1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di seluruh
dunia berdasarkan catatan The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010. 3 Menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 207.176.162 penduduk Indonesia memeluk Agama Islam. Provinsi yang terbanyak penduduk muslimnya adalah Jawa Barat dengan 41.763.592 jiwa. Sementara itu jika dihitung persentasenya jumlah 207.176.162 tersebut setara dengan 87,18% dari total penduduk Indonesia. Jumlah yang besar ini mengimplikasikan bahwa mayoritas populasi penduduk di Indonesia memeluk agama Islam.4 Sebagai pemeluk agama Islam, terdapat kewajiban bagi umat muslim untuk melaksanakan Ibadah Haji. Haji adalah salah satu rukun islam yang ke-lima yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang mampu menunaikannya, yakni memiliki kesanggupan biaya serta sehat jasmani dan rohani untuk menunaikan perintah tersebut.5 Tempat tujuan dilaksanakannya ibadah haji adalah di sekitar Kerajaan Arab Saudi, khususnya tempat-tempat perhajian seperti Arafah,
3
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/05/27/noywh5-inilah-10negara-dengan-populasi-muslim-terbesar-di-dunia diakses pada 21-01-2016 pukul 10:40 WIB 4 http://www.dokumenpemudatqn.com/2013/07/persentase-jumlah-umat-islamberbagai.html#ixzz3xqYcTelM diakses pada 20-01-2016 pukul 08:21 WIB 5 Nogarsyah Moede Gayo, 2003, Haji dan Umrah, Pustaka Ainun,Jakarta Barat, hlm. 5.
2
Mina, Muzdalifah, Makkah dan tempat-tempat ziarah di Madinah. Landasan hukum dalam melaksanakan haji seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan”.6 Dengan memperhatikan ayat tersebut, maka pelaksanaan haji dalam bulan yang telah ditentukan waktunya akan terus berlangsung. Sistem penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami dinamika yang naik turun seiring berjalannya waktu, dimana dinamika tersebut lebih banyak disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepentingan Jamaah Haji dilindungi dengan adanya undang-undang yang berlaku. Namun demikian, meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur, menurut Sudikno Mertokusumo, materi muatan dalam undang-undang terkadang tidak lengkap atau tidak jelas.7 Selain peraturan perundang-undangan yang berlaku, perubahan sistem pelaksanaan haji di Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, yang kemudian menyebabkan perubahaan peraturan perundang-undangan di Indonesia guna penyesuaian dan penyempurnaan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama islam, dari tahun ke tahun antusias masyarakat (khususnya Kota Cilegon) untuk menunaikan ibadah haji semakin besar. Sehingga pemerintah Arab Saudi
Al-Qur’an, 22 (Al-Hajj) : 27-28 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 132. 6 7
3
memberikan kuota ibadah haji paling besar terhadap Indonesia dari seluruh negara yang mengirimkan jamaahnya.8 Tahun 2015 Indonesia mengirim jamaah haji sebanyak 168.800 (Seratus Enam Puluh Delapan Ribu Delapan Ratus) orang dengan rincian 155.200 (Seratus Lima Puluh Lima Ribu Dua Ratus) merupakan jamaah haji reguler, dan 13.600 (Tiga Belas Ribu Enam Ratus) jamaah haji khusus. Hal ini sesuai dengan pemberitahuan Direktur Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Djamil dalam rilis yang diterima Tempo, Selasa, 1 Desember 2015.9 Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menyebutkan bahwa Penyelenggara Ibadah Haji di Indonesia adalah Pemerintah dan Swasta/masyarakat. Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut harkat dan martabat, serta nama baik bangsa, dimana kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah. Peran Masyarakat (swasta) yang turut serta dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penyelenggaraan haji. Dengan demikian, berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 kedudukan pemerintah adalah sebagai pemberi layanan jasa, dan jamaah haji adalah sebagai konsumen layanan jasa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji yang intinya bahwa
8
https://m.tempo.co/read/news/2012/11/15/173441866/jamaah-haji-indonesia-terbanyak-di-dunia diakses pada 16-01-2016 pukul 14:30 WIB 9 http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/02/173723984/pemerintah-tentukan-kuota-hajiindonesia-januari-2016 diakses pada 19-01-2016 pukul 12:22 WIB
4
Pemerintah adalah organ yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji dibawah koordinasi Menteri.10 Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Agama pada umumnya melayani pemberangkatan jamaah haji diseluruh Indonesia yang disebut Haji Reguler, sedangkan pihak swasta/masyarakat yaitu Biro Perjalanan Haji dan umrah, melayani pemberangkatan jamaah haji khusus yang harus berbentuk Perseroan Terbatas atau Yayasan dibawah koordinasi Kementerian Agama. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dinyatakan bahwa Pelaksanaan Kegiatan Haji dan Umrah harus memperhatikan standar pelaksanaannya, yaitu Pembinaan (meliputi pembimbingan penyuluhan dan penerangan), Pelayanan (meliputi pelayanan administrasi, trasnportasi, kesehatan dan akomodasi), dan Perlindungan (keselamatan dan keamanan, kesempatan untuk melaksanakan/menunaikan ibadah haji, serta penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang terjangkau oleh jamaah haji).11 Besar biaya yang dikeluarkan mengakibatkan calon jamaah haji menuntut pelayanan yang setimpal dari Pemerintah. Sehingga pemerintah yakni Kementerian Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan haji dituntut untuk dapat memberikanpelayanan kepada calon jamaah haji sesuai dengan hak-hak mereka dengan tidak menyimpang dari aturan-aturan yang ada.
