt), 5.
22
J واAB@داAwB@ اd@Ae?@
هA? اp¢ ا@}اp£و “Hukum-hukum dishari’atkan untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat ”. Ungkapan al-Shâtibî dalam definisi maslahahnya ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya dalam Q.S al-Nisâ’: 165yang berbunyi:
نA وآN}@ اB FmG ¦ اrD سAMD@
نi¥@ <رMP}< وwP رالس A?=G ا¦ §§ا Dan Q.S al-Anbiyâ’ 107,yang berbunyi:
<=?@ABD@ F?G رJك اAMDN ارAPو Kemudian Q.S Hûd: 7, yang berbunyi:
Dw=@ ءA?@ اrD ©} نAم وآA اFnN r{ رضJ?
ات واx@ اD وه
ا@ى }واq ا@?
ت @=
@< ا@ < آB
B.
Pembagian maslahah dalam pandangan para ahli usûl
28
Ibid, 6.
23
Secara garis besar maslahah terbagi dua yaitu maslahah mu’tabarah dan maslahah mursalah. Maslahah mu’tabarah, adalah maslahah yang bersifat hakiki dan telah ditetapkan oleh shâri’ untuk dilaksanakan dan diwujudkan oleh hukum Islam disertai dengan adanya petunjuk dari nas-nas-Nya sehingga bisa untuk dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Menurut al-Ghazâlî, definisi dari maslahah mu’tabarah adalah maslahah yang ditunjukkan oleh dalil tertentu, maslahah ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum.29 Salah satu contoh dari maslahah mu’tabarah atau maslahah haqiqî ialah diundangkannya hukum qisâs dengan tujuan demi terwujudnya perdamaian dan ketentraman hidup manusia. Ini telah ditunjukkan oleh firman Allah yang berbunyi
ا بابلالr@وA ةA=G صAe@ اr{ @و Adapun dalam pelaksanaannya maslahah mu’tabarah ini dikembalikan kepada penjagaan lima pokok perkara umat manusia. Mukallaf akan menerima kemaslahatan jika ia mampu memelihara kelima unsur pokok dalam hidupnya, sebaliknya ia akan berada dalam kesulitan dan bahaya jika kelima unsur pokok itu tidak terpelihara. Kelima unsur yang harus ada dan terjaga dalam hidup manusia itu adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.30 Kesepakatan para ulama terhadap pentingnya maslahah mu’tabarah merupakan satu indikasi yang kuat bahwa maslahah inilah yang menjadi tujuan 29 30
Al-Ghazâlî, Al-Mustasfâ, 284. Istibsyaroh ”Dhawâbit al-Maslahah” 64.
24
dari penetapan hukum, apalagi dengan keberadaannya yang didukung oleh dalil-dalil shara’. Di samping itu, berdasarkan pada penjelasan dari dua ulama di atas maka semakin memperjelas muara dari maslahah mu’tabarah. Kelima pokok perkara manusia itu harus terjaga karena memeluk agama adalah sebagai fitrah manusia, sehingga Allah menshari’atkan agama yang wajib untuk dipelihara oleh setiap orang, baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Hak hidup juga merupakan hak paling asasi bagi setiap manusia, maka dari itu untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia Allah menshari’atkan hukum qisâs. Sedangkan akal adalah sebagi sasaran yang menentukan dalam menjalani hidup. Maka, memelihara akal adalah sesuatu yang bersifat pokok, hal ini diaplikasikan dengan adanya hukum haram meminum/memakan barang yang memabukkan dan merusak akal. Memiliki keturunan adalah masalah pokok bagi manusia untuk kelangsungan hidup di muka bumi, maka Allah menshari’atkan nikah untuk menjaga keturunan lengkap dengan segala hak dan kewajiban yang ada di dalamnya. Dan yang terakhir, manusia tidak bisa hidup tanpa harta, untuk itu harta harus ada dan dijaga dalam hidup manusia. Untuk itulah dishari’atkan untuk memberi hukuman kepada pencuri dan perampok.31 Sedangkan maslahah jika dilihat dari kepentingan dan kualitasnya, maka terbagi dalam tiga tingkatan yaitu: maslahah darûriyah, maslahah hâjiyâh, maslahah 31
tahsîniyah.
Maslahah
darûriyah
yaitu
kemaslahatan
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 115.
yang
25
berhubungan dengan lima prinsip dasar manusia yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Maslahah ini bisa dikatakan dengan maslahah yang menempati posisi paling penting (primer). Jika maslahah ini tidak ada maka manusia akan berada dalam posisi yang sangat sulit. Menurut al-Ghazâlî maslahah darûrîyah adalah maslahah yang sangat diperlukan oleh manusia, artinya hidup manusia tidak akan berarti jika kemaslahatan ini tidak terjaga.32 Hal ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh al-Shâtibî. Di mana ia menyatakan bahwa maslahah darûrîyah adalah maslahah yang harus ada dalam menegakkan kemaslahatan agama dan dunia, tanpa adanya maslahah ini maka berarti kemaslahatan agama dan dunia tidak akan terjamin, maka menjaga maslahah darûrîyah ini adalah wajib. Yang kedua: maslahah hâjiyat, yaitu maslahah yang dibutuhkan untuk menyempurnakan
maslahah
darûriyah
guna
memelihara
dan
mempertahankannya. Secara garis besar al-Ghazâlî mengatakan bahwa maslahah hâjiyat adalah maslahah yang tidak sampai pada tingkat darûrî dan hanya bersifat untuk meringankan tugas-tugas manusia. Tanpa maslahah ini maka manusia akan berada pada tingkat kesulitan.33 Sedangkan menurut al-Shâtibî maslahah hajiyat diperlukan untuk mendapatkan keleluasaan hidup dan meniadakan kesempitan, akan tetapi jika 32
Al-Ghazâlî, al-Mustasfa,286. Ibid.
33
26
maslahah ini tidak ada maka kesulitan yang dialami oleh manusia tidak akan sampai pada tingkat yang dapat merusak kepentingan umum. Menurutnya, maslahah ini hanya berlaku dalam bidang muamalat saja dan tidak berlaku untuk urusan ibadat.34 Hal ini hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh al-Ghazâlî. Hanya saja pandangan al-Ghazâlî terhadap maslahah hājiyat ini lebih luas jika dibanding dengan apa yang disampaikan al-Shâtibî. Dalam memberikan definisi maslahah hājiyat al-Ghazâlî hanya menyebutnya dengan maslahah yang bersifat meringankan saja, tanpa menyebutkan batas dan ruang lingkup berlakunya maslahah ini. Sedangkan al-Shâtibî menyebutkan bahwa maslahah ini hanya berlaku dalam bidang muamalat saja. Dengan demikian maka ada kemungkinan bahwa al-Shâtibî tidak mengakui adanya keringanan kecuali hanya dalam bidang muamalah. Yang ketiga: maslahah tahsîniyat, yaitu kemaslahatan yang berfungsi sebagai pelengkap dari dua maslahah yang telah disebutkan di atas. Maslahah ini bersifat leluasa. Menurut al-Ghazâlî maslahah ini bertujuan untuk menyempurnakan kehidupan manusia, dan hakekat dari maslahah ini dikembalikan pada masalah akhlakul karimah dan kebiasaan yang terpuji.35 Menurut hemat penulis secara garis besar al-Ghazâlî dan al-Shâtibî memiliki pandangan yang sama terhadap tiga maslahah tersebut di atas, hanya saja al-Ghazâlî menamakan cara memandang terhadap tiga maslahah ini berarti 34 35
Al-Shâtibî, al-Muwâfaqât Vol. II (Beirut :Dâr al-Fikr, 1314 H), 18. Al-Ghazâlî, al-Mustasfa, 286.
27
memandang maslahah dari segi substansinya.36 Sedangkan al-Shâtibî menyatakan bahwa pandangan al-Ghazâlî tersebut didasarkan pada tujuan shara’. Dalam maslahah tahsîniyat ini al-Shâtibî membagi dalam dua kelompok besar, yaitu maslahah dilihat dari tujuan shara’ dan maslahah dari dibenarkan atau ditolaknya oleh shara’. Dari segi dibenarkan atau ditolaknya oleh shara’ maka maslahah itu terbagi dalam tiga kelompok yaitu: 1.
Maslahah yang dapat diterima oleh shara’. Para ulama telah bersepakat bahwa maslahah ini bisa dipastikan kebenarannya, bahkan jika terjadi penolakan atas maslahah ini berarti menentang terhadap shara’. Dalam hal ini al-Shâtibî mencontohkan adanya hikmah dibalik ditetapkannya hukum qisâs, yang dicantumkan dalam al-Quran yang bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.
2.
Maslahah yang ditolak oleh shara’. Dalam pandangan para ahli usul, maslahah ini harus ditolak secara mutlak karena bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh shara’. Contohnya seperti fatwa seorang ulama Andalusia (Yahya bin Yahya al-Laisi, 152-234 H) kepada seorang raja (Abdurrahman bin Hakam, 176-278 H) yang melakukan hubungan suami istri di siang hari di bulan ramadhan bahwa kafaratnya berupa puasa dua bulan berturut-turut
36
Ibid.
28
dengan pertimbangan agar raja itu jera. Al-Shâtibî menyatakan fatwa ini tidak benar karena menyalahi ijma’.37 Menurut hemat penulis pendapat yang diutarakan oleh al-Shâtibî tentang maslahah ini adalah sama dengan apa yang diungkapkan oleh ulama lain seperti halnya al-Ghazâlî. Maslahah yang tidak ada dalil khusus yang menerima atau menolaknya.
3.
Maslahah ini terbagi dalam dua bagian yaitu: yang pertama, ada nas yang sesuai atau sejalan dengan maslahah itu, meskipun nas tidak menunjukkan dengan dalil yang membenarkan atau menolaknya. Contoh dari maslahah ini adalah seseorang yang membunuh keluarganya maka akan mengakibatkan ia terhalang untuk mendapatkan warisan, jika tidak ada dalil berupa nas atau hadith yang menetapkan tentang hal itu. Yang kedua yaitu maslahah yang sejalan dengan dalil shara’ akan tetapi tidak ada dalil yang membenarkan dan menolaknya. Hal inilah yang biasa disebut dengan istilah istidlâl mursal atau maslahah mursalah. Adapun dalam pandangan al-Ghazâlî maslahah terbagi dalam tiga bagian. Yang pertama: maslahah yang dibenarkan oleh shara’ maslahah ini biasa disebut dengan istilah maslahah mu’tabarah. Yang kedua yaitu maslahah yang tidak dibenarkan oleh shara’, maslahah ini disebut juga dengan istilah maslahah mulghah. Yang ketiga yaitu maslahah yang tidak
37
Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazâlî, 84.
29
ada dalil tertentu yang membenarkan atau menolaknya, maslahah ini biasa disebut dengan istilah maslahah mursalah. Menurut al-Ghazâlî (450 – 505 H) maslahah mursalah adalah ”perkara yang tidak ditunjukkan oleh dalil shara’ yang membatalkan atau membenarkan”.
