BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Eksistensi era globalisasi telah menjadi suatu motivator lahirnya era perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi. Fenomena tersebut telah mewabah di seluruh belahan dunia, bukan hanya di negara yang berkategorikan negara maju tapi telah merebak pula ke negara-negara yang sedang berkembang. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berlangsung hampir di semua bidang kehidupan merupakan ciri dari suatu peradaban dunia pada masa kini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku masyarakat secara global (transformasi kultural) dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas serta perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk kemajuan suatu bangsa. Perkembangan teknologi informasi ditunjukkan dengan adanya suatu invensi terhadap perangkat elektronik yang dinamakan komputer. Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmetika, dan penyimpanan. Pengertian komputer bukan hanya mengarah pada bentuk personal computer, notebook dan laptop sebagaimana lazim digunakan di perkantoran saat ini, tetapi mencakup segala peralatan yang memenuhi pengertian dan fungsi tersebut, termasuk pesawat handphone.1 Pemanfaatan teknologi komputer yang terus berevolusi telah menyebabkan proses konvergensi antara teknologi informasi, media dan komunikasi hingga pada akhirnya menghasilkan sarana baru
1
Widodo, 2006, Kebijakan Kriminal terhadap Kejahatan yang Berhubungan dengan Komputer di Indonesia, Disertasi, Pascasarjana Universitas Brawijaya, hal.235.
yang dikenal sebagai internet, sekaligus menjadi awal lahirnya peradaban di dunia maya. Jaringan internet adalah media yang paling cepat terinovasi ke segala lini dan paling adaptif dengan kebutuhan masyarakat.2 Kebutuhan akan teknologi informasi yang dapat diaplikasikan dengan jaringan internet dalam segala bidang telah menjadi sesuatu yang lumrah. Internet telah menciptakan sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata) membuat segala bidang kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari keberadaan internet. Melalui dunia internet atau yang sering disebut dengan istilah cyberspace, segala bentuk kegiatan kreativitas masyarakat dapat dilakukan secara borderless yang dapat menembus berbagai batas negara di dunia. Perkembangan teknologi informasi tidak saja mampu menciptakan dunia global, namun juga telah mengembangkan ruang gerak kehidupan baru bagi masyarakat yaitu kehidupan masyarakat maya (cyber community).3 Seiring dengan perkembangan internet yang semakin hari semakin meningkat dan menunjukkan kelajuan yang sangat pesat, tidak dipungkiri bahwa internet dapat membawa kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pemanfaatan internet yang digunakan untuk mempermudah manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti: e-banking (aktivitas perbankan melalui media internet), e-learning (aktivitas pembelajaran atau pendidikan melalui media internet), ecommerce (aktivitas transaksi perdagangan melalui media internet), e-government (aktivitas pelayanan pemerintahan melalui media internet), dan sebagainya.
2
Burhan Bungin, 2005, Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, & Perayaan Seks di Media Massa, Prenada Media, Jakarta, hal. 10-11 3
Sutan Remy Syahdeini, 2009, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, PT Pustaka Utama Grafiti, hal. 2.
Keberadaan dampak positif dari penggunaan internet yang paling mudah ditemukan adalah keberadaan situs-situs internet yang dimiliki oleh individu, badan usaha atau korporasi, hingga instansi pemerintahan sebagai media informasi publik yang disalurkan ataupun diakses melalui jaringan internet. Segala informasi publik yang bersifat urgent (mendesak), dapat diposting ataupun didapatkan kapan dan dimana saja melalui situs internet tanpa mengenal batasan waktu maupun lokasi. Selain itu, masyarakat dapat berkreativitas secara aktif dan bebas dengan memposting segala karya dalam bentuk tulisan, foto, animasi, dan sebagainya ke dalam situs internet yang mereka miliki. Tidak kalah dengan hal yang disebutkan sebelumnya, trend (gaya) jual beli online atau yang dikenal dengan istilah online shopping (jual beli dalam dunia mayantara), menyebabkan penyedia barang dan jasa (produsen) dalam negeri bahkan luar negeri berlomba-lomba memperkenalkan produk-produk yang mereka ingin tawarkan kepada konsumen melalui situs jual beli online. Di