BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah Selang 4 tahun setelah peristiwa bencana gempa bumi, masyarakat
di provinsi Yogyakarta kembali diterpa peristiwa bencana alam yaitu erupsi gunung Merapi. Bencana menurut United Nations (1992) dan Asian Disaster Reduction Centre (2003) adalah suatu gangguan serius terhadap fungsi masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, material atau lingkungan yang luas melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak dan harus mereka hadapi menggunakan sumber daya yang ada pada mereka (Bevaola, 2014). Gunung Merapi merupakan salah satu gunung yang termasuk dalam proyek Decade Volcanoes. Yaitu, sebutan yang diberikan Asosiasi Internasional Vulkanologi dan Kimia Interior Bumi untuk 16 gunung berapi yang dianggap bernilai untuk diteliti berdasarkan pertimbangan sejarah erupsi berskala besar dan merusak, serta lokasinya yang dekat permukiman penduduk (Liputan 6, 2012). Pada erupsi Merapi 2010, bukaan kawah gunung Merapi mengarah ke selatan dan tenggara. Bukaan kawah gunung Merapi merupakan indikator utama untuk menentukan kemana arah letusan Merapi besert 1
a ancaman – ancaman yang dibawanya. Ancaman – ancaman tersebut antara lainawan panas, aliran lava, dan lontaran batu. Apabila ancaman – ancaman itu sampai di daerah hunian tetap ataupun perkebunan milik warga maka akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Jika sebelumnya kawah membuka ke arah barat, pascaerupsi tahun 2010 terlihat bukaan kawah gunung Merapi mengarah ke selatan dan tenggara, dengan aliran material mengarah ke Kali Gendol, Kali Opak, dan Kali Kuning di wilayah DI Yogyakarta (Kompas, 2012). Kawasan daerah selatan gunung Merapi yaitu terletak di Kabupaten Sleman. Dengan begitu seyogyanya masyarakat di lereng selatan gunung Merapi mempunyai peran untuk terlibat mengerahkan kemampuannya dalam rangka menanggulangi bencana erupsi Merapi dengan meminimalisir atas segala risiko. Dampak kerusakan dan kerugian di provinsi DIY paling banyak dirasakan oleh kabupaten Sleman mengingat kabupaten Sleman secara letak wilayah administratif berada paling dekat dengan gunung Merapi dibandingkan dengan kabupaten – kabupaten lain. Berikut merupakan hasil analisa dari BPBD Sleman mengenai kerusakan dan kerugian yang diterima masyarakat kabupaten Sleman akibat dari erupsi Gunung Merapi 2010:
2
Tabel 1.1 Kerusakan dan Kerugian Masyarakat Kabupaten Sleman Sektor
Nilai Kerugian (Rupiah)
Perumahan
477,684,984,000
Infrastruktur
224,426,945,088
Sosial
49,639,528,731
Ekonomi
1,261,330,945,178
lintas sector
3,392,686,800,897
Total
5,405,681,153,844
Sumber: Dokumen Kontijensi BPBD Sleman 2012
Masyarakat dusun Pelemsari termasuk korban yang terkena dampak di kabupaten Sleman dari bencana gunung Merapi 2010 di bidang perumahan, mengingat lokasinya yang hanya berjarak 5 kilometer secara vertikal dari puncak gunung Merapi. Secara administrasi wilayah dusun Pelemsari terletak di kelurahan Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam rangka program penanggulangan bencana erupsi Merapi, pemerintah kabupaten Sleman melakukan suatu instruksi aturan berupa peta Kawasan Rawan Bencana. Penyusunan peta KRB dilandaskan atas dampak erupsi yang terjadi setiap 100 tahun secara kumulatif menurut BPPTK. Semisal daerah tertentu pernah terkena dampak erupsi dalam 100 tahun terakhir maka daerah tersebut dapat terbilang sebagai kawasan rawan karena potensi datangnya 3
ancaman ulangan lebih besar. Berikut peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Daftar Gambar 1.1 Peta Kawasan Rawan Bencana G. Merapi (BAPPEDA Sleman)
Wilayah hunian masyarakat Pelemsari sebelum bencana ditetapkan dalam kawasan rawan bencana (KRB) III. Daerah yang termasuk dalam KRB III dihimbau oleh Pemerintah untuk tidak diperbolehkan dijadikan tempat tinggal oleh warga. Bagi komunitas yang terpapar oleh bencana sebelumnya, mereka “disuntik” dengan berbagai program pemulihan, pemberdayaan ekonomi, revitalisasi ruang budaya local yang khas,
4
termasuk membangun kembali permukiman yang dianggap aman terhadap bencana (Lubabun, 2014). Akan tetapi masyarakat Pelemsari justru yang memberi tekanan kepada pemerintah dan pihak lain melalui kesadaran yang berbuah kerja sama mereka lakukan untuk selanjutnya dapat membantu mewujudkan hal yang memang mereka butuhkan dalam pemulihan kehidupan pasca bencana yaitu relokasi. Secara tersirat, masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di KRB III dipaksa untuk menaati aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk selanjutnya melakukan relokasi. Selain daerah Pelemsari terdapat daerah lain yang termasuk dalam KRB III, daerah itu antara lain Pangukrejo dan Glagaharjo. Tidak semua warga menyetujui aturan dari Pemerintah tersebut antara lain desa Glagaharjo. Menurut Kepala Desa Glagaharjo, mereka memilih tetap bertahan di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Merapi, meskipun tidak mendapatkan insentif Rp30 juta karena telah merasa nyaman tinggal di tanah sendiri, jika kelak Merapi dalam bahaya mereka siap mengungsi (Republika, 2011). Sikap seperti itu dapat terbangun dengan sebab apabila mereka melakukan relokasi maka mereka diharuskan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat Pelemsari mempunyai sikap yang berseberangan dalam menghadapi problematika tersebut. Menililik kerusakan dan
