BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pasar keuangan dunia kembali mengalami resesi. Resesi ekonomi dunia yang terjadi disebabkan oleh krisis surat utang subprime mortgage di Amerika Serikat (AS). Indeks bursa saham di berbagai belahan dunia mengalami penurunan signifikan yang disebabkan oleh krisis subprime mortgage sehingga
membawa AS ke arah resesi, serta membuat
kepanikan yang luar biasa pada pasar global (Sharpe, 2000). Ada dua pengaruh langsung krisis finansial global terhadap perekonomian di negara Indonesia. Pertama pengaruh terhadap keadaan indeks bursa saham Indonesia. mendominasi
dengan
porsi
66%
Kepemilikan asing kepemilikan
yang
saham
di
masih BEI,
mengakibatkan bursa saham rentan terhadap keadaan finansial global karena kemampuan finansial para pemilik modal tersebut. Kedua, dibidang ekspor impor, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor nomor dua setelah Jepang dengan porsi 20%-30% dari total ekspor. Kinerja ekonomi Amerika Serikat yang menurun secara langsung akan mempengaruhi ekspor impor negara Indonesia juga. Pengaruh lain krisis finansial global terhadap ekonomi makro adalah dari sisi tingkat suku bunga. Dengan naik turunnya kurs dollar, suku bunga akan naik karena Bank Indonesia akan menahan rupiah sehingga akibatnya inflasi akan meningkat. Kedua, gabungan antara
1
pengaruh kurs dollar tinggi dan suku bunga yang tinggi akan berdampak pada sektor keuangan. Pengaruhnya pada investasi di pasar modal, krisis global ini akan membuat orang tidak lagi memilih pasar modal sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi karena kondisi makro yang kurang mendukung. Pasar modal Indonesia merupakan sumber alternatif pembiayaan eksternal bagi dunia usaha selain pinjaman dari perbankan. Oleh karena itu IHSG bisa menjadi sebuah ukuran tingkat investasi yang berlangsung di Indonesia. Menurunnya nilai IHSG akibat krisis keuangan global berarti bahwa pasar modal Indonesia gagal memobilisasi dana dari masyarakat pemodal dan memberikan tanda bahwa terdapat resiko tertentu yang perlu dipertimbangkan pada kalangan pemodal yang menanamkan modalnya di Indonesia. Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat menghasilkan tingkat keuntungan optimal bagi investor. Investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menempatkan dana pada satu atau lebih dari satu aset selama periode tertentu dengan harapan dapat memperoleh penghasilan dan atau peningkatan nilai investasi (Suad Husnan, 2003). Investasi didefinisikan sebagai penundaan konsumsi pada saat ini dengan tujuan mendapatkan tingkat pengembalian (return) yang akan diterima di masa yang akan datang (Sharpe, 2000). Investasi pada saham dianggap mempunyai tingkat resiko yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif investasi lain, seperti obligasi, deposito, dan tabungan.