lain sisi, pemerintah sebagai penyelenggara negara dan badan-badan usaha juga tidak mau kalah dalam hal pemanfaatan teknologi masa kini. Dimulai dari pengenalan profil, kegiatan-kegiatan, hingga informasi recruitment (penerimaan) anggota instansi dilakukan melalui situs internet resmi milik masing-masing instansi tersebut. Terdapat banyak manfaat lain lagi yang dapat dirasakan dari adanya internet, namun tentu saja dampak positif selalu berdampingan dengan dampak negatif yang tidak dapat dihindari. Cyberspace sebagai wahana komunikasi yang berbasis komputer (komputer mediated communication), banyak menawarkan realitas baru dalam berinteraksi di dunia maya. Adanya interaksi antar pengguna cyberspace telah banyak terseret ke arah terjadinya penyelewengan hubungan sosial berupa kejahatan yang khas yang memiliki perbedaan dengan tindak pidana
konvensional yang selama ini telah dikenal. Terdapat pula pandangan bahwa kejahatan melalui internet (cybercrime) memiliki kesamaan bentuk dengan kejahatan yang ada di dunia nyata.4 Sifat borderless (tidak terbatas) dari penggunaan internet, dapat pula menimbulkan dampak negatif berupa tindakan melawan hukum. Seiring dengan perkembangan internet, dapat menyebabkan munculnya kejahatan melalui jaringan internet (cybercrime/kejahatan mayantara). Tindak pidana atau kejahatan mayantara adalah sisi buruk yang amat berpengaruh terhadap kehidupan modern dari masyarakat informasi akibat kemajuan teknologi informasi yang tanpa batas.5 Adanya kejahatan mayantara (selanjutnya disebut dengan cybercrime) ini telah menjadi suatu ancaman bagi stabilitas suatu negara, namun pemerintah merasa kesulitan pula untuk mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan jaringan internet. Cybercrime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang memiliki dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini. Kejahatan dunia maya (cybercrime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Cybercrime umumnya mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur utamanya, namun istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional dimana komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi.6
4
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat, Sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta, hal. 53. 5
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 128. 6
Anonim, 2011, “Kejahatan Dunia Maya”, tersedia pada situs: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_dunia_maya, diakses pada tanggal 4 November 2014 pukul 10.22 WITA.
Wabah cybercrime juga terjadi di Indonesia, bahkan kejahatan ini sudah ada sejak internet sudah masuk ke wilayah Indonesia. Rata-rata pengguna internet di Indonesia hanya menunjukkan jumlah sebesar 14,5 juta orang dari total penduduk yang mencapai jumlah rata-rata sebesar 220 juta jiwa.7 Hal demikian tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara yang bersih dari wabah cybercrime. Indonesia nampaknya tertinggal dalam hal penegakan hukum (law enforcement) di bidang cyber crime, dibandingkan dengan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang sudah melakukan banyak terobosan baru baik di bidang hukum materiil maupun hukum formilnya. Inggris dan Jerman telah membentuk institusi bersama yang ditugaskan dalam Cyber Crime Investigation (Investigasi Kejahatan Mayantara) dengan nama National Criminal Intelegence Services (NCIS) yang bermarkas di London-Inggris. Pada tahun 2001, Inggris meluncurkan proyek yang diberi nama “Trawler Project” bersamaan dengan dibentuknya National Hi-Tech Crime Unit yang dilengkapi anggaran khusus untuk para petugas dari “cyber cops” (polisi mayantara). Sementara pada tahun 1990-an Amerika telah membentuk Computer Emergency Respon Team (CERT) yang bermarkas di Pittsburg, Pensylvania, serta Federal Bureau Investigation (FBI) yang memiliki petugas Computer Crime Squad (Pasukan Kejahatan Komputer). 8 Menyadari akan ancaman dan bahaya dari cyber crime, PBB telah mengadakan kongres mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar), melalui Kongres VIII/1990 di Havana dan Kongres X/2000 di Wina. Sementara itu, pada tanggal 23 November 2001, negara-negara yang tergabung dalam
7
Reza Sulistyo, 2014, “Internet Dunia”, tersedia pada situs: http://www.hukumonline.com/Internet_dunia, diakses pada tanggal 5 Januari 2015 pukul 14.07 WITA. 8
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, op.cit, hal.148.