5
kerugian yang mereka dapatkan di aspek perumahan, mereka dituntut untuk sadar dan peduli akan hal itu. Menurut Bates (2002) bencana bertindak sebagai faktor pendorong keputusan penduduk untuk bermigrasi, memaksa mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (Bevaola, 2014).Warga dusun Pelemsari desa Umbulharjo kecamatan Cangkringan merupakan salah satu dusun yang menjadi korban erupsi Merapi tahun 2010 berencana melakukan relokasi secara mandiri (Slemankab, 2011). Menurut Maria SW Sumardjono, relokasi merupakan salah satu alternatif dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menata kembali kehidupan mereka di tempat yang baru (Muhammad, 2012). Dari hal itu menjelaskan bahwa masyarakat Pelemsari dalam melakukan tahap perencanaan penataan kembali kehidupan mereka di daerah yang baru dapat berdiri sendiri artinya tanpa perlu mendapatkan bantuan dari pihak lain. Keputusan masyarakat Pelemsari untuk memilih relokasi mandiri secara kolektif merupakan suatu bentuk upaya keterlibatan aktif masyarakat
dalam
rangka
penanggulangan
bencana.
Berdasar
penanggulangan bencana di era modern ini erat kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. Risiko adalah dinamika penggerak masyarakat yang cenderung berubah, yang ingin menentukan masa depannya sendiri ketimbang menyerahkannya pada agama, tradisi, atau
6
perlakuan alam (Giddens, 2001). Untuk diketahui bahwa tercatat dalam sejarah, masyarakat Pelemsari sebelumnya tidak pernah melakukan relokasi. Maka secara dengan sadar mereka memiliki keberanian untuk menghilangkan tradisi kebudayaan secara turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kesepakatan yang telah mereka memiliki untuk melakukan relokasi mandiri kolektif niscaya dilalui serangkaian proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi. Pengambilan keputusan didapatkan melalui proses pemilihan dari beberapa pilihan untuk selanjutnya memutuskan pilihan yang paling dianggap baik oleh masyarakat Pelemsari. Proses pengambilan keputusan masyarakat Pelemsari terkait perannya dalam kegiatan relokasi mandiri kolektif terdiri dari penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian dampak, penilaian kebutuhan, dan penentuan tujuan. Sedangkan pemetaan proses tahapan relokasi mandiri kolektif masyarakat Pelemsari terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam kegiatan perencanaan relokasi secara mandiri yang dilakukan oleh masyarakat Pelemsari tidak dapat disangsikan bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak mungkin hanya dilakukan oleh atas dasar kepentingan pribadi semata mengingat hal itu mencakup pemulihan kehidupan semua warga. Dengan begitu pasti antar masyarakat Pelemsari 7
saling bekerja sama dalam kegiatan kolektif karena tidak bergantung terhadap pihak lain. Sehingga diharapkan permasalahan mengenai keberlangsungan kehidupan mereka dapat teratasi dengan sesuai yang mereka inginkan. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Pelemsari diyakini oleh peneliti mempunyai peran yang cukup vital dalam pelaksanaan proses itu. Menimbang bahwa modal sosial merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Modal sosial terdiri dari tiga aspek yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan. Basis kerja sama adalah kepercayaan bahwa orang lain bisa bekerjasama dengannya (Robert, 2005). Di dalam penelitian ini kepercayaan dikaji secara mendalam. Kepercayaan terbangun melalui tiga aspek yaitu harapan, hubungan, dan tindakan atau interaksi sosial. Akan tetapi ternyata modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Pelemsari ternyata tidak berhasil menopang untuk mewujudkan relokasi mandiri secara kolektif. Relokasi yang dilakukan oleh masyarakat Pelemsari akhirnya memerlukan bantuan dari pihak lain yaitu Pemerintah. Berarti bisa dikatakan bahwa modal sosial milik masyarakat Pelemsari mempunyai keterbatasan hingga akhirnya hal itu tidak dapat terlaksana. Tentunya tidak hanya terlepas modal sosial yang menjadi sorotan akan kegagalan itu, modal barang kapital, modal finansial dan modal manusia
8
masyarakat Pelemsari juga turut diperhatikan agar dapat mengidentifikasi kegagalan itu secara jelas.
II.
Rumusan Masalah Untuk mendapatkan data mengenai identifikasi keterlibatan
masyarakat Pelemsari dalam upaya melangsungkan kegiatan relokasi mandiri kolektif pasca bencana erupsi gunung Merapi tahun 2010, kepercayaan di dalam teori modal sosial merupakan objek kajian yang dipakai peneliti untuk menjelaskan hal itu, maka rumusan masalah penelitian yang saya ambil adalah : Bagaimana manfaat dan keterbatasan modal sosial masyarakat Pelemsari dalam proses relokasi mandiri pasca bencana?