2
Sedangkan Taani dan Banykhaled (2011) menyatakan bahwa saham perusahaan yang go public sebagai komoditi investasi yang tergolong beresiko tinggi, karena sifat komoditinya sangat peka terhadap perubahanperubahan yang terjadi, baik perubahan di luar negeri maupun di dalam negeri. Perubahan-perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif. Para investor yang akan melakukan investasi dengan membeli saham di pasar modal akan menganalisis kondisi perusahaan terlebih dahulu, agar investasi yang dilakukannya dapat memberikan return (keuntungan). Memperoleh return (keuntungan) merupakan tujuan utama dari aktivitas perdagangan para investor di pasar modal. Para investor menggunakan berbagai cara untuk memperoleh return yang diharapkan, baik melalui analisis sendiri terhadap perilaku perdagangan saham, maupun dengan memanfaatkan sarana yang diberikan oleh para analis pasar modal, seperti broker, dealer, manajer investasi (Tahmoorespour dan Ardekani, 2012). Investor menanamkan dananya di pasar modal tidak hanya bertujuan untuk investasi jangka pendek tetapi juga bertujuan untuk memperoleh pendapatan untuk jangka panjang. Pendapatan total yang diinginkan oleh pemegang saham adalah dividen dan capital gain (Zanjirdar dan Sadri, 2011). Dalam mengambil keputusan untuk melakukan suatu investasi perlu diperhatikan dua hal yaitu return dan resiko investasi. Pada sekuritas-sekuritas yang memiliki return yang sama,
3
para investor berusaha untuk mencari resiko terendah. Sedangkan untuk sekuritas-sekuritas yang memiliki risiko yang sama, investor cenderung memilih return yang tinggi. Besarnya nilai return tergantung dari kemampuan investor untuk menanggung risiko. Semakin besar risiko yang diambil maka semakin besar pula harapan return yang akan diterima. Ang (1997) menyebutkan ada dua faktor yang mempengaruhi return suatu investasi, pertama faktor internal perusahaan, diantaranya kualitas dan reputasi manajemen, struktur permodalan, struktur hutang, dan lain sebagainya. Yang kedua adalah faktor eksternal perusahaan, misalnya pengaruh kebijakan moneter dan fiskal, perkembangan sektor industri, dan faktor ekonomi makro (suku bunga, kurs, inflasi, dan lain sebagainya). Kinerja keuangan perusahaan perlu untuk diketahui oleh pihak yang berkepentingan, tujuannya untuk mengetahui kemampuan kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba, memenuhi kewajiban dan memprediksi tingkat return dari investasi. Ang (1997) juga memberikan pandangan bahwa apabila seorang investor menginginkan return yang tinggi maka ia harus bersedia menanggung resiko yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya kalau investor menghadapi resiko yang kecil maka tingkat return yang akan diperoleh juga akan lebih kecil. Sehingga dengan demikian perubahan harga saham atau return saham merupakan hal yang menarik untuk dikaji kembali, karena dengan memprediksi return saham dengan menggunakan beberapa variabel internal dan eksternal kita dapat memperkirakan tingkat keuntungan yang akan diperoleh.
4
Perusahaan manufaktur dipilih sebagai populasi dalam penelitian ini dikarenakan industri manufaktur memiliki jumlah perusahaan terbanyak dari industri lain yang ada di Bursa Efek Indonesia. Selain itu, industri manufaktur juga merupakan sektor industri yang sahamnya paling besar aktivitas perdagangannya, sehingga dengan jumlah yang besar tersebut diperkirakan perusahaan manufaktur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dinamika perdagangan saham di bursa efek. Rata-rata Perkembangan Return Saham Industri Manufaktur di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2008 – 2010 dapat dijelaskan pada Tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 : Perkembangan Return Saham Industri Manufaktur 2008 – 2010 Tahun
Return Saham
Perkembangan
(%)
(%)
2007
12
-
2008
19
58,3
2009
17
-10,5
2010
10
-41,2
Sumber: ICMD tahun 2011 Tabel 1.1 menunjukkan perubahan tingkat rata-rata return saham dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Selama tiga tahun terakhir terjadi dua kali penurunan tingkat rata-rata perkembangan return, dimana pada tahun 2007 rata-rata return sebesar 12% kemudian meningkat pada tahun 19% dengan perkembangan return 58,3%, namun pada tahun 2009 rata rata return turun menjadi 17% dengan penurunan return saham -10,5% dan pada tahun 2010 rata rata return turun lagi menjadi 10% dengan
5