10
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 M. Hudi Asrori, 2006, Perlindungan Hukum Jamaah Haji: Studi Sosio Legal Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Mimbar Hukum Volume 18, Nomor 3, hlm. 293 – 439. 11
5
Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Kemudian disebutkan dalam Pasal 28E ayat (1) bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. 12 Artinya Pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, dalam hal pelaksanaan ibadah haji. Namun demikian, meskipun sudah ada peraturan yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi umat beragama khususnya bagi umat Muslim, kedudukan hukum jamaah haji masihbelum jelas, yakni dalam hal pendaftaran jamaah haji. Calon jamaah haji menyerahkan surat pendaftaran pergi haji yang berisikan data pribadi jamaah haji, surat kesehatan dari dinas kesehatan dan bukti pembayaran BPPH dari bank penerima setoran BPIH, cukup bagi calon jamaah haji untuk terdaftar sebagai calon jamaah haji. Namun permasalahan disini adalah dimana pendaftaran yang dilakukan tidak disertai dengan suatu perjanjian yang menunjukan hak dan kewajiban para pihak. Ketentuan tersebut berlaku untuk jamaah haji Indonesia khususnya di Kota Cilegon. Dalam menyelenggarakan kegiatannya, Pemerintah di bantu oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Keberadaan KBIH di Kota Cilegon Banten membantu pemerintah dalam menyelenggarakan bimbingan ibadah haji atau disebut dengan Manasik. Bagi jamaah yang baru pertama kali berangkat, keberadaan KBIH sangatlah membantu. KBIH utamanya memberi bimbingan terbaik terhadap calon jamaah haji untuk di Indonesia maupun di Tanah Suci.
12
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945
6
Adanya KBIH memberikan bimbingan pada saat di Indonesia diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan untuk dipraktekan di Tanah Suci. Hal tersebut penting karena di Tanah Suci mereka akan bertemu dengan jamaah lain yang berasal dari berbagai negara di dunia yang berkumpul di satu tempat. Sehingga jika terpaksa terpisah dari kelompoknya, jamaah tidak kebingungan dan bisa mengerjakan
ibadahnya
penyelenggaraan
secara
bimbingan
mandiri.
manasik
Namun
melalui
dalam
KBIH
pelaksanaannya
sering
mengalami
permasalahan, dimana hak-hak jamaah dalam kelompok bimbingan tersebut tidak dipenuhi dan tidak ada jaminan bagi jamaah agar dapat melaksanakan haji sesuai rencana jadwal yang diberikan dan kurangnya informasi mengenai haji yang didapat. Untuk mendaftar pada suatu KBIH tertentu, jamaah dituntut untuk membayar uang tertentu yang jumlahnya di tentukan dalam Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah nomor : D/799/2013 yang jumlahnya tidak boleh lebih dari Rp 3.500.000.13 Beberapa permasalahan yang terjadi di Kota Cilegon pada Tahun 2013, adanya pembatalan keberangkatan calon jamaah haji sebanyak 128 jamaah haji reguler yang dikarenakan adanya pemotongan kuota haji sebanyak 20% yang ditentukan oleh Pemerintahan Arab Saudi.14 Kemudian permasalahan pada tahun berikutnya yaitu jamaah haji sebagai konsumen tidak mendapatkan perlindungan
13
http://www.republika.co.id/berita/koran/jurnal-haji-koran/14/10/22/ndtxw951-kemenag-tindaktegas-kbih-nakal diakses pada tanggal 16-01-2016 pukul 12:01 WIB 14 http://www.jpnn.com/read/2015/08/19/321330/index.php?mib=beritaindeks&ky=326219&page= 47 di akses pada 10-02-2016 pukul 11:58
7
hukum, informasi, pelayanan dan pembinaan baik pada saat masih di tanah air maupun di Arab Saudi secara maksimal.15 Permasalahan seperti ini terjadi karena kurangnya pengawasan pemerintah dalam hal pendaftaran biro perjalanan haji dan kurangnya pengetahuan masyarakat akan info haji. Permasalahan pokok dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia adalah apakah sistem penyelenggaraan haji dapat melindungi kepentingan jamaah haji. Jamaah haji tidak memliki kesempatan untuk mengetahui kedudukan hukum dan perlindungan hukum yang semestinya diperoleh. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 belum bisa menjamin dan memberikan perlindungan bagi calon jamaah haji, berkaitan dengan masalah tersebut diatas, calon jamaah haji atau juga disebut sebagai konsumen bisa meminta pertanggung jawabannya sesuai dengan hak-hak konsumen (jamaah haji) sesuai Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disebut juga dengan UU Perlindungan Konsumen).16 Dimana jamaah haji harus mendapatkan hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan, hak atas informasi yang benar dan lain-lain atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sesuai dengan Pasal 47 dan 48 Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.17 Penyelenggaraan haji memang memiliki kompleksitas yang sangat banyak. Beberapa permasalahan tersebut diatas merupakan contoh masih kurangnya
15
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Fuadi Mahfud, mantan jamaah haji tahun 2014 yang gagal berangkat haji tahun 2013 tanggal 27 Januari 2016. 16 Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. 17 Pasal 47 dan Pasal 48 UU Perlindungan Konsumen.