III.
Tujuan Penelitian
1.
Mengidentifikasi proses pengambilan keputusan dan tahapan
kegiatan relokasi mandiri kolektif yang dilakukan masyarakat Pelemsari. 2.
Mengetahui peran dan keterbatasan modal sosial masyarakat
Pelemsari dalam mewujudkan kegiatan relokasi mandiri kolektif.
9
IV.
Tinjauan Pustaka Berikut merupakan karya ilmiah yang berkaitan dengan tema
penelitian ini:
1. Tesis yang ditulis oleh Aviyanti N (2015) yang berjudul “Modal Sosial Di Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana Merapi Sister Village” (Studi Kasus Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun Dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan). Tesis ini memiliki fokus untuk meneliti mengenai peranan dimensi modal sosial di dalam pengurangan risiko bencana letusan gunung Merapi di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan serta ingin mengetahui faktor – faktor yang mendukung dimensi modal sosial. Studi kasus dipilih menjadi alat analisis di dalam penelitian ini. Beberapa dimensi modal sosial yang menjadi temuan dari penelitian ini dan mempunyai peran dalam Sister Village adalah kelompok dan jaringan, kepercayaan dan solidaritas, tindakan bersama dan kerjasama, informasi dan komunikasi, kohesi sosial dan inklusi, serta pemberdayaan dan tindakan politik. Penelitian ini juga mendapatkan temuan mengenai faktor yang mendukung dimensi modal sosial di Sister Villageyaitu kepemimpinan baik di sektor pemerintah daerah maupun pimpinan
10
kedua desa itu. Tesis ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu memiliki harapan untuk memberikan informasi terkait penanggulangan bencana dan modal sosial (kepercayaan). 2. Skripsi yang ditulis oleh Alfian Ahmad Akbar (2014) yang berjudul “Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemulihan Kondisi Sosial Dan Ekonomi Pasca Bencana, Studi Kasus Kisah Perempuan Pelaku Usaha Di Desa Wukirsari Bantul. Skripsi ini dilakukan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan modal sosial oleh perempuan pelaku usaha di Desa Wukirsari dalam melakukan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi pasca bencana gempa bumi yang melanda Kabupaten Bantul tahun 2006. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga parameter modal sosial untuk melakukan kajian analisa. Ketiga paramaeter modal sosial itu terwujud dalam bentuk modal sosial bounding, bridging, dan linking. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga parameter modal sosial mampu membantu memulihkan kondisi sosial dan ekonomi pelaku usaha perempuan di Desa Wukirsari Bantul. Skripsi ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pemanfaatan modal sosial (kepercayaaan) dalam rangka penanggulangan bencana.
11
V.
Kerangka Konseptual
1.
Pengambilan Keputusan Dalam rangka mengetahui keputusan relokasi mandiri kolektif
yang dilakukan masyarakat Pelemsari perlu mengetahui asal keputusan itu terbentuk. Keputusan mempunyai peran yang penting dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh manusia. Keputusan didefinisikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan daripada suatu proses pemikiran untuk menjawab suatu pertanyaan, khususnya suatu masalah atau problema (Prajudi, 1976). Jadi, barang siapa menghendaki adanya aktivitas – aktivitas tertentu, maka dia harus mampu dan berani mengambil keputusan – keputusannya yang bersangkutan dengan itu, setepat – tepatnya (Prajudi, 1976). Di dalam keputusan yang telah diambil terdapat proses pengambilan keputusan yang membantu kelancaran keputusan itu terbentuk. Teori dasar pengambilan keputusan berkisar pada pengambilan tujuh
langkah
pemecahan
apabila
seseorang menghadapi
situasi
problematika, yaitu: a) Mengidentifikasikan masalah dan membuat definisi b) Mengumpulkan dan mengolah data sehingga tersedia informasi yang mutakhir, lengkap, dapat dipercaya, dan tersimpan dengan baik sehingga mudah untuk ditelusuri kembali apabila diperlukan
12
c) Mengidentifikasi berbagai alternatif yang mungkin ditempuh d) Menganalisa
dan
mengkaji
setiap
alternatif
yang
telah
diidentifikasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya e) Menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif yang tampaknya terbaik dalam arti mendatangkan manfaat paling besar, sesuai dengan asas maksimasi, atau mengakibatkan kerugian yang paling besar dengan asas minimisasi f) Melaksanakan keputusan yang diambil g) Menilai apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan dan rencana atau tidak (Sondang, 1990). Untuk dapat mengetahui bahwa keputusan itu merupakan keputusan yang berdasar suatu pengalaman atau tidak berikut penjelasan mengenai jenis keputusan. Salah satu teori yang telah dikembangkan ialah mengklasifikasikan keputusan kepada dua jenis utama, yaitu, keputusan terprogram, dan keputusan yang tidak terprogram: a) Keputusan Terprogram Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali, dan diambil secara rutin dalam organisasi. b) Keputusan Yang Tidak Terprogram
13
Berbeda dengan keputusan terprogram, keputusan yang tidak terprogram biasanya diambil dalam usaha memecahkan masalah – masalah yang belum pernah dialami sebelumnya, tidak bersifat repetitif, tidak terstruktur, dan sukar mengenali bentuk, hakikat dan dampaknya (Sondang, 1990).
