BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Allah menurunkan manusia ke dunia ini adalah sebagai khalifah secara umum. Tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan. Untuk menunaikan tugas tersebut Allah SWT memberi manusia dua anugrah nikmat utama, yaitu “sistem kehidupan” dan “sarana kehidupan”.1 Sistem kehidupan adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada al-Qur’an dan sunnah Rasul. Sedangkan sarana kehidupan adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Sarana ini dapat berbentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, ternak, harta benda dan lain-lain yang berguna dalam kehidupan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kebutuhan manusia juga semakin kompleks yang semuanya harus dipenuhi baik secara individu maupun dengan bantuan orang lain.2
:ة./F;G2)ا...ن ِ ْوَا./ُ12ْ وَا3ِ /ْ45 ِ ْ ا6/َ78 َ ْا9:ُ َ; َو1<َ َ5 َى َو9>ْ @?2 وَاBِّ Cِ 2ْ ا6َ78 َ ْا9:ُ َ; َو1<َ َو (٢ 1
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 7. 2 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 1996), 278.
1
2
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Maidah: 2).3 Oleh karena itu dalam kehidupan manusia tidak lepas dari peraturan hukum. Patokan hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam bermasyarakat itu disebut hukum muamalah.4 Salah satu bentuk muamalah yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia adalah mu’amalah jual beli, hampir semua manusia pernah melakukannya.5 Allah mensyariatkan transaksi perdagangan jual beli sebagai pemberian peluang dan keleluasaan dari Allah untuk hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan lain-lain. Kebutuhan seperti itu tidak pernah putus dan tak henti-henti selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan ini tak satu hal pun yang lebih sempurna dari pertukaran dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing. Dan apabila seseorang untuk mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus adanya sistem
3
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995), 5:2. Ahmad Azhar Basyir, Azas-Azaz Hukum Muamalah, Hukum Perdata Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), 11. 5 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), 234. 4
3
atau cara yang memungkinkan setiap orang untuk mendapatkan apa saja yang ia butuhkan tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan.6 Untuk menghindari hal itu, orang yang berkecimpung dalam dunia usaha, berkewajiban mengetahui hal-hal yang menyebabkan jual beli itu sah atau tidak sah. Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Pada prinsipnya hukum jual beli dibolehkan. Prinsip hukum ini dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275:
(٢٧٥ :ةB>C2)ا...ا9َ`Bِّ 2 َم اB? b َ َوcَ dْ Cَ 2ْ اe ُ اf َb َ َو َا Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).7 Kejadian muamalah pada dasarnya adalah boleh, sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Maksudnya selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi jenis mu’amalah itu diperbolehkan.8 Hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqh sebagaimana diikuti oleh madhab Shâfi’i:
.3ِ kْ Bِ l ْ @?2 ا6َ78 َ f ُ dْ 2ِ.? 2ل ا ? .ُ kَ 6?@b َ nُ b َ ;َ`ِoَْ; ِء اdq ْr َ ْ ا6ِs f ُt ْ r َ ْ َا Artinya: “Segala sesuatu pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkan”.9 Ayat dari kaidah di atas diperkuat pula oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Majjah: 6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki (Jakarta: PT. Al-Ma’arif,
1996), 96. 7
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan terjemahnya, 2: 275. Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 10. 9 Zainuri Noor, Terjemah Faraidul Bahiyyah, Terj. Moh. Adib Bisri (Rembang: Menara Kudus, 1977), 11. 8
4
.ُ / Cْ 8 َ ;َv4?.? /b َ .ُ / G? l َ wُ x ُ / `ْ ن ُ ْوَاB/ wَ ;َv4?.? /b َ 6 ِّ >ِ y ْ / wَ .ِّ 2ِا.dْ 2َِا92ْ اx ُ /`ْ س ِّ ;?C1َ 2ْ َ;اv4?.? /b َ ;/َ` َأ ُ 1ْ Gِ /َ :ل َ ;َ :{ِ dِ `ِ ْ َأx8 َ 6ّ:ِ .َ Gَ 2ْ } ا ِ 2ِ;َt x ِ `ْ ْ دَا ُودَاx8 َ .ٍ G? l َ wُ x ُ `ْ ِاkْ ِ 1َ 2ْ ا "ض ٍ َاB<َ ْx8 َ cُ dْ Cَ 2ْ َ;اG:?م "ِإ. صe ِ لا ُ ْ9 ُ ل َر َ ;َ :ل ُ ْ9>ُ kَ ?ر.ِ
ُ 2ْ ٍا.dْ 1ِ َ Artinya: “Mewartakan kepada kami al-Abbas bin al-Walid ad-Dimasqiy; mewartakan kepada kami Marwan bin Muhammad, mewartakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Dawud bin salih alMadaniy, dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id alKhudriy berkata: RAsulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka”.10 Transaksi jual beli tidak hanya terbatas pada benda-benda bergerak saja, benda-benda tidak bergerakpun sering terjadi. Seperti aktifitas jual beli yang terjadi di Kuamang Kuning Jambi yaitu jual beli kelapa sawit yang dilakukan oleh mayoritas petani kebun. Pada mayoritas masyarakat Kuamang Kuning Jambi, kelapa sawit merupakan modal pokok dalam melangsungkan hidup dan kehidupan, artinya hasil dari kebun kelapa sawit itu menjadi penopang utama dalam memenuhi segala macam kebutuhan ekonomi baik sandang, pangan dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan zaman transaksi jual beli kelapa di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI pun juga semakin beraneka ragam, ada kalanya jual beli buah kelapa sawit serta rontokannya (brondolan) dan ada kalanya hanya rontokannya saja, dengan akad melalui alat komunikasi ataupun langsung berhadap-hadapan. Dan juga penetapan harga yang berbeda-beda antara orang yang tidak mempunyai tanggungan hutang dan orang yang mempunyai tanggungan hutang serta mengambil pembayarannya dimuka 10
Ibnu Majjah, Sunan Ibnu Majjah, Terj. Abdullah Shonhaji, et.al, Jilid. 3 (Semarang: Asy-Syifa’, 1993), 39.
5
sebelum dilakukan pemanenan dan juga penjual yang hanya menjual rontokan buah kelapa sawit tetapi tidak mempunyai kebun yang rontokan tersebut didapatnya dari hasil memunguti dibekas tampat penimbangan setelah buah dilakukan pengangkutan oleh pembeli. Penyerahan barang dan uangpun juga beranekaragam ada yang dilakukan di tempat transaksi (dilakukan sebelum berpisah) ataupun barang diserahkan di tempat penjualan dan uang pembayaran diambil di tempat pembeli. Juga adakalanya pembayaran atas buah kelapa sawit yang dibeli diserahkan setelah buah dijual kepabrik oleh tengkulak. Serta ada kalanya pembayaran yang diminta dimuka oleh penjual baru kemudian setelah pemanenan buah kelapa sawit dijual kepada pembeli tersebut. Jual beli kelapa sawit yang dilakukan dengan pembayaran yang diminta di muka oleh petani atau orang yang mempunyai tanggungan hutang kepada tengkulak, dalam penetapan harga yang diberikan kepada petani tersabut antara tengkulak yang satu dengan yang lain berbeda. Bagi petani yang sudah langganan ada yang dipotong beberapa persennya dan ada juga yang tidak dipotong sama sekali, tetapi rata-rata dilakukan pemotongan Rp. 10,-/ kg, juga ada sebagian tengkulak yang memberikan harga berbeda walaupun mereka tidak mempunyai tanggungan hutang kepada tengkulak tersebut. Perlu kita ketahui bahwasannya di atas juga telah disebutkan setiap kegiatan mu’amalah hukumnya boleh sebelum ada dalil yang melarangnya.
6
Bahkan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan atas dasar saling rela atau saling suka sama suka. Agar jual beli kelapa sawit tersebut menjadi sah, maka perlu kita ketahui dahulu tata cara serta berbagai peraturan yang mengaturnya seperti dasar hukum, syarat dan rukunnya. Imam Syâfi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Thawr, Dawd dan Ibn Umar dari kalangan sahabat mengatakan bahwa jual beli terjadi (sudah mengikat) dengan terjadinya perpisahan dari majelis dan jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan tidak mengikat antara keduanya.11 Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktifitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah aqil baligh serta berkemampuan memilih. Tidaklah sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.12 Berangkat dari uraian masalah yang telah dipaparkan tersebut di atas, penulis melakukan penelitian dan membahasnya lebih dalam mengenai jual beli dalam bentuk skripsi dengan judul: “TINJAUAN FIQH TERHADAP JUAL BELI KELAPA SAWIT, (Studi Kasus Di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi)”.
11 Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayat al-Mujtahid III, Terj. Abdurrahman A. Haris (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), 96. 12 Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 92.
7
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap praktek (akad) jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi? 2. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap penetapan harga/ pembayaran jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tinjauan fiqh terhadap praktek (akad) jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi. 2. Untuk mengetahui tinjauan fiqh terhadap penetapan harga/ pembayaran jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi.
D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian Adapun kegunaanm atau manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
8
1. Kegunaan Ilmiah Sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian berikutnya mengenai tinjauan fiqh dalam mengupas terhadap masalah jual beli kelapa sawit. 2. Kegunaan Terapan Penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan bagi masyarakat khususnya di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir Kab. Merangin Jambi, dalam melaksanakan kegiatan mu’amalah agar tetap dalam naungan rambu-rambu syari’at Islam.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif yang memiliki karakteristik alam sebagai sumber data langsung. Jenis penelitian yang peneliti lakukan adalah studi kasus penelitian lapangan (field research) dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif. Ide pentingnya adalah bahwa peneliti berangkat ke “lapangan” untuk mengadakan pengamatan tentang fenomena dalam suatu keadaan alamiah. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi. Peneliti tertarik untuk melakukan
9
penelitian di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, karena ada keunikan dan sesuai dengan topik yang peneliti pilih. Dengan memilih lokasi ini, peneliti diharapkan menemukan hal-hal yang bermakna dan baru. 3. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan dari sumber informan atau subjek penelitian di lahan perkebunan Kelapa Sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning Kec. Tabir Ilir Kab, Merangin Jambi. Sedangkan sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumentasi diantaranya sumber data tertulis, foto, inventaris serta lainnya yang diperlukan. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah meliputi wawancara, observasi dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subjek melalui wawancara mendalam dan diobservasi pada latar, di mana fenomena tersebut berlangsung. Di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan yang ditulis oleh atau tentang subjek). Adapun pengumpulan data dapat dilakukan sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara yang di lakukan oleh peneliti adalah wawancara yang tidak terstruktur, di mana percakapan itu mengalur begitu saja tidak sesuai dengan konsep wawancara.
10
Wawancara merupakan bentuk komunikasi antara dua orang yang dilibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang
lainnya
dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan,
berdasarkan tujuan tertentu.13 b. Observasi Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.14 Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan kebun kelapa sawit dan juga kegiatan pemanenan buah kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI. Hasil observasi dalam penelitian ini dicatat dalam catatan lapangan, sebab catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.15 Metode ini digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data mengenai sejarah dan perkembangan perkebunan kelapa sawit, juga kegiatan jual belinya, baik akad maupun penetapan harga yang di
13 Dedy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2004), 108. 14 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2004. 15 Ibid., 181.
11
berikan oleh pembeli kepada penjual, juga penanggungan resiko buah kelapa sawit yang sudah ditimbang tetapi belum di lakukan pengangkutan. d. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan? Miles dan Hubberman mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas sehingga datanya sampai jenuh. Adapun langkah-langkah analisisnya sebagai berikut: a.