<=BP ¯رAwnJAJ ن وi°w@A < ا@}عP @z @AP Dalam penggunaannya (maslahah mursalah), menurut al-Ghazâlî selama maslahah itu sesuai dengan tujuan dalil al-Qur’an maka maslahah itu diperbolehkan dan dinamakan dengan maslahah mursalah.38 Maka menurut al-Ghazâlî maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak jelas diterima atau ditolak, akan tetapi jika setelah dilihat dari tujuannya ternyata maslahah mursalah sesuai dengan tujuan shara’ (sebagaimana tersebut di atas) maka boleh digunakan sebagai dalil karena tujuan dari shara’ itu adalah kemaslahatan umat. Untuk itu jika maslahah mursalah hanya terikat pada apa yang terdapat dalam nas maka kemaslahatan umat tidak akan terwujud. Menurut al-Shatibi (730 – 790 H) maslahah mursalah adalah ”setiap kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh nas dan sejalan dengan shara’, maknanya terambil dari dalil shara’ atau dari beberapa dalil shara’, maka dapat dijadikan sebagai landasan hukum”.39
38 39
Al-Ghazâlî, Al-Mustasfa, 286. Suratamaputra, FHI Al-Ghazâlî, 67.
30
Dalam pandangan penulis pendapat al-Ghazâlî dan al-Shatibi itu intinya sama, hanya saja tampaknya al-Shatibi menyadari tidak semua ayat al-Qur’an itu menyebutkan satu permasalahan hanya dalam satu ayatnya saja tapi kadang-kadang suatu permasalahan itu juga dibahas di ayat-ayat yang selanjutnya, maka jika ada satu permasalahan yang tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an dan jika ditelaah lebih lanjut di beberapa ayat-ayatnya kemudian disimpulkan ternyata sesuai dengan maslahah itu maka dapat dijadikan landasan dalam penetapan hukum karena dengan begitu, berarti juga telah menjaga tujuan shara’.
C.
Maslahah Mursalah menurut al-Ghazâlî dan al-Shâtibî 1.
Pengertian maslahah mursalah. Ungkapan maslahah mursalah tersusun dari dua kata yaitu kata “maslahah” dan kata “mursalah”. Untuk pengertian tentang maslahah penulis telah menyebutkannya di awal bab II. Adapun pada bagian ini penulis akan menyebutkan definisi dari kata mursalah. Mursalah mempunyai arti sama dengan kata mutlaqah, artinya adalah yang “terlepas”. Maksudnya kemaslahatan itu tidak ada dalil tertentu yang membenarkan dan membatalkannya. Definisi lain menyebutkan maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syari’at dan tidak terdapat dalil-dalil yang menyuruh mengerjakan atau
31
meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau maslahah.40 Dalam bentuk jamak kata maslahah mursalah menjadi masâlih mursalah. Ushul fiqhnya Abdul Wahhab Khallaf menyatakan definisi maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni kemaslahatan yang dimutlakkan, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatatalan.41 Contohnya adanya maslahah yang harus dituntut oleh keadaan darurat kebutuhan atau karena kebaikan, dan belum disyari’atkan hukumnya, juga tidak terdapat saksi shara’ yang mengakuinya atau yang membatalkannya. Seperti tindakan Abû Bakar Siddiq mengkodifikasikan al-Qur’an, inisiatif beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai pengganti khalifah sepeninggal beliau, tindakan Umar bin Khattab menata administrasi pemerintahan, mendirikan perkantoran, membuat rumah tahanan, kantor pos, memotong pohon yang dikeramatkan, mengatur sistem penggajian, tindakan Usman bin Affan membuat al Qur’an standart dengan membakar semua tulisan al-Qur’an yang tidak resmi, adzan jum’at dua kali dan sebagainya. Semua contoh tersebut merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan tindakan shara’. Semua penetapan ini tidak berdasar pada alQur’an, sunnah/hadith atau ijma’, karena memang tidak ada dalil yang 40 41
Istibsyaroh, Dhawâbit al-Maslahah, 64. Abdul Wahab Khallaf, Usul Fiqh,terj. Noer Iskandar, 123
32
menunjukkanya, tetapi dengan berdasarkan pada maslahah mursalah.. Kesimpulan isi dari definisi tersebut adalah pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali merealisir kemaslahatan umat, mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madarat serta menghilangkan kesulitan dari padanya. Maslahah mursalah disebut juga dengan istilah al-istislâh. artinya adalah metode untuk menemukan maslahah
mursalah.42 Jadi para
mujtahid melakukan penelitian pada suatu masalah yang memiliki ketentuan
hukum,
kemudian
metode
yang
dipergunakan
untuk
menetapkan hukum itu dinamakan istislâh. Selain definisi tersebut di atas, berikut penulis sajikan pengertian maslahah mursalah dari beberapa ulama ahli fiqh. Di antaranya alShâtibî. Dalam al-muwâfaqât beliau telah menyebutkannya bahwa pengertian dari maslahah mursalah adalah:43
تA{}en@ A?¢iP نA=< او آBP ¯ @ z @ r}© ان آ ا نA ا@= ان آp}= وD rMw d=~
z{ n@< ادP AMBP
ذا±Pا@}ع و A
°P n@?
ع ادm? رA Jذ@ ا “Setiap dasar agama yang tidak ditunjukkan oleh nas, dan ia sejalan dengan tindakan shara’, maknanya diambil dari dalil-dalil shara’ maka hal itu benar, dan dapat dijadikan landasan hukum dan dapat dijadikan 42 43
Ibid, 63. Al-Shâtibî, al-Muwâfaqât Fî usûl al-Sharî’ah Juz II, 116.
33
rujukan (tempat kembali), jika secara global maslahah itu dapat didasarkan pada beberapa dalil yang dapat dipastikan kebenarannya”. Sedangkan al-Ghazâlî menyatakan:44
<=BP ¯رAwnJA Jن وi°w@A < ا@}عP @ z @ AP “Maslahah yang tidak ditunjukkan oleh dalil shara’ yang menolak atau menerimanya secara jelas”. Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Usul Fiqhnya menyebutkan definisi dari maslahah mursalah sebagai berikut:45
رعA@ اA?@ F?¢i?@ اd@Ae?@ اyح هienNJ او اFDN}?@ اF~De?@ا رAwnJA صA اzJ
ىPiNJا “Maslahah mursalah atau istislâh adalah maslahah yang sejalan dengan tujuan shara’, dan tidak ditemukan dalil tertentu yang menerimanya“. Definisi
tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya al-Mahsûl Fî ‘Ilm al-Usûl al-Fiqh,46 yaitu:
}wn او اA²@رع اA@ ان اDB J ا@ى “Yaitu suatu perkara yang tidak diketahui apakah shara’ menerima atau menolaknya”.
44
Al-Ghazâlî, al-Mustasfâ, juz I, 310-311. Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), 279. 46 Fahruddin al-Razi, al-Mahsûl Fî ‘Ilm al-Usûl, vol. 2, (Beirut: Dâr al-Kutb, tt), 324. 45
34
Dengan melihat pada semua rumusan pengertian maslahah mursalah di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya semua ulama
sepakat bahwa maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan atau menolaknya. Sedangkan perbedaan yang terdapat dalam definisi maslahah mursalah hanyalah perbedaan yang bersifat redaksional saja. Adapun inti dari definisi itu sediri adalah sama, yaitu maslahah yang sejalan (relevan) dengan tindakan shara’ yang bertujuan untuk memberikan kebaikan pada manusia. Maslahah mursalah adalah maslahah yang diwujudkan oleh suatu kondisi atau problematika yang muncul setelah terhentinya wahyu sementara shâri’ tidak mengundangkan hukum-hukum yang menyatakan maslahah tersebut dan tidak ada dalil yang menerima atau menolaknya. 2.
Batasan-batasan maslahah mursalah Dalam ilmu Usûl Fiqh maslahah mursalah merupakan metode penetapan hukum, hanya saja maslahah ini tidak bisa begitu saja diterima oleh para ulama, masalahnya metode ini tidak mendapatkan dukungan dari al-Qur’an dan al-Hadîth. Sehingga diperlukan kehatian-hatian dalam menggunakannya untuk menetapkan
hukum. Untuk itulah para ulama
memberikan persyaratan sebagai batas diperbolehkan dan tidaknya menggunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum. Batasan-
35
batasan ini dimaksudkan untuk meniadakan peluang untuk pembentukan hukum yang sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan individu. Al-Ghazali dalam pandangannya menyatakan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hukum jika memenuhi tiga syarat yaitu: pertama, maslahah itu hendaknya masuk pada tingkat darûrîyât, artinya untuk menetapkan suatu kemaslahatan seorang mujtahid harus memperhatikan tingkat keperluannya, apakah akan mengancam keberadaan lima unsur pokok kemaslahatan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya atau tidak. Ini adalah syarat inti dari maslahah mursalah untuk bisa dijadikan hujjah atau tidak.47 Kedua,
maslahah itu hendaknya bersifat qat’î, artinya maslahah itu
benar-benar bisa diyakini sebagai maslahah, dan tidak hanya bersifat dugaan saja. Maslahah itu hendaknya bersifat kulli, artinya kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Akan tetapi jika maslahah itu bersifat individual, maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahah itu harus sesuai dengan tujuan ditetapkannya shara’ (maqâsid al-sharî’ah).48 Syarat lain yang harus dipenuhi selain diatas adalah maslahah itu harus mula’imah (sejalan dengan tindakan shara’). Dan inilah persyaratan inti bagi diterimanya maslahah mursalah. 47
Suratmaputra, 133. Ahmad Mubaligh, “Urgensi Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum Islam” el qisth, 1 (2004), 80. 48
36
Sedangkan menurut al-Shâtibî maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum jika maslahah itu relevan dengan tujuan shara’ serta tidak bertentangan dengan hukum lain meskipun hanya satu serta tidak bertentangan dalil yang bersifat qat’î. Di samping itu, menurut al-Shâtibî maslahah harus dapat diterima oleh akal dan mempunyai sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional,49 dan hendaknya maslahah tersebut bertujuan untuk menjaga kepentingan darûrî dan bertujuan untuk menghilangkan kesulitan serta kesempitan.50 Sementara dalam pandangan para ulama tolok ukur dalam menilai kemaslahatan, khususnya maslahah mursalah adalah, hendaknya tujuan dari adanya maslahah itu adalah untuk mengadakan pembaharuan yang dimaksudkan untuk memelihara kemaslahatan umum dan membawa umat mansia pada kondisi yang lebih baik, dan hal ini dapat dilakukan dengan dua usaha besar, yakni : a.
Menolak kemadaratan yang menimpa manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
b.