8
pelindungan hukum terhadap jamaah haji dan umrah, khususnya di Kota Cilegon sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana perlindungan hukum terhadap calon jamaah haji reguler dalam penyelenggaraan manasik di Kota Cilegon.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban Kelompok Bimbingan Ibadah Haji terhadap wanprestasi pelaksanaan penyelenggaraan Manasik di Kota Cilegon? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan jamaah haji terhadap wanprestasi pelaksanaan penyelenggaraan Manasik di Kota Cilegon?
C.
Tujuan Penelitian Dalam penulisan ini, adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh
penulis meliputi 2 hal yaitu: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk pertanggungjawaban Kelompok
Bimbingan
Ibadah
Haji
terhadap
wanprestasi
pelaksanaan penyelenggaraan Manasik di Kota Cilegon.
9
b. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan jamaah haji terhadap wanprestasi pelaksanaan penyelenggaraan Manasik di Kota Cilegon. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan bahan yang relevan dengan topik yang diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai salah satu persyaratan akademis yang telah ditentukan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada.
D.
Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan penelusuran yang telah di
lakukan pada berbagai referensi dan hasil penelitian kepustakaan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Calon Jamaah Haji Reguler Dalam Penyelenggaraan Manasik di Kota Cilegon.” Adapun sebelumnya terdapat penelitian yang mengangkat topik yang berkaitan dengan perlindungan hukum tentang Ibadah Haji dan Umrah dengan judul : 1. Pelaksanaan Perjanjian Jasa Perjalanan Ibadah Umrah dan Haji Khusus di PT. Fazary Wisata oleh Ary Ramadhanoe Amanza pada tahun 2015, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bentuk wanprestasi apa sajakah yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian jasa perjalanan ibadah umrah dan haji khusus di PT. Fazary Wisata?
10
b. Bagaimanakah upaya penyelesaian wanprestasi yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian jasa perjalanan ibadah umrah dan haji khusus di PT. Fazary Wisata. 2. Tinjauan Yuridis tentang Perlindungan Hukum Jamaah Haji Dalam Pelaksanaan Ibadah Haji Yang Dikelola Kementerian Agama Kabupaten Sleman oleh Rambo Ade Putra pada tahun 2015, dengan rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana implementasi perlindungan hukum jamaah haji di Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai pengelola Ibadah Haji? b. Upaya atau tindakan apa sajakah yang bisa ditempuh oleh jamaah haji apabila terjadi hal-hal yang mengikuti dirinya dalam pelaksanaan Ibadah Haji? Perbedaan antara penulisan hukum yang dilakukan penulis dengan penelitian sebelumnya adalah subjek dan objek penelitian. Hal yang membedakan penulisan hukum ini yaitu permasalahan yang akan dibahas mengenai perlindungan jamaah haji regular dalam pelaksanaan Ibadah Haji dan Umrah, serta lokasi penelitian yang penulis teliti berlokasi di Kota Cilegon. Berdasarkan hal tersebut, penulis beranggapan bahwa penulisan ini layak untuk diteliti dan memenuhi kaedah keaslian. Namun, apabila masih terdapat penelitian yang serupa diluar sepengetahuan penulis, diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.
11
E.
Manfaat Penelitian Dari hasil penulisan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang jelas
antara lain: 1. Manfaat secara teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perdata. b. Bentuk penerapan teori yang dipelajari dalam Hukum Perdata yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum terhadap Calon Jamaah Haji Reguler Dalam Penyelenggaraan Manasik Haji serta upaya penyelesaian yang dapat dilakukan dalam hal terjadi wanprestasi. 2. Manfaat secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk perbaikan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terkait dengan perlindungan hukum terhadap calon jamaah haji regular.