Dewan Eropa (Council of Europe) telah menghasilkan konvensi cybercrime (Council of Europe Cyber Crime Convention) yang ditandatangani di Budapest (Hongaria) oleh berbagai negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan. Berkaitan dengan perkembangan kejahatan mayantara, salah satu fenomena cybercrime yang sedang gencar-gencarnya mewabah di Indonesia adalah kejahatan yang menimbulkan gangguan terhadap data elektronik (data interference). Gangguan yang dimaksud adalah adanya akibat yang bersifat merugikan yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan oleh pelaku. Data elektronik yang dimaksud adalah segala data yang ada pada perangkat elektronik yang berbasis komputer, sistem komputer, maupun jaringan komputer. Di dunia cyber, data interference dapat dilakukan melalui aktivitas cracking (perbuatan meretas yang bersifat negatif). Beberapa kasus cracking yang pernah terjadi di Indonesia, seperti: a. Situs penerbit buku-buku Islam yang beralamat di http://www.Mizan.com, diserang oleh cracker yang menamakan diri sebagai
[email protected]. akibat serangan tersebut, user (pengguna) yang membuka situs Mizan tak mendapatkan tampilan yang sebagaimana dibuat oleh pemilik situs, tetapi menjumpai pesan yang disampaikan oleh cracker dalm bahasa Inggris. Kasus ini terjadi pada tanggal 11 Januari 2000. b. Situs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diserang oleh cracker, yaitu dirubahnya data pada isi buku tamu dan buku saran atau kritik. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2000. c. Situs Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bank Central Asia (BCA) dan Indosat-net diserang oleh cracker pada bulan Januari 2000. d. Situs milik Departemen Agama, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) dirusak pula oleh cracker. File-file penting dan logfile Deperindag dihapus. Kasus ini terjadi pada bulan April 2001.9 Selain aktivitas cracking (peretasan/pemutusan suatu akses secara negatif), terdapat pula perusakan dalam bentuk kegiatan merubah tampilan frontpage (halaman depan) suatu situs internet secara tidak sah yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini lazim disebut dengan defacing yang berarti kegiatan mengubah tampilan muka atau keseluruhan
9
Bimo Santoso, 2005, “Cracking”, tersedia pada situs: http://duniateknologi.blogspot.com/cracking, diakses pada tanggal 27 Januari 2015 pukul 12.30 WITA.
dari sebuah halaman situs tertentu secara tidak sah, dengan tujuan mengganggu informasi yang dimunculkan pada halaman situs yang dimaksud. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh system cracker (peretas yang dikontrol di dalam suatu sistem), atau orang yang membobol web server (penyedia jaringan) dan mengganti tampilan muka halaman situs dengan apa yang mereka mau. Biasanya, para cracker (peretas) mengubah tampilan dengan menuliskan pesan-pesan di halaman situs tersebut, oleh karena itu aksi penyerangan seperti ini sering kali dilakukan pada situs-situs yang sering dikunjungi, agar pesan yang disampaikan oleh para peretas dapat dilihat oleh orang banyak. Di Indonesia sendiri, hingga akhir tahun 2013 sudah tercatat 3.410 website (situs jaringan) sudah diretas oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab dan dari jumlah tersebut 3.108 situs sudah dirubah dan 242 situs sudah terserang special defacing (perubahan tampilan halaman depan situs secara khusus).10 Semakin berkembangnya ilmu komputer dan pemrograman, maka gerak-gerik para peretas pun semakin meluas. Para peretas mengincar situs pemerintahan maupun situs milik perusahaan yang dapat dijadikan sasarannya, bukan sematamata untuk “iseng-iseng” atau membuat website itu lumpuh, akan tetapi hingga tahap pembuktian batas kelemahan sistem keamanan dari situs tersebut. Situs-situs pemerintah Indonesia dengan domain “go.id” ternyata rentan serangan defacing (peretasan negatif) dengan mengganti halaman muka situs web yang bersangkutan. Selain itu, terdapat pemberitaan di media masa elektronik bahwa beberapa saat usai penetapan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai presiden-wapres terpilih 2014, situs KPUD Kota Denpasar mengalami defacing. Halaman muka situs berisi berisi logo KPU dan Bawaslu ditutup
10
Rika Hesti, 2014, “Ancaman Internet”, tersedia pada situs: http://www.hukumonline.com/Ancaman_Internet, diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pukul 16.00 WITA.