Mendatangkan kemanfaatan yang menghasilkan kebajikan umum bagi seluruh manusia. Sehingga dari penjelasan diatas muncullah suatu kaidah pokok :51
49
Al- Shatibi, al-I’tisâm (Beirut: Dâr al-Kutub, tt), 129. Hasby as-Siddieqy, Filsafat Hukum Islam (Semarang : Pustaka Rizqi Putra, 2001), 345. 51 Ibid. 50
37
FBqM?@ اvD rD مP ا @}رp{د “menolak madarat harus didahulukan atas mendatangkan manfaat”
<= i J =< اn?x@ اr@ا اMnxP FP AB@ اF~De?@ ~= ا “ mewujudkan kemaslahatan umum dengan bersandar kepada dua sendi akhlak, yaitu : adil dan hak (keadilan dan kebenaran). 3. Kedudukan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum. Perselisihan di kalangan para ulama terhadap kehujjahan maslahah mursalah sebagai dalil dalam metode istinbat hukum kemungkinan disebabkan karena maslahah mursalah merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Satu pihak mungkin menganggap sebagai maslahah, di pihak lain mungkin menganggapnya bukan sebagai maslahah, karena penilaian atas dasar maslahah mursalah itu didasarkan pada kebiasaan atau ‘urf, yang tidak sama antara satu individu dengan yang lainnya. Karena maslahah mursalah merupakan sumber hukum yang diperselisihkan, maka sebagian ulama menerima maslahah mursalah sebagai hujjah hukum dan sebagian yang lain menolaknya . Adapun argumen ulama yang menerima maslahah mursalah adalah adanya taqrîr (pengakuan nabi) atas penjelasan yang diberikan oleh Muaz bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi jika al-Qur’an dan al-
38
Sunnah tidak menyebutkan hukum dari suatu kasus.52 Hal ini menimbulkan satu pemikiran baru bagi para ulama bahwa diperbolehkan untuk menentukan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, karena apa yang dilakukan oleh sahabat Muaz berarti menentukan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan alSunnah dengan berijtihad. Dalam pandangan para ulama, suatu maslahah yang telah nyata bahwa itu maslahah dan telah nyata sejalan dengan maksud shara’, maka menggunakan maslahah mursalah
berarti telah
memenuhi tujuan shara’ meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya,53 hal ini tidak berarti keluar dari ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an. Alasan lain dalam berhujjah dengan maslahah mursalah adalah demi mencapai kemaslahatan umat, sehingga bila tidak diperbolehkan menggunakan maslahah mursalah, maka umat akan berada dalam kesulitan dan kesempitan.54 Selain itu juga diungkapkan bahwa, orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabi’in dan para mujtahid jelas mereka telah mensyari’atkan beberapa hukum untuk merealisir maslahah secara umum, bukan karena ada saksi yang mengakuinya.55
52
Syarifuddin, Usul Fiqh Vol II, 338. Ibid, 339. 54 Ibid, 338. 55 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,terj. Noer Iskandar, 126. 53
39
Adapun beberapa golongan ulama yang menerima maslahah mursalah sebagai hujjah diantaranya adalah sebagian ulama Shafi’îyah dan Hanafîyah, Mu’tazilah, Maturidîyah, sebagian ulama Malikîyah dan Hanabilah. Sedangkan alasan ulama mendukung maslahah ini antara lain adalah pertama firman Alllah dalam QS. al-Anbiya’ ayat 10756 dan alBaqarah ayat 187,57 yang menerangkan bahwa wujud kerahmatan Allah dari tasyri’-Nya adalah mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan memberikan jalan kemudahan dalam memperoleh jalan kehidupan. Kedua bahwa kehidupan itu terus berkembang dan senantiasa mengalami perubahan. Pola hidup manusia yang berubah-ubah mengakibatkan segisegi kemaslahatan yang juga berubah-ubah. Oleh karena itu, jika tidak dicarikan dasar-dasar maslahah yang baru dalam pembuktian nas-nas shari’ah, maka kosonglah hukum shari’ah dan robohlah sendi-sendi kehidupan keagamaan.58 Ketiga amaliyah praktis para sahabat yang telah mengambil maslahah mursalah sebagai dasar tashri’ (contoh telah diungkapkan penulis pada sub bab sebelumnya). Sedangkan argumen para ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah: mengamalkan maslahah mursalah berarti telah mengamalkan sesuatu yang ada diluar petunjuk shara’, dengan begitu berarti telah tidak mengakui kesempurnaan al56
<=?@ABD@ F?G رJك اAMDN ارAPو
نn zDB@ سAMD@ A=< ا¦ اw @ آاA }
هi ¦ود اG D Ax?@ اr
آA n©}وه< واAw Jو 58 Istibsyaroh, Dhawâbit al-Maslahah, 62. 57
40
Qur’an dan Sunnah Nabi, padahal al-Qur’an dan sunnah Nabi merupakan sumber hukum yang sempurna dan bersifat universal.59 Kemudian dalam pandangan mereka beramal pada maslahah yang tidak didasari oleh nas akan membawa pada pengamalan hukum yang sesuai dengan hawa nafsu dan kehendak hati dan akan memunculkan sifat bebas yang akan mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum dan hal itu menyalahi hukum dan prinsip hukum Islam.60 Di samping itu menetapkan hukum dengan menggunakan maslahah mursalah itu akan mengakibatkan ketidakpastian dalam hukum, karena penilaian atas dasar maslahah mursalah tidak sama antara satu individu dengan yang lain sehingga dikhawatirkan akan timbul kerancuan dalam hukum.61 Secara garis besar maka dapat dikatakan bahwa penolakan mereka terhadap maslahah mursalah itu didasarkan pada tidak adanya kepastian dari shara’ tentang diterima dan tidaknya sehingga, untuk menghindari kesalahan dalam menentukan hukum maka lebih baik menolak maslahah mursalah sebagai dasar pembentukan hukum. Adapun beberapa golongan ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum di antaranya adalah ulama Zâhirîyah dan Asy’ârîyah, sebagian Shafi’îyah dan Malîkîyah seperti Ibnu
59
H.A Djazuli dan I Nurul Yaqin, Usul Fiqh (Jakarta : Rajawali Press, 2000), 175. Ibid, 176. 61 Ibid, 177. 60
41
al Hajib. Juga ulama Shi’ah seperti yang disampaikan oleh Wahbah Az Zuhayli bahwa mereka tidak setuju jika maslahah mursalah dijadikan dalil shara’ karena sangat mungkin Allah itu menetapkan hukum tanpa harus mengandung satu kemaslahatan bagi hambaNya.62 Kedua bahwa maslahah mursalah merupakan konsep yang muncul dari akal, padahal hak tasyri’ itu adalah hak prerogratif Allah SWT. Menurut mereka jika maslahah mursalah dijadikan dasar tashri’ maka hal itu akan memberi kesempatan hawa nafsu pribadi untuk berperan di dalamnya sehingga akan merobohkan kesucian hukum shara’ itu sendiri. Sedangkan ulama Zâhirîyah dalam memahami hukum-hukum shara’ hanya berdasarkan makna zahir saja, tidak memperhatikan adanya maslahah di balik itu. Mereka beranggapan bahwa maslahah itu hanyalah yang telah diterangkan nas yang jelas sehingga tidak boleh dicari-cari.63 Sementara ulama Shi’ah menyatakan bahwa mereka tidak setuju dengan maslahah mursalah kecuali jika telah jelas-jelas dan tegas dapat dikembalikan pada penilaian aqli.64 Karena sebagian dari hukum Allah itu tidak bisa diketahui maslahah nya secara akal seperti sholat dan lain-lain.
62
Istibsyaroh, Dhawâbit al-Maslahah, 60
63
Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, 279. Istibsyaroh, Dhawâbit al-Maslahah, 61.
64
42
BAB III PANDANGAN AL-SHAWKÂNÎ TERHADAP MASLAHAH MURSALAH
A. Biografi Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Shawkânî 1. Nasab dan Tempat Kelahirannya Shawkânî memiliki nama lengkap yaitu Muhammad bin ‘Ali bin Abdullah al-Shawkânî al-San’ânî, berdasarkan pada catatan yang ada, beliau lahir pada hari Senin tanggal 28 Dhulqa’dah tahun 1173 H. Ia lahir di tempat hijrah orang tuanya yaitu tanah Shawkân. Al-Shawkânî wafat pada malam Rabu tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1250 H. Kedua orang tuanya juga dikenal dengan sebutan Shawkânî karena disesuaikan dengan tanah kelahirannya yaitu tanah Shawkân. Shawkân merupakan salah satu desa tempat tinggal kaum Sihâmî yaitu salah satu kelompok yang berasal dari keturunan Bani Khulan (nama salah satu daerah di tanah Shawkân). Sebagaimana disebutkan dalam kamus Shawkân berarti salah satu tempat yang terletak di antara dua lautan, negeri ini terletak di negara Yaman. Nama Shawkân bukanlah nama yang sebenarnya akan tetapi merupakan nisbat dari nenek moyang mereka yang asli tinggal di dekat Shawkân.65
65
Muhammad bin Ali bin Abdullah al-Shawkânî, Fath al-Qadîr (Beirut : Dâr al-Fikr, tt), 9.
43
2. Riwayat Pendidikannya Al-Shawkânî dibesarkan di tanah San’â, sejak kecil ia adalah sosok yang sungguh-sungguh dalam belajarnya. Ia mengawali pendidikannya dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya yaitu Ali al-Shawkânî, seorang ulama terkemuka di Yaman pada waktu itu dan pada orang-orang alim pada masa itu. Ia menghatamkannya pada al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habal, salah satu ulama Qur’an yang termashur di tanah San’â, dan dalam usia muda ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Kemudian ia belajar berbagai bidang ilmu agama, Seperti Fiqh, Hadith, Usul Fiqh, Tafsîr dan lain sebagainya kepada para ulama di zamannya.66 Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Mahdi, belajar ilmu farâid pada al-Asfari, belajar ilmu adab kepada Taftazani, dan belajar ilmu Usûl Fiqh kepada ibn alHajib. Di antara gurunya yang mashur adalah Abdurrahman bin Qasim alMa’dani, Qasim bin Yahya al-Khulani, Hasan ibn Ismâīl al-Maghribi, Ahmad bin Muhammad al- Harazi.67 Dengan ketekunannya menimba berbagai bidang ilmu agama, akhirnya ia menjadi ulama besar dan mujtahid serta diberi gelar dengan Shaikh al-Islam yaitu suatu gelar kehormatan bagi seorang ulama yang luas ilmunya.68
66
Abdul Aziz Dahlan “al Shawkânî”, Suplemen Ensiklopedi Islam, vol. 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), 189. 67 Ibid. 68 Ibid.