Reduksi Data (Data Reduction), proses pemiliham pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang mentah yang muncul di lapangan. Dalam hal ini data-data yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi yang masih kompleks kemudian direduksi dengan memilih dan memfokuskan pada hal-hal pokok.
b. Penyajian Data (Data Display), yaitu proses penyusunan inbformasi yang kompleks ke dalam suatu bentuk yang sistematis agar lebih sederhana dan dapat dipahami maknanya. Setelah makna direduksi, kemudian disajikan dengan pola dalam bentuk uraian naratif. c.
Penarikan kesimpulan (Conclusion Drawing), yaitu analisi data terus menerus baik selama maupun sesudah pengumpulan data untuk penarikan kesimpulan yang dapat menggambarkan pola yang terjadi.
12
Sedangkan dalam analisis data kualitatif, peneliti ini menggunakan dua cara berfikir yaitu: a. Cara berfikir deduktif, yaitu pola fakir dari konsep abstrak yang lebih umum mencari hal yang lebih spesifik atau konkret. b. Cara berfikir induktif, yaitu pola fakir yang berasal dari empirism dan mencari abstraksi.16 Maksudnya metode berfikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum. 5. Pengecekan Keabsahan Data Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (realiabilitas).17 Derajat kepercayaan keabsahan data (kredibilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun. Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atas isu yang sedang dicari, ketekunan pengamatan ini dilaksanakan penelitian dengan cara: a. Mengadakan
pengamatan
dengan
teliti
dan
rinci
secara
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol yang ada hubungannya dengan transaksi jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI.
93.
16
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Surasih, 1996),
17
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 171.
13
b. Menelaahnya secara rinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah difahami dengan cara yang biasa.
F. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis membagi sistematika pembahasan dalam lima bab dan tiap-tiap bab terbagi menjadi sub bab. Masing-masing ada keterkaitan atau relevansinya dan terpadu dalam suatu bab pokok pembahasan. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini, secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut: Bab pertama, merupakan gambaran umum untuk memberi pola pemikiran bagi keseluruhan skripsi ini, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan atau manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua, merupakan landasan teori yang disajikan berkenaan dengan masalah jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin. Jambi, yang meliputi: pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam dan bentuk jual beli. Bab ketiga, menggambarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, yang meliputi: gambaran umum Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi, yang terdiri dari segi geografis, segi penduduk, aspek pendidikan, aspek keagamaan, segi ekonomi, pelaksanaan praktek jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Kec. Tabir Ilir, Kab.
14
Merangin, Jambi terdiri dari: latar belakang terjadinya praktek jual beli kelapa sawit rontokan dan bercampur dengan kotoran, pelaksanaan praktek jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, penetapan harga/ pembayaran jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI. Bab keempat, merupakan intisari dari pembahasan skripsi, yang meliputi: analisa fiqh terhadap pelaksanaan praktek (aqad) jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, analisa fiqh terhadap penetapan harga/ pembayaran jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI. Bab kelima, merupakan akhir dari pembahasan skripsi, yang isinya meliputi: kesimpulan dan saran-saran. Dan untuk melengkapi penulisan skripsi ini dilengkapi pula dengan daftar pustaka, biodata penulis, lampiran-lampiran yang dianggap perlu.
15
BAB II JUAL BELI DALAM FIQH
A. Pengertian Jual Beli Dalam bahasa Indonesia kata “jual beli” berarti menjual dan membeli, menjual adalah memberikan sesuatu dengan memperoleh pembayaran atau menerima uang, dan membeli adalah memperoleh sesuatu dengan menukar atau membayar dengan uang.18 Menurut bahasa cdC2 اartinya menukar atau menjual, kemudian اءBy2ا artinya membeli. Oleh sebab itu boleh dikatakan keduanya dianggap searti meskipun sebenarnya berlawanan.19 Kata اءBy2 اsering digunakan derivasi dari kata jual yaitu cdC2ا
20
jual
juga diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain.21 Dalam surat Fathir ayat 29 dinyatakan:
(٢٩ :B;s) .ْ ًر9Cُ <َ ْx2َ ن ِ<َ; َر ًة َ ْ9 ُ ْBkَ Artinya: "Mereka mengharapkan ijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”.22 Pengertian jual beli secara istilah, terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikannya, di antara para ulama. Menurut ulama Hânafiyah 18
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 366. Anshari Umar, Fiqh Wanita (Semarang: Ash-shifa’, t.t.), 420. 20 Rachmat Syafi’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 73. 21 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003), 192. 22 Al-Qur'an dan terjemahannya, 349. 19
16
ص ٍ ْ9 ُ
ْ wَ {ٍ ْ َو6َ78 َ ل ٍ ;َG`ِ ل ٍ ;َw nُ 2ََ; َدCwُ Artinya: “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan)”. Sedangkan menurut ulama’ Mâlikiyah, Shâfi’iyah, Hanâbilah jual beli adalah:
;7Gَ <َ ْ; َوd7ِGْ <َ ل ِ ;َG2ْ ;ِ` ل ِ ;َG2ْ اnُ 2ََ; َدCwُ Artinya: “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”. 23 Menurut pengertian lain, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (yaitu berupa alat tukar yang sah).24 Jadi al-Bai’ menurut istilah yang berlaku bisa ditentukan pengertian menyerahkan harga dengan memperoleh arti lain sebagai ganti atas dasar pola rela sama rela. Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-Bai’ yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafadzlafadz al-Bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian kawannya, yaitu kata ash-shira’ (beli). Dengan demikian kata al-Bai’ berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.25 Sedangkan jual beli menurut pengertian shari’at adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atas memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.26 23
Nasrun Haroen, Fiqih Muammalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 112. Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 128. 25 Haroen, Fiqh Mu’amalah, 111. 26 Sabiq, Fiqh Sunnah XII, 47-48. 24
17
Jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam Islam yang berkenaan dengan hukum takhlifi, hukumnya adalah boleh (ٌز
َا9 َ ) atau (nُ b َ ;َ`o ِ ْ)ا.27
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia pergiagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktifitas usaha.28 Apabila kita perhatikan pada masa sekarang ini, jarang orang-orang yang memperhatikan transaksi mereka sesuai dengan hukum Allah SWT. Bahkan kebanyakan dari mereka menitik beratkan pada transaksi yang mempunyai prospek keuntungan semata. Jadi pertimbangan mereka adalah kalkulasi untung dan rugi, bahkan halal dan haramnya transaksi tersebut tidak diperhatikan.29 Dari dua pengertian di atas (secara bahasa dan istilah), maka masalah jual beli mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya unsur tukar menukar 2. Adanya unsur pengalihan benda atau menjual 3. Adanya unsur ganti 4. Adanya unsur rela sama rela 5. Adanya cara yang dibenarkan
27
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, 193. Abdullah al-Muslih dan Shalah ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 89. 29 Ash-Shadiq Abdurrahman al-Gharyani, Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Terj. A.S. (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), 3. 28
18
Dengan demikian pengertian jual beli secara menyeluruh tepat dikatakan tukar menukar benda, jasa atau manfaat dengan yang lainnya sebagai ganti rugi yang dilakukan dengan cara rela sama rela dengan cara yang dibenarkan oleh hukum. Rela sama rela ini biasanya dilakukan dengan adanya ijab qabul atau serah terima antara dua belah pihak (penjual atau pembeli).
B. Dasar Hukum Jual Beli Jual beli merupakan sesuatu yang dibenarkan, baik oleh al-Qur'an, alHadits maupun oleh ijma’ ulama. Ayat al-Qur'an yang berbicara tentang jual beli diantaranya:
...;َ`Bِّ 2 َم اB? b َ َوcَ dْ Cَ 2ْ اe ُ اf ?b َ َوَأ Artinya: “Dan Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.30 Dan juga firman Allah SWT surat al-Nisa’ ayat 29:
ن ِ<َ; َر ًة َ 9ُ<َ ْ َأن5 ? ِإf ِ ِ ;َC2ْ ;ِ` 3ُvَ dْ `َ 3ُ2ََا9wْ ا َأ9ُ7 َ<ْ ُآ5 َ ا9ُvwَ ءَاx َ kِ2?َ; ا k َ;َأk ;ًGdِbْ َر3ُ `ِ ن َ ;َ آe َ نا ? ْ ِإ3ُ ¡ َ ¢ُ :َا أ9ُ7@ُ >ْ <َ 5 َ ْ َو3ُ v£w ض ٍ َاB<َ xَ8 Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.31
30 31
Al-Qur'an, 2: 275 Al-Qur'an, 4: 29
19
Ayat-ayat tersebut di atas dengan jelas menerangkan halalnya (mubahnya) jual beli (bai’). Meskipun ayat-ayat tersebut disusun untuk beberapa tunjuan selain pernyataan halalnya jual beli. Ayat pertama disusun dalam kalimat yang menerangkan tentang haramnya riba, dan ayat yang kedua disusun dalam kalimat yang menerangkan tetang dilarangnya manusia memakan harta sesamanya dengan cara yang batil.32 Sedangkan dasar hukum jual beli dalam hadits nabi Muhammad SAW diantaranya adalah yang berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ menurut riwayat alBazar yang disahkan oleh al-Hakim:
:ل َ ;َ ¦ُ؟dَ ْ ¦ َا ِ ¡ ْ َ 2ْ ى ا َا:f َ ¤ِ ُ .م. ص6Cv2ن ا ? َاcٍ sِ رَاx ِ ` nَ 8 َ ;َsْ ِرx8 َ 3;آl2{ اlltار وC2 §وْ ٍر )رواBُ Cْ wَ cٍ dْ `َ f َو ُآ,§ِ .ِ dَ `ِ f ِ ُ B? 2 اf ُ Gَ 8 َ) Artinya: “Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW ditanya apakah pencaharian yang lebih baik? Jawabnya “Bekerja dan tiap-tiap jual beli yang mabrur”.33 Maksud dari kata mabrur di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.34
Pada hadits lain disebutkan:
tt), 135. 381.
32
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
33
Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, terj. A. Hasan (Bandung: Diponegoro, 2001),
34
Syafi’i, Fiqh Muamalah, 75.
20
وBd1y2;` Bd1y2 و اBC2;` BC2 و اn¨¢2;` n¨¢2ه¦ و ا2ه¦ `;ا2ا ;ءذاs .d` ا.k اء9¡` اء9 f«G` ¬«w }7G2;` }7G2 و اBG@2;` BG@2 .d` ا.k إذا آ;ن3@¤q dا آ91dCs ;فvto ه§ ا¢7@¯ا Artinya: "Menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus seimbang, serupa dan tunai. Apabila barang yang ditukar itu berlainan jenis, maka jual belilah sesuka hatimu asalkan tunai".35 Dari hadits di atas terdapat kata-kata jual belilah sesuka hatimu, hal ini berarti satu penunjukan akan kebolehan jual beli. Berdasarkan ijma’ ulama telah sepakat bahwa jual beli juga diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu harus diganti dengan barang lain yang sesuai.36 Dalam hal ini jual beli sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah SAW hingga kini.37 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum jual beli adalah halal (dibolehkan) namun hal ini bisa berkembang menjadi makruh, hasan dan dilarang. Ini tergantung cara yang dilakukan atau motivasi jual beli serta terpenuhinya aturan dan tata cara jual beli menurut hukum Islam dan fiqh. Dalam rangka menggalakkan usaha perdagangan ini, Rasulullah SAW menandaskan bahwa pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama para
178.
35
Imam Muslim, Sahih Muslim, Vol. III. Terj. Ma’mur Daud (Jakarta: Widjaya, 1993),
36
Syafi’I, Fiqh Muamalah., 75. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah XII, terj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: al-Ma’arif,
37
1996), 96.
21
nabi, orang-orang yang benar dan para suhada.38 Keterangan-keterangan tersebut dapat mengungkapkan pada kita bahwa usaha perdagangan bukan saja halal melainkan juga mulia apabila dilakukan dengan jujur dan berdasarkan prinsip-prinsip agama.