penurunan return saham menjadi -41,2%.. Sementara itu Rata-rata ROA, EPS, sensitivitas kurs atas perubahan harga saham dan sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham Tahun 2008-2010 dapat dijelaskan pada Tabel 1.2 sebagai berikut: Tabel 1.2 : ROA, EPS, Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham, dan Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham Periode Tahun 2008-2010 Tahun Variabel Sensitivitas Kurs Sensitivitas Inflasi atas EPS atas Perubahan Perubahan Harga ROA (x) (Rp) Harga Saham (x) Saham (x) 2008 0.979 2,84 0,375 0,102 2009 1.302 2,54 0,398 0,165 2010 0.826 2,70 0,418 0,197 Sumber: ICMD 2012, Harian bisnis Indonesia dan Bank Indonesia Pada tabel 1.2 memperlihatkan perubahan perkembangan beberapa rasio keuangan perusahaan dan makro ekonomi yang diwakili oleh sensitivitas kurs atas perubahan harga saham dan sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Di dalam tabel terlihat adanya perbedaan arah dari beberapa variabel salah satunya adalah variabel ROA pada tahun 2009 meningkat sebesar 1,302 dari tahun 2008 sebesar 0,979. Tetapi penerimaan laba per lembar saham yang dilihat dari EPS pada tahun 2009 turun sebesar 2,54 dari tahun 2008 sebesar 2,84. Sehingga dengan menurunnya EPS maka tingkat keuntungan per lembar saham yang diterima investor juga semakin turun. Begitu juga pada beberapa variabel lain yang menunjukkan adanya ketidakkonsistenan atau gap. ROA menunjukkan trend yang meningkat periode tahun 2008-
6
2009, sedangkan return saham menunjukkan trend yang menurun, hal ini menunjukkan indikasi yang tidak searah, sementara teori yang mendukung justru menunjukkan adanya pengaruh positif antara ROA terhadap return saham, sehingga dari data tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara data yang ada dengan teori yang menimbulkan adanya fenomena gap. EPS menunjukkan trend yang searah dengan return saham pada periode Tahun 2008-2009 yaitu menurun. Sensitivitas kurs atas perubahan harga saham menunjukkan trend yang menurun periode tahun 2009-2010, hal ini menunjukkan adanya fenomena gap, dimana return saham menunjukkan trend yang menurun, secara teori kurs menunjukkan pengaruh negatif. Sementara sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham menunjukkan indikasi negatif, dimana periode tahun 2008-2010, suku bunga menunjukkan trend yang meningkat sementara return saham menunjukkan trend yang menurun. Penelitian ini dijustifikasi oleh peneliti terdahulu yaitu: Sharpe (2000), Taani dan Banykhaled (2011), Zanjirdar dan Sadri (2011), Tudor (2012), Pachori dan Totala (2012), Anderson dan Beracha (2010), Tahmoorespour dan Ardekani (2012), dan Katzur dan Spierdijk (2011), yang menemukan hasil yang berbeda dari pengaruh ROA, EPS, sensitivitas kurs atas perubahan harga saham, dan sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham terhadap return saham. Research gap dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada Tabel 1.3 berikut:
7
Variabel
ROA
EPS
Tabel 1.3 : Research Gap Peneliti
Hasil
Zanjirdar dan Sadri (2012) ROA berpengaruh negatif terhadap return saham Taani dan Banykhaled ROA berpengaruh positif terhadap (2011) return saham Tudor (2012) ROA tidak berpengaruh terhadap return saham Tudor (2012) EPS berpengaruh positif terhadap return saham Pachori dan Totala (2012) EPS tidak berpengaruh terhadap return saham Anderson dan Beracha, (2010)
Sensitivitas kurs atas perubahan harga saham berpengaruh positif Sensitivitas Kurs terhadap return saham atas Perubahan Tahmoorespour dan Sensitivitas kurs atas perubahan Harga Saham Ardekani (2012) harga saham berpengaruh negatif terhadap return saham Katzur dan Spierdijk, (2011) Sensitivitas inflasi atas perubahan Sensitivitas harga saham berpengaruh positif Inflasi atas terhadap return saham Perubahan Harga Sharpe (2000) Sensitivitas inflasi atas perubahan Saham harga saham berpengaruh negatif terhadap return saham Sumber: berbagai jurnal Penelitian terdahulu yang mengaitkan antara return saham dengan rasio-rasio keuangan dan variabel makro ekonomi diantaranya dapat dilihat dalam tabel 1.3 di atas di mana terdapat berbagai macam penelitian tentang return saham dari berbagai macam variabel baik dari internal perusahaan maupun dari eksternal perusahaan. Penelitian yang mengamati bagaimana suatu hasil investasi di pasar modal yang berwujud return saham (capital gain) ini dapat dijelaskan dari adanya pengaruh faktor fundamental dan pengaruh makro ekonomi di suatu negara. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil yang menarik untuk diteliti kembali, 8