44
Ia mengajarkan kepada generasi di bawahnya, di antara muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Hasan al-Zumari dan Muhammad bin Nasir al-Hazimi.69 3. Aqidah dan Aliran Madhhabnya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shawkāni adalah seorang ahli Hadith, Fiqh, dan Usul Fiqh. Ia dikenal sebagai ulama’ yang menekuni madhhab Shî’ah Zaydîyah dan dikenal sebagai pengembang serta sumber fatwa dalam madhhabnya.70 Shî’ah adalah sekelompok umat Islam yang mencintai Ali bin Abi Talib dan keturunannya secara berlebihan, kaum Shî’ah berpendapat bahwa Ali dan keturunannya paling berhak memangku jabatan khalifah daripada yang lain, karena Ali adalah orang yang menerima wasiat dari Rasul tentang jabatan khalifah itu sesudah Rasul wafat.71 Dalam pandangan Shî’ah jabatan khalifah merupakan pusaka yang bersifat moral adabi dari Rasul, sehingga hanya orang yang mendapat wasiat dari Rasul saja yang dapat memangku jabatan khalifah, di samping itu jabatan khalifah adalah sebagai rukun agama yang harus diperhatikan benar-benar oleh Nabi untuk dapat dilakukan kepada seluruh umat manusia. Dalam pandangan Shî’ah orang-orang yang berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali, Husayn, dan Ali Zainal Abidin bin
69
Ibid. Ibid. 71 Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, terj. Abu Halim, ( Bandung : Marja), 46-47. 70
45
Husayn.72 Golongan Shî’ah itu terpecah menjadi beberapa golongan (firqah) dalam soal siapa dari keturunan Ali yang berhak untuk mewarisi khalifah. Beberapa golongan pecahan dari Shî’ah adalah Kisânîyah, Zaydîyah, Ismâillîyah dan Ja’farîyah.73 Dari segi akidah, al-Shawkânî berpendapat bahwa segala sifat Allah yang ada dalam al-Qur’an dan Sunah Rasulullah harus diterima apa adanya tanpa ta’wil (mengambil arti metaforis). Tampaknya prinsip inilah yang banyak berpengaruh pada usul fiqh beliau sehingga ia tidak bisa menerima maslahah sebagai metode penetapan Hukum Islam. Di samping mengabdikan dirinya sebagai pengajar di daerahnya, alShawkânî juga mencurahkan pemikirannya melalui karya-karya ilmiahnya dalam berbagai cabang ilmu, di antaranya adalah Fath al-Qadîr dalam bidang tafsir, Nayl al-Awtâr Sharh Muntaqa al-Ikhbâr di bidang Hadith, al-Qawl al Mufîd fî Hukm al-Taqlîd kitab yang menguraikan tentang bahaya taqlid, Irshâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq Min ‘Ilmi al-Usûl kitab hasil karyanya dalam bidang Usul Fiqh, dan lain-lain. Sekalipun al-Shawkânî menganut madhhab Zaydîyah, akan tetapi bukunya dijadikan rujukan oleh penulis modern Sunni, khususnya di bidang tafsir, Hadith dan Usûl Fiqh. Ketiga bukunya yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nayl al-Awtâr (Hadîth) dan Irshâd al-Fuhûl (Usûl Fiqh) merupakan buku 72 73
TM Hasby Assidieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Semarang : PT Pustaka Rizqi Putra 1999), 112. Khallaf, Sejarah Hukum Islam, 46-47.
46
rujukan di IAIN di Indonesia, khususnya di Fakultas Syariah. Hal yang menarik dari uraian dalam ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan persoalan secara obyektif tanpa dibarengi subjektifitas madhhabnya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi tokoh seperti al–Maraghî (1881-1945) ahli Usul Fiqh dari Mesir dan penulis buku Fath al-Mubîn fî Tabaqât al Usûlîyîn (kumpulan biografi tokoh Usul Fiqh) mengemukakan bahwa unsur Zaydîyah dalam kitab Al-Shawkânî tidak terlihat sama sekali. Dari berbagai Fiqh yang telah disusun oleh ulama sebelumnya alShawkânî berusaha menganalisis beberapa persoalan dan mengemukakan kaidah baru yang sejalan dengan shara’ serta kebutuhan zamannya.74
B. Maslahah Dan Maslahah mursalah Dalam Kitab Irshâd al-Fuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq Min ‘Ilm al-Usûl Pertumbuhan Hukum Islam secara garis besar terbagi dalam lima periode yaitu: periode pertama, yaitu pada masa Rasul. Periode ini berkisar antara tahun 610-632 M. Pada masa ini permasalahan yang dialami oleh umat Islam langsung dikembalikan pada Rasul dan diselesaikan oleh beliau, melalui
74
Ibid.
47
wahyu ataupun dengan Sunnahnya yang dibimbing oleh wahyu. Pada waktu itu hukum dari ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat adalah sunnah.75 Periode kedua, yaitu pada masa Khulafâ al-Râshidîn, tahun 632-662 M. pada masa ini permasalahan umat Islam diselesaikan melalui ijtihad para sahabat dengan tetap berpedoman pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka pedoman Hukum Islam pada masa ini didasarkan pada al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijtihad sahabat.76 Periode ketiga, yaitu sejak akhir abad ke-7 M sampai awal abad ke-10 M. Pada masa ini Islam berkembang sangat pesat, karena telah mengalami perluasan wilayah yang turut memunculkan permasalahan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga mengobarkan semangat untuk berijtihad. Hingga sampailah pada suatu masa dimana ijtihad telah sampai pada titik yang terlalu luas cakupannya, banyak hasil ijtihad yang dibukukan sebagai referensi umat Islam pada masa yang akan datang dalam mengatasi persoalan hukumnya. Pada masa ini adalah masa puncak kejayaan umat Islam. Periode keempat adalah masa kemunduran Islam, yang berlangsung sekitar tahun 10/11 M-19 M. Pada masa ini para ahli hukum tidak lagi menggali hukum dari sumbernya yaitu al-Qur’an, dan lebih memilih untuk mengikuti hasil ijtihad dari ulama-ulama pendahulunya. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan untuk berijtihad, 75
Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 89. 76 Ibid.
48
justru melakukannya dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang membingungkan umat dan merusak kemurnian agama, sehingga pada masa ini dinyatakan bahwa pintu ijtihad sudah ditutup.77 Pada masa inilah al-Shawkânî hidup, akan tetapi ia tidak mengikuti seruan tentang tertutupnya pintu ijtihad, dan tetap melakukan ijtihadnya meski mendapat tantangan keras dari para ulama pada masanya. Karena untuk menjawab persoalan yang belum pernah terjadi dan belum ada ketetapan hukumnya maka jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah adalah dengan ijtihad, diantaranya adalah dengan menggunakan maslahah mursalah. Maka maslahah mursalah dalam pandangan al-Shawkânî bukanlah dasar dalam menentukan hukum, akan tetapi sebagai ‘illat hukum. Dan untuk menemukan hukum atas masalah ini adalah dengan metode Qiyas Munasabah. Yaitu dengan mencarikan kesamaan ‘illatnya dengan dalil alQur’an. Di antara pandangannya tentang maslahah mursalah dalam kitab Irshâd adalah sebagai berikut:
1. Pengertian maslahah. Pembahasan tentang maslahah mursalah dalam kitab ini disampaikan dalam bab Qiyas dan dalam bab Istidlâl, akan tetapi pembahasan tentang maslahahnya hanya terdapat dalam bab Qiyas.
77
Ibid.
49
Mengawali pembahasan ini disebutkan definisi maslahah dari beberapa ulama di antaranya adalah al-Razi dan Ibn Hajib. Dalam kitab ini maslahah disebut dengan istilah al-munâsabah berarti kesesuaian, ikhâlat berarti persangkaan, maslahah berarti manfaat atau faedah, istidlâl berarti mencari dalil dan ri’âyat al-maqâsid bentuk jamak dari al-maqsûd.78 Al-maqâsid berarti tujuan-tujuan. Dengan melihat dari banyaknya istilah yang digunakan untuk menyebut maslahah dalam kitab ini mungkin al-Shawkânî tidak memiliki istilah khusus untuk menjelaskan nama maslahah. Akan tetapi mungkin saja dengan adanya beberapa istilah tersebut al-Shawkânî ingin meletakkan atau menjelaskan secara terperinci dari apa yang dimaksud dengan maslahah. Hal ini karena dilihat dari makna lafaz yang ia gunakan untuk mengistilahkan maslahah, yang mana setiap lafaz itu memiliki makna yang berbeda-beda, dan setiap lafaz tersebut berupa istilah untuk metode-metode yang digunakan oleh para ulama untuk mendapatkan kesimpulan hukum.79 Sedangkan arti dari istilah-istilah tersebutkan di atas adalah sebagai berikut: al-munâsabat berarti persesuaian dengan dalil shara’, al-ikhâlat berarti persangkaan, Istidlâl yang berarti mencari dalil yang bersesuaian.
78 79
Al-Shawkanî, Irshâd al-Fuhûl (Beirut : Dâr al-fikr, tt), 214. Ibid.
50
Dan maslahah disebut juga dengan istilah ri’âyat al-maqâsid, yaitu menjaga tujuan dari shara’.80 Maslahah
disebut
dengan
istilah al-munâsabat,
karena
untuk
mendapatkan kepastian hukum dari pemasalahan yang tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an maka seorang mujtahid dapat melakukan munâsabat, yaitu dengan membandingkan permasalahan tersebut dengan ayat al-Qur’an yang sesuai. Dan maslahah disebut juga dengan al-Ikhâlat karena mungkin juga manusia menduga-duga adanya maslahah (manfaat) di balik suatu perkara. Maslahah disebut juga dengan Ri’ayat al-Maqâsid, karena dengan mewujudkan kemaslahatan berarti telah mewujudkan dan menjaga tujuan daripada shara’, yaitu kemaslahatan umat. Al-Razi menyatakan bahwa:81
ءA واi=e~ نAxJ
ا{ اAP r@ اrq?@ا ا “maslahah adalah sesuatu yang perlu untuk dilestarikan dan sejalan dengan keinginan manusia untuk menarik manfaat dan menolak mafsadat (bahaya)”. Di samping itu ia mendefinisikan maslahah dengan:
داتAB@ اr{ ءiB@ل اAB{J ¢ i?@ا “maslahah adalah sesuatu yang sesuai perbuatan orang berakal pada umumnya”
80 81
Ibid. Ibid, 215.
51
Berdasarkan definisi pertama yang diungkapkan oleh al-Razi berarti maslahah atau menarik manfaat dan menolak madarat adalah suatu perkara yang perlu untuk dilestarikan, karena keduanya adalah sebagai inti dari ditetapkannya hukum Islam. Dengan begitu menurut hemat penulis, inti dari definisi di atas terkandung dalam dua lafaznya yaitu lafaz al-tahsîl (=e~n@)ا dan lafaz al-Ibqâ’ (ءAJ)ا. Al-Tahsîl dalam definisi itu berarti menarik manfaat dan yang dimaksud dengan al-ibqâ’ adalah menolak bahaya. Sedangkan lafaz al-Insân adalah sebagai obyek sekaligus subyek dari maslahah, dikatakan sebagai obyek karena manusialah yang dijadikan sasaran dari kemaslahatan itu, dan dikatakan sebagai subyek karena manusia hendaknya berupaya untuk mendapatkan kemaslahatan untuk dirinya sendiri khususnya dan untuk orang lain pada umumnya.
داتAB@ اy{ ءiB@ل اAB{J ¢i?@ا ¢i?@ اberarti vN AM?@ اyang berarti perkara yang sejalan, lafaz ¢i?@ا sama dengan lafaz
F?¢i?@ اsinonim dari FwN AM?@ا. Perbedaan dari keduanya
hanya terdapat pada bentuk kalimatnya saja.
¢i?@ا
dan
vNAM?@ا
adalah
bentuk isim fâ’il (pelaku) dan F?¢i?@ اdan FwNAM?@ اadalah bentuk masdar. Definisi ini dapat disimpulkan bahwa maslahah adalah suatu perkara yang ingin dicapai oleh orang berakal pada umumnya. Karena biasanya jika orang
52
itu mempunyai akal sehat maka dapat dipastikan ia ingin mendapatkan kemaslahatan, dan ingin menjauhi perkara yang membahayakan. Adapun definisi dari manfaat dalam kitab ini disebutkan bahwa manfaat adalah kenyamanan atau jalan untuk mendapatkan kenyamanan itu yang didasari oleh kehendak/keinginan manusia. Dan madarrat adalah kesulitan, kerusakan atau jalan yang mengarah pada kerusakan, dalam kitab Irshâd madarrat adalah tidak adanya perkara sejalan dengan keinginan manusia. Dan manfaat adalah ditemukannya sesuatu yang sesuai dengan kehendak manusia. Menurut hemat penulis suatu definisi itu jika semakin banyak ciri yang disebutkan maka akan menjadi sempit apa yang didefinisikan itu sehingga alShawkânî mengkritik definisi yang disampaikan oleh al-Razi. Di mana ia menolak adanya batasan-batasan tentang maslahah karena menurutnya keduanya (manfaat dan madarrat) adalah sesuatu yang dampaknya antara satu orang dengan yang lain itu berbeda. Mungkin manfaat di satu pihak akan menjadi madarrat di pihak yang lain.82 Maka maslahah menurut al-Shawkânî adalah maslahah begitu saja, tidak usah diartikan yang macam-macam, karena hal itu cukup untuk dirasakan oleh masing-masing individu tanpa harus terlebih dahulu mengetahui maslahah itu apa dan bagaimana. Sikap al-Razi (yang memberikan batasan-batasan terhadap manfaat dan madarrat) justru akan mempersulit umat dalam mencari kejelasan di antara keduanya (manfaat dan madarrat). 82
Ibid, 215.
