BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : asma, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), kanker, Diabetes Mellitus (DM), hipertiroid, hipertensi, jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronis, batu ginjal, penyakit sendi/rematik. Berdasarkan hasil Riskedas pada tahun 2013, prevalensi DM berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1% (Indonesia), lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%). Selanjutnya, untuk prevalensi stroke berdasarkan wawancara menunjukkan kenaikan dari 8,3 per mil tahun 2007 menjadi 12,1 per mil pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular dan naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030 (Kemenkes, 2012).
1
Berdasarkan Kemenkes RI (2011), memasuki awal millennium di tahun 2000, PTM berkontribusi pada 60% dari total kematian dan 47% dari beban penyakit. Angka tersebut diestimasikan akan terus meningkat, sehingga mencapai masing-masing 73% dan 60% pada tahun 2020, jika tidak dilakukan tindakan nyata untuk mereduksi masalah ini. Kondisi berbahaya ini meningkat akibat perubahan demografi, globalisasi dan kecenderungan gaya hidup, termasuk perilaku tidak sehat yang terkait dengan pola konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Selanjutnya untuk kasus rawat inap, proporsi penyakit terhadap total pasien keluar hidup dan mati (rawat inap) dari tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap yang terbanyak adalah penyakit tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan yang terakhir adalah penyakit maternal dan perinatal. Sedangkan untuk kasus rawat inap yang mati, proporsi kasus rawat inap yang mati terhadap total pasien keluar mati dari tahun 2009-2010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap yang mati terbanyak adalah penyakit tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan penyakit maternal dan perinatal (Kemenkes, 2012). Salah satu faktor yang mendorong banyaknya kematian pada pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit adalah masalah nutrisi. Menurut Nurparida (2013) malnutrisi di rumah sakit menimbulkan dampak pada pasien yang dirawat antara lain memperpanjang hari perawatan, meningkatkan
terjadinya
komplikasi
penyakit,
meningkatkan
biaya
pengobatan dan meningkatkan mortalitas. Menurut Isselbacher (1999), terdapat hubungan positif antara derajat malnutrisi energi dan protein dan
2
kejadian infeksi paska pembedahan, gangguan penyembuahan luka operasi serta perpanjangan hari rawat inap. Penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2006, didapatkan 69% dari pasien rawat inap di rumah sakit mengalami malnutrisi sejak 10 hari setelah rawat inap. Penelitian lain yang dilakukan di Jakarta memperlihatkan kurang lebih 20%-60% pasien rawat inap di rumah sakit umum berada dalam kondisi malnutrisi pada saat masuk dan 69% cenderung mengalami penurunan status gizi selama menjalani rawat inap di rumah sakit (Barker et al.,2011 dalam Nurparida, 2013). Kasus malnutrisi ini juga sudah biasa ditemukan pada pasien degeneratif. Dalam penelitian Carr et al. (1989) didapatkan kesimpulan bahwa malnutrisi sudah umum ditemukan pada pasien dengan CHF parah dan berhubungan dengan peningkatan tekanan atrium kanan dan regurgitasi tricuspid. Penelitian yang dilakukan Rowat (2011) menyatakan bahwa dengan mengidentifikasi kekurangan gizi dan dehidrasi pada pasien yang telah mengalami stroke, perawat dapat melakukan intervensi untuk mencegah komplikasi yang signifikan berkembang dan dapat meningkatkan hasil pada pasien. Penelitian Cano et al. (2002) menyimpulkan pasien dengan diabetes memiliki insiden malnutrisi protein yang lebih tinggi dan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan non-penderita diabetes. Menurut Parrish (2004) malnutrisi terjadi pada lebih dari 40% pasien dengan gagal ginjal dan hal ini berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas.pada populasi. Penelitian yang dilakukan Maulvi (2008) menunjukkan pasien kanker serviks stadium lanjut dengan terapi
3
kemoradiasi berisiko mengalami malnutrisi disebabkan oleh kakeksia kanker dan efek samping kemoradiasi. Pasien dengan status gizi kurang terdapat beberapa faktor yang merupakan penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita
penyakit infeksi, cacat bawaan,
menderita penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor (Oktaviana, 2010). Menurut Gibney (2008) Informasi yang akurat dan rinci tentang asupan makanan dan pola makan merupakan ukuran yang menentukan bagi pengkajian status gizi pada perorangan serta masyarakat, surveillans dan riset hubungan penyakit-makanan. Selanjutnya, menurut Almatsier (2001) gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Penelitian yang dilakukan Wijaya (2012), juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan zat gizi (energi, karbohidrat, lemak, protein) dan status gizi. Dari hasil tersebut dapat terlihat bahwa asupan gizi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang, dengan demikian nutrisi juga memiliki peranan yang penting pada fase rehabilitatif/kesembuhan penyakit karena menurut McWhirter & Pennington (1994) pasien dengan status gizi baik akan berespon lebih baik dan lebih cepat pulih dari penyakit dan pembedahan dibanding pasien dengan gizi buruk. Menurut Meilany 4