C. Rukun dan Syarat Jual Beli 1. Rukun Jual Beli Jual beli dikatakan sah oleh shara’ apabila dalam jual beli tersebut terdapat rukun dan syarat yang harus terpenuhi. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat antara ulama Hânafi dengan jumhur ulama’. Rukun jual beli menurut ulama’ Hânafiyah hanya satu yaitu ijab (ungkapan membeli dan pembeli) dan qabul (ungkapan dari penjual).39 Akan tetapi, jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu: a. Ada orang yang berakad atau muta’aqidain (penjual dan pembeli) b. Ada shighat (lafad ijab dan qabul) c. Ada barang yang dibeli d. Ada nilai tukar pengganti barang
2. Syarat-syarat jual beli
38 39
Sabiq, Fiqh, 35. Nasrun Haroen, Fiqh…., 115.
22
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dnegan pihak penjual dan pembeli, ada kaitannya dengan obyek yang dijual belikan serta ada kaitannya dengan shighat jual beli.40 Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antaralain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapatnya unsur penipuan). Jika jual beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut halal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hânafiyah akad tersebut fasid. Di antara ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual beli. Dibawah ini akan dibahas sekilas pendapat setiap madhab tentang persyaratan jual beli tersebut.41 a. Ulama Hânafiyah Menurut ulama Hânafiyah terdapat empat macam syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli. 1) Syarat Akad Perinciannya adalah sebagai berikut: a) Berkenaan dengan pelaku jual beli, harus cakap bertindak secara hukum 40 41
Al-Muslih dan Ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, 92. Shafi’I, Fiqih Mu’amalah, 76.
23
b) Yang berkenaan dengan akadnya sendiri (1) Adanya persesuaian antara ijab dan qabul (2) Berlangsung dalam majelis akad c) Yang berkenaan dengan obyek jual beli (1) Barangnya ada (2) Berupa mal mutaqawwim (3) Milik sendiri (4) Dapat diserah terimakan ketika akad 2) Syarat Sihhah (syarat sah akad) Syarat sihhah yang bersifat umum adalah jual beli tersebut tidak mengandung salah satu dari enam unsur yang merusaknya, yakni:
jihalah
(ketidakjelasan),
ikrah
(paksaan),
tauqif
(pembatasan waktu), gharar (tipu daya), dharar (aniaya) dan persyaratan yang merugikan orang lain. Adapun syarat sihhah yang bersifat khusus adalah: a) Penyerahan dalam hal jual beli benda bergerak b) Kejelasan mengenai harga pokok dalam hal al-bai’ almurabahah c) Terpenuhi sejumlah kriteria dalam hal bai’ al-salam d) Tidak mengandung unsur riba dalam jual beli harta ribawi
3) Syarat pelaksanaan Akad Syarat-syarat pelaksanaan akad ada dua yaitu:
24
a) Adanya unsur milkiyah atau wilayah b) Benda yang diperjualbelikan tidak mengandung hak orang lain 4) Syarat tujûm (kemestian) Syarat tujûm yaitu tidak adanya hak khiyâr yang memberikan
pilihan
kepada
masing-masing
pihak
antara
membatalkan atau meneruskan jual beli.42 b. Ulama Mâlikiyah Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Mâlikiyah yang berkenaan dengan pelaku jual beli, akad jual beli dan barang yang di jual belikan adalah. 1) Syarat pelaku jual beli a) Penjual dan pembeli harus mumayyiz b) Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil c) Keduanya dalam keadaan suka rela, jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah. d) Penjual harus sadar dan dewasa 2) Syarat akad jual beli a) Tempat akad harus bersatu b) Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
3) Syarat barang yang dijual belikan a) Bukan barang yang dilarang syara’ 42
Ghufron al-Mas’adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002), 121.
25
b) Harus suci, maka tidak dibolehkan menjaul khamer dan lainlain c) Bermanfaat menurut pandangan syara’ d) dapat diketahui oleh kedua orang yang akad e) Dapat diserahkan c. Ulama Shâfi’iyah Ulama’ Shâfi’iyah mensyarakatkan yang berkaitan dengan pelaku jual beli, akad jual beli, barang yang dijual belikan persyaratan tersebut adalah: 1) Syarat pelaku jual beli a) Dewasa atau sadar Pelaku jual beli harus baligh dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian akad anak mumayyiz dipandang belum sah. b) Tidak dipaksa atau tanpa hak c) Islam Dipandang tidak sah orang kafir yang membeli kitab al-Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan agama, seperti hadits, kitab-kitab fiqh dan juga membeli hamba yang muslim. Hal itu didasarkan pada antara lain Firman Allah surat al-Nisa’ ayat 141:
¬ ً dِC َ x َ dِvwِ ْ±Gُ 2ْ ا6َ78 َ x َ kِBsِ ;َ7ْ 2ِ e ُ اf َ َ1 ْ kَ xَ2َو Artinya: "Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin".
26
d) Pembeli bukan musuh Umat islam dilarang menjual barang, khususnya senjata kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan kaum muslimin. 2) Syarat akad jual beli a) Berhadap-hadapan b) Ditujukan kepada seluruh badan yang akad Tidak sah mengatakan “saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu” c) Qabul yang diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab, kecuali jika diwakilkan. d) Harus menyebutkan barang atau harga e) Ketika mengucapkan shighat harus beserta niat f) Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna Jika seseorang yang sedang bertansaksi itu gila sebelum mengucapkan qabul, jual beli yang dilakukan batal. g) Ijab dan qabul tidak terpisah h) Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan yang lain i) Tidak berubah lafad j) Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
27
k) Tidak dikaitkan dengan sesuatu l) Tidak dikaitkan dengan waktu 3) Barang yang dijual belikan a) Suci b) Bermanfaat c) Dapat diserahkan d) Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain e) Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad d. Ulama’ Hanâbilah Menurut ulama’ Hanâbilah persyaratan jual beli terdiri atas beberapa syarat, antara lain: 1) Syarat pelaku jual beli a) Dewasa Pelaku jual beli harus dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat
izin
dari
walinya
dan
mengandung
unsur
kemaslahatan.
b) Ada keridhaan Masing-masing pelaku jual beli harus saling meridhai, yaitu tidak ada unsur paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh
28
mereka yang memiliki otoritgas untuk memaksa, seperti hakim atau penguasa. Ulama’ Hanâbilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga diluar harga lazim. 2) Syarat akad jual beli a) Berada ditempat yang sama b) Tidak terpisah c) Tidak dikaitkan dengan sesuatu 3) Syarat barang yang dijual belikan a) Harus berupa harta Barang yang dijual belikan adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa, misalnya membeli khamer karena tidak adanya air. Ulama Hanâbilah mengharamkan jual beli al-Qur’an baik untuk orang muslim maupun orang kafir sebab al-Qur'an itu wajib di agungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya. b) Milik penjual secara sempurna c) Barang dapat diserahkan ketika akad d) Barang diketahui oleh penjual dan pembeli e) Harga diketahui oleh kedua belah pihak yang akad
29
f) Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah Barang, harga, pelaku jual beli harus terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.43 Secara garis besar di antara syarat-syarat jual beli yang harus dipenuhi oleh pelaku jual beli adalah: a. Syarat orang yang melakukan akad Dalam transaksi jula beli pasti terdapat dua pihak (sebagai subyek) jual beli yaitu penjual dan pembeli, yang dalam islam lebih dikenal dengan sebutan aqid atau aqidaini. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli dalam melakukan kegiatan jual beli, antara lain: 1) Aqil (berakal) atau tidak hilang kesadarannya Pelaku akad disyaratkan seseorang yang berakal dan bisa membedakan. Maka tidak sah jual beli oleh orang gila dan orang mabuk serta anak kecil yang tidak dapat membedakan. Apabila orang gila itu kadang sadar dan kadang gila, maka akad ketika gila tidak sah.44 Sedangkan menurut imam Shâfi’I yang dimaksud berakal adalah mampu memelihara agama dan hartanya.45
43
Syafi’I, Fiqih Muamalah, 76-85 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Muslimah (Jakarta: Pustaka Amin, 1999), 367. 45 Syafi’I, Fiqih Mu’amalah, 81. 44
30
Mengenai syarat aqil adalah hal yang logis, karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang akan sanggup melakukan transaksi jual beli secara sempurna. Oleh karena itu, anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa ada kontrol dari pihak walinya, karena akan menimbulkan berbagai kesulitan akibat yang buruk seperti penipuan dan sebagainya.46 2) Tamyiz Akad anak kecil yang sudah bisa membedakan atau tamyiz adalah sah dan tergantung pada izin walinya. Jika walinya membolehkannya maka akadnya sah menurut syara’. 47 Penjualan anak kecil, belum sampai umur, belum berakal, tidak sah. Begitulah menurut pendapat imam Mâlik. Sedangkan menurut imam Abu Hânifah dan Ahmad berkata “Sah penjualan anak
kecil
yang
sudah
mumayyiz”
maka
Abu
Hânifah
mensyaratkan sahnya dengan terlebih dahulu ada izin dari walinya dan dengan diizinkan (dibenarkan) lagi sesudah terjadinya penjualan. Ahmad hanya menyaratkan keizinan wali untuk dijual itu saja.48 Madzhab Shâfi’iyah mengungkapkan empat orang yang tidak sah jual belinya, yaitu: anak kecil baik yang mumayyiz atau 46
79.
47
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992),
Al-Jama’, Fiqih Muslimah, 367. Teungku Muhammad Hasby as-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 1997), 328. 48
31
belum, orang gila, hamba sahaya walaupun mukallaf dan orang buta. Apabila seseorang melakukan jual beli dengan salah seorang dari mereka yang empat itu, maka transaksinya batal dan dia harus mengembalikan barang atau pembayaran yang masih menjadi tanggungannya. Adapun barang yang telah diambil oleh mereka, sekiranya mereka menghilangkan barang itu, maka bagi mereka tiada pertanggungan jawab apa-apa dan resiko itu kembali pada pemilik barang.49 3) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa) Dalam melakukan perbuatan jual beli itu atas kemauannya sendiri. Jual beli bukan atas dasar kehendak sendiri adalah tidak sah (sesuai dengan pendapat imam Mâlik dan Ahmad) sedangkan menurut Abu Hânifah adalah sah. Adapun yang menjadi dasar bahwa suatu jual beli harus dilakukan atas kehendaknya sendiri dapat dilihat dalam firman Allah SWT surat al-Nisa’ ayat 29:
ْ َأن5 ? ِإf ِ ِ ;َC2ْ ;ِ` 3ُvَ dْ `َ 3ُ2ََا9wْ ا َأ9ُ7 َ<ْ ُآ5 َ ا9ُvwَ ءَاx َ kِ2?َ; ا kَ;َأk ن َ ;َ آe َ نا ? ْ ِإ3ُ ¡ َ ¢ُ :َا أ9ُ7@ُ>ْ <َ 5 َ ْ َو3ُ v£w ض ٍ َاB<َ xَ8 ن ِ<َ; َر ًة َ 9ُ<َ ;ًGdِbْ َر3ُ `ِ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu 49
Ibid., 80
32
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.50 4) Keduanya tidak mubadzir Maksudnya adalah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros (mubadzir), sebab orang yang boros dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak. Maksudnya dia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan itu menyangkut kepentingan sendiri. Orang boros (mubadzir) di dalam perbuatan hukum berada dibawah pengampuan perwalian, yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah pengampunya atau walinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum Allah, yaitu dalam surat alNisa’ ayat 5:
;ًw;َdِ ْ3ُ 2َ e ُ اf َ 1َ َ ²ِ@2? ا3ُ ُ 2ََا9wْ َء َأ³َ ¢َ ¡ 2ا ا9ُ<ْ±<ُ 5 َ َو ;ًsُوB1ْ w? 5 ً ْ9َ ْ3 ُ 2َ ا9ُ29ُْ َو3 ُه9ُ¡َ; وَا ْآ dِs ْ3 ُه9ُوَارْ ُز Artinya: "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik".51 5) Baligh atau dewasa
50 51
Depag RI. Al-Qur'an dan Terjemahannya, 65. Ibid., 61.