2.
Relokasi Menurut KBBI, relokasi adalah pemindahan tempat. Supaya dapat
memaparkan data mengenai sejauh mana keterlibatan masyarakat Pelemsari berperan serta dalam proses relokasi mandiri diperlukan pengkajian mengenai prinsip – prinsip dalam relokasi. Prinsip – prinsip relokasi menurut Maria SW Sumardjono adalah sebagai berikut: 1. Perlunya koordinasi semenjak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Alternatif bagi masyarakat yang tanahnya musnah sebagian atau seluruhnya untuk menentukan pilihannya. 2. Berkenaan dengan status hukum dari tanah yang akan dijadikan areal relokasi, prioritas adalah tanah Negara. 3. Pendataan jumlah kepala keluarga yang akan mengikuti relokasi, 4. Hak masyarakat yang akan dipindahkan, 5. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali,
14
6. Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan, 7. Status hak atas tanah, terhadap tanah dan bangunan yang telah diserahterimakan
kepada masyarakat,
diberikan
kepastian
dan
perlindungan hukum berupa hak milik. 8. Dukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat, 9. Mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari (Muhammad, 2012). Selain perpindahan lokasi tempat tinggal, yang diperlukan masyarakat Pelemsari untuk mewujudkan relokasi adalah pembangunan permukiman. Untuk mengetahui kebenaran mengenai perencanaan relokasi mandiri yang dilakukan masyarakat Pelemsari dapat diidentifikasi melalui bentuk pembangunan permukiman pasca bencana mereka. Menurut US AID, ada tiga bentuk pembangunan permukiman pasca bencana, yaitu: 1. Rekonstruksi oleh pemilik rumah, model ini popular dan sudah banyak diimplementasikan di seluruh penjuru dunia. Model ini telah sukses dalam pembangunan kembali permukiman pasca gempa di beberapa Negara seperti China, Indonesia, India, dan Haiti. Model ini sering dipakai karena biaya yang lebih sedikit, dampak yang lebih luas daripada pembangunan kembali oleh donor, dan dapat menciptakan
15
rumah yang aman, memuaskan pemilik rumah, dan perubahan yang berkelanjutan pada praktik pembangunannya. 2. Rekonstruksi oleh masyarakat, model ini juga telah banyak dilakukan untuk merekonstruksi permukiman pasca gempa bumi di berbagai belahan dunia. Rekonstruksi oleh masyarakat biasanya perencanaan dilakukan oleh beberapa orang sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat. Masyarakat juga tidak bisa mengkontrol pendanaan dan pembangunan biasanya dilakukan oleh kontraktor dan melibatkan sebagian kecil pekerja masyarakat. 3. Rekonstruksi oleh lembaga donor, dalam model ini keterlibatan masyarakat dalam perancangan dan pembangunan sangat sedikit. Rumah didesain oleh lembaga donor atau konsultannya dan dibangun oleh kontraktor yang dipekerjakan oleh lembaga donor (Bagus, 2013).
3.
Permukiman Relokasi sangat identik dengan permukiman, kedua hal itu tidak
bisa dipisahkan karena saling berkaitan. Dalam proses relokasi berarti disitu masyarakat turut pula melakukan perpindahan permukiman. Permukiman adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional, ekonomi dan fisik tata ruang yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana secara umum dan fasilitas sosial sebagai
16
suatu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumber daya dan dana, mengelola lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan peningkatan mutu kehidupan manusia, memberi rasa aman, tentram dan nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keserasian dan keseimbangan agar berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (Blaang, 1986). Bermukim merupakan proses kegiatan di dalam permukiman. Bermukim pada hakekatnya adalah hidup bersama, dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan manusia adalah sebagai tempat tinggal yang diperlukan oleh manusia untuk memasyarakatan dirinya (Blaang, 1986:5). Kebijakan Pemerintah dalam mengatur mentgenai permukiman dan perumahan tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang “Perumahan dan Kawasan Permukiman” ditegaskan bahwa penataan perumahandan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, ketergantungan, dan kelestarian lingkungan hidup. Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk : a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
17
b. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan sehat, aman, serasidan teratur. c. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah persebaran penduduk yang rasional. d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang – bidang lain. Menurut Fema (2009) ada dua jenis permukiman pasca bencana, yaitu : 1. Interim Housing (hunian sementara) Hunian sementara merupakan hunian bagi korban bencana karena ancaman bahaya di rumah mereka terdahulu sampai kondisi pasca bencana belum stabil. Bagi sebagian besar jenis bencana, hunian sementara merupakan satu – satunya alternatif permukiman saat bencana dan pada akhirnya para korban dapat kembali ke permukiman mereka. Bagi bencana yang lebih serius dimana banyak permukiman yang rusak dan hancur, opsi hunian lain dapat ditambahkan. Secara umum periode hunian sementara sekitar 18 bulan, dan bagi bencana besar yang ada di kawasan pedesaan, waktu berada di hunian sementara akan semakin lama karena kurang tersedianya hunian sewa di pedesaan 2. Permanent Housing(Hunian Tetap) Hunian tetap merupakan hunian yang akan ditinggali korban bencana untuk jangka waktu permanen setelah mereka tinggal di hunian 18
sementara. Salah satu keberhasilan dalam membangun hunian tetap adalah dapat secepatnya memindahkan korban bencana ke hunian tetap. Hunian tetap ini dapat berupa rumah yang dahulu ditinggali oleh korban bencana namun rusak dan memerlukan perbaikan, atau dapat pula permukiman relokasi yang berada di tempat lain dari rumah korban bencana terdahulu (Bagus, 2013).