(2012) nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase penyembuhan luka. Terdapat dua proses yang dapat melengkapi penyembuhan luka yaitu aktivasi respon stres pada fase akut terhadap luka serta malnutrisi energi dan protein yang terjadi. Pemberian dukungan nutrisi pada periode perioperatif tersebut dapat menurunkan komplikasi terutama infeksi berat pada pasien malnutrisi. Oleh karena itu, monitoring terhadap nutrisi baik pada pasien rawat inap maupun pasien paska rawat inap merupakan aspek yang penting, karena hal ini merupakan salah satu tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengendalikan malnutrisi dan pada akhirnya dapat menurunkan angka kematian akibat PTM atau penyakit degeneratif. Monitoring nutrisi pada pasien rawat inap mungkin sudah kerap kali dilakukan, tetapi monitoring nutrisi pada pasien paska rawat inap masih jarang dilakukan. Dalam Operating Procedures Patient Discharge Plan menyebutkan bahwa monitoring nutrisi pada pasien paska rawat inap merupakan salah satu tindakan yang penting, dimana nutritionists memegang peran dalam perencanaan kepulangan pasien (patient discharge planning). Peran nutritionists tersebut diantaranya mengajarkan pasien/keluarga/pengasuh mengenai nutrisi dan modifikasi diet seperti yang ditunjukkan, menyarankan pasien dan keluarga menggunakan sumber daya masyarakat yang tersedia (jika dibutuhkan), dan membuat rekomendasi yang diperlukan untuk menindaklanjuti gizi. Penelitian yang dilakukan oleh Feldblum et al. (2011) yang membandingkan outcome antara kelompok kontrol yang menerima satu kali kunjungan dari Registreted Dietitian (RD) dengan kelompok intervensi yang 5
menerima tiga kali kunjungan dari RD menunjukkan bahwa kelompok intervensi memiliki skor yang lebih baik pada penilaian gizi dan adanya peningkatan asupan makanan serta suplemen gizi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa home visit dapat menjadi salah satu metode monitoring nutrisi pasien paska rawat inap. Monitoring nutirisi ini dapat mencakup dua hal yaitu monitoring terhadap asupan makan dan kepatuhan diet yang dijalani setelah pulang dari rumah sakit. Pemeliharaan nutrisi adekuat dan kepatuhan terhadap diet yang ditetapkan merupakan masalah dalam perawatan kesehatan di rumah. Diet yang cukup memberi kekuatan fisik untuk menghadapi penyakit dan memberi nutrisi untuk fungsi kognitif dan imunologik. Selain itu, pada umumnya makanan melibatkan interaksi sosial, yang bisa memberi stimulasi bagi klien (Stolte, 2011). Menurut Almatsier (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan dalam keluarga diantaranya jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga
dan kebiasaan makan secara
perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan. Pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor rendahnya pengetahuan tentang pentingnya nutrisi bagi proses penyembuhan. Pendidikan yang rendah juga sering diikuti oleh rendahnya sosial ekonomi sehingga berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat. Hal ini dapat menjadi faktor penyebab yang dapat menimbulkan rendahnya status nutrisi pasien secara tepat dihitung sesuai kebutuhannya. Kadar albumin yang menurun merupakan akibat dari makanan tinggi nutrisi yang sangat rendah. 6
Beberapa hal tersebut merupakan rangkaian pada lamanya proses penyembuhan, sehingga 90% pasien mempunyai masa rawat lebih lama. Kerugian lain adalah terjadinya komplikasi penyakit, mortalitas lebih tinggi, utilisasi rumah sakit yang rendah dan kerugian non materiil lain (Soeyoga, 1998). Menurut Isseilbacher et al. (1999), faktor psikologik, sosial dan genetik juga akan mempengaruhi asupan makan. Penelitian yang dilakukan oleh Kamaluddin (2009) menyatakan adanya hubungan antara pendidikan, keterlibatan perawat, keluarga pasien dan tingkat pengetahuan terhadap asupan cairan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yuliana (2010) juga menyebutkan bahwa pendidikan dan masalah gastrointestinal memiliki hubungan terhadap asupan makan. Menurut Gibney (2009) interpretasi yang masuk akal terhadap korelasi gizi kesehatan dalam konteks penelitian epidemiologi sering kali memerlukan pengetahuan tentang lingkungan hidup yang mempengaruhi perilaku dan outcome kesehatan. Variabel yang penting meliputi asal etnis, kelas sosial, pekerjaan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, status perkawinan, komposisi rumah tangga, dan sifat kepemilikan rumah (milik sendiri, sewa atau kontrak). Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan akses sumber pangan yaitu kepemilikan kendaraan, pendapatan, proporsi pendapatan yang digunakan untuk membeli makanan dan kelaparan dapat digunakan untuk membangun sebuah gambar mengenai keamanan dan gizi. Juga terdapat faktor budaya yang berfokus pada pengetahuan, sikap, kepercayaan terhadap makanan, agama, norma, nilai-nilai, tanggung jawab peran, tekanan sosial, perilaku kesehatan lainnya yang mungkin relevan 7
dalam menafsirkan pajanan dan outcome. Faktor-faktor sosiodemografi dan psikososial ini penting karena dapat mengacaukan korelasi antara gizi dan outcome. Selain itu, dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, pemenuhan asupan
gizi
mungkin
dapat
tercapai,
sehingga
berdampak
pada
pengendalian malnutrisi dan pada akhirnya dapat menurunkan angka kematian karena mencegah rawat inap ulang pada pasien paska rawat inap. Oleh karena itu,
peneliti tertarik
untuk meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi asupan gizi (energi dan protein) diantaranya faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan dan pendapatan), faktor penyakit (jenis penyakit dan riwayat prarawat inap) pada pasien degeneratif paska rawat inap.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diperoleh adalah apakah faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan status pernikahan), faktor penyakit (jenis penyakit dan riwayat prarawat inap) mempengaruhi asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap.