33
Pelaku jual beli harus baligh. Dewasa atau baligh menurut hukum Islam adalah apabila telah berusia 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan) dengan demikian jual beli yang diadakan oleh anak kecil adalah tidak sah. Namun demikian bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi belum dewasa. Menurut pendapat sebagaian diperbolehkan melakukan perbuatan jual-beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi. Andaikata anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum seperti jual beli yang sudah lazim dimasyarakat maka menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi masyarakat. Sedangkan kita ketahui bahwa hukum Islam (syari’at Islam) tidak membuat suatu peraturan yang menimbulkan kesulitan atau kesukaran bagi pemeluknya.52
b. Syarat yang terkait dengan ijab dan qobul Yang dimaksud shighat adalah lafadz ijab dan qobul yang diucapkan antara kedua belah pihak (penjual atau pembeli) dalam transaksi jual beli. Adapun syarat-syarat ijab, qobul adalah:
52
Suhrawardi, K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, 170-132.
34
1) Satu sama lainnya berhubungan disatu tempat tanpa perpisahan yang merusak. 2) Ada kesepakatan ijab dengan qabul pada barang yang saling mereka rela berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika sekiranya kedua belah pihak tidak sepakat, jual beli (akad) dinyatakan tidak sah. Seperti jika si penjual menyatakan “Aku jual kepadamu baju ini seharga lima pound”. Dan si pembeli menyatakan “saya terima barang tersebut dengan harga empat Pound” maka jual beli itu dinyatakan tidak sah karena ijab dan qabul berbeda. 3) Ungkapan harus menunjukkan masa lalu seperti perkataan menjual, atau telah jual dan perkataan pembeli: aku telah terima atau masa sekarang, jika yang diinginkan pada waktu itu juga. Seperti: aku sekarang jual dan aku sekarang beli. Jika yang diinginkan masa yang akan datang atau terdapat kata yang menunjukkan masa datang yang semisalnya janji untuk berada tidak sah sebagai akad sah, karena itu menjadi tidak secara hukum.53
c. Syarat barang yang dijual belikan Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah: 1) Barang nya halal dipergunakan
53
Sabiq, Fiqh, 42.
35
Segala barang yang halal dipergunakan pada prinsipnya boleh diperjual belikan, sesuatu barang yang tidak boleh di perdagangkan apabila ada nash syara’ yang melarang di pergunakan atau memang dengan tegas dilarang diperjualbelikan. Hal ini kita pegangi atas kaidah yang berkaitan dengan mu’amalah bahwa “asal sesuatu itu adalah mubah”. Jadi barang yang tidak diperjualbelikan adalah bangkai, babi, darah, khamer, dan sebagainya. 2) Barangnya bermanfaat Yang dimaksud bermanfaat adalah penggunaan dalam kebaikan, sebab memperjualbelikan barang yang tidak ada manfaatnya berarti sia-sia. Oleh agama, maka jual beli serangga, ular, dan tikus tidak boleh kecuali untuk dimanfaatkan. Dari sini timbul pertanyaan bagi jual beli anjing pelacak atau anjing penjaga yang jelas itu ada manfaatnya tetapi barangnya najis. Menurut Hânafiyah boleh diperjual belikan. Menurut Hânafiyah yang diperbolehkan hanya menjual belikan anjing untuk berburu, dengan berdalil kepada ucapan Rasulullah yang melarang memperjualbelikan anjing kecuali untuk berburu.54 3) Barang yang dimiliki Barang yang diperjualbelikan adalah milik sendiri atau mendapat kuasa dari pemilik untuk menjualnya. Prinsip ini
54
Sabiq, Fiqh, 53.
36
didasarkan pada kata tidak bolehnya memakan harta dengan jalan batil. Dengan kata lain kita tidak boleh menjual harta orang lain tanpa izinnya karena itu merupakan perbuatan batil dan dapat dituntut oleh pemiliknya. 4) Barangnya dapat diserahterimakan Sehubungan dengan prinsip ini maka sesuatu yang tidak dapat dihitung pada waktu penyerahannya tidak dapat dijual. Seperti ikan yang terdapat di dalam air, burung yang terlepas dari sangkarnya, janin yang masih berada dalam kandungan dan sebagainya. 5) Barang dan harga yang jelas Yang dimaksud adalah harganya diketahui secara pasti, jika tidak maka jual belinya tidak sah. Karena mengandung unsur ketidakpastian, kejelasannya yang dimaksud disini meliputi ukuran, takaran atau timbangan, jenis dan kualitas barang-barang yang tidak ditakar atau ditimbang. Misalnya tumpukan harus dapat dipersaksikan oleh mata untuk menghilangkan kesamaan, dengan demikian juga harganya harus jelas, keharusan ini pada umumnya sudah berjalan dengan kebiasaan. Barang-barang yang tidak dapat dihadirkan dalam transaksi disyaratkan agar penjual menerangkan
37
segala yang menyangkut barang itu, seperti jelas bentuk dan ukuran, sifat dan kualitasnya.55 6) Barang yang dipegang Selain syarat-syarat tersebut di atas, maka barang yang boleh dijual ialah yang telah dipegang atau dikuasai. Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah memberikan pengertian “barang yang dipegang” sebagai berikut: Yang dimaksud dengan barang yang dipegang pada harta tetap (tidak bergerak) ialah barang yang telah dilepaskan pemiliknya oleh penjual, di mana pihak pembeli telah dapat menikmati penggunaannya sebagaimana yang dimaksud seperti menggarap tanah, menempati rumah, bernaung dibawah pohon atau memetik buahnya atau sebagainya. Yang dimaksud dengan barang yang dipegang pada harta yang dapat dipindahkan seperti makanan, pakaian, hewan dan sebagainya ialah sebagai berikut: pertama, dilakukan pengukuran atau
timbangan
bagi
barang-barang
yang
diukur,
kedua:
dipindahkan tempat, ketiga: Jika barang-barang itu ditaksir (tidak diukur), ketiga: selain daripada itu kembali pada adat kebiasaan.56
d. Syarat-syarat Nilai Tukar (Harga Barang)
90-92.
55
Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1984),
56
Ibid., 96.
38
Agar harga pasar tidak dipermainkan oleh pedagang-pedagang maka para ulama’ fiqh mengemukakan syarat-syarat ats-Tsaman, sebagai berikut: a) Harga yang disepakati kedua pihak, harus jelas jumlahnya b) Boleh diserah terimakan pada waktu akad, sekaligus secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit, apabila harga barang itu dibayar kemudian maka waktu pembayarannya harus jelas. c) Apa bila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’. 57
D. Resiko Dalam Jual Beli Yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.58 Dari pengertian tersebut, resiko dalam jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tersebut (yang dijadikan sebagai obyek perjanjian jual beli) mengalami kerusakan. Peristiwa itu tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak. Berarti terjadi suatu keadaan yang memaksa diluar jangkauan para pihak. Mengenai kerusakan sekarang dan pihak-pihak yang menanggung kerusakan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kerusakan barang sebelum serah terima 57
58
Haroen, Fiqh. 118-119 Subekti, Hukum Perjanjian
(tk: PT. Intermasa, 1990), 59
39
Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara penjual dan pembeli, ada beberapa kelompok berdasarkan kasusnya:59 a) Jika barang yang rusak semua atau sebagian sebelum diserah terimakan akibat perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasakh (batal), akad berlangsung seperti sedia kala dan pembeli berkewajiban membayar penuh. Karena ia menjadi penyebab kerusakan. b) Jika kerusakan akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan
pilihan
antara
kembali
kepada orang lain atau
membatalkan (akad atau perjanjian kontrak). c) Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah terima, akibat perbuatan penjual atau karena barang itu sendiri atau juga bencana dari Allah. d) Jika sebagian yang rusak lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk lainnya
(yang
utuh)
pembeli
boleh
menentukan
pilihan
pengambilannya dengan potongan harga. e) Jika kerusakan barang akibat ulah pembeli, pembeli tetap berkewajiban untuk
membayar.
Penjual
boleh
menentukan
pilihan
antara
membatalkan akad atau mengambil sisa barang dengan membayar kekurangannya.
59
Suhrawardi, K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, 136-137.
40
f) Jika kerusakan akibat bencana dari Tuhan yang membuat berkurang kadar barang sekarang, harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak, pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa dengan pengurangan pembayaran. 2. Kerusakan barang sesudah serah terima Menyangkut resiko kerusakan barang yang terjadi sesudah serah terima barang antara penjual dengan pembeli, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Pembeli wajib membayar seluruh harga sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Namun demikian, apabila ada alternatif lain dari penjual, misalnya dalam bentuk perjaminan atau garansi, penjual wajib menggantikan harga barang atau menggantikannya dengan hal yang serupa.
E. Khiyâr Pengertian khiyâr menurut ulama’ fiqih adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya. Jika khiyâr tersebut berupa khiyâr syarat, ‘aib atau ru’yah. Atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyâr ta'yin. 60 Menurut iman al-Shâfi’I dan Ahmad. Jika kesepakaatan jual beli terjadi masing-masing penjual dan pembeli punya hak khiyâr (hak pilih) selama belum terpisah atau punya hak khiyâr untuk memastikan jadi tidaknya transaksi. 60
Syafi’I, Fiqih Muamalah, 103.
41
Sedang menurut Abu Hânifah dan al-Mâlik. Jika transaksi jual beli terjadi masing-masing penjual dan pembeli sudah tidak mempunyai lagi hak khiyâr. Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad.61 Hak khiyâr disebut juga hak istimewa, maksudnya adalah hak yang diberikan oleh Islam kepada pihak-pihak yang melakukan jual beli dalam mewujudkan persyaratan suka sama suka dan tidak akan ada pihak yang dirugikan.62 Terdapat bermacam-macam khiyâr yang diterangkan dalam kitab-kitab fiqih Islam, diantaranya adalah: 1. Khiyâr majlis Yang dimaksud adalah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan atau meneruskan akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad dan belum berpisah. Dasar hukum adanya khiyâr al-Majlis adalah sabda Rasullullah yang berbunyi:
§ )روا.....;َB? ¢َ @َ kَ ْ 3َ 2;َw َ; ِرd
ِ 2ْ ;ِ` ;َG ُ vْ wِ .ٍ b ِ وَاf £ ُ 7ِsَ ن ِ¬ َ ُ B? 2 اcَ kَ ;َC<َ ِاذَا (BG8 x` اe ا.C8 x8 37¡w
;رى وC2ا Artinya: "Apabila dua orang melakukan akad jual beli, maka masingmaisng pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum berpisah.63 Mengenai keabsahan khiyâr al-majlis terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Ulama Shâfi’iyah dan Hanâbilah berpendapat 61 Achmad Khudari Salih, Fiqh Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) V Muamalah (Jakarta: PT. Pertija, 1999), 4. 62 Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, 213. 63 Muslim, Shahih Muslim II (Beirut: Dar al-Fiqr, t.t), 12.