4.
Modal Sosial Modal sosial merupakan teori kontemporer yang menjelaskan
mengenai hubungan antar individu dengan kepentingan tertentu yang tercermin dari sikap suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan – tujuan bersama (Field, 2014). Setiap individu mempunyai peran dan fungsinya masing – masing dengan melakukan interaksi di dalam tatanan kehidupan sosial kelompok masyarakatnya. Terdapat tiga elemen penting yang perlu diperhatikan dalam teori modal sosial menurut Putnam yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan. Kepercayaan diperlukan tiap anggota di dalam suatu kelompok masyarakat untuk membangun kerja sama di dalam kelompok masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Semakin tinggi saling
19
percaya antara mereka yang bekerjasama, semakin kurang risiko yang ditanggung, dan semakin kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan (Robert, 2005). A.
Aspek Kepercayaan Terdapat tiga aspek yang merupakan inti dari konsep modal sosial
kepercayaan. Ketiga aspek itu antara lain hubungan, harapan dan tindakan atau interaksi sosial. Antar satu aspek dengan aspek yang lainnya memiliki keterikatan yang cukup mendalam. Apabila terdapat suatu aspek yang tidak tercapai maka kepercayaan tidak dapat terwujud. Sehingga dapat berakibat kepercayaan memberikan dampak kurang baik bagi komponen modal sosial yang lain untuk menjadi kesatuan dalam membentuk sumber daya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu hubungan dapat terselenggara disebabkan oleh kepentingan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat. Tentunya kepentingan itu muncul dari adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi. Pada umumnya manusia pasti tidak akan pernah merasa puas atas apa yang telah mereka dapatkan. Oleh karena itu kebutuhan manusia tidak akan pernah berkurang dan akan terus bertambah. Manusia merupakan makhluk sosial, mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat memenuhi
20
kebutuhannya. Kualitas hubungan sosial yang terbilang kuat sejalan lurus dengan kebutuhan yang sangat perlu untuk segera dipenuhi. Terdapat harapan di dalam suatu kepercayaan antar hubungan sosial dua orang atau lebih. Harapan lahir dalam rangka memenuhi kebutuhan yang ingin digapai oleh pihak – pihak yang bersangkutan. Harapan menunjuk pada sesuatu yang masih akan terjadi di masa yang akan datang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan malah ada harapan yang berhubungan dengan keselamatan sesudah mati (atau sesudah hidup di dunia ini) (Robert, 2005). Di suatu hubungan sosial, kedua belah pihak seharusnya saling mengetahui dan berusaha untuk mewujudkan harapan masing – masing pihak yang ingin dicapai. Agar kelak tidak ada pihak yang dirugikan karena harapannya tidak tercapai yang disebabkan oleh hal itu. Perwujudan nyata dari hubungan dan harapan adalah interaksi atau tindakan sosial. Konsep tindakan dan interaksi sosial merupakan dua konsep yang berbeda. Tindakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh individu dalam mewujudkan kepercayaan dan harapannya itu (Robert, 2005). Sedangkan interaksi sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak bersama – sama secara sadar dalam mewujudkan harapan dari masing – masing pihak terhadap pihak lain (Robert, 2005). Hubungan timbal balik tercipta di dalam interaksi sosial 21
demi keberlangsungan selanjutnya hubungan sosial antar kedua belah pihak. Perbedaan mendasar mengenai kedua konsep itu merujuk pada tindakan sosial yang bisa mewujudkan kepercayaan bersifat unilateral sedangkan interaksi sosial tidak.
B.
Bentuk Kepercayaan Menurut Uslaner (2002) terdapat dua bentuk kepercayaan (Robert,
2005). Antara lain kepercayaan strategik dan kepercayaan moralistik. Kedua bentuk kepercayaan yang dikemukakan oleh Uslaner (2002) menekankan pada sebab kepercayaan dari suatu hubungan dapat terbentuk (Robert,
2005).
Terciptanya
suatu
bentuk
dari
kepercayaan
menitikberatkan pada cara salah satu pihak yang percaya melakukan penilaian terhadap pihak lain begitupun sebaliknya. Dasar dari kepercayaan strategik menekankan pada pengetahuan. Disebut strategik karena pengetahuan, pengalaman, informasi, yang ada pada A merupakan dasar baginya untuk menilai B, dan mengambil keputusan, apakah dia percaya B atau tidak (Robert, 2005). Dapat disimpulkan bahwa suatu pihak (si pemberi kepercayaan) menjatuhkan kepercayaannya kepada pihak lain acuan utamanya pada pengetahuan yang dimiliki pihak lain. Sehingga diperlukan cara yang efektif dari si
22
pemberi kepercayaan untuk lebih mengenal pihak lain. Proses mengenal pihak lain, tentunya lebih baik juga melihat dari sudut pandang orang lain yang mengenal pihak lain itu. Untuk selanjutnya si pemberi penilaian dapat memberi penilaian kepada pihak lain dengan lebih objektif. Kepercayaan moralistik juga seperti kepercayaan strategik yaitu membutuhkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu pihak (pemberi kepercayaan) kepada pihak lain. Akan tetapi jumlah kadar pengetahuan yang dimiliki oleh pemberi kepercayaan kepada pihak lain lebih sedikit dibandingkan dengan kepercayaan strategik. Di dalam bentuk kepercayaan moralistik, si pemberi kepercayaan percaya kepada pihak lain yang sebenarnya merupakan orang asing di dalam kehidupan sosialnya. Apabila seseorang dapat mempercayai seseorang yang sebenarnya tidak begitu mempunyai banyak pengetahuan mengenai orang itu, maka tingkat kepercayaanmu paling tinggi. Tingkat kepercayaan moralistik lebih tinggi dibandingkan tingkat kepercayaan strategik.