53
Adapun perbedaan para ulama dalam memberikan definisi maslahah, ini tidak perlu dipermasalahkan. Yang terpenting adalah inti dari tiap-tiap definisi itu tetap mengarah pada adanya menarik manfaat dan menolak madarrat. Dan jika sudah begitu maka menurut hemat penulis semua definisi itu adalah benar adanya.
2. Maslahah Dan Maslahah Mursalah Dalam Bab Qiyas. Dalam kitab Irshâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘ilm al-Usûl disebutkan bahwa maslahah hakiki adalah maslahah yang menempati posisi darûrî (primer), hâji (skunder), dan tahsînî (tersier).83 Yang dimaksud dengan dârûrî adalah kemaslahatan yang mencakup pada lima prinsip dasar shari’at yang menjadi kesepakatan para ulama untuk menjaganya. Yang dimaksud dengan lima prinsip dasar dalam maslahah darûrî adalah menjaga jiwa, harta, nasab, agama, dan akal. Al-Shawkânî menyatakan bahwa, menjaga jiwa harus ada dalam hukum agama, karena tanpa adanya penjagaan terhadap jiwa manusia maka kehidupan umat akan terancam. Di samping itu hukum akan dinilai cacat karena tidak mampu memberikan perlindungan. Untuk itu dalam Islam ditetapkan hukum qisâs, bagi orang yang membunuh maka akan dibalas dengan dibunuh. Sedangkan 83 Maslahah hakiki adalah maslahah yang sesuai dengan kemaslahatan dunia atau berhubungan dengan kemaslahatan akhirat, dan maslahah ini terbagi dalam tiga macam yaitu maslahah darûrat, maslahah hâjât, dan maslahah yang tidak masuk pada kategori darûrat dan hâjât. Karena kebutuhan untuk menjaga kemaslahatanan tidak akan terlepas dari tiga hal di atas. Al-Razi, al-Mahsul Fî Ilm Usûl Fiqh, Vol.2, (Beirut : Dâr al-Kutub, tt), 320.
54
harta adalah kebutuhan manusia untuk bekal dalam hidupnya, untuk itu harta harus dijaga keamanannya. Untuk menjaga harta maka dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menjaga dari penjarahan dan ditetapkannya hukuman potong tangan bagi pencuri.84 Uraian yang serupa juga diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhayli dalam bukunya Usûl al-Fiqh al-Islâmî, dalam kitab ini ia menyatakan bahwa sebagian dari menjaga harta adalah dengan menghindarkan dari perampokan.85 Selanjutnya adalah nasab, aplikasi dari menjaga nasab adalah dengan ditetapkannya hukum haram untuk melakukan zina karena akan menerlantarkan keturunan baik secara hukum maupun secara psikologis. Menjaga keturunan berarti menjaga amanat Allah atas makhluk yang akan menjadi penerus generasi serta menjaganya dari kerusakan karena salah asuh. Atas dasar kemaslahatan tersebut maka disyariatkan akad nikah yang menjadi pengayom lingkungan pendidikan anak. Menjaga agama, manusia harus memiliki agama supaya ia memperoleh derajat yang mulia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk lain. Untuk itu demi menjaga agama maka diperbolehkan untuk membunuh orang-orang murtad dan memerangi orang-orang kafir agar terhindar dari fitnahnya.86 Menjaga akal. Akal merupakan kekuatan batin yang menjadi sumber kebaikan, akal adalah tiang dari tiap-tiap perbuatan yang di dalamnya terdapat kemaslahatan dengan rusaknya akal berarti suatu kerusakan yang besar. 84
Al-Shawkânî, Irshâd, 216. Wahbah al-Zuhayli, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 679. 86 Ibid. 85
55
Dengan diharamkannya meminum khamr atau yang serupa dengan khamr berarti telah menjaga akal dari kerusakan yang akan mendatangkan bahaya bagi seseorang dan bagi orang yang ada di sekitarnya. Dalam masalah menjaga akal ini al-Shawkânî mengkritik pendapat alGhazâlî, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Irshâd, bahwa al-Ghazâli menyatakan bahwa “diperbolehkan meminum khamr sebatas tidak sampai pada tingkat mabuk yang menghilangkan akal, jika sampai mabuk maka agama
apapun
melarang
untuk
meminumnya”.
Al-Shawkânî
tidak
mempercayai adanya batasan “tidak memabukkan” seperti yang diutarakan alGhazâlî. Demi membuktikan pernyataan al-Ghazâlî bahwa khamr itu diperbolehkan maka al-Shawkânî menyatakan bahwa ia benar-benar telah melihat dalam kitab Injil dan kitab Taurat juga kitab orang Bani Israil, dan nyatanya dalam kitab-kitab tersebut tidak disebutkan bahwa minum khamr itu diperbolehkan secara mutlak, juga tidak ada persyaratan baik mabuk atau tidak.87Maka dalam pandangan al-Shawkânî khamr itu adalah haram secara mutlak, karena dalam kitab agama apapun tidak ada yang menyatakan bahwa minum khamr itu diperbolehkan. Penulis sependapat dengan ungkapan al-Shawkânî di atas karena pada kenyataannya di zaman sekarang orang yang sudah terbiasa minum minuman keras maka ia tidak akan cepat mabuk dan orang yang tidak terbiasa akan
87
Al-Shawkânî, Irshâd, 216.
56
cepat mabuk, jika batasan sebagaimana yang tersebut di atas benar-benar dipraktekkan maka hukum keharaman khamr akan menjadi tidak jelas. Adapun setelah maslahah darûrî terdapat maslahah hâjiyat yaitu maslahah yang menempati tempatnya hâjât dan tidak sampai pada tingkat darûrat. Contoh menyewakan rumah yang didasarkan pada kebutuhan akan tempat tinggal dengan waktu kepemilikan yang pendek serta melarang penyewa untuk merubahnya.88 Di bawah hâjiyat adalah maslahah tahsînîyat yaitu maslahah yang berfungsi sebagai penyempurna terhadap maslahah yang masuk pada ruang lingkup maslahah hâjiyat. Menurut al-Shawkânî maslahah ini terbagi dalam tiga bagian yaitu maslahah yang diketahui bahwa shara’ menerimanya, kemudian maslahah yang diketahui bahwa shara’ menolaknya dan maslahah yang tidak diketahui apakah shara’ menerima atau menolaknya.89 Menurut al-Shawkânî maslahah yang mendapatkan petunjuk shara’ secara langsung berarti shara’ telah menyebutkannya secara jelas tanpa melalui isyarat, dan jika tidak begitu maka harus melalui qiyas munâsabah.90 Dalam kitab ini disebut dengan istilah
@ ر ا@}عAwn اD AP
88
Ibid, 216. Ibid. 90 Ibid, 217. 89
57
Yang dimaksud dengan istilah
D adalah نA~}@ اyang berarti yang
diunggulkan, dan yang dimaksud dengan lafaz
{ وyD
رAwnا
adalah
~@ا}اد ا
yaitu adanya hukum yang sejalan dengan kehendak nas. Dan inilah
yang dimaksud al-Shawkânî dengan “mendapat persaksian secara jelas”. Contoh dari maslahah ini adalah qiyas atas pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan benda berat yang disamakan dengan pembunuhan menggunakan besi dalam hal wajibnya qisas,91 meskipun dalam kenyataannya pembunuhan itu tidak dilakukan dengan menggunakan besi. Maslahah ini disebut juga dengan kalimat:
ا Dalam kedudukannya sebagai ‘illat hukum maslahah ini jelas bisa untuk dijadikan dasar dalam menentukan hukum.92 Definisi maslahah menurut al-Shawkânî sebagaimana tersebut di atas adalah sebagai kritik terhadap definisi al Ghazâlî yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
ا
91 92
Ibid. Ibid, 218.
58
Yaitu sifat yang disimpulkan dari nas jika nas itu menyebutkan hukum dari suatu perkara yang serupa secara jelas.93 Sedangkan maslahah yang telah diketahui bahwa shara’ menolaknya (@
ء ا@}عA²@ اD AP), al-Shawkânî memberikan contoh tentang wajibnya
puasa sebagai kafarat bagi raja yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadan. Adapun tujuan dari puasa itu adalah menjadikan raja itu jera. Karena jika hukuman yang diberikan berupa tuntutan untuk memerdekakan budak maka dikhawatirkan raja itu tidak akan menjadi jera,94 karena jika dilihat dari status sosialnya hukuman berupa memerdekakan budak tentu dirasakan lebih ringan. Dan dengan begitu tujuan dari pemberian hukuman untuk memberikan efek jera tentu menjadi tidak efektif. Akan tetapi contoh ini hanyalah pengkiyasan saja, dan jika dilihat dari segi boleh dan tidaknya hukuman ini untuk dilaksanakan, maka penghukuman dengan cara seperti ini tidak diperbolehkan karena tidak sejalan dengan kehendak shara’, sedangkan untuk masalah seperti tersebut di atas, shara’ telah menetapkan pemberian kafarat secara bertingkat atau berurutan tanpa mengenal adanya perbedaan.95 Artinya baik itu seorang raja ataupun orang biasa maka hal itu sama saja dalam hal wajibnya kafarat.
93
Ibid. Ibid, 218. 95 Ibid. 94
59
Maslahah yang tidak diketahui apakah shara’ menerima atau menolaknya. Dalam kitab Irshâd al-Shawkânî menyebutnya dengan istilah:
FB}@< ا
ل اP <=BP @ اzJ وه
ا@ي.ءA²@اJر وAwn اDBJAP FDN}?@ اd@Ae?@A y?x?@روه
اAwnJA maslahah yang tidak diketahui apakah shara’ menerimanya atau menolaknya, yaitu maslahah yang tidak mendapatkan persaksian dari satu dalil dari dalil-dalil shara’ secara jelas, inilah yang disebut dengan maslahah mursalah. Dalam bab ini disebutkan bahwa Imam Malik dengan tanpa ragu-ragu telah menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil untuk menentukan hukum, dan pendapat ini telah terkenal.96 Menanggapi akan hal ini alShawkânî menukil pendapat al-Zarkashi yaitu:97
F~De?D@ rMBPJ وFwNAM?@ اD°?
نqn v ا@?اهp=? y{ ءA?DB@{¶ن ا @ذJ إFDN}?@ا “Sesungguhnya seluruh ulama dari semua madhhab itu berpegang pada munasabah mutlak, dan itulah makna dari maslahah mursalah.” Dari uraian di atas menurut hemat penulis, definisi yang disebutkan oleh al-Shawkânî tentang maslahah mursalah intinya sama dengan definisi yang diberikan oleh para ulama pada umumnya. Sedangkan dalam menanggapi pendapat para ulama yang menggunakan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menarik kesimpulan hukum, tampaknya al-Shawkânî 96 97
Ibid. Ibid.