42
bahwa masing-masing pihak yang melakukan akad berhak mempunyai khiyâr majlis, selama mereka masih dalam majlis akad. Sekalipun akad telah sah dengan adanya ijab dan qabul, atau selama keduanya masih dalam satu majlis, maka masing-masing pihak berhak untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli tersebut, karena akad ketika itu dianggap belum mengikat. Dan apabila setelah ijab dan qabul masing-masing pihak tidak menggunakan hak khiyârnya dan mereka berpisah, maka jual beli itu dengan sendirinya menjadi mengikat, kecuali apabila masing-masing pihak sepakat menyatakan bahwa keduanya masih berhak dalam jangka waktu berapa hari untuk membatalkn jual beli itu. Menurut ulama Hanâbilah dan Mâlikiyah suatu akad sudah sempurna dengan adanya ijab dan qabul. Maksudnya adalah suatu akad itu sudah dianggap sah apabila masing-masing pihak telah menunjukkan keadaannya melalui ijab dan qabul.64 Hak khiyâr majlis ini akan gugur apabila kedua pihak telah berpisah dari majlis terjadinya akad jual beli. 2. Khiyâr Syarat Yang dimaksud dengan khiyâr syarat yaitu apabila salah satu pihak dari penjual dan pembeli boleh membatalkan atau meneruskan jual belinya dengan syarat boleh berkhiyâr dalam waktu yang ditentukan oleh kedua
64
Haroen, Fiqh Muamalah, 130-131
43
belah pihak. Persyaratan ini boleh dan pihak penjual atau pembeli dan atau boleh oleh kedua belah pihak.65 Para ulama’ fiqih sepakat menyatakan bahwa khiyâr syarat ini dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Menurut mereka khiyâr ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan dagang dan al-Rahn (jaminan hutang).66 Menurut imam Abu Hânifah ketentuan tenggang waktu selama tiga hari ditentukan syara’ untuk kemaslahatan pembeli. Oleh sebab itu, tenggang waktu tiga hari harus dipertahankan tidak boleh dilebihkan, sesuai dengan ketentuan umum dalam syarat’ bahwa sesuatu yang ditetapkan sebagai hukum pengecualian, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Dengan demikian apabila tenggang waktu yang ditentukan itu melebihi dari waktu yang telah ditentukan, maka akad jual beli dianggap batal. Menurut Hanâbilah masa tenggang khiyâr syartg terserah kepada kesepakatan kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli, sekalipun lebih dari tiga hari. Alasannya adalah untuk kelegaan hati kedua belah pihak dan boleh dimusyawarahkan, kemungkinan tenggang waktu tiga hari tidak memadai bagi mereka.
65 66
Syarifuddin, Garis-garis, 213. Haroen, Fiqh Muamalah, 130-131
44
Ulama Mâlikiyah berpendapat bahwa tenggang waktu itu ditentukan sesuai dengan keperluan, dan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap obyek akad jual beli. Untuk buah-buahan khiyâr tidak boleh lebih dari satu hari, untuk pakaian dan hewan mungkin cukup tiga hari, untuk obyek lain seperti tanah, rumah diperlukan waktu lebih lama. Dengan demikian menurut mereka tenggang waktu amat tergantung pada obyek yang diperjualbelikan.67 Adapun menurut imam Ahmad adalah jangka waktu itu harus jelas (ma’lum) dan tidak ada pembatasan. Boleh saja menentukan sebulan atau setahun.
Yang tidak sah adalah apabila tenggang waktu itu tidak
dinyatakan dengan terang.68 Diantara cara menggugurkan khiyâr adalah: a. Pengguguran jelas Yaitu pengguguran oleh orang yang berkhiyâr, misalnya: saya batalkan khiyâr dan saya ridha. b. Pengguguran dengan dilalah Yaitu adanya tasarruf (beraktivitas dengan barang tersebut) dari pelaku khiyâr yang menunjukkan bahwa jual beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepad aorang lain atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikannya kepada penjual.
67 68
105.
Ibid., 133-134. Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1912),
45
c. Pengguguran khiyâr dengan kemudharatan Pengguguran dengan kemudharatan terdapat beberapa keadaan, antara lain: 1) Habis waktu Khiyâr menjadi gugur setelah habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dan yang berkhiyâr. 2) Kematian orang yang memberikan syarat Jika orang yang memberikan syarat
meninggal dunia,
khiyâr menjadi gugur, baik yang meninggal itu bertindak sebagai pembeli atau penjual, lalu akadpun menjadi batal. 3) Adanya hal-hal yang semakna dengan mati Khiyâr gugur dengan
adanya
perkara-perkara
yang
semakna dengan mati seperti gila, mabuk dan lain-lain. 4) Barang rusak ketika masih khiyâr Jika barang masih ditangan penjual, jual beli menjadi hahal dan tidak ada khiyâr lagi. Jika barang sudah ada di tangan pembeli dan khiyâr berasal dari pembeli, jual beli menjadi batal dan khiyâr menjadi gugur. 5) Adanya cacat pada barang Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan. Jika khiyâr berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyâr gugur jual belipun batal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan
46
pembeli atau orang lain, khiyâr tidak gugur, tetapi pembeli berhak khiyâr dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Jika khiyâr berasal dari pembeli dan ada cacat, khiyâr gugur, tetapi jual beli tidak gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.69 3. Khiyâr Aib Artinya hak khiyâr yang diberikan kepada kedua belah pihak waktu menentukan barang yang diterimanya cacat yang cacat tersebut telah ada sebelum akad.70 Dengan demikian, penyebab khiyâr aib adalah adanya cacat dan barang yang diperjualbelikan atau harga karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang dan yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad. Adapun syarat-syarat berlakunya khiyâr aib menurut pakar fiqh setelah diketahui ada cacat pada barang tersebut adalah: a. Cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetap dalam serah terima barang dan harganya, atau cacat itu merupakan cacat lama. b. Pembeli Tidak mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlangsung. c. Ketika akad berlangsung pemilik barang (penjual) tidak mensyaratkan bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan. d. Cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.71 69 70
Shafi’I, Fiqih Muamalah, 108-111. Syarifuddin, Garis-garis, 214.
47
Cara pengembalian akad, apabila barangnya masih berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap
telah
dikembalikan
(dibatalkan)
dengan
ucapan
“Saya
kembalikan”. Dalam hal ini tidak memerlukan keputusan seorang hakim tidak pula membutuhkan keridhaan. Hal itu juga disepakati oleh ulama’ Shâfi’iyah dan Hânafiyah.72
71 72
Haroen, Fiqh Muamalah, 136. Shafi’i, Fiqih Muamalah, 118
48
BAB III PRAKTEK JUAL BELI KELAPA SAWIT DI DESA AIR BATU KUAMANG KUNING XI, KEC. TABIR ILIR, KAB. MERANGIN, JAMBI
B. Gambaran Umum Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi 1. Keadaan Geografis Desa Air Batu Kuamang Kuning XI a. Letak wilayah Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, adalah salah satu desa yang berada diwilayah kecamatan Tabir Ilir kabupaten Merangin propinsi Jambi. Jarak Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, dari pusat pemerintahan kecamatan ± 18 KM, jarak dari pusat pemerintahan kabupaten daerah tingkat II ± 65 KM, jarak Desa Air Batu Kuamang Kuning XI dari ibu kota propinsi daerah tingkat I ± 260 km. Batas-batas wilayah Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, adalah sebagai berikut: Sebelah utara
: Desa Lembah Kuamang Kec. Pelepat Ilir, Kab. Bungo.
Sebelah selatan : Desa Mulia Bakti Kec. Pelepat Kab. Bungo. Sebelah barat
: Desa Cilodang Kec. Pelepat Kab. Bungo.
Sebelah timur
: Desa Rejosari Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin
49
b. Luas wilayah Luas wilayah desa Air Batu Kuamang Kuning XI seluruhnya 1.283,75 Ha, yang tediri dari 4 dusun/ RW, sedangkan jumlah RT di desa Air Batu Kuamang Kuning XI ada 17 unit. dari 4 dusun yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI tersebut punulis hanya mengambil satu dusun sebagi sample yaitu dusun Tirta Mulya, sebab mayoritas penduduknya adalah petani perkebunan kelapa sawit. 2. Keadaan Penduduk Penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI seluruhnya berjumlah 1123 jiwa yang terdiri dari 395 kepala keluarga yang terjadi pada tahun 1985 oleh transmigrasi. Dan sekarang mengalami peningkatan jumlah penduduk dari 1123 menjadi 1865 jiwa yang terdiri dari 531 kepala keluarga. Menurut jenis kelaminnya jumlah penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI yang laki-laki ada 964 jiwa dan yang perempuan ada 901 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI menurut usia dan mata pencaharianya adalah sebagi berikut: Jumlah penduduk berdasarkan usia Umur/ usia 0 – 11 bulan
12 – 36 bulan
Jenis kelamin
Jumlah jiwa
Laki-laki
25
Perempuan
29
Laki-laki
47
50
4 – 6 tahun
7 – 14 tahun
15 – 49 tahun
50 – ………
Perempuan
50
Laki-laki
47
Perempuan
46
Laki-laki
125
Perempuan
133
Laki-laki
571
Perempuan
506
Laki-laki
149
Perempuan
139
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Pekerjaan
Jumlah
Jasa pemerintahan (PNS)
32
Petani kebun
395
Jasa pedagang
42
Jasa angkutan
2
Buruh tani
218
Dari data tersebut di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk desa Air Batu Kuamang Kunimg XI mata pencaharianya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari adalah sebagai petani perkebunan kelapa sawit dan sebagai buruh tani perkebunan kelapa sawit,
51
hal ini dapat dimaklumi, sebab luas wilayah desa Air Batu Kuamang Kuning XI mayoritas adalah lahan perkebunan kelapa sawit. 3. Keadaan Pendidikan Pendidikan di desa Air Batu Kuamang Kuning XI mendapat perhatian yang serius dari masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan baik ilmu agama maupun ilmu umum terutama anakanak pada usia tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas. Hal tersebut dapat dilihat dari keadaan yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI terutama pada waktu jam-jam sekolah. Pada usia anak-anak sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, desa Air Batu Kuamang Kuning XI kelihatan sunyi, sebab semuanya masuk sekolah begitu juga pada waktu sore hari juga demikian halnya sebab mereka pergi mengaji ke Musholla-musholla untuk anak-anak sekolah dasar dan lanjutan tingkat pertama.73 Namun demikian tidak jarang dari para generasi penerus yang kurang semangat dalam belajar yang rata-rata mereka hanya tamatan SMA atau SLTP dan bahkan putus sekolah atau mamilih tidak melanjutkan sekolah, karena jarak rumah dan sekolahannya sangat jauh.74 Sedangkan sarana pendidikan yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI adalah:
73 74
Lihat transkrip wawancara 2/ Sm/ Sl/ W/ 29-06-08 Lihat transkrip wawancara 2/ SA/ Sl/ W/ 30-06-08
52
Nama gedung
Jumlah
Gedung TK
1 unit
Gedung SD
2 unit
4. Keadaan Keagamaan Agama yang dipeluk oleh masyarakat desa Air Batu Kuamang Kuning XI mayoritas adalah Islam. Sarana atau tempat ibadah yang ada yaitu 1 buah Masjid dan 14 buah Musholla. a. Praktek keagamaan dalam masyarakat Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mayoritas penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI memeluk agama Islam, maka kegiatankegiatan yang ada adalah jamaah yasinan untuk bapak-bapak yang dilaksanakan rutin satu kali dalam satu minggu yaitu pada malam jum’at, begitu juga jika ada salah satu keluarga yang mempunyai hajat juga diwarnai dengan suasana yang Islami. Dan untuk pengajian ibuibu majlis ta’lim dilaksanakan pada sore hari yaitu pada hari jum’at. Dapat dikatakan keadaan keagamaan masyarakat sangat maju didukung dengan adanya IMKK (ikatan majlis kuamang kuning) yang pengajian akbarnya dilaksanakan setiap 35 hari sekali secara bergiliran.75 Mengenai ibadah wajib khususnya sholat lima waktu nampak cukup baik, hal ini dapat di ketahui pada masyarakat yang
75
Lihat trankrip wawancara 1/ Sm/ Sl/ W/ 25-06-08
53
melaksanakan sholat berjamaah di Masjid atau Musholla-musholla tersebut, sehingga pada waktu-waktu tertentu yang menunjukkan waktu sholat terdengarlah suara adzan bersahut-sahutan. b. Pemahaman dan kesadaran terhadap ajaran agama Terjadinya hal-hal yang melanggar ajaran agama senantiasa ada, dikarenakan sebagian mereka belum (kurang) atau tidak faham terhadap ajaran agama atau sebagian masyarakat yang faham terhadap ajaran agama namun terbawa oleh pengaruh lingkungan yang tidak baik sehingga mereka enggan untuk mengamalkannya, sehingga dalam beberapa hal masih dijumpai perbuatan-perbuatan yang melanggar agama misalnya: judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.76 5. Kondisi Ekonomi Perekonomian desa Air Batu Kuamang Kuning XI sampai saat ini masih bertumpu pada sektor perkebunan. Yang paling utama adalah tanaman kelapa sawit. Mayoritas masyarakat desa Air Batu Kuamang Kuning XI berprofesi sebagai petani kebun, baik sebagai pamilik kebun maupun sebagai pekerja (buruh tani), dan sebagian mereka bekerja sebagai pedagang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.77
76 77
Lihat transkrip wawancara 1/ SA/ Sl/ W/ 28-06-08 Lihat transkrip dokumentasi 1/ D-1/ 28-06-08
54
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian Pekerjaan
Jumlah
Jasa pemerintahan (PNS)
32
Petani kebun
395
Jasa pedagang
42
Jasa angkutan
2
Buruh tani
218
Walaupun masih banyak penduduk yang dikategorikan sebagai buruh tani, namun demikian penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, terkadang malah lebih besar dari pada mereka yang mempunyai kebuh kelapa sawit.