C.
Sifat Kepercayaan Terdapat enam bentuk kepercayaan untuk melakukan pemahaman
terhadap hubungan kepercayaan yang telah terjalin. Antara lain kepercayaan antar personal, kepercayaan simbiotik unilateral, kepercayaan
23
egoistik, kepercayaan particular, kepercayaan umum, kepercayaan interpersonal. Kepercayaan
antar
personal
bersifat
altruistik.
Sehingga
menitikberatkan untuk membantu orang lain. Dalam rumusan singkatnya: A percaya B, untuk kepentingan B saja (Robert, 2005). Sehingga pihak A tidak mempunyai tendensi untuk mendapatkan keuntungan dari hubungan itu. Kepercayaan simbolik unilateral menunjuk pada kepercayaan yang diberikan kepada seseorang dengan perhitungan keuntungan bagi kedua belah pihak menurut perhitungan yang memberi kepercayaan (Robert, 2005). Pada intinya pihak A mendapatkan keuntungan dengan hubungan yang terjalin dengan pihak B tanpa sepengetahuan dari pihak B walaupun pihak B juga memperoleh keuntungan dari hubungan itu. Sedangkan kepercayaan simbolik bilateral merujuk pada sebaliknya. Kepercayaan simbolik bilateral menekankan pada hubungan yang terbentuk oleh beberapa pihak dengan keuntungan yang diperoleh masing – masing pihak melalui sepengetahuan masing – masing pihak. Kepercayaan egoistik menitikberatkan pada salah satu pihak yang hanya ingin mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan pihak lain. Dalam rumusan singkatnya : A percaya B
24
untuk melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan A semata – mata (Robert, 2005). Sehingga pihak B tidak mengetahui bahwa pihak A mendapatkan keuntungan dari hubungan itu. Dengan arti lain, seluruh keuntungan dari hubungan itu paling banyak didapatkan oleh pihak B. Kepercayaan
partikular
menunjuk
pada
kepercayaan
yang
ditujukan pada kelompok sendiri saja (Robert, 2005). Hubungan yang terjadi antara beberapa pihak dilakukan karena atas dasar mereka memiliki kesamaan keberadaan di suatu kelompok. Kepentingan kelompok sangat diutamakan dibandingkan kepentingan umum. Sehingga keuntungan yang diperoleh dalam hubungan itu dalam rangka untuk memajukan kelompok itu. Kepercayaan umum menitikberatkan pada kepercayaan suatu pihak terhadap semua orang. Dalam rumusan singkatnya: A percaya semua orang (Robert, 2005). Kepercayaan yang dilakukan suatu pihak tanpa membeda – bedakan siapapun dan hal apapun. Pihak A berpandangan bahwa semua orang itu sama dan layak untuk diberikan kepercayaan dan memberikan kepercayaan dalam menjalin hubungan terhadap pihak A. Kepercayaan interpersonal menunjuk pada kepercayaan satu sama lain yang terbentuk melalui interaksi sosial (Robert, 2005). Pihak A mempunyai hubungan dengan pihak B untuk saling mempercayai pihak A
25
dan B. Sifat kepercayaan ini memiliki kegunaan dalam hal kegiatan kerja voluntir dan amal. Sehingga nantinya diharapkan dapat mendapatkan solusi dalam rangka memecahkan masalah bersama demi kepentingan umum.