60
sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh al-Zarkashi. Ini adalah sebuah indikasi bahwa pada dasarnya setiap ulama dari madhhab apapun menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode untuk menyimpulkan hukum,
hanya saja para ulama berbeda–beda dalam
penggunaan metode, ada yang menggunakan metode Istidlâl sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazâlî, dan ada yang menggunakan metode istihsân seperti yang dianut madhhab Abu Hanifah, serta berbeda dalam ukuran sejauh mana maslahah mursalah itu bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan hukum. Al-Razi, dalam kitabnya al-Mahsûl98 menyatakan bahwa :
نAآAP وآAz=@ت ا@}ع اAqn@ إذا·< إAz=@« اqnDA?ف اAوJA{ FD?m@Aو ¹
@ن اA آA?D}ا ا
ى وآwnBP
ن ·< آAت ا@}ع ا@= اآ¸} آAqn@إ ذ@ ا@~ اآG r{ }اwnBP ¹
@ن ·< آ
ن ذ@ اAوا@~ ا¯ آ “secara global maka sesungguhnya boleh untuk condong pada suatu hukum apabila terdapat indikasi bahwa shara’ juga mempunyai kecondongan terhadap hukum itu. Dan setiap perkara apabila kecondongan shara’ kepada perkara itu lebih besar maka tanda bahwa ia bisa dijadikan dalil menjadi lebih kuat. Dan semua perkara jika antara ‘illat dan hukumnya lebih khusus maka indikasi bahwa adanya ‘illat itu bisa dijadikan dasar hukum menjadi lebih kuat. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa maslahah mursalah itu boleh digunakan sebagai dasar untuk menetapkan hukum dengan syarat maslahah mursalah itu lebih dekat atau lebih mirip dengan yang telah ditetapkan oleh
98
Al-Razi, al-Mahsûl, 218.
61
nas, semakin banyak kecondongannya maka kemungkinan untuk dijadikan dasar hukum menjadi lebih besar. Pendapat al-Razi ini secara tidak langsung telah menyatakan bahwa menemukan maslahah mursalah dengan menggunakan munâsabah yang berarti menyamakan. Dengan munâsabah itu maslahah mursalah secara jelas tidak dapat dijadikan pegangan jika tidak ada kemiripan dengan apa yang terdapat dalam nas yang digunakan sebagai dasar perbandingan terhadap maslahah itu. Adapun untuk maslahah yang bersifat langka (gharib), maka jumhur ulama Shî’ah juga sepakat untuk menolaknya. Adapun jika maslahah itu sejalan dengan kehendak shara’ maka al-Shawkânî menyatakan bahwa menurut al-Ghazâlî maslahah ini bisa diterima, begitu juga dengan Imam Malik dan Imam Shafī’ī. Akan tetapi meskipun begitu menurut al-Shawkânî lebih baik untuk menolaknya walaupun al-Ghazâlî memberikan batasan hendaknya maslahah itu memenuhi tiga kriteria yaitu darûrî, qat’î, dan kullî. Karena pada dasarnya sebagaimana diungkapkan oleh Ibn al-Hajib bahwa semua perkara yang tidak disebutkan secara jelas maka itu adalah mursal. 1. Maslahah mursalah al-Shawkânî dalam bab istidlâl Penolakan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah juga disampaikan dalam bab Istidlâl. Hal ini dapat dilihat pada saat al-Shawkânî mengomentari contoh-contoh tentang permasalahan yang masuk pada ruang lingkup
62
maslahah mursalah yang diberikan oleh al-Ghazali. Disamping itu pembahasan tentang maslahah mursalah dalam bab Istidlâl ini adalah sebagai penyempurna daripada pembahasan pada bab sebelumnya yaitu dalam bab qiyas, selain itu karena sebagian ulama juga membahasnya dalam bab istidlâl, dan mereka (para ulama) menyebutnya dengan istidlâl mursal. Dan pada bab sebelumnya (dalam bab qiyas) dalam pembahasannya tentang maslahah mursalah ia telah menyatakan bahwa ulama dalam madhhabnya tidak akan menggunakan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menentukan hukum artinya jumhur ulama Shi’ah menolak menggunakan maslahah mursalah secara mutlak.99 Pada bab ini al-Shawkânî menyatakan pendapat dari beberapa ulama tentang maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum, kemudian ia menyatakan bahwa “para ulama benar-benar telah berselisih pendapat dalam menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum”. Ada golongan ulama yang menerima dan ada yang menolaknya. Salah satu golongan yang menolak untuk berpegang pada maslahah mursalah sebagai dasar hukum secara mutlak, adalah pendapat dari mayoritas ulama Shî’ah, dalam kitab Irshâd dinyatakan bahwa:
رz?m@ اv وا@= ذهAD°P Az x?n@ اpMP “jumhur ulama berpendapat bahwa berpegang terhadap maslahah mursal itu dilarang” 99
al-Shawkânî, Irshâd, 242.
63
Adapun golongan yang membolehkan secara mutlak, di antaranya adalah Imam Malik, kemudian Imam Ahmad bin Hanbal, hal ini juga disebutkan oleh al-Juwaini dalam kitab al-Burhân.100 Bahkan dalam bab ini, terlepas dari benar dan tidaknya, disebutkan bahwa Imam Malik karena terlalu kuat berpegang terhadap maslahah mursalah sehingga ia berani untuk menghalalkan pembunuhan dan mengambil harta orang lain dengan alasan untuk mendapatkan kemaslahatan yang hanya didasarkan pada kuatnya persangkaan akan adanya maslahah di balik semua itu meskipun tidak ada dalil yang dapat dijadikan sandaran. Menanggapi akan hal ini al-Shawkânî tetap menerima dan menghormati atas apa yang disampaikan oleh ulama tersebut dalam menjadikan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menentukan hukum. Kemudian al-Shawkânî mengutip pernyataan al-Qarafi yang mengatakan “bahwa pada dasarnya seluruh ulama dari semua madhhab itu menggunakan maslahah mursalah akan tetapi mungkin yang dimaksud dengan maslahah mursalah menurut para ulama adalah tidak mencari dalil atas perkara yang belum ada kepastian hukumnya”. Dan jika benar seperti apa yang disampaikan oleh al-Qarafi, hal ini tentu tidak sejalan dengan pendapat al-Shawkânî, karena menurutnya jika permasalahan itu tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an maka hendaknya ulama mencari dalil dengan ‘illat yang sesuai dengan masalah itu. dalam bab ini al-Shawkânî menyatakan 100
Ibid.
64
bahwa: apabila maslahah mursalah itu sejalan dengan dalil kullî dari dalildalilnya shara’ maka diperbolehkan untuk berpegang padanya (maslahah mursalah).101 Hal ini menurut hemat penulis merupakan satu indikasi bahwa al-Shawkânî hanya mau berpegang pada suatu kemaslahatan yang sejalan dengan dalil shara’ saja, dan menurutnya maslahah seperti itulah yang paling tepat dipilih sebagai dasar dalam metode penetapan hukum. Di sinilah letak ciri khas al-Shawkânî, sebagai seorang ulama dari madhhab Shî’ah, yang mana dalam dalam madhhab ini rasa patuh dan tunduk dalam beragama terlihat lebih diutamakan. Sebagai tambahan al-Shawkânî menyatakan bahwa102
p=? y{ ءA?DB@ن اA{ @ آº=@ وFDN}?@ اF~De?@A F=@A?@}ا د اq} اzn©ا @ ذJ اFDN}?@ اF~De?D@ yMBP J وFwNAM?@ اD°?
نqn vا@?اه “Telah masyhur dalam masyarakat bahwa golongan mâlikîyah yang menggunakan maslahah mursalah, padahal tidaklah demikian karena para ulama dalam segala maddhab mencukupi dalam beristidlâl dengan adanya munâsabah antara hukum-hukum itu padahal tidak ada maslahah mursalah selain daripada makna itu” Adapun maslahah yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum itu hendaknya bersifat darûrî, qat’î, dan kullî. Dalam hal ini, sebagaimana dalam kitab yang dimaksud dengan darûrî adalah hendaknya maslahah itu mencakup lima kebutuhan pokok manusia sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kulliyah 101 102
Ibid. Ibid, 218.
65
adalah hendaknya benar-benar bersifat merata untuk seluruh umat Islam, bukan hanya untuk sebagian saja, dan tidak terbatas pada satu tempat saja. Untuk hal ini al-Shawkânî mengkritik contoh yang diberikan oleh al-Ghazâlî tentang orang-orang Islam yang disandera dan dijadikan tameng oleh orangorang kafir. Jika pihak orang Islam akan memanah, maka panahnya pasti akan mengenai tameng itu. Dan itu berarti telah membunuh orang islam yang tidak berdosa. Tapi sebaliknya jika orang Islam tidak melempar panah ke kubu orang kafir maka orang Islam akan dikuasai, dan mereka akan membunuh orang-orang Islam yang melempar panah sekaligus membunuh orang Islam yang menjadi tawanan dan dijadikan tameng, maka akan terjadi lebih banyak pembunuhan. Untuk itu menurut al-Ghazalî menyerang orang kafir dengan resiko terbunuhnya para sandera yang menjadi tameng itu dirasa lebih dekat pada tujuan shara’ karena sesungguhnya shara’ bermaksud untuk menyedikitkan pembunuhan sebagaiman shara bermaksud untuk melindungi orang Islam sekira mampu, tapi seandainya tidak mampu maka telah berhasil menyedikitkannya.103 Kemudian al-Shawkânî berkata:
=@ J }عD@
دةeP Az
@}ورة آA D F~DeP y@ اAAqn@ن ها اAوآ }°@ا اz
دe?@= ها اe~ <@}وe~@ اrDFرA F@دA Gوا F~De?@ر ه اAwnح اM={ <=BP @ اz @ v J
103
Ibid, 242.
66
“Dan dengan menyedikitkan pembunuhan, maka maslahah ini telah berpaling dari apa yang dinamakan dengan maslahah darûrat sebagai tujuan dari ditetapkannya hukum shara’ yang tidak memiliki dalil dalam al-Qur’an, maka mencapai tujuan shara’ dengan membunuh orang yang tidak berdosa adalah maslahah yang tercela”. Contoh di atas menurut al Shawkânî pantas untuk dikecam karena tidak memenuhi tiga persyaratan yang telah ditetapkan yaitu darûrî, qat’i, dan kulli, karena apa tertera dalam contoh itu tidak terjadi pada semua umat Islam tapi hanya terjadi pada mereka yang bertikai dengan orang kafir. Untuk itu kesimpulan dari contoh al-Ghazâlî adalah ditolak karena gambaran yang terdapat dalam contoh itu terlalu sempit cakupannya dan contoh itu tidak ada bukti nyatanya.104
}اطn©A Az@
w y{ ==n@ Az لJnNJ رد اy@§ا²@م اi آAGو
رو
دenJAP Kritik al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah tersebut di atas adalah sebagai gambaran tentang bagaimana penggunaan maslahah mursalah olehnya, yang mana dalam prakteknya batasan maslahah mursalah dalam pandangan al-Shawkânî itu lebih luas dari pada yang dicontohkan al Ghazâlî. Kesimpulan dari contoh di atas adalah hendaknya maslahah itu benar-benar memberikan manfaat untuk umat seluruhnya tanpa ada satu golongan pun yang dirugikan, sedangkan dalam contoh al-Ghazali tersebut berarti telah merugikan orang Islam yang menjadi tawanan. Uraian ini sesuai apa yang 104
Ibid.