C. Praktek Jual Beli Kelapa Sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir Kab. Merangin, Jambi 1. Latar Belakang Terjadinya Praktek Jual Beli Kelapa Sawit Rontokan Dan Bercampur Dengan Kotoran Penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI mayoritas petani kebun yaitu kebun kelapa sawit. Jumlah luas tanah yang dapat di kuasai oleh petani sangat terbatas yaitu 3.25 Ha tanah yang diberikan pemerintah pada waktu transmigrasi tahun 1985. dengan perincian 0.25 Ha areal perumahan, 1 Ha untuk ladang/ sawah dan 2 Ha tanah (1 kafling) adalah perkebunan kelapa sawit. Sedangkan penduduk desa yang berhajat
55
terhadap tanah senatiasa bertambah, selain bertambah banyak jumlah penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI yang memerlukan tanah untuk perumahan, juga kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga banyak dari kalangan petani yang menanami ladangnya dengan tanaman kelapa sawit. Hal ini mengakibatkan meyoritas masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari (sembako) semuanya serba membeli dan juga semua harga bahan makanan pokok (sembako) manjadi tinggi. Selain bertambahnya jumlah penduduk desa Air Batu Kuamang Kuning XI yang memerlukan tanah dan bahkan antusias untuk memiliki areal perkebunan juga banyaknya jumlah masyarakat yang membutuhkan pekerjaan, untuk mencari tambahan uang tidak jarang dari mereka yang tidak mempunyai kebun atau orang yang mempunyai kebun tetapi hasil dari kebunnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena pada umumnya masyarakat desa air batu kuamang kuning XI bergaya hidup mewah, yaitu bila tetangga beli suatu barang mereka juga ikutikutan membeli barang tersebut. Akibatnya demi mewujudkan apa yang diinginkan mereka menyempatkan waktu luangnya untuk menambah pemasukan dengan cara mencari rontokan (brondolan) buah kelapa sawit yang tercecer di jalan atau yang tersisa ditempat penimbangan hasil (TPH) setelah buah diangkut. Sedikit demi sedikit rontokan itu dikumpulkan yang
56
apa bila sudah terkumpul banyak baru rontokan itu dijual kepada pembeli (tengkulak).78 Untuk jual beli rontokan kelapa sawit yang dicari dengan cara memunguti dari bekas penimbangan setelah buah diangkut atau yang tercecer, ini disyaratkan rontokan tersebut benar-benar bersih. Akan tetapi para petani yang memiliki kebun kelapa sawit pada waktu pemanenan ketika memunguti rontokan kelapa sawit yang ada dibawah pohon biasanya mereka menyertakan sampah-sampah/ kotoran-kotoran, semisal rumput kering, batok buah kelapa sawit yang sudah kering, ranting kering dan bahkan pasir. Hal demikian dilakukan, yang memang pada waktu pemungutan kesulitan apa bila dibawah pohonnya banyak rontokan yang jatuh, sedangkan dibawah pohon kelapa sawit tersebut banyak rumput, anak kayu, pakis kawat, dan rontokan kelapa sawit yang tidak diambil yang sudah tumbuh. Sebenarnya untuk memunguti secara bersih (satu persatu) bisa saja, tetapi membutuhkan waktu yang lama, bisa dibayangkan bila rontokan dalam satu pohon itu ada lima ratus biji dan harus memunguti rontokan tersebut satu persatu dalam satu kafling yang luasnya mencapai 2 Ha bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Jadi dari itu, untuk lebih memudahkan pemungutannya dilakukan dengan cara dikeruk beserta sampah-sampahnya yang penting tidak terlalu mencolok.79
78 79
Lihat trankrip wawancara 1/ Sk/ Sl/ W/01-07-08 Lihat transkrip wawancara 1/ Kt/ Sl/ W/01-07-08
57
Rontokan kelapa sawit yang berada dibawah pohon apa bila tidak diambil/ dipunguti lama kelamaan akan tumbuh dan ikut menyerap pupuk yang ada dibawah pohon, maka lebih baik rontokan tersebut diambil/ dipunguti karena rontokan itu juga laku sama seperti buah yang masih janjangan. Bagi para petani yang mempunyai kebun kelapa sawit ketika menjual buah yang habis dipanen dan rontokannya kepada tengkulak, buah yang bercampur kotoran tersebut tidak dipermasalahkan, yang artinya sama saja dengan buah yang benar-benar bersih, harganyapun juga sama. Jikalau buah nantinya mendapatkan griding (potongan harga) dari pabrik, itu sudah menjadi tanggungan tengkulak, petani tidak ikut campur (patani tidak mau tahu). Lain halnya dengan petani yang menjual rontokan dari hasil mencari/
memunguti
dari
tempat
penimbangan,
rontokan
yang
diperolehnya harus benar-benar bersih dan harga yang diberikan oleh tengkulak biasanya berbeda beberapa rupiah dengan petani yang mempunyai kebun yang menjual kelapa sawit sehabis dipanen langsung dari kebunnya. Padahal untuk rontokan yang didapat dari bekas penimbangan atau yang lainnya langsung diantar/ dibawa langsung ketempat pembeli. Tengkulak memberi perbedaan harga ini dengan alasan tengkulak tidak mau ambil resiko apa bila nantinya buah/ rontokan yang dibeli tersebut ternyata adalah hasil dari mencuri di dalam kafling, resikonya tengkulak bisa dituntut dan didenda. Dari itu tengkulak
58
memberikan harga yang berbeda terhadap buah/ rontokan yang dibelinya tersebut.80 Buah kelapa sawit yang sudah ditimbang oleh tengkulak atau pekerjanya menjadi tanggung jawab tengkulak sepenuhnya, petani hanya mengetahui tonasenya (berat kilo gram) pada waktu penimbangan saja. Dengan demikian, tentang resiko buah hilang, terjadi penyusutan dan sebagainya sebelum buah diangkut petani tidak mau tahu yang penting petani menerima pembayaran sesuai dengan berat kilogram pada waktu penimbangan. 2. Praktek Jual Beli Kelapa Sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI a. Tata Cara (Akad) Jual Beli Kelapa Sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Seiring dengan perkembangan zaman pelaksanaan akad jual beli kelapa sawit menjadi beranekaragam. Ada yang dilakukan dengan melalui telephon yakni penjual menelephon kepada tengkulak memberitahukan bahwa tanggal sekian akan memanen buah kelapa sawitnya. Petani menyuruh tengkulak membelinya dan tengkulak mengiyakan. Ada juga yang lewat lisan dengan cara petani mendatangi rumah tengkulak untuk memberitahu bahwa besok akan memanen buah kelapa sawit yang ada dikebunnya, baik itu dilakukan sendiri ataupun dengan perantaraan orang lain (diwakilkan) dan tengkulak
80
Lihat transkrip wawancara 1/ K/ Sl/ W/02-07-08
59
mengiyakanya.
Setelah
itu
baru
dilakukan
pemanenan
dan
penimbangan serta pembayaran.81 Sedangkan lafadz-lafadz yang terjadi dalam pembentukan akad dalam jual beli, di samping memakai lafadz jual beli juga memakai lafadz kinayah yang semakna denganya. Namun yang dikehendaki dari akad tersebut adalah suatu ijab qobul yaitu berupa pelimpahan hak secara mutlak (penyerahan barang disertai dengan pembayaran). Dengan akad yang telah disebutkan di atas petani melimpahkan hak terhadap buah yang telah ditimbang sepenuhnya kepada tengkulak. Dengan demikian apa bila terjadi resiko buah hilang dan terjadi penyusutan
setelah ditimbang sebelum dilakukan pengangkutan
semuanya menjadi tanggung jawab tengkulak maksudnya petani tidak mendapatkan potongan berat kilo gram atas penyusutan atau hilangnya buah kelapa sawit tersebut walaupun buah kelapa sawit tersebut masih berada ditempat petani. Begitu juga halnya apa bila buah tersebut mendapatkan griding ketika dijual ke pabrik oleh tengkulak. b. Transaksi Jual Beli Kelapa Sawit Rontokan dan Bercampur Kotoran di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Pada umumnya jual beli kelapa sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI antara buah yang normal dalam artian tidak bercampur kotoran dengan buah yang bercampur dengan kotoran itu sama saja tidak ada perbedaan, kalau dari petani kepada tengkulak.