VI.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian Pendekatan dalam penelitian sosial ini menggunakan pendekatan
Kualitatif. Pendekatan kualitatif memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain (Bungin, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai tujuan agar memperoleh makna dalam hal ini yaitu modal sosial kepercayaan yang dimiliki masyarakat dusun Pelemsari untuk mewujudkan relokasi mandiri kolektif. Untuk memperoleh makna itu, peneliti mempunyai upaya dengan mencari data mengenai pengalaman di dalam kehidupan sosial yang dipunya oleh masyarakat dusun Pelemsari terkait proses relokasi mandiri kolektif. Format desain pendekatan kualitatif dalam penelitian sosial ini menggunakan format deskriptif. Penelitian sosial menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
26
berbagai kondisi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2008). Dalam penelitian ini sangat menonjolkan tentang penggambaran mengenai fenomena kondisi kehidupan sosial masyarakat dusun Pelemsari yang terbagi - bagi dalam peran dan fungsinya untuk melakukan upaya dalam proses relokasi mandiri. Studi kasus merupakan metode yang digunakan di dalam penelitian kualitatif ini. Terdapat tiga kondisi yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode dalam suatu penelitian (Yin, 2002), yaitu: a) Tipe pertanyaan yang diajukan b) Luas kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa perilaku yang akan diteliti c) Fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari peristiwa historis. Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus condong membahas isu pokok pertanyaan mengenai bagaimana atau mengapa. Dalam rumusan masalah penelitian sosial ini peneliti memilih pertanyaan bagaimana karena sesuai dengan pandangan peneliti mengenai pemikiran
27
topik yang diangkat. Metode studi kasus tidak membutuhkan kontrol terhadap peristiwa. Di dalam penelitian ini sudah terjelaskan bahwa tidak terlalu menggunakan luas kontrol atas peristiwa perilaku yang akan diteliti karena semua tujuan penelitian yang ingin diteliti telah selesai dilakukan oleh objek penelitian. Metode studi kasus mempunyai fokus untuk menggali secara mendalam informasi pada peristiwa kontemporer. Pada penelitian ini, peristiwa yang masih terbilang peristiwa terkini karena memiliki rentang waktu yang relatif agak dekat antara proses penelitian ini dengan proses relokasi mandiri masyarakat Pelemsari yang baru dimulai semenjak bulan Juli 2011.
2.
Metode Pengumpulan Data Terdapat dua jenis sumber data yang digunakan di dalam
penelitian ini yaitu sumber data primer dan sekunder. Berikut penjelasan mengenai sumber data primer dan sumber data sekunder: 1. Sumber Data Primer Sumber data primer didapatkan melalui informasi yang diberikan secara langsung oleh informan penelitian atau lingkungan penelitian. Teknik pengumpulan data wawancara dan observasi memiliki daya
28
guna untuk memberikan informasi dalam sumber data primer. Berikut tabel yang menjelaskan sumber data primer.
Tabel 1.2 Jenis Data dan Daftar Informan No 1.
Data *. Kondisi Masyarakat Pelemsari *. Struktur Sosial Masyarakat Pelemsari
2.
*. Kondisi Kerawanan Bencana
Sumber *.Masyarakat Pelemsari
Informan *. Warga Pelemsari *. Kepala Dusun Pelemsari *. Pemerintah *. Perangkat Desa Desa Umbulharjo Umbulharjo *. Masyarakat *. Warga Pelemsari Pelemsari *. Bappeda *. ASN Kab. Sleman Bappeda *. BPBD Kab. Kab. Sleman Sleman *. ASN BPBD Kab. Sleman *. Kliping Koran *. Museum Gunung Merapi Ketep *. Museum Gunung Merapi Kaliurang
Metode Instrument Wawancara Interview Guide
*. Interview Wawancara Guide
*. Studi Literatur
29
3.
*.Penerimaan Relokasi Masyarakat Pelemsari
4.
*. Tahap Relokasi Mandiri Masyarakat Pelemsari
5.
*. Peran Modal Sosial Masyarakat Pelemsari
6.
*. Keterbatasan Modal Sosial Masyarakat Pelemsari
*. Masyarakat Pelemsari *. Yayasan Loka - Loka *. Kliping Koran *. Masyarakat Pelemsari *. Yayasan Loka - Loka
*. Warga Pelemsari *. Pengurus Yayasan Loka – Loka
*. Warga Pelemsari *. Pengurus Yayasan Loka - Loka *. BPBD Kab. *. ASN Sleman BPBD Kab. Sleman *. Masyarakat *. Warga Pelemsari Pelemsari *. Yayasan *. Pengurus Loka – Loka Yayasan Loka – Loka *. Masyarakat *. Warga Pelemsari Pelemsari *. Yayasan *. Pengurus Loka – Loka Yayasan Loka – Loka
*. Interview Wawancara Guide
*. Studi Literatur *. Interview Wawancara Guide
*. Interview Wawancara Guide
*. Interview Wawancara Guide
2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder didapatkan melalui informasi berupa tulisan – tulisan media cetak maupun online dan gambaran foto serta video dokumentasi milik masyarakat Pelemsari dan dokumen milik Pemerintah. 30
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 4 teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, dan rekaman arsip. Lama pengumpulan data penelitian di lapangan yaitu lima bulan dari bulan November 2015 hingga bulan Maret 2016. Berikut penjelasan mengenai 4 teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan sumber data primer dan sekunder di dalam penelitian ini: 1. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi melalui proses tanya jawab dengan cara bertatap muka langsung antara peneliti dengan informan penelitian. Pada saat tahap penelitian telah dilaksanakan, peneliti melakukan wawancara terhadap masyarakat Pelemsari, pengurus yayasan Loka – Loka,
dan ASN
Bappeda serta BPBD Sleman, untuk menggali secara mendalam mengenai proses relokasi mandiri dan modal sosial masyarakat Pelemsari dalam mewujudkan hal itu. 2. Observasi Langsung Observasi adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi dengan cara menjumpai ke lapangan penelitian guna melakukan pengamatan objek penelitian secara langsung. Pada saat tahap penelitian peneliti melakukan observasi langsung ke dusun Pelemsari secara intensif guna mendapatkan informasi lebih jelas dan
31
terperinci mengenai tujuan penelitian ini dengan menghadiri pertemuan warga demi menjalin relasi sosial yang lebih dekat, yang terangkum dalam upacara kenduren, pemberian pakan untuk ternak sapi, kerja bakti pada saat membersihkan lingkungan rumah, pos jaga malam, dan pertemuan karang taruna. 3. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi dengan cara memanfaatkan dokumen – dokumen atau catatan – catatan yang sesuai topik penelitian. Pada saat penelitian, guna memperoleh informasi demi menunjang penelitian ini didapatkan melalui media massa cetak seperti dokumen kontijensi milik BPBD Sleman, beberapa media massa onlinedan cetak seperti Kompas, Bernas, Republika, dan Kedaulatan Rakyat serta arsip museum gunung Merapi dan undang – undang berkaitan penanggulangan bencana. 4. Rekaman arsip adalah teknik pengumpulan data untuk menunjang penyimpanan rekaman wawancara. Pada saat penelitian, peneliti melakukan pengarsipan terhadap setiap kali wawancara yang dilakukan terhadap informan untuk memudahkan peneliti dalam pengolahan data penelitian.