67
diutarakan al-Shawkânî di akhir pembahasannya tentang maslahah mursalah, di mana ia menyatakan bahwa untuk berpegang pada maslahah mursalah itu diperlukan kehati-hatian yang sungguh-sungguh. Apalagi jika untuk mendapatkan maslahah mursalah itu harus dengan menyakiti orang muslim. Maka ini adalah tercela dan merupakan suatu kemungkaran yang besar.105
C. Kedudukan maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum. Persyaratan maslahah mursalah (darûrî, qat’i, dan kulli) yang disampaikan oleh al-Shawkânî dalam kritiknya terhadap al Ghazâlî merupakan sebuah gambaran yang cukup untuk menunjukkan penolakan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum. Kalaupun ia menerima maka hendaknya maslahah itu memiliki dalil yang bisa digunakan sebagai pertimbangan atau al-munâsabât. Akan tetapi al-Shawkânî tidak mencela para ulama yang berpendapat bahwa maslahah mursalah bisa dijadikan sebagi dasar dalam menetapkan hukum. Dalam kritiknya ia menyatakan bahwa berpegang terhadap maslahah mursalah seperti yang dicontohkan al-Ghazâlî adalah perbuatan yang tercela. Dalam hal ini sebenarnya al-Zarkashi menyatakan bahwa seorang ahli fiqih itu memberikan contoh yang jarang terjadi, karena menurut mereka di masa yang akan datang mungkin akan ada permasalahan yang serupa dengan itu, dan mereka memberikan contoh yang mustahil untuk dinalar, semata-
105
Ibid.
68
mata adalah untuk melatih kepahaman. Menanggapi hal ini al-Shawkânî sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Ibn Daqîq al-‘Id yang menyatakan bahwa : Ia tidak bermaksud untuk mengingkari atas orang yang menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, akan tetapi menentukan hukum dengan menggunakan maslahah mursalah itu diperlukan ketelitian yang amat sangat, karena dikhawatirkan akan keluar dari batas-batas yang telah ditentukan dengan jelas oleh nas, ijma’ atau yang lainnya.106 Penolakan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah ini menurut hemat penulis tidak saja karena ia menganggap bahwa maslahah mursalah adalah konsep yang muncul dari akal atau hanya sebatas dugaan manusia saja, sedangkan dalam pandangan al-Shawkânî suatu yang muncul dari akal atau hanya didasari dengan dugaan yang bersumber dari akal manusia itu belum tentu bisa dipastikan
kebenarannya,
maka untuk menyikapi hal itu diperlukan langkah
yang hati-hati untuk menggunakannya. Dalam masalah hukum al-Shawkânî lebih cenderung berpegang pada nas al-Qur’an secara apa adanya, dan berkenan untuk menggunakan maslahah mursalah akan tetapi dalam penggunaannya ia menggunakan metode Qiyas al-Munâsabât, sebagaimana al-Ghazali yang menerima maslahah dengan dikembalikan kepada qiyas.
106
Ibid, 243.
69
BAB IV PANDANGAN AL-SHAWKÂNÎ TERHADAP MASLAHAH MURSALAH DAN RELEVANSINYANYA DENGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Maslahah Mursalah Sebagai Salah Satu Metode Ijtihad Ijtihad merupakan suatu perkara yang berhubungan erat dengan upaya menemukan hukum Islam. Orang yang melakukan ijtihad disebut dengan istilah mujtahid. Adapun di antara perkara yang masuk pada kawasan ijtihadi adalah setiap kasus baru yang belum ada ketetapan hukumnya dalam nas al-Qur’an atau Sunnah, atau yang masih menjadi perselisihan di kalangan para ulama. Imam Fakhr al-Razi menyatakan bahwa kasus yang boleh untuk diijtihadi adalah setiap hukum Islam yang tidak dijelaskan oleh dalil qat’î. Sedangkan Abu al-Husayn alBasry menyatakan bahwa kawasan ijtihad adalah permasalahan yang menjadi pertentangan di kalangan para fuqaha’.107 Tujuan dari ijtihad ini adalah untuk dapat menemukan kepastian hukum atas permasalahan baru yang sesuai dengan keadaan umat di masa sekarang. Akan tetapi ijtihad atas satu hukum yang dilakukan oleh beberapa orang, belum tentu akan menghasilkan kesimpulan yang sama, mengingat pendapat dan cara berfikir masing-masing individu yang berbeda. Fiqh merupakan salah satu hasil ijtihad, oleh karena itu perbedaan persepsi dalam bidang fiqh bukanlah sesuatu yang
107
Al-Shawkânî, Irshâd al-Fuhûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), 253.
70
mengherankan, karena shari’ah adalah wahyu sedangkan fiqh adalah hasil dari pemikiran dan penalaran manusia. Secara etimologis fiqh berarti paham, maka dalam perkembangannya fiqh tidak akan terlepas dari penalaran manusia, meskipun dalam penggunaannya nanti akan tetap terikat pada wahyu Allah yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Di samping itu fiqh dalam pandangan penulis adalah suatu ketetapan hukum yang bersifat ‘amaliyah (praktis). Seperti contoh perintah untuk mengerjakan shalat yang bersumber pada nukilan ayat yang berbunyi aqîm al-salât, yang berarti dirikanlah shalat, dan hadîth yang artinya “Shalatlah kalian sebagaimana aku mengerjakan shalat.” Dalam bab ini penulis merasa perlu untuk mengawali analisa dengan sedikit menyinggung masalah ijtihad karena maslahah mursalah juga salah satu dari beberapa metode ijtihad, di samping itu menurut sepengetahuan penulis di antara beberapa metode yang biasa digunakan untuk berijtihad adalah Istihsân, Istislâh, Qiyâs, dan ada juga yang menggunakan maslahah mursalah. Hal ini tergantung dari aliran madhhab masing-masing ulama, karena pada dasarnya mereka memiliki kecondongan sendiri-sendiri dalam memilih metode ijtihad, dan antara madhhab yang satu dengan yang lain tidak sama. Dan kita sebagai pengikut tidak dibenarkan untuk mencaci perbedaan tersebut, akan tetapi perbedaan itu perlu disikapi dengan arif dan bijak.
71
B. Maslahah Mursalah al-Shawkânî dan Hukum Islam di Indonesia Maslahah merupakan unsur terpenting dalam hukum Islam, karena ia sebagai maqâsid al-sharî’ah yaitu sebagai tujuan dari ditetapkannya hukum Islam, maka setiap hukum Allah itu pasti mengandung maslahah. Sedangkan maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak mendapatkan pengakuan dari nas, maka di kalangan para ulama timbul pertanyaan apakah benar itu maslahah atau bukan, jika demikian maka hal ini bisa dijadikan tempat untuk di ijtihadi, hasil dari ijtihad masalah ini belum tentu sama di antara para mujtahid, mungkin karena adanya pertimbangan atas maslahat yang berbeda pula, hal ini mungkin disesuaikan dengan kebutuhan mereka dan berdasarkan pada pemahaman masingmasing atas apa yang dinamakan dengan maslahah. Dalam soal maslahah mursalah sebagai salah satu dasar istinbat hukum Islam, ada beberapa pendapat, di antaranya adalah al-Shawkânî. Dalam uraiannya tentang maslahah al-Shawkânî tidak jauh berbeda dengan ulama lain seperti alGhazalî dan al-Shatibî, akan tetapi ia tidak dapat menerima maslahah mursalah sebagai dalil shara’. Ini bukan berarti ia tidak menggunakan maslahah mursalah, bahkan ia menyadari bahwa pada dasarnya semua ulama itu telah menggunakan maslahah mursalah, akan tetapi perlu hati-hati dalam menerapkannya.108 Karena menurut al-Shawkâni, maslahah mursalah merupakan konsep yang muncul dari akal
manusia saja, artinya manusia hanya bisa menduga bahwa ini adalah
108
Ibid, 242.
72
maslahah, sehingga khawatir akan menjerumuskan pada perbuatan dosa.109 Karena itulah al-Shawkânî menolak untuk menggunakan maslahah mursalah sebagai dasar dalam menentukan hukum110. Penolakan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah sebagai dalil dalam menentukan hukum senada dengan pendapat Wahbah Zuhayli, di mana ia menolak istinbat hukum shara’ yang didasarkan atas maslahah kecuali jika telah jelas-jelas dan tegas dapat dikembalikan pada nas. Di awal pembahasannya tentang maslahah dalam bab qiyas, al-Shawkânî menyatakan bahwa maslahah merupakan penjabaran dan pendalaman dari bab qiyas. Dalam bab ini ia menyebut maslahah dengan istilah munâsabat, atau almulâim, yang berarti sesuai atau sejalan. Menurut hemat penulis istilah-istilah di atas mungkin merupakan gambaran metode yang digunakan oleh al-Shawkânî dalam melakukan ijtihadnya karena ada banyak metode yang dapat dipilih oleh para mujtahid untuk berijtihad tergantung mana yang menurut mereka dirasa lebih tepat. Maslahah mursalah adalah kasus baru yang menyangkut kepentingan orang banyak yang belum memiliki kepastian hukum, baik dalam al-Qur’an maupun alSunnah, padahal keduanya adalah sebagai dasar hukum yang pasti. 109
Ibid, 214.
اهn@ }ةw J “Sesuatu yang didasarkan pada wahm (dugaan yang lebih memungkinkan salah daripada benar), tidak dapat diterima”. Tampaknya kaidah inilah yang sesuai untuk menyimpulkan kekhawatiran yang disampaikan oleh al-Shawkânî, karena mengingat bahwa manusia adalah sebagai tempat salah dan lupa, apalagi dalam wilayah hukum dan orang yang mempunyai dugaan itu adalah orang yang kurang mngerti tentang bagaimana metode memahami hukum. 110
73
Untuk itu maka al-Shawkânî lebih memilih mengembalikannya pada qiyâs al-munâsabat, menurut hemat penulis metode ini adalah metode yang paling berhati-hati dalam menyikapi masalah tersebut. Menurut pendapat penulis, beliau lebih memilih metode ini, mengingat alShawkânî
hidup
pada
masa
agama
Islam
tengah
mengalami
masa
kemundurannya, yaitu pada periode ke-empat ditandai dengan adanya hasil-hasil ijtihad yang membingungkan umat pada waktu itu, sehingga para ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sedangkan al-Shawkânî pada masa itu tetap memilih untuk melakukan ijtihad, karena menurutnya setiap zaman itu tidak boleh kosong dari adanya ijtihad dan mujtahid.111 Maka ia memilih metode penetapan hukum dari maslahah mursalah dengan qiyas munâsabah ini, adalah untuk menjaga kemurnian Islam. Karena dengan Qiyas Munasabah ini yang belum memiliki kepastian hukum bisa diteliti apakah benar-benar mengandung maslahah untuk manusia atau tidak. Metode ini juga sebagai metode yang paling baik untuk menyelesaikan masalah yang masuk pada ruang lingkup maslahah mursalah, karena dengan metode ini kekhawatiran akan terjerumusnya manusia pada kesesatan bisa diminimalisir. Metode ini merupakan salah satu bukti dari keteguhan kaum Shi’ah
111
Ibid, 253.