dengan kata makian pada KPU. Ada juga tulisan Pemilu 2014 cacat hukum.11 Kasus lain sebelumnya, seorang hacker bernama Dani Hermansyah, pada tanggal 17 April 2004 melakukan defacing dengan mengubah nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website http://www.kpu.go.id yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu.12 Namun apa yang dilakukan oleh Dani tersebut tidak dilakukan dengan motif politik, melainkan hanya sekedar menguji suatu sistem keamanan yang biasa dilakukan oleh kalangan underground (istilah bagi dunia hacker). Di Indonesia sendiri, sudah banyak terjadi kasus web defacing terhadap situs-situs resmi yang banyak dikunjungi para pengguna internet. Selain kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat kasus web defacing yang sangat meresahkan aktivitas dunia maya. Kasuskasus tersebut adalah website PT. Pos Indonesia yang dirubah menjadi situs judi pada tahun 2009, defacing terhadap halaman situs Semen Tiga Roda pada tahun 2008, defacing halaman situs Universitas Diponegoro yang terjadi pada tahun 2009, defacing terhadap situs Partai Golongan Karya pada tahun 2008, defacing terhadap situs ANTV yang merupakan salah satu perusahaan penyiaran di Indonesia, serta kasus-kasus web defacing lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Kasus-kasus di atas merupakan kejahatan di dunia maya yang dilakukan karena adanya suatu hasrat seseorang yang hanya ingin memuaskan rasa keingintahuannya yang berlebih mengenai komputer dan juga memiliki tujuan tertentu. Perlu diketahui bahwa defacing dapat dibarengi dengan tindak pidana lain, karena keberadaan motif pelaku salah satunya adalah
11
Anonim, 2004, “Situs KPU Denpasar di-Defacing”, tersedia pada situs: https://id.berita.yahoo.com/situs-kpudenpasar-di-defacing-ada-tulisan-pilpres-153836227.html, diakses tanggal 4 November 2014 pukul 10.47 WITA. 12
Fahri Teguh, 2014, “Defacing”, tersedia pada situs: http://fahri-recht.blogspot.com/defacing, diakses pada tanggal 3 Maret 2015 pukul 09.52 WITA.
pengungkapan suatu luapan kekecewaan terhadap subjek hukum yang memiliki situs internet yang menjadi target defacing dengan melihat substansi perubahan yang dilakukan. Tidak dipungkiri kemungkinan pelaku defacing melakukan tindak pidana lainnya, seperti penghinaan terhadap pemilik website maupun pihak lainnya melalui situs yang di-deface, penyebaran berita palsu melalui situs yang menjadi target defacing, penyebaran hal yang berbau pornografi, hingga tindakan yang bersifat teror terhadap keamanan suatu wilayah (cyber terrorism). Hal ini dinyatakan melalui substansi yang ditampilkan di halaman website baik berupa tulisan, gambar, video, foto, lukisan, dan lain sebagainya, yang mengandung unsur-unsur penghinaan, penipuan, pornografi, terorisme, maupun tindakan lain yang dilakukan oleh defacer dengan maksud tertentu. Keberadaan kejahatan cracking maupun defacing yang dapat memungkinkan pelakunya untuk melakukan tindak pidana lainnya secara leluasa di dunia maya sudah tentu sangat meresahkan masyarakat, pemerintah, hingga mengganggu stabilitas suatu negara. Perlu diketahui pula, bahwa di dunia cybercrime, mayoritas dilakukan suatu akses tidak sah (illegal access) terhadap sistem atau jaringan komputer sebagai langkah awal dari perbuatan yang mengarah pada bentuk-bentuk cybercrime lainnya. Jika setelah melakukan akses tidak sah, kemudian pelaku melakukan gangguan atau perubahan atau perusakan atau penghalangan akses data pada komputer pihak lain secara tidak sah, maka perbuatan itu disebut data interference. Jika data yang diubah secara melawan hukum tersebut adalah frontpage suatu website milik pihak lain maka perbuatan tersebut dikategorikan defacing. 13 Seiring dengan meningkatnya aktivitas cracking serta defacing di Indonesia, pemerintah seharusnya sudah memiliki suatu konsep kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy)
13
Widodo, 2013, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hal. 72.