32
3.
Pemilihan Informan Pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian ini
berfokus menggunakan key person atau informan kunci. Informan kunci dalam rangka menggali informasi secara mendalam penelitian ini antara lain yaitu panitia relokasi mandiri masyarakat Pelemsari dan warga Pelemsari. Pada awal mulanya peneliti melakukan wawancara terhadap ketua relokasi mandiri yaitu Pak Badiman. Dari informasi beliau, peneliti mendapatkan informasi mengenai tokoh – tokoh lain yang cukup berperan pada saat keberlangsungan relokasi mandiri. Untuk mendapatkan keabsahan data yang akuntabel, peneliti juga melakukan wawancara terhadap warga Pelemsari yang tidak ikut terlibat secara penuh pada saat proses kegiatan relokasi mandiri. Selain itu, pengurus yayasan Loka – Loka yang turut terlibat pada saat pendampingan kala kegiatan itu berlangsung dan ASN BPBD Sleman di bidang Rekonstruksi juga turut dimintai informasinya demi menunjang data yang reliabel.
4.
Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah peran dan
keterbatasan modal sosial masyarakat Pelemsari dalam menyelenggarakan relokasi mandiri kolektif. Kepercayaan sebagai modal sosial yang dimiliki
33
masyarakat dusun Pelemsari diyakini oleh peneliti mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi. Konsep mengenai kepercayaan terbagi dalam 3 fokus utama yang dikaji dalam penelitian ini antara lain hubungan, harapan, dan tindakan atau interaksi sosial yang dimiliki masyarakat Pelemsari.
5.
Teknik Analisa Data Penelitian ini menggunakan analisa data penelitian kualitatif studi
kasus umum dengan berdasarkan pada proposisi teoritis. Tujuan dari desain asal dari studi kasus diperkirakan berdasar atas proposisi semacam itu, yang selanjutnya mencerminkan serangkaian pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, dan pemahaman – pemahaman baru (Yin, 2002). Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini mengungkapkan mengenai hubungan sebab akibat. Sehingga proposisi- proposisi dalam teori menjadi orientasi memberikan pedoman dalam pembuatan analisis studi kasus. Dalam penelitian ini, teori mengenai kepercayaan dalam modal sosial membimbing peneliti untuk dapat melakukan penggalian informai secara mendalam mengenai fokus penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisa data penelitian kualitatif studi kasus khusus dengan pembuatan eksplanasi. Tujuan dari analisa data ini
34
untuk membuat penjelasan mengenai proses fenomena sosial. Penelitian ini membahas fenomena sosial mengenai peran dan keterbatasan masyarakat Pelemsari terkait proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi mandiri. Analisa data studi kasus khusus pembuatan eksplanasi merupakan penyederhanaan dari analisia data studi kasus umum berdasarkan pada proposisi teoritis. Menilik dari kesamaan pencerminan beberapa proposisi secara teoritis yang digunakan dalam melakukan kajian dalam suatu fenomena sosial. Eksplanasi akhir tersebut merupakan hasil dari serangkaian perulangan sebagai berikut: 1. membuat suatu pernyataan teoritis awal atau proposisi awal tentang kebijakan atau perilaku sosial; 2. membandingkan temuan – temuan kasus awal dengan pernyataan atau proposisi tadi; 3. memperbaiki pernyataan atau proposisi; 4. Membandingkan rincian – rincian kasus lainnya dalam rangka perbaikan tersebut: 5. Memperbaiki lagi pernyataan atau proposisi; 6. Membandingkan perbaikan tersebut dengan fakta – fakta dari kasus kedua, ketiga, atau lebih; dan
35
7. Mengulangi proses ini sebanyak mungkin sebagaimana diperlukan (Yin, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan teori tentang kepercayaan dalam modal sosial menurut Putnam. Teori tentang modal sosial menurut Putnam akan membimbing peneliti dalam melakukan analisa data kualitatif studi kasus.
6.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah hunian tetap
Karangkendal yaitu huntap yang diperuntukkan bagi masyarakat Pelemsari bertempat tinggal secara permanen pasca bencana. Huntap Karangkendal secara administratif wilayah terletak di Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Huntap Karangkendal termasuk dalam kawasan rawan bencana II dari erupsi gunung Merapi. Secara geografis, jarak vertikal antara puncak gunung Merapi dengan dusun balong sejumlah 9 kilometer.
36