81
Lihat transkrip wawancara 1/ Kd/ Sl/ W/ 03-07-08
60
Hanya saja kalau memang buah tersebut benar-benar masih muda (masih hitam) oleh tengkulak disisihkan/ tidak diikutkan pada waktu penimbangan (disortir).82 Sudah barang tentu, karena jual beli kelapa sawit antara buah yang normal dengan buah yang bercampur dengan kotoran tidak ada perbedaan (tidak dipermasalahkan) oleh tengkulak, maka untuk mempermudah dalam pemungutan rontokan dilakukan dengan cara dikeruk meskipun sampah-sampah/ kotorannya ikut terkeruk, di samping hal ini tidak memakan banyak waktu juga menghemat energi. Buah kelapa sawit yang telah dibeli oleh tengkulak sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya, misalnya nanti buah yang dijual oleh petani kepada tengkulak tersebut mendapatkan griding (potongan harga) dari pabrik petani tidak mau tahu, petani menerima pembayaran berdasarkan berat kilogram pada waktu penimbangan. Petani tidak mau tahu tentang griding yang ditanggung oleh tengkulak, karena memang tengkulak dalam menetapkan harga pada transaksi jual beli kelapa sawit adalah dibawah standar harga pabrik. Jadi kemungkinan resiko seperti: adanya griding dari pabrik, ampera jalan dan lain-lain yang akan ditanggung oleh tengkulak semuanya sudah diperhitungkan. Setelah buah ditimbang oleh tengkulak walaupun buah tersebut belum diangkut dalam artian masih berada ditempat petani, namun
82
Lihat transkrip wawancara 1/ Tj/ Sl/ W/ 03-07-08
61
tentang segala resiko yang mungkin terjadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab tengkulak semisal buah yang sudah ditimbang tersebut hilang atau mengalami penyusutan, petani lepas dari pada itu (petani hanya mengetahui tonasenya saja).83
D. Penetapan Harga/ Pembayaran Jual Beli Kelapa Sawit di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI Dalam kaitannya dengan penetapan harga jual beli kelapa sawit, biasanya antara petani dan tengkulak tidak ada tawar menawar soal harga, yang biasa terjadi tengkulak menetapkan harga sendiri dibawah standar harga pabrik.84 Pada praktek jual beli kelapa sawit dalam kaitannya dengan pembayaran oleh tengkulak dan penyerahan hak atas barang yakni buah kelapa sawit oleh petani kepada tengkulak ada bermacam-macam sistim pembayaran yaitu: pembayaran bersamaan dengan penerimaan barang, pembayaran yang diambil dirumah pembeli setelah buah ditimbang, pembayaran yang dilakukan oleh pembeli setelah buah kelapa sawit dijual ke pabrik, pembayaran yang diminta dahulu oleh penjual baru kemudian setelah pemanenan buah kelapa sawit dijual kepada pembeli tersebut, yang masingmasing sistem tersebut dalam penetapan harganya berbeda-beda.85 1. Pembayaran bersamaan dengan penerimaan barang
83
Lihat transkrip wawancara 1/ T/ Sl/ W/ 06-07-08 Lihat transkrip wawancara 2/ Kd/ Sl/ W/ 07-07-08 85 Lihat transktip wawancara 2/ Tj/ Sl/ W/ 07-07-08 84
62
Sistem jual beli kelapa sawit yang bersamaan dengan penyerahan barang setelah buah ditimbang oleh tengkulak dan langsung menyerahkan pembayaran sesuai dengan harga yang ditetapkan tengkulak tersebut tanpa ada waktu tempo. Jual beli kelapa sawit yang seperti ini dilakukan oleh tengkulak tertentu saja. Tengkulak yang melaksanakan pembeliannya dengan cara seperti ini, biasanya dalam penetapan harga berbeda dengan tengkulak yang menggunakan sistim pembayaran yang lain yaitu terpaut beberapa rupiah.86 Dalam jual beli kelapa sawit yang umum dilakukan dalam proses jual beli tanpa adanya tawar-menawar soal harga, dan harga ditetapkan oleh tengkulak sendiri dibawah standar harga pabrik, sehingga bisa saja terjadi antara petani yang satu dengan petani yang lain berbeda dalam penetapan harga yang diberikan walaupun dalam satu tengkulak. 2. Pembayaran yang diambil dirumah pembeli setelah buah ditimbang Jual beli kelapa sawit yang dilakukan dengan pembayaran dibelakang ini dilakukan oleh tengkulak yang mana pada waktu proses penimbangan buah kelapa sawit yang ada di kebun petani dilakukan oleh pekerjanya. Untuk penetapan harga jual beli semacam ini biasanya lebih tinggi dari pada jual beli yang dilakukan dengan cara serah terima barang dan pembayaranya secara bersamaan. Untuk pegambilan pembayaran jual beli
86
Lihat transkrip wawancara 2/ S/ Sl/ W/ 08-07-08
63
semacam ini bisa kapan saja terserah petani. Dan bisa saja terjadi antara petani yang satu dengan yang lain berbeda dalam penetapan harganya karena pemanenan telah masuk harga yang baru.87 Tengkulak yang menggunakan sistem jual beli semacam inilah yang mempunyai banyak pelanggan, disamping harga yang diberikan tinggi juga pembayarannya bisa diambil kapan saja oleh petani dengan syarat buah kelapa sawit yang dipanen sudah ditimbang. 3. Pembayaran yang dilakukan oleh pembeli setelah buah kelapa sawit dijual ke pabrik Jual beli kelapa sawit dengan sistem pembayaran semacam ini biasanya penetapan/ pemberian harga oleh tengkulak kepada petani adalah yang paling tinggi, yang memang waktu temponya lama dan dari tengkulak sendiri untuk menjual kepabrik harus menunggu sampai stok buah yang ada mencukupi untuk dijual ke pabrik yaitu ± 8 ton.88 Bagi tengkulak yang bermodalkan sedikit jual beli semacam ini yang sering digunakan dalam transaksi. Cara ini walaupun penetapan harganya lebih tinggi dari sistem yang lain namun dalam sistem ini tengkulak dapat menjual buah tersebut tanpa harus mengeluarkan modal terlebih dahulu dan keuntunganpun dapat diraihnya. 4. Pembayaran yang diminta dahulu oleh penjual baru kemudian setelah pemanenan buah kelapa sawit dijual kepada pembeli
87 88
Lihat transkrip wawancara 2/ Sh/ Sl/ W/ 08-07-08 Lihat transkrip wawancara 2/ K/ Sl/ W/ 09-07-08
64
Jual beli kelapa sawit yang dilakukan dengan pembayaran yang diminta di muka oleh petani sebelum buah kelapa sawitnya dipanen dan dijual kepada tengkulak tersebut atau orang yang mempunyai tanggungan hutang kepada tengkulak dalam penetapan harga yang diberikan kepada petani tersabut antara tengkulak yang satu dengan yang lain berbeda. Bagi petani yang sudah langganan ada yang dipotong beberapa persennya dan ada juga yang tidak dipotong sama sekali, tetapi rata-rata dilakukan pemotongan Rp. 10,-/ kg, juga ada sebagian tengkulak yang memberikan harga berbeda walaupun mereka tidak mempunyai tanggungan hutang kepada tengkulak tersebut.89 Potongan harga yang dilakukan oleh tengkulak kepada petani yang meminta pembayarannya dimuka atau petani yang mempunyai tanggungan hutang walaupun ± Rp. 10,-/ kg, tetapi jika buah kelapa sawit yang dihasilkan pada waktu pemanenan ± mencapai 3 ton dan harganya Rp. 1.500,- maka potongan harga yang diterima oleh petani dari tengkulak adalah Rp. 45.000,- dan jumlah potongan tersebut adalah termasuk jumlah yang besar. Penetapan harga jual beli rontokan oleh tengkulak kepada petani yang mempunyai kebun dan yang tidak mempunyai kebun (mencari rontokan di bekas penimbangan) seperti yang biasa terjadi harga yang diberika berbeda. Untuk petani yang mempunyai kebun walaupun rontokan tidak bersih harga yang diberikan mengikuti kelapa sawit yang
89
Lihat transkrip wawancara 3/ T/ Sl/ W/ 10-07-08
65
masih janjangan (bertangkai). Sedangkan untuk petani yang tidak mampunyai kebun harga yang diberikan umumnya lebih rendah sampai terpaut Rp. 300,- dan disyaratkan rontokan tersebut benar-benar bersih.90 Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pembayaran yang diberikan oleh pembeli kepada penjual berbeda-beda antara orang yang satu dengan orang yang lain dan penetapan harganyapun berbeda. Yang seharusnya antara buah yang bersih dan yang kotor lebih unggul yang bersih namun kenyataan dilapangan sebaliknya.
90
Lihat transkrip wawancara 2/ Sk/ Sl/ W/ 10-07-08
66
BAB IV ANALISA FIQH TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI KELAPA SAWIT DI DESA AIR BATU KUAMANG KUNING XI, KEC. TABIR ILIR, KAB. MERANGIN, JAMBI
A. Analisa Fiqh Terhadap Praktek (Akad) Jual Beli Kelapa Sawit Di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi Jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam yang berkenaan dengan hukum takhlifi, hukumnya adalah boleh (ٌز
َا9 َ ) atau (nُ b َ ;َ`o ِ ْ)ا.91
Dalam rangka menggalakkan usaha perdagangan ini, Rasulullah SAW menandaskan bahwa pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama para Nabi, orang-orang yang benar dan para suhada.92 Keterangan-keterangan tersebut dapat mengungkapkan pada kita bahwa usaha perdagangan bukan saja halal melainkan juga mulia apabila dilakukan dengan jujur dan berdasarkan prinsip-prinsip agama. Dalam suatu transaksi tidak terlepas dari yang namanya akad. Akad dalam istilah dipergunakan dalam pengertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi oarang lain dengan kata
91 92
1996), 35.
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003), 193. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki (Jakarta: PT. Al-Ma’arif,
67
harus. Diantaranya adalah firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad kalian.”93 Berdasarkan dari pemaparan praktek jual beli pada bab yang lalu telah dijelaskan bahwa pelaksanaan praktek jual beli kelapa sawit di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi akad dalam melaksanakan transaksi tersebut ada dua macam yaitu penjual menelephon kepada pembeli dan penjual mendatangi rumah pembeli. Jika ditinjau dari hukum fiqh praktek jual beli kelapa sawit yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi menurut jumhur ulama yaitu Hânafiyah, Shâfi’iyah, Mâlikiyah dan Hanâbilah menyepakati bahwa praktek jual beli harus ada ijab qabul di antara kedua belah pihak yang bersangkutan atas dasar kerelaan (suka sama suka) antara penjual dan pembeli sesuai dengan firman Allah surat Annisa’ ayat 29;94
ن ِ<َ; َر ًة َ 9ُ<َ ْ َأن5 ? ِإf ِ ِ ;َC2ْ ;ِ` 3ُvَ dْ `َ 3ُ2ََا9wْ ا َأ9ُ7 َ<ْ ُآ5 َ ا9ُvwَ ءَاx َ kِ2?َ; ا k َ;َأk ;ًGdِbْ َر3ُ `ِ ن َ ;َ آe َ نا ? ْ ِإ3ُ ¡ َ ¢ُ :َا أ9ُ7@ُ >ْ <َ 5 َ ْ َو3ُ v£w ض ٍ َاB<َ xَ8 Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Ayat di atas dengan jelas menerangkan halalnya (mubahnya) jual beli (bai’). Meskipun ayat tersebut disusun untuk beberapa tunjuan selain pernyataan halalnya jual beli. Perkataan suka sama suka dalam ayat di atas
93
Abdullah al-Muslih dan Shalah ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 26 94 Nasrun Haroen, Fiqih Muammalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), 117
68
menjadi dasar bahwa jual beli haruslah merupakan kehendak bebas kehendak sendiri yang bebas dari unsur tekanan/ paksaan dan tipu daya atau kicuhan.95 Sebagaimana dalam beberapa keterangan berikut:
:ب ;ل َ 9k َاx ُ ` ا6َdl ْ kَ ;v4.b ..َ Gَ b ْ َا9ُ`;َاv4.b .f ¹ dْ 7ِ8 َ x ُ `ْ Bُ ْ :َ ;v4.b 67t 6Cv2 اx8 . َةBَ kْ Bَ ُه6ِ`َ اx8 ث ُ .£ l َ kُ ٍوBGْ 8 َ x َ ` nَ 8 َ ْ َا`َ; ُزر ُ ْ1Gِ َ ٌ¼k.b ض" ها ٍ َاB<َ ْx8 َ 5 ? ِاcٍ dْ `َ ْx8 َ x ? َ B? ¢َ @َ kَ 5 َ " : ;ل37{ وd78 eا .ٌ¦kB½ Artinya: “Nasr bin Ali menceritakan kepada kami, Abu Ahmad menceritakan kepada kami, Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, ia berkata: saya mendengar Abu Zur’ah bin Amr menceritakan, ia dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Janganlah sekali-kali kalian (cepat-cepat) berpisah didalam jual beli, kecuali atas dasar saling rela-merelakan.” Hadits ini ghorib.”
;v4.b ..ٍ G? l َ wُ x ُ` ن ُ ْوَاBwَ ;v4.b .6 >ِ y ْ wَ .ِ 2 ا.ِ dْ 2ِ9َ 2 اx ُ` س ُ ;?C1َ 2; اv4.b : ;ل,{ِ dْ `ِ َأx8 ,6 £ :ِ .َ Gَ 2ْ } ا ٍ 2ِ;َt x ِ `َ دَا ُودx8 ,.ٍ G? l َ wُ x ُ `ِاkْ ِ 1َ 2ْ ُا.Cْ 8 َ 37{ وd78 e ا67t eل ا ُ 9 ;ل ر:ل ُ 9ُ>kَ ى ? ْ ِر.