karena penelitian-penelitian tersebut menghasilkan hasil penelitian yang berbeda-beda; variabel ROA mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham (Zanjirdar dan Sadri, 2012), sedangkan penelitian lain menjelaskan bahwa ROA mempunyai pengaruh positif terhadap return saham (Taani dan Banykhaled, 2011). EPS mempunyai pengaruh positif terhadap return saham (Tudor, 2012) sedangkan penelitian lain mengatakan bahwa EPS mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap return saham (Pachori dan Totala, 2012). Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham pada penelitian Anderson dan Beracha, (2010) mengatakan bahwa Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham berpengaruh positif terhadap return saham, sedangkan Tahmoorespour dan Ardekani (2012) menghasilkan bahwa Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham berpengaruh negatif terhadap return saham. Variabel Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham pada penelitian Katzur dan Spierdijk, (2011) bahwa Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham mempunyai pengaruh positif terhadap return saham, sedangkan penelitian Sharpe (2000) menyatakan bahwa variabel Sensitivitas inflasi atas Perubahan Harga Saham mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham. Alasan pemilihan variabel ROA, EPS, Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham, dan Sensitivitas inflasi atas Perubahan Harga Saham terhadap return saham karena ditemukannya adanya research gap dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh: Sharpe (2000); Taani dan Banykhaled, (2011); Zanjirdar dan Sadri (2011); Tudor, (2012); Pachori
9
dan Totala (2012); Anderson dan Beracha (2010); Tahmoorespour dan Ardekani (2012); dan Katzur dan Spierdijk, (2011) yang menemukan hasil yang berbeda dari pengaruh ROA, EPS, Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham, dan Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham terhadap return saham. Hasil yang berbeda juga ditunjukkan adanya fenomena data seperti dijelaskan pada Tabel 1.1 dan 1.2, dimana ROA menunjukkan trend yang meningkat periode tahun 2008-2009, sedangkan return saham menunjukkan trend yang menurun, hal ini menunjukkan indikasi yang tidak searah, sementara teori yang mendukung menunjukkan adanya pengaruh positif sehingga menunjukkan adanya perbedaan dengan teori yang menimbulkan adanya fenomena gap. EPS menunjukkan trend yang searah dengan return saham pada periode Tahun 2008-2010 yaitu menurun. Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham menunjukkan trend yang menurun periode tahun 2009-2010, hal ini menunjukkan adanya fenomena gap, dimana return saham menunjukkan trend yang menurun, secara teori Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham menunjukkan pengaruh negatif. Sementara Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham menunjukkan indikasi negatif, dimana periode Tahun 2008-2010, Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham menunjukkan trend yang meningkat sementara return saham menunjukkan trend yang menurun. ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba melalui aset yang dimilikinya, semakin tinggi ROA akan
10
meningkatkan kepercayaan pasar sehingga return akan meningkat. EPS menunjukkan laba per lembar saham, semakin tinggi EPS maka semakin tinggi return saham. Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham dan Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham merupakan variabel makro ekonomi, semakin tinggi Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham dan Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham maka return menurun, maka dengan adanya fenomena gap dan research gap, maka studi ini akan menganalisis kembali pengaruh ROA, EPS, Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham, dan Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham sebagai variabel independen terhadap return saham sebagai variabel dependen, dengan kajian empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2008-2010. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya research gap untuk beberapa variabel yang berpengaruh terhadap return saham yaitu: (1) ROA mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham (Zanjirdar dan Sadri, 2012), sedangkan penelitian lain menjelaskan bahwa ROA mempunyai pengaruh positif terhadap return saham (Taani dan Banykhaled, 2011); (2) EPS mempunyai pengaruh positif terhadap return saham (Tudor, 2012) sedangkan penelitian lain mengatakan bahwa EPS mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap return saham (Pachori dan Totala, 2012); (3) Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham pada penelitian Anderson dan Beracha, (2010) mengatakan bahwa Sensitivitas