8
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan antara usia dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
2. Mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
3. Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
4. Mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
5. Mengetahui hubungan antara pendapatan dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
6. Mengetahui hubungan antara status pernikahan dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
7. Mengetahui hubungan antara jenis penyakit berdasarkan masalah gastrointestinal dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
8. Mengetahui hubungan antara jenis penyakit berdasarkan stres metabolik dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
9. Mengetahui hubungan antara jenis penyakit berdasarkan gangguan metabolisme protein penyakit dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
10. Mengetahui hubungan riwayat prarawat inap dengan asupan gizi (energi dan protein) pada pasien degeneratif paska rawat inap
9
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi asupan gizi (energi dan protein) pasien degeneratif paska rawat inap. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Institusi Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu metode follow up pada pasien paska rawai inap. b. Bagi Pasien Penelitian ini dapat memotivasi pasien agar senatiasa menjaga asupan gizi untuk memelihara kesehatan paska rawat inap. c. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah ilmu, mengasah kemampuan peneliti dalam menulis dan sebagai bentuk dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh kepada masyarakat.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah 1. Yuliana (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asupan Makanan pada Pasien Dewasa di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta”. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktorfaktor yang mempengaruhi asupan makanan pada pasien dewasa di bangsal penyakit dalam dan syaraf RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. 10
Penelitian ini melibatkan 99 orang yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagian besar asupan makanannya baik (59,3%). Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, gangguan gastrointestinal dan tindakan
medis
memiliki
hubungan
dengan
asupan
makanan,
sedangkan penilaian mutu makanan dan mutu pelayanan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa kelas perawatan, tingkat pendidikan, tindakan medis dan gangguan gastrointestinal merupakan faktor yang berhubungan dengan asupan makan. 2. Kondoj dkk. (2014) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Karakteristik Sosial Demografi Lansia dengan Asupan Energi di Desa Rumong Atas di Kecamatan Tareran”. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara karakteristik sosial demografi lansia dengan asupan energi di Desa Rumoong Atas II Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. Penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan cross sectional study. Sampel sebesar 77 lansia. Hasil penelitian menunjukan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur (p = 0,266), status perkawinan (p = 0,242), pendidikan (p =0,693), pekerjaan (p =0,233), status domisili (p =0,251), dengan asupan energi lansia di Desa Rumoong Atas II Kecamatan Tareran. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin (p =0,011) dan pendapatan (p =0,000) 11
dengan asupan energi lansia di Desa Rumoong Atas II Kecamatan Tareran. 3. Penelitian yang dilakukan Wakimoto dan Block (2001) yang berjudul “Detary Intake, Dietary Patterns, and Changes With Age:
an
Epidemiological Perspective”. Penelitian ini menyajikan data tentang bagaimana konsumsi dan kebiasaan diet berubah dari dewasa sampai usia tua. Data cohort dan cross sectional dikumpulkan untuk mendiskripsikan perubahan asupan makan berdasarkan usia. Hasil dalam penelitian ini, berdasarkan NHANES II terlihat bahwa asupan energi baik pada studi cross sectional maupun longitudinal, terjadi penurunan asupan energi sejalan dengan usia. Katagori usia tua pada NHANES II yaitu usia antara 70 sampai 74 tahun, memiliki asupan energi yang paling rendah. Pada semua usia, laki-laki mengkonsumsi lebih banyak dibanding wanita, tetapi terdapat perbedaan penurunan berdasarkan usia, dimana penurunan asupan energi lebih cepat pada laki-laki daripada wanita. Pada studi longitudinal dan studi cross sectional, asupan energi dan makronutrien menurun mengikuti usia.
12