yang lebih efektif, baik melalui sarana penal (hukum pidana) maupun sarana non-penal (di luar hukum pidana). Berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal, sebenarnya Indonesia memiliki beberapa ketentuan undang-undang yang sekiranya dapat diterapkan terhadap kejahatan terhadap data elektronik yang telah digunakan aparat penegak hukum sebagai dasar penjerat pelakunya, seperti : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (selanjutnya disebut UU Telekomunikasi), dan undang-undang lain yang berkaitan dengan perbarengan tindak pidana lain yang dilakukan pelaku kejahatan terhadap data elektronik. Peraturan perundang-undangan tersebut masih memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan serta dianggap belum memadai untuk mengimbangi perkembangan kejahatan terhadap data elektronik. Berbagai penafsiran maupun pandangan yang berbeda terhadap batasan mengenai kapan dan bagaimana suatu tindakan dapat dianggap sebagai cracking dan/atau defacing, membuat dilema para aparat penegak hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku. Salah satu norma kabur dalam pengaturan mengenai unsur-unsur suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap data elekronik terdapat dalam Pasal 22 UU Telekomunikasi mengatur sebagai berikut. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi : a. akses ke jaringan telekomunikasi, dan atau b. akses ke jasa telekomunikasi, dan atau c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Masalah krusial dalam perumusan norma Pasal 22 UU Telekomunikasi ialah digunakannya istilah “memanipulasi” yang tidak jelas maknanya. Tidak terdapat penjelasan otentik mengenai pengertian istilah “memanipulasi” dan apa indikator yang menunjukkan suatu perbuatan
dikatakan sebagai “memanipulasi” dalam UU Telekomunikasi, membuat peluang adanya multitafsir yang berakibat hilangnya kepastian hukum. Sifat multitafsir tersebut menyebabkan aparatur penegak hukum akan menggunakan penafsirannya sendiri dalam memahami istilah tersebut sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum. Kekaburan norma juga terjadi pada unsur-unsur kejahatan terhadap data elektronik dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang mengatur sebagai berikut. (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. UU ITE mencoba untuk mengkonkretkan perbuatan-perbuatan yang tergolong ke dalam kejahatan terhadap data elektronik ke dalam 8 perbuatan, yaitu mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan
transmisi,
merusak,
menghilangkan,
memindahkan,
dan
menyembunyikan. Istilah yang paling krusial untuk dijelaskan lebih lanjut adalah perbuatan “melakukan transmisi” karena berbeda dengan ketujuh perbuatan lainnya yang dapat dipahami secara langsung. Tidak terdapatnya penjelasan lebih lanjut mengenai perbuatan “melakukan transmisi” menyebabkan multitafsir terutama dalam hal menentukan “selesainya kejahatan” yang tergolong ke dalam perbuatan tersebut, mengingat pembuktian unsur-unsur perbuatan yang tergolong ke dalam kejahatan terhadap data elektronik jauh lebih rumit dibandingkan dengan perbuatan-perbuatan yang tergolong kejahatan konvensional. Hal tersebut dikarenakan segala perbuatan tersebut dilakukan di dalam suatu sistem elektronik (bersifat mayantara). Kekaburan norma juga terlihat dari frasa “milik orang lain atau milik publik”. Hal tersebut seharusnya mendapat penjelasan lebih lanjut agar tidak terjadi multitafsir oleh aparat penegak hukum dalam praktiknya. Diperlukan adanya suatu pembaharuan dalam hukum pidana
di Indonesia, terutama terhadap KUHP yang dapat mengakomodir kasus kejahatan terhadap data elektronik yang dewasa ini makin kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan judul ”Kebijakan Hukum Pidana Indonesia Dalam Pengaturan Kejahatan Terhadap Data Elektronik”. 1.2.
Rumusan Masalah Berkaitan dengan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan kejahatan terhadap data elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini? 2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam hal pengaturan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari permasalahan yang di
bahas maka perlulah adanya pembatasan dalam ruang lingkup masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut : -
Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan kejahatan terhadap data elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
-
Kedua akan membahas tentang bagaimanakah kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam hal pengaturan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia.
1.4.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terkait dengan pengaturan kejahatan terhadap data elektronik adalah sebagai berikut: 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan lebih memahami mengenai kebijakan hukum pidana dalam pengaturan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia. 1.4.2. Tujuan Khusus 1.
Untuk dapat mengetahui bagaimanakah pengaturan kejahatan terhadap data elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2.
Untuk dapat mengetahui kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang yakni melalui pembaruan hukum pidana dalam hal pengaturan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap data elektronik baik melalui sarana penal maupun non-penal, termasuk pula didalamnya pengkajian terhadap beberapa peraturan hukum pidana yang berlaku saat ini serta pembaruan KUHP di masa mendatang, sebagai upaya dalam penanggulangan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia.