11
Kurs atas Perubahan Harga Saham berpengaruh positif terhadap return saham, sedangkan Tahmoorespour dan Ardekani (2012) menghasilkan bahwa Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham berpengaruh negatif terhadap return saham; dan (4) Variabel Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham pada penelitian Katzur dan Spierdijk, (2011) bahwa Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham mempunyai pengaruh positif terhadap return saham, sedangkan penelitian Sharpe (2000) menyatakan bahwa variabel Sensitivitas inflasi atas Perubahan Harga Saham mempunyai pengaruh negatif terhadap return saham. Research gap yang ditemukan pada penelitian terdahulu seperti Sharpe (2000); Taani dan Banykhaled, (2011); Zanjirdar dan Sadri (2011); Tudor, (2012); Pachori dan Totala (2012); Anderson dan Beracha (2010); Tahmoorespour dan Ardekani (2012); dan Katzur dan Spierdijk, (2011) yang ada di tabel 1.3, dimana hal tersebut juga didukung adanya fenomena gap seperti dijelaskan pada Tabel 1.1 dan 1.2, dimana ROA menunjukkan trend yang meningkat periode Tahun 2008-2009, sedangkan return saham menunjukkan trend yang menurun, hal ini menunjukkan indikasi yang tidak searah, sementara teori yang mendukung menunjukkan adanya pengaruh positif sehingga menunjukkan adanya perbedaan dengan teori yang menimbulkan adanya fenomena gap. EPS menunjukkan trend yang searah dengan return saham pada periode Tahun 2008-2010 yaitu menurun. Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham menunjukkan trend yang menurun periode tahun 2009-2010, hal ini menunjukkan
12
adanya fenomena gap, dimana return saham menunjukkan trend yang menurun, secara teori Sensitivitas Kurs atas Perubahan Harga Saham menunjukkan pengaruh negatif. Sementara Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham menunjukkan indikasi negatif, dimana periode Tahun 2008-2010, Sensitivitas Inflasi atas Perubahan Harga Saham menunjukkan trend yang meningkat sementara return saham menunjukkan trend yang menurun. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana pengaruh ROA terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI? b. Bagaimana pengaruh EPS terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI? c. Bagaimana pengaruh sensitivitas kurs atas perubahan harga saham terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI? d. Bagaimana pengaruh sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI? 1.3
Tujuan Penelitian Adanya research gap dari penelitian terdahulu yang menemukan hasil berbeda dari pengaruh ROA. EPS, sensitivitas kurs atas perubahan harga saham, sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham, dan return saham, mendorong penulis melakukan pengujian parameter di atas terhadap return perusahaan industri manufaktur yang terdaftar BEI.
13
Dalam penelitian ini penulis menguji apakah parameter tersebut berpengaruh terhadap return saham perusahaan manufaktur sebagai berikut: a. Menguji
pengaruh
ROA terhadap
return
saham
perusahaan
manufaktur di BEI. b. Menguji pengaruh EPS terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI. c. Menguji pengaruh sensitivitas kurs atas perubahan harga saham terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI. d. Menguji pengaruh sensitivitas inflasi atas perubahan harga saham terhadap return saham perusahaan manufaktur di BEI. 1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai kegunaan penelitian sebagai berikut: a. Menambah wawasan dan informasi khususnya masalah pasar modal, serta dapat juga digunakan sebagai bahan kajian pustaka untuk penelitian di waktu yang akan datang. b. Sebagai bahan tambahan informasi bagi manajemen perusahaan dalam pertimbangan untuk penentuan kebijakan serta investasi yang baik untuk kinerja perusahaan. c. Memberikan
informasi
dalam
berinvestasi untuk para investor.
14
pengambilan
keputusan
saat