74
untuk mentaati dan melaksanakan apa yang tertera dalam al-Qur’an.112 Dengan metode Qiyas munasabat ini, permasalahan yang belum memiliki kepastian hukum dicari unsur persamaannya dengan peristiwa hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, jika ternyati masalah baru itu memiliki kecondongan yang kuat maka kemungkinan bahwa masalah itu membawa manfaat menjadi semakin kuat, dan bisa ditemukan kepastian hukumnya. Menurut hemat penulis metode istinbat seperti ini perlu dilestarikan, agar tercapai kemaslahatan yang nyata dan sesuai dengan kehendak nas, 113 di samping untuk membuktikan bahwa al-Qur’an tetap indah untuk dikaji dan mampu menjawab persoalan zaman yang terus berkembang. Karena jika tidak demikian, boleh jadi pada suatu masa akan muncul suatu permasalahan yang tampak sama dengan permasalahan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tapi jika diteliti lebih lanjut ternyata kasus itu tidak sama dengan apa yang terdapat dalam keduanya. Metode seperti yang ditawarkan oleh al-Shawkânî ini juga bisa dijadikan peringatan bagi orang yang berijtihad bahwa masih ada yang harus mereka tinjau terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan, sehingga para mujtahid tidak terlalu bebas dalam upayanya menentukan hukum. Sekilas usul fiqh al-Shawkânî memang dirasa lebih kaku, apalagi jika dilihat dari tanggapannya terhadap maslahah mursalah, hal ini jika kita
46.
112
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Terj. Abu Halim, (Bandung: Marja 2000),
113
Irshâd, 215.
75
bandingkan dengan pendapat dari beberapa ulama yang telah diungkapkan dalam bab terdahulu seperti halnya al-Ghazâlî, al-Shâtibî, dan al-Tufi. Di mana dalam uraiannya tentang maslahah mursalah al-Ghazâlî menyatakan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya penetapan hukum Islam jika maslahah itu memenuhi tiga kriteria yaitu darûrîyat, qat’îyat, dan kulliyat. Akan tetapi batasan yang diberikan oleh al-Ghazalî itu terlalu sempit menurut alShawkânî, maka itu tidak bisa dinamakan sebagai maslahah mursalah. Contohnya dalam hal orang muslim yang dijadikan perisai hidup oleh musuh, menurut al-Shawkânî itu hanya berlaku ditempat mereka yang berseteru dengan orang kafir saja, dan tidak semua orang muslim itu berseteru dengan orang kafir, sebagian malah ada yang bisa hidup damai berdampingan. Maka membunuh orang muslim yang dijadikan perisai agar tidak jatuh korban lebih banyak itu tidak dapat dibenarkan apalagi dijadikan pedoman, dan tidak dinamakan dengan maslahah.114 Dalam tata hukum di Indonesia contoh permasalahan yang terdapat dalam al-Qur’an dan tetap berlaku sampai sekarang tanpa harus mengambil makna implisitnya yaitu: dalam surat al-Nisa’ (4):35 terdapat ketentuan bahwa jika suami istri bercekcok terus hingga dikhawatirkan akan terjadi perceraian maka menurut ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an hendaknya diangkat seorang hakam sebagai penengah dari kedua belah pihak. Adapun kemaslahatan yang hendak dicapai dengan mengangkat hakam dari keluarga keduanya adalah untuk 114
Ibid, 242.
76
mendapatkan perdamaian, dan jika tidak demikian maka yang menjadi hakam adalah hakim dari pihak pengadilan. Sehingga perceraian hanya dapat ditempuh melalui proses persidangan dalam pengadilan, setelah ada upaya mendamaikan kedua belah pihak yang dilakukan oleh hakim. Pengangkatan hakim sebagai penengah ini tidak sama dengan apa yang diperintahkan al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an disebutkan bahwa hakam harus berasal dari kedua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga istri. Dan menurut hemat penulis inilah yang dinamakan maslahah mursalah. Di Indonesia hal ini telah diatur oleh UU No.1 tahun 1974. Ini adalah salah satu bukti akan perlunya maslahah mursalah dalam metode penetapan hukum. Jika dilihat dari kacamata maslahah mursalah menurut al-Shawkânî hal ini dapat dibenarkan, meskipun telah keluar dari ketentuan al-Qur’an yaitu hakam harus berasal dari salah satu anggota keluarga dari masing-masing pihak yang bermasalah. Dan jika diqiyaskan dengan ayat al-Qur’an, masalah ini memiliki ‘illat sesuai dengan apa yang telah ditetapkan didalamnya. Untuk itu maka pandangan al-Shawkânî tehadap maslahah mursalah dengan hukum yang berlaku di Indonesia sesuai dengan sebagian pasal yang terdapat dalam KHI yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. KHI adalah undang-undang hukum Islam yang berlaku di Indonesia yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yaitu masyarakat yang beragam. KHI
77
sebagai hukum Islam di Indonesia berlaku secara yuridis dan diakui sebagai hukum positif karena telah ditunjuk dengan peraturan perundang-undangan. KHI mencantumkan berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan orang Islam Indonesia dan menjadi acuan dalam menetapkan hukum di Peradilan Agama.115 Kompilasi Hukum Islam disusun dengan memperhatikan fenomenafenomena yang ada pada masyarakat Indonesia, akan tetapi tetap berlandaskan pada kemaslahatan baik yang telah disebutkan oleh nas secara jelas ataupun tidak.116 Pasal yang jelas sejalan dengan ketentuan al-Qur’an dalam KHI adalah pasal 57 yang menjelaskan tentang kebolehan untuk beristri lebih dari satu. Dalam pasal 57 ayat 1disebutkan bahwa batas dalam berpoligami adalah empat orang istri, kemudian dalam ayat 2 disebutkan bahwa suami yang berpoligami harus mampu untuk berbuat adil terhadap para istrinya dan anak-anaknya. Uraian di atas merupakan aplikasi dari maslahah mu’tabarah, karena telah ada penunjukan secara langsung dari al-Qur’an tentang masalah tersebut, yaitu dalam surat an-Nisa’ ayat 3, dan banyak pasal lain yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an akan tetapi sejalan dengan yang dikehendaki oleh shara’. Dan inilah yang disebut dengan maslahah mursalah.
115
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 35. Ada kemungkinan bahwa metode yang digunakan untuk merumuskan pasal dalam KHI yang tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dengan menggunakan Qiyas munasabah ini. 116
78
Maka antara pandangan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah dengan hukum Islam yang berlaku di Indonesia relevan dengan pasal dalam KHI. Untuk itu pandangan al-Shawkânî terhadap maslahah mursalah akan memberikan hikmah terutama bagi para pembuat hukum dan para pemimpin serta penguasa, dan mujtahid, apapun pertimbangan mereka dalam menetapkan hukum Islam khususnya untuk selalu ingat bahwa masih ada dasar hukum yang harus tetap dijadikan pedoman yaitu al-Qur’an. Ambillah segi positif dari kefanatikan maddhab Shî’ah ini, dan jangan sampai hanya melihat pada kefanatikannya dan dijadikan pegangan oleh para pemimpin, karena dengan demikian justru akan menyebabkan kemandegan hukum dan tidak tercapainya kemaslahatan umat, dan hal ini tidak bisa dibenarkan karena dalam urusan apapun bagi para pemimpin kemaslahatan umat itulah yang harus terlebih dahulu diwujudkan.
79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Maslahah mursalah menurut al-Shawkânî adalah maslahah yang tidak mempunyai kesaksian shara’ dan dapat dicari kepastian hukumnya akan tetapi melalui Qiyas munâsabah. 2. Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum dengan syarat maslahah tersebut adalah maslahah yang bersifat darûrî, qat’î, dan kulli. Ketiga syarat itu berlaku untuk seluruh umat manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu. 3. Maslahah mursalah al-Shawkânî sesuai dengan Hukum Islam dalam KHI dan tidak untuk seluruh hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
B. Saran-saran Terhadap para pemerhati skripsi ini perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama itu adalah sebagai dinamika kehidupan yang tidak bisa dihindarkan dan tidak perlu untuk dipandang dengan sebelah mata dan disikapi dengan fanatisme madhhab yang buta. Karena pada dasarnya pemahaman yang mendalam terhadap substansi fiqh dan shari’ah paling tidak dapat menjadikan
80
orang lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam bidang fiqh, beserta pengamalannya. Karena perbedaan dalam bidang ini adalah sesuatu yang lumrah, dengan demikian maka diharapkan di antara pengikut ulama madhhab akan saling toleran untuk mengerti formula fiqh dari ulama yang diikutinya. Karena dalam bab yang terdahulu telah dinyatakan bahwa fiqh merupakan hasil dari daya nalar para mujtahid yang juga merupakan manusia biasa yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Sehingga hasil dari pemikirannya meskipun telah diyakini kebenarannya, tapi tidak tertutup kemungkinan akan terdapat kesalahan di dalamnya. Terhadap calon peneliti selanjutnya sempurna
sehingga
dapat
dilakukan
penelitian ini masih jauh dari
penelitian
untuk
menuju
kepada
kesempurnaan.
C. Penutup Alhamdulillahi Rabbil ‘âlâmin penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini walaupun masih banyak terdapat kekurangan disana sini. Demikianlah yang dapat penulis lakukan teriring harapan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Amin
81
DAFTAR PUSTAKA
Amiri, Abdullah Al-Husayn, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. Aziz, Izzudin Abdul, Qowâ’id al-Ahkâm Fî Masâlih al-Anâm. Beirut: Dâr al-Kutub, tt. Departemen agama RI. Al-qur’an Dan Terjemahannya. Semarang: CV. Karya Toha Putra, 1992. Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Djazuli H.A. Usûl Fiqh. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Ghazali. Al-Mustasfâ. Vol. I. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Haroen, Nasroen. Usûl Fiqh I. Jakarta: Logos, 1997. Istibsjaroh. “Dhawâbit al-Maslahah” dalam Jurnal UIN Malang. Malang UIN: 2000. Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. ---------Usul Fiqh. Jakarta: Raja grafindo Persada, 2000. ---------Sejarah Hukum Islam. Bandung: Marja, 2000. Madjid, Ahmad Abdul. Usul Fiqh. Pasuruan: Garuda Buana Indah, 1994. Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh Sejarah Dan kaidah Asasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis. Terj. Yudian W. Aswin. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997. Razi, Al-mahsûl Fî ‘Ilm al-Usûl. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.
82
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Shatibi. Al-Muwâfaqât. Vol II. Beirut: Dâr al-fikr, 1314. Shawkânî. Irshâd al-Fuhûl Ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Usûl, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. ---------Fath al-Qâdir. Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Shiddieqy, Hasby. Filsafat Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001. ---------Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Subana, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung : Pustaka Setia, 2005. Suratmaputra, Ahmad Munif. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Syafe’ie, Rahamat. Ilmu Usul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Syarifuddin, Amir. Usul Fiqh 2. Jakarta: Logos, 2001. Tim Penyusun. Ensiklopedi Islam, Edisi Suplemen. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Usman, Suparman. Hukum Islam, Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Di Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Zahroh, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1985. Zuhayli, Wahbah, Usûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Beirut: Dâr al-Fikr, tt.