1.5.2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para lembaga penegak hukum seperti: kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terpadu di Indonesia dalam proses penanggulangan kejahatan terhadap data elektronik mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembentuk undang-undang terkait dengan upaya penanggulangan kejahatan terhadap data elektronik, dimana pembaruan hukum pidana yang dilakukan hendaknya dapat mengakomodir penanggulangan dan pengaturan kejahatan terhadap data elektronik sehingga tidak ada lagi kekaburan, kekosongan norma, maupun norma konflik nantinya. 1.6.
Landasan Teoritis
1.6.1. Teori kebijakan kriminal (criminal policy) Pada dasarnya internet merupakan media yang bersifat lintas batas wilayah negara (borderless). Apabila suatu tindak pidana terjadi di dunia maya, tentunya akan sulit untuk menentukan yurisdiksi negara mana yang berlaku, karena hal tersebut akan melibatkan kepentingan negara lain. Harus diperlukan suatu bentuk criminal policy (politik kriminal) yang efektif dalam upaya penanggulangan cybercrime tersebut. Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya
merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.14 Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upayaupaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).15 Marc Ancel merumuskan criminal policy sebagai “rational organization of the control of crime by society” (organisasi rasional kontrol kejahatan oleh masayarakat).16 Sementara itu, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime” (politik kriminal adalah organisasi rasional reaksi sosial untuk kejahatan). Berbagai definisi lainnya dikemukakan G. Peter Hoefnagels yang dikutip dalam buku Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana milik Barda Nawawi, yaitu: a. Criminal policy is the science of responses (politik kriminal adalah ilmu respon); b. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan); c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime (politik kriminal adalah sebuah politik dalam menetapkan perilaku manusia sebagai kejahatan); d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime (politik kriminal adalah total rasional menanggapi kejahatan).17 Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu sebagai berikut:
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), hal. 1. 15
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), hal. 77. 16
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), hal. 1. 17
Ibid., hal. 2.
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana; b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.18 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti: a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non penal”.19 Kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan. 1.6.2. Teori kebijakan hukum pidana (penal policy) Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan
18
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 113-114.
19
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 3-4.
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).20 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.21 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.22 Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan: a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.23 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilainilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.24 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah: a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
20
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 24.
21
Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal. 153.
22
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 23.
23
Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
24
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 25.
1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). 2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). 3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum. b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP Lama atau WvS).25 1.6.3. Teori Kepastian Hukum Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak, meskipun dalam manifestasinya dapat berwujud kongkrit. Hal tersebut menyebabkan keberagaman pendapat terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Persepsi orang mengenai hukum sangat beraneka ragam, tergantung dari sudut mana mereka memandangnya. Kalangan Hakim akan memandang hukum itu dari sudut pandang mereka sebagai Hakim, kalangan ilmuan hukum akan memandang hukum dari sudut profesi keilmuan mereka, dan rakyat kecil akan memandang hukum dari sudut pandang mereka dan sebagainya. Menurut Gustav Radbruch, teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya
25
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 26.
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.26 Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak member sanksi kepada seseorang yang memiliki sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut, atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma yang lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.27 1.6.4. Teori Perlindungan Hukum Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.28 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.29 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
26
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 158.
27
Anonim, 2004, “Teori Kepastian Hukum”, tersedia pada situs: http://www.law-edu.co.id/2004/teorikepastian-hukum-III, diakses pada tanggal 22 Februari 2015 pukul 15.08 WITA. 28
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 53.
29
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 69.
anggota-anggota masayarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masayarakat. Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masayarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.30 Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.31 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.32 Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan antipatif.33 Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
30
Satjipto Rahardjo, op.cit, hal. 54.
31
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hal. 2.
32
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang, hal. 18. 33
118.
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal.
Hakekatnya setiap orang berhak mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena terdapat banyak macam perlindungan hukum. Selama ini pengaturan perlindungan hukum belum menampakkan pola yang jelas. Dalam hukum pidana positif di Indonesia, perlindungan hukum lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Hal tersebut artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.34 Perlindungan secara tidak langsung dalam hukum positif tersebut belum mampu memberi perlindungan secara maksimal, karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan. 1.6.5. Teori Tindak Pidana Terdapat dua teori yang dalam menentukan unsure-unsur tindak pidana yakni : a. Teori Monistis Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.35 b. Teori dualistis Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana. Teori dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana. Teori ini berpangkal tolak dari pandangan bahwa unsur pembentuk tindak pidana hanyalah perbuatan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dikenakan sanksi pidana. Dengan demikian, dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang 34
35
Ibid., hal. 120.
Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta., hal. 63.
meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.36 Kesalahan karenanya bukan hanya dipandang sebagai masalah psikologis pembuat. Akibatnya kesengajaan dan kealpaan kemudian hanya dipandang sebagai pertanda (indikator) adanya kesalahan, dan bukan kesalahan itu sendiri.37 1.6.6. Teori Kriminalisasi Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).38 Kriminalisasi dalam hukum pidana selalu menunjuk pada upaya menjadikan perbuatan yang bukan melanggar hukum, kemudian diubah oleh legislator menjadi perbuatan yang melanggar hukum dengan cara mengatur perbuatan tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Perlu diperhatikan 4 hal berikut dalam melakukan kriminalisasi : 1. Penggunaan hukum pidana perlu memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila. Penggunaan hukum pidana ditujukan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peng-ugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan utuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana seyogyanya merupakan perbuatan yang mendatangkan kerugian material dan/atau spiritual) pada warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana perlu memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost and benefir principle). 4. Penggunaan hukum pidana perlu pula memperhatikan kepastian atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum pidana, jangan sampai ada kelebihan beban tugas (overbelasting).39 36
Ibid., hal. 15.
37
Ibid., hal. 85.
38
Barda Nawawi Arief, 2003, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 240.
39
Widodo, op.cit., hal. 58.
Persyaratan kriminalisasi juga dituangkan dalam Hasil Simposium Nasional Pembaruan Hukum Pidana di Semarang tahun 1980, bahwa kriminalisasi perlu memperhatikan 4 kriteria umum sebagai berikut. 1. Apakah perbuatan tersebut tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat, karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. 2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku penegakan hukum dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3. Apakah kriminalisasi akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki. 4. Apakah perbuatan-perbuatan yang diterminalkan itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Selain beberapa hal di atas, untuk kriminalisasi perlu juga memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.40 Kriminalisasi sebaiknya tidak dilakukan hanya semata-semata dalam suatu sikap moral yang ditentukan untuk memaksakan suatu jenis perilaku tertentu terhadap masayarakat, alasan utama pembuatan suatu perbuatan jahat sebaiknya tidak untuk menetapkan suatu kerangka untuk membantu minat pelanggar yang potensial, kriminalisasi seyogyanya tidak mengakibatkan penegak hukum kelebihan beban dalam penegakan hukum, dan kriminalisasi perlu dilakukan jika merupakan sebagai satu-satunya solusi terakhir untuk menyelesaikan permasalahan.41 1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-
40
Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Tahun 1980, Universitas Diponegoro Semarang,
hal. 4. 41
Widodo, op.cit., hal. 59.
permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.42 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang kabur atau tidak jelas (vague van normen) yang ada dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait permasalahan yang hendak diteliti. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait. Penulis menggunakan teknik interpretasi gramatikal, sistematis, dan futuristis dalam menafsirkan permasalahan norma yang terkait dalam pengaturan kejahatan terhadap data elektronik. Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya.43 Interpretasi sistematis berarti menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undangundang lain, sedangkan interpretasi futuristis merupakan interpretasi dengan menggunakan penjelasan ketentuan Undang-Undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.44 1.7.2. Jenis Pendekatan
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal.13. 43
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 14.
44
Ibid., hal. 19.
Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum/kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kejahatan terhadap data elektronik. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan yang jelas tentang penanggulangan kejahatan terhadap data elektronik di Indonesia. 1.7.3. Sifat Penelitian Adapun sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penulisan skripsi dengan sifat penelitian deskriptif, keberadaan hiposkripsi tidak mutlak diperlukan karena teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah cukup memadai. 1.7.4. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari : 1. Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi; 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 4. RUU KUHP Nasional (Rancangan Tahun 2014). 2. Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas yaitu mengenai kejahatan terhadap data elektronik, baik literatur-literatur hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer) ), pendapat para sarjana, jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang diperoleh via internet. 3. Sumber bahan hukum tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah komputer dan internet dan kamus hukum. 1.7.5. Teknik pengumpulan bahan hukum Mengenai teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkait dengan kejahatan terhadap data elektronik. 1.7.6. Teknik analisis bahan hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan. Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi. Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya. Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum, yang berkaitan dengan obyeknya.