ُ 2ْ ا.ٍ dْ 1ِ َ ;َ` َأ ُ 1ْ Gِ َ {2; ور,}dlt §;دv ا:.Fوا2 ا6s "ض ٍ َاB<َ ْx8 َ cُ dْ Cَ 2ْ َ; اG:?" ِا .{ldlt 6s ;نCb x` روا§ ا.ن9>49w Artinya: “Mewartakan kepada kami al-‘Abbas bin al-Walid ad-Dimasyqiy, mewartakan kepada kami Marwan bin Muhammad, mewartakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari Dawud bin Shalih al-Madaniy, dari ayahnya, dia berkata: aku mandengar Abu Sa’id al-Khudriy berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (Dalam az-Zawa-id: isnadnya shahih, para perawinya terpercaya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya).
95
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 131
69
Dari keterangan-keterangan hadits di atas jelas bahwa jual beli itu sah jika kedua belah pihak yang melakukan suatu akad dalam transaksi jual beli suka sama suka atau saling rela-merelakan. Para ulama telah sepakat bahwa akad itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafadz perjanjian.96 Kalau akad usaha antara kedua belah pihak berlangsung sementara keduanya tidak dalam lokasi akad, masingmasing tidak melihat pihak lain dengan mata kepala sendiri, juga tidak mandengar suaranya, sementara media komunikasi yang menghubungkan antara keduanya adalah tulisan, surat, kedutaan atau delegasi, via telegram, surat kilat, faksimili, layar monitor komputer, dalam semua kondisi tersebut perjanjian dianggap sah, kalau ijab bisa sampai kepada pihak yang dituju, demikian juga qabul dari pihak yang lain.97 Kalau akad antara kedua belah pihak sudah berlangsung pada satu waktu sementara keduanya berada di dua lokasi yang berjauhan, akad itu dilakukan dengan telephon dan faksimili, maka akad antara kedua belah pihak tersebut dianggap sebagai akad antara dua orang yang hadir. Pada kondisi demikian diterapkan hukum asal yang ditetapkan oleh para ulama ahli fiqh.98 Dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari beberapa keterangan di atas, bahwa praktek jual beli kelapa sawit di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi diperbolehkan oleh syara’
96
Al-Muslih dan Ash-Shawi, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, 30 Ibid., 31 98 Ibid., 31 97
70
sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Sehingga menurut penulis praktek jual beli tersebut diperbolehkan dan sah.
B. Analisa Fiqh Terhadap Penetapan Harga/ Pembayaran Jual Beli Kelapa Sawit Di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabir Ilir, Kab. Merangin, Jambi Berdasarkan ijma’ ulama telah sepakat bahwa jual beli juga diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu harus diganti dengan barang lain yang sesuai.99 Dalam hal ini jual beli sudah berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah SAW hingga kini.100 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum jual beli adalah halal (dibolehkan) namun hal ini bisa berkembang menjadi makruh, hasan dan dilarang. Ini tergantung cara yang dilakukan atau motivasi jual beli serta terpenuhinya aturan dan tata cara jual beli menurut hukum Islam dan fiqih. Penetapan harga dalam pembayaran pada jual beli kelapa sawit yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi yang biasa terjadi terdiri dari: Pertama, Bagi petani yang tidak mempunyai tanggungan hutang ataupun tidak mengambil pembayaran pada jual beli kelapa sawitnya di muka dalam penetapan haraga yang diberikan oleh tengkulak kepada petani tersebut sesuai dengan harga pada umumnya. 99
Rachmat Syafi’I, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 75. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah XII, terj. Kamaluddin A. Marzuki (Bandung: al-Ma’arif,
100
1996), 96.
71
Praktek penetapan harga tersebut yaitu sesuai dengan yang terjadi di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi menurut jumhur ulama’ adalah sah. Karena penetepan harga tersebut telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi dan jelas jumlahnya tanpa adanya unsur riba dan pemaksaan. Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:
:ل َ ;َ ¦ُ؟dَ ْ ¦ َا ِ ¡ ْ َ 2ْ ى ا َا:f َ ¤ِ ُ .م. ص6Cv2ن ا ? َاcٍ sِ رَاx ِ ` nَ 8 َ ;َsْ ِرx8 َ (3;آl2{ اlltار وC2 §وْ ٍر )رواBُ Cْ wَ cٍ dْ `َ f َو ُآ,§ِ .ِ dَ `ِ f ِ ُ B? 2 اf ُ Gَ 8 َ) Artinya: “Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW ditanya apakah pencaharian yang lebih baik? Jawabnya “Usaha dengan tangan manusia dan tiap-tiap jual beli yang mabrur (diberkati)”.101 Artinya jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan-kecurangan mendapat berkat dari Allah.102 Maksud dari kata mabruru diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.103 Dari keterangan diatas, bahwa penetapan harga jual beli kelapa sawit di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi diperbolehkan oleh syara’ sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Sehingga menurut penulis penetapan pembayaran pada jual beli tersebut diperbolehkan dan sah. Kedua, bagi petani yang mempunyai tanggungan hutang atau mengambil pembayaran di muka diberikan potongan Rp. 10,- / kg
101
Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, terj. A. Hasan (Bandung: Diponegoro,
2001), 381.
102 103
Nasrun Haroen, Fiqh…., 114 Syafi’i, Fiqh Muamalah, 75.
72
Ketiga, bagi petani yang mencari rontokan dan menjualnya kepada pembeli yaitu tengkulak, dikenai potongan harga Rp. 300,- / kg, juga disyaratkan rontokan tersebut bersih. Kedua model penetapan harga di atas, terdapat unsur paksaan serta penipuan, karena jual beli yang bergantung pada syarat seperti ungkapan pedagang “jika tunai harganya Rp. 10.000,- dan jika berhutang harganya Rp. 15.000,-“ maka jual beli yang semacam ini dikatakan fasid. Didasarkan pada hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Ashab as-Sunan (para penyusun kitab sunan) dari Abu Hurairah, dan dari Amr ibn Syu’aib bahwa Rasulullah SAW bersabda;
6ِs x ِ dْ َ ْBq َ ْx8 َ َوx ِ dْ @َ 1َ dْ `َ ْx8 َ 37{ وd78 e ا67t eل ا9 ر6 َ :َ .cٍ dْ `َ Artinya: “Rasulullah saw malarang dua jual beli dalam satu akad, dan dua syarat dalam satu bentuk jual beli.” Akan tetapi terdapat perbedaan diantara jumhur ulama tentang penetapan harga tersebut. Ulama Shâfi’iyah dan Hanâbilah menyatakan jual beli bersyarat di atas adalah batal. Sedangkan Imam Mâlik menyatakan jual beli bersyarat di atas adalah sah, apabila pembeli (yang dalam jual beli kelapa sawit adalah penjual karena penjual yang memiliki barang dan pembeli yang melakukan penimbangan serta menetapkan harga, (pen.)) diberi hak khiyar. Dan menurut ulama Hânafiyah hukumnya adalah fasid.104 Mengecoh dan maengurangi timbangan serta mempermainkan harga dalam jual bali adalah gambaran yang sangat umum terjadi di dalam dunia 104
Nasrun Haroen, Fiqh…., 128
73
perdagangan, dimanapun dam kapanpun, baik pada zaman dahulu hingga sekarang ini. Atas dasar kenyataan seperti tersebut Allah berulang kali memperingatkan kepada umat-Nya agar benar-benar menjauhi segala perbuatan seperti itu, sebab tindakan seperti ini hakekatnya adalah pencurian secara halus, yang akan mengakibatkan kerugian pihak lain.105 Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa para ulama madzhab di atas mengemukakan pendapat mereka masing-masing dari aspek harga.
105
Musthafa Kamai Pasha, Fikih Islam (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), 371
74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari penjelasan yang telah dipaparkan di muka dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan tinjauan fiqh, akad pada jual beli kelapa sawit yang ada di desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi adalah diperbolehkan apabila tidak adanya syarat. Sedangkan jika dalam jual beli tersebut terdapat adanya syarat, maka akad dalam jual beli tersebut adalah fasid, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh jumhur ulama yaitu Hânafiyah, Shâfi’iyah, Mâlikiyah dan Hanâbilah. 2. Penetapan harga yang diberikan oleh tengkulak kepada petani (penjual) ada perbedaan dikalangan jumhur ulama. Bagi petani yang tidak mempunyai tanggungan hutang dan tidak mengambil pembayaran di muka tidak ada perbedaan dikalangan jumhur ulama semuanya sepakat memperbolehkan. Bagi petani yang mempunyai tanggungan hutang dan yang menjual rontokan hasil mencari dan di jual dengan adanya syarat, ada perbedaan dikalangan jumhur ulama. Ulama Shâfi’iyah dan Hanâbilah menyatakan jual beli bersyarat adalah batal. Sedangkan Imam Malik menyatakan jual beli bersyarat diatas adalah sah, apabila pembeli
75
diberi hak khiyar dan menurut ulama Hânafiyah hukumnya adalah fasid. B. Saran Sebaiknya tentang praktek jual beli kelapa sawit yang ada di Desa Air Batu Kuamang Kuning XI, Kec. Tabit Ilir, Kab. Merangin, Jambi, ditinjau kembali baik dari segi akadnya, penetapan harga dan hal yang lain berdasarkan hukum syara’, ijma’ ulama, qiyas dan dilakukan pengkajian kembali yang lebih mendalam agar tercapai sebuah titik terang.
76
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, terj. A. Hasan. Bandung: Diponegoro, 2001. Al-Gharyani, Ash-Shadiq Abdurrahman, Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Terj. A.S. Surabaya: Pustaka Progressif, 2004. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Muslimah. Jakarta: Pustaka Amin, 1999. Al-Mas’adi, Ghufron, Fiqih Mu’amalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2002. Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, Terj. Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2004. Muslim, Shahih Muslim II. Beirut: Dar Al-Fiqr, t.t. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Hukum-hukum Fiqih Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 1997. Aziz, Dahlan Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt. Basyir, Ahmad Azhar, Azas-Azaz Hukum Muamalah, Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: UII Press, 2000. Darajat, Zakiah, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: PT. Asdi Mahastya, 1998.
77
Depag. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Ponorogo: Jurusan Syari’ah, 2005. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 1995. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Lubis, Suhrawardi K., Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Majjah, Ibnu, Sunan Ibnu Majjah, Terj. Abdullah Shonhaji, et.al, Jilid. 3. Semarang: Asy-Syifa’, 1993. Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Semarang: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Surasih, 1996. Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2004. Muslim, Imam, Sahih Muslim, Vol. III. Terj. Ma’mur Daud. Jakarta: Widjaya, 1993. Noor, Zainuri. Terjemah Faraidul Bahiyyah. Terj. Moh. Adib Bisri. Rembang: Menara Kudus, 1977. Pasha, Musthafa Kamai, Fikih Islam. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. Qardhawi, Syekh Muhammad Yusuf. Halal dan Haram Dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1982.
78
Rasyid, Sulaiman Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 1996. Rusyd, Ibnu. Terjemah Bidayat al-Mujtahid III. Terj. Abdurrahman A. Haris. Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990. S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah XII, Terj. Kamaludin A. Marzuki. Jakarta: PT. AlMa’arif, 1996. Salih ,Achmad Khudari, Fiqh Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) V Muamalah. Jakarta: PT. Pertija, 1999. Syafi’I, Rachmat, Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2006. Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media, 2003. Umar, Anshari, Fiqh Wanita. Semarang: Ash-shifa’, t.t. Ya’qub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam. Bandung: CV. Diponegoro, 1992.